Anda di halaman 1dari 14

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan lengkap praktikum Kimia Analitik II dengan judul “Pemisahan


Metodik Interferensi Fe(III) Pada Penentuan Tembaga (Cu)”, yang disusun oleh :
Nama : Marwah Thalib
NIM : 1713040006
kelas : Pendidikan Kimia B
kelompok : III (Tiga)
telah diperiksa dan dikoreksi oleh Asisten dan Koordinator asisten dan dinyatakan
diterima.

Makassar, Mei 2019


Koordinator Asisten, Asisten,

Meuthia Aulia Farhani Gaffar Nurlaila Widyanarti Ariefiani


NIM: 1513141001 NIM: 1513042006

Mengetahui,
Dosen Penanggung Jawab

Sitti Faika, S.Si., M.Sc., Ph.D, Apt


NIP: 19780319 200501 2 003
A. JUDUL PERCOBAAN
Pemisahan Metodik Interferensi Fe (III) Pada Penentuan Tembaga (Cu)
B. TUJUAN PERCOBAAN
Mencegah gangguan interferensi Fe (III) pada penentuan tembaga (II)
pada titrasi iodometri.
C. LATAR BELAKANG
Kimia analitik merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari
dasar-dasar analisis kimia. Secara garis besar pekerjaan analisis kimia dapat
digolongkan dalam dua kategori yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.
Melalui analisis kualitatif dan kuantitatif kita dapat mendeteksi dan
mengidentifikasikan jenis dan jumlah dari komponen-komponen penyusun bahan
6ang dianalisis atau lebih dikenal dengan analit. Komposisi analit yang dipelajari
dalam tiap analisis dapat berupa unsur, ion, molekul, radikal maupun isotop.
Tujuan utama dari analisis kualitatif adalah untuk mengidentifikasikan berbagai
komponen dalam zat kimia. Analisis kualitatif menghasilakan data kualitatif
seperti terbentuknya endapan, warna, gas dan data-data non numerik lainya.
Sedangkan tujuan utama dari analisis kuantitatif adalah untuk mengetahui
kuantitas dari setiap komponen yang menyusun analit (Ibnu, 2004: 1).
Iodin adalah sebuah agen pengoksidasi yang jauh lebih lemah daripada
kalium permanganat, senyawa serium (IV), dan kalium dikromat. Di lain pihak,
ion iodida adalah agen pereduksi yang termasuk kuat, lebih kuat, sebagai contoh,
dripada ion Fe(II). Dalam proses-proses analitis, iodin dipergunakan sebagai
sebuah agen pengoksidasi (iodimetri), dan ion iodida dipergunakan sebagai
sebuah agen pereduksi (iodometri). Dapat dikatakan bahwa hanya sedikit
substansi yang cukup kuat sebagai unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan
iodin. Karena itu jumlah dari penentuan-penentuan iodimetrik adalah sedikit.
Namun demikian, banyak agen pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi
secara lengkap dengan ion iodida, dan aplikasi dari proses iodometrik cukup
banyak. Kelebihan dari ion iodida ditambahkan kedalam agen pengoksidasi yang
sedang ditentukan, membebaskan iodin, yang kemudian dititrasi dengan larutan
natrium tiosulfat (Day, 1998: 296).
Ketika larutan Na2S2O3, dititrasi dengan larutan iod warna coklat gelap
yang karakteristik dari iod menjadi hilang Ketika semua Na2S2O3 telah teroksidasi,
maka kelebihan larutan iod akan menjadikan cairan tersebut berwarna kuning
pucat. Karena itu seperti pada metoda permanganatometri, dalam iodometri
memungkinkan melakukan titrasi tanpa menggunakan indikator. Namun
kelebihan iod pada akhir titrasi memberikan warna yang samar, sehingga
penetapan titik akhir titrasi (ekivalen) menjadi sukar. Karena itu lebih disukai
menggunakan reagen yang sensitif terhadap iod sebagai indikator, yaitu larutan
kanji, yang membentuk senyawa adsorpsi berwana biru dengan iod. Pada titrasi
dengan adanya larutan larutan kanji, titik ekivalen ditentukan dari kenampakan
warna biru yang tetap pada kelebihan penambahan iod satu tetes. Sebaliknya,
dimungkinkan juga untuk menitrasi larutan iod dengan tiosulfat sampai kelebihan
satu tetes tiosulfat menghilangkan warna binu larutan. Dalam kasus int larutan
kanji harus ditambahkan pada saar akhir titrasi, mendekati ekivalen, ketika iod
tinggal sedikit dan larutan yang dititrasi berwarna kuning. Jika larutan kanji
ditambaikan pada awal titrasi, ketika masih banyak terdapat iod dalam larutan,
maka sejumlah besar senyawa iod-kanji yang terbentuk akan bereaksi lambat
dengan tiosulfat (Widodo, 2009: 105).
Identifikasi iodium dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk
pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan cara penambahan beberapa pereaksi
