Anda di halaman 1dari 19

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum kimia anorganik dengan judul “Penentuan


Bilangan Koordinasi Kompleks Tembaga II” disusun oleh:
Nama : Nur Ainun Istiqamah
NIM : 101304020
Kelas :A
Kelompok : IV
telah diperiksa dan diperbaiki oleh Asisten dan Koordinator Asisten, maka
dinyatakan diterima.

Makassar, Juni 2012


Koordinator Asisten Asisten

(Abdur Rahman Arif, S.Si) (Muh.Sulaiman, S.Pd)

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab

(Dr.Netty Herawati, S.Pd, M.Si)


I. Judul Percobaan
Penentuan Bilangan Koordinasi Kompleks Tembaga II

II. Tujuan Percobaan


Menentukan bilangan koordinasi kompleks dengan bahan CuCl2.2H2O

III. Landasan Teori


Dalam pelaksanaan analisis anorganik kualitatif banyak digunakan reaksi-
reaksi yang menghasilkan pembentukan kompleks. Suatu ion atau molekul kompleks
terdiri dari satu atom (ion) pusat atau sejumlah ligan yang terikat erat dengan atom
(ion) pusat itu. Jumlah relatif komponen-komponen ini dalam kompleks yang stabil
nampak mengikuti stoikiometri yang sangat tertentu, meskipun ini tak dapat
ditafsirkan di dalam lingkup kompleks valensi yang klasik. Atom pusat ini ditandai
oleh bilangan koordinasi, suatu angka bulat, yang menunjukkan jumlah ligan
(monodentat) yang dapat membentuk kompleks yang stabil dengan satu atom pusat
(Shevla, 1985: 95).
Bilangan koordinasi menyatakan jumlah ruangan yang tersedia di sekitar
atom atau ion pusat dalam apa yang disebut bulatan koordinasi, yang masing-
masingnya dapat dihuni satu ligan (monodentat). Adapun contoh bilangan koordinasi
adalah sebagai berikut:
A. Bilangan koordinasi = 2; ion kompleks [Ag(NH3)2]+, yang terbentuk lewat reaksi
antara ion Ag+ dan amonia. Contoh lain adalah [CuCl2]- dan [Au(CN)2]-,
memiliki bilangan koordinasi 2 dan geometri linear.
B. Bilangan koordinasi = 4; terdapat dua jenis geometri dengan bilangan koordinasi
4. Ion [Zn(NH3)4]2+ dan [CoCl]2- mempunyai geometri tetrahedral, sementara ion
[Pt(NH3)4] 2+ mempunyai geometri segi empat planar (Chang, 2004: 243).
Menurut (Saito, 2009) menyatakan bahwa bentuk bilangan koordinasi
lainnya adalah sebagai berikut:
A. Kompleks koordinasi 5; trigonal bipiramidal ((D3h) Fe(CO)5) atau piramida bujur
sangkar (C4V) VO(OH)4.
B. Kompleks berbilangan koordinasi 6; koordinasi oktahedral (Oh) yang paling
stabil dan mayoritas kompleks memiliki struktur oktahedral. Khususnya, ada
sejumlah kompleks Cr3+ dan Co3+ yang inert pada reaksi pertukaran ligan,
dinyatakan dengan [Cr(NH3)6]3+ atau [Co(NH3)6]3+.
C. Kompleks bilangan koordinasi lebih tinggi dari 6; ion logam transisi deret kedua
dan ketiga kadang-kadang dapat mengikat tujuh atau lebih ligan dan misalnya
[No(CN)8]3- atau [ReH9]2-.
Pada percobaan ini, yang digunakan adalah kristal CuCl2.2H2O dan kristal
CuSO4.5H2O yang merupakan kristal berhidrat atau mengikat air, sehingga jika
dilarutkan dalam pelarut air akan menyebabkan kristal Cu2+ yang berhidrat dilingkupi
oleh air (proses solvasi) dan mengakibatkan pembentukan senyawa kompleks Cu(II)
akan sulit dan berlangsung lambat. Namun apabila kristal terhidrat itu dilarutkan
dalam pelarut yang mengikat hidrat, seperti alkohol 96%, maka proses pembentukan
senyawa kompleks Cu(II) akan lebih mudah dan berlangsung cepat. Amonia
merupakan ligan netral yang penting, yang membentuk kompleks dengan ion logam
(Tim Dosen Kimia Anorganik, 2012: 25).
Ditinjau dari teori asam-basa ligan dalam senyawa koordinasi merupakan
basa Lewis sedangkan ion logam pusat merupakan asam Lewis. Ligan yang
bergabung dengan ion logam dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A. Ligan monodentat; misalnya ion halida, amonia, air, dan PR3.
B. Ligan bidentat; misalnya diamin, difosfin, disulfit, oksalat, karboksilat, nitrit,
ditiokarbamat, dan ion glisin.
C. Ligan polidentat; ligan-ligan yang memiliki lebih dari dua atom donor. Ligan ini
dapat disebut tri, tetra, penta, atau heksa dentat (Ramlawati, 2005: 8).
Contoh penggabungan proton dengan basa membentuk senyawa kompleks
proton sebagai berikut:
CH3COO- + H+ CH3COOH
Demikian pula, pembentukan senyawa yang sukar larut dalam air dapat dianggap
sebagai proses pembentukan kompleks, misalnya
Ag+ + Cl- AgCl
(Rivai,1995: 182).
Banyak ion logam transisi membentuk kompleks koordinasi dalam larutan
atau dalam zat padat; ini terdiri dari ion logam yang dikelilingi oleh kelompok anion
atau molekul netral yang disebut ligan. Interaksi ini melibatkan pembagian pasangan
elektron bebas ion logam pada tiap molekul ligan, yang memberikan ikatan kovalen
parsial dengan ligan tersebut. Ion kompleks seperti ini mempunyai warna gelap yang
menyolok. Bila direaksikjan dengan gas amonia, kristal putih kehijauan tembaga
sulfat (CuSO4) menjadi kristal padat biru tua dengan rumus kimia Cu(NH3)4SO4. Jika
zat padat dilarutkan dalam air, warna biru tua tetap. Ini merupakan bukti bahwa ion
kompleks ada dalam air menghasilkan warna biru, karena jika CuSO4 biasa (tanpa
ligan (amonia) dilarutkan dalam air akan menghasilkan warna biru yang sangat pucat
(Oxtoby, H.P Gills dan Norman H. Nachtrielo, 2001: 357).
Material magnetik berbasis senyawa kompleks yang telah diteliti
menggunakan ion-ion logam transisi dan berbagai jenis ligan. Material ini dapat
dimanfaatkan dalam banyak hal, seperti sebagai sumber energi, bahan penyimpan
data dan pada pengeras suara radio dimana berfungsi sebagai fasilitator untuk
mengubah arus listrik menjadi gelombang suara. Hasil penelitian menunjkkkan
bahwa senyawa kompleks berstruktur polimer yang mengandung ligan jembatan
bersifat ferromagnetik. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
mensintesis senyawa kompleks polimer dari tembaga (II)
(Chandra dan Eka Setiawan, 2008).
IV. Alat dan Bahan
A. Alat
1. Buret 50 mL (2 buah)
2. Gelas kimia 100 mL (4 buah)
3. Gelas kimia 600 mL (1 buah)
4. Batang pengaduk (1 buah)
5. Gelas ukur 50 mL (1 buah)
6. Gelas ukur 100 mL (1 buah)
7. Pipet volume 10 mL (1 buah)
8. Erlenmeyer 100 mL (6 buah)
9. Neraca analitik (1 buah)
10. Spatula (1 buah)
11. Kaca arloji (2 buah)
12. Labu ukur 10 mL (1 buah)
13. Termometer 110°C (1 buah)
14. Statif dan klem (1 buah)
15. Ball pipet (1 buah)
16. Corong biasa (1 buah)
17. Botol semprot (1 buah)
18. Pipet tetes (3 buah)
19. Lap kasar dan lap halus (1 buah)
B. Bahan
1. Alkohol (C2H5OH)
2. Aquades (H2O)
3. Amonium hidroksida (NH4OH)
4. Kristal tembaga (II) klorida dihidrat (CuCl2.H2O)
5. Kristal natrium boraks dekahidrat (Na2B4O7.10H2O)
6. Larutan asam klorida (HCl) 3 M
7. Tissue
8. Aluminium foil
9. Indikator metil orange (MO)
10. Indikator penolftalein (pp)

V. Prosedur Kerja
A. Penentuan bilangan koordinasi kompleks dengan bahan CuCl2.H2O
1. Pembuatan larutan CuCl2 0,5 M dan NH3 8,5 M
a. Membuat 50 mL CuCl2 0,5 M dengan melarutkan 4,25 gram kristal
CuCl2.2H2O dalam 50 mL alkohol 96% dalam gelas kimia 100 mL.
b. Membuat 100 mL larutan NH3 5,1 M dalam gelas kimia 100 mL dengan
mengencerkan 60 mL larutan NH4OH 8,5 M dalam 40 mL larutan
alkohol 96%.
2. Standarisasi larutan NH3
a. Membuat 100 mL larutan Na2B4O7 0,05 N secara kuantitatif, dengan
cara melarutkan 1,90 gram kristal Na2B4O7.10H2O dengan 100 mL
aquades dalam gelas kimia 100 mL.
b. Mengencerkan secara kuantitatif sempai tanda batas pada labu ukur
100 mL.
c. Mengisi buret dengan cuplikan HCl 3 M.
d. Memipet 10 mL larutan Na2B4O7 dan memasukkan kedalam labu
erlenmeyer 100 mL.
e. Menambahakam 3 tetes indikator metil orange.
f. Melakukan titrasi Na2B4O7 dengan menggunakan larutan HCl 3 M
sampai warnanya berubah.
g. Mengulangi titrasi sebanyak 3 kali.
h. Dengan ball pipet, mengambil 10 mL larutan NH4OH dan memasukkan
kedalam erlenmeyer.
i. Menambahkan 1 tetes indikator pp kedalam erlenmeyer yang berisi
larutan NH4OH.
j. Melakukan titrasi sebanyak 3 kali dengan menggunakan larutan
HCl 3 M sampai larutan menjadi tak berwarna.
B. Penentuan bilangan koordinasi kompleks (Cu(NH3)2+ dengan metode titrometri
a. Mengisi buret dengan larutan NH3 yang telah distandarisasi.
b. Memipet 10 mL larutan CuCl2 secara kuantitatif dan memasukkan
kedalam labu erlenmeyer 100 mL.
c. Melakukan penambahan larutan NH3 dari dalam buret kedalam
erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan CuCl2 secara bervariasi.
d. Penambahan dilakukan sesuai dengan perbandingan mol antara NH3 dan
Cu2+ yaitu 1:1; 1:2; 1:3; 1:4; dan 1:5 dalam tahapan reaksi pembentukan
kompleks secara perhitungan teoritis.
e. Mengamati dan mencatat perubahan suhu dan warna larutan yang
terbentuk dalam setiap penambahan NH3.

VI. Hasil Pengamatan


A. Penentuan bilangan koordinasi kompleks dengan bahan CuCl2.H2O
1. Pembuatan larutan CuCl2 0,5 M dan NH3 8,5 M
4,25 gram CuCl2.2H2O (serbuk biru) + 50 mL alkohol 96% (bening)
larutan hijau.
60 L NH4OH (bening) + 40 mL alkohol 96% (bening) larutan bening.
2. Standarisasi larutan NH3
1,9 gram Na2B4O7.10H2O (serbuk putih) + 100 mL H2O (bening)
larutan bening.
10 mL Na2B4O7.10H2O (bening) + 3 tetes MO (lorange) larutan
orange dititrasi larutan merah.
HCl 3 M

(V1 = 0,3 mL; V2 = 0,3 mL; V3 = 0,3 mL).


dititrasi
10 mL NH3 (bening) + 1 tetes pp (bening) larutan ungu
HCl 3 M
larutan bening (V1 = 3,3 mL; V2 = 3,1 mL; V3 = 3,2 mL).
B. Penentuan bilangan koordinasi kompleks (Cu(NH3)2+ dengan metode titrometri
Tabel perbandingan antara warna dan suhu
Perbandingan Suhu Warna
1:1 33°C Ungu pekat
1:2 34°C Ungu
1:3 34°C Ungu
1:4 32°C Ungu
1:5 31°C Ungu

VII.Analisis Data
A. Penentuan konsentrasi CuCl2
Dik:massa CuCl2.2H2O = 4,25 g
Mm. CuCl2.2H2O = 170,5 g/mol
Volume = 50 mL = 0,05 L
Dit: M CuCl2 =.......
Peny:
m
n CuCl2 = Mr
4,25 g
= 170,5 g mol

= 0,0249 mol
n
M CuCl2 = V
0,0249 mol
= 0,05 L

= 0,4985 mol/L
= 0,4985 M
B. Penentuan konsentrasi Na2B4O7.10H2O
Dik:V Na2B4O7.10H2O = 100 mL = 0,1 L
m Na2B4O7.10H2O = 1,90 g
Mm Na2B4O7.10H2O = 381,2 g/mol
Dit: N Na2B4O7.10H2O = .........
Peny:
m
n Na2B4O7.10H2O = Mm
1,90 g
=
381,2 g/mol

= 0,0049 mol
n
M Na2B4O7.10H2O = V
0,0049 mol
= 0,1 L

= 0,049 mol/L
= 0,049 M
N Na2B4O7.10H2O = M. e-
= 0,049 M x 2 e-
= 0,098 N

C. Penentuan konsentrasi HCl


Dik:V1 = 0,3 mL
V2 = 0,3 mL
V3 = 0,3 mL
V Na2B4O7.10H2O = 10 mL
N Na2B4O7.10H2O = 0,098 N
Dit: N HCl = ............
Peny:
V1 + V2 + V3
V rata-rata = 3
(0,3+0,3+0,3)mL
= 3

= 0,3 mL
(V x N)Na2B
4O7
N HCl = Vrata−rata HCl
10 mL x 0,098 N
= 0,3 mL

= 3,267 N

D. Penentuan konsentrasi NH3


Dik:V1 = 3,3 mL
V2 = 3,1 mL
V3 = 3,2 mL
V NH3 = 10 mL
N HCl = 3,267 N
Dit: N NH3 = ...............
Peny:
V1 + V2 + V3
V rata-rata = 3
(3,3+3,1+3,2)mL
= 3

= 3,2 mL
(V x N)HCl
N NH3 = V
rata−rata NH3

3,2 mL x 3,267 N
= 10 mL

= 1,045 N
E. Penentuan volume NH3 yang harus ditambahkan
Dik:V CuCl2 = 10 mL
M CuCl2 = 0,4985 M
N NH3 = 1,045 N
Dit: V NH3 = .....
n CuCl2 =MxV
= 0,4985 M x 10 mL
= 4,985 mmol
n CuCl2 : n NH3 = 1:1
n CuCl2 = n NH3
n NH3 = 4,985 mmol

N
M NH3 = e−
1,045 N
= 1 e−

= 1,045 M
n
V NH3 =M
4,985 mmol
= 1,045 M

= 4,77 mL
Sehingga, perbandingan volume NH3 dengan volume CuCl2 yang digunakan adalah
sebagai berikut.
Perbandingan Volume CuCl2 (mL) Volume NH3 (mL)
1:1 10 4,77
1:2 10 9,54
1:3 10 14,31
1:4 10 19,08
1:5 10 23,85

Tabel hubungan volume NH3 dan suhu adalah sebagai berikut.


Volume NH3 (mL) Suhu (°C)
4,77 33
9,54 34
14,31 34
19,08 32
23,85 31
Grafik hubungan volume NH3 dengan suhu adalah sebagai berikut.

34.5
34
33.5
33
32.5
Suhu (ºC)

32
31.5 T(°C)
31
30.5
30
29.5
4,77 9,54 14,31 19,08 23,85
Volume NH3 (mL)

VIII. Pembahasan
A. Pembuatan larutan CuCl2 0,5 M dan larutan NH3 8,5 M
Pada percobaan pembuatan larutan standar CuCl2 dilakukan dengan
mereaksikan kristal padat CuCl2.2H2O dengan alkohol 96%. Tujuan menggunakan
alkohol untuk mempermudah terbentuknya kompleks tembaga (II). Kristal tembaga
(II) adalah kristal yang terhidrat atau mengandung air sehingga jika dilarutkan dengan
pelarut air maka akan menyebabkan kristal Cu2+ yang terhidrat menjadi lebih banyak
dilingkupi oleh air (proses solvasi), sehingga terbentuknya senyawa kompleks Cu(II)
yang akan berlangsung lambat. Larutan alkohol 96% mengandung arti terdapat 96
mL alkohol di dalam larutan dan sisanya (4 mL) terdapat air. Larutan alkohol ini
nantinya akan mengikat air yang ada pada kristal sehingga akan menghasilkan CuCl 2
yang berwarna hijau. Dari analisis data, maka diperoleh konsentrasi CuCl2 sebesar
0,4985 M. Adapun persamaan reaksinya adalah.
CuCl2.2H2O(s) C2H5OH CuCl2(aq) + H2O(aq)
Larutan amonia dapat diperoleh dengan mereaksikan NH4OH dengan
alkohol 96%. Alkohol ini berfungsi untuk mengikat air. Dari analisis data, maka
diperoleh konsentrasi NH3 sebesar 8,5 M. Persamaan reaksinya adalah:
C2H5OH
NH4OH(aq) NH3(aq) + H2O(l)

B. Standarisasi larutan NH3


Standarisasi larutan NH3 dilakukan dengan larutan cuplikan HCl, yang
sebelumnya distandarisasi dengan larutan Na2B4O7 yang dibuat dengan melarutkan
kristal Na2B4O7.10H2O dalam aquades. Standarisasi larutan HCl perlu dilakukan
karena HCl merupakan larutan standar sekunder, yang tidak stabil dimana
konsentrasinya selalu berubah selama penyimpanan. Larutan Na2B4O7 tersebut
dititrasi dengan HCl dan ditambahkan indikator metil orange. Indikator ini berfungsi
untuk menentukan titik akhir titrasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna
dari orange menjadi merah. Indikator MO digunakan sebagai indikator sebab larutan
yang dititrasi bersifat asam, sehingga harus digunakan indikator yang bersifat basa.
Dari hasil analisis data diperoleh konsentrasi HCl sebesar 3,267 N. Adapun reaksi
yang terjadi adalah.
Na2B4O7.10H2O + 2 HCl 2 NaCl + 4 H3BO3 + 5 H2O
Setelah diketahui normalitasnya HCl, selanjutnya menentukan konsentrasi
NH3. Hal tersebut dilakukan dengan cara menitrasi larutan tersebut dengan larutan
HCl yang telah diketahui konsentrasinya kemudian ditambahkan indikator pp.
Penambahan indikator pp untuk menentukan titik akhir titrasi yang ditandai dengan
berubahnya warna dari ungu menjadi bening. Trayek pH indikator ini adalah 8,0–9,8.
Dari standarisasi tersebut, konsentrasi NH3 dapat ditentukan yaitu sebesar 1,045 N.
Adapun reaksi yang terjadi adalah.
NH3 + HCl NH4Cl
C. Penentuan bilangan koordinasi kompleks Cu(NH3)2+ dengan metode titrimometri
Penentuan bilangan koordinasi kompleks [Cu(NH3)]2+ dengan metode
titrimometri yaitu suatu metode titrasi dimana digunakan perubahan suhu untuk
menentukan titik akhir titrasi dari suatu reaksi volumetri. Penentuan bilangan
koordinasi dilakukan dengan menambahkan NH3 pada larutan CuCl2 yang dilakukan
secara bertahap, dimana penambahan NH3 pada larutan CuCl2 disesuaikan dengan
perbandingan mol NH3 dan mol CuCl2. Dari hasil perhitungan volume NH3 yang
ditambahkan ke dalam larutan adalah kelipatan 4,77 mL. Penambahan NH3 dilakukan
sebanyak 5 kali dengan setiap penambahan dilakukan pengamatan terhadap suhu dan
warna larutan yang terbentuk. Dalam hal ini, NH3 merupakan ligan netral yang dapat
membentuk kompleks dengan ion Cu2+, dimana saat NH3 ditambahkan dalam larutan
CuCl2 yang ada pada larutan ini mengandung ion [Cu(H2O)4]2+, maka molekul air
yang terdapat pada larutan sebagai ligan akan digantikan oleh molekul NH3 sehingga
akan terbentuk kompleks [Cu(NH3)4]2+. Penggantian molekul air dengan NH3 dapat
terjadi akibat NH3 merupakan basa Lewis yang lebih kuat dari H2O (basa Lewis
lemah dari suatu asam Lewis) sehingga molekul H2O dapat digantikan dengan
molekul NH3. Reaksinya adalah.
[Cu(H2O)4]2+ + 4 NH3 [Cu(NH3)4]2+ + 4 H2O
Dalam percobaan ini, dilakukan penambahan ligan NH3 secara bertahap
sesuai dengan perbandingan mol CuCl2 yaitu 10 mL. Jadi, volume NH3 yang
ditambahkan dalam perbandingan 1:1 dengan suhu 33°C yaitu 4,77 mL dan warna
yang dihasilkan yaitu ungu pekat. Untuk CuCl2 : NH3 (1:2), suhu yang diperoleh
adalah 34°C dengan volume NH3 yang ditambahkan adalah sebesar 9,54 mL
menghasilkan larutan berwarna ungu. Untuk perbandingan 1:3, suhu yang diperoleh
adalah 34°C dengan volume NH3 yang ditambahkan sebesar 14,31 mL menghasilkan
larutan berwarna ungu. Untuk perbandingan 1:4, suhu yang diperoleh adalah 32°C
dengan volume NH3 yang ditambahkan sebesar 19,08 mL menghasilkan larutan
berwarna ungu. Untuk perbandingan 1:5, suhu yang diperoleh adalah 31°C dengan
volume NH3 yang ditambahkan adalah 23,85 mL menghasilkan larutan berwarna
ungu. Setiap penambahan NH3 yang bersifat basa ke dalam larutan CuCl2 yang
bersifat asam akan berpengaruh terhadap pH, suhu, warna dan kelarutan. Semakin
banyak NH3 yang ditambahkan ke dalam larutan maka pH larutan semakin bertambah
dan perubahan warna terjadi karena pendesakan ligan dimana ligan kuat NH3
mendesak ligan lemah H2O. Adapun perubahan warna mejadi ungu menandakan telah
terbentuknya ion kompleks yang menyebabkan telah terbentuknya ion kompleks yang
menyebabkan kenaikan larutan sehingga semakin banyak NH3 yang ditambahkan
maka endapan semakin berkurang dan akhirnya endapan larut seluruhnya. Suhu yang
diperoleh naik hingga mencapai bilangan koordinasi 3. Pada komposisi ini tidak
sesuai dengan teori (Tim Dosen Kimia Anorganik, 2012) yang menyatakan bahwa
pergantian ligan menyebabkan suhu semakin naik hingga diperoleh bilangan
koordinasi 4 dan selanjutnya akan turun pada saat pergantian ligan ke-5 dan ke-6. Hal
tersebut dikarenakan adanya distribusi atau efek John Teller yang menyatakan bahwa
untuk setiap sistem non-linear yaitu dimana setiap orbital-orbital berada dalam
keadaan terdegradasi, terdistribusi secara tidak merata maka akan terjadi distorsi
dimana sistem kurang simetris dan orbital tidak terdegradasi maka energinya akan
turun. Pada percobaan ini, energinya turun yang ditandai dengan pergantian ligan
ke-5 dan ke-6. Ini karena Cu2+ memiliki konfigurasi elektron d9 sehingga terjadi
distorsi, dimana tolakan antara elektron ligan dan antara ion logam semakin kecil.
Dalam penambahan NH3 yang kelima dan keenam akan lebih sulit. Maka semua efek
di atas akan dijelaskan dengan efek John Teller, apabila ikatan lemah dari ligan ke-5
dan ke-6 ini ditambahkan pada penurunan tetapan pembentukan K5 dan K6 benar-
benar kecil, karena ion Cu2+ tidak mengikat ligan kelima dan keenam secara kuat
sehingga bilangan koordinasi dari Cu(II) adalah 4 yang memiliki bentuk tetrahedral.
Persamaan reaksinya yaitu:
Cu2+ + NH3 [Cu(NH3)]2+ (warna ungu pekat)
[Cu(NH3)]2+ + NH3 [Cu(NH3)2]2+ (warna ungu)
[Cu(NH3)2]2+ + NH3 [Cu(NH3)3]2+ (warna ungu)
[Cu(NH3)3]2+ + NH3 [Cu(NH3)4]2+ (warna ungu)
Adapun struktur dari [Cu(NH3)4]2+ yaitu:
Cu2+ = [Ar].3d9 dalam [Cu(NH3)4]2+

4 NH3 (ligan)

Hibridisasi sp3 = segiempat datar atau bujur sangkar

Sebagai akibat adanya efek John Teller, orbital Cu2+ d9, ligan-
ligan yang berada pada penambahan ke-5 atau ke-6 akan tertarik keluar sejauh
mungkin dari atom pusat karena mengalami “splitting” sehingga membentuk
segiempat datar atau bujur sangkar. Adapun gambar molekulnya adalah:

2+

NH3 NH3

Cu

NH3 NH3
IX. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa bilangan
korrdinasi kompleks tembaga (II) adalah 3 dengan rumus ion kompleks [Cu(NH3)3]2+.
B. Saran
Diharapkan kepada praktikan selanjutnya agar teliti dalam pembacaan suhu
sehingga dapat diperoleh data yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Nur dan Eka Setiawan. 2008. Jurnal Kimia. Sintesis dan Karakterisasi
Senyawa Kompleks dari Ion Logam Cu2+ dengan Ligan Isokuinolin dan Ion
Kompleks [Co(SCN)6] 4-

Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar Edisi Ketiga Konsep-Konsep Inti Jilid 2.
Jakarta: Erlangga

Oxtoby, David W, H.P.Gillis dan Norman H.Nachtrieb. 2001. Prinsip-Prinsip Kimia


Modern. Jakarta: Erlangga

Ramlawati. 2005. Buku Ajar Kimia Anorganik Fisik. Makassar: FMIPA Universitas
Negeri Makassar

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press

Saito, Taro. 2009. Bilangan Koordinasi dan Struktur. http://www.chem-is-try.org.


Diakses pada tangga 19 Mei 2012 jam 14.55 WITA

Svehla, G. 1985. Vogel Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan
Semimikro. Jakarta: PT Kalman Media Pusaka

Tim Dosen Kimia Anorganik. 2012. Penuntun Praktikum Kimia Anorganik.


Makassar: Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Makassar

Anda mungkin juga menyukai