Anda di halaman 1dari 13

Wound Healing THT-KL

RHINOSINUSITIS FRONTALIS DENGAN


HIPERTROFI KONKA

Pembimbing:

dr. Djoko Prasetyo Adi Nugroho, Sp. THT-KL

Penyusun:

Kris Jaya Sunarto (406182109)

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KRMT WONGSONEGORO SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

PERIODE 27 JANUARI 2020 – 1 MARET 2020


IDENTITAS PASIEN:
Nama : Ny. DA
Usia : 23 tahun
Pekerjaan : Swasta
Suku Bangsa : Indonesia
No. RM : 484xxx

ANAMNESIS:
Pasien datang ke poliklinik THT dengan keluhan hidung tersumbat pada kedua hidung dan
suara bindeng,
sejak 3 bulan yang lalu pasien mengaku kedua hidung tersumbat hilang timbul. Hidung
tersumbat terkadang berpindah dari hidung kanan ke hidung kiri dan kadang tersumbat
pada kedua hidung. Pasien mengaku sejak 1 bulan yang lalu, keluhan dirasakan lebih
sering dan hampir setiap hari dirasakan, keluhan hidung tersumbat lebih sering terjadi
pada malam hari. Pasien mengatakan keluhan berkurang ketika tidur menggunakan bantal
yang tinggi. Pasien juga mengeluhkan sesak saat hidung tersumbat. Tidak ada keluar
cairan atau darah dari hidung, bau busuk (-), bersin (+). Keluhan demam, nyeri
tenggorokan, telinga berdenging, gsnggusn pendengaran disangkal, riwayat darah tinggi,
kencing manis, alergi ataupun asthma di sangkal.

PEMERIKSAAN FISIK UMUM:

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 89x / menit, reguler, kuat angkat
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 36,8oC

STATUS GENERALIS

2
•Kepala : normocephali, tidak tampak lesi di kulit kepala, tidak tampak memar atau
cedera cervical, rambut tidak mudah rontok, tidak ada benjolan pada kepala
•Mata : pupil bulat, terletak di tengah, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
langsung tidak langsung +/+, hiperemis -, CA -/-, SI -/-, sekret -/-
•Hidung : bentuk hidung normal, simetris, septum deviasi -/-, secret -/-, hiperemis-/-,
benda asing -/-, tumor -/-,
•Tenggorok : Uvula ditengah, mukosa hiperemis -, tonsil T1/T1, granulasi -, kripta tonsil
tidak melebar, detritus -/-
•Telinga : nyeri tekan traggus -/-, nyeri tarik auricula -/-, nyeri ketok mastoid -/- CAE
Serumen -/-, Sekret -/-, MT intak/intak, refleks cahaya +/+, KGB pre/retroaurikuler tidak
teraba membesar
•Hidung :
Nyeri tekan sinus –, nyeri ketok sinus –, Deviasi septum –

Kanan Kiri
Cavum Nasi Hiperemis (-) clot darah (-) Hiperemis (-) clot darah (-)
corpus alienum (-) corpus alienum (-)
Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Conchae Hipertrofi konka (-) Merah Hipertrofi konka (-)
membesar +

•Mulut : Gigi geligi lengkap, tidak ada protese atau kawat gigi, bibir kering -, sianosis
-, stomatitis -, karies -
•Tenggorokan : tonsil T1-T1, tidak hiperemis, kripta tonsil tidak melebar, detritus -/-,
uvula ditengah, faring tidak hiperemis
•Leher :
o Inspeksi : deviasi trakea tidak tampak, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid,
tidak ada tumor, tidak ada bekas luka
o Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak
pembesaran KGB, tidak tampak cedera cervical
•Jantung :
o Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur -, gallop –

3
•Paru-paru :
o Inspeksi : gerakan dada simetris saat inspirasi maupun ekspirasi, retraksi -,
o Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
•Abdomen
o Inspeksi : datar, organomegali -
o Auskultasi : bising usus normal, bruit -
o Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, CVA -/-, meteorismus -
o Palpasi : nyeri tekan suprapubis (-), bimanual palpasi (-)
•Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit, ikterus -
•Anus dan genitalia : tidak tampak kelainan
•Ekstremitas : akral hangat, edema -/- tidak tampak sianosis, CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Parameter Hasil Satuan
Hemoglobin 15.00 g/dL
Hematokrit 43.40 %
Trombosit 374 10^3
Leukosit 9.2 10^3
GDS 96 Mg/dL
Masa Pembekuan 07’’40’ Menit
Masa Pendarahan 02’’30’ Menit
MCH 27.2 Pg
MCV 78.6 fL
MCHC 35.6 %
Na 133.0 Mmol/L
K 4.0 Mmol/L
Cl
Ureum 24.1 Mg/dL
Creatinin 0.6 Mg/dL
HBsAg - S/ICO

Hasil CT-Scan : Sinusitis frontalis, mastoiditis dan deviasi septum

DIAGNOSIS:
Rhinosinusitis frontalis dengan Hipertrofi konka

TATALAKSANA :

