Anda di halaman 1dari 16

ISTIQĀMAH DAN KESEMPURNAAN BERAGAMA

MAKALAH
Disusun dalam rangka memenuhi tugas matakuliah
Hadis Tematik yang diampu oleh
Dr. Zuhad, M.A

Oleh:
AMIN KHOIRUL ABIDIN NIM. 1500018005
ASNA ISTIFADA NIM. 1500018006

MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I. PENDAHULUAN

Agama diturunkan oleh Allah sebagai seperangkat petunjuk untuk semua


insan agar dapat menjalani kehidupannya di dunia dan untuk bekal hidup di
akhirat kelak. Kesempurnaan beragama kiranya adalah hal yang didambakan
oleh setiap insan beragama. Oleh karena kesempurnaan itu menandakan bahwa
ia telah menjalani hidup dengan benar sesuai dengan petunjuk Ilahi. Namun
demikian, kesempurnaan bukanlah hal yang mudah untuk diraih. Untuk dapat
meraih kesempurnaan yang diinginkan, penting untuk mengetahui apa indikator
kesempurnaan beragama itu? Dalam proses menuju kesempurnaan beragama,
indikator utama dan satu-satunya adalah Rasulullah Saw sebagai manusia yang
sempurna dalam menjalankan agama.
Rasulullah Saw merupakan pribadi yang istiqāmah dalam melaksanakan
ajaran agama, hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan kepada beliau “Maka
istiqamah-lah sebagaimana telah diperintahkan kepadamu …” (QS. Hud, [11]:
112). Ayat ini sejatinya tidak hanya diperuntukkan bagi Nabi Muhammad Saw
seorang, melainkan bagi seluruh umat manusia. Dalam sebuah hadis Nabi Saw
bersabda, “Katakanlah! Aku beriman kepada Allah, kemudian konsistenlah.”
Istiqāmah seringkali dipahami sebagai konsistensi. Konsistensi sendiri
berarti suatu usaha untuk melakukan sesuatu secara terus menerus hingga
sampai pada tujuan akhir. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa
istiqamah artinya melaksanakan sesuatu secara bersinambung. Namun, apakah
kontinuitas ini sudah mewakili makna istiqamah yang dimaksudkan oleh Allah
dan Nabi Muhammad?
Dari sini, penting kiranya untuk mengetahui apa itu istiqamah?
Bagaimana istiqamah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah? Bagaimana
istiqamah mengantarkan hamba pada kesempurnaan beragama?
Melalui metode tematik, dalam makalah ini penulis mencoba membahas
mengenai makna istiqamah, perintah istiqamah dalam hadis dan korelasinya
dengan kesempurnaan beragama.

1
II. PEMBAHASAN
A. Makna Istiqāmah
Istiqāmah secara harfiah berarti tegak, lurus, dan tetap. Kata istiqāmah
memiliki kata dasar yang sama dengan qāma (‫ام‬77‫ ;)ق‬berarti tegak lurus dan
iqāmah (‫ )إقامة‬tanda dimulainya (penegakan) dalam shalat jama’ah. Karena itu
istiqāmah dapat diartikan dengan teguh hati, taat atau konsisten. Secara bahasa,
istiqāmah diterjemahkan menjadi kejujuran,1 straightness (kelurusan), sincerity
(keikhlasan), rectitude (ketulusan), integrity (keutuhan), probity (ketulusan
hati), honesty (kejujuran), rightness (kebenaran), soundness (kekukuhan),
correctness (kebenaran).2

Menurut syari’at, istiqâmah adalah meniti jalan lurus yaitu agama yang
lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. Istiqâmah mencakup
melakukan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dan
meninggalkan seluruh yang dilarang.3 Istiqāmah adalah keadaan atau upaya
seseorang untuk teguh mengikuti jalan lurus (agama Islam) yang telah ditunjuk
Allah.4

Syekh Musnid al-Qahthany menjelaskan bahwa istiqāmah adalah


berpegang teguh pada ajaran Islam, baik dalam hal aqidah, amal serta perilaku.
Huruf sin dan ta yang terdapat pada kata ini menunjukkan makna kesungguhan, 5
penguatan dalam kelurusan dan ketidakmenyimpangan dari jalan penghambaan
kepada Allah. Menurutnya, istilah ini kini lebih popular dengan iltizam, yakni
konsistensi terhadap sesuatu yang kontinuitas di atasnya.6 Muhbib Abdul Wahab
dalam bukunya Selalu Ada Jawaban menuliskan bahwa istiqamah yaitu belajar

1
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Bukubuku Ilmiah Keagamaan PP. al-Munawwir, 1984, h. 1263.
2
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, Beirut: Librairie du Liban,
cet. III, 1960, h. 801.
3
Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam
4
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. IV,
1997, h. 281
5
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ān,
Ciputat: Lentera Hati, 2002, vol. XII, h. 410.
6
Syekh Musnid al-Qahthany, Meniti Jalan Istiqomah: Panduan Meraih Keutamaan-
keutamaannya dan Menepis Kendala-kendalanya, Mirqat Publishig, 2008, h. 1.

2
sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah serta menjaga kualitas ibadah,
pantang menurun atau melemah.7

Dalam al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata istiqāmah


adalah bentuk infinitive noun dari istaqāma. Akar kata ini adalah qāma yang
bermakna lurus atau tidak mencong. Secara bahasa, istiqāmah berarti
“pelaksanaan sesuatu secara baik dan benar serta bersinambung”. Kemudian
kata ini dipahami dalam arti “konsisten dan setia melaksanakan sesuatu sebaik
mungkin”.8 Penjelasan ini menunjukkan bahwa istiqāmah tidak sekedar
melaksanakan sesuatu (perintah agama) secara berkelanjutan atau kontinyu
namun juga mesti dilaksanakan secara sempurna, sesuai dengan segenap
ketentuan serta tuntunan yang diberikan.
Istiqāmah adalah salah satu perintah agama Islam, hal ini sebagaimana
dapat dijumpai dalam Al-Qur’ān terdapat sembilan ayat yang berbicara tentang
istiqāmah, yaitu: QS. Al-Taubah, [9]: 7, QS. Yunus, [10]: 89, QS. Hūd, [11]:
112, QS. Fushshilat [41]: 6 dan 30, QS. Al-Ahqaf, [46]: 13, QS. Al-Syura, [42]:
15, QS.al-Jin, [72]: 16, QS. Al-Takwir, [81]: 28. Al-Qur’ān menyebutkan
istiqāmah tidak dalam bentuk masdar, melainkan kata kerja serta kata perintah
sebanyak 10 kali dan kata sifat.9 Istiqāmah dalam bentuk perintah misalnya yang
terdapat pada QS. Hud, [11]: 112,

ِ ‫ِ مِب‬ ِ ِ َ‫ف‬
ٌ‫ك َواَل تَطْغَ ْوا إنَّهُ َا َت ْع َملُو َن بَصري‬
َ ‫اب َم َع‬
َ َ‫ت َو َم ْن ت‬
َ ‫استَق ْم َك َما أُم ْر‬
ْ
“Maka konsistenlah sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga)
orang yang telah taubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia menyangkut apa yang kamu lakukan Maha Melihat.”
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini berisi perintah kepada Nabi
Muhammad Saw agar konsisten dalam melaksanakan serta menegakkan segala
tuntunan wahyu Ilahi –yang mencakup seluruh persoalan agama dan kehidupan
dunia serta akhirat– dengan sebaik mungkin sehingga dapat terlaksana secara
sempurna sebagaimana mestinya.10
7
Muhbib Abdul Wahab, Selalu Ada Jawaban, Jakarta: Qultum Media, 2013, h. 145.
8
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’ān,
Jakarta: Lentera Hati, vol. XIII, cet. V, 2006, h. 85.
9
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 281
10
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’ān,
Jakarta: Lentera Hati, 2002, vol. VI, h. 348.

