Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor Usaha mandiri meningkat pesat di Indonesia dalam beberapa waktu

terakhir, persaingan bisnis yang semakin kompetitif dihadapi oleh semua pelaku

usaha mandiri, Setiap pelaku usaha perlu senantiasa melakukan inovasi terhadap

suatu produk yang di produksi. Seiring dengan berkembanganya dunia industri

menyebabkan terjadinya persaingan yang begitu ketat antar sesama pelaku bisnis

usaha dikalangan masyarakat, terutama perusahaan yang ada di Dumai seperti

Usaha rumah tangga pembuatan tahu yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari

dalam produksi usaha rumah tangga. Dimana kualitas merupakan faktor utama

bagi konsumen untuk memperoleh atau membeli produk ini. Kualitas juga

merupakan faktor utama yang membawa keberhasilan suatu perusahaan. Dalam

hal ini, perencanaan produksi sangat memegang peranan penting dalam membuat

penjadwalan produksi, terutama dalam pengaturan operasi atau penugasan kerja

yang harus dilakukan. Jika pengaturan dan perencanaan penempatan lokasi

pekerjaan dalam suatu proses produksi yang dilakukan kurang tepat maka akan

dapat mengakibatkan stasiun kerja dalam lintasan produksi mempunyai kecepatan

produksi yang berbeda. Hal ini mengakibatkan lintasan produksi menjadi tidak

efisien karena dapat menimbulkan penumpukan material di antara stasiun kerja

yang tidak berimbang kecepatan produksinya.

UKM milik bapak Ahmad maimun merupakan industry rumahan yang

memproduksi tahu di kota Dumai. Ukm ini terletak di Jalan Swadaya, Kelurahan
Bukit Batrem RT 08 No 28, Kecamatan Dumai Timur, kota Dumai. Tahu yang

produksi UKM ini dijual. Tahu yang sudah diproduksi lalu di distribusikan ke

pasar-pasar yang ada di kota Dumai. Tingginya permintaan tahu dikota dumai,

menuntut UKM milik bapak Ahmad maimun meningkatkan produktivitas agar

bisa memenuhi permintaan dengan cepat waktu. Permintaan tahu yang tinggi

membuat UKM tahu milik bapak Ahmad maimun harus mengoptimalkan kinerja

karyawan dan proses produksi tahu agar target tercapai kurang efektif dan

efisiennya lintasan pada proses pembuatan tahu mengakibatkan produktivitas

UKM ini menurun. Lintasan ada saat ini tanpa disadari ada kendala pada proses

pembuatan tahu yang dapat memperambat waktu proses secara keseluruhan.

Penelitian ini mencoba menganalisa efektifitas lintasan produksi pada

proses pembuatan tahu di UKM tahu milik Bapak Ahmad Maimun serta

memberikan usulan lintasan produksi yang lebih optimal dengan menggunakan

metode Kilbridge dan Wester dan metode Ranked Position Weight yang

selanjutnya dilakukan analisa performansi lini produksi dengan line balancing.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk

mengadakan penelitian dengan judul Impementasi Line Balancing Dalam

Meningkatkan Proses Produksi Pada UKM Tahu Ahmad Maimun.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang didapat berdasarkan latar belakang

diatas yaitu:

1. Bagaimana efektifitas lintasan produksi tahu UKM Tahu Ahmad Maimun

yang digunakan saat ini?

2
2. Berapa lama waktu optimal yang dibutuhkan dalam proses produksi tahu di

UKM Tahu Ahmad Maimun?

3. Bagaimana usulan lintasan produksi tahu di UKM Tahu Ahmad Maimun yang

lebih optimal menggunakan metode Kilbridge dan Wester dan metode Ranked

Position Weight?

1.3. Tujuan Praktikum

Adapun tujuan pratikum Line Balancing (Lintasan Produksi) adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui efektifitas lintasan produksi tahu UKM Tahu Ahmad

Maimun yang digunakan saat ini.

2. Untuk mengetahui lama waktu optimal yang dibutuhkan dalam proses

produksi tahu di UKM Tahu Ahmad Maimun.

3. Untuk mengetahui usulan lintasan produksi tahu di UKM Tahu Ahmad

Maimun yang lebih optimal menggunakan metode Kilbridge dan Wester dan

metode Ranked Position Weight.

1.4. Batasan Masalah

Agar dalam pembahasan tidak melebar jauh dari permasalahan, maka

batasan masalah dalam penelitian ini ialah Sasaran objek perhitungan waktu

efektif dan effesiensi pada elemen kerja dan meningkatkan produktifitas produk.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini

ditujukan bagi beberapa pihak sebagai berikut:

1. Bagi Penulis

3
Menambah pengetahuan tentang menghitung keseimbangan hasil produksi

sehingga meminimalkan waktu kerja dan Sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar sarjanah Teknik Industri (S1) di Sekolah Tinggi Teknologi Dumai..

2. Bagi Instansi

Hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai masukan kepada pemilik

UKM untuk menghitung effisiensi keseimbangan elemen kerja pada produksi

tahu.

3. Masyarakat dan STT Dumai

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bacaan untuk

menambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca, dan dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam mengambil kebijaksanaan yang lebih baik dimasa yang akan

datang serta tambahan informasi yang bermanfaat bagi prodi teknik industri.

4
4

BAB II
DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Prabowo r (2016) penerapan konsep line balancing untuk mencapai

efisiensi kerja yang optimal pada setiap stasiun kerja pada pt. hm. sampoerna tbk.

Dalam stasiun kerja maka proses produksi tidak akan berjalan secara efektif dan

efisien. Dalam proses produksinya, PT. HM. Sampoerna Tbk. dihadapkan pada

permasalahan keseimbangan lintasan yaitu kurangnya efisiensi pada stasiun kerja,

sehingga direncanakan untuk menentukan lintasan produksi yang optimal

sehingga pembebanan pada setiap stasiun kerja akan lebih merata dan mengurangi

waktu menganggur. Metode yang digunakan adalah metode pengukuran waktu

kerja dengan jam henti (stop watch) dan metode bobot posisi (Method Ranked

Positional Weight). Data yang dianalisis adalah waktu yang diperlukan oleh

operator untuk menyelesaikan produksi rokok dan jumlah output rate untuk

produk rata-rata yang dihasilkan untuk menetapkan waktu siklus ideal. Kedua data

tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode bobot posisi, hingga

didapatkan waktu produksi dan efisiensi lintasan yang optimal serta stasiun kerja

yang optimal pula. Hasil analisis menyatakan bahwa dengan penggunaan metode

keseimbangan lintasan, perusahaan dapat mencapai efisiensi lintasan sebesar

68,54% dan mengurangi ketidakseimbangan (balance delay) sebesar 42,02% dari

73,48% menjadi 31,46% Dan target produksi sebanyak 240 box/hari dapat

terpenuhi.
Kurniawan, Dkk (2015) Penentuan waktu baku dan analisis keseimbangan

lini produksi pada industri pengolahan gondorukem dan terpentin. salah satu hasil

hutan non kayu adalah getah pinus yang dihasilkan dari tegakan pinus, kemudian

diolah untuk menghasilkan gondorukem dan terpentin. Penelitian ini dilakukan

pada tanggal 23 April ‐ 19 Mei 2012. Berlokasi di PGT (Pabrik Gondorukem dan

Terpentin) Sindangwangi, KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Industri Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Tujuan dari penelitian ini adalah (1)

menentukan waktu standar kerja pada sejumlah komponen kerja yang terlibat

dalam industri pengolahan gondorukem dan terpentin, (2) mengidentifikasi waktu

antrian pada pengolahan gondorukem dan terpentin. Pengukuran dilakukan

dengan menggunakan stop watch. Penentuan waktu baku dilakukan dengan

menggunakan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian 5% karena

sebelumnya telah diberikan penyesuaian dan kelonggaran menurut metode

Westinghouse. Analisis keseimbangan lini dilakukan untuk menentukan waktu

antrian pada masing‐masing lini produksi dengan menggunakan software POM‐

QM for Windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu baku pada proses

pengenceran (melter) adalah 29 menit 44 detik dengan waktu antrian sebesar

27,51 detik; waktu baku proses pencucian (settler) adalah 37 menit 22 detik

dengan waktu tunggu 32,03 detik; waktu baku proses pemasakan (cooking) adalah

2 jam 40 menit 36 detik dengan waktu antrian sebesar 5 menit 5,56 detik; waktu

baku untuk proses pengendapan (washer) adalah 1 jam 58 menit 48 detik; waktu

baku untuk proses pengalengan (canning) adalah 32 menit 5 detik dengan waktu

antrian sebesar 10,42 detik. Total waktu pembuatan gondorukem dalam satu line

4
produksi adalah 4 jam 26 menit 2,52 detik. Waktu antrian dari proses‐proses

tersebut dinilai kecil dan wajar sehingga tidak diperlukan perubahan proses yang

akan meningkatkan biaya. Key words: gondorukem, terpentin, waktu antrian,

waktu baku.

