Anda di halaman 1dari 16

Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan.....

(Iwan Hermawan) 201

SENGKEDAN: BENTUK REKAYASA LINGKUNGAN


UNTUK PERMUKIMAN DAN PERTANIAN

SWALES: FOR SETTLEMENT OF ENGINEERING ENVIRONMENT AND


AGRICULTURE

Iwan Hermawan
Balai Arkeologi BandungJalan Raya Cinunuk Km 17 Cileunyi Bandung
Email: iwan1772@yahoo.com

Naskah Diterima: 24 Februari 2015 Naskah Direvisi:25 Maret 2015 Naskah Disetujui:27 April 2015

Abstrak
Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pemanfaatan sengkedan oleh masyarakat dalam
merekayasa lahan miring untuk memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman dan pertanian.
Pemanfaatan sengkedan untuk rekayasa lahan miring oleh masyarakat Sunda sudah dilakukan
sejak zaman dahulu dan terus berlanjut hingga saat ini. Teknologi tersebut hingga saat ini masih
tetap aktual dalam upaya mengelola lahan miring agar dapat dimanfaatkan sebagai lahan
permukiman, pertanian, dan keagamaan. Metode penulisan yang dipergunakan pada tulisan ini
adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penggunaan sengkedan sebagai upaya merekayasa
lahan miring merupakan bentuk rekayasa lingkungan oleh masyarakat Sunda dengan tetap
mempertahankan keseimbangan alam. Pemanfaatan bagian lereng untuk pemukiman dan pertanian
diimbangi dengan mempertahankan bagian puncak sebagai kawasan hutan. Melalui upaya
tersebut, daur hidrologi tetap terjaga keseimbangannya, karena ketika turun hujan air masih bisa
menyerap ke dalam tanah dan keluar dari dinding teras melalui celah di antara batu. Proses
pengelolaan lahan tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui
berbagai ajaran adat dalam bentuk pamali, buyut, tabu atau pantang larang. Perubahan
pemanfaatan lingkungan dilakukan dengan tanpa pengrusakan dan keseimbangan ekologi tetap
dipertahankan.
Kata kunci: terasering, pantang larang, pemukiman.

Abstract
This paper aims to describe the use of swales by public in manipulating sloping land to
meet the demand for land settlement and agriculture. Utilization of swales to sloping land
engineering by the Sundanese community has been made since ancient times and continues to this
day. The technology is still up to date in an effort to manage the sloping land that can be usedas a
land settlement, agriculture, and religious. Writing method used in the study is descriptive
qualitative approach. The use of swales is an effort to manipulate the manage slopes form of
environmental engineering by the Sundanese community by maintaining the balance of nature. The
use of the slope for settlements and agriculture is balanced by maintaining the top as a forest area.
Through these efforts, the hydrological cycle is maintained balance, because when it rains the
water can still absorb into the soil and out of the walls through the gap between the stone terraces.
The land management processes passed down from generation to generation through a variety of
traditional teachings in the form of taboos, great-grandfather, taboo or forbidden abstinence
Change of use of the environment without damaging and ecological balance is maintained.
Keywords: terracing, abstinencebans, settlements.
202 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

A. PENDAHULUAN pegunungan atau pedalaman. (Ekadjati,


Tatar Sunda menurut sumber 1995: 9). Secara geografis, Jawa Barat
setempat meliputi bagian barat Pulau Jawa dibagi menjadi lima wilayah berdasarkan
yang mula-mula (sampai akhir abad ke-16) kondisi geomorfologi, yaitu: (1) Wilayah
batasnya sebelah timur adalah Ci Pamali bagian utara Pulau Jawa yang merupakan
(Kali Pemali, sekarang), tetapi kemudian daerah dataran rendah luas membentang
batas itu pindah ke sebelah barat ke Ci dari dari Selat Sunda sampai Cirebon.
Losari (Rosidi, dkk, 2000: 618). Menurut Wilayah ini dikenal dengan sebutan zone
Tome’ Pires, orang Portugis yang Jakarta; (2) Wilayah pegunungan tengah
berkunjung ke Nusantara tahun 1513, pada atau zone Bogor; (3) Kubah dan
waktu itu Kerajaan Sunda menempati Punggungan Bayah; (4) Wilayah depresi
wilayah yang disebut tanah Sunda. Tanah antarmontana atau dikenal juga dengan
Sunda terpisah dari tanah Jawa dengan sebutan dataran Bandung; dan (5) Wilayah
batasnya Ci Manuk. Dikatakan pula pegunungan selatan Jawa Barat yang
Cimanuk adalah kota pelabuhan yang membentang sepanjang pantai selatan dari
terletak di muara sungai. Kota Pelabuhan Selat Sunda di Barat sampai Sagara
itu merupakan bagian ujung timur wilayah Anakan di Timur (Bemmelen, 1949: 26).
Kerajaan Sunda. Kota Pelabuhan Cirebon Kondisi lingkungan alam yang
yang terletak di sebelah timur Cimanuk ekstrim di bagian tengah dan selatan Jawa
dikatakan tidak termasuk wilayah Kerajaan bagian barat mendorong masyarakat Sunda
Sunda. Sesudah Kerajaan Sunda runtuh untuk menyesuaikan diri dengan
(sekitar tahun 1579), wilayahnya terbagi lingkungan setempat. Penyesuaian diri
atas Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dengan lingkungan tersebut dapat dilihat
dan Galuh. Wilayah-wilayah tersebut dari pola tata ruang kawasan permukiman.
masing-masing berdiri sendiri. Mereka berupaya menjaga keseimbangan
Sumedanglarang dan Galuh kemudian lingkungan, membangun dengan tidak
menjadi satu wilayah kesatuan dengan merrusak dan menjaga perbandingan yang
nama Priangan. Bekas wilayah Kerajaan seimbang antara luas kawasan terbangun
Sunda disebut tanah Sunda atau tatar dengan kawasan lindung. Selain itu, bahan
Sunda atau Pasundan. Pada perkembangan bangunan untuk membangun berbagai
berikutnya, Priangan dipandang sebagai bangunan dilakukan dengan cara
pusat tanah Sunda atau pusat tatar Sunda memanfaatkan bahan bangunan yang
(Ekadjati, 1995: 5-8). Sehingga, berasal dari lingkungan setempat
penyebutan orang Sunda diarahkan pada (Hermawan, 2013: 49-52; 2011: 144).
Orang Sunda Priangan (Harsojo, Upaya untuk memenuhi kebutuhan
2004:308). akan lahan permukiman dan pertanian di
Oleh masyarakat pesisir, seperti kawasan dengan topografi perbukitan dan
penduduk Cirebon, orang Sunda disebut pegunungan dilakukan oleh masyarakat
sebagaiurang gunung, wong gunung, dan dengan dua cara, yaitu (1) memanfaatkan
tiyang gunung(orang gunung), maksudnya lahan apa adanya dengan tidak melakukan
adalah mereka yang tinggal di daerah rekayasa atas kontur lahan miring, dan (2)
pegunungan. Penyebutan orang gunung melakukan perubahan atas kontur lahan
bagi orang Sunda kemungkinan besar hingga menjadi lahan dengan kontur datar
muncul setelah adanya anggapan pusat yang siap dimanfaatkan untuk kepentingan
tanah Sunda adalah Priangan. Wilayah permukiman dan pertanian.
Priangan merupakan daerah pegunungan Mereka yang memanfaatkan lahan
dengan puncak-puncaknya yang tinggi. miring dengan kondisi apa adanya, tanpa
Pada waktu yang bersamaan, peranan melakukan rekayasa, melakukan kegiatan
orang Sunda di daerah pesisir sejak akhir pertanian dengan cara pertanian lahan
abad ke-16 M., beralih ke daerah kering (huma). Untuk mendirikan
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 203

bangunan, mereka melakukan penyesuaian kosmos sebagai prasarat untuk mencapai


dengan cara menyesuaikan tinggi kebahagiaan hidup batiniah manusia
rendahnya tiang pancang bangunan dengan (Sedyawati, 1995 dikutip Permana, 2006:
topografi lahan, sehingga tinggi tiap tiang 13). Pada masyarakat Kampung Naga,
penyangga bangunan akan berbeda. aturan-aturan kehidupan masyarakatnya
Sebaliknya, mereka yang melakukan memiliki hubungan antara agama,
rekayasa lahan melakukan perubahan kepercayaan dan kosmologi. Dengan
kontur lahan miring menjadi datar dengan kekuatan tersebut, sanksi-sanksi aturan
cara penggalian dan pengurukan hingga agama dan adat yang berhubungan dengan
menghasilkan lahan datar bertangga- permasalahan tata ruang lingkungan dan
tangga atau berteras-teras untuk aturan bangunan sangat ditaati oleh
permukiman dan pertanian. masyarakat Kampung Naga. Berkenaan
Berdasarkan uraian tersebut, dengan pencapaian keseimbangan
permasalahan yang diangkat pada tulisan kehidupan, mereka memiliki tujuan
ini berkenaan dengan sengkedan sebagai kawilujengan (menjadi lebih baik)
bentuk rekayasa lahan dengan topografi (Ismudiyanto, 1987: 81-82).
miring. Tujuan tulisan ini adalah Permukiman tradisional
mendeskripsikan upaya masyarakat Sunda dikembangkan dan dihuni atas dasar tradisi
dalam melakukan rekayasa lahan miring atau budaya bermukim tertentu. Menurut
untuk memenuhi kebutuhan akan lahan Oliver (19887,1997 dalam Harus dan
permukiman dan pertanian. Rusnandar, 2011:8), Rumah dan
Pemanfaatan lahan dengan tidak permukiman yang berkembang
melakukan pengrusakan sudah dilakukan berdasarkan tradisi atau budaya bermukim
oleh masyarakat Sunda secara turun tertentu berkembang atas dasar tradisi
temurun dan melakukannya sebagai bentuk Vernakular. Permukiman tersebut
kepatuhan dan penghormatan pada leluhur. mempunyai pola atau keteraturan khas
Proses pewarisan kepada generasi berikut yang berbeda dengan pola permukiman
dilakukan melalui berbagai pamali, buyut modern. Kondisi tersebut terjadi karena
atau pantang larang. Tujuannya, agar permukiman vernakuler merupakan bentuk
lingkungan di mana mereka hidup, ekspresi budaya masyarakat, sehingga tata
tumbuh, dan berkembang tidak rusak. dan aturannya diatur oleh adat istiadat
Penjayaan pamali, buyut atau pantang yang dipegang oleh masyarakat tersebut.
larang di tengah masyarakat Sunda Pola permukiman tradisional biasanya
merupakan bentuk kontrol kebudayaan memusat atau “mengutub” dengan titik
terhadap masyarakatnya dalam menjalani pusat atau inti kawasannya merupakan
kehidupan sehari-hari. tempat yang disakralkan atau disucikan.
Konsep tata ruang suatu Tempat yang paling sakral ini biasanya
masyarakat akan berkaitan dengan sistem dihuni oleh pendiri atau merupakan
religi mereka, terutama yang berkaitan bangunan yang dikeramatkan atau
dengan pandangan dunianya. Secara disucikan. Semakin jauh dari inti, tingkat
khusus, pandangan suatu masyarakat dapat kesakralannya semakin berkurang dan di
terlihat dari kosmologi mereka. Menurut luar kawasan tersebut merupakan kawasan
definisinya, kosmologi berarti pemahaman yang tidak sakral (Egenter, 1991 dalam
dasar tentang kosmos. Keyakinan tentang Harun dan Rusnandar, 2011: 11). Pada
kosmos pada umumnya berkaitan erat permukiman masyarakat Sunda, inti atau
dengan kepercayaan terhadap kekuatan pusat permukiman merupakan tempat yang
adi-kodrati yang menguasai, disucikan atau dikeramatkan. Inti tersebut
mengendalikan, atau melandasinya. Oleh dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk
karena itu, dapat dipahami betapa dan bangunan penunjang. Pada bagian luar
pentingnya pemahaman dan penghayatan permukiman (biasanya dibatasi oleh pagar
204 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

atau batas alam seperti pohon atau tanaman datar-dijadikan sawah; lembah-alirkan air;
lain) merupakan bagian yang tidak sakral. cekungan – dibuat kolam; danau-pelihara;
Pada bagian ini ditempatkan kandang kampung- perlu diurus; sungai – perlu
ternak dan atau tempat untuk aktivitas dijaga (Sobirin, 2007: 107).
mandi, cuci, dan kakus. Uraian tersebut menunjukkan bahwa
Pada Perkampungan masyarakat potensi yang tersedia di alam adalah untuk
Kampung Naga di Kecamatan Salawu dimanfaatkan bukan dieksploitasi. Alam
Kabupaten Tasikmalaya, bagian inti dan lingkungan merupakan titipan untuk
wilayah perkampungan adalah leuweung disampaikan kepada anak cucu, kita hanya
karamat (hutan keramat). Di dalam hutan diberi amanat untuk menjaganya dan
tersebut dimakamkan leluhur masyarakat menyampaikannya kepada mereka. Ajaran
Kampung Naga, yaitu Eyang Dalem inilah yang mendorong masyarakat Sunda
Singaparana (Hermawan, 2013: 27). untuk memanfaatkan lingkungan alam
Ruang wilayah dan ruang kawasan dengan tidak melakukan pengrusakan.
dengan keanekaragaman ekosistemnya Kehidupan masyarakat yang menyesuaikan
merupakan sumber daya alam bagi setiap diri dengan alam dan lingkungan
makhluk, termasuk manusia. Tanah, air, menunjukkan proses adaptasi yang
udara, hutan dan lain-lain merupakan berlangsung terus menerus, turun temurun
sumber daya alam pokok bagi kehidupan dari generasi ke generasi ditujukan agar
di muka bumi. Hilang atau berkurangnya terhindar dari bencana. Hal ini sesuai
ketersediaan sumber daya alam tersebut dengan teori Posibilisme yang
dapat menimbulkan dampak negatif yang dikemukakan oleh Vidal de la Blache
besar bagi kehidupan. Melalui berbagai (1854-1918). Menurut teori tersebut, setiap
kearifan tradisional yang masih dianutnya, individu memberi sejumlah kemungkinan
masyarakat tradisional berusaha untuk (possibilities) berbeda bagi setiap tempat
menjaga keseimbangan antara kehidupan dan humansociety (masyarakat) yang
manusia dengan alam. Filosofi leuweung menentukan kemungkinan-kemungkinan
dalam pemahaman masyarakat Baduy/ tersebut, karena manusia adalah “free
Kasepuhan menunjukkan bahwa manusia agent” yang darinya segala sesuatu dapat
mempunyai kewajiban untuk menghormati dimungkinkan (Hermawan, 2009: 34-37).
dan memelihara alam. Leuweung (hutan)
memiliki fungsi perlindungan yang hakiki B. METODE PENELITIAN
dalam kesinambungan kehidupan manusia. Berkenaan dengan permasalahan
Istilah leuweung titipan (hutan yang dan tujuan yang diajukan. metode
diamanatkan) atau disebut juga leuweung penulisan yang dipergunakan adalah
sirah cai (hutan mata air) menunjukkan deskriptif bersifat kualitatif dengan
bahwa hutan mampu mengelola sumber air pendekatan etnografi, karena “Etnografi
secara alami (Sobirin, 2007: 104). merupakan pekerjaan mendeskripsikan
Berkenaan dengan pengelolaan kebudayaan” (Spradley, 2006:3).
lingkungan, leluhur masyarakat Sunda Pengumpulan data dilakukan melalui
mengamanatkan agar Gunung - Kaian; kajian pustaka, wawancara terbuka, dan
Gawir – Awian; Cinyusu – Rumateun; Pengamatan lapangan (Spreadley, 2006;
Sampalan – Kebonan; Pasir – Talunan; Goetz and Lecomte, 1984). Semua
Dataran – Sawahan; Lebak – Caian; kegiatan pengumpulan data dilakukan
Legok – Balongan; Situ – Pulasaraeun; penulis secara langsung dengan tujuan agar
Lembur – Uruseun; Walungan - Ruwateun data yang terkumpul bersifat objektif
yang artinya Gunung – Tanami dengan kata lain peneliti sebagai instrumen
Pepohonan; Tebing – tanami bambu; (Lincoln dan Guba, 1985:18). Hanya
Mataair – pelihara; tanah kosong – dibuat manusia sebagai instrumen yang dapat
kebun; bukit-tanami pepohonan; Tanah memahami makna interaksi antarmanusia,
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 205