3
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa istiqāmah adalah suatu
keadaan atau upaya seorang muslim untuk melaksanakan perintah agama yang
dilakukan secara sempurna dan bersinambung atau terus menerus. Perintah atau
ajaran agama itu sendiri meliputi bidang aqidah, syariah/amal, dan
akhlaq/perilaku,
Mahmud Syaltut dalam al-Islam Aqidah wa Syari’ah, sebagaimana yang
dikutip oleh Quraish Shihab menjelaskan bahwa ajaran Islam terbagi menjadi
dua unsur utama: aqidah dan syariat, dengan tidak menyertakan akhlaq; ini
disebabkan oleh karena akhlaq tidak seharusnya dipisahkan dari aqidah dan
syariah; keduanya mestilah menyatu dan tidak dipisahkan dari akhlaq.11
Aqidah yaitu keimanan kepada Allah (rukun iman). Syariah adalah
peraturan yang ditetapkan Allah kepada manusia; baik itu dalam bentuk ibadah
mahdah maupun ghairu mahdah (rukun Islam). Yang disebut ibadah mahdah
adalah interaksi murni antara hamba dengan Allah, shalat misalnya, sedangkan
interaksi antara seorang hamba dengan sesamanya termasuk kategori mualamah
(ibadah ghair mahdah).12
Akhlaq ialah ajaran-ajaran yang menyangkut nilai moralitas, baik itu
berupa hubungan hamba dengan Allah, ataupun antara sesama manusia. Akhlak
yang berasal dari bahasa Arab ‫ اخالق‬yang merupakan bentuk jamak dari ‫ خلق‬yang
asalnya berarti ukuran, latihan dan kebiasaan. Dari dua makna terakhir, lahir
sesuatu, baik positif atau negatif. Akhlaq dalam pengertian budi pekerti atau
sifat yang mantap dalam diri seseorang atau kondisi kejiwaan baru dapat dicapai
setelah melalui latihan yang berulang dan pembiasaan diri untuk
melakukannya.13 Akhlak adalah sikap dan tingkah laku yang dibangun melalui
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama, sehingga ia
melekat dalam diri pemiliknya serta membentuk kepribadiannya.14
Aqidah, syariah dan akhlaq terjalin menjadi satu dan tidak bisa
dipisahkan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang merupakan turunan dari
konsep hubungan vertical/hablum minallah dan hubungan horizontal/hablum
11
Muhammad Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, Ciputat: Lentera Hati, 2016, h.
110; Muchlis M. Hanafi (ed), Spiritualitas dan Akhlak: Tafsir Al-Qur’ān Tematik, Jakarta: Lajnah
Pentashhih Mushaf Al-Quran, 2012, h.14
12
Muchlis M. Hanafi (ed), Spiritualitas dan Akhlak, h. 14.
13
Muhammad Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita, h. 3-4
14
Muchlis M. Hanafi (ed), Spiritualitas dan Akhlak, h. 32.

4
minannas. Keduanya, hendaklah dijaga dan dilaksanakan dengan serempak dan
seimbang, tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya atau diutamakan
salah satu di antaranya.15 Dengan demikian, istiqāmah, yaitu pelaksanaan
perintah agama secara sempurna dan bersinambung yang dijalankan seorang
muslim pada akhirnya akan mengantarkannya pada kesempurnaan beragama.
Perintah untuk istiqāmah tidak hanya disebutkan dalam Al-Qur’ān,
namun juga dalam hadis. Berikut adalah uraian hadis-hadis tentang istiqāmah.

B. Hadis-hadis tentang Istiqāmah


1. Istiqāmah dalam Aqidah

ُ ‫ َوإِ ْس َح‬،‫يد‬
‫اق بْ ُن‬ ٍ ِ‫ ح وح َّدثَنا ُقتيبةُ بن سع‬، ٍ َ‫ ح َّدثَنا ابن مُن‬: ‫ب قَااَل‬ ٍ ْ‫ وأَبُو ُكري‬،َ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْن أَيِب َشْيبَة‬
َ ُ ْ َْ َ َ َ ‫َ َ ْ ُ رْي‬ َ َ ُ 
ِ
‫ َع ْن‬،‫ ُكلُّ ُه ْم َع ْن ه َش ِام بْ ِن ُع ْر َو َة‬،َ‫ُس َامة‬ ٍ ْ‫وح َّد َثنَا أَبُو ُك ري‬ ِ ‫إِب ر ِاه‬
َ ‫ َح َّد َثنَا أَبُو أ‬،‫ب‬ َ َ ‫ ح‬،‫ مَج ًيع ا َع ْن َج ِري ٍر‬،‫يم‬ َ َْ
ِ َ ‫ ي ا رس‬:‫ ُق ْلت‬:‫ قَ َال‬،‫الث َقفي‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫ قُ ْل يِل يِف اإْلِ ْس اَل ِم َق ْواًل اَل أ‬،‫ول اهلل‬
ُ‫َس أ َُل َعْن ه‬ َُ َ ُ ِّ َّ ‫ َع ْن ُس ْفيَا َن بْ ِن َعْب د اهلل‬،‫أَبِي ه‬
16
" ‫استَ ِق ْم‬ ِ
ْ َ‫ ف‬،‫ت بِاهلل‬ ُ ‫ َآمْن‬:‫ " قُ ْل‬:‫ قَ َال‬- ‫ُس َامةَ َغْيَر َك‬
ِ ِ
َ ‫ َويِف َحديث أَيِب أ‬- ‫َح ًدا َب ْع َد َك‬ َ‫أ‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr ibn Abi Syaibah dan Abu Kuraib,
mereka berkata: telah menceritakan kepada kami ibn Numair, dan telah
menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Sa’id dan Ishaq ibn Ibrahim, dari
Jarir, dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami Abu Usamah, , dari Hisyam ibn Urwah, dari ayahnya, dari Sufyan
ibn Abdillah al-Tsaqafi, ia berkata: aku berkata: :Ya Rasulallah, wasiatilah aku
tentang Islam yang tidak kutanyakan lagi kepada orang lain sesudah engkau.
Beliau menjawab: “Katakanlah! Aku beriman kepada Allah, kemudian
konsistenlah.”
Hadits ini termasuk Jawami'ul Kalim yang hanya dimiliki oleh Nabi Saw.
Meski singkat, hanya dengan dua kalimat, yaitu: Iman dan Istiqāmah, namun
dapat menerangkan kepada orang yang bertanya pada beliau tentang seluruh
dasar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa Islam pada dasarnya adalah tauhid
dan ketaatan. Tauhid terwujud dengan keimanan kepada Allah, sedangkan
ketaatan terwujud dengan istiqāmah, yaitu merealisasikan semua perintah dan
menjauhi semua larangan, yang meliputi pekerjaan hati dan anggota badan.
Allah Swt berfirman,
ِ ‫فَاست ِقيموا إِلَي ِه و‬
ُ‫اسَت ْغف ُروه‬
ْ َ ْ ُ َْ
15
Ibid., h. 15.
16
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,t.th., Kitab al-Iman,
Bab Jami’u Awshaf al-Islam, vol. I, h. 65. Diakses melalui Al-Maktabah al-Syāmilah

