Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai
ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk
sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana.
Namun disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih
meliputi sesuatu atau metode-metode yang bersifat ilmiah (bersifat ilmu) dan juga
aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk melakukan
pengenalan terhadap bukti-bukti fisik (contohnya mayat, bangkai, dan sebagainya).

Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pidana. Dalam buku-buku


ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartikan sebagai penerapan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan
keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan
interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam
penyidikan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang
dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk
kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal dengan
Ilmu Forensik. Ilmu Forensik dikatagorikan ke dalam ilmu pengetahuan alam dan
dibangun berdasarkan metode ilmu alam. Dalam padangan ilmu alam sesuatu
dianggap ilmiah jika didasarkan pada fakta atau pengalaman, kebenaran ilmiah harus
dapat dibuktikan oleh setiap orang melalui indranya, analisis dan hasilnya mampu
dituangkan secara masuk akal, baik deduktif maupun induktif dalam struktur bahasa
tertentu yang mempunyai makna (logika) dan hasilnya dapat dikomunikasikan ke
masyarakat luas dengan tidak mudah atau tanpa tergoyahkan (kritik ilmu)
(Purwadianto 2000).
2

Ilmu Forensik adalah ilmu untuk melakukan pemeriksaan dan pengumpulan


bukti-bukti fisik yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan kemudian
dihadirkan di dalam sidang pengadilan pidana agar tercapai kebenaran materiil.
Untuk mengidentifikasi individu, ilmuwan forensik meneliti 13 region DNA
yang berbeda setiap orang dan menggunakan data tersebut untuk menciptakan suatu
profil DNA individu tersebut, yang biasa disebut dengan sidik jari DNA. Dan sangat
kecil peluangnya bagi orang lain untuk mempunyai profil DNA yang sama untuk
region tertentu. Identifikasi organisme spesies apa saja dapat dilakukan dengan
pengujian urutan DNA. Teknologi DNA sequencing sekarang ini lebih maju, yaitu
dapat langsung mengindentifikasi Segmen DNA yang sangat besar, dan bahkan
untuk genomes utuh.
Hanya 0,1% DNA tunggal ( sekitar 3 juta basa) berbeda pada setiap orang.
Ilmuwan menggunakan region variabel ini untuk menghasilkan suatu profil DNA
dari individu. Dalam perkara pidana, biasanya diperoleh sample dari bukti TKP dan
tersangka diambil DNAnya untuk analisa set DNA marker yang spesifik, sample
biasanya diambil dari darah, tulang, rambut, dan jaringan lainya. Ilmuwan forensik
membandingkan DNA profil untuk menentukan apakah sample DNA tersangka sama
dengan sample yang di dapat di TKP. Jika dua DNA sample mirip pada empat atau
lima region maka dapat disimpulkan bahwa sample tersebut dari orang yang sama.
Jika contoh profil DNA tidak sama, maka orang tersebut tidak terlibat dalam
peristiwa kejahatan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
 Mempelajari Aplikasi bioteknologi pada forensik
1.3 Rumusan Masalah
 Apa yang di maksud dengan forensik?
 Apa saja Metode Identifikasi Forensik?
 Contoh Identifikasi
 Bagaimana Metode Identifikasi DNA?
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Forensik

 Forensik (berasal dari bahasa Latin  forensis yang berarti “dari luar”, dan


serumpun dengan kata forum yang berarti “tempat umum”) adalah bidang ilmu
pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui
proses penerapan ilmu atau sains. Dalam kelompok ilmu-ilmu forensik ini dikenal
antara lain ilmu fisika forensik, ilmu kimia forensik, ilmu psikologi forensik,
ilmu kedokteran forensik, ilmu toksikologi forensik, ilmu psikiatri
forensik, komputer forensik, dan sebagainya.

2.2 Metode Identifikasi Forensik

Identifikasi forensik pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) metode utama, yaitu :

A. Identifikasi komparatif, yaitu apabila tersedia data post-mortem (pemeriksaan


jenazah) dan ante-mortem (data sebelum meninggal, mengenai ciri-ciri fisik,
pakaian, identitas khusus berupa tahi lalat, bekas luka/operasi, dll), dalam suatu
komunitas yang terbatas.
4

B. Identifikasi rekonstruktif, yaitu apabila tidak tersedia data ante-mortem dan


dalam komunitas yang tidak terbatas/plural.
5

Identitas seseorang dapat dipastikan apabila paling sedikit 2 (dua) metode yang
digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan), dari 9 (sembilan) metode
yang akan dijelaskan berikut:

1. Metode Identifikasi Visual


 Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang
yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif
pada jenazah yang belum membusuk sehingga masih memungkinkan untuk dikenali
wajahnya dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan
mengingat adanya kemungkinan faktor emosi yang turut berperan untuk
membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut.
2. Metode Identifikasi Dokumen
Dokumen seperti kartu identitas/KITAS, baik berupa SIM, KTP, paspor, dsb.
yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan jenazah akan sangat
membantu mengenali jenazah tersebut. Namun demikian, perlu diingat bahwa pada
kasus-kasus kecelakaan massal – gempa Padang 2009 contohnya – dokumen yang
terdapat dalam tas atau dompet yang berada di dekat jenazah belum tentu adalah
milik jenazah yang bersangkutan. Oleh sebab itu, tim SAR ataupun tim pencari
jenazah lainnya hendaknya berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan, karena di
6

lapangan umumnya masyarakat langsung bertanya perihal identitas jenazah yang


ditemukan. Dalam kasus-kasus bencana massal, kita hendaknya mengikuti prosedur
DVI (Disaster Victim Identification) yang berlaku secara internasional, yang mana
hal ini diterapkan pada kasus Bom Bali I dan II. 
3. Metode Identifikasi Properti
Properti berupa pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah mungkin dapat
diketahui merk atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, ataupun
hal lainnya, yang dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan
pada jenazah tersebut. Khusus anggota TNI, masalah identifikasi dipermudah
dengan adanya nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.
Data mengenai properti ini juga hendaknya digali dari pihak keluarga yang merasa
kehilangan anggota keluarganya yang lain pada kasus-kasus bencana massal,
sehingga nantinya proses identifikasi komparatif dapat dilaksanakan.
4. Metode Identifikasi Medik
Metode ini menggunakan parameter berupa tinggi badan, berat badan, warna
rambut, warna mata, cacat/kelainan khusus, tato/rajah, dll. Secara singkat, bisa
dikatakan bahwa ciri-ciri fisik korban yang diperhatikan. Metode ini mempunyai
nilai yang tinggi, karena selain dilakukan oleh tenaga ahli dengan menggunakan
berbagai cara atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar X, USG, CT-
scan, laparoskopi, dll. bila diperlukan), sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan
pada kasus penemuan tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode
identifikasi ini. Melalui metode ini, dapat diperoleh data tentang jenis kelamin, ras,
perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang, dan data-data lainnya dari
korban yang ditemukan.
5. Metode Identifikasi Serologik
Pemeriksaan serologik bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah.
Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan
dengan memeriksa rambut, kuku, dan tulang.

6. Metode Identifikasi Gigi


7

Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan secara manual, sinar X, dan
pencetakan gigi serta rahang. Odontogram tersebut memuat data tentang jumlah,
bentuk, susunan, tambalan, protesa (gigi palsu), dan lain sebagainya. Seperti halnya
dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan
demikian, dapat dilakukan identifikasi komparatif dengan cara membandingkan data
temuan post-mortem dengan data ante-mortem korban. Akan tetapi, di Indonesia,
hal ini belum sepenuhnya dapat diterapkan, karena data gigi ante-mortem hanya
bisa diperoleh dari dokter gigi yang pernah menangani korban semasa hidup saja,
belum ada sistim pencatatan wajib secara nasional bagi setiap warga negaranya pada
periode tertentu.
7. Metode Identifikasi Sidik Jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari
ante-mortem orang tersebut. Pemeriksaan sidik jari merupakan salah satu dari 3
(tiga) metode primer identifikasi forensik, di samping metode identifikasi DNA dan
gigi. Oleh sebab itu, penanganan terhadap jari-jari tangan jenazah harus dilakukan
sebaik dan sehati-hati mungkin, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua
tangan jenazah dengan kantong plastik. Sistim sidik jari yang sekarang dipakai
dikenal dengan sistim Henry. Menurut Henry, pada tiap jari terdapat suatu gambar
sentral yang terbagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu busur (arc), tented arc, gelung
(loop), ikal (whorl), serta bisa pula merupakan campuran/majemuk (composite).
Selanjutnya, garis-garis tersebut dapat membentuk berbagai maxam konfigurasi
(ciri), seperti delta, tripod, kait, anastomose, dll. Identifikasi sidik jari dinyatakan
positif bila terdapat minimal 16 (enam belas) ciri yang sama, di mana secara
matematis untuk memperoleh sidik jari yang persis sama (dengan 16 ciri yang sama
tersebut) kemungkinannya adalah 1:64.000.000.000 (satu berbanding enam puluh
empat milyar).

8. Metode Identifikasi DNA


8

Metode ini merupakan salah satu dari 3 metode primer identifikasi forensik.
Metode ini menjadi semakin luas dikenal dan semakin banyak digunakan akhir-
akhir ini, khususnya pada beberapa kasus bencana alam dan kasus-kasus terorisme
di Indonesia, misalnya kasus Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Kuningan,
kasus tenggelamnya KMP Levina, dll. Kasus bom bunuh diri di GBIS Solo pun
menggunakan metode ini. Pemeriksaan sidik DNA diperkenalkan pertama kali oleh
Jeffreys pada tahun 1985. Metode ini umumnya membutuhkan sampel darah dari
korban yang hendak diperiksa, namun demikian dalam keadaan tertentu di mana
sampel darah tidak dapat diambil, maka dapat pula diambil dari tulang, kuku, dan
rambut meskipun jumlah DNA-nya tidak sebanyak jumlah DNA dari sampel darah.
DNA dapat ditemukan pada inti sel tubuh (DNA inti) ataupun pada mitokondria
(organ dalam sel yang berperan untuk pernafasan sel-sel tubuh) yang biasa disebut
DNA mitokondria. Untuk penentuan identitas seseorang berdasarkan DNA inti,
dibutuhkan sampel dari keluarga terdekatnya. Misalnya, pada kasus Bom GBIS
Solo baru-baru ini, sampel DNA yang didapat dari korban tersangka pelaku bom
bunuh diri akan dicocokkan dengan sampel DNA yang didapat dari istri dan
anaknya. DNA inti anak pasti berasal setengah dari ayah dan setengah dari ibunya.
Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, bila tidak dijumpai anak-istri korban,
maka dicari sampel dari orang tua korban. Bila tidak ada juga, dicari saudara
kandung seibu, dan diperiksakan DNA mitokondrialnya karena DNA mitokondrial
diturunkan secara maternalistik (garis ibu).
9. Metode Eksklusi
 Metode ini digunakan pada kasus kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah
orang yang dapat diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal
laut, kereta api, dll. Bila sebagian besar korban telah dapat dipastikan identitasnya
dengan menggunakan metode-metode tersebut di atas, sedangkan identitas sisa
korban tidak dapat ditentukan, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar
penumpang.

2.3 Contoh Identifikasi


9

Sidik Jari Identifikasi DNA

2.4 Metode Identifikasi DNA

DNA fingerprint mencuat namanya sebagai cara identifikasi kejahatan dan


korban yang telah hancur setelah terjadi peristiwa peledakan bom di tanah air seperti
kasus bom Bali, bom Marriot, peledakan bom di depan Kedubes Australia dan lain-
lain. Pengunaan informasi DNA  fingerprint di Indonesia boleh dibilang masih
sangat baru sedangkan di negara-negara maju, hal ini telah biasa dilakukan.

**DNA fingerprint
Asam deoksiribonukleat (DNA) adalah salah satu jenis asam nukleat. Asam nukleat
merupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi tentang
genetika. Penemuan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) menyebabkan
perubahan yang cukup revolusioner di berbagai bidang. Hasil aplikasi dari tehnik
PCR ini disebut dengan DNA  fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan
DNA dari setiap individu. Karena setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang
berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa digunakan sebagai bukti kuat
kejahatan di pengadilan.
10

DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti
sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa
berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis
keturunan ibu, yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Dalam
kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes DNA diatas, bergantung pada barang
bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti jika ditemukan
puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang terdapat dalam epitel
bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada yang tertinggal
di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak.
Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah
kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan jika di
TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya.
Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena
diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria sedangkan akar
rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat diperiksa
selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang dan kuku.

**Metode analisis DNA  fingerprint

Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah yang


biasa dilakukan di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses
pengambilan sampel sampai ke analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel
dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat
sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan sampel
DNA.Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi
adalah Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk
isolasi darah yang berbentuk cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi
barang bukti berupa rambut. Lama waktu proses tergantung dari kemudahan suatu
sampel di isolasi, bisa saja hanya beberapa hari atau bahkan bisa berbulan-bulan. 
11

Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR.


Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi
(pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur
ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik
DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi. Jumlah
sebesar itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah kering, dari sel-sel yang
melekat pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang ditemukan di
TKP. Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada
sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi
urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel.

Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk


melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan
lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah
yang dimaksud DNA fingerprint. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita bisa
terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu
diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe
DNA fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku kejahatan).
12

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Forensik adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu
proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains. Dalam
kelompok ilmu-ilmu forensik ini dikenal antara lain ilmu fisika forensik, ilmu kimia
forensik, ilmu psikologi forensik, ilmu kedokteran forensik, ilmu toksikologi
forensik, ilmu psikiatri forensik, komputer forensik, dan sebagainya.
Metode Identifikasi Forensik yang utama ada 2 yaitu: Identifikasi komparatif
dan Identifikasi rekonstruktif.

3.2 Saran

Diharapkan dengan penulisan makalah ini dapat membantu untuk mengetahui


mengenai Aplikasi Forensik dalam bidang ilmu sains.
13

DAFTAR RUJUKAN

Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2 Edisi Ketiga. Diterjemahkan


oleh Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta

http://Biotech BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG FORENSIK.htm (Di akses pada


tanggal 10 Desember 2014)

http://Bioteknologi Forensik Science.htm (Di akses pada tanggal 10 Desember 2014)

http://DNAfingerprint,Metode Analisis Kejahatan pad Forensik Chem-Is-Try.Org


Situs Kimia Indonesia .htm (Di akses pada tanggal 10 Desember 2014)

Irawan, Bambang. 2003. DNA fingerprinting pada Forensik, Biologi sebagai Bukti


Kejahatan. Majalah Natural Ed. 7/Thn. V/April 2003. Bandar Lampung

Rizal, M. Wahyu. 2005. Tes DNA : Mengendus Jejak Kejahatan. Majalah Natural Ed.


11/Thn. VII/Agustus 2005. Bandar Lampung

Anda mungkin juga menyukai