Casban dan Kusumah (2016) Analisis keseimbangan lintasan untuk

menciptakan proses produksi pump packaging systems yang efisien di PT Bumi

Cahaya Unggul. Ketidak seimbangan dalam pembagian beban kerja dengan

adanya waktu tugas stasiun kerja yang menjadi bottleneck dapat mengakibatkan

terjadinya peningkatan balance delay yang merugikan perusahaan. Tujuan dalam

penelitian ini adalah membuat keseimbangan lintasan untuk menciptakan proses

produksi pump packaging systems yang efisien, dengan adanya perbaikan cycle

time yang lebih singkat, peningkatan efisiensi lintasan produksi, mengurangi

kerugian keseimbangan, meminimasi idle time dan peningkatan kapasitas

produksi. Metodologi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan adalah

line balancing dengan menggunakan pendekatan metode Ranked Position Weight

dan Heuristic Moodie-Young yang dilakukan dengan membuat pengaturan

keadaan lintasan produksi untuk menciptakan pembagian beban kerja yang

seimbang, sehingga setiap work station diharapkan mempunyai waktu tugas yang

sama. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Bumi Cahaya Unggul sebuah perusahaan

penyedia pompa. Hasil penelitian ini adalah tingkat efisiensi proses produksi

perusahaan masih belum optimal, ditandai dengan terjadinya ketidakseimbangan

pembagian beban kerja akibat dari waktu tugas stasiun kerja yang menjadi bottle

neck. Melalui penerapan metode line balancing, Ranked Position Weight dan

5
Heuristic Moodie-Young dapat memberikan hasil yang signifikan yaitu

peningkatan efisiensi lintasan produksi dan peningkatan kapasitas produksi

Djunaidi dan Angga (2017) Analisis Keseimbangan Lintasan (Line

Balancing) pada Proses Perakitan Body Bus Pada Karoseri Guna Meningkatkan

Efisiensi Lintasan. Dalam perusahaan manufaktur, lintasan produksi sangatlah

penting dalam menentukan ketepatan waktu produksi. Salah satu permasalahan

yang dihadapi dalam perusahaan yaitu seringkali kesulitan meningkatkan efisiensi

produksi. Hal ini terjadi karena pembebanan kerja dalam lintasan produksi kurang

seimbang, sehingga berimbas pada tingkat efisiensi lintasan produksi yang

rendah. Artikel ini membahas peningkatan efisiensi produksi dengan melakukan

perbaikan lini produksi yang telah ada. Metode keseimbangan lintasan digunakan

untuk merencanakan dan mengendalikan aliran proses produksi. Metode ini

digunakan untuk mengevaluasi efisiensi lintasan produksi dan memperbaiki

lintasan produksi tersebut. Analisis keseimbangan lintasan pada proses perakitan

body bus menggunakan metoda Ranked Position Weight. Hasil analisis

menyatakan bahwa penerapan metode keseimbangan lintasan dapat meningkatkan

efisiensi kerja lintasan produksi dari 72,39 % menjadi 91,16 %. Dan balance delay

dapat dikurangi dari 27,61 % menjadi 8,84 %.

Azwir dan Pratomo (2017) melakukan penelitian yang berjudul

Implementasi Line Balancing untuk Peningkatan Efisiensi di Line Welding Studi

Kasus: PT X. Penelitian ini dilakukan bertujuan mendapatkan rancangan model

keseimbangan lintasan (jumlah stasiun dan alokasi elemen kerja) yang efisien

untuk line welding 1DY. Menentukan jumlah operator (tenaga kerja) yang optimal

6
untuk line welding 1DY. PT. X adalah perusahaan yang memproduksi knalpot

(muffler) sepeda motor merk Yamaha. Model knalpot 1DY adalah model knalpot

untuk sepeda motor type New Jupiter Z. Pada line welding model 1DY terdapat 8

stasiun kerja dimana 1 stasiun kerja dikerjakan oleh 1 operator. Disaat pekerjaan

berlangsung sering terjadi waktu menganggur yang sangat lama untuk setiap

operator dalam melakukan pekerjaannya, serta adanya penumpukan barang pada

aliran produksi (bottleneck), menyebabkan terjadinya pemborosan tenaga kerja.

Berdasarkan hasil pembahasan pembentukan rancangan dengan metode Helgeson-

Birnie mampu memberikan solusi terbaik pada line welding 1DY. Berkurangnya

jumlah operator dengan memperkecil jumlah stasiun kerja yang semula 8 menjadi

6 (satu stasiun kerja ditangani oleh satu operator).

Fardiansyah dan Widodo (2018) melakukan penelitian analisa line

balancing guna meningkatkan hasil output dan juga mengidentifikasi pemborosan

yang terjadi dan bagaimana cara menyelesaikannya. Berdasarkan penelitian dapat

disimpulkan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain analisa line

balancing dengan menyeimbangkan beban kerja dan eliminasi pemborosan dapat

mengurangi jumlah operator sehingga meningkatkan produktivitas sebesar 104%

Upaya penyeimbangan beban kerja dan eliminasi pemborosan. Dalam perusahaan

manufaktur, lintasan produksi sangatlah penting dalam menentukan ketepatan

waktu produksi. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam perusahaan yaitu

seringkali kesulitan meningkatkan efisiensi produksi.Hal ini terjadi karena

pembebanan kerja dalam lintasan produksi kurang seimbang, sehingga berimbas

pada tingkat efisiensi lintasan produksi yang rendah. Artikel ini membahas

7
peningkatan efisiensi produksi dengan melakukan perbaikan lini produksi yang

telah ada. Metode keseimbangan lintasan digunakan untuk merencanakan dan

mengendalikan aliran proses produksi. Metode ini digunakan untuk mengevaluasi

efisiensi lintasan produksi dan memperbaiki lintasan produksi tersebut. Analisis

keseimbangan lintasan pada proses perakitan body bus menggunakan metoda

Ranked Position Weight. Hasil analisis menyatakan bahwa penerapan metode

keseimbangan lintasan dapat meningkatkan efisiensi kerja lintasan produksi dari

72,39 % menjadi 91,16 %. Dan balance delay dapat dikurangi dari 27,61 %

menjadi 8,84 %
.
2.2. Landasan Teori

2.2.1. Line Balancing

Line balancing adalah serangkaian stasiun kerja (mesin dan peralatan)

yang dipergunakan untuk pembuatan produk. Line balancing (lintasan perakitan)

biasanya terdiri dari sejumlah area kerja yang dinamakan stasiun kerja yang

ditangani oleh seorang atau lebih operator dan ada kemungkinan ditangani dengan

mengunakan bermacam-macam alat. Adapun tujuan utama dalam menyusun line

balancing adalah untuk membentuk dan menyeimbangkan beban kerja yang

dialokasikan pada tiap-tiap stasiun kerja. Jika tidak dilakukan keseimbangan

seperti ini maka akan mengakibatkan ketidak efisienan kerja di beberapa stasiun

kerja, di mana antara stasiun kerja yang satu dengan stasiun kerja yang lain

memilik beban kerja yang tidak seimbang. Pembagian pekerjaan ini disebut

production-line balancing. Assembly-line balancing atau hanya line balancing

(Ginting, 2007)

8
Penyeimbangan mesin-mesin yang dipakai pada proses perakitan pun

harus dilakukan. Demikian juga didalam membeli dan merancang mesin-mesin

yang memiliki kapasitas yang diperlukan, selain itu penyeimbang mesin-mesin

yang dipakai baik itu dalam pengguna dua mesin untuk mendapatkan kapasitas

yang dibutuhkan maupun memperlambat mesin yang bekerja terlalu cepat atau

menghidupkan atau mematikan mesin secara terputus-putus, dan lain-lain perlu

dilakukan. Area kerja atau stasiun kerja yang ditangani seorang atau lebih

operator dengan berbagai alat akan mengerjakan elemen kerja ketika unit produk

melewati stasiun kerjanya. Jadi dalam proses pengerjaan suatu produk, semua atau

hamper semua stasiun kerja terlibat dan item yang mengalami pengerjaan akan

bertambah lengkap pada setiap stasiun yang dilaluinya. Waktu yang dibutuhkan

dalam menyelesaikan pekerjaan pada masing-masing stasiun kerja biasanya

disebut service time atau station time. Sedangan waktu yang tersedia pada masing-

masing stasiun kerja disebut waktu siklus. Di mana waktu siklus biasanya sama

dengan waktu stasiun kerja yang paling besar. Jangka waktu yang diperbolehkan

untuk melakukan operasi pada stasiun kerja ditentukan oleh kecepatan assembly

line, sehingga seluruh work center atau stasiun kerja berbagai siklus yang sama.

Waktu menganggur (float time) terjadi jika dari stasiun pekerjaan yang ditugaskan

padanya membutuhkan waktu yang sedikit dari pada waktu siklus yang telah

diberikan.maka selain untuk membentuk dan menyeimbangkan beban kerja, line

balancing bertujuan juga untuk meminimisasikan waktu menganggur ketika

operasi pekerjaan pada work center berlangsung sesuai pada urutan prosesnya.

9
Sehingga keseimbangan yang sempurna terjadi apabila dalam penugaan pekerjaan

tidak menimbulkan waktu menganggur (Ginting, 2007)

Pada line balancing ini, tidak mudah untuk direduksi menjadi model atau

algoritma yang sederhana karena terlalu banyak fleksibilitas, dan faliabilitas dari

faktor manusianya. Hal ini disebabkan karena karyawan pada lintasan produksi

menjalankan satu atau beberapa mesin dengan melakukan pekerjaan lain seperti

melihat prosedur kerja yang belum selesai dikerjakan, memeriksa tool di antara

siklus mesin, menangani sistem mesin dan inpeksi pekerjaan, meninggalkan tugas

untuk tugas khusus, atau bermalas-malasan memindahkan material atau hanya

duduk menunggu pengangkut material untuk mengangkatnya sehingga dengan

kondisi yang demikian keseimbangan pada lintasan produksi tidak terjadi.maka

yang perlu dikalukan adalah supervisior untuk merubah dan memperbaikinya

sebagaimana tingkat permintaan berubah (Ginting, 2007).

2.2.2. Masalah Line Balancing

Masalah line balancing telah memberikan perhatian yang cukup besar

mungkin melebihi assembly line yang lazim. Beberapa teknik menghasilkan solusi

yang tepat untuk asumsi-asumsi yang telah diberikan. Teknik lain dirancang untuk

menghasilkan perkiraan solusi berdasarkan pertimbangan yang praktis. Perhatian

utama adalah tidak harus memperoleh keseimbangan yang sempurna tetapi untuk

memperoleh tata letak dan aliran yanng optimal sehubung dengan operasi produk

lainnya. Pengalokasian elemen-elemen pada stasiun kerja dibatasi oleh dua

kendala utama yaitu, precedence constraint dan zoning constraint (Ginting, 2007).

A. Precedence Constraint

10
Dalam pembagian elemen pekerjaan dapat diselesaikan dengan beberapa

alternatif. Dalam proses assembling ada dua kondisi yang biasanya muncul,

yaitu:

1. Tidak ada ketergantungan dari komponen-komponen dalam proses

pengerjaan, jadi setiap komponen mempunyai kesempatan untuk

dilaksanakan pertama kali dan disini dibutuhkan prosedur penyeleksian

untuk menentukan prioritas.

2. Apabila suatu komponen telah dipilih untuk di assembling maka urutan

untuk mengassembling komponen lain dimulai. Disinilah dinyatakan

batasan precedence untuk pengerjaan komponen-komponen.

Ada beberapa cara untuk menggambarkan kondisi precedence untuk

menggambarkan kondisi ini secara efektif yaitu dengan menggunakan diagram

precedence. Maksud dari diagram ini adalah untuk menggambarkan situasi

lintasan yang nyata dalam bentuk diagram. Precedence diagram dapat disusun

menggunakan dua simbol dasar:

1. Elemen simbol, adalah lingkaran dengan nomor atau huruf elemen terkandung

didalamnya. Elemen akan diberi nomor/huruf berurutan untuk menyatakan

identifikasi.

2 atau b
Gambar 2.1. Elemen simbol
Sumber: Ginting, 2007

2. Hubungan antar simbol, biasanya menggunakan anak panah untuk menyatakan

hubungan dari elemen simbol yang satu terhadap elemen simbol lainnya.

11
Precedence dinyatakan dengan perjanjian bahwa elemen pada ekor panah

harus mendahului elemen pada kepala panah.

1 2 3
Gambar 2.2. Hubungan Antar Simbol
Sumber: Ginting, 2007

Gambaran ini dinyatakan bahwa elemen 1 harus mendahului (preecedence)

elemen 2 dan elemen 2 harus mendahului elemen 3.

B. Zoning Constraint

Selain precedence constraint, pengalokasian dari elemen-elemen kerja

pada stasiun kerja juga dibatasi oleh zoning constraint yang menghalangi atau

mengharuskan pengelompokan elemen kerja tertentu pada stasiun tertentu. Zoning

constraint yang negatif menghalangi pengelompokan elemen kerja pada stasiun

yang sama. Misalnya operasi 1 mempunyai sifat antagonis dengan operasi 2 sebab

bisa menyebabkan percikan/konseling api maka tidak dapat disatukan walaupun

dari segi makna dapat dapat disatukan. Sebaliknya zoning constraint yang positif

menghendaki pengelompokan elemen-elemen kerja pada 1 stasiun yang sama

dengan alasan misalnya menggunakan peralatan yang sama dan peralatan itu

mahal.

2.3. Beberapa Teknik Pendekatan Line balancing

Masalah pada lintasan produksi akan kelihatan pada proses perakitan jika

dibandingkan dengan proses pabrikasi. Dalam pabrikasi part-part biasanya

membutuhkan mesin-mesin berat dengan waktu siklus yang panjang. Bila

12
beberapa operasi dengan peralatan yang berbeda dibutuhkan dalam seri-seri, maka

akan sangat sulit untuk menyeimbangkan panjangnya waktu siklus mesin, yang

pada akhirnya akan menghasilkan rendahnya penggunaan kapasitas. Gerakan

kontinu lebih dapat dicapai dengan operasi perakitan yang dilakukan secara

manual jika operasi-operasi tersebut dapat dibagi-bagi menjadi pekerjaan-

pekerjaan kecil dengan waktu yang sangat pendek. Semakin besar fleksibilitas

dalam mengkombinasikan tugas-tugas tersebut, semakin tinggi pula derajat

keseimbangan yang dapat dicapai. Hal ini membolehkan aliran yang mulus

dengan menggunakan tenaga kerja peralatan yang tinggi (Ginting, 2007).

Pengelompokan tugas-tugas yang akan dihasilkan pada lintasan produksi

yang seimbang membutuhkan informasi tentang waktu pelaksanaan tugas,

kebutuhan precedence (tingkat ketergantungan) yang menentukan urutan yang

fisible, dan tingkat output dan waktu siklus yang diinginkan. Bentuk utama

masalah lintasan produksi ditunjukan pada gambar pada halaman disebelah

menurut Ginting, 2007 sebagai berikut:

Input Output
Pengelompokan tugas-
Waktu
Waktu pengerjaan tugas LINTASAN tugas dalam stasiun
kebutuhan precedence dengan kapasitas
PRODUKSI
output rate ataupun output rate yang
Tujuan: memaksimamalisasikan penggunaan kapasaitas sama
keseluruhan
Gambar 2.3. Gambar Elemen–elemen Utama dari Masalah Lintasan Produksi
Sumber: Ginting, 2007

Ginting (2007) dalam lintasan perakitan produksi se-unit produk biasanya

ada sejumlah k elemen kerja. Untuk masing-masing elemen kerja dibutuhkan

13
waktu proses selama tk (k= 1, 2, 3, .., k) dan total waktu yang dibutuhkan untuk

merakit se-unit produk sebagai berikut.


n k

∑ pi=∑ fk ............................................................................................. 2.1


i=1 k =1

K elemen juga dibatasi oleh hubungan precedence yang biasa diberikan

oleh diagram precedence. Gambar berikut menunjukan salah satu bentuk diagram

precedence. Simbol di dalam lingkaran menyatakan waktu pengerjaan elemen.

Elemen kerja i merupakan predecessor dari elemen kerja j jika proses perkitan

menghendaki elemen kerja i dikerjakan lebih dulu sebelum elemen j (Ginting,

2007).

U2 U6 U8 U10

U3

U1

U4 U7 U9
U11

U5

Gambar 2.4. Gambar Precedence Diagram


Sumber: Ginting, 2007

Apabila ada sejumlah elemen Q unit yang akan di assembly selama

periode waktu t, maka waktu siklus c secara matematis diurutkan sebagai c= t/Q.

Dan juga seandainya n menyatakan jumlah stasiun kerja di lintas perakitan dan Pi

14
(i= 1,2,3,...n) menyatakan waktu stasiun yaitu jumlah dari waktu yang ditugaskan

pada stasiun i untuk masing-masing unit, maka (Ginting, 2007):


n k

∑ Pi=∑ tk .................................................................................. 2.2


i=I k=i

Tujuan dasar dari pada penyeimbangan lintasan perakitan adalah untuk

menugaskan elemen-elemen kerja pada stasiun kerja dalam berbagai cara di mana

batasan precedence tidak dilanggar dan waktu menganggur minimal (Ginting,

2007).
n
Min ∑ ¿ ( c− p ) c ≥ Pi(i=1,2,3 , … . , n) ....................................... 2.3
i=I

Maka minimisasi persamaan di atas sama dengan minimasi jumlah stasiun

atau waktu siklus atau keduanya, tergantung mana yang akan memberikan hasil

yang lebih baik. Penyeimbang lintasan perakitan mempunyai kombinasi yang

sangat kompleks dengan sejumlah penyelesaian, baik yang eksak maupun

heuritik. Diantaranya adalah metode Helgelson and Birnie, Kilbridge and Wester

(region approach), metode 0-1 (zero one), metode burgess dan metode toa sistem

(Ginting, 2007). Untuk Penyeimbang lintasan perakitan ada beberapa teori yang

dikemukakan oleh para ahli yang meneliti bidang ini. Metode ini secara garis

besar dibagi dalam dua bagian menurut Ginting, 2007 yaitu :

1. Pendekatan analitis

2. Pendekatan heuristik

Pada awalnya teori teori line balancing dikembangkan dengan pendekatan

matematis/analitis yang akan memberikan solusi optimal, tapi lambat laun

akhirnya para ahli yang meneliti bidang ini mulai menyadari bahwa pendekatan

15
bahwa secara matematis tidak ekonomis. Memang semua problem dapat

dipecahkan secara matematis akan tetapi usaha yang dilakukan untuk perhitungan

terlalu besar. Sudah banyak usaha yang dilakukan para ahli matematik untuk

memberikan alternatif baru tetapi tidak ada yang dapat mengurangi jumlah

perhitungan pada tingkat yang dapat diterima. Hal tersebut membuat para ahli

mengembangkan metode heuristik. Metode ini didasarkan atas pendekatan

matematis dan akal sehat. Batasan heuristik menyatakan pendekatan trial dan

error dan teknik ini memberikan hasil yang secara matematis belum optimal,

tetapi cukup mudah untuk memakainya. Usaha yang dikeluarkan untuk

perhitungan agar mendapatkan solusi yang optimal seringkali sangat besar dan

sangat riskan apabila data yang dimasukan tidak akurat (Ginting, 2007).

Pendekatan heuristik merupkan suata cara yang praktis, mudah dimengerti

dan mudah diterapkan. Untuk mendapatkan gamabaran yang lebih lengkap berikut

ini diberikan beberapa model analitis dan model heuristik untuk penyeimbang

lintasan perakitan (Ginting, 2007).

1. Pendekatan Analitis

Ginting, 2007 mengemukakan penyeimbang lintasan perakitan dengan

pendekatan analitis terbagi atas:

A. Metode 0-1 (zero-one)

Melihat model zero-one yang dikemukakan oleh Patterson dan Akbracht untuk

memberikan bentuk matematis yang tepat bagi problem penyeimbang line-

balancing, maka kita dapat menggunakan notasi:

C : Waktu siklus

16
tk : Waktus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan elemen k, k = 1,2,3,..., k

SkPk : Subset dari semua elemen kerja yang harus mendahului atau sebelum k

Wi : Subset dari semua elemen kerja yang ditugasi pada stasiun I,I=1,2,...,M

M : Batas atas dari jumlah stasiun

Xki : 1, jika elemen kerja ditugaskan staspiun 1 0, lainnya

Jumlah stasiun yang dibutuhkan untuk melengkapi semua procedessor dan

successor dari setiap tugas yang diberikan oleh formulasi sebagai berikut.

tk+ ∑ tj
Ek = I, untuk tk + Σ ti = 0,k = 1,2.... dan | j= pk
k | ......................... 2.4

tk+ ∑ tj
Lk =M, untuk tk + ∑ tj = 0,k = 1,2,......,k dan
jϵSk | | jϵpk
c
................... 2.5

Notasi di atas yang pertama menyatakan integer yang paling kecil ≥ a. Definisi

I (M) dari Ek (Lk) dibutuhkan jika simbol dummy dipakai dalam diagram

precedence untuk permulaan atau akhir pekerjaan. Untuk C=10 dan M=6. Jadi

elemen kerja akan terletak di antara stasiun ke-1 sampai ke-5, dan elemen ini

tidak mungkin terletak di stasiun kerja ke-6. Untuk perhitungan selanjutnya

dibutuhkan batasan batasan sebagai berikut:

a. Zoning constrain

Kendala ini dibatasi bahwa penugasan dari penugasan dari masing-

masing elemen kerja k hanya pada suatu stasiun dan ditulis sebagai berikut:
Lk

∑ Xk = 1, k=1,2,....,k .......................................................................... 2.6


i=Ek

17
b. Precedence constrain

Untuk masing-masing hubungan precedence di mana mendahului dengan

tepat elemen b (A < b), dibutuhkan precedence constrain dengan simulasi

sebagai berikut:
a b

∑ ixXai ≤ ∑ jxXbj di manaa< b ............................................. 2.7


i=Ea j= Eb

c. Batasan waktu siklus

Jumlah dari waktu pengerjaan elemen kerja dalam satu stasiun harus lebih

kecil atau sama dengan waktu siklus C jadi:

∑ tx X ki≤ C dengan i=1,2 … , M ................................................ 2.8


i=Wi

Misalkan F = (K/Sk = 0) menyatakan kumpulan elemen-elemen kerja di

mana tidak elemen lain yang mengikutinya. Definisikan sebuah mode

dummy d dengan tk = 0 dan a < b untuk setiap a ϵ F. Kemudian fungsi tujuan

dapat ditulis sebagai berikut:


M
D: Max ∑ ( M + 1−i ) X di dengan Ft: Fungsi tujuan.
i=Ed

Solusi optimal didapat dengan mengubah harga M. Pertama kali dihitung

batas bawah dari M yaitu M yang didapat dari perhitungan sebagai berikut:
k

M=
∑ ❑ tk ............................................................................................... 2.9
k=1
C

18
Yang kemudian proses diulangi untuk harga M yang berbeda yaitu: Mp = M

–1 + p, untuk penyelesaian: = 1, 2,... sampai diperoleh harga yang

memenuhi.

B. Metode W.B. Helgeson dan D.P. Birnie

Metode ini biasanya lebih dikenal dengan ranked potitional weight

system atau sistem RPW. Langkah pertama adalah membuat diagram

precedence dan matriks precendence. Kemudian dihitung bobot positional

untuk setiap elemen yang diperoleh dari penjumlahan waktu pengerjaan

elemen tersebut dengan waktu pengerjaan elemen lain yang mengikuti elemen

tersebut.
3
4

b c

6
9
a e
2

d
Gambar 2.5. Diagram Precedence untuk Menerangkan Metode RPW
Sumber: Ginting, 2007

Dari diagram precedence di atas, bobot setiap elemen dapat dihitung:

Untuk elemen a = a + b + c + d + e = 24

Untuk elemen b = b + c + e = 16

Untuk elemen d = d + e = 11

Untuk elemen c = e =9

Hubungan precedence juga dapat dibuat dalam bentuk matriks di mana

setiap hubungan bernilai -1, 0,1. Hubungan precendence yang bernilai +1, jika

19
elemen yang hendak yang mau dihubungkan dengannya, bernilai -1 jika

sebaliknya dan 0 jika tidak ada hubungan.

Tabel 2.1. Matriks Precedence


Elemen Kerja A B C D E
A 0 1 1 1 1
B -1 0 1 0 1

20
Tabel 2.1. Matriks Precedence (lanjutan)
Elemen Kerja A B C D E
C -1 -1 0 0 1
D -1 0 0 0 1
E -1 -1 -1 -1 0
Sumber: Ginting, 2007

Dari matriks precedence, bobot setiap elemen diperoleh dari

penjumlahan waktu pengerjaan untuk elemen tersebut dengan elemen yang

bernilai +1 masing-masing baris. Sebagai contoh diambil elemen b pada Tabel

2.2.

Tabel 2.2. Elemen B


Elemen Kerja A B C D e
B -1 0 1 0 1
Personal weight 3 + 4 + 9 = 16
Sumber: Ginting, 2007

Terlihat bahwa masing-masing elemen mempunyai bobot dan elemen

yang mempunyai bobot yang paling besar menempati rank 1, bobot yang

terbesar berikutnya menempati rank 2, dan begitu seterusnya sampai semua

elemen didaftar. Apabila ada elemen yang bobotnya sama, mereka bisa diurut

dengan urutannya di dalam daftar. Penugasan elemen-elemen terhadap stasiun

kerja mengikuti langkah-langkah berikut:

1. Elemen yang mempunyai bobot paling tinggi (rank 1) ditempatkan pada

stasiun kerja 1.

2. Hitung antara waktu siklus dengan waktu elemen (a) yang telah ditempatkan

T = C-a1.

3. Kemudian dipilih elemen dengan bobot terbesar berikutnya dan dilakukan

pemeriksaan terhadap:

21
a. Precedence, hanya elemen yang semua pendahulunya sudah ditempatkan

boleh bergabung.

b. Waktu pengerjaan di elemen tersebut harus lebih kecil atau sama dengan

waktu stasiun yang masih tersedia [a1,1 £ (C – a1)], apabila kondisi (a)

atau (b) terpenuhi maka elemen tersebut dapat ditempatkan pada stasiun

pertama. Apabila koindisi (a) atau (b) tidak terpenuhi maka elemen

tersebut ditinggalkan dan dilanjutkan untuk elemen rank berikutnya.

c. Langkah (b) dan (c) diulang sampat T = 0 atau tidak ada kemungkinan

untuk menugaskan elemen lagi pada stasiun kerja karena waktu T lebih

kecil dari waktu masing-masing elemen-elemen yang belum ditugaskan.

d. Stasiun kerja kedua kemudian dimulai dari elemen-elemen yang belum

ditugaskan yang bobotnya paling besar.

e. Langkah (b), (c), (d) dan (e) dilanjutkan sampai semua elemen telah

dikelompokkan dalam stasiun-stasiun kerja.

Kita dapat menjelaskan prosedur metode RPW dengan melihat

contoh di bawah ini. Misalkan diagram precedence berikut ini akan

diseimbangkan.

3 b 7 3
6 h i
c 6
4
3
k
a d
5 2 5
e g j
4
f
Gambar 2.6 Diagram Precedence untuk Contoh Kasus Metode RPW
Sumber: Ginting, 2007

22
Tabel 2.3. Matriks Precedence
Elemen kerja A B C D E F G H I J K
A 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B -1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1
C -1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1
D -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
E -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
F -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
G -1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
H -1 -1 -1 0 0 0 0 0 1 0 1
I -1 -1 -1 0 0 0 0 -1 0 0 1
J -1 0 0 -1 -1 -1 -1 0 0 0 1
K -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 0
Sumber: Ginting, 2007

2. Pendekatan Heuristik

Ginting (2007) mengemukakan penyeimbangan lintasan perakitan dengan

pendekatan heuristik terbagi atas:

A. Metode Kilbridge dan Wester (Region Approach)

Dalam metode ini diagram precedence dengan elemen-elemennya dapat

dikelompokkan dalam sejumlah kolom. Semua elemen yang tergabung dalam

sebuah kolom independen karenanya dapat dipermutasikan di antara mereka

dalam berbagai cara tanpa melanggar kaidah precedence. Elemen-elemen juga

bisa ditransferkan dari kolom satu ke kolom lain dikanannya tanpa mengubah

precedence dengan menjaga permutabilitas dalam kolom yang baru. Adapun

lengkapnya langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan

persoalan adalah:

1. Buat diagram precedence dari persoalan yang dihadapi.

2. Kelompokkan daerah precedence dari kiri ke kanan dalam bentuk kolom-

kolom.

23
3. Gabungkan elemen-elemen dalam daerah precedence yang paling kiri dalam

berbagai cara dan ambil hasil gabungan terbaik yang hasilnya sama atau

hampir sama dengan waktu siklus.

4. Apabila ada elemen-elemen yang belum bergabung dan jumlahnya lebih

kecil dari C lanjutkan menggabungkan dengan elemen di daerah di

kanannya dengan memperhatikan batasan precendence.

5. Proses berlanjut sampai semua elemen bergabung dalam suatu stasiun kerja.

Salah satu tujuan penyeimbangan lini adalah mendapatkan efisiensi

dengan meminimalkan waktu kosong stasiun kerja, serta dapat dihitung dengan

rumus (Ginting, 2007) sebagai berikut:


n
Efisiensi = ∑ Si ............................................................................................. 2.10
i=1
n.C
Di mana: Si = Waktu masing-masing stasiun ( i = 1,2,...,n)

n = Jumlah stasiun kerja

C = Waktu siklus

Balance delay dapat dihitung untuk memberikan gambaran apakah telah

tercapai keseimbangan yang baik atau belum, yakni dengan rumus (Ginting, 2007)

sebagai berikut:

D = n . Sm−∑ Si ............................................................................................. 2.11


n . Sm

Di mana: D = Balance delay

Sm = Waktu yang paling maksimum dalam jumlah lintasan

n = Jumlah stasiun kerja

Si = Waktu masing-masing stasiun

24
Sedangkan idle time dapat dihitung sebagai berikut :

Waktu kosong = 100% - efisiensi

B. Metode Integer (berdasarkan formulasi problem line balancing – u)

Perakitan terdiri dari rangkaian stasiun kerja kumpulan dari tugas yang

dinyatakan berdasarkan rangkaian tugas-tugas. Masalah dalam pemilihan dan

pengelompokkan subjek pada rangkaian ini terdiri atas rangkaian stasiun kerja

yang diberikan berdasarkan langkah-langkah produksi atau permaksimalan rata-

rata produksi diberikan berdasarkan jumlah stasiun kerja yang biasanya dalam

lintasan perakitan.

Keterkaitan dan kompleksitas berdasarkan masalah line balancing

diselesaikan dengan metode riset operasi. Ketika perakitan dirancang pada garis

lurus, umumnya berhubungan dengan Traditional Line Balancing Problem

(TLBP). Jika waktu proses untuk tiap tugas diasumsikan tetap, kita akan

memperoleh versi deterministik dari permasalahan tersebut yang berhubungan

pada Deterministic Traditional Line Balancing Problem (DTLBP). Ketika

seminar paper DTLBP oleh Ssalveson (1995), ada sejumlah artikel yang

membahas mengenai masalah ini. Artikel tersebut dapat dikategorikan dengan

menggunakan prosedur solusi untuk menyelesaikan masalah, termasuk program

integer, program dinamik dan pendekatan heuristik. Kilbridge dan Wester (1962)

dan Ignall (1965) menyediakan pengulangan yang terbaik untuk pendekatan ini.

20 tahun kemudian Talbot (1986) mengulangi secara khusus penggunaan

pendekatan heuristik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini.

25
Konseus umum terlihat dari sudut praktis, versi dari masalah ini telah

terselesaikan jika waktu proses dari masing-masing tugas diketahui dalam bentuk

variabel, masalah ini biasanya berhubungan dengan Stochastic Line Balancing

Problem (SLBP). Versi dari masalah line balancing sangat kompleks, prosedur

pemecahan dikembangkan untuk masalah ini bergantung kepada probabilitas

distribusi normal yang digunakan mewakili waktu proses acak algoritma.

Algoritma yang dibuat oleh Kao (1976) dilanjutkan dengan program dinamik dari

Held (1963) diikuti proses variabel waktu Carrwoy (1989) membuat dua

algoritma yang dilanjutkan oleh formula Held. Peningkatan tekanan kompetitif

dihasilkan dalam pengingatan ulang perakitan arsitektur pada beberapa level.

Perakitan tradisional tidak fleksibel dan biasanya dibuat untuk perakitan dalam

jumlah besar dan keragaman yang rendah. Bagaimanapun dengan peningkatan

permintaan untuk ragam yang tinggi, produk berjumlah tinggi seperti automobil,

dan pemakaian elektronik baru-baru ini diperlukan untuk dibuat lebih fleksibel

sesuai permintaan konsumen. Selanjutnya keberhasilan dari sistem seperti Just In

Time (JIT) dan didesain untuk meminimalkan bahan mentah dan kerja dalam

proses inventory, umumya bergantung pada fleksibilitas penetapan perakitan.

U-Line mempunyai keuntungan di atas konfigurasi garis lurus. Untuk lebih

cepat ada jarak penglihatan yang besar dari pengoperasian dan komunikasi di

antara operator dalam barisan, yang keduanya merupakan kunci untuk

meminimalkan jumlah dari kualitas dan pengawasan yang berhubungan dengan

kerusakan dalam lintasan. Pada buku ini, dikembangkan formulasi program

integer deterministik dari ULBP. Dengan mencotohkan masalah dari jumlah

26
stasiun yang sesuai dengan siklus waktu khusus. Beberapa masalah dari jumlah

stasiun yang sesuai dengan siklus waktu khusus. Beberapa formula digunakan

untuk memecahkan DTLBP oleh Geofrion (1967), Thangavelo, dan Shetty (1971)

dan Patterson dan Albacth (1975), untuk pengetahuan yang lebih baik yang tidak

dapat dilawan dengan persamaan formula dari literature ULBP. Selanjutnya

seluruh formula ini menggunakan teknik penjumlahan murni untuk memecahkan

masalah. Dan masalah ini dipecahkan berdasarkan pendekatan teknik langarian.

Teknik relaksasi langarian telah digunakan dengan sukses untuk memecahkan

permasalahan yang beragam dari masalah komplikasi optimasi berlainan.

a. Model

Untuk merumuskan ULBP, buat (1,..,m) menjadi sekumpulan dari stasiun di

mana kumpulan dari tugas J = (1,2,...,n) dapat diatur, Cij nilai dari pengaturan

tugas j ke stasiun i, i waktu proses dari 1 yang dianggap sudah tahu,

deterministik dan independen dari stasiun yang sudah diatur C siklus waktu

yang tersedia, Pj berurut (pengganti) yang didefenisikan dari tugas j oleh

rangkaian pembatas. Adapun untuk mendefenisikan ULBP, dapat digunakan

rumus sebagai berikut:

1, jika tugas j ditetapkan pada stasiun i


Xki = 0, sebelumnya

ULBP yang kiat sebut (P) dapat diwakili dengan programming integer berikut:

Z=min ∑ ∑ Cij X ij ............................................................................ 2.12
i∈ I j ∈ J


∑ X ij =I ∀ j ∈ J ....................................................................................... 2.13
i∈ J

27

∑ t j X ij ≤ C ∀ i∈ I .................................................................................. 2.14
j∈ J
i
X ij ≤ ∑ X kp + y ij ∀ p ∈ P j , j ∈ J , i∈ I ................................................ 2.15
k=I
i
X ij ≤ ∑ xs + y 2 j ∀ s ∈ j , j ∈ J , i∈ I ..................................................... 2.16
k=I
y ij + y 2 j ≤ I ∀ j ∈ J ..................................................................................... 2.17

2.4. Pengaruh Waktu Terhadap Penyusunan Stasiun Kerja

Satu faktor yang sangat berpengaruh pada penyusunan stasiun kerja adalah

waktu siklus. Waktu siklus ditentukan berdasarkan tingkat kapasitas, permintaan,

serta waktu operasi terpanjang. Jelas sekali bahwa perubahan waktu akan

mempengaruhi susunan operasi yang dibebankan pada stasiun kerja. Jika dibatasi

oleh waktu operasi terpanjang, maka waktu siklus akan menentukan jumlah

stasiun kerja. Misalnya jika waktu siklus yang diinginkan adalah 80 menit

sementara waktu operasi tertinggi ialah 10 menit, maka waktu siklus dapat

ditetapkan antara 10 sampai 8 menit. Semakin rendah waktu siklus, maka

kecepatan lintas perakitan akan semakin tinggi sehingga jumlah produk per satuan

waktu semakin besar dan jumlah stasiun kerja yang dibutuhkan akan menjadi

semakin banyak. Sebaliknya, waktu siklus yang makin besar berarti kecepatan

lintas perakitan akan semakin rendah dan jumlah stasiun kerja yang dibutuhkan

menjadi semakin sedikit. Dalam menetapkan waktu siklus yang ideal, beberapa

ahli menyarankan agar didasarkan pada permintaan, penetapan waktu siklus yang

lebih rendah dari waktu siklus berdasarkan permintaan akan berakibat pada idle-

capacity, suatu hal yang berakibat kurang baik bagi produktivitas pabrik secara

keseluruhan (Nasution dan Prasetyawan, 2008).

2.5. Pengaruh Penyeimbangan Lintasan pada Perencanaan Produksi

28
Perencanaan produksi dilakukan berdasarkan asumsi tingkan efisiensi

100%. Jelas sekali bahwa penyusunan stasiun kerja yang akan menghasilkan

tingkat efisiensi rata-rata sebesar 100% akan sukar untuk dicapai. Dalam hal ini,

penyeimbangan lintasan menghasilkan tingkat efisiensi lintasan produksi yang

mempengaruhi perencanaan produksi. Bila dihasilkan tingkat efisiensi sebesar

95%, maka jelas sekali bahwa salah satu dari dua parameter perencanaan produksi

harus disesuaikan, di mana jumlah permintaan disesuaikan dengan cara

membaginya dengan 95% (“meningkatkan” permintaan), 95% (“menurunkan”

kapasitas). Tentunya hal ini akan berpengaruh pada total ongkos produksi yang

harus ditanggung oleh perusahaan. Oleh karena itu, penyeimbangan berfungsi

sebagai koreksi atau umpan balik terhadap kegiatan perencanaan produksi dan

penentuan tenaga kerja (Nasution dan Prasetyawan, 2008).

2.6. Penyesuaian (Rating Factor)

2.6.1. Maksud Melakukan Penyesuaian

Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran

kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya

bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena

menjumpai kesulitan-kesulitan seperti kondisi ruangan yang buruk. Penyebab

seperti tersebut mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau

terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena

waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja

baku yang diselesaikan secara wajar (Sutalaksana, dkk, 2006).

29
Andai kata ada ketidakwajaran, maka pengukur harus mengetahuinya dan

menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan

hal inilah penyesuaian dilakukan. Jadi, jika pengukur mendapatkan harga rata-rata

siklus/elemen yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh

operator, agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus

menormalkannya dengan melakukan penyesuaian (Sutalaksana, dkk, 2006).

Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata

atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor

penyusuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian

yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau waktu yang normal.

Bila pengukur berpendapat bahwa operator bekerja di atas normal (terlalu cepat)

maka harga p akan lebih besar dari satu (p > 1), sebaliknya jika operator

dipandang bekerja di bawah normal harga p akan lebih kecil dari satu (p < 1).

Seandainya pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan wajar maka

harga p sama dengan satu (p = 1) (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.6.2. Beberapa Cara Menentukan Faktor Penyesuaian

Cara pertama adalah yang dikembangkan oleh Sutalaksana, dkk (2006)

yaitu cara persentase yang merupakan cara yang paling awal digunakan dalam

melakukan penyesuaian. Di sini besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya

ditentukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran.

Jadi sesuai dengan yang terlihat selama pengukuran dia menentukan harga p yang

menurut pendapatnya akan menghasilkan waktu normal bila harga ini dikalikan

dengan waktu siklus. Misalnya pengukur berpendapat bahwa p = 110%. Jika

30
waktu siklusnya telah terhitung sama dengan 14,6 menit, maka waktu normalnya

(Wn) = 14,6 x 1,1 = 16,6 menit (Sutalaksana, dkk, 2006).

Terlihat bahwa penyesuaiannya diselesaikan dengan cara yang sangat

sederhana. Terlihat adanya kekurangan ketelitian sebagai akibat dari “kasarnya”

cara penilaian. Bertolak dari kelemahan ini dikembangkanlah cara-cara lain

dipandang sebagai cara lain yang lebih objektif. Cara-cara ini umumnya

memberikan “patokan” yang dimaksudkan untuk mengarahkan penilaian

pengukur terhadap kerja operator. Dua cara akan diperkenalkan di sini, yaitu cara

Shumard dan cara Westinghouse. Cara Shumard memberikan patokan-patokan

penilaian melalui kelas-kelas kinerja kerja dengan setiap kelas mempunyai nilai

sendiri-sendiri. Di sini pengukur diberi patokan untuk menilai performansi kerja

operator menurut kelas-kelas super fast, fast +, fast, fast -, excellent, dan

seterusnya (sutalaksana, dkk, 2006).

Tabel 2.4. Penyesuaian Menurut Cara Shumard


Kelas Penyesuaian
Superlast 100
Fast + 95
Fast 90
Fast - 85
Excellent 80
Good + 75
Good - 65
Normal 60
Fair + 55
Fair 50
Fair - 45

31
Tabel 2.4. Penyesuaian Menurut Cara Shumard (lanjutan)
Kelas Penyesuaian
Poor 40
Sumber: Sutalaksana dkk, 2006

Tabel 2.4 untuk memilih kelas superlast, fast +, fast, fast -, excellent,

good +, dan good - sesuai dengan yang sedang dilakukan oleh operator. Berbeda

dengan cara Shumard, cara Westinghouse mengarahkan penilaian pada 4 faktor

yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu

keterampilan, usaha, kondisi kerja, dan konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam

kelas-kelas dengan nilainya masing-masing. Keterampilan atau skill didefinisikan

sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat

meningkatkan keterampilan, tetapi hanya sampai ke tingkat tertentu saja, tingkat

yang merupakan kemampuan maksimal yang dapat diberikan pekerja yang

bersangkutan. Keterampilan juga dapat menurun, yaitu bila terlampau lama tidak

menangani pekerjaan tersebut. Atau karena sebab-sebab lain seperti karena

kesehatan yang terganggu, rasa fatigue yang berlebihan, pengaruh lingkungan

sosial, dan sebagainya (Sutalaksana, dkk, 2006). Untuk keperluan penyesuaian,

menurut Sutalaksana, dkk (2006) keterampilan dibagi menjadi enam kelas dengan

ciri-ciri dari setiap kelas berikut ini.

a. Super skill

1. Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaannya.

2. Bekerja dengan sempurna.

3. Tampak seperti telah terlatih dengan sangat baik.

32
4. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sangat sulit untuk

diikuti.

5. Kadang-kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan-gerakan mesin.

6. Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainnya tidak terlampau

terlihat karena lancarnya.

7. Tidak terkesan adanya gerakan-gerakan berfikir dan merencana tentang apa

yang dikerjakan (sudah sangat otomatis).

8. Secara umum dapat dikatakan bahwa pekerja yang bersangkutan adalah

pekerja yang sangat baik.

b. Excellent skill

1. Percaya pada diri sendiri.

2. Tampak cocok dengan pekerjaannya.

3. Terlihat telah terlatih baik.

4. Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran atau

pemeriksaan lagi.

5. Gerakan-gerakan kerjanya beserta urutan-urutannya dijalankan tanpa

kesalahan.

6. Menggunakan peralatan dengan baik.

7. Bekerjanya cepat tanpa mengorbankan mutu.

8. Bekerjanya cepat tapi halus.

9. Bekerjanya berirama dan terkoordinasi.

c. Good skill

1. Kualitas hasil baik.

33
2. Bekerjanya tampak lebih baik daripada kebanyakan pekerja pada umumnya.

3. Dapat memberi petunjuk-petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya

lebih rendah.

4. Tampak jelas sebagai pekerja yang cakap.

5. Tidak memerlukan banyak pengawasan.

6. Tiada keraguan.

7. Bekerjanya “stabil”.

8. Gerakan-gerakannya terkoordinasi dengan baik.

9. Gerakan-gerakannya cepat.

d. Average skill

1. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri.

2. Gerakannya cepat tetapi tidak lambat.

3. Terlihat adanya pekerjaan-pekerjaan perencanaan.

4. Tampak sebagai pekerja yang cakap.

5. Gerakan-gerakannya cukup menunjukkan tidak ada keragu-raguan.

6. Mengkoordinasi tangan dan pikiran dengan cukup baik.

7. Tampak cukup terlatih dan karenanya mengetahui seluk beluk pekerjaannya.

8. Bekerja cukup teliti.

9. Secara keseluruhan cukup memuaskan.

e. Fair skill

1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik.

2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya.

34
3. Terlihat adanya perencanaan-perencanaan sebelum melakukan gerakan-

gerakan.

4. Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup.

5. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tetapi telah

dipekerjakan di bagian itu sejak lama.

6. Mengetahui apa-apa yang dilakukan dan harus dilakukan tapi tampak tidak

selalu yakin.

7. Sebagian waktunya terbuang karena kesalahan-kesalahan sendiri.

8. Jika tidak bekerja secara bersungguh-sungguh outputnya akan sangat

rendah.

9. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakannya.

f. Poor skill

1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran.

2. Gerakan-gerakannya kaku.

3. Kelihatan ketidakyakinannya pada urutan-urutan gerakan.

4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan.

5. Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaannya.

6. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan-gerakan kerja.

7. Sering melakukan kesalahan-kesalahan.

8. Tidak adanya kepercayaan pada diri sendiri.

9. Tidak bisa mengambil inisiatif sendiri.

Secara keseluruhan tampak pada kelas-kelas di atas bahwa yang

membedakan kelas keterampilan seseorang adalah keragu-raguan, ketelitian

35
gerakan, kepercayaan diri, koordinasi, irama gerakan. “Bekas-bekas” latihan, dan

hal-hal yang serupa. Dengan pembagian ini pengukur akan lebih terarah dalam

menilai kewajaran pekerja dilihat dari segi keterampilannya. Karenanya faktor

penyesuaian yang nantinya diperoleh dapat lebih objektif. Usaha atau effort cara

Westinghouse membagi juga kelas-kelas dengan ciri-ciri tersendiri. Yang

dimaksud usaha di sini adalah kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan

operator ketika melakukan pekerjaannya. Berikut ini ada enam kelas usaha dengan

ciri-cirinya (Sutalaksana, dkk, 2006) yaitu:

a. Excessive effort

1. Kecepatan sangat berlebihan.

2. Usahanya sangat bersungguh-sungguh tetapi dapat membahayakan

kesehatannya.

3. Kecepatan yang ditimbulkannya tidak dapat dipertahankan sepanjang hari

kerja.

b. Excellent effort

1. Jelas terlihat kecepatannya sangat tinggi.

2. Gerakan-gerakan lebih ekonomis dari pada operator-operator biasa.

3. Penuh perhatian pada pekerjaannya.

4. Banyak memberi saran.

5. Menerima saran-saran petunjuk dengan senang.

6. Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu.

7. Tidak bertahan lebih dari beberapa hari.

8. Bangga atas kelebihannya.

36
9. Gerakan-gerakan yang salah terjadi sangat jarang sekali.

10. Bekerjanya sangat sistematis.

11. Karena lancarnya, perpindahan dari suatu elemen ke elemen lain tidak

terlihat.

c. Good effort

1. Bekerja berirama.

2. Saat-saat menganggur sangat sedikit, bahkan kadang-kadang tidak ada.

3. Penuh perhatian pada pekerjaannya.

4. Senang pada pekerjaannya.

5. Kecepatannya baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari.

6. Percaya pada kebaikan waktu pengukuran waktu.

7. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.

8. Dapat memberi saran-saran untuk perbaikan kerja.

9. Tempat kerjanya diatur baik dan rapi.

10. Menggunakan alat-alat yang tepat dengan baik.

11. Memelihara dengan baik kondisi peralatan.

d. Average effort

1. Tidak sebaik good, tapi lebih baik dari poor.

2. Bekerja dengan stabil.

3. Menerima saran-saran tapi tidak melaksanakannya.

4. Set up dilaksanakan dengan baik.

5. Melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan.

e. Fair effort

37
1. Saran-saran perbaikan diterima dengan kesal.

2. Kadang-kadang perhatian tidak ditujukan pada pekerjaannya.

3. Kurang sungguh-sungguh.

4. Tidak mengeluarkan tenaga dengan secukupnya.

5. Terjadi sedikit penyimpangan dari cara kerja baku.

6. Alat-alat yang dipakainya tidak selalu yang terbaik.

7. Terlihat adanya kecenderungan kurang perhatian pada pekerjaannya.

8. Terlampau hati-hati.

9. Sistematika kerjanya sedang-sedang saja.

10. Gerakan-gerakannya tidak terencana.

f. Poor effort

1. Banyak membuang-buang waktu.

2. Tidak memperhatikan adanya minat kerja.

3. Tidak mau menerima saran-saran.

4. Tampak malas dan lambat bekerja.

5. Melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu untuk mengambil alat-alat

dan bahan.

6. Tempat kerjanya tidak diatur rapi.

7. Tidak peduli pada cocok/ baik tidaknya peralatan yang dipakai.

8. Mengubah-ubah tata letak tempat kerja yang telah diatur.

9. Set up kerjanya terlihat tidak baik.

Dari uraian di atas seperti terlihat adanya korelasi antara keterampilan

dengan usaha. Dalam praktiknya banyak terjadi pekerja mempunyai keterampilan

38
rendah bekerja dengan usaha yang lebih sungguh-sungguh sebagai imbangannya.

Kadang-kadang usaha ini begitu besar sehingga tampak berlebihan dan tidak

banyak menghasilkan. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai keterampilan

tinggi tidak jarang bekerja dengan usaha yang tidak didukung, tapi bisa

menghasilkan kinerja yang lebih baik. Jadi, walaupun hubungan antara “kelas

tinggi” pada keterampilan dengan usaha tampak erat sebagaimana juga dengan

kelas-kelas rendah (maksudnya antara excellent dengan excellent, fair dengan

fair, dan selanjutnya), kedua faktor ini adalah hal-hal yang dapat terjadi secara

terpisah di dalam pelaksanaan pekerjaan. Karena cara Westinghouse memisahkan

fakor keterampilan dari usaha dalam rangka penyesuaian. Kondisi kerja atau

condition pada cara Westinghouse adalah kondisi fisik lingkungannya seperti

keadaan pencahayaan, suhu, dan konsistensi merupakan sesuatu yang dicerminkan

operator, maka kondisi kerja merupakan sesuatu di luar operator yang diterima

apa adanya oleh operator tanpa banyak kemampuan mengubahnya. Oleh sebab

itu, faktor kondisi sering disebut sebagai faktor manajemen, karena pihak inilah

yang dapat dan berwenang mengubah atau memperbaikinya (Sutalaksana, dkk,

2006).

Kondisi kerja dibagi menjadi enam kelas, yaitu ideal, excellent, good,

average, fair, dan poor. Kondisi yang ideal tidak selalu sama bagi setiap

pekerjaan karena berdasarkan karakteristiknya masing-masing pekerja

membutuhkan kondisi ideal sendiri-sendiri. Satu kondisi yang dianggap good

untuk satu pekerjaan dapat saja dirasakan fair atau bahkan poor bagi pekerjaan

yang lain. Sebaliknya kondisi poor adalah kondisi lingkungan yang tidak

39
membantu jalannya pekerjaan atau bahkan sangat menghambat pencapaian kinerja

yang baik. tentu suatu pengetahuan kriteria yang disebut ideal, dan kriteria yang

disebut poor perlu dimiliki agar penilaian terhadap kondisi kerja dalam rangka

melakukan penyesuaian dapat dilakukan dengan seteliti mungkin. Ergonomi

banyak mempelajari hal-hal ini. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah

konsistensi atau consistency. Faktor ini perlu diperhatikan karena pada setiap

pengukuran waktu angka-angka yang dicatat tidak pernah semuanya sama, waktu

penyelesaian yang ditunjukkan pekerja selalu berubah dari satu siklus ke siklus

lainnya, dari jam ke jam, bahkan dari hari ke hari. Selama ini masih dalam batas-

batas kewajaran masalah tidak timbul. Sebagimana halnya faktor-faktor lain,

konsistensi juga dibagi menjadi enam kelas yaitu perfect, excellent, good,

average, fair, dan poor. Seseorang yang bekerja perfect adalah yang dapat

bekerja dengan waktu penyelesaian yang boleh dikatakan tetap dari saat ke saat.

Sebaiknya konsistensi yang poor terjadi bila waktu-waktu penyelesaiannya

berselisih jauh dari rata-rata secara acak. Konsistensi rata-rata atau average adalah

bila selisih antara waktu penyelesaian dengan rata-ratanya tidak besar walaupun

ada satu dua yang “letaknya” jauh (Sutalaksana, dkk, 2006). Sutalaksana, dkk

(2006) menyatakan angka-angka yang diberikan bagi setiap kelas dari faktor-

faktor tersebut dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Penyesuaian Menurut Westinghouse


Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Keterampilan Superskill A1 + 0,15
A2 + 0,13
Excellent B1 + 0,11
B2 + 0,08

40
Tabel 2.5. Penyesuaian Menurut Westinghouse (lanjutan)
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Good C1 + 0,06
C2 + 0,03
Average D 0,00
Fair E1 -0,05
E2 -0,10
Poor F1 -0,16
F1 -0,22
Usaha Excessive A1 + 0,13
  A2 + 0,12
  Excellent B1 + 0,10
B2 + 0,08
Good C1 + 0,05
C2 + 0,02
Average D 0,00
Fair E1 -0,04
E2 -0,08
Poor F1 -0,12
F2 -0,17
Kondisi kerja Ideal A + 0,06
  Excellent B + 0,04
  Good C + 0,02
Average D 0,00
Fair E -0,03
Poor F -0,07
Konsisten Perfect A + 0,04
  Excellent B + 0,03
 
Good C + 0,01
 
Average D 0,00
Fair E -0,02
Poor F -0,04
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

2.7. Kelonggaran (Allowance)

Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi,

menghilangkan rasa fatigue, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat

dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh

41
pekerja dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat, ataupun

dihitung (Sutalaksana, dkk, 2006).

2.7.1. Kelonggaran untuk Kebutuhan Pribadi

Kebutuhan pribadi di sini adalah hal-hal seperti minum sekedarnya untuk

menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap-cakap dengan teman kerja

sekedar untuk menghilangkan ketegangan, ataupun kejemuan dalam kerja. Setiap

pekerja harus diberikan kelonggaran untuk kebutuhan yang bersifat pribadi,

seperti minum sekedar nya untuk menghilangkan rasa haus, dan lain sebagainya.

Besarnya kelonggaran tersebut berbeda-beda antara satu pekerjaan dengan

pekerjaan yang lain karena setiap pekerjaan memiliki karakteristik yang berbeda

(Sutalaksana, dkk, 2006).

2.7.2. Kelonggaran untuk Menghilangkan Rasa Fatigue

Rasa lelah (fatigue) tercermin dari menurunnya hasil produksi. Kelelahan

fisik manusia dapat disebabkan oleh pekerjaan yang membutuhkan banyak

pikiran (lelah mental) dan kerja fisik. Salah satu cara menentukan besarnya

kelonggaran ini dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan

mencatat saat-saat di mana hasil produksi menurun. Sangat sulit dilakukan karena

penyebab menurunnya bukan hanya disebabkan faktor kelelahan (Sutalaksana,

dkk, 2006).

42
2.7.3. Kelonggaran untuk Hambatan-hambatan Tak Terhindarkan

Beberapa contoh yang termasuk ke dalam hambatan tak terhindarkan (Sutalaksana, dkk, 2006) sebagai berikut:

1. Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas.

2. Melakukan penyesuian-penyesuian mesin.

3. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas, dan

sebagainya.

4. Mengasah peralatan potong.

5. Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.

Tabel 2.6. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh


No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
A. Tenaga yang dikeluarkan Pria Wanita
1. Dapat diabaikan Bekerja di meja, duduk tanpa beban 0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
2. Sangat ringan Berkerja di meja, berdiri 0,00 – 2,25 kg 6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
3. Ringan Menyekop, ringan 2,25 – 9,00 7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
4. Sedang Mencangkul 9,00 – 18,00 12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
5. Berat Mengayun palu yang berat 18,00 – 27,00 19,0 – 30,0
6. Sangat berat Memanggul beban 27,00 – 50,00 30,0 – 50,0
7. Luar biasa berat Memanggul karung berat di atas 50 kg

43
Tabel 2.6. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh (lanjutan)
No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
B. Sikap Kerja
1. Duduk Bekerja duduk, ringan 0,00 – 1,0
2. Berdiri di atas dua kaki Badan tegak, ditumpu dua kaki 1,0 – 2,5
3. Berdiri di atas satu kaki Satu kaki mengerjakan alat control 2,5 – 4,0
4. Berbaring Pada bagian sisi, belakang atau depan badan 2,5 – 4,0
5. Membungkuk Badan dibungkukkan bertumpu pada kedua kaki 4,0 – 10,0
C. Gerakan Kerja
1. Normal Ayunan bebas dari palu 0
2. Agak terbatas Ayunan terbatas dari palu 0–5
3. Sulit Membawa beban berat dengan satu tangan 1 –5
4. Pada anggota-anggota Bekerja dengan tangan di atas kepala
5 – 10
badan terbatas
5. Seluruh anggota badan Bekerja di lorong pertambangan yang sempit
10 – 15
terbatas
D. Kelelahan mata Pencahayaa Buruk
n baik
1. Pandangan yang terputus- Membawa alat ukur 0,0 – 6,0 0,0 – 6,0
putus
2. Pandangan yang hampir Pekerjaan-pekerjaan yang teliti 6,0 – 7,5 6,0 – 7,5
terus-menerus
3. Pandangan yang terus- Pemeriksaan yang sangat teliti 7,5 – 12,0 7,5 – 16,0
menerus dengan fokus
lelap
4. Pandangan terus-menerus Memeriksa cacat-cacat pada kain 12,0 – 19,0 16,0 – 30,0
dengan fokus berubah-
ubah

44
Tabel 2.6. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh (lanjutan)
No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
D. Kelelahan mata Pencahayaa Buruk
n baik
5. Pandangan terus-menerus 19,0 – 30,0
dengan konsentrasi tinggi
dan fokus lelap
6. Pandangan terus-menerus 30,0 – 50,0
dengan konsentrasi tinggi
dan fokus berubah-ubah
C. Keadaan suhu tempat kerja Suhu (0C) Kelelahan Berlebihan
**) normal
1. Beku Di bawah 0 Di atas 10 Diatas 12
2. Rendah 0-13 10-0 12-5
3. Sedang 13-22 5-0 8-0
4. Normal 22-28 0-5 0-8
5. Tinggi 28-38 5-40 8-100
6. Sangat tinggi Di atas 38 Di atas 40 Di atas 100
E. Keadaan Atmosfer
1. Baik Ruang yang berventilasi baik, udara segar 0
2. Cukup Ventilasi kurang baik, ada bau-bauan (tidak berbahaya) 0-5
3. Kurang baik Adanya debu-debuan beracun atau tidak beracun tetapi banyak 5-10
4. Buruk Adanya bau-bauan berbahaya yang mengharuskan
10-20
menggunakan alat perpanasan
F. Keadaan lingkungan yang baik
1. Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah 0
2. Siklus kerja berulang-ulang antara 5-10 detik 0-1

45
Tabel 2.6. Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-faktor yang Berpengaruh (lanjutan)
No. Faktor Contoh Pekerjaan Ekivalen Beban Kelonggaran
F. Keadaan lingkungan yang baik
3. Siklus kerja berulang-ulang antara 0-5 detik 1-3
4. Sangat bising 0-5
5. Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas 0-5
6. Terasa adanya getaran lantai 5-10
7. Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll) 5-15
*) Kontras antara warna hendaknya diperhatikan
**) Tergantung juga pada keadaan ventilasi
***) Dipengaruhi juga oleh ketinggian tempat kerja dari permukaan laut dan keadaan iklim.
Catatan pelengkap: kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi: Pria = 0-2,5%
Wanita = 2-5%
Sumber: Sutalaksana, dkk, 2006

2.7.4. Menyertakan Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu Baku

Langkah pertama dalam menentukan besarnya kelonggaran untuk ketiga hal tersebut yaitu untuk kebutuhan pribadi,

menghilangkan rasa lelah, dan hambatan tak terhindarkan. Dua hal yang pertama antara lain dapat diperoleh dari tabel di atas,

yakni dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang sesuai dengan pekerjaan yang bersangkutan. Kelonggaran untuk kebutuhan

pribadi bagi pria = 0-2,5% dan wanita = 2 - 5%. Untuk hambatan yang ketiga, dapat diperoleh dari sampling pekerjaan yang pada

umumnya dianggap 5% (Sutalaksana, dkk, 2006).

46
47

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

. Penelitian ini dilakukan di Usaha Kecil Menengah Pabrik Tahu Bapak

Ahmad Maimun yang beralamatkan di jalan swadaya, kelurahan Bukit Batrem Rt

08, No 28, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai. Penelitian ini dilakukan pada

bulan Febuari s/d Maret 2020. Tepatnya pada pukul 07.00 WIB s/d 12.00 WIB.

3.2. Objek Penelitian

Objek yang diteliti adalah produksi tahu di usaha pabrik tahu bapak

ahmad maimun, dan penelitian ini menggunakan metode Line Balancing.

3.3. Jenis dan Sumber Data

3.3.1. Data Primer

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh langsung dari

objek penelitian yang dilakukan di di jalan swadaya, kelurahan Bukit Batrem, RT

08, No 28, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan kumpulan informasi yang diperoleh melalui

media cetak seperti buku, jurnal, modul praktikan dan beberapa situs internet. Hal

ini bertujuan untuk memperjelas topik yang akan diteliti, sehingga dapat

membantu dalam memberi kesimpulan suatu masalah.


3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk pengambilan data

antara lain:

1. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan

pengamatan secara langsung ke objek yang diteliti dengan tujuan untuk

menguetahui kondisi objek yang sebenarnya sesuai dengan masalah yang

diangkat.

2. Literature dan Studi Pustaka

Metode literature dan studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data

dengan cara mencari berbagai referensi dari berbagai media cetak hingga

elektronik seperti buku, jurnal, dan internet guna mendukung peneliti dalam

pemecahan masalah.

3. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data guna mendapatkan

informasi yang tepat dan jelas mengenai objek yang akan diteliti.

3.5. Langkah-langkah Produksi

Agar penelitian ini berjalan dengan baik dan terarah maka perlu dibuat

langkah-langkah rencana penelitian, rencana penelitian dapat dilihat pada gambar

48
Mulai

Tinjauan Pustaka

Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Pengumpulan Data
Data kegiatan Produksi

Pengolahan Data

Analisis dan Evaluasi

Kesimpulan dan Saran

Selesai

49

Anda mungkin juga menyukai