4
FESS dengan konka reduksi
Pre op : Cefotaxime 2 x 1gr IV
Ketorolac 2 x 30mg IV
Kalnex 3 x 500mg IV
Post op : Asam mefeenamat 500mg 3 x 1
Cefixime 2 x 1
Methyl prednisolon 4 mg 3 x 1
Rhinofed tab 3 x 1

PROGNOSIS :
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam

PERKEMBANGAN POST- OPERASI :


Hari pertama :
Pasien mengeluh nyeri di daerah sekitar operasi. Perdarahan pada tampon minimal.
Pergantian tampon dilakukan setiap 12 jam.
Hari kedua :
Perdarahan pada tampon berkurang dibanding hari pertama, nyeri berkurang, keluhan hidung
tersumbat (-), demam (-), tampon diganti setiap 24 jam.
Hari ketiga :
Perdarahan sudah tidak ada, tanda-tanda infeksi pada pasien (-), nyeri (+) minimal, pasien
boleh pulang. Kontrol 3 hari post rawat inap.

PEMBAHASAN :
Sinusitis  inflamasi mukosa sinus paranasal, dan sering dipicu oleh rinitis
Pada pasien : terdapat tanda2 inflamasi sinus berupa nyeri kepala dan hidung tersumbat
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi ialah : ISPA (rinitis, alergi dsb) polip hidung,
kelainan anatomi, hipertrofi konka, sumbatan KOM, infeksi dan diskinesia silia
Pada pasien : terdapat faktor risiko adanya hipertrofi konka, dan pasien mengeluh adanya
sumbatan hidung
Klasifikasi : akut  sampai 4 minggu ; subakut  4 minggu – 3 bulan ; kronik  >3bulan

5
Pada pasien : Keluhan terjadi selama 3 bulan, da memberat 1 bulan terakhir  Sinusitis
Subakut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Sinusitis
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia .. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan
oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data
penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69% nya adalah sinusitis.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau
dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan
metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinusetmoid dan maksila. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya keorbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital maupun
intrakranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah penyakit yang berpotensi fatal
yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates.3,4 Diperkirakan bahwa 1 dari 5 pasien
mengalami komplikasi sinusitis sebelum era antibiotik. Pada era antibiotik saat ini 17% dari
penderita dengan selulitis orbita meninggal karena meningitis dan 20% mengalami
kebutaaan. Komplikasi intrakranial sinusitis jarang terjadi pada era antibiotik dimana angka
kejadiannya sekitar 4% pada pasien yang dirawat dengan sinusitis akut atau kronik.
Meskipun jarang, komplikasi ini dapat mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis,
epidural empiema serta abses, trombosis sinus kavernosus, dan abses serebri.5,6

6
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal
diatas. Terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa
polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.

2.1 Definisi FESS


Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus
paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan “mucocilisry
clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase
sinus dapat lancar kembail melalui ostium alami.
Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat
diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap
berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostium-
ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk
sinusitis kronik dan bervariasi dari yang ringgan yaitu hanya membuka drenase dan ventilasi
kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka
seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini kemudian
berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi hidung, sinus
dan serah sekitar seperti mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran
liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan
posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan
kongenital (atresia koana) dan lainnya.

Keuntungan dari teknik BSEF, dengan menggunakan beberapa alat endoskop


bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus, dan
daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan adekuat dan
operasi lebih bersih atau teliti, shingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga
diuntungkan karena morbiditas pasca opersi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga
menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan
komplikasi bedah.3

2.2 Indikasi

Indikasi umunya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut yang
berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.

7
Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan
perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif
dan neoplasma.4
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor
hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor
dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita,
dekompresi nervus optikus, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya.

2.3 Kontraindikasi

Terdapat beberapa kontra indikasi dalam melakukan bedah sinus endoskopik


fungsional (BSEF) antara lain:

1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.


2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil atau hipoplasi.5
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes melitus, kelainan hemostatis yang
tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.

2.4 Pesiapan Pra-operasi


2.4.1 Persiapan kondisi pasien
Pada pra-operasi kondisi pasien perlu disiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada
inflamasi atau oedem, harus dihilangkan terlebih dahulu, demikian pula jika terdapat polip,
sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (popipektomi medikamentosa). Perlu diperhatikan
juga pada pasien yang memiliki penyakit hipertensi, pasien yang memakai obat-obatan
antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya.
2.4.2 Pemeriksaan
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan
variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan
variasi dinding lateral misalnya meatus sempit karena deviasi septum, konka media bulosa,
polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator bisa
memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat
operasi.
Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan
perluasan serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan
hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke
dalam orbita dan intra kranial seperti konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media

8
beserta kompleks osteomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius,
adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula
lokasi a. Etmoid anterior, n. Optikus dan a. Karotis interna penting diketahui.

Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT Scan tersebut operator dapat mengetahui daerah-
daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga
tidak terjadi komplikasi operasi.
2.4.3 Instrumen bedah dan operasi
Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai.
Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Teleskop 4mm 00
2. Teleskop 4 mm 300
3. Light source (sumber cahaya)
4. Cable light
5. Sistem kamera plus CCTV
6. Monitor
7. Teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)

Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:
1. Jarum panjang (FESS/septum neddle, angular 0,8mm, Luer-lock)
2. Pisau sabit (sickle Knife 19 cm)
3. Respatorium (MASING elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5 cm)
4. Suction lurus
5. Suction bengkok
6. Cunam Blakesley lurus (Blakesley Nasal Forceps)
7. Cunam Blakesley upturned (Blakesley-Wilde Nasal Forceps)
8. Cunam Cutting-through lurus (Blakesley Nasal Forceps Cutting Straight)
9. Cunam Cutting-through upturned (Blakesley Nasal Forceps Cutting Upturned)
10. Cunam Backbiting (Backbiter Antrum Punch)
11. Ostium seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (antrum curette oval)

9
14. Kuhn Curette (sinus frontal curette oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe Forceps dbl. Act, jaws 3mm)
16. Cunam Jamur 9Stammberger Punch)

2.5 Tahapan Operasi


Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan
endoskopi dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara
alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan
jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus
terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maqka
BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah.
Teknik operasi BSEF adalah dengan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan
yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi
disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi.
Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu.
2.6 Perawatan Pasca Operasi
Secara teoritis walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk
membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta dan devitalisasi tulang yang bila
tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia dan osteitis. Perawatan
operasi sebaiknya dilakukan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas
jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit
iatrogenik.
Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal
mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari
secara teratur. Fernandes pada suatu studi prospektif melaporkan pada 55 pasien yang
dilakukan BSEF 95,5% pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinik sekitar 50% lebih
pada perawatan pasca operasi hanya dengan irigasi larutan salin hiertonik setelah hari ke-10
postoperatif. Beberapa ahli menyebutkan menggunakan antibiotik profikaktif pada semuah
pasien, dimana ahli yang lain menggunakan hanya pada kasus adanya infeksi. Sementara itu
pada suatu penelitian prospektif acak, tersamar ganda oleh Annys dan Jorrisen dikutip dari
Schlosser9 menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan pada gejala klinik setelah pemberian
cefuroksim postoperasi..

2.7 Komplikasi2

10
Semenjak diperkenalkannya teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat
oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai
komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenannya para ahli segera
melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari
cara untuk mencegah dan menghindarinya serta mengobatinya. Pemahaman yang mendalam
tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli
dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi BSEF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, preorbital/orbital,
intrakranial, vaskular dan sistemik.8

2.7.1 Komplikasi intranasal


2.7.1.1 Sinekia
Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luas yang saling berdekatan,
umunya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger dkk melaporkan
insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan gangguan sumbatan.
Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media
dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan
inferior dari konka media harus dipertahankan.

2.7.1.2 Stenosis ostium sinus maksila


Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2%. Pembukaan
ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat menghasilkan drenase fisiologik.
Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium secara melingkar dapat menyebabkan
timbulnya jaringan parut dan stenosis ostium sinus maksila. Metode terbaik memperlebar
ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior,
posterior dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan denga timbulnya gejala maka revisi
bedah mungkin diperlukan.

2.7.1.3 kerusakan duktus nasolakrimalis


Kompilasi ini sangat jarang karena duktus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal
keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat
pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan Parson dkk melakukan studi terhadap
pasien yang mengalami perlukaan duktus nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala

11
dakriosistisis atau epifora. Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran
ostium sinus maksila terutama dari arah posterior dan atau posterior.

2.7.2 Komplikasi Periorbital/orbital


2.7.2.1 Edema kelopak mata atau ekimosis atau emfisema
Edema kelopak mata, ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak
langsung terjadi akibat trauma pada lamina papiresia. Proyeksi medial lamina papiresea pada
rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papiresea mudah
trauma selama prosedur bedah dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papiresea sekitar 0,5-
1,5% di tangan ahli yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5
hari tanpa diperlukan pengobatan khusus.

2.7.2.2 Perdarahan retrobulbar


Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah
proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan
subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan
intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan, midriasis dan
defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam
pandangan operator.

2.7.2.3 Kerusakan nervus optikus


Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang
adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan, serta
buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada
n. Optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.

2.7.2.4 Gangguan pergerakan otot bola mata


Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot
rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang
menginervasinya.

12
2.7.3 Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang seringf terjadi pada pemula.
Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT Scan
preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan cerebrospinal
selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi, insidensi komplikasi ini
dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan
menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan septum. Jika terjadi pasca
operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat menutup sendiri.

2.7.4 Komplikasi sistemik


Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.
Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus adalah
pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini
ditandai dengan adnya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50C, deskuamasi dan
hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan oleh strain
Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah 16/100.000 kasus yang
dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon setelah operasi, direkomendasikan
untuk memberikan becitrasin yang merupakan agen yang efektif melawan Stafilokokus
aureus.5

13

Anda mungkin juga menyukai