Anda di halaman 1dari 71

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Prabowo r (2016) penerapan konsep line balancing untuk mencapai

efisiensi kerja yang optimal pada setiap stasiun kerja pada pt. hm. sampoerna tbk .

Dalam stasiun kerja maka proses produksi tidak akan berjalan secara efektif dan

efisien. Dalam proses produksinya, PT. HM. Sampoerna Tbk. dihadapkan pada

permasalahan keseimbangan lintasan yaitu kurangnya efisiensi pada stasiun kerja,

sehingga direncanakan untuk menentukan lintasan produksi yang optimal

sehingga pembebanan pada setiap stasiun kerja akan lebih merata dan mengurangi

waktu menganggur. Metode yang digunakan adalah metode pengukuran waktu

kerja dengan jam henti (stop watch) dan metode bobot posisi (Method Ranked

Positional Weight). Data yang dianalisis adalah waktu yang diperlukan oleh

operator untuk menyelesaikan produksi rokok dan jumlah output rate untuk

produk rata-rata yang dihasilkan untuk menetapkan waktu siklus ideal. Kedua data

tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode bobot posisi, hingga

didapatkan waktu produksi dan efisiensi lintasan yang optimal serta stasiun kerja

yang optimal pula. Hasil analisis menyatakan bahwa dengan penggunaan metode

keseimbangan lintasan, perusahaan dapat mencapai efisiensi lintasan sebesar

68,54% dan mengurangi ketidakseimbangan (balance delay) sebesar 42,02% dari

73,48% menjadi 31,46% Dan target produksi sebanyak 240 box/hari dapat

terpenuhi.

4
Kurniawan, Dkk (2015) Penentuan waktu baku dan analisis keseimbangan

lini produksi pada industri pengolahan gondorukem dan terpentin. salah satu hasil

hutan non kayu adalah getah pinus yang dihasilkan dari tegakan pinus, kemudian

diolah untuk menghasilkan gondorukem dan terpentin. Penelitian ini dilakukan

pada tanggal 23 April ‐ 19 Mei 2012. Berlokasi di PGT (Pabrik Gondorukem dan

Terpentin) Sindangwangi, KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Industri Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Tujuan dari penelitian ini adalah (1)

menentukan waktu standar kerja pada sejumlah komponen kerja yang terlibat

dalam industri pengolahan gondorukem dan terpentin, (2) mengidentifikasi waktu

antrian pada pengolahan gondorukem dan terpentin. Pengukuran dilakukan

dengan menggunakan stop watch. Penentuan waktu baku dilakukan dengan

menggunakan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian 5% karena

sebelumnya telah diberikan penyesuaian dan kelonggaran menurut metode

Westinghouse. Analisis keseimbangan lini dilakukan untuk menentukan waktu

antrian pada masing‐masing lini produksi dengan menggunakan software POM‐

QM for Windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu baku pada proses

pengenceran (melter) adalah 29 menit 44 detik dengan waktu antrian sebesar

27,51 detik; waktu baku proses pencucian (settler) adalah 37 menit 22 detik

dengan waktu tunggu 32,03 detik; waktu baku proses pemasakan (cooking) adalah

2 jam 40 menit 36 detik dengan waktu antrian sebesar 5 menit 5,56 detik; waktu

baku untuk proses pengendapan (washer) adalah 1 jam 58 menit 48 detik; waktu

baku untuk proses pengalengan (canning) adalah 32 menit 5 detik dengan waktu

antrian sebesar 10,42 detik. Total waktu pembuatan gondorukem dalam satu line

5
produksi adalah 4 jam 26 menit 2,52 detik. Waktu antrian dari proses‐proses

tersebut dinilai kecil dan wajar sehingga tidak diperlukan perubahan proses yang

akan meningkatkan biaya. Key words: gondorukem, terpentin, waktu antrian,

waktu baku.

Casban dan Kusumah (2016) Analisis keseimbangan lintasan untuk

menciptakan proses produksi pump packaging systems yang efisien di PT Bumi

Cahaya Unggul. Ketidak seimbangan dalam pembagian beban kerja dengan

adanya waktu tugas stasiun kerja yang menjadi bottleneck dapat mengakibatkan

terjadinya peningkatan balance delay yang merugikan perusahaan. Tujuan dalam

penelitian ini adalah membuat keseimbangan lintasan untuk menciptakan proses

produksi pump packaging systems yang efisien, dengan adanya perbaikan cycle

time yang lebih singkat, peningkatan efisiensi lintasan produksi, mengurangi

kerugian keseimbangan, meminimasi idle time dan peningkatan kapasitas

produksi. Metodologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan adalah

line balancing dengan menggunakan pendekatan metode Ranked Position Weight

dan Heuristic Moodie-Young yang dilakukan dengan membuat pengaturan

keadaan lintasan produksi untuk menciptakan pembagian beban kerja yang

seimbang, sehingga setiap work station diharapkan mempunyai waktu tugas yang

sama. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Bumi Cahaya Unggul sebuah perusahaan

penyedia pompa. Hasil penelitian ini adalah tingkat efisiensi proses produksi

perusahaan masih belum optimal, ditandai dengan terjadinya ketidakseimbangan

pembagian beban kerja akibat dari waktu tugas stasiun kerja yang menjadi bottle

neck. Melalui penerapan metode line balancing, Ranked Position Weight dan

6
Heuristic Moodie-Young dapat memberikan hasil yang signifikan yaitu

peningkatan efisiensi lintasan produksi dan peningkatan kapasitas produksi

Djunaidi dan Angga (2017) Analisis Keseimbangan Lintasan (Line

Balancing) pada Proses Perakitan Body Bus Pada Karoseri Guna Meningkatkan

Efisiensi Lintasan. Dalam perusahaan manufaktur, lintasan produksi sangatlah

penting dalam menentukan ketepatan waktu produksi. Salah satu permasalahan

yang dihadapi dalam perusahaan yaitu seringkali kesulitan meningkatkan efisiensi

produksi. Hal ini terjadi karena pembebanan kerja dalam lintasan produksi kurang

seimbang, sehingga berimbas pada tingkat efisiensi lintasan produksi yang

rendah. Artikel ini membahas peningkatan efisiensi produksi dengan melakukan

perbaikan lini produksi yang telah ada. Metode keseimbangan lintasan digunakan

untuk merencanakan dan mengendalikan aliran proses produksi. Metode ini

digunakan untuk mengevaluasi efisiensi lintasan produksi dan memperbaiki

lintasan produksi tersebut. Analisis keseimbangan lintasan pada proses perakitan

body bus menggunakan metoda Ranked Position Weight. Hasil analisis

menyatakan bahwa penerapan metode keseimbangan lintasan dapat meningkatkan

efisiensi kerja lintasan produksi dari 72,39 % menjadi 91,16 %. Dan balance delay

dapat dikurangi dari 27,61 % menjadi 8,84 %.

Azwir dan Pratomo (2017) melakukan penelitian yang berjudul

Implementasi Line Balancing untuk Peningkatan Efisiensi di Line Welding Studi

Kasus: PT X. Penelitian ini dilakukan bertujuan mendapatkan rancangan model

keseimbangan lintasan (jumlah stasiun dan alokasi elemen kerja) yang efisien

untuk line welding 1DY. Menentukan jumlah operator (tenaga kerja) yang optimal

7
untuk line welding 1DY. PT. X adalah perusahaan yang memproduksi knalpot

(muffler) sepeda motor merk Yamaha. Model knalpot 1DY adalah model knalpot

untuk sepeda motor type New Jupiter Z. Pada line welding model 1DY terdapat 8

stasiun kerja dimana 1 stasiun kerja dikerjakan oleh 1 operator. Disaat pekerjaan

berlangsung sering terjadi waktu menganggur yang sangat lama untuk setiap

operator dalam melakukan pekerjaannya, serta adanya penumpukan barang pada

aliran produksi (bottleneck), menyebabkan terjadinya pemborosan tenaga kerja.

Berdasarkan hasil pembahasan pembentukan rancangan dengan metode Helgeson-

Birnie mampu memberikan solusi terbaik pada line welding 1DY. Berkurangnya

jumlah operator dengan memperkecil jumlah stasiun kerja yang semula 8 menjadi

6 (satu stasiun kerja ditangani oleh satu operator).

Fardiansyah dan Widodo (2018) melakukan penelitian analisa line

balancing guna meningkatkan hasil output dan juga mengidentifikasi pemborosan

yang terjadi dan bagaimana cara menyelesaikannya. Berdasarkan penelitian dapat

disimpulkan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain analisa line

balancing dengan menyeimbangkan beban kerja dan eliminasi pemborosan dapat

mengurangi jumlah operator sehingga meningkatkan produktivitas sebesar 104%

Upaya penyeimbangan beban kerja dan eliminasi pemborosan. Dalam perusahaan

manufaktur, lintasan produksi sangatlah penting dalam menentukan ketepatan

waktu produksi. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam perusahaan yaitu

seringkali kesulitan meningkatkan efisiensi produksi.Hal ini terjadi karena

pembebanan kerja dalam lintasan produksi kurang seimbang, sehingga berimbas

pada tingkat efisiensi lintasan produksi yang rendah. Artikel ini membahas

8
peningkatan efisiensi produksi dengan melakukan perbaikan lini produksi yang

telah ada. Metode keseimbangan lintasan digunakan untuk merencanakan dan

mengendalikan aliran proses produksi. Metode ini digunakan untuk mengevaluasi

efisiensi lintasan produksi dan memperbaiki lintasan produksi tersebut. Analisis

keseimbangan lintasan pada proses perakitan body bus menggunakan metoda

Ranked Position Weight. Hasil analisis menyatakan bahwa penerapan metode

keseimbangan lintasan dapat meningkatkan efisiensi kerja lintasan produksi dari

72,39 % menjadi 91,16 %. Dan balance delay dapat dikurangi dari 27,61 %

menjadi 8,84 %
.
2.2. Landasan Teori

2.2.1. Perancangan Sistem Kerja, Suatu Gambar Keseluruhan

Perancangan sistem kerja ialah suatu ilmu yang mempelajari prinsip-

prinsip dan teknik-teknik untuk mendapatkan suatu rancangan sistem kerja yang

terbaik. Ilmu ini merupakan salah satu ilmu di dalam disiplin teknik industri,

bahkan dilihat dari sejarahnya. Perancangan sistem kerja merupakan cikal bakal

disiplin kerja, maka iapun diakui sebagai pemula dari disiplin teknik industri.

Dalam penerapannya, perancangan sistem kerja akan berinteraksi dengan berbagai

ilmu lain di dalam disiplin teknik industri untuk secara bersamaan mencapai

keadaan yang optimal dari suatu sistem produksi dalam arti kata luas, yaitu sistem

yang terdiri dari komponen-komponen manusia, bahan, mesin, peralatan, dan

uang (Sutalaksana, dkk, 2006).

Berbicara tentang perancangan sistem kerja, tidak lepas dari dua nama,

yaitu F.W Taylor dan F.B. Gilbreth, dua orang yang mengawali pengembangan

9
ilmu ini. Dari penelitian merekalah, pengembangan ilmu ini digabungkan sebagai

suatu kesatuan dan dikenal sebagai perancangan sistem kerja atau methods

engineering (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.1.1. Definisi dan Pengertian-pengertiannya

Perancangan sistem kerja adalah suatu ilmu yang terdiri dari teknik-teknik

dan prinsip-prinsip untuk mendapatkan rancangan terbaik dan sistem kerja yang

bersangkutan. Teknik-teknik dan prinsip-prinsip ini digunakan untuk mengatur

komponen-komponen sistem kerja yang terdiri dari manusia dengan sifat dan

kemampuannya, peralatan kerja, bahan serta lingkungan kerja sedemikian rupa

hingga dicapai tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi bagi perusahaan serta

aman, sehat dan nyaman bagi pekerja. tujuan perencangan sistem kerja yang

demikian itu disingkat sebagai EASNE. Pengukuran kebaikan rancangan sistem

kerja dilakukan berdasarkan waktu yang dihabiskan untuk bekerja, beban-beban

fisik yang dialami serta akibat-akibat psikologis dan sosiologis yang

ditimbulkannya. Perhitungan yang berkaitan dengan ongkos pun kerap dilakukan

untuk itu (Sutalaksana, dkk, 2006).

Perancangan sistem merupakan hasil perpaduan antara teknik-teknik

pengukuran waktu dan prinsip-prinsip studi gerakan sebagaimana dikembangkan

oleh para pemulanya. Dalam perkembangan selanjutnya pun ciri masing-masing

tetap ada walaupun dalam cakupan yang lebih luas. Walaupun tidak hanya

pengukuran waktu pengukuran-pengukuran tetap dilakukan dengan teknik-teknik

pengukurannya. Prinsip-prinsip yang ada pun bukan hanya menganalisis gerakan

atau di sekitar itu, tetapi juga menyangkut banyak prinsip dan lain perancangan

10
sistem kerja seperti perancangan tata letak tempat kerja dan peralatan dalam

lingkungannya dengan manusia pekerjanya. Bahkan sejak tahun 1990an

dimanfaatkan pula ergonomi makro untuk segi-segi pengorganisasian dan

teknologi dari sistem-sistem kerja (Sutalaksana, dkk, 2006).