membaca gerak muka, menyelami Kondisi lingkungan geografis


perasaan dan nilai yang terkandung dalam Jawa Barat telah mendidik warganya untuk
ucapan atau perbuatan responden. memanfaatkan alam dengan seksama, yaitu
Walaupun digunakan alat rekam atau memanfaatkan dengan tidak merusak.
kamera, peneliti tetap memegang peranan Alam dimanfaatkan bukan dieksploitasi
utama sebagai alat penelitian (Nasution, sehingga kelestariannya tetap terjaga dan
1996:9). Sebagian data yang dipergunakan dapat diwariskan kepada generasi berikut.
pada tulisan ini merupakan hasil penelitian Naskah Sanghyang Siksa Kandang
penulis tentang Ruang pada Masyarakat Karesian menguraikan Mana kreta na
Sunda, Kasus Kampung Naga yang bwana, mana hayu ikang jagat, kena twah
dilaksanakan pada tahun 2013. ning janma kapahayu (Maka menjadi
sentosa dunia, maka menjadi sejahtera
C. HASIL DAN BAHASAN kehidupan ini, karena perbuatan manusia
Secara geografis, Jawa Barat dibagi yang serba baik) (Danasasmita, dkk.,1987:
menjadi lima wilayah berdasarkan kondisi 90/115). Upaya untuk menjaga kelestarian
geomorfologi, yaitu: (1) Wilayah bagian alam juga tercermin dalam pikukuh
utara Pulau Jawa yang merupakan daerah (petunjuk/nasihatleluhur) masyarakat
dataran rendah luas membentang dari Selat Baduy, yaitu
Sunda sampai Cirebon. Wilayah ini Gunung teumeunang dilebur; lebak teu
dikenal dengan sebutan zone Jakarta; (2) beunang diruksak; larangan teu
Wilayah pegunungan tengah atau zone meunang dirempak; buyut teu meunang
Bogor; (3) Kubah dan Punggungan Bayah; dirobah; lojor teu meunang dipotong;
(4) Wilayah depresi antarmontana atau pondok teu meunang disambung; nu lain
dikenal juga dengan sebutan dataran kudu dilainkeun; nu ulah kudu
Bandung; dan (5) Wilayah pegunungan diulahkeun; nu enya kudu dienyakeun.
selatan Jawa Barat yang membentang (gunung tidak boleh dihancurkan; lembah
sepanjang pantai selatan dari Selat Sunda tidak boleh dirusak; larangan tidak boleh
di Barat sampai Sagara Anakan di timur dilanggar; buyut tidak boleh diubah;
(Bemmelen, 1949: 26). Kondisi geologi Panjang tidak boleh dipotong; pendek
Jawa Barat bagian selatan berupa batuan tidak boleh disambung; yang bukan harus
lepas yang berasal dari endapan dianggap bukan; yang dilarang harus tetap
piroklastika dengan topografi terjal dilarang; yang benar harus dibenarkan)
merupakan dua faktor yang menonjol (Garna, 1993:139).
penyebab tanah longsor. Secara Pada bagian terdahulu sudah
klimatologis, Tatar Sunda beriklim tropika diuraikan bahwa masyarakat tradisional
basah dengan curah hujan tinggi, sehingga Sunda dalam menjalani kehidupannya
jika hujan turun di atas normal, maka selalu berupaya untuk berdampingan
kondisi rawan ini akan berubah menjadi dengan alam. Bagi mereka, alam bukan
kritis dan dapat menimbulkan tanah untuk dieksploitasi namun untuk
longsor. Secara alamiah, faktor penyebab dimanfaatkan sebagaimana mestinya
tanah longsor meliputi morfologi karena hidup bukan di alam namun hidup
permukaan bumi, penggunaan lahan, bersama alam. Hal ini menunjukkan bahwa
litologi, struktur geologi, curah hujan, dan alam mempunyai kedudukan yang sama
kegempaan. Selain faktor alamiah, juga dengan manusia. Bencana yang
disebabkan oleh faktor aktivitas manusia ditimbulkan oleh alam merupakan dampak
yang memengaruhi suatu bentang alam, yang timbul karena manusia telah merusak
seperti kegiatan pertanian, pembebanan keseimbangan di alam.
lereng, pemotongan lereng, dan Lingkungan Tatar Sunda yang
penambangan (Mubekti dan Alhasanah, rawan akan bencana telah mengajarkan
2008: 122). masyarakat penghuninya secara turun
206 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

temurun untuk hidup bersama alam. Alam menyebabkan dimadu oleh perempuan; (8)
lingkungan dimanfaatkan dengan tidak Sumara Dadaya, yaitu lahan dengan
merusak. Pemanfaatan lahan harus sesuai topografi datar. Lahan ini “mungkin” sama
dengan peruntukannya agar tidak tertimpa dengan istilah topografi Sunda Galudra
bencana karena pada dasarnya bencana Ngupuk. Lahan dengan topografi ini
terjadi akibat kesalahan manusia dalam merupakan lahan yang cukup baik bagi
memanfaatkan alam. permukiman karena menyebabkan rama
Berkenaan dengan pemilihan lahan senantiasa datang berkunjung; (9) Luak
yang baik untuk kawasan permukiman, Maturun, yaitu topografi lahan berceruk
para leluhur Sunda sudah memiliki karena di tengah wilayah terdapat lembah
panduannya sehingga bisa terhindar dari merupakan lahan yang kurang baik untuk
bencana. Salah satu naskah kuna yang permukiman karena menjadikan
menguraikan tata cara pemilihan lahan penduduknya memperoleh banyak
baik untuk permukiman, adalah naskah penderitaan; (10) Wilayah Melipat,
Warugan Lemah yang isinya menguraikan termasuk topografi wilayah permukiman
jenis-jenis lahan baik dan buruk untuk yang kurang baik karena menyebabkan
permukiman. Menurut naskah dimaksud, berkurangnya kekayaan; (11) Tunggang
jenis topografi lahan adalah: (1) Telaga Laya, yaitu topografi wilayah permukiman
Hangsa, yaitu topografi lahan condong ke yang menghadap laut merupakan lahan
kiri. Topografi jenis ini tergolong baik kurang baik untuk permukiman karena
karena mendatangkan kasih sayang orang dapat menyebabkan penduduknya mati
lain; (2) Banyu metu, yaitu topografi lahan tersambar petir; (12) Mrega Hideng, yaitu
condong ke belakang. Termasuk topografi lahan bekas kuburan merupakan lahan
ini kurang baik, karena menyebabkan yang kurang baik untuk permukiman
kaneneh, “kesayangan, apa yang karena mengakibatkan wilayahnya kurang
disayangi” tidak akan menjadi; (3) Purba memiliki wibawa; (13) Jagal Bahu, yaitu
Tapa, yaitu topografi lahan condong ke tanah yang menganga (terpisah) sehingga
depan merupakan topografi kurang baik, terdapat celah yang memisahkan wilayah
karena senantiasa kehilangan simpati (rasa permukiman merupakan topografi lahan
suka) orang lain; (4) Ambek Pataka, yaitu yang kurang baik karena mengakibatkan
topografi lahan condong ke kanan. Lahan wilayahnya kurang memiliki wibawa; (14)
dengan topografi ini kurang baik karena Talaga Kahudanan, yaitu wilayah
menyebabkan orang lain menyakiti hati; permukiman membelah sungai merupakan
(5) Tanah yang Ngalingga Manik, dapat lahan yang kurang baik, karena
diartikan sebagai topografi lahan yang penduduknya dapat mati oleh senjata orang
membentuk puncak permata dengan lain dalam peperangan; (15) Wilayah yang
permukiman di puncaknya. Lahan dengan membelakangi bukit atau gunung
topografi ini merupakan lahan yang baik merupakan lahan yang kurang baik untuk
untuk permukiman, karena penduduknya permukiman karena akan merusak
akan diperhatikan dewata; (6) Singha hubungan keluarga; (16) Si Bareubeu,
Purusa, yaitu topografi lahan memotong yaitu lahan yang berada di bawah aliran
bukit (pasir), berada di antara puncak dan sungai (katunjang ku cai) merupakan lahan
kaki bukit. Lahan dengan topografi ini kurang baik untuk permukiman karena
merupakan lahan yang baik karena dapat akan dihukum dewata; (17) Kampung yang
mendatangkan kemenangan ketika perang; dikelilingi oleh rumah, termasuk
(7) Sri Madayung, merupakan lahan yang permukiman yang kurang baik karena
berada di antara dua aliran sungai yaitu penduduknya akan menjadi rakyat jelata;
sungai kecil di sebelah kiri dan sungai (18) Bekas tempat kotor (picarian)
besar di sebelah kanan. Lahan jenis ini dikelilingi oleh rumah merupakan wilayah
termasuk kurang baik, karena permukiman yang kurang baik karena akan
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 207

mendatangkan kesusahan (Gunawan, 2010: berbagai bencana, khususnya bencana


151-152). alam, serta terlindung dari berbagai
Pemilihan lahan juga perlu kejahatan.
dilakukan agar penghuninya memperoleh
kebaikan. Adapun ciri-ciri lahan dimaksud, 1. Pengelolaan lahan oleh masyarakat Sunda
adalah: (1) Apabila bagian lahan di sebelah Pada kalangan masyarakat Sunda
barat lebih tinggi dari sebelah timur, maka Buhun (lama) dikenal asas kesatuan tiga,
lahan dimaksud merupakan lahan yang yaitu Tritangtu. Azas ini mendasari
baik untuk dijadikan pekarangan, karena berbagai aspek perikehidupan masyarakat
dianggap memberi berkah kepada Sunda, baik yang bersifat fisik maupun
penghuninya. Sebaliknya jika lahan di sosial, termasuk berhubungan dengan
bagian sebelah timur yang lebih tinggi, kekuasaan. Berkenaan dengan kekuasaan
maka lahan tersebut jelek untuk dijadikan pada masyarakat tradisional Sunda,
pekarangan, (2) Apabila lahan di sebelah pembagian kekuasaannya yaitu Rama,
selatan lebih tinggi dari pada sebelah utara Resi, dan Ratu. Secara kosmologi, ruang
dipercaya akan banyak memberikan berkah pada masyarakat Sunda dibagi menjadi
dan rezeki. Sebaliknya jika lahan sebelah tiga bagian dunia, yaitu dunia atas (Buana
utara yang lebih tinggi dibanding bagian Nyungcung), dunia bawah (Buana
selatan menandakan lahan yang jelek Larang), dan dunia tengah (Buana Panca
untuk halaman, (3) Lahan yang rata, ada Tengah). Dunia atas bersifat perempuan,
baiknya dan ada jeleknya. Baik mendapat dunia bawah bersifat laki-laki, dan dunia
berkah, jeleknya tidak mendapat apa-apa, tengah bersifat campuran. Pembagian
(4) Apabila lahan miring ke barat, ruang tersebut tampak pada pembagian
warnanya putih, rasanya manis, baunya ruang di bangunan, maupun pembagian
harum, akan memberi makna kepada ruang secara geografis atau kawasan.
penghuninya yaitu tidak akan kekurangan Pembagian ruang bangunan dapat
rezeki, (5) Apabila lahan warnanya merah, dipandang secara horizontal dan vertikal.
rasanya manis, baunya menyengat akan Pembagian ruang horizontal, setiap rumah
memberi kesenangan, sangat dihormati dan secara garis besar dibagi menjadi tiga,
disukai banyak orang, (6) Apabila lahan yaitu bagian depan (tepas), bagian tengah
warnanya hijau, rasanya manis pedas dan (tengah imah), kamar (pangkeng), dan
berbau, akan memberikan keselamatan dapur (pawon). Rumah bagian depan
kepada anak dan harta bendanya, dan (7) (tepas) merupakan daerah kekuasan laki-
Apabila lahan warnanya hitam, baunya laki, bagian tengah dan kamar merupakan
amis, lahan ini jangan dipergunakan untuk tempat bersama laki-laki dan perempuan,
lahan hunian karena akan berdampak jelek serta bagian dapur (pawon dan goah)
kepada penghuninya (Harun dan merupakan kekuasaan perempuan.
Rusnandar, 2011: 21).
Uraian tersebut menunjukkan
bahwa pemilihan lahan yang tepat untuk
permukiman dilakukan oleh para leluhur
masyarakat Sunda dan diwariskan kepada
generasi berikut secara turun temurun
kepada generasi berikut. Tepat memilih
lahan sebagai tempat untuk mendirikan
rumah atau kawasan permukiman dan
bijak dalam mengelola atau memanfaatkan
lingkungan akan memberikan dampak
positif bagi manusia. Manusia akan aman
dan tenteram karena terhindar dari
208 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

Tabel 1: Pembagian Ruang pada Masyarakat


Kampung Naga

Pembagian Ruang
Kosmografi Sunda Kampung Naga
Buana Larang Kawasan Luar
(Dunia Bawah )
Buana Pancatengah Kawasan Permukiman
(Dunia Tengah)
Buana Nyungcung Hutan Keramat
(Dunia Atas)
Sumber: Hasil Penelitian, 2013

Pada penataan ruang secara


kawasan tersirat pada azas Tritangtu, yaitu
tata lampah, tata wayah, dan tata wilayah
(Harun dan Rusnandar, 2011: 19).
Berkenaan dengan tata wilayah, naskah
Gambar 1: Tata Ruang Kampung Naga Sunda kuna Sang Hyang Siksa Kandang
(Sumber: Harun dan Rusnandar, 2011: 90) Karesian menguraikan bahwa terdapat
lahan yang tidak baik atau lahan kotor
Secara vertikal, pembagian ruang yang merupakan tempat raksasa, durgi,
bangunan dibagi menjadi tiga, yaitu durga, kala, dan buta. Lahan tersebut,
kolong, lantai (palupuh), dan para. Lantai adalah: sodong, sarongge, cadas gantung,
rumah merupakan gambaran dunia tengah mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan
(buana panca tengah) tempat hidup badak, catang nunggang, catang
manusia, sehingga semua aktivitas nonggeng, garunggungan, garenggengan,
manusia dilakukan di atas lantai rumah, lemah sahar, dangdang warian, hunyur,
termasuk kegiatan di dapur. Pada lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan,
masyarakat tradisional Sunda, terutama jaryan, kuburan, golongan tanah terbuang
masyarakat Baduy dan masyarakat (Danasasmita,dkk., 1987: 11). Lahan-lahan
Kampung Naga, dapur dibangun di atas tersebut merupakan lahan yang kurang
lantai dengan tungku (hawu) diletakkan di baik untuk dijadikan kawasan permukiman
lantai (palupuh) dapur bukan di permukaan karena merupakan lahan yang akan
tanah. menimbulkan permasalahan atau bencana
Pembagian ruang kawasan pada jika dijadikan permukiman. Jenis lahan
masyarakat Kampung Naga, adalah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai lahan
kawasan luar, kawasan permukiman, dan pertanian jika dilakukan rekayasa atau
kawasan suci atau keramat. Antar kawasan pengelolaan lahan terlebih dahulu.
dibatasi oleh pagar yang disebut pager Pemanfaatan lahan untuk
jaga. kepentingan permukiman dan pertanian
sudah dilakukan oleh masyarakat dari
dahulu dan terus dilakukan hingga saat ini.
Masyarakat tradisional menggunakan
pengetahuan mereka yang diperoleh secara
turun temurun dari para leluhur.
Keseimbangan alam secara tidak langsung
selalu mereka perhatikan dalam mengelola
alam dan lingkungan guna memenuhi
kebutuhan hidup. Berbagai tabu, pamali,
buyut, dan pantang larang lainnya tentang
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 209

pengelolaan alam dan lingkungan dipatuhi Pada masyarakat Baduy Dalam,


masyarakat tanpa perlu mempertanyakan bangunan didirikan dengan menyesuaikan
mengapa. Kondisi ini tetap berkembang kondisi permukaan tanah, sehingga
dan terus dipertahankan oleh masyarakat bangunan akan memiliki kaki/tiang
tradisional Sunda dalam menjalani bangunan yang berbeda tinggi karena
kehidupannya di muka bumi. Alam bagi menyesuaikan dengan kontur lahan. Selain
mereka bukan untuk dieksploitasi, namun itu, penggunaan paku untuk memperkuat
dimanfaatkan dengan tidak merusak. sambungan tidak dibenarkan. Rangka
Pemanfaatan lahan untuk berbagai bangunan diperkuat dengan menggunakan
kepentingan terus meningkat seiring tali, biasanya tali ijuk, atau menggunakan
dengan terus bertambahnya jumlah pasak (lihat gambar 1). Untuk lahan
penduduk. Pemanfaatan lahan yang pertanian pun mereka memperlakukan
bijaksana, yaitu menjaga keseimbangan sama, yaitu tidak mengubah kontur
lingkungan akan menghindarkan manusia permukaan tanah dan melakukan
dari bencana. Masyarakat tradisional pengolahan tanah alakadarnya. Lahan
Sunda dalam memanfaatkan lingkungan bakal huma dibersihkan dari rumput dan
selalu berupaya mengikuti petunjuk tanaman perdu yang mengganggu. Sampah
pemanfaatan lahan yang diwariskan berupa potongan rumput dan tanaman
leluhur. Semua itu dilakukan sebagai perdu dibakar hingga habis dan yang
bentuk penghormatan kepada leluhur. tersisa hanya abu hasil pembakaran.
Berdasarkan caranya, pemanfaatan lahan Tahapan berikutnya, sisa pembakaran
untuk permukiman dan pertanian oleh tersebut kemudian disebar secara merata
masyarakat tradisional Sunda dapat ke seluruh bagian lahan yang akan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) ditanami. Setelah siap, Lahan tersebut
Pemanfaatan dengan tetap kemudian ditanami oleh padi. Pada kondisi
mempertahankan kontur permukaan tanah; ini, rekayasa lahan tidak dilakukan untuk
dan (2) Pemanfaatan dengan mengubah memperoleh permukaan lahan baru yang
kontur permukaan tanah. berbeda dengan sebelumnya.
Pertama, Pemanfaatan dengan
tetap mempertahankan kontur permukaan
tanah merupakan pemanfaatan lahan untuk
kepentingan pertanian dan permukiman
dengan tidak melakukan rekayasa terhadap
lahan dengan topografi miring (terjal).
Pemanfaatan lahan jenis ini masih
dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam
(Baduy Jero), yaitu di kampung Cikeusik,
Cikartawana, dan Cibeo. Mereka masih
memegang teguh buyut (pantang larang)
warisan leluhur yang tergambar dalam
pandangan hidup lojor teu meunang
dipotong; pondok teu meunang disambung
(panjang tidak boleh dipotong, pendek Gambar 1: Penampang rumah Baduy
tidak boleh disambung). Hal ini Dalam. Lahan untuk rumah di Baduy
menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan Dalam tidak diratakan, namun tiang/kaki
alam dan lingkungan tidak boleh ada rumah yang disesuaikan tinggi rendahnya
(Digambar: Iwan Hermawan, 2015).
perubahan, karena perubahan walau sedikit
akan menimbulkan kerusakan pada alam Kedua, Pemanfaatan lahan dengan
dan lingkungan. cara merekayasa kontur lahan sebelum
dimanfaatkan. Rekayasa kontur lahan
210 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

dilakukan guna memperoleh lahan datar puncak bukit tetap dipertahankan


untuk kawasan permukiman atau keberadaannya dan dijadikan sebagai hutan
pertanian. Untuk memperoleh lahan datar, larangan yang dikeramatkan atau leuweung
maka lahan dengan kontur miring atau kolot (hutan tua). Kondisi serupa juga
terjal dipangkas dan diurug, sehingga akan terjadi pada masyarakat Kampung Naga.
menghasilkan lahan datar yang bertingkat Pada puncak bukit dimana permukiman
dengan dinding curam. Untuk masyarakat Kampung Naga berada,
memperkuatnya, terutama untuk merupakan hutan keramat (leuweung
kepentingan permukiman, dinding tanah karamat) Kampung Naga. Hutan tersebut
diperkuat dengan susunan batu. Akibat merupakan hutan yang dikeramatkan
lahan permukiman yang dihasilkan karena di dalam hutan tersebut (di puncak
berteras maka bangunan yang didirikan bukit) dimakamkan leluhur Kampung
akan memiliki perbedaan permukaan lahan Naga, yaitu Embah Dalem Eyang
sebagai, biasanya semakin tinggi posisi Singaparana.
bangunan, jumlah bangunan yang bisa Untuk memperkuat dinding
didirikan semakin sedikit karena lahan sengkedan, dipergunakan batu yang
datar yang dihasilkan memiliki lebar yang berasal dari lingkungan sekitar
sempit. sebaliknya pada lembah yang permukiman. Pada sebagian
landai, banyak bangunan yang dapat perkampungan masyarakat Sunda, batu
didirikan, karena lahan datar yang untuk memperkuat dinding tersebut
dihasilkan lebih luas. diambil dari sungai yang mengalir di
Pada bidang pertanian, lahan daerah tersebut. Batu-batu tersebut disusun
pesawahan di daerah pegunungan/ hingga mampu menahan dinding
perbukitan merupakan contoh dari sengkedan dari longsor. Pada punden
rekayasa lahan untuk pertanian. Setiap berundak Gunung Padang, batu yang
petak sawah memiliki lebar yang tidak dipergunakan untuk membangun punden
sama antara di bagian landai dan di tersebut adalah balok-balok batu yang
bangian puncak. Semakin puncak lebar disusun sedemikian rupa sehingga
sawah semakin sempit. Sisi panjang lahan membentuk dinding. Pada proses
sawah mengikuti bentuk kontur lahan penyusunannya tidak dipergunakan semen
tersebut. Sawah bertingkat banyak sebagai pengikat atau penguat. Batu-batu
dijumpai di daerah perbukitan Jawa Barat. tersebut disusun sedemikian rupa sehingga
Akibat kemiringan lahan yang saling mengikat antara satu dengan yang
ekstrim seringkali lahan datar tempat lainnya. Kondisi tersebut menjadikan
bangunan berdiri atau lahan pertanian aliran air bawah permukaan tetap masih
mempunyai lebar sempit dan dinding yang bisa mengalir di antara celah batu, tidak
terjal dan tinggi. Semakin terjal terhalang dan menumpuk sehingga
kemiringan lereng, semakin sempit lahan memberi kekuatan yang tinggi pada
datar yang dihasilkan dan semakin tinggi dinding. Permukiman masyarakat Baduy
dindingnya. Luar (Baduy Panamping), dan
Pada permukiman masyarakat permukiman masyarakat Kampung Naga
tradisional Sunda, tidak semua bagian merupakan contoh bagaimana masyarakat
bukit direkayasa untuk dijadikan sebagai tradisional Sunda melakukan rekayasa
lahan permukiman dan pertanian. Pada terhadap lahan miring dengan tidak
ketinggian tertentu sebelum puncak lahan merusak lingkungan. (lihat gambar2).
miring tersebut akan dibiarkan dan
dimanfaatkan sebagai kebun. Pada bagian
puncak, biasanya tetap dipertahankan
sebagai hutan dan dikeramatkan, seperti di
kawasan masyarakat Baduy, hutan di
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 211

masa Kerajaan Sunda. Hal ini sesuai


dengan isi prasasti Batutulis, yang
berbunyi “....Beliaulah (Raja) yang
membuat tanda peringatan berupa
gugunungan (bukit), ngabalai
(memperkeras jalan dengan susunan batu),
membuat hutan Samida, membuat
Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya”
(Danasasmita, 2003: 136). Selain itu,
naskah Pantun Bogor mengungkapkan
adanya bale pamujan (Balai Pemujaan)
yang digambarkan berupa punden
berundak dengan teras-terasnya yang
diperkeras oleh tatanan batu dan tanah
Gambar 2: Rumah Kampung Naga berdiri (Munandar, 2008 dikutip Widyastuti,
pada lahan yang datar dengan susunan 2013: 126).
batu sebagai penguat dinding teras Seperti sudah diuraikan di atas,
(Digambar oleh: Iwan Hermawan, 2015). masyarakat tradisional di tatar Sunda
masih memanfaatkan bongkahan atau
2. Susunan Batu sebagai penguat lahan butiran batu yang disusun sedemikian rupa
Rekayasa lahan untuk berbagai untuk memperkuat dinding teras yang
kepentingan dengan menggunakan media sengaja dibuat untuk kepentingan
batu sebagai penguat lahan sudah permukiman dan pertanian. Masyarakat
dilakukan sejak dahulu oleh para leluhur Kampung Naga dan masyarakat Baduy
masyarakat Sunda. Berbagai tinggalan Panamping merupakan kelompok
arkeologi menunjukkan bagaimana proses masyarakat Sunda yang kawasan
adaptasi terhadap lingkungan dilakukan permukimannya berada di daerah
para leluhur. Mereka membangun kawasan perbukitan dengan batuan pembentuknya
permukiman dan membangun tempat- adalah batuan piroklastik gunung api.
tempat pemujaan di puncak-puncak tinggi Kondisi geologi demikian menjadikan
dengan memanfaatkan susunan batu kawasan tersebut mudah tergerus ketika
sebagai penguatnya. Hal ini menunjukkan hujan turun.
bagaimana para leluhur dengan Untuk memenuhi kebutuhan akan
pengetahuan dan keterampilannya lahan permukiman, leluhur Kampung Naga
menyesuaikan diri dengan lingkungan di melakukan rekayasa lahan dengan cara
mana mereka hidup. Gunung Padang di membuat sengkedan dengan dinding
Desa Karyamukti Kecamatan Campaka diperkuat tumpukan batu.
Kabuapaten Cianjur Provinsi Jawa Barat Untuk menghindarkan diri dari
merupakan salah satu bukti bagaimana bahaya longsor yang mengancam serta
masyarakat pendukung budaya Megalitik tingginya erosi akibat kemiringan lereng
melakukan adaptasi dengan lingkungan yang curam serta curah hujan yang tinggi,
sekitar. Mereka menyusun dan menata leluhur masyarakat Kampung Naga
balok-balok batu di setiap bentuk membuat sengkedan (trap). Lahan hasil
bangunan hingga membentuk punden sengkedan tersebut kemudian diperkuat
berundak Gunung Padang (Yondri, 2013: dengan batu-batu kali yang diambil dari
164-165). Susunan batu tersebut berfungsi sungai Ci Wulan. Tinggi antar teras
sebagai penahan teras dan bangunan yang berkisar 0,5 meter sampai 6 meter. Untuk
berdiri di atasnya agar tidak longsor. menghubungkan teras yang lebih rendah
Penggunaan susunan batu untuk dengan yang lebih tinggi dibuat tangga
memperkuat lahan juga dilakukan pada (Undakan) di pinggir lahan. Tangga
212 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

tersebut dibentuk dari susunan batu yang yang ukurannya relatif sama. Butiran batu
menahan teras-teras lahan tersebut disusun di atas permukaan tanah
permukiman.Lahan Permukiman Kampung atau lantai hingga menjadi rata. Karena
Naga yang bertingkat tersebut menjadikan tidak menggunakan semen sebagai perekat
kawasan Kampung Naga sebagai kawasan antar batu, maka air masih bisa mengalir
yang sehat karena setiap rumah ke dalam tanah melalui celah-celah
memperoleh pencahayaan sinar matahari susunan batu-batu tersebut.
pagi yang baik. Selain itu, permukiman
Kampung Naga yang bertingkat 3. Memanfaatkan dengan tanpa
menjadikannya Kampung Naga tampak merusak
artistik. Kebutuhan akan lahan
Tidak berbeda dengan masyarakat permukiman dan pertanian telah
Kampung Naga, masyarakat Baduy mendorong masyarakat Sunda untuk
Panamping juga melakukan rekayasa lahan melakukan rekayasa atas lahan dimaksud.
untuk memenuhi kebutuhan mereka akan Rekayasa tersebut dilakukan dengan
lahan permukiman. Lahan miring kawasan sedikit mungkin mengakibatkan ketidak-
permukiman mereka direkayasa hingga seimbangan alam. Umpak batu merupakan
menghasilkan lahan datar bertangga- salah satu bentuk rekayasa alam dengan
tangga untuk permukiman. Sebagai tidak merusak, karena daur hidrologi
penguat, dipergunakan susunan batu kali bawah permukaan tanah tidak terganggu,
pada dinding teras tersebut. Susunan batu air masih bisa mengalir di antara sela-sela
tersebut tidak diperkuat dengan semen batuan di dinding teras atau punden.
karena dilarang secara adat (buyut). Lahan miring yang direkayasa
menjadi teras-teras bertingkat dilakukan
agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan
untuk permukiman dan pertanian. Proses
tersebut dilakukan dengan mengubah lahan
miring menjadi datar dalam bentuk teras
bertingkat atau sengkedan atau terasering.
Agar tidak terjadi longsor, dinding teras
diperkuat dengan batu kali yang disusun
sedemikian rupa sehingga mampu
menahan bidang tanah di atasnya hingga
tidak menimbulkan longsor. Susunan batu
tersebut tidak diperkuat dengan tembok/cor
yang dapat merekatkan satu batu dengan
batu lainnya. Kondisi ini menjadikan
terdapat ruang antar butiran batu sehingga
air dapat tetap menerobos dan keluar di
dinding teras. Kenyataan ini akan berbeda
Gambar 3: Susunan batu di jika batu-batu tersebut direkatkan dengan
Kampung Naga (Dokumentasi adukan semen dan pasir, karena tatanan air
Iwan Hermawan, 2011) bawah permukaan akan terganggu. Air
akan bertumpuk di bawah tanah dan
Pemanfaatan batu dalam rekayasa menekan dinding (turap) tebing. Jika
permukaan tanah juga dilakukan agar tekanan itu makin besar akibat air yang
halaman atau jalan tidak becek ketika turun terkandung dalam tanah serta tidak adanya
hujan, kegiatan ini disebut Ngabalai. celah antar batu maka dinding penahan
Biasanya batu yang dipergunakan untuk tebing dapat bobol dan menimbulkan
ngabalai adalah bongkah atau butir batu bencana bagi manusia.
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 213

Rekayasa lingkungan yang membangkang atas ajaran leluhur maka


dilakukan oleh masyarakat tradisional akan mendapat sanksi atau hukuman.
Sunda dilakukan dengan tidak merusak. Kondisi alam tatar Sunda yang
Lahan yang dialihfungsikan menjadi memiliki topografi terjal dengan curah
kawasan permukiman, luasnya seimbang hujan yang tinggi serta batuan
dengan luas lahan yang dibiarkan tetap pembentuknya merupakan material
sebagai hutan. Upaya melakukan rekayasa vulkanik merupakan kondisi lingkungan
pada lingkungan dilakukan dengan tanpa yang tidak ideal bagi permukiman, karena
merusak. Mereka menjaga keseimbangan rawan bencana, terutama longsor. Hal
alam dengan cara menjaga keseimbangan inilah yang mendorong para leluhur
antara lahan terbangun dengan luas lahan masyarakat Sunda untuk berupaya hidup
yang tetap dibiarkan sebagai hutan. dengan menyesuaikan diri terhadap kondisi
Masyarakat Kampung Naga yang tinggal lingkungan. Pembuatan teras atau trap
di kawasan perbukitan Jawa Barat bagian pada lahan miring yang diperkuat dengan
tengah, mempertahankan luas susunan batu (umpak batu) guna
perkampungan mereka dengan tidak memperoleh lahan datar untuk
melakukan ekspansi ke hutan yang berada permukiman dan pertanian merupakan
di atasnya. bentuk penyesuaian yang tidak merusak.
Pengetahuan dan keterampilan Pemilihan batu kali sebagai bahan untuk
dalam mengelola alam tersebut diperoleh memperkuat trap atau teras karena bahan
karena adaptasi masyarakat terhadap yang disediakan oleh alam adalah batu.
lingkungan di mana mereka hidup. Rekayasa bentang lahan yang
Pengetahuan dan keterampilan hidup dilakukan oleh masyarakat Sunda terhadap
tersebut kemudian diturunkan dari generasi lahan miring untuk permukiman dan
ke generasi melalui berbagai ajaran adat pertanian dengan cara membuat terasering
berupa buyut, pamali atau pantang larang. yang diperkuat oleh susunan batu atau
Kelangsungan ajaran leluhur dalam umpak batu menunjukkan bentuk
mengelola alam tersebut bisa tetap hidup di penyesuaian manusia dengan alam. Hal ini
tengah masyarakat, karena mereka masih sesuai dengan teori Posibilisme yang
menjayakan dan mematuhi setiap ajaran dikemukakan oleh Vidal de la Blace,
leluhur. Semua itu dilakukan sebagai bahwa alam telah menyediakan potensinya
bentuk bakti dan penghormatan kepada dan manusia menentukan pilihan untuk
leluhur. Berbagai pertanyaan berkenaan memanfaatkannya. Berkenaan dengan
dengan kehidupan mereka dan pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam, leluhur
oleh lingkungan akan selalu dijawab masyarakat Sunda memberi amanat agar
“kedah kieu saur karuhun ge, sieun matak pengelolaan alam harus dilakukan secara
lamun tambelar” (harus begini kata bijak agar alam dan kekayaan di dalamnya
leluhur juga, takut ada bencana kalau masih dapat dinikmati anak cucu di kelak
melanggar) atau masyarakat Baduy akan kemudian hari.
menjawab “ceuk karuhun kudu kitu, teu Agar lahan yang permukiman atau
wasa kami kudu ngarempag buyut” (kata pertanian tidak hancur akibat ketidak-
leluhur juga harus begitu, saya tidak punya seimbangan alam, maka perubahan atau
kuasa untuk melanggar aturan leluhur). Hal rekayasa tersebut dilakukan secara
ini menunjukkan akan kuatnya bijaksana. Hanya sebagian kecil lahan
kepercayaan masyarakat pada leluhurnya. yang diubah konturnya untuk kepentingan
Mereka percaya bahwa apa yang diajarkan hajat hidup penghuninya, sebagian besar
oleh leluhurnya merupakan ajaran baik lahan dibiarkan tetap sebagai hutan dan
yang jika dilaksanakan akan membawa ke dijaga kelestariannya. Masyarakat
kehidupan lebih baik dan jika Kampung Naga membagi lahan adat
mereka menjadi tiga, yaitu kawasan hutan,
214 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

kawasan permukiman, dan kawasan luar. Secara ekologis penggunaan


Kawasan hutan dimaksud adalah hutan umpak batu untuk memperkuat dinding
keramat (leuweung karamat) dan hutan terasering merupakan hal yang tepat
lindung (leuweung tutupan atau leuweung karena tata air bawah permukaan. Air
biuk). Pada kawasan ini masyarakat masih tetap mengalir ke luar dari sela-sela
Kampung Naga tidak boleh memanfaatkan susunan batu. Kondisi ini tidak akan terjadi
hasil hutan terutama kayu, walau hanya jika terasering tersebut dindingnya
kayu bakar. Larangan tersebut hingga saat diperkuat oleh semen atau beton karena
ini masih dipatuhi oleh masyarakat mengganggu tata air bawah tanah karena
Kampung Naga dan tidak ada seorang pun air tidak bisa ke luar dengan bebas dari
yang berani melanggarnya karena takut sela susunan batu.
akan sanksi leluhur atau kualat. Demikian Pengetahuan pengelolaan dan
pula pada masyarakat trandisional Sunda pemanfaatan alam secara bijaksana
lainnya, pada masyarakat Baduy mereka (memanfaatkan dengan tidak merusak)
mempertahankan hutan-hutan yang ada di yang diwariskan oleh para leluhur
puncak bukit (leuweung kolot) agar tidak merupakan pengetahuan yang tetap perlu
diubah fungsinya menjadi kawasan dipertahankan dan terus diwariskan kepada
perladangan. Pada masyarakat kampung generasi muda melalui proses pendidikan,
juga demikian mereka memiliki hutan baik di sekolah, rumah, maupun
besar (leuweung gede) yang merupakan lingkungan. Pengenalan kepada generasi
hutan lindung sekaligus hutan keramat berikut perlu dilakukan melalui proses
yang tidak boleh dimanfaatkan hasilnya. penafsiran baru dari berbagai pamali,
Uraian tersebut menunjukkan, buyut, tabu atau pantang larang yang
keberadaan hutan bagi lingkungan berkembang di tengah masyarakat
masyarakat tradisional Sunda sangat tradisional. Jawaban mengapa pamali,
penting bagi kondisi ekologi setempat, tabu, buyut, tabu atau pantang larang tidak
karena keberadaan hutan merupakan mata berhenti karena takut kutukan namun
rantai lingkungan yang berperan terhadap sampai kepada jawaban yang ilmiah dan
iklim mikro sekaligus sebagai sumber dapat diterima secara Ilmu Pengetahuan.
kehidupan karena beraneka-ragamnya jenis
tumbuhan dn hewan hidup di hutan
tersebut. Jika mata rantai ini terputus, DAFTAR SUMBER
maka bencana mengancam sebagai akibat 1. Jurnal, Makalah, Bunga Rampai
tidak seimbangnya alam lingkungan.
Garna, Judhistira. 1993.
“Masyarakat Baduy di Banten.”dalam
D. PENUTUP
Koentjaraningrat (Editor). Masyarakat
Jawa Barat, terutama bagian Terasing di Indonesia. Jakarta:
tengah dan selatan merupakan daerah Gramedia. 120-152
dengan kondisi lingkungan yang ekstrim,
yaitu topografinya curam, batuan induk Gunawan, Aditia. 2010.
pembentuknya merupakan batuan “Warugan Lemah : Pola Pemukiman
piroklastik, dan curah hujan tinggi. Sunda Kuna” dalam Perubahan
Kondisi lingkungan tersebut telah Pandangan Aristokrat Sunda (Seri
mendidik masyarakatnya untuk hidup Sundalana). Bandung: Pusat Studi
Sunda.
berdampingan dengan alam. Bentuk
penyesuaian hidup terhadap alam salah Hermawan, Iwan.2013.
satunya dilakukan dengan pembuatan Ruang Pada Masyarakat Sunda, Kasus
teras-teras yang dindingnya diperkuat oleh Kampung Naga. Laporan Penelitian
susunan batu atau umpak batu. Individual. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Penerbitan, Lembaga Penelitian dan
Sengkedan: Bentuk Rekayasa Lingkungan..... (Iwan Hermawan) 215

Pengabdian kepada Masyarakat UIN Sosiologi Pendidikan : Isyu dan


Syarif Hidayatullah. Hipotesis tentang Hubungan
Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta
Hermawan, Iwan. “Pola Tata Ruang : PPLPTK Dirjen Dikti, Depdikbud.
Permukiman Tradisional Sunda: Studi
terhadap Permukiman Masyarakat Bemmelen, RW van. 1949.
Kampung Naga”. dalam Supratikno The Geology of Indonesia. The Hague:
Rahardjo (Editor). Arkeologi: Pola Matinus Nijhoff.
Permukiman dan Lingkungan Hidup.
Bandung: Alqaprint, 2011. Danasasmita, Saleh., Ayatrohaedi, Tien
Wartini, dan Undang A. Darsa. 1987.
Ismudiyanto. “Kosmologi Perilaku Meruang di Sewaka Dharma, Sanghyang Siksa
Kampung Naga, Telaah Singkat Pola Kandang Karesian, Amanat
Ruang Konsentris Kampung Naga di Galunggung: Transkripsi dan
Desa Neglasari Kecamatan Salawu Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek
Kabupaten Tasikmalaya ” dalam Media Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Teknik. No 2 Tahun IX April – Juni Sunda (SUNDANOLOGI), Dirjen
1987. Kebudayaan, Departemen P dan K.

Mubekti dan Fauziah Alhasanah. “Mitigasi Danasasmita, Saleh. 2003.


Daerah Rawan Tanah Longsor Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran
Menggunakan Teknik Pemodelan jeung Prabu Siliwangi. Bandung :
Sistem Informasi Geografis: Studi Kiblat Buku Utama, 2003.
Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan”. dalam Jurnal Ekadjati, Edi S. 1984.
Teknik Lingkungan Vol. 9 (2), 2008. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan
Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
Purwasasmita, Mubyar. “Membangun Jawa
Barat berdasarkan Pendekatan Goetz, JP., dan MD Lecomte. 1984.
Pelestarian Lingkungan.” Makalah Ethnolography and Qualitative Design
Pelatihan Gentra Bogor. 17-11-2005. in Educatiobal Research. New York:
Academic Press.
Sobirin. 2007.
“Tragedi Kawasan Lindung dan Harun, Ismet B., dan Nandang Rusnandar
Hilangnya Hak Azasi Alam.” dalam (Penyunting). 2011.
Menyelamatkan Alam Sunda dan Kajian Arsitektur Rumah dan Permukiman
Lainnya Mengenai Budaya Sunda (Seri Tradisional di Jawa Barat, Hasil
Sundalana 6). Bandung : Pusat Studi Pengamatan dan Dokumentasi.
Sunda. Bandung: Dinas Pariwisata dan
Kebudayan Provinsi Jawa Barat.
Widyastuti, Endang. “Permukiman Klasik di
Jawa Bagian Barat (Studi Kasus: Situs Hermawan, Iwan. 2009.
Kampung Muara, Kabupaten Bogor, Geografi: Sebuah Pengantar. Bandung:
Jawa Barat).” dalam Prosiding Seminar Private Publishing.
Nasional Dalam Rangka 100 Tahun
Purbakala. Bandung, 26-28 Agustus Lincoln, Yvonna S., and Guba, Egon G. 1985.
2013: Balai Arkeologi Bandung. Naturalistik Inquiry, London : SAGE
Publications
Yondri, Lutfi. “Konstruksi dan Pola Susun
Balok Batu Punden Berundak Gunung Permana, R. Cecep Eka. 2006.
Padang – Cianjur.” dalam Purbawidya Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta:
Vol 2 (2) 2013. Wedatama Widya Sastra.

2. Buku Rosidi, Ajip. dkk. 2000.


Adiwikarta, Sudardja. 1988.
216 Patanjala Vol. 7 No. 2 Juni 2015: 201 - 216

Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka


Jaya.

Spreadley, James P. 2006.


Metode Etnografi (Penterjemah
Elizabeth MZ dari The Ethnographic
Interview, Ed.II). Yogyakarta: Tiara
Wacana.

Anda mungkin juga menyukai