yang diuji untuk membuktikan keberadaan iodium didalam sampel. Pereaksi yang
khas digunakan untuk uji kualitatif menggunakan indikator amilum karena
amilum akan membentuk ikatan dengan sampel berupa ikatan iod-amilum
berwarna khas yaitu biru. Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan dengan
metode titrasi iodometri dimana sampel berupa oksidator bereaksi dengan KI dan
menghasilkan iodium. Dengan reaksi sebagai berikut :
KIO3 + KI
IO3- + 6H+ + 6e- → I- + 3 H2O
2I- → I2 + 2e-
IO3- + 6H+ + 6I- → I- + 3H2O + 3I2
Iodium yang dihasilkan kemudian dititrasi dengan pentiter Na2S2O3 berupa
reduktor sampai larutan berwarna kuning jerami. Dengan reaksi sebagai berikut :
I2 + Na2S2O3
I2 + 2e- → 2I-
2S2O32- → S4O62- + 2e
I2 + 2S2O32- → 2 I- + S4O62-
Ditambah beberapa tetes indikator amilum dan terbentuk warna biru.
Terbentuknya warna biru merupakan hasil reaksi komplek iod amilum. Titrasi
dilanjutkan sampai warna biru hilang, hilangnya warna biru merupakan titik
akhir titrasi (Novitriani, 2014: 239)
Titik akhir titrasi dapat diamati dengan bantuan indikator amilum (Kanji)
yang Memberikan indikasi perubahan warna biru menjadi tak berwarna (bening).
Warna biru yang terbentuk disebabkan karena terjadinnya kompleks iod kanji
yang berperan sebagai uji pekaterhadap iod. Apabila warna biru yang terjadi telah
hilang, hal ini berarti iod telah habis bereaksi dengan tiosulfat. Larutan natrium
tiosulfat adalah larutan standar srkunder yang konsentrasinya dapat berubah jika
tersimpan lama karena sifatnya yang tidak stabil dan rentang terhadap bakteri
pemakan belerang (Rahmah, 2011: 65).
Penentuan tembaga dalam tembaga sulfat adalah salah satu aplikasi
iodometri yang paling penting adalah dalam penentuan volumetri, tembaga, yang
banyak digunakan dalam analisis alloy, bijih, dsb. Penentuannya didasarkan pada
reaksi:
2 Cu2+ + 4I- → 2 CuI (endapan) + I2
dari persamaan tersebut terlihat bahwa setiap ion Cu menangkap satu elektron dari
ion I- dan tereduksi menjadi ion Cu+ yang selanjutnya terendapkan dalam bentuk
kupro iodida CuI yang kurang larut. KI berlebih diperlukan untuk membuat reaksi
reversibel tersebut menuju ke arah yang diinginkan. Semakin banyak KI,
konsentrasi Cu2+ semakin kecil dan semakin besar potensial sistem Cu 2+/Cu+.
Meskipun dalam reaksi tidak melibatkan ion H+, untuk mencegah hidrolisis garam
perlu ditambahkan sedikit larutan asam ke dalam reaksinya (Widodo, 2009: 112).
D. METODE PERCOBAAN
1. Standarisasi larutan Na2S2O3
a. Buret diisi dengan 50 mL larutan Na2S2O3 0,1 N.
b. Sebanyak 0,893 gram KIO3 ditimbang dan dilarutkan dengan aquades
didalam labu takar 250 mL sampai tanda batas.
c. Larutan disimpan sebagai larutan standar primer KIO3 0,1 N.
d. Selanjutnya, sebanyak 25 mL larutan standar KIO 3 1 N dimasukkan
kedalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL KI 1 N dan 10 mL HCl 2
N.
e. Kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 sampai warna larutan berubah dari
merah bata menjadi kuning pucat.
f. Larutan kemudian ditambahkan 3 tetes indikator amilum dan titrasi
dilanjutkan sampai warna biru hilang.
g. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali dan volume rata-rata titran yang
digunakan dicatat.
h. Normalitas Na2S2O3 yang sebenarnya dihitung
2. Penentuan kadar Cu pada sampel A dan B
a. Larutan sampel A dan sampel B masing-masing diambil 25 mL dan
ditambahkan 10 mL KI 0,1 N.
b. Kemudian sampel tersebut dititrasi dengan larutan Na 2S2O3, mendekati
titik akhir titrasi ditambahkan dengan 3 tetes indikator amilum dan
titrasi dihentikan bila warna biru hilang.
c. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali dan volume rata-rata titran yang
digunakan dicatat.
d. Sebanyak 25 mL larutan B diambil dan dimasukkan kedalam labu
erlenmeyer
e. kemudian ditambahkan dengan 25 mL NaF 0,5 N.
f. Kemudian ditambahkan lagi dengan 10 mL KI 1N.
g. Campuran kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N
h. Mendekati titik akhir titrasi ditambahkan 3 tetes indikator amilum
kemudian dititrasi kembali.
i. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali dan volume rata-rata titran yang
digunakan dicatat.
E. HASIL PERCOBAAN
1. Hasil Pengamatan
a. Standarisasi Na2S2O3
Laruta Volume Na2S2O3 Volume rata-
n Titrasi I Titrasi II Titrasi III rata
KIO3 10,6 mL 10,7 mL 10,8 mL 10,7 mL
b. Titrasi larutan sampel A dan B

