Iwan Hermawan
Balai Arkeologi BandungJalan Raya Cinunuk Km 17 Cileunyi Bandung
Email: iwan1772@yahoo.com
Naskah Diterima: 24 Februari 2015 Naskah Direvisi:25 Maret 2015 Naskah Disetujui:27 April 2015
Abstrak
Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pemanfaatan sengkedan oleh masyarakat dalam
merekayasa lahan miring untuk memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman dan pertanian.
Pemanfaatan sengkedan untuk rekayasa lahan miring oleh masyarakat Sunda sudah dilakukan
sejak zaman dahulu dan terus berlanjut hingga saat ini. Teknologi tersebut hingga saat ini masih
tetap aktual dalam upaya mengelola lahan miring agar dapat dimanfaatkan sebagai lahan
permukiman, pertanian, dan keagamaan. Metode penulisan yang dipergunakan pada tulisan ini
adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penggunaan sengkedan sebagai upaya merekayasa
lahan miring merupakan bentuk rekayasa lingkungan oleh masyarakat Sunda dengan tetap
mempertahankan keseimbangan alam. Pemanfaatan bagian lereng untuk pemukiman dan pertanian
diimbangi dengan mempertahankan bagian puncak sebagai kawasan hutan. Melalui upaya
tersebut, daur hidrologi tetap terjaga keseimbangannya, karena ketika turun hujan air masih bisa
menyerap ke dalam tanah dan keluar dari dinding teras melalui celah di antara batu. Proses
pengelolaan lahan tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui
berbagai ajaran adat dalam bentuk pamali, buyut, tabu atau pantang larang. Perubahan
pemanfaatan lingkungan dilakukan dengan tanpa pengrusakan dan keseimbangan ekologi tetap
dipertahankan.
Kata kunci: terasering, pantang larang, pemukiman.
Abstract
This paper aims to describe the use of swales by public in manipulating sloping land to
meet the demand for land settlement and agriculture. Utilization of swales to sloping land
engineering by the Sundanese community has been made since ancient times and continues to this
day. The technology is still up to date in an effort to manage the sloping land that can be usedas a
land settlement, agriculture, and religious. Writing method used in the study is descriptive
qualitative approach. The use of swales is an effort to manipulate the manage slopes form of
environmental engineering by the Sundanese community by maintaining the balance of nature. The
use of the slope for settlements and agriculture is balanced by maintaining the top as a forest area.
Through these efforts, the hydrological cycle is maintained balance, because when it rains the
water can still absorb into the soil and out of the walls through the gap between the stone terraces.
The land management processes passed down from generation to generation through a variety of
traditional teachings in the form of taboos, great-grandfather, taboo or forbidden abstinence
Change of use of the environment without damaging and ecological balance is maintained.
Keywords: terracing, abstinencebans, settlements.
202 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216
atau batas alam seperti pohon atau tanaman datar-dijadikan sawah; lembah-alirkan air;
lain) merupakan bagian yang tidak sakral. cekungan – dibuat kolam; danau-pelihara;
Pada bagian ini ditempatkan kandang kampung- perlu diurus; sungai – perlu
ternak dan atau tempat untuk aktivitas dijaga (Sobirin, 2007: 107).
mandi, cuci, dan kakus. Uraian tersebut menunjukkan bahwa
Pada Perkampungan masyarakat potensi yang tersedia di alam adalah untuk
Kampung Naga di Kecamatan Salawu dimanfaatkan bukan dieksploitasi. Alam
Kabupaten Tasikmalaya, bagian inti dan lingkungan merupakan titipan untuk
wilayah perkampungan adalah leuweung disampaikan kepada anak cucu, kita hanya
karamat (hutan keramat). Di dalam hutan diberi amanat untuk menjaganya dan
tersebut dimakamkan leluhur masyarakat menyampaikannya kepada mereka. Ajaran
Kampung Naga, yaitu Eyang Dalem inilah yang mendorong masyarakat Sunda
Singaparana (Hermawan, 2013: 27). untuk memanfaatkan lingkungan alam
Ruang wilayah dan ruang kawasan dengan tidak melakukan pengrusakan.