5
"Maka bersungguh-sungguhlah menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya." (QS. Fushshilat, [41]: 6)
Ayat ini berisi perintah untuk bersungguh-sungguh berusaha melaksanakan
segenap tuntunan Allah serta tetap berada pada jalan yang lurus yang
ditunjukkannya untuk menuju kepadaNya, serta memohon ampunanNya agar
tidak celaka.17

Qadhi ‘Iyadh menjelaskan bahwa makna hadis di atas sesuai dengan


firman Allah dalam QS. Al-Ahqaf, [46]: 13,

‫ف َعلَْي ِه ْم َواَل ُه ْم حَيَْزنُو َن‬ ِ َّ ِ


ْ َّ‫ين قَالُوا َربُّنَا اللَّهُ مُث‬
ٌ ‫اسَت َق ُاموا فَاَل َخ ْو‬ َ ‫إ َّن الذ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami adalah Allah,


kemudian mereka tetap istiqāmah, maka tidak ada kekhawatiran atas mereka
dan mereka tiada pula berduka cita.”
yaitu untuk mengesakan Allah dan beriman kepada-Nya, kemudian tetap
konsisten untuk tidak menyekutukan-Nya, tetap taat sampai dengan ajal
menjemput.18

Dalam hadis lain disebutkan,

ٍ ِ‫س ب ِن مال‬ ِِ ِ ِ ‫ح َّدثَنَا َزيْ ُد بْن احْل ب‬


‫ك‬ َ ْ ِ َ‫ َع ْن أَن‬،ُ‫ َح َّدثَنَا َقتَ َادة‬:‫ قَ َال‬،‫َخَب َريِن َعل ُّي بْ ُن َم ْس َع َدةَ الْبَ اهل ُّي‬ ْ ‫ أ‬:‫ قَ َال‬،‫اب‬ َُ ُ َ 
ِ ِ ٍ ِ ِ َّ ِ َّ ِ
ُ‫يم َق ْلبُ ه‬
ُ ‫ َواَل يَ ْس تَق‬،ُ‫يم َقْلبُ ه‬
َ ‫يم إميَا ُن َعْب د َحىَّت يَ ْس تَق‬ ُ ‫ " اَل يَ ْس تَق‬:‫ص لى اهللُ َعلَْي ه َو َس ل َم‬ َ ‫ول اهلل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫قَ َال‬
19
" ُ‫ َواَل يَ ْد ُخ ُل اجْلَنَّةَ َر ُج ٌل اَل يَأْ َم ُن َج ُارهُ َب َوائَِقه‬،ُ‫يم لِ َسانُه‬ ِ
َ ‫َحىَّت يَ ْستَق‬
“Tidaklah dapat istiqāmah iman seorang hamba, sehingga hatinya istiqāmah,
hatinya tidak dapat istiqāmah sehingga sehingga lisannya istiqāmah, dan tidak
masuk laki-laki itu ke dalam surga sehingga ia menyelamatkan tetangganya dari
bencana.”
Menurut hadis ini, istiqāmah adalah kesesuaian atau keserasian antara hati,
lisan/ucapan serta perbuatan yang didasarkan pada keimanan. Jadi, hati, lisan
dan ucapan haruslah sinkron satu sama lain. Penggalan akhir hadis di atas
menunjukkan bahwa keimanan seseorang harus juga direalisasikan dalam bentuk

17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. XII , h. 379.
18
Abi al-Fadl ‘Iyad ibn Musa ibn Iyad, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid al-Muslim, Dar al-Wafa li al-
Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1998, vol. I, h. 275.
19
Ahmad ibn Hnbal, Musnad Ahmad, Musnad Anas ibn Malik, vol. XX, h. 343. Diakses dari Al-
Maktabah al-Syāmilah

6
hubungan sosial yang baik antar sesama manusia, keimanan tidak cukup dengan
hubungan vertikal antara hamba dan Allah semata. Dalam hadis lain dijelaskan
bahwa keimanan haruslah diwujudkan dengan mencintai atau menolong sesama.

ِ ِ ِ ٍ ِ ٍِ
َ ُّ‫ قَ َال ابْ ُن أَي‬،‫يل بْ ِن َج ْع َف ٍر‬
:‫وب‬ َ ‫ مَج ًيع ا َع ْن إمْسَاع‬،‫ َو َعل ُّي بْ ُن ُح ْج ر‬،‫ َو ُقَتْيبَ ةُ بْ ُن َس عيد‬،‫وب‬ َ ُّ‫َح َّد َثنَا حَيْىَي بْ ُن أَي‬ 
:‫اهلل ص لَّى اهلل َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال‬
ِ ‫ول‬ َ ‫َن َر ُس‬َّ ‫ أ‬،َ‫ َع ْن أَيِب ُهَر ْيَرة‬،‫ َع ْن أَبِ ِيه‬،ُ‫َخَبَريِن الْ َعاَل ء‬ْ ‫ أ‬:‫ قَ َال‬،‫يل‬
ِ ِ
ُ ‫َح َّدثَنَا إمْسَاع‬
20
»ُ‫«اَل يَ ْد ُخ ُل اجْلَنَّةَ َم ْن اَل يَأْ َم ُن َج ُارهُ َب َوائَِقه‬

Yahya ibn Ayyub, Qutaibah ibn Sa’id dan Ali ibn Hujrin telah menceritakan
kepada kami, dari Ismail ibn Ja’far, Ibn Ayyub berkata: Ismail menceritakan
kepada kami, ia berkata: al-Ala’ mengabariku, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak masuk surga orang yang
tidak menyelamatkan tetangganya dari bencana”