Teknik-teknik dan prinsip-prinsip digunakan untuk mencari sistem kerja

yang terbaik, yaitu yang memiliki efisiensi dan produkvitas yang setingi-

tingginya. Sistem kerja itu sendiri terdiri dari empat komponen, yaitu manusia,

bahan, perlengkapan, dan perlatan seperti ruangan dengan udaranya, dan keadaan

pekerjaan-pekerjaan lain disekelilingnya. Artinya komponen-komponen itulah

yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja. Dengan mengunakan

teknik-teknik dan prinsip-prinsip yang disebut atas, komponen-komponen tersebut

diatur sehingga berada dalam suatu komposisi yang memungkinkan tercapainya

tujuan tadi (Sutalaksana, dkk, 2006).

Efisiensi adalah suatu hal yang amat penting yang terdapat dalam sifat-

sifat yang dikehendaki dari rancangan suatu sistem kerja dan dapat didefinisikan

sebagai keluaran (output) dibagi masukan (input). Semakin besar harga rasio ini

semakin tinggi efisiensinya. Dalam pemrosesan sebuah produk, efisiensi

pengggunaan barang dihitung dengan membagi banyaknya bahan yang menjadi

produk jadi dengan banyaknya bahan yang dimasukkan dalam proses. Dalam

perancangan sistem kerja pengertian efisisensi diterapkan dalam bentuk

perbandingan antara hasil (kinerja) yang dicapai dengan ongkos yang dikeluarkan

untuk mendapatkan hasil tersebut. Yang dimaksud dengan ongkos di sini

bukanlah besarnya uang yang dikeluarkan untuk memberikan hasil yang

11
bersangkutan, tetapi dalam pengertian luas. Dapat berupa waktu yang dihabiskan,

tenaga yang dikeluarkan dan atau akibat-akibat psikologis dan sosiologis dari

pekerjaan yang bersangkutan. Memang semua “pengeluaran” ini dapat dihargakan

dengan uang walaupun untuk akibat-akibat psikologis dan sosiologis hal ini tidak

terlampau mudah dilakukan (Sutalaksana, dkk, 2006).

Semakin sedikit biaya yang diberikan untuk menyelesaikan suatu

pekerjaan semakin efisien sistem kerjanya. Efisiensi yang tinggi merupakan

prasyarat produktivitas yang tinggi. Memang dapat saja suatu sistem memberi

hasil yang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan efisiensi, tetapi ini berarti

hasil tersebut diperoleh dengan “harga” mahal. Lebih jauh lagi produktivitas

maksimum tidak dapat dicapai walau dengan dengan ongkos mahal jika

efisiensinya rendah. Hal ini tidak berbeda dengan seseorang yang menebang

pohon beringin dengan menggunakan pisau dapur. Bukannya tidak mungkin

batang itu pada akhirnya tumbang, tetapi dapat diduga bahwa untuk itu dia

mengeluarkan sangat banyak tenaga, membutuhkan waktu sangat lama dan secara

psikologis sangat menjemukan dan mengesalkan. Mungkin dengan beberapa kali

merasa tak mampu dan hampir putus asa. Setiap orang tentu akan berkata bahwa

penebang tadi bekerja dengan sangat tidak efisien jika dibandingkan seandainya

dia menggunakan gergaji yang sesuai. Dalam contoh ini, walaupun ongkos sangat

mahal, pekerja tidak dapat memberi hasil maksimum. Bandingkan, banyaknya

pohon yang dapat ditumbangkannya dalam waktu yang sama jika dia

menggunakan gergaji yang digerakkan mesin sebagai pengganti pisau dapur. Jika

12
semua hal di atas digambarkan dalam bentuk bagan maka akan terlihat seperti

pada Gambar 2.2 (Sutalaksana, dkk, 2006).

PERANCANGAN SISTEM
KERJA

PEKERJA
BAHAN
BEBERAPA ALTERNATIF
MESIN/
ALTERNATIF SISTEM
PERALATAN
TERPILIH
LINGKUNGA
N
SISTEM KERJA

Gambar 2.1. Bagan Gambaran Keseluruhan Perancangan Sistem Kerja


Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

2.2.1.2. Ruang Lingkup Perancangan Sistem Kerja

Ditinjau lebih lanjut, ruang lingkup ilmu perancangan sistem dapat dibagi

ke dalam dua bagian besar, yaitu yang bersifat menata unsur-unsur sistem kerja

(manusia, alat, bahan, dan lingkungan) serta yang bersifat mengukur kebaikan

rancangan sistem bersangkutan. Yang pertama selanjutnya disebut sebagai

penataan sistem kerja dan yang kedua sebagai pengukuran sistem kerja. Penataan

sistem kerja umumnya berisi prinsip-prinsip yang mengatur komponen-komponen

sistem kerja untuk, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2, mendapatkan alternatif-

alternatif sistem kerja terbaik. Di sini komponen-komponen sistem kerja diatur

sehingga secara bersama-sama berada dalam suatu komposisi yang baik, yaitu

yang dapat memberikan keadaan EASNE (efektif, aman, sehat nyaman, dan

efisien) yang tertinggi. Jadi, pada bagian ini perancang dipersenjatai dengan

prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dan diusahakan pelaksanaannya. Dengan

13
prinsip-prinsip ini kita akan mendapatkan alternatif-alternatif sistem kerja terbaik.

Harap diperhatikan bentuk jamak yang diberikan pada kata alternatif. Maka yang

didapat bukanlah satu sistem terbaik, melainkan beberapa sistem terbaik, karena

sifat “prinsip” dari prinsip-prinsip itu sendiri, yaitu bukan bertindak seperti rumus

yang jawaban pastinya didapat segera setelah harga-harga variabel bebasnya

dimasukkan kedalamnya. Begitu banyaknya jenis pekerjaan yang terdapat di

sekililing kita dan begitu heterogennya karakteristik masing-masing,

menyebabkan kemustahilan diturunkannya suatu rumus tunggal untuk itu semua

dan jawaban atas pertanyaan di mana “sistem yang terbaik” didapatnya

(Sutalaksana, dkk, 2006).

Prinsip-prinsip yang dikembangkan, bila diperhatikan dan diusahakan

penerapannya, seakan-akan menggiring kepada beberapa alternatif terbaik dari

sangat banyak alternatif sistem kerja yang dapat dijalankan sangatlah banyak.

Tentang urutan-urutan pengambilan kertasnya dari halaman pertaman sampai

terakhir saja sudah terdapat beberapa cara. Diantaranya, menempatkan tumpukan

lembaran-lembaran satu sampai terakhir berturut-turut dan seseorang

mengumpulkan halaman demi halaman sampai semua tersusun menjadi satu.

Alternatif lain adalah dipekerjakan dua orang dan yang pertama bertugas

menyusun halaman satu sampai halaman pertengahan, sementara yang lainnya

halaman pertengahan +1 sampai halaman terakhir. Alternatif lainnya lagi adalah

bila dikerjakan tiga orang, empat orang, dan seterusnya. Dilihat dari cara

meletakkan tumpukan lembaran halaman pun ada berbagai cara, misalnya

menempatkan tumpukan berturut-turut pada sebuah pada sebuah meja bundar

14
dengan susunan sedemikian sehingga tumpukan halaman terakhir bersebelahan

dengan halaman pertama. Belum lagi jika dilihat dari tinggi-rendahnya meja yang

dipakai yang memiliki alternatif tak terhingga. Begitu pun jika lingkungan fisik

diperhatikan seperti penempatan dan pengarahan cahaya lampu, suhu, kelembaban

ruangan, dan sebagainya (Sutalaksana, dkk, 2006).

Jika alternatif yang begitu banyak itu harus dilihat satu per satu untuk

mencari yang terbaik, jelas hanya membuang-buang waktu saja. Prinsip-prinsip

pengaturan kerjalah yang “membimbing” kita untuk memusatkan perhatian hanya

kepada beberapa alternatif saja, tentunya beberapa alternatif terbaik sehingga

usaha mencari satu sistem terbaik dapat lebih mudah dan lebih cepat diselesaikan.

Perhatikan kembali Gambar 2.2 (Sutalaksana, dkk, 2006).

Semula pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan

pengaturan terhadap pekerja, bahan, peralatan, dan perlengkapan serta lingkungan

kerja dipelajari melalui apa yang dinamakan ergonomi, studi gerakan, dan

ergonomi gerakan. Kini, terutama sejak tahun 1990-an “teknik-teknik Jepang”

seperti yang dikembangkan dalam konsep-konsep pengendalian mutu terpadu di

industri Jepang melengkapi prinsip-prinsip tersebut (Sutalaksana, dkk, 2006).

Setelah mendapatkan beberapa alternatif terbaik, langkah berikutnya

adalah memilih salah satu di antara yang terbaik. Pekerjaan ini bukanlah

pekerjaan mudah. Kita tidak dapat begitu saja menentukannya sebab antara

alternatif satu dengan lainnya sangat berdekatan. Atau, yang satu tampak

mempunyai kelebihan di suatu segi tetapi kelemahan dilain segi sementara

alternatif lainnya memiliki kelebihan dan kelemahan pada segi yang berlawanan.

15
Kesulitan ini menyebabkan pula dilakukannya pengukuran terhadap masing-

masing alternatif. Hal ini tidak berbeda dengan menetukan berat badan terbesar di

antara orang-orang A, B dan C, karena dilihat secara biasa ketiganya tampak

seimbang. Dalam keadaan demikian tiada jalan lain kecuali satu demi satu demi

satu orang tersebut ditimbang. Seandainya untuk suatu keperluan dicari orang-

orang yang sangat berat, maka jelas orang yang terbaik untuk itu adalah yang

memiliki kilogram berat badan terbesar. Seandainya yang diperlukan orang-orang

yang tinggi, jelas pula bahwa orang terbaik adalah yang memiliki sentimeter

tinggi terbesar. Dalam keadaan-keadaan seperti tersebut di atas tidaklah sulit

menentukan orang yang terbaik karena kriterianya jelas, yaitu berat dan tinggi

(Sutalaksana, dkk, 2006).

Ada empat kriteria yang dipandang sebagai pengukur yang baik tentang

kebaikan suatu sistem kerja, yaitu waktu serta beban-beban fisik, psikologis, dan

sosiologis. Artinya suatu sistem kerja dinilai baik jika sistem ini memungkinkan

waktu penyelesaian sangat singkat. Selain itu, beban fisik yang datang dari

pekerjaan tidak melampui batas. Begitu pula dengan akibat-akibat psikologis dan

sosiologis yang ditimbulkan, haruslah minimum. Berdasarkan kriteria-kriteria

inilah alternatif-alternatif sistem kerja dibandingkan satu dengan lainnya. Semakin

“murah” semakin baiklah sistem kerja yang bersangkutan. Dengan lain perkataan

semakin efisien semakin baiklah sistem kerjanya. Sudah tentu untuk suatu target

produksi tertentu. Bagian perancangan sistem yang mempelajari cara-cara

pengukuran sistem kerja disebut pengukuran kerja. Bagian ini berisi teknik-teknik

pengukur waktu, tenaga, dan akibat-akibat psikologis serta sosiologis. Teknik-

16
teknik ini dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu, artinya dengan menggunakan

dan memadukan berbagai ilmu seperti statistik, faal, biomekanika, psikologi, dan

sosiologi. Lingkungan perancangan sistem yang dikemukakan di atas ini

diringkaskan seperti bagan yang terdapat pada Gambar 2.3 (Sutalaksana, dkk,

2006).

2.2.2. Penggunaan Perancangan Sistem Kerja

2.2.2.1. Penurunan Ongkos Produksi dan Perancangan Sistem Kerja

Taylor menerapkan metodanya di pabrik tempatnya bekerja selama 3

tahun, ongkos angkut per ton bijih besi menurun dari 7 sampai 8 sen menjadi 3

sampai 4 sen. Gilbeth pun dengan studi-studinya berhasil meningkatkan

produktivitas penyusunan batu bata dari 120 buah per jam sampai 350 buah per

jam. Memang banyak keberhasilan dialami oleh berbagai perusahaan setelah

melakukan perbaikan terhadap sistem-sistem kerja yang ada didalamnya dan

mendapatkan yang terbaik. Heizer dan Render (1996) mengungkapkan banyak

pabrik di Amerika Serikat dapat meningkatkan produktivitasnya sampai 400%

setelah mereka menerapkan prinsip-prinsip manajemen Ilmiahnya Taylor. The

ford motor company adalah contoh langsung lainnya. Perakitan mobil ford

model–T pada tahun 1913 hanya dilakukan dengan mengerahkan kurang dari dua

jam saja. Seringkali pemimpin diperusahaan pada tingkat manapun tidak

menyadari tentang selalu adanya kemungkinan-kemungkinan melakukan

perbaikan terhadap sistem kerja karena tidak mengetahui adanya prinsip-prinsip

dan teknik-teknik untuk itu. Dapat juga berpendapat bahwa sistem yang ada sudah

17
baik hanya karena setiap orang telah terbiasa dan telah menerima sistem tersebut.

Keadaan demikian hendaknya ditiadakan karena telah jelas perancangan sistem

ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan tentu pada akhirnya

keuntungan bagi perusahaan (Sutalaksana, dkk, 2006).

Perancangan sistem memberikan keuntungan melalui berbagai “jalur” lain.