Volume Na2S2O3 Volume rata-


Larutan
Titrasi I Titrasi II Titrasi III rata
A 8 mL 7 mL 7 mL 7,3 mL
B 21 mL 20 mL 22 mL 21 mL
B + NaF 5 mL 6 mL 6 mL 5,67 mL
2. Analisis Data
a. Standarisasi larutan Na2S2O3
Diketahui:
V KIO3 = 25 mL
N KIO3 = 0,1 N
( 10,6+10,7+10,8 ) mL
Vrata-rata tio =
3
= 10,7 mL
Ditanyakan:
N tiosulfat ?
N tio = (V x N) KIO3
Vtio
= 25 mL x 0,1 N
10,7 mL
= 0,233 N (mgrek/mL)
Na2S2O3 2Na+ + S2O32-
Mtio = 0,233 mek/mL
2 mek/mmol
= 0,1165 mmol/mL
b. Penentuan kadar Cu pada sampel A dan B
Diketahui:
BM Cu = 63,5 mg/mmol
Mtio = 0,1165 mmol/mL
Vrata-rata tio sampel A = (8 + 7 + 7 ) mL
3
= 7,3 mL
Vrata-rata tio sampel B = (21 + 20 + 22) mL
3
= 21 mL
V sampel A = 25 mL
V sampel B = 25 mL
Ditanyakan:
Kadar Cu pada sampel A dan B ?
1. Sampel A
Kadar Cu = ( V x M ) tio x BM Cu
V sampel A
= (7,3 mL x 0,1165 mmol/mL) x 63,5 mg/mmol
25 mL
= 54,00 mg
25 L
= 2,16 mg/mL
2. Sampel B
Kadar Cu = ( V x M ) tio x BM Cu
V sampel B
= (21 mL x 0,1165 mmol/mL) x 63,5 mg/mmol
25 mL
= 155,35 mg
25 mL
= 6,214 mg/mL
c. Penentuan kadar Cu pada sampel B + NaF 0,5 N
Diketahui: BM Cu = 63,5 mg/mmol
Mtio = 0,1165 mmol/mL
Vrata-rata tio = (5 + 6 + 6) mL
3
= 5,67 mL
V sampel B = 25 mL
Ditanyakan: Kadar Cu pada sampel B + NaF ?
Penyelesaian:
Kadar Cu = (V x M ) tio x BM Cu
V sampel A
= (5,67 mL x 0,1165 mmol/mL) x 63,5 mg/mmol
25 mL
= 41,94 mg
25 mL
= 1,67 mg/mL
F. PEMBAHASAN
1. Standarisasi Larutan Na2S2O3
Standarisasi adalah proses dimana konsentrasi larutan ditentukan secara
akurat (Day, 1998: 50) menggunakan standar primer. Iodometri merupakan salah
satu jenis titrasi reduksi oksidasi dan titrasi tidak langsung dimana ion iodida
digunakan sebagai ion pereduksi dan akan menjadi standar primer ketika
ditambahkan dengan kalium dikromat, karena sifatnya yang murni, memiliki berat
ekivalen yang cukup tinggi dam tidak higroskopik (Day, 1998: 298). Pada
percobaan ini, Na2S2O3 digunakan sebagai larutan yang akan distandarisasi.
Standarisasi larutan Na2S2O3 bertujuan untuk mengetahui konsentrasi larutan
Na2S2O3 yang sebenarnya karena Na2S2O3 merupakan larutan standar sekunder
yakni larutan yang bersifat tidak stabil dalam penyimpanannya dan bersifat
higroskopis atau mudah menyerap air dan CO2 saat penimbangan.
Na2S2O3 berperan sebagai titran yang ditempatkan dalam buret. Sebelum
melakukan titrasi, terlebih dahulu kristal KIO3 diencerkan dengan menggunakan
aquades. Pengenceran berfungsi untuk mempercepat terjadinya reaksi sehingga
volume yang digunakan pada saat titrasi tidak terlalu banyak. Prinsip dasar dari
percobaan ini adalah penentuan normalitas larutan Na2S2O3 menggunakan larutan
standar KIO3 dengan metode titrasi dan prinsip kerjanya adalah penimbangan,