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه‬ ِ ٍ َ‫ عن أَن‬،‫ عن َقتَاد َة‬،َ‫ عن ُشعبة‬، ‫ ح َّد َثنَا حَي‬:‫ قَ َال‬،‫َّد‬
َ ِّ ‫ َع ِن النَّيِب‬،ُ‫س َرض َي اللَّهُ َعْنه‬ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ‫ْىَي‬ َ ٌ ‫َح َّد َثنَا ُم َسد‬ 
‫ «الَ يُ ْؤِم ُن‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال‬ ٍ َ‫ َع ْن أَن‬،ُ‫ َح َّد َثنَا َقتَ َادة‬:‫ قَ َال‬،‫َو َس لَّ َم َو َع ْن ُح َس نْي ٍ امل َعلِّ ِم‬
َ ِّ ‫س َع ِن النَّيِب‬
21 ِ ِ ِ
»‫ب لَن ْفسه‬ ِ ُ ‫ب أِل‬
ُّ ِ‫َخ ِيه َما حُي‬ َّ ِ‫ َحىَّت حُي‬،‫َح ُد ُك ْم‬ َ‫أ‬
Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya menceritakan
kepada kami, dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas, dari Nabi Saw dan dari
Husain al-Mu’allim, ia berkata: Qatadah menceritakan kepada kami, dari Anas,
dari Nabi Saw, ia bersabda: ‘Tidak beriman seseorang darimu, sehingga ia
mencintai saudaranya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri”.
Hadis-hadis di atas menjelaskan bahwa aqidah atau keimanan meliputi
dua unsur, yakni: hubungan antara hamba dengan Tuhannya, serta hubungan
hamba dengan sesamanya. Keimanan yang sempurna haruslah memenuhi dua
unsur tersebut; meyakini keesaan Allah dan juga menjalin hubungan sosial yang
baik dan tolong-menolong antar sesama manusia.

Dari penjelasan hadis di atas, dapat kita lihat bahwa keimanan kepada
Allah Swt dibuktikan dengan aktivitas atau hubungan sosial. Ini berarti bahwa
aqidah berkaitan dengan akhlaq, sebagaimana rumusan yang diberikan oleh
Mahmud Syaltut di atas.

2. Istiqāmah dalam Melaksanakan Syariat

20
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, kitab al-īmān, bab bayanu tahrimi īdzāi al-jār, vol. I, h. 68.
Diakses dari Al-Maktabah al-Syāmilah
21
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab al-iman an yuhibba li akhihi ma yuhibbu li
nafsihi, vol. I, h. 12. Diakses dari Al-Maktabah al-Syāmilah

7
Syariat Islam tertuang dalam lima rukun Islam; syahadat, shalat, puasa,
zakat dan haji. Pelaksanaan kelima rukun Islam itu merupakan wujud ketaatan
beragama, yang mana merupakan kepatuhan hamba kepada Tuhan. Kelima
rukun Islam tersebut adalah bentuk ibadah yang sudah diatur waktu dan tata
caranya, maka kesempurnaan pelaksaannya dilihat dari sejauh mana aturan atau
tuntunan ibadah tersebut dijalankan. Pelaksanaan shalat misalnya, Nabi Saw
menuntun agar umat Islam melakukannya sebagaimana shalatnya, ‫ا‬77‫لُّوا َك َم‬7 ‫ص‬ َ
َ ُ‫ َرأَ ْيتُ ُمونِي أ‬.22 Shalat mempunyai rukun-rukun, syarat-syarat beserta sunnah-
‫لِّي‬7‫ص‬
sunnahnya, maka kesempurnaannya adalah selama semua unsur tersebut
terpenuhi.
Shalat yang dilakukan secara benar akan menghindarkan seorang muslim
dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-
Ankabut, [29]: 45,

ِ ِ ِ َّ ‫اب َوأَقِ ِم‬


َّ ‫الص اَل َة إِ َّن‬ ِ َ‫ك ِمن الْ ِكت‬ ِ ِ
ُ‫الص اَل َة َتْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش اء َوالْ ُمْن َك ِر َولَ ذ ْك ُر اللَّه أَ ْكَب ُر َواللَّه‬ َ َ ‫اتْ ُل َم ا أُوح َي إلَْي‬
‫صَنعُو َن‬
ْ َ‫َي ْعلَ ُم َما ت‬

Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yakni al-Kitab, dan kerjakanlah shalat secara kontinyu
dan khusyu’ sesuai dengan rukun syarat beserta sunnahnya. Sesungguhnya
shalat yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan akan menghindarkan
pelakunya –yang melakukannya secara terus menerus lagi baik– dari
keterjerumusan dalam kekejian dan kemunkaran. Kemunkaran itu sendiri ialah
segala sesuatu yang melanggar aturan-aturan agama dan budaya atau adat
istiadat suatu masyarakat.23 Dari sini, dapat dipahami bahwa shalat tidak sebatas
hubungan ibadah oleh hamba kepada Allah, lebih jauh dari itu dampaknya
ditujukan untuk kepentingan sosial, yaitu menghindarkan seorang hamba dari
perusakan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Artinya, shalat juga
berkaitan dengan akhlaq.24

22
Adapun rincian mengenai rangkaian dan tatacara shalat dapat ditemukan dalam hadis terkait.
23
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. X, h. 506-507.
24
Begitupun dengan bentuk ibadah lainnya dalam rukun islam yang kesemuanya berkaitan dengan
akhlaq –hubungan sesama manusia.

8
Kontinyuitas adalah unsur kedua dalam hal istiqāmah. Banyak hadis
yang memberikan informasi mengenai pentingnya kesinambungan dalam
melaksanakan suatu amalan. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihain,
menghimpun hadis-hadis yang berisi informasi bahwa amalan yang paling
dicintai adalah amalan-amalan yang dilakukan secara kontinyu –meskipun
sedikit– dan juga larangan untuk menghentikan amalan/ibadah yang sebelumnya
sudah dilaksanakan, berikut diantaranya:

ِ ِ
ُ ْ‫ َس أَل‬:‫ قَ َال‬،‫ت َم ْس ُروقًا‬
‫ت‬ ُ ‫ مَس ْع‬:‫ قَ َال‬، ‫ت أَيِب‬ ُ ‫ مَس ْع‬:‫ قَ َال‬،‫ث‬ ْ ‫ َع ْن أ‬،َ‫ َع ْن ُش ْعبَة‬، ‫َخَبَرنَا أَيِب‬
َ ‫َش َع‬ ْ ‫ أ‬،‫َح َّدثَنَا َعْب َدا ُن‬ )1
:‫ «ال دَّائِ ُم» قَ َال‬:‫ت‬ ِ
ْ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم؟ قَ ال‬َ ِّ ‫ب إِىَل النَّيِب‬ َ ‫الع َم ِل َك ا َن أ‬
َّ ‫َح‬ َ ‫َي‬ ُّ ‫ أ‬:‫َعائِ َش ةَ َر ِض َي اللَّهُ َعْن َه ا‬
»‫ِخ‬ َّ ‫وم إِ َذا مَسِ َع‬
َ ‫الصار‬ ُ ‫ « َكا َن َي ُق‬:‫ت‬ ْ َ‫وم؟ قَال‬
ُ ‫ني َكا َن َي ُق‬ ٍ ‫َي ِح‬َّ ‫ فَأ‬:‫ت‬ ُ ‫ُقْل‬
25

Abdan menceritakan kepada kami, ayahku mengabarkan, dari Syu’bah dan


Asy’at, dia berkata: aku mendengar ayahku, dia berkata: aku mendengar
Masruq berkata: aku bertanya kepada Aisyah R.A: “amalan apakah yang
paling dicintai Nabi saw?” dia menjawab: Yaitu amalan yang dikerjalan secara
terus menerus. Masruq berkata: tanyaku lagi, “lalu kapankah beliau biasa
bangun (pagi)”. Dia menjawab: “beliau bangun (pagi) apabila mendengar
ayam berkokok.”

ٍ ِ‫يد ب ِن أَيِب س ع‬ ِِ ِ ِ َّ ‫اب يعيِن‬


،‫يد‬ َ ْ ‫ َع ْن َس ع‬،‫ َح َّدثَنَا عَُبْي ُد اهلل‬،‫الث َقف َّي‬ ْ َ ِ ‫ َح َّدثَنَا َعْب ُد الْ َو َّه‬، ‫وح َّدثَنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمَثىَّن‬
َ )2
ِ ِ ِ
‫ َو َك ا َن حُيَ ِّج ُرهُ م َن‬،ٌ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َحص ري‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ َكا َن لَر ُس ول اهلل‬:‫ت‬ ْ َ‫ أَن ََّها قَال‬،َ‫ َع ْن َعائ َشة‬،َ‫َع ْن أَيِب َسلَ َمة‬
‫ «يَ ا أَيُّ َه ا‬:‫ َف َق َال‬،‫ات لَْيلَ ٍة‬ ِِ ِ‫ فَجع ل النَّاس يص لُّو َن ب‬،‫اللَّي ِل َفيص لِّي فِي ِه‬
َ ‫ َفثَ ابُوا َذ‬،‫َّه ا ِر‬ َ ‫ َو َيْب ُس طُهُ بِالن‬،‫ص اَل ته‬َ َ ُ ُ َ ََ َُ ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ُّ ِ ِ ِ ِ
‫ب اأْل َْع َم ال إىَل اهلل َم ا ُدوو َم‬ َّ ‫َح‬َ ‫ َوإ َّن أ‬،‫ فَ إ َّن اهللَ اَل مَيَ ُّل َحىَّت مَتَلوا‬،‫َّاس َعلَْي ُك ْم م َن اأْل َْع َم ال َم ا تُطي ُق و َن‬ ُ ‫الن‬
ِ ِ ٍ ُ ‫ و َكا َن‬.»‫ وإِ ْن قَ َّل‬،‫علَي ِه‬
ُ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم إِ َذا َعملُوا َع َماًل أَْثبَتُوه‬َ ‫آل حُمَ َّمد‬
26
َ َ َْ
Muhammad bin al-Mutsanna menyampaikan kepada kami dari Abdul Wahab
(al-Tsaqafi), dari Ubaidullah, dari Sa’id bin Abu Sa’id, dari Abu Salamah
bahwa Aisyah berkata “Rasulullah saw pernah mempunyai sebuah tikar. Pada
suatu malam, beliau memakainya untuk membuat bilik supaya beliau bisa shalat
di dalamnya. Beberapa shahabat pun ikut shalat bersama beliau. Saat siang
hari, tikar itu kembali dibentangkan. Pada suatu malam, beberapa orang
shahabat berkumpul, lalu Nabi bersabda ‘Wahai para shahabat! kerjakanlah
amalan-amalan saleh semampu kalian. Sungguh Allah tidak akan bosan sampai
kalian merasa bosan. Sungguh, amalah yang paling dicintai Allah adalah
25
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,kitab al-riqaq, bab al-qashdu wa al-mudawamah ‘ala al-‘amal,
vol. VIII, h. 98, hadis no. 6461. Diakses dari Al-Maktabah al-Syāmilah
26
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,t.th., Kitab Shalat al-
Musafirin wa Qashriha, Bab Fadhilat al-‘amal al-Da’im min Shalat al-Lail wa ghairuhu, vol. I, h. 540,
hadis no. 215. Diakses dari Al-Maktabah al-Syāmilah

9
amalan yang berkesinambungan meskipun sedikit.’ Kebiasaan keluarga Nabi
Muhammad adalah jika mengerjakan suatu amalan, mereka melakukannya
secara berkesinambungan.”

ِ ِ ِ ٍ ِ‫ َعن مال‬،ُ‫ح َّدثَنَا ُقَتيبة‬


‫الع َم ِل إِىَل‬
َ ‫ب‬ ُّ ‫َح‬ ْ َ‫ أَن ََّه ا قَال‬،َ‫ َع ْن َعائ َش ة‬،‫ َع ْن أَبِيه‬،‫ َع ْن ه َش ِام بْ ِن عُْر َو َة‬،‫ك‬
َ ‫ « َك ا َن أ‬:‫ت‬ َ ْ َْ َ )3
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
»ُ‫صاحبُه‬ َ ‫وم َعلَْيه‬ ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم الَّذي يَ ُد‬
َ ‫َر ُسول اللَّه‬
27

Qutaibah menceritakan kepada kami, dari Malik, dari Hisyam ibn Urwah, dari
ayahnya, dari Aisyah, ia berkata: “Amalan yang paling dicintai Rasulullah Saw
adalah yang dilakukan secara bersinambung oleh pelakunya.”

ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫ قَ َال‬،ُ‫ َع ْن أَيِب ُهَر ْي َر َة َر ِض َي اللَّهُ َعْن ه‬،‫ي‬ ٍ ِ‫ عن س ع‬،‫ب‬


ِّ ِ‫يد امل ْقرُب‬ ٍ ْ‫ َح َّد َثنَا ابْن أَيِب ِذئ‬،‫آد ُم‬
‫ول‬
َ َ ْ َ ُ َ ‫َح َّد َثنَا‬ )4
ِ َ ‫ والَ أَنْت ي ا رس‬:‫ «لَن ينَ ِّجي أَح ًدا ِمْن ُكم عملُه» قَالُوا‬:‫اللَّ ِه صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‬
َ :‫ول اللَّه؟ قَ َال‬
،‫«والَ أَنَا‬ َُ َ َ َ ُ ََ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ َْ ُ َ
‫ص َد‬ ِ ُّ ‫ و َش يء ِمن‬،‫ وا ْغ ُدوا وروح وا‬،‫ س دِّدوا وقَ ا ِربوا‬،‫إِاَّل أَ ْن يَتغَ َّم َديِن اللَّه بِرمْح ٍة‬
ْ ‫ص َد ال َق‬
ْ ‫ َوال َق‬،‫الدجْلَ ة‬ َ ٌ ْ َ ُ َُ َ ُ َ ُ َ َ َ ُ َ
28
»‫َتْبلُغُوا‬

Adam menceritakan kepada kami, ibn Abi Dzi’bin menceritakan kepada kami,
dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda: “Seseorang darimu tidak akan diselamatkan oleh amalnya”. Mereka
berkata: dan tidak juga engkau ya Rasulullah? Rasul berkata: Tidak juga aku,
hanya saja Allah telah melimpahkan rahmatnya kepadaku, maka beramallah
kalian sesuai dengan sunnah dan berlakulah dengan imbang, berangkatlah di
pagi hari dan berangkatlah di sore hari, dan (lakukanlah) sedikit waktu (untuk
shalat) di malam hari, niat dan niat maka kalian akan sampai”.

‫ َع ْن‬،‫ َع ْن أَيِب َسلَ َمةَ بْ ِن َعْب ِد الرَّمْح َ ِن‬،َ‫وسى بْ ِن عُ ْقبَة‬ ِ ِ


َ ‫ َع ْن ُم‬،‫ َح َّدثَنَا ُسلَْي َما ُن‬،‫الع ِزي ِز بْ ُن َعْبد اللَّه‬ َ ‫َح َّدثَنَا َعْب ُد‬ )5
ِ ِ ِ َ ‫َن رس‬ ِ
َ ‫ َو ْاعلَ ُموا أَ ْن لَ ْن يُ ْدخ َل أ‬،‫ِّدوا َوقَا ِربُوا‬
ُ‫َح َد ُك ْم َع َملُ ه‬ َ :‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال‬
ُ ‫«سد‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫ أ‬:َ‫َعائ َشة‬
29
»‫ب األ َْع َم ِال إِىَل اللَّ ِه أ َْد َو ُم َها َوإِ ْن قَ َّل‬
َّ ‫َح‬ َّ ‫ َوأ‬،َ‫اجلَنَّة‬
َ ‫َن أ‬
Abdul Aziz ibn Abdullah menceritakan kepada kami, Sulaiman menceritakan
kepada kami, dari Musa ibn Uqbah, dai Abi Salamah ibn Abdurrahman, dari
Aisyah: bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Beramallah dengan sunnah
dan berlaku imbanglah, dan ketahuilah bahwa seseorang tidak akan masuk
surga karena amalnya, sesungguhnya amalan yang dicintai oleh Allah adalah
yang terus menerus walaupun sedikit.”

27
Ibid., hadis no. 6462
28
Ibid., hadis no. 6463.
29
Ibid., hadis no. 6464. Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, op.cit., h. 540, hadis no. 216.
Diakses dari Al-Maktabah al-Syāmilah

10
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ َع ْن َعائ َش ةَ َرض َي اللَّه‬،َ‫ َع ْن أَيِب َس لَ َمة‬،‫يم‬ َ ‫ َع ْن َس ْعد بْ ِن إ ْب َراه‬،ُ‫ َح َّد َثنَا ُش ْعبَة‬،‫َح َّدثَيِن حُمَ َّم ُد بْ ُن َع ْر َع َر َة‬ )6

»‫ «أ َْد َو ُم َه ا َوإِ ْن قَ َّل‬:‫ب إِىَل اللَّ ِه؟ قَ َال‬


ُّ ‫َح‬ ِ ُّ ‫ أ‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َي األ َْع َمال أ‬
ِ
َ ُّ ‫ ُسئ َل النَّيِب‬:‫ت‬ ْ َ‫ أَن ََّها قَال‬،‫َعْن َها‬
30
»‫ «ا ْكلَ ُفوا ِم َن األ َْع َم ِال َما تُ ِطي ُقو َن‬:‫َوقَ َال‬

Telah menceritakan kepadaku Muhammad ibn ‘Ar’arah, telah menceritakan


kepada kami Syu’bah, dari Sa’id ibn Ibrahim, dari Abi Salamah, dari ‘Aisyah
RA, ia berkata: Nabi Saw ditanya: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah?
Nabi menjawab: Yang dilakukan secara kontinyu meskipun sedikit”, dan Nabi
bersabda: “Kerjakanlah amalan semampumu”

‫ ح َو َح َّدثَيِن حُمَ َّم ُد بْ ُن ُم َقاتِ ٍل أَبُ و‬،‫اع ِّي‬ ِ ‫ ع ِن األَوز‬،‫اعيل‬ ِ


َ ْ َ َ َ‫ َح َّدثَنَا ُمبَ ِّش ُر بْ ُن إِمْس‬، ِ ‫اس بْ ُن احلُ َس نْي‬ ُ َّ‫َح َّدثَنَا َعب‬ )7
َ‫ َح َّدثَيِن أَبُو َس لَ َمة‬:‫ قَ َال‬،‫ َح َّدثَيِن حَيْىَي بْ ُن أَيِب َكثِ ٍري‬:‫ قَ َال‬،‫َخَبَرنَا األ َْو َز ِاع ُّي‬ ِ
ْ ‫ أ‬،‫َخَبَرنَا َعْب ُد اللَّه‬ْ ‫ أ‬:‫ قَ َال‬،‫احلَ َس ِن‬
‫ول اللَّ ِه‬ُ ‫ قَ َال يِل َر ُس‬:‫ قَ َال‬،‫اص َر ِض َي اللَّهُ َعْن ُه َم ا‬ ِ ِ
ِ ‫الع‬ َ ‫ َح َّدثَيِن َعْب ُد اللَّه بْ ُن َع ْم ِرو بْ ِن‬:‫ قَ َال‬،‫بْ ُن َعْب د الرَّمْح َ ِن‬
،‫ َفَت َر َك قِيَ َام اللَّْي ِل» َوقَ َال ِه َش ٌام‬،‫وم اللَّْي َل‬ ٍ ِ ِ ِ
ُ ‫ الَ تَ ُك ْن مثْ َل فُالَن َك ا َن َي ُق‬،‫ «يَا َعْب َد اللَّه‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ
:‫ قَ َال‬،‫ َع ْن ُع َم َر بْ ِن احلَ َك ِم بْ ِن َث ْوبَ ا َن‬، ‫ َح َّدثَيِن حَيْىَي‬:‫ قَ َال‬،‫اع ُّي‬ ِ ‫ ح َّد َثنَا األَوز‬،‫ح َّد َثنَا ابن أَيِب العِ ْش ِرين‬
َْ َ َ ُْ َ
31 ِ ِ ‫يِن‬
‫ َع ِن األ َْو َزاع ِّي‬،َ‫ َوتَ َاب َعهُ َع ْم ُرو بْ ُن أَيِب َسلَ َمة‬.ُ‫َح َّدثَ أَبُو َسلَ َمةَ م ْثلَه‬
Abbas ibn al-Husain menyampaikan kepada kami dari Mubasyar ibn Ismail,
dari al-Auza’i; dalam sanad lain, Muhammad ibn Muqatil (Abu al-Hasan)
menyampaikan kepadaku dari Abdullah, dari al-Auza’i, dari Yahya ibn Abu
Katsir, dari Abu Salamah ibn Abdurrahman bahwa Abdullah ibn Amr ibn al-
Ash berkata, “Rasulullah Saw mengingatkanku, Abdullah, jangan seperti fulan
yang dulu shalat malam, tapi kini meninggalkan shalat malam.” Hisyam
meriwayatkan dari Ibnu Abu al-Isyrin, dari al-Auza’i, dari Yahya, dari Umar
ibn al-Hakam ibn Tsauban yang berkata bahwa Abu Salamah juga
meriwayatkan hadis yang sama dari al-Auza’i
3. Istiqāmah dalam Akhlāq
Allah mengutus Nabi Muhammad Saw untuk menyempurnakan akhlaq
manusia, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

ِ ‫ َع ْن الْ َق ْع َق‬،‫ َع ْن حُمَ َّم ِد بْ ِن َع ْجاَل َن‬،‫ َح َّدثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز بْ ُن حُمَ َّم ٍد‬:‫ قَ َال‬،‫ص و ٍر‬
،‫اع بْ ِن َح ِكي ٍم‬ ُ ِ‫َح َّدثَنَا َس ع‬
ُ ‫يد بْ ُن َمْن‬
32 ِ
‫َخاَل ق‬ ِ ‫ إِمَّنَا بعِثْت أِل ُمَتِّم‬:‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫ قَ َال‬،‫ع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة‬، ِ ‫عن أَيِب‬
ْ ‫صال َح اأْل‬ َ َ ُ ُ َ َ َ َْ ُ َ َ ‫صال ٍح‬
َ َْ
Sa’id ibn Manshur menyampaikan kepada kami, ia berkata: Abdul Aziz ibn
Muhammad menyampaikan, dari Muhammad ibn Ajlan, dari al-Qa’qa’ ibn
Hakim, dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”

30
Ibid., hadis no. 6465.
31
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab al-tahajjud, vol. II, h. 54, hadis no. 1152; Muslim, Shahih
Muslim, kitab al-shiyam, vol. II, h. 814, hadis no. 185. Diakses dari Al-Maktabah al-Syāmilah
32
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, musnad Abi Hurairah, vol. IV, h. 513, hadis no. 8952
(diakses melalui Al-Maktabah al-Syāmilah)

11
Dalam hadis lainnya ditemukan informasi mengenai pesan Nabi untuk
beriman seraya berakhlaq baik:

‫ب َع ْن َح ْر َملَ ةَ بْ ِن ِع ْم َرا َن‬ ٍ ‫ب قَ َال ح دثنا بن و ْه‬


َ
ٍ ‫َخَبرنَ ا حُمَ َّم ُد بْن احْلَس ِن بْ ِن ُقَتْيبَ ةَ قَ َال َح َّدثَنَا يَِزي ُد بْن َم ْو َه‬
ُ َ ُ َ ْ‫أ‬
‫َن ُم َع ا َذ بْ َن َجبَ ٍل‬َّ ‫اص أ‬ِ ‫ َع ْن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َع ْم ٍرو بْ ِن الْ َع‬.‫ي َح َّدثَ هُ َع ْن أَبِي ِه‬ ٍ ِ‫َن س عِ َيد بن أَيِب س ع‬
َّ ِ‫يد الْ َم ْقرُب‬ َ َ ْ َ َّ ‫التُّجييِب ِّ أ‬
ِ
‫َح ِس ْن‬ ِ ِ ِِ ِ ‫أَراد س َفرا ف َق َال يا نَيِب اللَّ ِه أَو ِصيِن قَ َال‬
ْ ‫ت فَأ‬ َ ‫"اعبُد اللَّهَ اَل تُ ْش ِر ْك به َشْيئًا قَ َال يَا نَيِب َّ اللَّه ِز ْديِن قَ َال إذَا أ‬
َ ْ‫َس أ‬ ْ ْ َّ َ ًَ ََ
‫استَق ْم وليحسن خلقك‬ ِ ‫يِن‬ ِ ِ َّ
ْ ‫ول الله ز ْد قَ َال‬ َ ‫قَ َال يَا َر ُس‬
33

Muhammad ibn al-Hasan ibn Qutaibah mengabarkan, ia berkata Yazid ibn


Mauhab menyampaikan, ia berkata ibn Wahab menyampaikan dari Harmalah
ibn Imran al-Tujibi bahwa Sa’id ibn Abi al-Maqburi menyampaikan dari
ayahnya, dari Abdullah ibn Amr ibn al-Ash bahwa Mu’adz hendak berpergian
lalu berkata, “Ya Nabi wasiati aku, lalu Nabi menjawab: ‘sembahlah Allah dan
jangan menyekutukanNya’, Mu’adz berkata tambahkan lagi wahai Nabi, Nabi
menjawab : ‘ketika engkau berbuat keburukan lalu iringilah dengan berbuat
baik, Mu’adz berkata tambahkan lagi wahai Nabi, Nabi menjawab:
‘istiqamahlah dan berakhlaqlah yg bagus”.
Rasulullah Saw sebagai suri teladan yang paling baik akhlaqnya
hendaklah ditiru oleh umat Islam. Aisyah menjelaskan bahwa akhlaq beliau
adalah Al-Qur’an, dan dalam hal mengerjakan ibadah Rasulullah sangatlah
konsisten,

ِ
:‫ت‬ ُ ‫ ُقْل‬:‫ قَ َال‬،ُ‫ َح َّدثَه‬،‫َن َس ْع َد بْ َن ه َش ٍام‬ َّ ‫ أ‬، ‫ َع ْن ُز َر َارةَ بْ ِن أ َْوىَف‬،ُ‫ َح َّدثَنَا َقتَ َادة‬:‫ قَ َال‬،‫ َح َّدثَنَا مَهَّ ٌام‬:‫ قَ َال‬،‫َح َّدثَنَا َب ْهٌز‬
ِ ِ ِ ِ ِِ
:‫ت‬ ُ ‫ ُق ْل‬:‫ت َت ْقَرأُ الْ ُق ْرآ َن؟ " قَ َال‬ َ ‫ " أَلَ ْس‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ َحدِّثييِن َع ْن ُخلُ ِق َر ُسول اهلل‬،‫ني‬ َ ‫يَا أ َُّم الْ ُم ْؤمن‬
‫ َو َك ا َن إِ َذا‬،‫ص اَل ًة َد َاو َم َعلَْي َه ا‬ ِ ِ ُ ‫ " و َكا َن رس‬:‫ قَالَت‬،‫يث‬ ِ
َ ‫ص لَّى‬َ ‫ إِ َذا‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬ َ ‫ول اهلل‬ َُ َ ْ َ ‫ فَ َذ َكَر احْلَد‬،‫َبلَى‬
ِ ِ ٍ ِ ِ
َ ،‫ أ َْو َو َج ٍع‬،‫ َغلَبَْتهُ َعْينَاهُ بَِن ْوم‬،‫فَاتَهُ الْقيَ ُام م َن اللَّْي ِل‬
34 ِ
َ ‫صلَّى اثْنيَت ْ َع ْشَرةَ َر ْك َعةً م َن الن‬
" ‫َّهار‬

Bahzun berkata: Hammam menyampaikan, Qatadah menyampaikan, dari


Zurarah ibn Aufa, bahwa Sa’d ibn Hisyam menyampaikan kepadanya: Ia
berkata: aku bertanya wahai Ummul Mukminin, sampaikan kepadaku tentang
akhlaq Rasulullah Saw, Ia menjawab: “Tidakkah kau baca Al-Qur’an?”.
katanya: aku berkata ”Ya”, maka ia menyebutkan hadis, Aisyah berkata:
“Apabila Rasulullah Saw shalat maka beliau mengerjakannya selalu, dan

33
Muhammad Ibn Hibban, Al-Ihsan fi al-Taqribi Shahih Ibn Hibban, kitab al-birr wa al-ihsan,
Bairut: Muassasah al-Risalah, 1988, vol. II, h. 283. (diakses melalui Al-Maktabah al-Syāmilah)
34
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, musnad al-shadiqah ‘Aisyah bint al-shiddiq radiyallah, h.
181, hadis no. 24636.

12
apabila beliau melewatkan shalat malam karena tertidur atau sakit, beliau
shalat dua belas rakaat pada siang hari.
Manusia berada dalam proses menuju kesempurnaan, namun
kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Allah Maha Sempurna yang
memiliki segala sifat sempurna. Manusia dikatakan sempurna apabila ia sukses
mendekati, yakni meneladani sifat-sifat sempurna Allah tersebut semampu

َ ُ‫َخلَ َق اللَّه‬
dirinya. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dengan teks “‫آد َم َعلَى‬

‫ورتِِه‬
َ ‫”ص‬
ُ (Allah menciptakan Adam atas peta-Nya). Menurut Quraish Shihab, hadis
ini dipahami antara lain dalam makna bahwa Allah menganugerahkan kepada
manusia daya-daya yang apabala diasah serta diasuh dengan sebaik mungkin,
maka ia akan berhasil menjadikannya sebagai manusia utuh sebagai akibat dari
kesuksesannya dalam meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kapasitas dan
kemampuannya sebagai makhluk.35

Salah satu sifat Allah adalah Maha Pemaaf/Pengampun. Sebagai upaya


meneladaninya, manusia dianjurkan juga untuk memberikan maaf, sebuah
riwayat menyatakan:

ِ ‫ {خ ِذ الع ْف و وأْم ر بِ العر‬، ِ ‫الزب‬ ِ ِ ِِ ٍ ِ ِ


:‫ف } قَ َال‬ ُْ ْ ُ َ َ َ ُ ‫ َع ْن َعْب د اللَّه بْ ِن ُّ َرْي‬،‫ َع ْن أَبيه‬،‫ َع ْن ه َش ام‬،‫يع‬ ٌ ‫ َح َّدثَنَا َوك‬، ‫َح َّدثَنَا حَيْىَي‬
ِ ِ‫ عن أَب‬،‫ ح َّد َثنَا ِه َش ام‬،َ‫ ح َّد َثنَا أَب و أُس امة‬،‫ وقَ َال عب ُد اللَّ ِه بن ب َّر ٍاد‬.»‫َّاس‬ ِ ‫«م ا أَْن ز َل اللَّه إِاَّل يِف أ‬
‫ َع ْن‬،‫يه‬ َْ ٌ َ ََ ُ َ َ ُْ ْ َ َ ِ ‫َخالَق الن‬ ْ ُ َ َ
ِ ِ
‫ أ َْو َك َما قَ َال‬،‫َخالَق النَّاس‬ ِ َّ ِ َّ
َ ‫صلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم أَ ْن يَأْ ُخ َذ‬
ْ ‫الع ْف َو م ْن أ‬ ِ َّ ِ ُّ ‫َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن‬
َ ُ‫ «أ ََمَر اللهُ نَبيَّه‬:‫ قَ َال‬، ‫الز َبرْي‬
36

Yahya menceritakan kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami, dari


Hisyam, dari ayahnya, dari Abdullah ibn al-Zubair [Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf]. Ia berkata: “Tidaklah Allah
menurunkannya kecuali mengenai akhlak manusia”. Abdulah ibn Barrad
berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan
kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Abdullah ibn Zubair, ia berkata:
“Allah memerintahkan Nabi Saw agar memaafkan kesalahan manusia kepada
beliau” –atau kurang lebih demikianlah apa yang ia katakan.

Demikian beberapa hadis yang menjelaskan mengenai akhlaq Nabi,


konsistensinya dalam menjaga akhlaq mulia serta anjuran untuk meneladani
akhlaq beliau.

35
Muhammad Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 78.
36
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab tafsir Al-Qur’ān, bab khudzi al-Afwa wa’mur bi al-ma’ruf,
vol. VI, h. 60.

13
C. Istiqāmah Kunci Kesempurnaan Baragama
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa istiqāmah, yaitu
pelaksanaan perintah agama yang meliputi bidang aqidah, syariah dan akhlaq
secara sempurna dan bersinambung adalah kunci menuju kesempurnaan
beragama.
Kesempurnaan sejatinya hanya dimiliki oleh Allah. Nabi Muhammad
Saw adalah satu-satunya manusia yang paling sempurna dalam menjalankan
perintah agama. Kunci sukses Nabi dalam beragama adalah sikap istiqamah
beliau. Perintah untuk istiqamah itu sendiri merupakan hal yang amat sangat
berat, bahkan yang dirasakan oleh Nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam riwayat yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam al-Mishbah
tentang komentar Ibn Abbas atas turunnya QS. Hud, [11]: 112, “Tidak ada ayat
yang turun kepada Nabi Muhammad Saw lebih berat daripada ayat ini”. Begitu
beratnya perintah ini hingga membuat Nabi Muhammad beruban. Ketika Nabi
ditanya tentang kandungan dalam surah Hud yang membuatnya beruban, beliau
menjawab “Perintahnya fastaqim kama umirta”. Disebutkan pula dalam riwayat
lainnya bahwasanya ketika ayat ini diturunkan Nabi bersabda “bersungguh-
sungguhlah, bersungguh-sungguhlah”. Sejak saat itu pula beliau tidak pernah
lagi terlihat tertawa terbahak.37
Dari sini dapat dipahami bahwa perintah untuk istiqamah adalah
perintah agama yang paling berat, sehingga hampir mustahil kiranya bagi
manusia biasa untuk melaksanakannya. Wallahu a’lam.

III. KESIMPULAN
 Istiqamah yaitu melaksanakan ajaran agama Islam secara sempurna dan
bersinambung. Kesempurnaan dan kesinambungan adalah dua poin penting
dalam hal istiqamah yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Memenuhi hanya salah satu aspek dari dua poin tersebut belum bisa
dikategorikan ke dalam sikap istiqamah.

37
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. VI, h. 348-349.

14
 Ajaran agama Islam terdiri dari tiga bidang: aqidah, syariat, akhlaq. Tiga hal
ini merupakan satu kesatuan ajaran Islam yang harus dilaksanakan bersamaan
dan seimbang, tidak boleh mengunggulkan salah satunya saja.

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. IV,
1997
Hanafi, Muchlis M. (ed), Spiritualitas dan Akhlak: Tafsir Al-Qur’ān Tematik, Jakarta:
Lajnah Pentashhih Mushaf Al-Quran, 2012
Iyad, Abi al-Fadl ‘Iyad ibn Musa ibn, Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid al-Muslim, Dar al-
Wafa li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1998
Munawwir, A.W., Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Bukubuku Ilmiah Keagamaan PP. al-Munawwir, 1984
Al-Qahthany, Syekh Musnid, Meniti Jalan Istiqomah: Panduan Meraih Keutamaan-
keutamaannya dan Menepis Kendala-kendalanya, Mirqat Publishing, 2008
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’ān, Ciputat: Lentera Hati, 2002
---------, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, Ciputat: Lentera Hati, 2016
Wahab, Muhbib Abdul, Selalu Ada Jawaban, Jakarta: Qultum Media, 2013
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English, Beirut: Librairie du
Liban, cet. III, 1960
Al-Maktabah al-Syāmilah

15

Anda mungkin juga menyukai