Misalnya dalam melakukan penjadwalan produksi yang memerlukan pengetahuan

tentang rentang waktu berbagai kegiatan kerja diselesaikan. Begitu pula dengan

pembebanan, baik bagi tenaga kerja maupun bagi mesin. Dalam pengaturan tata

letak pabrik, seorang perencana tidak dapat lepas dari kebutuhan akan waktu

kerja. Untuk memenuhi kebutuhan, pabrik harus melakukan sejumlah kegiatan

perencanaan terhadap semua faktor produksi yang sebagian diantaranya telah

disebutkan di atas. Berbagai teknik yang telah dikembangkan, misalnya

menjadwal dan mengatur pembebanan tenaga kerja dan mesin untuk mendapatkan

keadaan yang optimal, untuk memberi keuntungan sebesar-besarnya di tengah-

tengah batasan-batasan yang ada. Salah satu syarat untuk mendapatkan

pemecahan ini ialah kebenaran data yang turut diperhitungkan. Selama di antara

data yang diperlukan terdapat waktu penyelesaian berbagai pekerjaan yang

tersangkut didalamnya, selama itu pula diperlukan keterangan lamanya waktu

penyelesaian yang diperlukan. Karena keadaan optimal baru didapatkan bila

datanya benar (bila tidak, akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam

pelaksanaannya), maka keterangan tentang waktu penyelesaian yang benar

merupakan salah satu prasyarat (Sutalaksana, dkk, 2006).

18
PERAMALAN KEBUTUHAN

PERENCANAAN KEGIATAN
PRODUKSI: (al.)MENJADWAL
MENGATUR PEMBEBANAN
MENGATUR TATA LETAK
MELAKUKAN PENGANGGARAN

KEGIATAN PRODUKSI HASIL PRODUKSI


(SESUAI KEBUTUHAN)
Gambar 2.2. Berbagai Kegiatan di Sebuah Perusahaan/Pabrik
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

Waktu penyelesaian yang sebenarnya merupakan waktu yang dibutuhkan

untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sistem kerjanya yang terbaik.

Penataan atau pengaturan sistem kerja memungkinkan diperolehnya sistem-sistem

terbaik, dan pengukuran kerja menunjukkan sistem yang terbaik serta rentang

waktu penyelesaian yang sebenarnya. Dengan demikian terlihatlah peranan

prinsip-prinsip dan teknik-teknik pada perancangan sistem kerja dalam

perencanaan dan perancangan kegiatan produksi, dan lebih dari itu untuk

mendapatkan keadaan yang paling optimal (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.2.2. Waktu Baku untuk Sistem Upah Perangsang

Pendapat-pendapat yang dikemukakan dan dikembangkan Taylor ialah

memberikan upah tambahan kepada perkerja yang berhasil memproduksi lebih

banyak dari jumlah baku. Jadi, berdasarkan penelitian seorang pekerja harus

menghasilkan lebih dari 20 akan diberi imbalan sebanding dengan kelebihan

hasilnya. Upah ini dinamakan upah perangsang karena pada dasarnya ditujukan

19
untuk merangsang perkerja agar bekerja lebih giat sehingga menghasilkan produk

lebih banyak. Sistem upah perangsang yang lebih baik akan menggiatkan pekerja

karena tertarik pada tambahan pendapatan yang akan diperolehnya. Bertambahnya

hasil prosuksi, bagi perusahaan berarti keuntungan karena ongkos pembuatan

persatuan barang menurun. Tergagasi oleh cara Taylor, berbagai cara lain untuk

upah perangsang kemudian dikembangkan. Di antaranya Bedaux dan Halsey

(Sutalaksana, dkk, 2006).

Apapun cara yang dipakai, semuanya membutuhkan hasil produksi baku

yang merupakan batas diberi tidaknya upah perangsang. Perancangan sistem kerja

tidak saja menunjukkan kemampuan seorang pekerja dalam menghasilkan produk

per harinya, tetapi juga menjamin bahwa jumlah yang dihasilkan ini adalah

memang yang terbanyak yang dapat dihasilkan secara wajar karena sistem atau

sistem-sistem kerjanya telah dirancang secara baik (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.3. Manusia dan Pekerjaannya

Pengantar bagian ini secara singkat telah mengemukakan berbagai

dorongan yang menyebabkan manusia bekerja mulai dari yang bersifat dasar,

yaitu yang merupakan prasyarat bagi dilakukannya kegiatan-kegiatan yang

dicapai pada kebutuhan lain, sampai pada kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi

yang baru diusahakan pemenuhannya setelah tingkat yang rendah dirasakan telah

dengan baik dimiliki. Setidaknya demikian menurut beberapa teori. Setelah

seseorang berada dalam dunia pekerjaan, terdapat berbagai faktor yang

mempengaruhi jalannya pekerjaan, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi

jalannya pekerjaan. Faktor-faktor ini patut diperhatikan bukan hanya karena

20
bersifat wajar secara manusiawi tetapi bagi perusahaan dapat menimbulkan

serangkaian kerugian bila tidak diperhatikan dan dapat mendatangkan keuntungan

bila sebaliknya. Terutama dilihat dari sudut pandang bahwa manusia adalah salah

satu komponen dari suatu rancangan sistem. Pasal terakhir membahas berbagai

sikap yang berkenaan dengan perubahan sistem kerja yang kerap kali merupakan

penghambat dilaksanakannya perbaikan-perbaikan (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.3.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kerja

Seorang pekerja sangat banyak faktor yang terlibat dan mempengaruhi

keberhasilan kerja. Gambar 2.5 menunjukkan hal ini. Secara garis besar faktor-

faktor tersebut termasuk ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok faktor-faktor

diri (individual) dan faktor-faktor situasional. Sesuai dengan namanya, kelompok

pertama terdisi dari faktor-faktor yang datang dari diri si pekerja itu sendiri dan

seringkali sudah ada sebelum si pekerja yang bersangkutan datang

dipekerjaannya. Kecuali hal-hal seperti pendidikan dan pengalaman semuanya

adalah faktor-faktor yang tidak mudah bahkan tidak dapat berubah. Artinya,

faktor-faktor yang sudah tetap ini adalah hal-hal yang sudah ada (given) dan harus

dapat diterima apa adanya (Sutalaksana, dkk, 2006).

21
Gambar 2.3. Faktor-faktor Diri dan Situasional yang Mempengaruhi Hasil Kerja
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

Berbeda dengan yang pertama, kelompok kedua terdiri dari faktor-faktor

yang hampir sepenuhnya berada di luar diri pekerja dan umumnya dalam kendali

pimpinan perusahaan untuk mengubah-ubahnya. Memang hampir semua faktor

ini dapat diubah dan diatur. Karenanya faktor-faktor situasional terbagi ke dalam

dua sub kelompok, yaitu yang terdiri dari faktor-faktor sosial dan keorganisasian,

serta yang terdiri dari faktor-faktor fisik pekerjaan yang bersangkutan. Besarnya

pengaruh faktor-faktor ini semua terdapat keberhasilan kerja tidakah sekedar hasil

jumlah atau rata-rata dari pengaruh setiap faktor, tetapi merupakan interaksi

faktor-faktor tersebut, kadang-kadang dalam cara yang rumit. Hasil interaksi

keseluruhan inilah secara kesatuan memberikan pengaruh kepada keberhasilan

kerja (Sutalaksana, dkk, 2006).

22
2.2.3.2. Beberapa Segi Mengenai Faktor-faktor Diri

Setiap orang memiliki faktor sendiri-sendiri yang membuatnya

mempunyai kemampuan khas untuk bekerja dan pada saat yang sama tuntutan

serta harapan tertentu pula dari pekerjaannya. Begitu pula dengan pekerjaan,

memiliki ciri-cirinya sendiri yang melahirkan tuntutan tersendiri tentang pekerja,

yakni kemampuan tertentu yang harus dimiliki pekerja. Karena faktor-faktor diri

kebanyakan tidak dapat diubah maka agar suatu pekerjaan dapat dijalankan

dengan baik haruslah diupayakan kecocokan pekerjaan dapat dijalankan dengan

baik haruslah diupayakan kecocokan yang maksimum antara pekerja dan

pekerjaannya. Ada dua pendekatan, yaitu: pertama pendekatan semua sama

pentingnya (all of equal importance) dan kedua perancangan berpusatkan manusia

(human centered design). Pada pendekatan yang pertama dianut paham bahwa

semua unsur sistem kerja, yaitu manusia, alat, bahan, dan lingkungan sama

pentingnya dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan kerja. Pada pendekatan

ini diupayakan adanya titik-titik temu bersama di antara semua itu. Ini merupakan

pendekatan tertua di era modern dalam perancangan sistem kerja, namun mungkin

masih paling banyak diterapkan. Dalam praktiknya yang terjadi adalah unsur

manusia pekerja dikondisikan untuk menyesuaikan diri pada unsur-unsur lainnya

yang given. Berkenaan dengan alat umpamanya, oranglah yang harus

mencocokkan diri dengan kondisi mesin. Bagaimanapun kondisi mesin tersebut,

misalnya berukuran terlalu besar bagi pekerja karena tidak dirancang secara

ergonomik, pekerjalah yang harus mengatasi kesenjangan yang ada. Setiap ia

mengoperasikan alat itu pada jam-jam kerjanya mungkin ia harus meninggi-

23
ninggikan badannya dengan cara jengke atau jinjit, atau menapak suatu bagian

dari mesin sehingga bisa cukup menjangkau sebuah tuas, atau menggunakan

bangku dan berdiri di atasnya. Pengalaman dunia industri barat selama puluhan

tahun yang mempraktikkan pendekatan ini menunjukkan tidak pernah dicapainya

keadaan optimal dari rancangan sistem kerja. Sebagai tanggapan atas keadaan

inilah pada tahun 1980-an datang pendekatan rancangan berpusat manusia

(Sutalaksana, dkk, 2006).

Unsur-unsur lain dari pekerjaanlah yang menyesuaikan pada unsur

manusianya. Pendekatan ini dipercaya melalui terpedayakannya unsur pekerja

dengan baik, membawakan rancangan sistem kerja yang lebih optimal. Kinerja

yang ditimbulkannya akan jauh lebih memuaskan baik bagi perusahaan maupun

pekerja karena kecocokan antara keduanya maksimal. Misalnya, berkenaan

dengan suhu tempet kerja. Bila suhu terbaik bagi pekerja untuk menjalankan suatu

tugas tententu adalah 23oC, hendaklah syarat tentang suhu ini dipenuhi. Dengan

demikian pekerja mampu berperan dengan kemampuan terpenuhnya: ia akan bisa

bekerja lebih lama, menghasilkan lebih banyak dan dengan mutu keluaran lebih

bagus. Kecocokan maksimal antara pekerja dengan pekerjaannya merupakan

suatu syarat penting karena jika diabaikan, hasil kerjanya akan rendah. Begitu

pekerja yang bersangkutan menyadari hal ini, apalagi jika dengan demikian ia

kehilangan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari kerjanya

ini, terjadilah potensi demotivasi yang berpotensi pada hasil kerja yang rendah

dan semakin rendah lagi. Hal ini jelas semakin tidak dikehendaki baik oleh

pekerja maupun oleh perusahaan. Ringkasnya, kenalilah faktor-faktor diri pekerja,

24
lalu upayakan merancang alat, bahan, dan lingkungan sesuai dengan itu

(Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.3.3. Beberapa Segi Mengenai Faktor-faktor Fisik Pekerjaan

Hubungan antara manusia pekerja dengan mesin serta peralatan-peralatan

dan lingkungan kerja dapat dilihat sebagai hubungan yang unik, karena interaksi

antara hal-hal di atas yang membentuk suatu sistem kerja tidak terlalu sederhana

bahkan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Di suatu pabrik kecil dengan jumlah

buruh yang tidak besar, hubungan antara pekerja dapat berkembang erat termasuk

antara atasan dengan bawahan. Selain itu, pekerja dapat melihat barang hasil

produksi, yaitu barang yang dia turun mempunyai saham didalamnya. Hal ini

menimbulkan akibat psikologis tersendiri, yaitu berupa rasa bangga, rasa berperan

yang dapat menimbulkan kepuasan kerja (Sutalaksana, dkk, 2006).

Di pabrik besar yang produksinya bersifat massal, jumlah mesin yang

sangat banyak dan seringkali sejenis atau beragam jenisnya, dapat menimbulkan

suatu ketegangan (stress) pada pekerja. Pembagian tugas yang sempit atau

spesialisasi yang ketat menyebabkan pekerjaan bersifat terlalu repetitif atau

berulang-ulang, kadang-kadang dengan siklus yang singkat, sangat rutin, dan

menjemukan. Begitu juga mesin yang beroperasi dengan cepat memerlukan

kontrol yang ketat dari pekerja, yang bagi pekerja menjadikan dirinya merasa

dikontrol oleh mesin yang tentunya terkesan merendahkan kemanusiaannya.

Besarnya pabrik membuat pekerja tidak pernah melihat hasil akhir produksi dan

ini berakibat hilangnya rasa berjasa dan menyebabkan kurangnya rasa tanggung

jawab (Sutalaksana, dkk, 2006).

25
Di pabrik-pabrik besar yang otomatis pun hal-hal psiko-sosio-organisasi

tidak terhindarkan. Mekanisme kejadiannya mungkin yang berbeda. Karena

keotomatisannya, berbagai panel kontrol harus diawasi dan pengawas harus selalu

sigap dengan keputusan dan tindakan-tindakan pengamanan proses. Secara fisik

memang tidak berat, tetapi secara mental dirasakan sebagai ketegangan tersendiri.

Selain itu kurangnya rasa tanggung jawab akibat tidak pernah melihat akhirnya

dapat juga terjadi di sini (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.3.4. Beberapa Masalah Tentang Perubahan

Perancangan sistem kerja ditujukan untuk mendapatkan rancangan sistem

kerja yang terbaik dan dalam hal ini salah satu bagian pentingnya adalah bahwa

kegiatan untuk memperoleh rancangan terbaik merupakan kegiatan yang dinamis.

Perubahan-perubahan yang terus-menerus sesuai dengan perbaikan-perbaikan

rancangan yang dinilai lebih menguntungkan. Penghambat terlaksananya

perubahan-perubahan adalah ketidaksediaan pekerja dalam menerimanya.