pengenceran, pencampuran, proses titrasi dan pengamatan.
Larutan KIO3 direaksikan dengan KI menghasilkan larutan tak berwarna
dan ditambahkan HCl menghasilkan larutan berwarna merah kecoklatan. KIO3
berfungsi sebagai oksidator I-, karena kalium iodat mampu mengoksidasi I-
menjadi I2 secara kuantitatif dalam larutan asam sehingga dilakukan penambahan
asam kuat (HCl). HCl memiliki fungsi sebagai pemberi suasana asam karena
larutan yang terdiri dari KIO3 dan KI berada dalam kondisi netral atau memiliki
keasaman rendah selain itu juga karena oksidasi dapat berlangsung dengan baik
pada suasana asam. Pada percobaan ini digunakan titrasi iodometri yaitu titrasi
tidak langsung dimana mula-mula I- direaksikan dengan I2 berlebih, kemudian I2
yang terjadi dititrasi dengan natrium tiosulfat. Pada percobaan ini KI memiliki
fungsi sebagai penyedia ion I- yang nantinya akan dioksidasi oleh KIO3 menjadi
I2. Persamaan reaksi yang terjadi:
KIO3 K+ + IO3-
KI K + + I-
Reduksi : IO3- + 6 H+ + 6 e I- + 3H2O x1
Oksidasi : 2I- I2 + 2e x3
Reduksi : IO3- + 6 H+ + 6 e I- + 3H2O
Oksidasi : 6I- 3I2 + 6e
Redoks : IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + 3H2O
Reaksi lengkap :
KIO3 + 5KI + 6HCl KCl + 3I2 + 3H2O
Larutan segera dititrasi dengan menggunakan larutan Na2S2O3 0,1 N, hal
ini disebabkan karena sifat I2 yang mudah menguap dan mudah dioksidasi oleh
udara. Larutan awal yang berwarna merah kecoklatan mendekati titik akhir titrasi
ditambahkan dengan amilum dan dititrasi lagi hingga titik akhir titrasi yang
ditandai dengan larutan tak berwarna. Amilum berfungsi untuk mengidentifikasi
bahwa titik akhir telah terjadi ditandai dengan larutan berubah menjadi tak
berwarna. Jika titik akhir titrasi telah terjadi maka melewati titik ekivalen artinya
semua iod telah direduksi oleh tiosulfat. Amilum tidak boleh ditambahkan pada
awal titrasi, Jika amilum ditambahakan pada awal titrasi maka amilum-I2
terdisosiasi sangat lambat akibatnya banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum.
Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan agar dapat
membandingkan volume Na2S2O3 yang digunakan pada saat titrasi dan data yang
diperoleh lebih akurat. Adapun volume Na2S2O3 yang digunakan untuk mencapai
titik akhir titrasi secara berturut-turut yaitu 10,6 mL, 10,7 mL dan 10,8 mL
sehingga diperoleh volume rata-ratanya yaitu 10,7 mL. Dari hasil analisis data
diperoleh normalitas Na2S2O3 yaitu 0,233 N. Hal ini menandakan bahwa larutan
Na2S2O3 yang merupakan larutan standar sekunder yang konsentrasinya mudah
berubah dalam penyimpanan. Adapun reaksi yang terjadi, yaitu:
Na2S2O3 2Na+ + S2O32-
KI K + + I-
Oksidasi : 2S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 + 2e- 2I-