dengan keanekaragaman ekosistemnya Kehidupan masyarakat yang menyesuaikan
merupakan sumber daya alam bagi setiap diri dengan alam dan lingkungan
makhluk, termasuk manusia. Tanah, air, menunjukkan proses adaptasi yang
udara, hutan dan lain-lain merupakan berlangsung terus menerus, turun temurun
sumber daya alam pokok bagi kehidupan dari generasi ke generasi ditujukan agar
di muka bumi. Hilang atau berkurangnya terhindar dari bencana. Hal ini sesuai
ketersediaan sumber daya alam tersebut dengan teori Posibilisme yang
dapat menimbulkan dampak negatif yang dikemukakan oleh Vidal de la Blache
besar bagi kehidupan. Melalui berbagai (1854-1918). Menurut teori tersebut, setiap
kearifan tradisional yang masih dianutnya, individu memberi sejumlah kemungkinan
masyarakat tradisional berusaha untuk (possibilities) berbeda bagi setiap tempat
menjaga keseimbangan antara kehidupan dan humansociety (masyarakat) yang
manusia dengan alam. Filosofi leuweung menentukan kemungkinan-kemungkinan
dalam pemahaman masyarakat Baduy/ tersebut, karena manusia adalah “free
Kasepuhan menunjukkan bahwa manusia agent” yang darinya segala sesuatu dapat
mempunyai kewajiban untuk menghormati dimungkinkan (Hermawan, 2009: 34-37).
dan memelihara alam. Leuweung (hutan)
memiliki fungsi perlindungan yang hakiki B. METODE PENELITIAN
dalam kesinambungan kehidupan manusia. Berkenaan dengan permasalahan
Istilah leuweung titipan (hutan yang dan tujuan yang diajukan. metode
diamanatkan) atau disebut juga leuweung penulisan yang dipergunakan adalah
sirah cai (hutan mata air) menunjukkan deskriptif bersifat kualitatif dengan
bahwa hutan mampu mengelola sumber air pendekatan etnografi, karena “Etnografi
secara alami (Sobirin, 2007: 104). merupakan pekerjaan mendeskripsikan
Berkenaan dengan pengelolaan kebudayaan” (Spradley, 2006:3).
lingkungan, leluhur masyarakat Sunda Pengumpulan data dilakukan melalui
mengamanatkan agar Gunung - Kaian; kajian pustaka, wawancara terbuka, dan
Gawir – Awian; Cinyusu – Rumateun; Pengamatan lapangan (Spreadley, 2006;
Sampalan – Kebonan; Pasir – Talunan; Goetz and Lecomte, 1984). Semua
Dataran – Sawahan; Lebak – Caian; kegiatan pengumpulan data dilakukan
Legok – Balongan; Situ – Pulasaraeun; penulis secara langsung dengan tujuan agar
Lembur – Uruseun; Walungan - Ruwateun data yang terkumpul bersifat objektif
yang artinya Gunung – Tanami dengan kata lain peneliti sebagai instrumen
Pepohonan; Tebing – tanami bambu; (Lincoln dan Guba, 1985:18). Hanya
Mataair – pelihara; tanah kosong – dibuat manusia sebagai instrumen yang dapat
kebun; bukit-tanami pepohonan; Tanah memahami makna interaksi antarmanusia,
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 205
temurun untuk hidup bersama alam. Alam menyebabkan dimadu oleh perempuan; (8)
lingkungan dimanfaatkan dengan tidak Sumara Dadaya, yaitu lahan dengan
merusak. Pemanfaatan lahan harus sesuai topografi datar. Lahan ini “mungkin” sama
dengan peruntukannya agar tidak tertimpa dengan istilah topografi Sunda Galudra
bencana karena pada dasarnya bencana Ngupuk. Lahan dengan topografi ini
terjadi akibat kesalahan manusia dalam merupakan lahan yang cukup baik bagi
memanfaatkan alam. permukiman karena menyebabkan rama
Berkenaan dengan pemilihan lahan senantiasa datang berkunjung; (9) Luak
yang baik untuk kawasan permukiman, Maturun, yaitu topografi lahan berceruk
para leluhur Sunda sudah memiliki karena di tengah wilayah terdapat lembah
panduannya sehingga bisa terhindar dari merupakan lahan yang kurang baik untuk
bencana. Salah satu naskah kuna yang permukiman karena menjadikan
menguraikan tata cara pemilihan lahan penduduknya memperoleh banyak
baik untuk permukiman, adalah naskah penderitaan; (10) Wilayah Melipat,
Warugan Lemah yang isinya menguraikan termasuk topografi wilayah permukiman
jenis-jenis lahan baik dan buruk untuk yang kurang baik karena menyebabkan
permukiman. Menurut naskah dimaksud, berkurangnya kekayaan; (11) Tunggang
jenis topografi lahan adalah: (1) Telaga Laya, yaitu topografi wilayah permukiman
Hangsa, yaitu topografi lahan condong ke yang menghadap laut merupakan lahan
kiri. Topografi jenis ini tergolong baik kurang baik untuk permukiman karena
karena mendatangkan kasih sayang orang dapat menyebabkan penduduknya mati
lain; (2) Banyu metu, yaitu topografi lahan tersambar petir; (12) Mrega Hideng, yaitu
condong ke belakang. Termasuk topografi lahan bekas kuburan merupakan lahan
ini kurang baik, karena menyebabkan yang kurang baik untuk permukiman
kaneneh, “kesayangan, apa yang karena mengakibatkan wilayahnya kurang
disayangi” tidak akan menjadi; (3) Purba memiliki wibawa; (13) Jagal Bahu, yaitu
Tapa, yaitu topografi lahan condong ke tanah yang menganga (terpisah) sehingga
depan merupakan topografi kurang baik, terdapat celah yang memisahkan wilayah
karena senantiasa kehilangan simpati (rasa permukiman merupakan topografi lahan
suka) orang lain; (4) Ambek Pataka, yaitu yang kurang baik karena mengakibatkan
topografi lahan condong ke kanan. Lahan wilayahnya kurang memiliki wibawa; (14)
dengan topografi ini kurang baik karena Talaga Kahudanan, yaitu wilayah
menyebabkan orang lain menyakiti hati; permukiman membelah sungai merupakan
(5) Tanah yang Ngalingga Manik, dapat lahan yang kurang baik, karena
diartikan sebagai topografi lahan yang penduduknya dapat mati oleh senjata orang
membentuk puncak permata dengan lain dalam peperangan; (15) Wilayah yang
permukiman di puncaknya. Lahan dengan membelakangi bukit atau gunung
topografi ini merupakan lahan yang baik merupakan lahan yang kurang baik untuk
untuk permukiman, karena penduduknya permukiman karena akan merusak
akan diperhatikan dewata; (6) Singha hubungan keluarga; (16) Si Bareubeu,
Purusa, yaitu topografi lahan memotong yaitu lahan yang berada di bawah aliran
bukit (pasir), berada di antara puncak dan sungai (katunjang ku cai) merupakan lahan
kaki bukit. Lahan dengan topografi ini kurang baik untuk permukiman karena
merupakan lahan yang baik karena dapat akan dihukum dewata; (17) Kampung yang
mendatangkan kemenangan ketika perang; dikelilingi oleh rumah, termasuk
(7) Sri Madayung, merupakan lahan yang permukiman yang kurang baik karena
berada di antara dua aliran sungai yaitu penduduknya akan menjadi rakyat jelata;
sungai kecil di sebelah kiri dan sungai (18) Bekas tempat kotor (picarian)
besar di sebelah kanan. Lahan jenis ini dikelilingi oleh rumah merupakan wilayah
termasuk kurang baik, karena permukiman yang kurang baik karena akan
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 207
Pembagian Ruang
Kosmografi Sunda Kampung Naga
Buana Larang Kawasan Luar
(Dunia Bawah )
Buana Pancatengah Kawasan Permukiman
(Dunia Tengah)
Buana Nyungcung Hutan Keramat
(Dunia Atas)
Sumber: Hasil Penelitian, 2013
tersebut dibentuk dari susunan batu yang yang ukurannya relatif sama. Butiran batu
menahan teras-teras lahan tersebut disusun di atas permukaan tanah
permukiman.Lahan Permukiman Kampung atau lantai hingga menjadi rata. Karena
Naga yang bertingkat tersebut menjadikan tidak menggunakan semen sebagai perekat
kawasan Kampung Naga sebagai kawasan antar batu, maka air masih bisa mengalir
yang sehat karena setiap rumah ke dalam tanah melalui celah-celah
memperoleh pencahayaan sinar matahari susunan batu-batu tersebut.
pagi yang baik. Selain itu, permukiman
Kampung Naga yang bertingkat 3. Memanfaatkan dengan tanpa
menjadikannya Kampung Naga tampak merusak
artistik. Kebutuhan akan lahan
Tidak berbeda dengan masyarakat permukiman dan pertanian telah
Kampung Naga, masyarakat Baduy mendorong masyarakat Sunda untuk
Panamping juga melakukan rekayasa lahan melakukan rekayasa atas lahan dimaksud.
untuk memenuhi kebutuhan mereka akan Rekayasa tersebut dilakukan dengan
lahan permukiman. Lahan miring kawasan sedikit mungkin mengakibatkan ketidak-
permukiman mereka direkayasa hingga seimbangan alam. Umpak batu merupakan
menghasilkan lahan datar bertangga- salah satu bentuk rekayasa alam dengan
tangga untuk permukiman. Sebagai tidak merusak, karena daur hidrologi
penguat, dipergunakan susunan batu kali bawah permukaan tanah tidak terganggu,
pada dinding teras tersebut. Susunan batu air masih bisa mengalir di antara sela-sela
tersebut tidak diperkuat dengan semen batuan di dinding teras atau punden.
karena dilarang secara adat (buyut). Lahan miring yang direkayasa
menjadi teras-teras bertingkat dilakukan
agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan
untuk permukiman dan pertanian. Proses
tersebut dilakukan dengan mengubah lahan
miring menjadi datar dalam bentuk teras
bertingkat atau sengkedan atau terasering.
Agar tidak terjadi longsor, dinding teras
diperkuat dengan batu kali yang disusun
sedemikian rupa sehingga mampu
menahan bidang tanah di atasnya hingga
tidak menimbulkan longsor. Susunan batu
tersebut tidak diperkuat dengan tembok/cor
yang dapat merekatkan satu batu dengan
batu lainnya. Kondisi ini menjadikan
terdapat ruang antar butiran batu sehingga
air dapat tetap menerobos dan keluar di
dinding teras. Kenyataan ini akan berbeda
Gambar 3: Susunan batu di jika batu-batu tersebut direkatkan dengan
Kampung Naga (Dokumentasi adukan semen dan pasir, karena tatanan air
Iwan Hermawan, 2011) bawah permukaan akan terganggu. Air
akan bertumpuk di bawah tanah dan
Pemanfaatan batu dalam rekayasa menekan dinding (turap) tebing. Jika
permukaan tanah juga dilakukan agar tekanan itu makin besar akibat air yang
halaman atau jalan tidak becek ketika turun terkandung dalam tanah serta tidak adanya
hujan, kegiatan ini disebut Ngabalai. celah antar batu maka dinding penahan
Biasanya batu yang dipergunakan untuk tebing dapat bobol dan menimbulkan
ngabalai adalah bongkah atau butir batu bencana bagi manusia.
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 213