Memang hal itu harus disadari karena hampir setiap usaha mengubah keadaan,

apalagi yang sudah mapan, akan mendapat tentangan, dan hal ini adalah sesuatu

yang wajar. Tentangan ini tidak terbatas pada hal-hal yang dirasakan

memberatkan saja, terhadap hal-hal yang secara objektif justru menguntungkan

pun sering dihadapi pekerja dengan mata terpincing penuh kecurigaan

(Sutalaksana, dkk, 2006).

26
Kecurigaan bawah cara yang baru hanya akan memberatkan pekerja

adalah salah satu yang menjadi bahan tantangan. Hal lainnya adalah keengganan

untuk mengubah kebiasaan yang telah dirasakan enak dan menyatu dengan diri

pekerja. Seringkali suatu sistem kerja telah begitu lama berjalan sehingga pekerja

betul-betul telah terbiasa dengan sistem kerja yang lain. Akibatnya, perbaikan

yang menuntut perubahan kebiasaan dirasakan sebagai sesuatu yang betul-betul

menyulitkan. Untuk mengatasi hal-hal seperti ini pimpinan perusahaan perlu

memberikan penjelasan-penjelasan yang mengena mengenai sistem kerja yang

direncanakan. Khususnya untuk pekerja yang berada pada tingkat-tingkat

terbawah, penjelasan bahwa perbaikan akan menguntungkan pekerja-pekerja itu

sendiri juga perlu mendapatkan penekanan. Perlu ditanamkan juga pengertian

bahwa mengejar efektivitas dan efisiensi kerja adalah juga untuk memungkinkan

diselenggarakannya keamanan, kesehatan, dan kenyamanan kerja (Sutalaksana,

dkk, 2006).

Penanaman-penanaman pengertian harus dengan cermat dijalankan bahkan

sampai pada saat-saat perubahan sedang dan sudah berjalan. Pendekatan-

pendekatan kemanusiaan sangan diperlukan di sini termasuk diantaranya melalui

kelompok-kelompok informal yang ada di kalangan pekerja. Perbaikan yang

dilakukan bertujuan untuk memperbaiki keadaan sudahlah jelas, namun bagi

pekerja seringkali hal ini harus ditunjukkan juga dengan perbaikan keadaan

mereka. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil dikabulkan, karena jika memang

terjadi peningkatan penghasilan perusahaan akibat perbaikan tadi, pekerja pun

berhak untuk menerima bagiannya. Kebijaksanaan demikian dapat membantu

27
meningkatkan kepercayaan pekerja terhadap maksud baik dari perubahan dan

menciptakan suatu sikap tidak menolak perubahan dikalangan pekerja. Dengan

demikian perbaikan-perbaikan akan lebih mudah berlangsung (Sutalaksana, dkk,

2006).

Para sarjana teknik industri atau ahli-ahli perbaikan sistem kerja sering

menghadapi kesulitan demikian. Penyebabnya bermacam-macam termasuk

diantaranya sikap tidak mau bersusah-susah mengubah suatu sikap yang tidak

berbeda dengan salah satu sikap pekerja. Penyebab yang lain adalah

ketidaksadaran akan pentingnya perubahan (perbaikan) bagi keuntungan

perusahaan. Penyebab lainnya adalah keraguan dalam meyakinkan pekerja tentang

pentingnya perubahan. Bahkan bila ia tahu bahwa secara objektif perubahan akan

mendatangkan kebaikan bagi pekerja. Meyakinkan karyawan maupun pimpinan

bahwa perubahan akan bermanfaat merupakan salah satu langkah penting agar

perbaikan-perbaikan yang dinamis itu dapat berjalan (Sutalaksana, dkk, 2006).

Pentingnya berubah dan besarnya masalah yang dihadapi untuk

menjalankan perubahan mendorong berkembangnya apa yang dikenal sebagai

manjemen perubahan di dalam keilmuan manajemen. Mengenal sikap demikian

dari karyawan di berbagai jenjang, termasuk pimpinan, banyak kepustakaan

menyebutnya dengan ungkapan resistance to change. Yang menarik ada nuansa

perlawanan pada kata itu. Tidak digunakannya kata reluctance yang berarti

keengganan mungkin menggambarkan betapa tidak kecilnya masalah mengubah

dari suatu keadaan ke keadaan yang baru (Sutalaksana, dkk, 2006). Ada dua cara

28
yang banyak disarankan untuk mengatasi persoalan ini (Sutalaksana, dkk, 2006),

yaitu:

1. Cairkan-ubah-bekukan kembali. Langkah awalnya adalah mencairkan

kebekuan (kemapanan, ketidakmauan berubah) dengan jalan melakukan

berbagai pendekaan langsung dan terbuka. Mempromosikan rencana perubahan

dan manfaat-manfaatnya sehingga pihak-pihak yang bersangkutan semakin tak

asing dengan gagasan-gagasan perubahan yang ada, semakin mengenal dan

semakin memahaminya. Tumbuhkan sikap-sikap kerja yang cocok terhadap

rancangan baru. Akhirnya, setelah mantap jadikan rancangan baru sebagai

bakuan, tradisi, nilai bahkan budaya baru.

2. Analisis medan gaya. Meski pada ilmu fisika, asal istilah ini berasal gaya-gaya

berlawanan yang dimaksud adalah antara dua kutub magnet yang sejenis, maka

pada permasalahan perubahan rancangan sistem kerja gaya-gaya yang

berlawanan terjadi antara dua kekuatan yang berbeda: yang mendorong

perubahan dan yang menghambat. Tugas pembawa perubahan adalah

memanfaatkan dan menguatkan gaya-gaya yang mendorong dan melemahkan

bahkan meniadakan yang bersifat menghambat. Cara-cara yang ditempuh yang

diutamakan untuk keduanya adalah yang bersifat persuasif, menyadarkan, dan

memotivasi.

3. Analisis kesenjangan. Di sini jarak perbedaan antara kondisi yang ada dengan

yang akan dicapai dicirikan dengan cermat. Sejauh menyangkut faktor

manusianya, kesenjagnan yang ada dalam hal pengetahuan, keterampilan dan

sikap menjadi penting untuk dicirikan karena dari pengetahuan tentang itulah

29
diprogramkan perubahan-perubahan yang sistematik dan mulus. Seringkali

yang cukup sulit adalah mengisi kesenjangan dalam hal sikap. Karenanya,

mengganti sikap kerja lama ke sikap yang diperlukan untuk rancangan sistem

kerja baru dijalankan dengan penuh kecermatan dengan menggunakan

pendekatan-pendekatan insani yang kental.

2.2.4. Studi Gerakan

Studi gerakan adalah analisa yang dilakukan terhadap beberapa gerakan

bagian badan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Agar gerakan-gerakan

yang tidak efektif dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sehingga akan

diperoleh penghematan dalam waktu kerja, yang selanjutnya dapat pula

menghemat pemakaian fasilitas-fasilitas yang tersedia untuk pekerjaan tersebut.

Untuk memudahkan penganalisisan terhadap gerakan-gerakan yang dipelajari,

perlu dikenal dahulu gerakan-gerakan dasar. Tokoh yang telah mempelajari

gerakan-gerakan dasar secara mendalam adalah Frank B. Gilberth beserta istrinya,

yang menguraikan gerakan kedalam 17 gerakan dasar atau elemen gerakan yang

dinamai therblig (Sutalaksana, dkk, 2006).

Kemampuan untuk menguraikan suatu pekerjaan ke dalam therblig-

therblig dengan baik sangat diperlukan, karena akan memudahkan dalam

penganalisaanya. Dan dapat dengan baik pula diketahui gerakan-gerakan masa

penganalisa masih dapat menghemat waktu kerja atau gerakan mana yang

sebetulnya tidak diperlukan oleh pekerja tapi masih dilakukan oleh pekerja.

Karena dengan menghemat waktu kerja akan sangat menguntungkan, terutama

30
dalam sebuah proyek-proyek besar hal ini akan sangat penting, ada beberapa

gerakan-gerakan yang diuraikan oleh Gilberth (Sutalksana, dkk, 2006) yaitu:

1. Mencari (search)

Mencari merupakan gerakan dasar dari pekerja untuk menemukan

lokasi dari suatu objek. Sesuatu yang bekerja dalam hal ini ialah mata. Gerakan

ini dimulai pada saat mata bergerak mencari objek dan berakhir bila objek

sudah ditemukan. Untuk therblig ini tujuan analisisnya adalah sedapat mungkin

menghilangkan. Mencari merupakan gerak yang tidak efektif dan masih dapat

dihindarkan misalnya dengan menyimpan peralatan atau bahan-bahan pada

tempat yang tetap sehingga proses mencari dapat dihilangkan.Tujuan lain dari

analisis gerakan ini adalah untuk memudahkan seorang pekerja baru dapat

dengan cepat menyesuaikan dirinya, terutama dalam pekerjaannya.

2. Memilih (select)

Memilih merupakan gerakan untuk menemukan suatu objek yang

tercampur. Tangan dan mata adalah dua bagian yang digunakan untuk

melakukan gerakan ini. Therblig ini dimulai pada saat tangan dan mata mulai

memilih, dan terakhir bila objek sudah ditemukan. Batas antara mulai memilih

dan akhir dari mencari agak sulit untuk ditentukan karena ada pembauran

pekerjaan di antara dua gerakan tersebut, yaitu gerakan yang dilakukan oleh

mata. Gerakan memilih merupakan gerakan yang tidak efektif sehingga sedapat

mungkin elemen gerakan ini harus dihindarkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut

dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengurangi atau menghilangkan elemen

gerakan memilih.

31
3. Memegang (grasp)

Gerakan ini adalah gerakan untuk memegang suatu objek, biasanya

didahului dengan gerakan menjangkau dan dilanjutkan dengan gerakan

membawa. Gerakan ini merupakan gerakan yang efektif dari suatu pekerjaan

dan meskipun sulit untuk dihilangkan dalam beberapa keadaan masih dapat

diperbaiki. Untuk memperbaiki elemen gerakan memegang, beberapa

pertanyaan di bawah ini dapat diperbaiki sebagai pedoman.

4. Menjangkau (reach)

Menjangkau adalah gerakan tangan berpindah tempat tanpa beban, baik

gerakan mendekati maupun menjauhi objek. Gerakan ini biasanya didahului

oleh gerakan melepas (release) dan diikuti oleh gerakan memegang. Gerakan

ini mulai pada saat tangan mulai berpindah dan berakhir di tangan sudah

berhenti.

5. Membawa (move)

Elemen gerakan membawa juga merupakan gerak perpindahan tangan .

hanya dalam gerakan ini tangan dalam keadaan dibebani. Gerakan membawa

biasanya didahului oleh memegang dan dilanjutkan oleh melepas atau dapat

juga oleh pengarahan (position). Gerakan ini mulai dan berakhir pada saat yang

sama dengan menjangkau, karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi waktu

geraknya pun hampir sama, yaitu jarak pindah, dan semacamnya. Pengaruh

yang lain adalah beratnya beban yang dibawa oleh tangan. Dalam beberapa

pekerjaan yang memerlukan kombinasi antara tangan dan mata, waktu

diperlukan untuk membawa menjadi terpengaruhi oleh waktu yang diperlukan

32
oleh gerakan mata. Pekerjaan ini sering dijumpai karena pada dasarnya

sewaktu objek sedang dibawa, mata sudah mulai mengarahkan (positioning).

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini dapat dipakai sebagai pedoman untuk

memperbaiki gerakan menjangkau dan membawa.

6. Memegang untuk memakai (hold)

Gerakan ini adalah memegang tanpa menggerakkan objek dipegang.

Perbedaannya dengan memegang terdahulu adalah pada perlakuan terhadap

objek. Pada memegang, pemegangan dilanjutkan dengan gerak membawa,

sedangkan memegang untuk memakai tidak demikian.

7. Melepas (released)

Terjadi apabila seorang pekerja melepaskan objek yang dipegangnya,

merupakan gerakan yang relatif singkat. Gerakan ini didahului oleh gerakan

mengangkat atau dapat pula gerakan mengarahkan dan biasanya diikuti oleh

gerakan menjangkau.

8. Mengarahkan (position)

Therblig ini merupakan gerakan mengarahkan suatu objek pada suatu

lokasi tertentu. Mengarahkan biasanya didahului oleh gerakan mengangkut dan

diikuti gerakan merakit. Gerakan ini mulai sejak tangan mengendalikan objek

misalnya memutar, menggeser ke tempat yang diinginkan, dan berakhir pada

saat gerakan merakit atau memakai dimulai.

33
9. Mengarahkan sementara (pre position)

Mengarahkan sementara merupakan elemen gerak pada suatu tempat

sementara. Tujuan dari penempatan sementara ini adalah untuk memudahkan

pemegangan apabila objek tersebut akan ditangani. Dengan demikian untuk

siklus kerja berikutnya elemen gerak mengarahkan diharapkan berkurang.

10. Pemeriksaan (inspection)

Gerakan ini merupakan pekerjaan memeriksa objek untuk mengetahui

apakah objek telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Elemen ini dapat berupa

gerakan melihat seperti untuk memeriksa warna, meraba seperti memeriksa

kehalusan permukaan, mencium, mendengarkan, dan kadang-kadang merasa

dengan lidah. Pemeriksaan yang dilakukan dalam therblig ini dapat berupa

pemeriksaan kualitas seperti baik atau buruknya objek yang ditentukan oleh

warnanya, dapat pula berupa pemeriksaan kuantitas, misalnya jika cacat-

tidaknya ditentukan oleh jumlah cacatnya.

11. Merakit (assemble)

Perakitan adalah gerakan untuk menggabungkan satu objek dengan

objek lainnya sehingga menjadi satu kesatuanyang dapat dipisahkan dan

tidak. Biasanya didahului oleh salah satu therblig membawa atau

mengarahkan dan dilanjutkan dengan therblig melepas.

12. Lepas rakit (disassemble)

Merupakan gerakan pemisahan dua objek dari satu kesatuannya.

Biasanya didahului oleh memegang dan dilanjutkan oleh membawa atau

biasanya juga dilanjutkan oleh melepas.

34
13. Memakai (use)

Memakai adalah bila satu tangan atau kedua-duanya dipakai untuk

menggunakan alat. Merakit, lepas rakit dan memakai dapat diperbaiki dengan

mempertanyakan hal-hal sebagai berikut:

a. Dapatkah dipakai perkakas pembantu?

b. Dapatkah aktivitas pekerjaan dilakukan oleh peralatan secara otomatis?

c. Dapatkah melakukan peralatan dengan beberapa unit sekaligus?

d. Apakah peralatan telah dijalankan secara efisien?

14. Kelambatan yang tak terhindarkan (unavoidable delay)

Kelambatan yang dimaksud adalah kelambatan yang diakibatkan oleh

hal-hal yang terjadi diluar kemampuan pengendalian pekerja. Hal ini timbul

karena ketentuan cara kerja yang mengakibatkan satu tangan menganggur

sedangkan tangan yang lainnya bekerja. Kelambatan ini dapat dikurangi

dengan mengadakan perubahan atau perbaikan pada proses operasi atau pada

proses produksi yang dilakukan.

15. Kelambatan yang dapat dihindarkan (avoidable delay)

Kelambatan ini disebabkan oleh hal yang timbul sepanjang waktu

kerja oleh pekerjanya baik sengaja maupun tidak disengaja. Untuk

mengurangi kelambatan ini harus diadakan perbaikan oleh pekerjanya sendiri

tanpa harus merubah proses operasinya.

35
16. Merencanakan (plan)

Merencanakan merupakan proses mental di mana operator berpikir

untuk menentukan tindakan yang akan diambil selanjutnya. Therblig ini

sering terjadi pada pekerja baru.

17. Istirahat untuk menghilangkan fatigue (rest to overcome fatigue)

Hal ini terjadi pada setiap siklus kerja tetapi terjadi secara periodik.

Untuk memperbaiki kalambatan-kelambatan yang diakibatkan oleh

kelambatan yang tak terhindarkan, kelambatan yang dapat dihindarkan,

merencana dan istirahat untuk menghilangkan fatigue adalah dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:

a. Apakah anggota tubuh yang digunakan sudah tepat?

b. Apakah temperatur, kelembaban, ventilasi, kebisingan, dan kondisi kerja

yang lain telah memuaskan?

c. Apakah ukuran kursi dan meja telah disesuaikan dengan tubuh pekerja?

d. Apakah gizi makanan dari pekerja sudah mencukupi?

e. Apakah pekerja sudah merasa nyaman dalam melakukan pekerjaannya?

2.2.4.1. Ekonomi Gerakan

Hasil kerja yang baik diperlukan perancangan sistem kerja yang baik pula.

Para perancang kerja dapat menyusun suatu sistem kerja yang antara lain terdiri

dari gerakan-gerakan yang baik yaitu gerakan yang memberikan hasil kerja yang

baik, misalnya gerakan yang dapat mengakibatkan waktu penyelesaian kerja yang

singkat (Sutalaksana, dkk, 2006).

36
1. Prinsip-prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan tubuh manusia dan

gerakan-gerakannya.

a. Kedua tangan sebaiknya memulai dan menagakhiri gerakan pada saat

bersamaan.

b. Kedua tangan sebaiknya tidak menganggur pada saat yang sama

kecuali pada waktu istirahat.

c. Gerakan tangan akan lebih mudah jika terhadap lainnya simetris dan

berlawan arah.

d. Gerakan tangan atau badan sebaiknya dihemat. Gerakan hanya bagian

badan yang diperlukan saja untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-

baiknya.

e. Sebaiknya memanfaatkan momentum untuk membantu gerakan.

f. Gerakan yang patah-patah, banyak perubahan arah akan

memperlambat gerakan tersebut.

g. Gerakan balistik akan lebih cepat, menyenangkan dan lebih teliti

daripada gerakan yang dikendalikan.

h. Pekerjaan sebaiknya dirancang semudah-mudahnya dan jika

memungkinkan irama kerja harus mengikuti irama yang alamiah bagi

si pekerja.

i. Usahakan sesedikit mungkin gerakan mata.

37
2. Prinsip-prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan pengaturan tata letak

tempat kerja

a. Sebaiknya diusahakan agar badan dan peralatan mempunyai tempat yang

tetap.

b. Tempatkan bahan-bahan dan peralatan ditempatkan yang mudah, cepat,

dan enak untuk dicapai.

c. Tempat penyimpanan bahan yang akan dikerjakan sebaiknya

memanfaatkan prinsip gaya berat sehingga bahan yang kanan dipakai

selalu tersedia di tempat yang dekat untuk diambil.

d. Mekanisme kerja yang baik untuk menyalurkan objek yang sudah selesai

dirancang.

e. Bahan-bahan dan peralatan sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa

sehingga gerakan-gerakan dapat dilakukan dengan urut-urutan terbaik.

f. Tinggi tempat kerja dan kursi sebaiknya sedemikian rupa sehingga

alternatif berdiri atau duduk dalam menghadapi pekerjaan merupakan

suatu hal yang menyenangkan.

g. Tipe tinggi kursi harus sedemikian rupa sehingga yang mendudukinya

bersikap (mempunyai postur) yang baik.

h. Tata letak peralatan dan pencahayaan sebaiknya diatur sedemikian rupa

sehingga dapat membentuk kondisi yang baik untuk penglihatan.

38
3. Prinsip-prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan perancangan peralatan

a. Sebaiknya tangan dapat dibebaskan dari semua pekerjaan bila penggunaan

perkakas pembantu atau alat yang dapat digerakkan dengan kaki dapat

ditingkatkan.

b. Sebaiknya peralatan dirancang sedemikian rupa agar mempunyai lebih

dari satu kegunaan.

c. Peralatan sebaiknya dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan

dalam pemegangan dan penyimpanan.

d. Bila jari tangan melakukan gerakan sendiri-sendiri, misalnya seperti

pekerjaan mengetik. Beban yang didistribusikan padajari harus sesuai

dengan kekuatan masing-masing jari.

2.2.5. Pengukuran Waktu Jam Henti

Pengukuran waktu ini menggunakan jam henti (stopwatch) sebagai alat

utamanya. Cara ini sering sekali digunakan karena merupakan cara yang paling

banyak dikenal. Alasan lainnya yang menyebabkan metode ini sering digunakan

adalah kesederhanaan aturan-aturan pengukuran yang dipakai. Aturan-aturan

pengukuran yang perlu dilakukan dijelaskan dalam langkah-langkah berikut.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, yang dapat dipertanggungjawabkan, maka

tidak cukup sekedar melakukan beberapa kali pengukuran dengan menggunakan

jam henti, apalagi jam biasa. Banyak faktor yang harus diperhatikan agar akhirnya

dapat diperoleh waktu yang pantas untuk pekerjaan yang bersangkutan seperti

yang berhubungan dengan kondisi kerja, cara pengukuran, jumlah pengukuran,

dan lain-lain. Langkah-langkah yang perlu diikuti agar maksud di atas dapat

39
tercapai, yaitu: penetapan tujuan pengukuran, melakukan penelitian pendahuluan,

memilih operator, melatih operator, mengurai pekerjaan atas elemen pekerjaan,

dan menyiapkan perlengkapan pengukuran (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.5.1. Penetapan Tujuan Pengukuran

Tujuan melakukan kegiatan harus ditetapkan terlebih dahulu. Dalam

pengukuran waktu, hal-hal yang penting yang harus diketahui dan ditetapkan

adalah untuk pengguna hasil pengukuran, tingkat ketelitian, dan tingkat

keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran tersebut. Misalnya dalam waktu

baku yang akan diperoleh dimaksudkan untuk dipakai sebagai dasar upah

perangsang, maka ketelitian dan keyakinan tentang hasil pengukuran harus tinggi

karena menyangkut prestasi dan pendapatan buruh di samping keuntungan bagi

perusahaan itu sendiri. Tetapi jika pengukuran dimaksudkan untuk

memperkirakan secara kasar waktu pemesan barang dapat kembali untuk

mengambil pesanannya, maka tingkat ketelitian dan keyakinannya tidak perlu

sebesar tadi (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.5.2. Melakukan Penelitian Pendahuluan

Tujuan yang ingin dicapai dari pengukuran waktu adalah memperoleh

waktu yang pantas untuk diberikan kepada pekerja dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan. Tentu suatu sistem kerja dengan kondisi yang telah ada selama ini

termasuk di antara yang dapat dicarikan waktu yang pantas tersebut. Artinya akan

didapat juga waktu yang pantas untuk menyelesaikan pekerjaan, namun dengan

kondisi yang bersangkutan itu. Suatu perusahaan biasanya menginginkan waktu

40
kerja yang sesingkat-singkatnya agar dapat meraih keuntungan yang sebesar-

besarnya. Keuntungan demikian tidak akan diperoleh jika kondisi kerja dari

pekerjaan-pekerjaan yang ada di perusahaan tersebut tidak menunjang tercapainya

hal tadi (Sutalaksana, dkk, 2006).

Contohnya, katakanlah ada suatu pekerjaan yang berada di sebuah ruangan

yang berjendela tidak cukup besar. Keadaan ini bukan saja akan mengakibatkan

pengapnya ruangan karena tidak lancarnya pertukaran udara, tetap juga

menyebabkan gelapnya ruangan disaat hari mendung. Keadaan meja tempat

pekerjaan dilakukan tidak baik, terlalu tinggi jika pekerja duduk di kursi dan

terlalu rendah jika pekerja berdiri. Waktu penyelesaian yang pantas untuk kondisi

demikian tentu bisa dicari, tetapi dapat diduga bukanlah waktu terbaik yang bisa

dicapai, melainkan waktu yang lebih panjang dari yang seharusnya diperlukan.

Bagi pekerja, kondisi demikian tidak selalu menguntungkan, antara lain

menghambat dirinya berprestasi kerja disamping akibat-akibat jangka panjang

seperti terhadap kesehatannya (Sutalaksana, dkk, 2006).

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa waktu kerja yang pantas

hendaknya merupakan waktu kerja yang didapat dari kondisi kerja yang baik.

Dengan kata lain, pengukuran waktu sebaiknya dilakukan apabila kondisi kerja

dari pekerjaan yang diukur sudah baik. Jika belum, maka kondisi yang ada

sebaiknya diperbaiki terlebih dahulu. Hal yang sama dapat terjadi bila cara-cara

kerja yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan belum baik. Untuk

mendapatkan waktu penyelesaian yang singkat, perbaikan cara kerja juga perlu

dilakukan. Mempelajari kondisi kerja dan cara kerja kemudian memperbaikinya,

41
merupakan sesuatu yang dilakukan dalam langkah penelitian pendahuluan.

Tentunya ini berlaku jika pengukuran dilakukan atas pekerjaan yang telah ada,

bukan pekerjaan yang baru. Dalam keadaan seperti yang terakhir, maka yang

dilakukan bukanlah memperbaiki melainkan merancang kondisi dan cara kerja

yang baik yang sama sekali baru (Sutalaksana, dkk, 2006).

Memperbaiki kondisi dan cara kerja, diperlukan pengetahuan dan

penerapan sistem kerja yang baik. Hal lain yang harus dilakukan dalam rangka ini,

yaitu membakukan secara tertulis sistem kerja yang dianggap baik. Di sini semua

kondisi dan cara kerja dicatat dan dicantumkan dengan jelas serta bila perlu

dengan gambar-gambar. Untuk tata letak peralatan dan wadah, misalnya.

Pembakuan sistem kerja yang dipilih adalah suatu hal yang penting, baik dilihat

untuk keperluan sebelum, pada saat proses, maupun sesudah pengukuran

dilakukan dan waktu baku didapatkan. Kerap kali sebelum pengukuran dilakukan,

operator yang dipilih melakukan serangkaian latihan dengan cara sistem kerja

yang baku. Ini terjadi bila operator tadi belum terbiasa dengan sistem tersebut.

Catatan yang baku inilah yang dipakai sebagai acuan pelatihan-pelatihan semacam

itu diperlukan. Keduanya memerlukan pegangan agar sistem kerja yang dipilih itu

tetap diselenggarakan (Sutalaksana, dkk, 2006).

Waktu akhir yang diperoleh setelah pengukuran selesai adalah waktu

penyelesaian pekerjaan untuk sistem kerja yang dijalankan ketika pengukuran

berlangsung. Jadi, waktu penyesuaiannya berlaku hanya untuk sistem tersebut.

Suatu penyimpangan akan membuat waktu penyelesaian yang jauh berbeda dari

yang ditetapkan berdasarkan pengukuran. Karenanya catatan yang baku tentang

42
sistem kerja yang telah dipilih perlu ada dan dipelihara, walaupun pengukurannya

telah selesai (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.5.3. Memilih Operator

Operator yang akan melakukan pekerjaan yang diukur bukanlah orang

yang begitu saja diambil dari tempat kerja. Orang ini harus memenuhi beberapa

persyaratan tertentu agar pengukuran dapat berjalan dengan baik dan dapat

diandalkan hasilnya. Syarat-syarat tersebut adalah kemampuan normal dan dapat

diajak bekerja sama. Jika jumlah pekerja yang tersedia di tempat kerja yang

bersangkutan banyak dan kemampuan mereka dibandingkan akan terlihat

perbedaan di antaranya dari yang berkemampuan rendah sampai tinggi. Umumnya

kemampuan akan berdistribusi seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.6.

Terlihat bahwa orang-orang yang berkemampuan tinggi jumlahnya sedikit.

Sementara orang yang berkemampuan rata-rata jumlahnya banyak. Secara statistik

distribusi kemudian dapat dibuktikan berdistribusi normal atau dapat dilakukan

oleh distribusi normal. Seperti yang ditentukan sebelumnya bahwa tujuan dari

pengukuran waktu, yaitu untuk mendapatkan waktu penyelesaian, maka dengan

melihat kenyataan kemampuan pekerja seperti ditunjukkan tadi jelaslah orang

yang dicari bukanlah orang yang berkemampuan tinggi atau rendah, karena orang-

orang yang demikian hanya meliputi sebagian kecil saja dari seluruh pekerjaan

yang ada. Jadi yang dicari adalah waktu penyelesaian pekerjaan yang secara wajar

diperlukan oleh pekerja normal, dan ini merupakan orang-orang yang

berkemampuan rata-rata. Dengan demikian pengukur harus mencari operator yang

memenuhi hal tersebut (Sutalaksana, dkk, 2006).

43
Operator yang dipilih adalah orang yang pada saat pengukuran dilakukan

mau berkerja secara wajar. Walaupun operator yang bersangkutan sehari-hari

dikenal memenuhi syarat pertama tadi, tidak mustahil dia bekerja tidak wajar

ketika pengukuran dilakukan karena alasan tertentu. Biasanya jika operator

tersebut memiliki kecurigaan terhadap maksud-maksud pengukuran, misalnya

dianggap untuk melakukan hal-hal yang akan merugikan dirinya atau pekerjaan

lain, dia akan bekerja lamban. Sebaliknya mungkin saja dia akan bekerja dengan

kecepatan lebih karena menginginkan hasil yang banyak untuk mendapatkan

pujian. Selain itu, operator pun harus dapat bekerja secara wajar tanpa canggung

walaupun dirinya sedang diukur dari pengukur berada didekatnya (Sutalaksana,

dkk, 2006).

Jumlah
pekerja

rendahrata-ratatinggi
Kemampuan kerja
Gambar 2.4. Distribusi Kemampuan Kerja
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

Penjelasan mengenai maksud baik dan manfaat pengukuran serta sikap

yang seharusnya dilakukan operator ketika sedang diukur, perlu diberikan terlebih

dahulu. Dan operator pun harus mengerti serta menyadari sepenuhnya. Inilah yang

44
dimaksud bahwa operator dapat diajak bekerja sama. Dalam pelaksanaanya, jika

pengukur tidak mengenal pekerja-pekerja yang ada, untuk mendapatkan operator

yang akan diukur, dia dapat mencarinya dengan mendapatkan petunjuk dari

kepala-kepala regu, kepala pabrik atau pejabat-pejabat pabrik yang telah

mengenal baik para pekerja. Data tentang hasil kerja para pekerja dalam catatan di

tempat kerja juga dapat membantu pekerjaan ini (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.5.4. Melatih Operator

Operator yang baik telah didapat, akan tetapi pelatihan masih diperlukan

bagi operator terutama jika kondisi dan cara kerja yang dipakai tidak sama dengan

yang biasa dijalankan operator. Hal ini terjadi jika yang akan diukur adalah sistem

kerja baru sehingga operator tidak berpengalaman menjalankannya. Bahkan bila

sistem kerjanya adalah yang sudah ada selama ini, operator pun bisa kurang

menguasai pekerjaannya terutama bila banyak perubahan rancangan yang

dilakukan. Dalam keadaan seperti ini operator harus dilatih terlebih dahulu,

karena sebelum diukur operator harus terbiasa dengan kondisi dan cara kerja yang

telah ditetapkan (dan telah dibakukan) itu. Harap diingat bahwa yang dicari adalah

waktu penyelesaian pekerjaan yang didapat dari suatu penyelesaian wajar dan

bukan penyelesaian dari orang yang bekerja kaku dengan berbagai kesalahan

(Sutalaksana, dkk, 2006).

45
Tingkat
Penguasaan

V Waktu
Gambar 2.5. Kurva Belajar
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

Lengkungannya dikenal sebagai lengkungan belajar (learning curve).

Operator baru dapat diukur bila sudah berada pada tingkat penguasaan maksimum

yang ditunjukkan oleh garis stabil mendatar pada kurva. Pada tingkat ini operator

telah memiliki penguasaan paling tinggi yang ia capai. Biasanya latihan-latihan

lebih lanjut tidak akan mengubah banyak ketinggian tersebut. Di samping

mempelajari kurva belajar operator yang bersangkutan, penguasaan yang telah

baik biasanya tercermin pada gerakan-gerakan yang “halus” (tidak kaku),

berirama, dan tanpa banyak melakukan perencanaan-perencanaan gerakan

(Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.5.5. Mengurai Pekerjaan Atas Elemen Perkerjaan

Pekerjaan akan dipecahkan menjadi elemen pekerjaan, yang merupakan

gerakan bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. Elemen-elemen inilah yang

diukur waktunya. Waktu siklusnya adalah jumlah waktu dari setiap elemen ini.

Waktu siklus adalah waktu penyelesaian sebuah produk sejak bahan baku diproses

di tempat kerja yang bersangkutan. Misalnya waktu untuk merakit pulpen adalah

waktu yang dibutuhkan unntuk mengambil komponen-komponen pulpen dari

wadahnya, menggabungkan bagian bawah pulpen, pegas, isi, dan bagian atas

46
pulpen sehingga menjadi sebuah pulpen yang lengkap. Gerakan-gerakan

mengambil, menggabungkan bagian bawah, pegas, isi, dan seterusnya bisa

merupakan elemen-elemen pekerjaan, dan jumlah dari waktu gerakan-gerakan ini

keseluruhan disebut waktu siklus perakitan pulpen. Satu waktu siklus tidak harus

berarti waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu produk sehingga

menjadi barang jadi seperti yang telah dicontohkan sebelumnya. Jika pekerjaan

merakit pulpen diserahkan kepada dua pekerja, yakni orang pertama

menggabungkan bagian bawah, pegas, dan isi, sementara orang kedua

menggabungkan bagian atas ke bagian lainnya yang telah diselesaikan oleh orang

pertama dan bila setiap pekerja dianggap bagian dari dua sistem kerja yang

berbeda, maka waktu siklus yang pertama hanya jumlah waktu yang diperlukan

untuk menggabungkan bagian bawah, pegas dan isi (Sutalaksana, dkk, 2006).

Alasan-alasan yang menyebabkan pentingnya melakukan penguraian

pekerjaan atas elemen–elemennya, yaitu pertama, untuk menjelaskan catatan

tentang cara kerja yang dibakukan. Pada langkah kedua di atas telah dikemukakan

bila kondisi dan cara kerja yang telah (dianggap) baik dilakukan, dinyatakan

secara tertulis untuk kemudian digunakan sebagai pegangan sebelum, pada saat-

saat, dan sesudah pengukuran waktu. Salah satu cara membakukan cara kerja

adalah dengan membakukan pekerjaan berdasarkan elemen-elemennya

(Sutalaksana, dkk, 2006).

Alasan kedua adalah untuk memungkinkan melakukan penyesuaian bagi

setiap elemen karena keterampilan bekerjanya operator belum tentu sama untuk

semua bagian dari gerakan–gerakan kerjanya. Alasan ketiga melakukan

47
pembagian kerja menjadi elemen-elemen pekerjaan adalah untuk memudahkan

mengamati terjadinya elemen yang tidak baku yang tidak mungkin saja dilakukan

pekerja. Elemen demikian bisa diterima jika memang harus demikian, misalnya

gerakan-gerakan yang dilakukan tidak terjadi pada setiap siklus secara berkala

seperti memeriksa ukuran pada setiap produk kesepuluh yang dihasilkan.

Sebaliknya elemen demikian harus dibuang dari pengamatan jika terjadi semata-

mata karena penyimpangan dari elemen-elemen baku tanpa alasan baik disadari

atau tidak oleh operator. Alasan keempat adalah untuk memungkinkan

dikembangkannya data waktu standar atau tempat kerja yang bersangkutan

(Sutalaksana, dkk, 2006).

Hal ini sekarang menjelaskan alasan perlunya melakukan penguraian

elemen-elemen dari suatu pekerjaan yang akan diukur waktunya. Walaupun

demikian, ketentuan ini tidak bersifat mutlak artinya jika alasan-alasan di atas

dianggap tidak penting atau dirasakan tidak akan terjadi maka langkah ini tidak

perlu dilakukan. Dengan kata lain yang diukur adalah waktu siklusnya (bukan

elemen-elemennya). Pengukuran demikian disebut pengukuran keseluruhan atau

pengukuran siklus. Sementara pengukuran dilakukan terhadap setiap elemen

pekerjaan (Sutalaksana, dkk, 2006).

Sehubungan dengan kelima langkah tersebut, ada beberapa pedoman

penguraian pekerjaan atas elemen-elemennya (Sutalaksana, dkk, 2006), yaitu:

a. Sesuai dengan ketelitian yang diinginkan, uraikan pekerjaan menjadi elemen–

elemennya serinci mungkin, tetapi masih dapat diamati oleh indera pengukur

dan dapat direkam waktunya oleh jam henti yang digunakan.

48
b. Untuk memudahkan, elemen–elemen pekerjaan hendaknya berupa satu atau

gabungan beberapa elemen gerakan, misalnya seperti yang dikembangkan oleh

Gilberth.

c. Jangan sampai ada elemen yang tertinggal, jumlah dari semua elemen harus

tepat sama dengan keseluruhan pekerjaan yang bersangkutan.

d. Elemen yang satu hendaknya dipisahkan dengan elemen yang lain secara jelas.

Batas-batas diantaranya harus dapat dengan mudah diamati agar tidak ada

keragu-raguan dalam menentukan saat suatu elemen berakhir dan apabila

elemen berikutnya bermula. Kadang-kadang di samping mata, telinga pun

dapat digunakan untuk mengetahui perpindahan elemen terutama jika

perpindahan tersebut menimbulkan bunyi.

2.2.5.6. Menyiapkan Perlengkapan Pengukuran

Setelah kelima langkah sebelumnya dijalankan dengan baik, langkah

terakhir sebelum melakukan pengukuran, yaitu menyiapkan perlengkapan yang

diperlukan. Alat-alat yang dibutuhkan seperti: stopwatch, lembaran pengamatan,

pena atau pensil dan meteran pengamatan. Jam henti ada dua jenis, yaitu jam

henti biasa yang memiliki sebuah jarum penunjuk dan jam henti berjarum dua

(Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.6. Melakukan Pengukuran Waktu

Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu–

waktu kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat–alat

yang telah disiapkan. Hal pertama yang dilakukan adalah pengukuran

49
pendahuluan yang tujuannya ialah agar nantinya mendapatkan perkiraan statistika

dari banyaknya pengukuran yang harus dilakukan untuk tingkat-tingkat ketelitian

dan keyakinan yang diinginkan. Pengukuran pendahuluan tahap pertama

dilakukan dengan melakukan beberapa buah pengukuran yang banyaknya

ditentukan oleh pengukur. Setelah pengukuran tahap pertama dilakukan,

selanjutnya dijalankan tahap-tahap kegiatan menguji keseragaman data dan

menghitung jumlah pengukuran yang harus dilakukan. Bila jumlah pengukuran

yang dilakukan belum mencukupi maka dilanjutkan dengan pengukuran

tambahan, yaitu mengukur lagi untuk mengejar jumlah minimum yang

diperlukan. Untuk kecermatan setelah pengukuran memenuhi syarat kecukupan

data seperti yang telah dihitung, dilakukan lagi uji keseragaman data dan

perhitungan kecukupan data. Bila kali ini data yang ada terhitung cukup, barulah

pengukuran dihentikan. Namun bila belum juga cukup, tambahan pengukuran

perlu dilakukan lagi dan proses pun berlanjut (Sutalaksana, dkk, 2006).

Pemrosesan hasil pengukuran waktu ini digunakan beberapa rumus

(Sutalaksana, dkk, 2006), yaitu:

1. Menghitung rata–rata dari harga rata-rata dari subgrup

x́ =
∑ xi ………………………………………………………………………..2.1
k

di mana:

xi = harga rata–rata dari subgrup ke-i.

k = harga banyaknya subgrup yang terbentuk.

50
2. Menghitung standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian

∑ ( x j - x́ )2 ..…………………………...…………………………… ………2.2
σ=
√ N-1

di mana:

N = Jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan

Xj = Waktu penyelesaian yang teramati selama pengukuran pendahuluan

yang telah dilakukan

Catatan: jika data pengukuran <30, maka rumus pembagi yang

digunakan adalah N-1 Sedangkan jika data pengukuran >30, maka rumus

pembagi yang digunakan adalah N.

3. Menghitung standar deviasi dari distribusi harga rata–rata subgrup

σ
σ x́ = …………………………………….……..…………………………… 2.3
√n

di mana:

n = Besarnya subgrup (jumlah data dalam 1 subgrup)

4. Menentukan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB)

BKA= x́ +3σ x́ ………………………………….………………………..……..2.4

BKB= x́ -3σ x́ ……………………………….…………………………………. 2.5

5. Apabila semua rata–rata subgrup berada dalam batas kontrol, maka semua

harga yang ada dapat digunakan untuk menghitung banyaknya pengukuran

yang diperlukan dengan menggunakan rumus:

2 2

40 N ∑ Xj2 - ( ∑ Xj)
N= ( ∑ Xj ) …………………….………………………….. 2.6

51
di mana:

N = jumlah pengamatan yang telah dilakukan

a. Apabila tingkat ketelitian 5% dan tingkat kepercayaan 95%, maka nilai

konstanta yang digunakan untuk menghitung nilai N’ adalah:

2
0,05 x 2αx= = 40
0.05

b. Apabila tingkat ketelitian 10% dan tingkat kepercayaan 95%, maka nilai

konstanta yang digunakan untuk menghitung nilai N’ adalah:

2
0,1 x 2αx= = 20
0,1

c. Apabila tingkat ketelitian 5% dan tingkat kepercayaan 99%, maka nilai

konstanta yang digunakan untuk menghitung nilai N’ adalah:

3
0,05 x 3αx= = 60
0,1

Seandainya jumlah pengukuran yang diperlukan ternyata masih lebih

besar dari jumlah pengukuran yang telah dilakukan N’>N, maka

pengukuran tahap kedua harus dilakukan sampai didapat N’≤N.

2.2.7. Tingkat Ketelitian, Keyakinan, dan Pengujian Keseragaman Data

2.2.7.1. Tingkat Ketelitian dan Keyakinan

Pengukuran ini dilakukan untuk mencari waktu sebenarnya yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaaan. Idealnya tentunya melakukan

pengukuran-pengukuran yang sangat banyak (sampai tak terhingga kali,

misalnya), karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tetapi hal ini

jelas tidak mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga, dan tentunya biaya.

52
Namun, sebaliknya jika dilakukan hanya beberapa kali pengukuran saja dapat

diduga hasilnya sangat kasar. Dengan demikian yang diperlukan adalah jumlah

pengukuran yang tidak membebankan waktu, tenaga, dan biaya yang besar tetapi

hasilnya tidak dapat dipercaya. Jadi walaupun jumlah pengukuran tidak berjuta

kali, tetapi jelas tidak hanya beberapa kali saja (Sutalaksana, dkk, 2006).

Pengukuran yang dilakukan hanya sedikit, pengukuran tersebut akan

kehilangan sebagian kepastian akan ketetapan atau rata-rata waktu penyelesaian

yang sebenarnya. Tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan adalah pencerminan

tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan

melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian menunjukkan

penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya.

Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya

yang seharusnya dicari). Sementara tingkat keyakinan menunjukkan besarnya

keyakinan pengukur, bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi.

Inipun dinyatakan dalam persen. Jadi, tingkat ketelitian 10% dan tingkat

keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil

pengukurannya menyimpang sejauh 10% dari rata-rata sebenarnya dan

kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Dengan kata lain, jika

pengukur sampai memperoleh rata-rata pengukuran yang menyimpang lebih dari

10%, hal ini dibolehkan terjadi hanya dengan kemungkinan 5% (=100% - 95%)

(Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.7.2. Pengujian Keseragaman Data

53
Tugas pengukur adalah mendapatkan data yang seragam.

Ketidakseragaman dapat datang tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang

dapat mendeteksi hal itu. Batas-batas kontrol yang dibentuk dari data merupakan

batas seragam tidaknya data. Sekelompok data dikatakan seragam bila berada di

antara kedua batas kontrol. Bila di luar batas-batas itu, yang secara statistika

disebut berasal dari sistem sebab yang berbeda, dinyatakan sebagai data-data yang

tak seragam. Jika ada yang terletak di luar batas kontrol, oleh sebab itu subgrup

harus dibuang karena berasal dari sistem yang berbeda. Dengan demikian untuk

perhitungan-perhitungan selanjutnya seperti untuk mencari banyaknya

pengukuran yang harus dilakukan semua data dalam subrup ini tidak turut

diperhitungkan (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.8. Melakukan Perhitungan Waktu Baku

Pengukuran dapat dikatakan selesai, apabila semua data yang telah didapat

memiliki keseragaman yang dikehendaki, dan jumlahnya telah memenuhi tingkat-

tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan, maka selesailah kegiatan

pengukuran waktu (Sutalaksana, dkk, 2006). Langkah selanjutnya adalah

mengolah data tersebut sehccingga memberikan waktu baku (cara untuk

mendapatkan waktu baku dari data yang terkumpul (Sutalaksana, dkk, 2006),

sebagai berikut:

1. Hitung waktu siklus rata-rata

Wn =
∑ xi ........................................................................................................2.7
k

di mana:

54
Xi = harga rata-rata dari subgrup ke-1

N = jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan

2. Hitung waktu normal

Wn = Ws x p ....................................................................................................2.8

di mana p adalah faktor penyesuaian. Faktor ini diperhitungkan jika

pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar,

sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Jika

pekerja bekerja dengan wajar, faktor penyesuaiannya p sama dengan 1. Jika

bekerjanya terlalu lambat maka untuk menormalkannya pengukur harus

memberi harga p < 1, dan sebaliknya p > 1, jika dianggap bekerja cepat.

3. Hitung waktu baku

Wb = Wn (1 + 1)..............................................................................................2.9

di mana 1 adalah kelonggaran atau allowance yang diberikan kepada

pekerja untuk menyelesaikan pekerjaanya di samping waktu normal.

Kelonggaran ini diberikan untuk tiga hal, yaitu kebutuhan pribadi,

menghilangkan rasa fatigue, dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi

tidak dapat dihindarkan oleh pekerja. Umumnya kelonggaran dinyatakan dalam

persen dari waktu normal.

2.2.9. Penyesuaian (Rating Factor)

55
2.2.9.1. Maksud Melakukan Penyesuaian

Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran

kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya

bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena

menjumpai kesulitan-kesulitan seperti kondisi ruangan yang buruk. Penyebab

seperti tersebut mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau

terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena

waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja

baku yang diselesaikan secara wajar (Sutalaksana, dkk, 2006).

Andai kata ada ketidakwajaran, maka pengukur harus mengetahuinya dan

menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan

hal inilah penyesuaian dilakukan. Jadi, jika pengukur mendapatkan harga rata-rata

siklus/elemen yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh

operator, agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus

menormalkannya dengan melakukan penyesuaian (Sutalaksana, dkk, 2006).

Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata

atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor

penyusuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian

yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau waktu yang normal.

Bila pengukur berpendapat bahwa operator bekerja di atas normal (terlalu cepat)

maka harga p akan lebih besar dari satu (p > 1), sebaliknya jika operator

dipandang bekerja di bawah normal harga p akan lebih kecil dari satu (p < 1).

56
Seandainya pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan wajar maka

harga p sama dengan satu (p = 1) (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.9.2. Beberapa Cara Menentukan Faktor Penyesuaian

Cara pertama adalah yang dikembangkan oleh Sutalaksana, dkk (2006)

yaitu cara persentase yang merupakan cara yang paling awal digunakan dalam

melakukan penyesuaian. Di sini besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya

ditentukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran.

Jadi sesuai dengan yang terlihat selama pengukuran dia menentukan harga p yang

menurut pendapatnya akan menghasilkan waktu normal bila harga ini dikalikan

dengan waktu siklus. Misalnya pengukur berpendapat bahwa p = 110%. Jika

waktu siklusnya telah terhitung sama dengan 14,6 menit, maka waktu normalnya

(Wn) = 14,6 x 1,1 = 16,6 menit (Sutalaksana, dkk, 2006).

Terlihat bahwa penyesuaiannya diselesaikan dengan cara yang sangat

sederhana. Terlihat adanya kekurangan ketelitian sebagai akibat dari “kasarnya”

cara penilaian. Bertolak dari kelemahan ini dikembangkanlah cara-cara lain

dipandang sebagai cara lain yang lebih objektif. Cara-cara ini umumnya

memberikan “patokan” yang dimaksudkan untuk mengarahkan penilaian

pengukur terhadap kerja operator. Dua cara akan diperkenalkan di sini, yaitu cara

Shumard dan cara Westinghouse. Cara Shumard memberikan patokan-patokan

penilaian melalui kelas-kelas kinerja kerja dengan setiap kelas mempunyai nilai

sendiri-sendiri. Di sini pengukur diberi patokan untuk menilai performansi kerja

operator menurut kelas-kelas super fast, fast +, fast, fast -, excellent, dan

seterusnya (sutalaksana, dkk, 2006).

57
Tabel 2.1. Penyesuaian Menurut Cara Shumard
Kelas Penyesuaian
Superlast 100
Fast + 95
Fast 90
Fast - 85
Excellent 80
Good + 75
Good - 65
Normal 60
Fair + 55
Fair 50
Fair - 45
Poor 40
Sumber: Sutalaksana dkk, 2006

Tabel 2.1 untuk memilih kelas superlast, fast +, fast, fast -, excellent,

good +, dan good - sesuai dengan yang sedang dilakukan oleh operator. Berbeda

dengan cara Shumard, cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor

yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu

keterampilan, usaha, kondisi kerja, dan konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam

kelas-kelas dengan nilainya masing-masing. Keterampilan atau skill didefinisikan

sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat

meningkatkan keterampilan, tetapi hanya sampai ke tingkat tertentu saja, tingkat

yang merupakan kemampuan maksimal yang dapat diberikan pekerja yang

bersangkutan. Keterampilan juga dapat menurun, yaitu bila terlampau lama tidak

menangani pekerjaan tersebut. Atau karena sebab-sebab lain seperti karena

kesehatan yang terganggu, rasa fatigue yang berlebihan, pengaruh lingkungan

sosial, dan sebagainya (Sutalaksana, dkk, 2006). Untuk keperluan penyesuaian,

58
menurut Sutalaksana, dkk (2006) keterampilan dibagi menjadi enam kelas dengan

ciri-ciri dari setiap kelas berikut ini.

a. Super skill

1. Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaannya.

2. Bekerja dengan sempurna.

3. Tampak seperti telah terlatih dengan sangat baik.

4. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sangat sulit untuk

diikuti.

5. Kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin.

6. Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainnya tidak terlampau

terlihat karena lancarnya.

7. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berfikir dan merencana tentang apa

yang dikerjakan (sudah sangat otomatis).

8. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah

pekerja yang sangat baik.

b. Excellent skill

1. Percaya pada diri sendiri.

2. Tampak cocok dengan pekerjaannya.

3. Terlihat telah terlatih baik.

4. Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran atau

pemeriksaan lagi.

5. Gerakan-gerakan kerjanya beserta urutan-urutannya dijalankan tanpa

kesalahan.

59
6. Menggunakan peralatan dengan baik.

7. Bekerjanya cepat tanpa mengorbankan mutu.

8. Bekerjanya cepat tapi halus.

9. Bekerjanya berirama dan terkoordinasi.

c. Good skill

1. Kualitas hasil baik.

2. Bekerjanya tampak lebih baik daripada kebanyakan pekerja pada umumnya.

3. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya

lebih rendah.

4. Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap.

5. Tidak memerlukan banyak pengawasan.

6. Tiada keraguan.

7. Bekerjanya “stabil”.

8. Gerakan-gerakannya terkoordinasi dengan baik.

9. Gerakan-gerakannya cepat.

d. Average skill

1. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri.

2. Gerakannya cepat tetapi tidak lambat.

3. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan perencanaan.

4. Tampak sebagai pekerja yang cakap.

5. Gerakan-gerakannya cukup menunjukkan tidak ada keragu-raguan.

6. Mengkoordinasi tangan dan pikiran dengan cukup baik.

7. Tampak cukup terlatih dan karenanya mengetahui seluk beluk pekerjaannya.

60
8. Bekerja cukup teliti.

9. Secara keseluruhan cukup memuaskan.

e. Fair skill

1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik.

2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya.

3. Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakan-

gerakan.

4. Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup.

5. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tetapi telah

dipekerjakan di bagian itu sejak lama.

6. Mengetahui apa-apa yang dilakukan dan harus dilakukan tapi tampak tidak

selalu yakin.

7. Sebagian waktunya terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri.

8. Jika tidak bekerja secara bersungguh-sungguh outputnya akan sangat

rendah.

9. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya.

f. Poor skill

1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran.

2. Gerakan-gerakannya kaku.

3. Kelihatan ketidakyakinannya pada urutan-urutan gerakan.

4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan.

5. Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaannya.

6. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan-gerakan kerja.

61
7. Sering melakukan kesalahan-kesalahan.

8. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri.

9. Tidak bisa mengambil inisiatif sendiri.

Secara keseluruhan tampak pada kelas-kelas di atas bahwa yang

membedakan kelas keterampilan seseorang adalah keragu-raguan, ketelitian

gerakan, kepercayaan diri, koordinasi, irama gerakan. “Bekas-bekas” latihan, dan

hal-hal yang serupa. Dengan pembagian ini pengukur akan lebih terarah dalam

menilai kewajaran pekerja dilihat dari segi keterampilannya. Karenanya faktor

penyesuaian yang nantinya diperoleh dapat lebih objektif. Usaha atau effort cara

Westinghouse membagi juga kelas-kelas dengan ciri-ciri tersendiri. Yang

dimaksud usaha di sini adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan

operator ketika melakukan pekerjaannya. Berikut ini ada enam kelas usaha dengan

ciri-cirinya (Sutalaksana, dkk, 2006) yaitu:

a. Excessive effort

1. Kecepatan sangat berlebihan.

2. Usahanya sangat bersungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan

kesehatannya.

3. Kecepatan yang ditimbulkannya tidak dapat dipertahankan sepanjang hari

kerja.

b. Excellent effort

1. Jelas terlihat kecepatannya sangat tinggi.

2. Gerakan-gerakan lebih ekonomis dari pada operator-operator biasa.

3. Penuh perhatian pada pekerjaannya.

62
4. Banyak memberi saran.

5. Menerima saran-saran petunjuk dengan senang.

6. Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu.

7. Tidak bertahan lebih dari beberapa hari.

8. Bangga atas kelebihannya.

9. Gerakan-gerakan yang salah terjadi sangat jarang sekali.

10. Bekerjanya sangat sistematis.

11. Karena lancarnya, perpindahan dari suatu elemen ke elemen lain tidak

terlihat.

c. Good effort

1. Bekerja berirama.

2. Saat-saat menganggur sangat sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada.

3. Penuh perhatian pada pekerjaannya.

4. Senang pada pekerjaannya.

5. Kecepatannya baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari.

6. Percaya pada kebaikan waktu pengukuran waktu.

7. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.

8. Dapat memberi saran-saran untuk perbaikan kerja.

9. Tempat kerjanya diatur baik dan rapi.

10. Menggunakan alat-alat yang tepat dengan baik.

11. Memelihara dengan baik kondisi peralatan.

d. Average effort

1. Tidak sebaik good, tapi lebih baik dari poor.

63
2. Bekerja dengan stabil.

3. Menerima saran-saran tapi tidak melaksanakannya.

4. Set up dilaksanakan dengan baik.

5. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.

e. Fair effort

1. Saran-saran perbaikan diterima dengan kesal.

2. Kadang-kadang perhatian tidak ditujukan pada pekerjaannya.

3. Kurang sungguh-sungguh.

4. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya.

5. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku.

6. Alat-alat yang dipakainya tidak selalu yang terbaik.

7. Terlihat adanya kecenderungan kurang perhatian pada pekerjaannya.

8. Terlampau hati-hati.

9. Sistematika kerjanya sedang-sedang saja.

10. Gerakan-gerakannya tidak terencana.

f. Poor effort

1. Banyak membuang-buang waktu.

2. Tidak memperhatikan adanya minat kerja.

3. Tidak mau menerima saran-saran.

4. Tampak malas dan lambat bekerja.

5. Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu untuk mengambil alat-alat

dan bahan.

6. Tempat kerjanya tidak diatur rapi.

64
7. Tidak peduli pada cocok/ baik tidaknya peralatan yang dipakai.

8. Mengubah-ubah tata letak tempat kerja yang telah diatur.

9. Set up kerjanya terlihat tidak baik.

Dari uraian di atas seperti terlihat adanya korelasi antara keterampilan

dengan usaha. Dalam praktiknya banyak terjadi pekerja mempunyai keterampilan

rendah bekerja dengan usaha yang lebih sungguh-sungguh sebagai imbangannya.

Kadang-kadang usaha ini begitu besar sehingga tampak berlebihan dan tidak

banyak menghasilkan. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai keterampilan

tinggi tidak jarang bekerja dengan usaha yang tidak didukung, tapi bisa

menghasilkan kinerja yang lebih baik. Jadi, walaupun hubungan antara “kelas

tinggi” pada keterampilan dengan usaha tampak erat sebagaimana juga dengan

kelas-kelas rendah (maksudnya antara excellent dengan excellent, fair dengan

fair, dan selanjutnya), kedua faktor ini adalah hal-hal yang dapat terjadi secara

terpisah di dalam pelaksanaan pekerjaan. Karena cara Westinghouse memisahkan

fakor keterampilan dari usaha dalam rangka penyesuaian. Kondisi kerja atau

condition pada cara Westinghouse adalah kondisi fisik lingkungannya seperti

keadaan pencahayaan, suhu, dan konsistensi merupakan sesuatu yang dicerminkan

operator, maka kondisi kerja merupakan sesuatu di luar operator yang diterima

apa adanya oleh operator tanpa banyak kemampuan mengubahnya. Oleh sebab

itu, faktor kondisi sering disebut sebagai faktor manajemen, karena pihak inilah

yang dapat dan berwenang mengubah atau memperbaikinya (Sutalaksana, dkk,

2006).

65
Kondisi kerja dibagi menjadi enam kelas, yaitu ideal, excellent, good,

average, fair, dan poor. Kondisi yang ideal tidak selalu sama bagi setiap

pekerjaan karena berdasarkan karakteristiknya masing-masing pekerja

membutuhkan kondisi ideal sendiri-sendiri. Satu kondisi yang dianggap good

untuk satu pekerjaan dapat saja dirasakan fair atau bahkan poor bagi pekerjaan

yang lain. Sebaliknya kondisi poor adalah kondisi lingkungan yang tidak

membantu jalannya pekerjaan atau bahkan sangat menghambat pencapaian kinerja

yang baik. tentu suatu pengetahuan kriteria yang disebut ideal, dan kriteria yang

disebut poor perlu dimiliki agar penilaian terhadap kondisi kerja dalam rangka

melakukan penyesuaian dapat dilakukan dengan seteliti mungkin. Ergonomi

banyak mempelajari hal-hal ini. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah

konsistensi atau consistency. Faktor ini perlu diperhatikan karena pada setiap

pengukuran waktu angka-angka yang dicatat tidak pernah semuanya sama, waktu

penyelesaian yang ditunjukkan pekerja selalu berubah dari satu siklus ke siklus

lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari hari ke hari. Selama ini masih dalam batas-

batas kewajaran masalah tidak timbul. Sebagimana halnya faktor-faktor lain,

konsistensi juga dibagi menjadi enam kelas yaitu perfect, excellent, good,

average, fair, dan poor. Seseorang yang bekerja perfect adalah yang dapat

bekerja dengan waktu penyelesaian yang boleh dikatakan tetap dari saat ke saat.

Sebaiknya konsistensi yang poor terjadi bila waktu-waktu penyelesaiannya

berselisih jauh dari rata-rata secara acak. Konsistensi rata-rata atau average adalah

bila selisih antara waktu penyelesaian dengan rata-ratanya tidak besar walaupun

ada satu dua yang “letaknya” jauh (Sutalaksana, dkk, 2006). Sutalaksana, dkk

66
(2006) menyatakan angka-angka yang diberikan bagi setiap kelas dari faktor-

faktor tersebut dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.2. Penyesuaian Menurut Westinghouse


Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Keterampilan Superskill A1 + 0,15
A2 + 0,13
Excellent B1 + 0,11
B2 + 0,08
Good C1 + 0,06
C2 + 0,03
Average D 0,00
Fair E1 -0,05
E2 -0,10
Poor F1 -0,16
F1 -0,22
Usaha Excessive A1 + 0,13
  A2 + 0,12
  Excellent B1 + 0,10
B2 + 0,08
Good C1 + 0,05
C2 + 0,02
Average D 0,00
Fair E1 -0,04
E2 -0,08
Poor F1 -0,12
F2 -0,17
Kondisi kerja Ideal A + 0,06
  Excellent B + 0,04
  Good C + 0,02
Average D 0,00
Fair E -0,03
Poor F -0,07
Konsisten Perfect A + 0,04
  Excellent B + 0,03
 
Good C + 0,01
 
Average D 0,00
Fair E -0,02
Poor F -0,04
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

67
2.2.10. Kelonggaran (Allowance)

Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi,

menghilangkan rasa fatigue, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat

dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh

pekerja dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat, ataupun

dihitung (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.10.1. Kelonggaran untuk Kebutuhan Pribadi

Kebutuhan pribadi di sini adalah hal-hal seperti minum sekedarnya untuk

menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan teman kerja

sekedar untuk menghilangkan ketegangan, ataupun kejemuan dalam kerja. Setiap

pekerja harus diberikan kelonggaran untuk kebutuhan yang bersifat pribadi,

seperti minum sekedar nya untuk menghilangkan rasa haus, dan lain sebagainya.

Besarnya kelonggaran tersebut berbeda-beda antara satu pekerjaan dengan

pekerjaan yang lain karena setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda

(Sutalaksana, dkk, 2006).

2.2.10.2. Kelonggaran untuk Menghilangkan Rasa Fatigue

Rasa lelah (fatigue) tercermin dari menurunnya hasil produksi. Kelelahan

fisik manusia dapat disebabkan oleh pekerjaan yang membutuhkan banyak

pikiran (lelah mental) dan kerja fisik. Salah satu cara menentukan besarnya

kelonggaran ini dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan

mencatat saat-saat di mana hasil produksi menurun. Sangat sulit dilakukan karena

68
penyebab menurunnya bukan hanya disebabkan faktor kelelahan (Sutalaksana,

dkk, 2006).

69
2.2.10.3. Kelonggaran untuk Hambatan-hambatan Tak Terhindarkan

Beberapa contoh yang termasuk ke dalam hambatan tak terhindarkan (Sutalaksana, dkk, 2006) sebagai berikut:

1. Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas.

2. Melakukan penyesuian-penyesuian mesin.

3. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas, dan

sebagainya.

4. Mengasah peralatan potong.

5. Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.

Tabel 2.3. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh


No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
A. Tenaga yang dikeluarkan Pria Wanita
1. Dapat diabaikan Bekerja di meja, duduk tanpa beban 0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
2. Sangat ringan Berkerja di meja, berdiri 0,00 – 2,25 kg 6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
3. Ringan Menyekop, ringan 2,25 – 9,00 7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
4. Sedang Mencangkul 9,00 – 18,00 12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
5. Berat Mengayun palu yang berat 18,00 – 27,00 19,0 – 30,0
6. Sangat berat Memanggul beban 27,00 – 50,00 30,0 – 50,0
7. Luar biasa berat Memanggul karung berat di atas 50 kg

70
Tabel 2.3. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh (lanjutan)
No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
B. Sikap Kerja
1. Duduk Bekerja duduk, ringan 0,00 – 1,0
2. Berdiri di atas dua kaki Badan tegak, ditumpu dua kaki 1,0 – 2,5
3. Berdiri di atas satu kaki Satu kaki mengerjakan alat control 2,5 – 4,0
4. Berbaring Pada bagian sisi, belakang atau depan badan 2,5 – 4,0
5. Membungkuk Badan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki 4,0 – 10,0
C. Gerakan Kerja
1. Normal Ayunan bebas dari palu 0
2. Agak terbatas Ayunan terbatas dari palu 0–5
3. Sulit Membawa beban berat dengan satu tangan 1 –5
4. Pada anggota-anggota Bekerja dengan tangan di atas kepala
5 – 10
badan terbatas
5. Seluruh anggota badan Bekerja di lorong pertambangan yang sempit
10 – 15
terbatas
D. Kelelahan mata Pencahayaa Buruk
n baik
1. Pandangan yang terputus- Membawa alat ukur 0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
putus
2. Pandangan yang hampir Pekerjaan-pekerjaan yang teliti 6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
terus-menerus
3. Pandangan yang terus- Pemeriksaan yang sangat teliti 7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
menerus dengan fokus
lelap
4. Pandangan terus-menerus Memeriksa cacat-cacat pada kain 12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
dengan fokus berubah-
ubah

71
Tabel 2.3. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh (lanjutan)
No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
D. Kelelahan mata Pencahayaa Buruk
n baik
5. Pandangan terus-menerus 19,0 – 30,0
dengan konsentrasi tinggi
dan fokus lelap
6. Pandangan terus-menerus 30,0 – 50,0
dengan konsentrasi tinggi
dan fokus berubah-ubah
C. Keadaan suhu tempat kerja Suhu (0C) Kelelahan Berlebihan
**) normal
1. Beku Di bawah 0 Di atas 10 Diatas 12
2. Rendah 0-13 10-0 12-5
3. Sedang 13-22 5-0 8-0
4. Normal 22-28 0-5 0-8
5. Tinggi 28-38 5-40 8-100
6. Sangat tinggi Di atas 38 Di atas 40 Di atas 100
E. Keadaan Atmosfer
1. Baik Ruang yang berventilasi baik, udara segar 0
2. Cukup Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan (tidak berbahaya) 0-5
3. Kurang baik Adanya debu-debuan beracun atau tidak beracun tetapi banyak 5-10
4. Buruk Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskan
10-20
menggunakan alat perpanasan
F. Keadaan lingkungan yang baik
1. Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah 0
2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5-10 detik 0-1

72
Tabel 2.3. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh (lanjutan)
No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
F. Keadaan lingkungan yang baik
3. Siklus kerja berulang-ulang antara 0-5 detik 1-3
4. Sangat bising 0-5
5. Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas 0-5
6. Terasa adanya getaran lantai 5-10
7. Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll) 5-15
*) Kontras antara warna hendaknya diperhatikan
**) Tergantung juga pada keadaan ventilasi
***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan laut dan keadaan iklim.
Catatan pelengkap: kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi: Pria = 0-2,5%
Wanita = 2-5%
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

2.2.10.4. Menyertakan Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu Baku

Langkah pertama dalam menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal tersebut yaitu untuk kebutuhan pribadi,

menghilangkan rasa lelah, dan hambatan tak terhindarkan. Dua hal yang pertama antara lain dapat diperoleh dari tabel di atas,

yakni dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai dengan pekerjaan yang bersangkutan. Kelonggaran untuk kebutuhan

pribadi bagi pria = 0-2,5% dan wanita = 2 - 5%. Untuk hambatan yang ketiga, dapat diperoleh dari sampling pekerjaan yang pada

umumnya dianggap 5% (Sutalaksana, dkk, 2006).

73
74

Anda mungkin juga menyukai