Redoks : 2S2O32- + I2 S4O62- + 2I-


Reaksi lengkapnya adalah :
2Na2S2O3 + I2 Na2S4O6 + 2NaI
2. Penentuan kadar Cu dalam sampel A dan B
Larutan sampel A adalah larutan yang mengandung tembaga (Cu) dan
larutan B mengandung Cu dan Fe (III). Tujuan dari percobaan ini adalah untuk
mengetahui pengaruh inteferensi Fe (III) dalam penentuan Cu. Prinsip dasar dari
percobaan ini adalah penentuan kadar Cu dalam sampel menggunakan larutan
standar Na2S2O3 dengan metode titrasi dan prinsip kerjanya adalah pencampuran,
proses titrasi dan pengamatan. Kemudian masing-masing sampel ditambahkan
larutan KI yang memilki fungsi untuk melepas I- selain itu KI juga mampu
mereduksi ion Cu dalam sampel, Adapun reaksi yang terjadi yaitu:
Sampel A : 2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2
Sampel B : 2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2
Fe3+ + 2I- Fe2+ + I2
Larutan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 dari warna hijau, mendekati
titik akhir titrasi larutan ditambahkan amilum untuk mengetahui iod telah habis
bereaksi. Amilum berfungsi untuk mengidentifikasi bahwa titik akhir telah terjadi
ditandai dengan berubah menjadi hijau. Jika titik akhir titrasi telah terjadi maka
melewati titik ekivalen artinya semua iod telah direduksi oleh tiosulfat. Kemudian
titrasi dilanjutkan hingga titik akhir titrasi yaitu ketika larutan berwarna hijau
ketuaan, reaksi yang terjadi:
Na2S2O3 2Na+ + S2O32-
KI K + + I-
Oksidasi : 2S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 + 2e- 2I-
Redoks : 2S2O32- + I2 S4O62- + 2I-
Reaksi lengkapnya adalah :
2Na2S2O3 + I2 Na2S4O6 + 2NaI
Volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel A berturut-turut
adalah 8 mL, 7 mL dan 7 mL dan volume rata-ratanya adalah 7,3 mL sedangkan
volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel B berturut-turut adalah 21
mL, 20 mL dan 22 mL dan volume rata-ratanya adalah 21 mL. Terdapat
perbedaan disebabkan karena terdapat pengaruh inteferensi dari Fe (III) pada
sampel B yang menyebabkan volume Na2S2O3 yang digunakan pada titrasi sampel
B lebih banyak daripada untuk menitrasi sampel A. Adapun kadar Cu yang
diperoleh pada percobaan untuk sampel A adalah 2,16 mg/mL, yang artinya dalam
1 mL larutan sampel A 2,16 mg Cu. Sedangkan kadar untuk sampel B adalah
6,214 mg/mL artinya dalam 1 mL larutan sampel B terdapat 6,214 mg Cu.
3. Penentuan kadar Cu dalam sampel B + NaF
Percobaan ini memiliki tujuan untuk mencegah inteferensi Fe (III) dalam
penentuan Cu dengan penambahan NaF. Prinsip dasar dari percobaan ini adalah
penetuan kadar Cu dalam sampel B + NaF menggunakan larutan standar Na2S2O3
dengan metode titrasi dan prinsip kerjanya adalah pencampuran, proses titrasi dan
pengamatan. Larutan sampel B yang mengandung Cu2+ dan Fe3+ ditambahkan
dengan larutan NaF menghasilkan larutan berwarna biru muda. Larutan NaF
memiliki fungsi untuk mencegah adanya inteferensi dari Fe(III) karena NaF akan
bereaksi dengan Fe3+ membentuk senyawa kompleks sehingga tidak bisa lagi
mengoksidasi I- menjadi I2. NaF tidak dapat bereaksi dengan Cu karena sifat
keelektronegatifannya dimana Fe lebih elektronegatif dibandingkan dengan Cu
sehingga NaF hanya dapat mengikat Fe. Reaksinya:
Fe3+ + 6KF 6K+ + [FeF6]3-

[FeF6]3- + I-
Kemudian dilakukan penambahan KI terhadap larutan tersebut dan larutan
berwarna hijau, KI berfungsi sebagai penyedia I- yang akan bereaksi dengan Cu2+.
Reaksi:
2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2
Larutan campuran kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 dan mendekati titik
akhir titrasi ditambahkan amilum dan dititrasi hingga larutan putih. Amilum
memiliki fungsi untuk mengidentifikasi bahwa titik akhir telah terjadi ditandai
hingga warna birunya hilang dengan larutan berubah menjadi putih susu. Jika titik
akhir titrasi telah terjadi maka melewati titik ekivalen artinya semua iod telah
direduksi oleh tiosulfat.
Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan agar data yang
diperoleh lebih akurat. Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi berturut-
turut adalah 5 mL, 6 mL dan 6 mL dan volume rata-ratanya 5,67 mL dengan
kadar Cu 1,67 mg/mL. Artinya dalam 1 mL sampel terdapat 1,67 mg Cu.
Hasil yang diperoleh jauh berbeda ketika sampel B tidak ditambahkan
NaF, karena pada sampel B ketika ditambahkan dengan NaF mampu
menghilangkan inteferensi Fe. Dan jika kadar sampel B + NaF dibandingkan
dengan sampel A perbedaan kadarnya sangat sedikit, dikarenakan sampel A tidak
terdapat inteferensi Fe.
G. KESIMPULAN
Berdasarkan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penentuan
kadar Cu dalam suatu sampel dapat dilakukan dengan metode titrasi iodometri.
Kadar Cu dalam sampel A yaitu 2,16 mg/mL dan kadar Cu dalam sampel B yaitu
6,214 mg/mL. Penentuan kadar Cu dalam sampel B yang ditambah NaF adalah
1,67 mg/mL karena inteferensi Fe (III) telah diikat oleh NaF.
DAFTAR PUSTAKA

Day, R. A JR, dan A L Underwood. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi


Keenam. Jakarta : Erlangga.

Ibnu, M. Sodik., Endang Budiasih., Hayuni Retno Widarti dan Munzil. 2004.
Kimia Analitik I. Malang: Universitas Negeri Malang

Novitriani, Korry, Dina Sucianawati. 2014. Analisa Kadar Iodium Pada Telur
Asin. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. Volume 12 Nomor 1.

Rahman, Ramlawati dan Sumiati Side. 2011. Kapasitas Adsorbsi Tanah


Diatomease (Diatomaceous earth) terhadap ion kromium (VI). Jurnal
Chemica. Vol. 12. No. 1

Widodo, Didik Setiyo, Rum Hastuti , Gunawan. 2009. Analisis Kuantitatif.


Semarang. Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai