Anda di halaman 1dari 17

MODUL 18

KEBIJAKAN DEPKES DALAM


SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU
(SPGDT)

I. DESKRIPSI SINGKAT

Ditinjau dari segi epidemiologi, Indonesia tengah mengalami transisi


epidemiologi penyakit dimana pada saat bersamaan dijumpai “ triple burden”
masalah kesehatan yaitu masalah kesehatan lama seperti diare, ISPA, kurang
gizi, tingginya MMR dan IMR, dan lain-lain, masalah kesehatan lama yang
muncul kembali seperti TBC, Malaria dan masalah kesehatan baru akibat
penyakit tidak menular seperti cedera, keracunan, NAPZA, penyakit vaskuler dan
lain-lain, serta munculnya penyakit AIDS.

Perubahan pola penyakit tersebut telah diikuti dengan peningkatan kasus-kasus


gawat darurat baik karena meningkatnya kasus darurat sehari-hari maupun
karena musibah massal, bencana alam atau ulah manusia sampai dengan
bencana kompleks.

Oleh karena gawat darurat dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana
saja maka penanganan-penanganan pasien gawat darurat harus dilakukan oleh
orang awam, awam khusus, perawat, paramedis dan dokter sesuai
kompetensinya.

Konsep penanganan pasien gawat darurat adalah “ time saving is life and limb
saving “. Karena sangat terbatasnya waktu tanggap (response time) untuk
menyelamatkan jiwa dan atau anggota gerak pasien, maka penanganan harus
sistematik dan berskala prioritas. Tindakan yang dilakukan harus cepat, tepat
dan cermat sesuai standar.

Mengantisipasi keadaan tersebut dalam rangka Hari Kesehatan Nasional ke 36


pada tanggal 15 November 2000 telah dicanangkan Deklarasi Makassar 2000
yang isinya adalah :

1
1. Meningkatkan rasa cinta berbangsa dan bernegara, demi terjalinnya
kesatuan dan persatuan guna menghindari disintegrasi bangsa, dimana
rasa sehat dan aman merupakan perekat keutuhan bangsa.
2. Mengusahakan peningkatan serta pendayagunaan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana yang ada, guna menjamin rasa sehat dan aman,
yang merupakan hak asasi manusia.
3. Memasyarakatkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
Sehari-hari dan Bencana (SPGDT - S/B) secara efektif dan efisien.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan SPGDT melalui
pendidikan dan pelatihan.
5. Membentuk Brigade Siaga Bencana yang terdiri dari komponen lintas
sektor baik medik maupun non medik, berperan dalam pelaksanaan
SPGDT dengan melibatkan peran serta masyarakat.
6. Dengan terlaksananya butir-butir tersebut diatas, diharapkan dapat
menciptakan keadaan sehat dan aman bagi bangsa dan negara (Safe
Community) menghadapi gawat darurat sehari-hari maupun bencana.
7. Terlaksananya SPGDT menjadi dasar menuju “Indonesia Sehat 2010” dan
“Safe Community”.

Penanganan pasien gawat darurat pada dasarnya adalah pelayanan medik dasar
yang ditujukan untuk mengatasi kegawat daruratan jalan napas, pernapasan,
peredaran darah dan kesadaran (Airway – Breathing – Circulation – Brain ) atau
disingkat A-B-C- Brain.

Penanganan suportif atau A-B-C Brain ditujukan untuk mengatasi krisis fungsi
vital yang mengancam jiwa. Terapi definitif untuk menghilangkan penyebab
utama dilakukan setelah atau serentak bersamaan dengan pertolongan A-B-C
Brain. Peran profesi spesialis diperlukan pada terapi definitif. Penanganan
pasien akan lebih baik jika dari semula dapat dicegah terjadinya krisis /
kegawatan yang mengancam jiwa dan atau anggota badan.

Indikator mutu dalam penanggulangan penderita gawat darurat adalah


response time (waktu tanggap) sebagai indikator proses, sedang untuk
indikator hasil dapat dinilai melalui survival rate (angka kelangsungan hidup).

2
II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan pembelajaran umum:


Setelah mengikuti sesi ini, peserta mampu memahami kebijakan Depkes dalam
penanggulangan Gawat darurat sehari-hari dan bencana.

B. Tujuan pembelajaran khusus:


Setelah mengikuti sesi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan dasar dan strategi SPGDT Secara umum
2. Menjelaskan Komponen-komponen penting dalam SPGDT sehari hari
dan bencana
3. Menguraikan tentang SPGDT Bencana
4. Jejaring rujukan dalam SPGDT
5. Menjelaskan tentang Safe Community dan Public Safety Center (PSC)

III. POKOK BAHASAN dan SUB POKOK BAHASAN


Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai
berikut:
Pokok bahasan 1: Dasar dan Strategi SPGDT secara umum
Pokok bahasan 2: Komponen-komponen penting dalam SPGDT Sehari-hari dan
bencana
Pokok bahasan 3: SPGDT Bencana
Pokok bahasan 4: Jejaring rujukan dalam SPGDT
Pokok bahasan 5: Safe Community dan Public Safety Center (PSC)

IV. BAHAN BELAJAR

MODUL SPGDT

3
V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Langkah 1

1. Menciptakan suasana belajar. Pelatih memulai dengan memperkenalkan


diri kemudian mengajukan pertanyaan tentang judul materi kepada peserta
serta mendinamiskan peserta agar mereka termotivasi untuk mau belajar. (5
menit)
2. Pelatih menjelaskan tujuan mata ajaran yang ingin dicapai dan memberi
kesempatan kepada peserta untuk bertanya sampai pada akhirnya semua
peserta jelas tentang apa yang ingin dicapai dalam mata ajaran ini. (5 menit)
3. Pelatih menjajaki pengetahuan peserta terhadap materi yang akan
diberikan. (10 menit).

Langkah 2

1. Pelatih menjelaskan tentang dasar dan strategi SPGDT secara umum, setelah
itu memberikan kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas
(15 menit)
2. Pelatih menjelaskan tentang komponen-komponen penting dalam SPGDT s-
b (15 menit)
3. Pelatih menjelaskan tentang SPGDT bencana . Setelah itu pelatih memberikan
kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. (20 menit)
4. Pelatih menjelaskan Jejaring rujukan dalam SPGDT. Setelah itu pelatih
memberikan kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. (10
menit)
5. Pelatih menjelaskan tentang Safe Community dan PSC. Kemudian dilanjutkan
dengan tanya jawab. (10 menit)

4
VI. URAIAN MATERI
A . DASAR DAN STRATEGI SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT

DARURAT TERPADU SECARA UMUM


Kebijakan desentralisasi yang mulai diterapkan pada tahun 2001 seperti yang
diatur dalam PP nomor 25 tahun 2000 telah menetapkan wewenang pemerintah
pusat dan provinsi sebagai daerah otonomi. Wewenang pemerintah pusat dalam
hal ini wewenang Departemen Kesehatan RI yang berkaitan dengan
pengembangan dan pemantapan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) antara lain adalah menetapkan standar dan akreditasi sarana
dan prasarana kesehatan, penetapan standar pendidikan dan pendayagunaan
tenaga kesehatan, menetapkan pedoman pembiayaan kesehatan, penyediaan
obat essensial, penapisan dan pengembangan teknologi.
Pada dasarnya pengembangan SPGDT untuk menanggulangi kegawat daruratan
sehari-hari (SPGDT-S) dan bencana (SPGDT-B) harus sejalan dengan Strategi
Pembangunan Nasional, yaitu :

1. Mengacu pada Paradigma Sehat yaitu menjaga keseimbangan antara risk


management (upaya promotif dan preventif) dan disease management
(kuratif dan rehabilitatif).

2. Profesionalisme yaitu pengembangan SPGDT berdasarkan standar yang


disepakati secara profesional antara semua stakeholder terkait dan didukung
peran serta masyarakat.

3. Desentralisasi yaitu advokasi dan pemberdayaan daerah untuk


pengembangan SPGDT yang sesuai dengan kebutuhan dan kekhususan
daerah (local specific).

4. Menata sistem pembiayaan yang efektif dan efisien untuk menunjang


penanggulangan penderita gawat darurat baik di tingkat pra rumah sakit,
rumah sakit dan rujukan antar rumah sakit.

Dalam pengertian umum standar di bidang pelayanan kesehatan didefinisikan


sebagai pernyataan ekspektasi atau harapan mengenai struktur (input), proses
dan outcome dari sistem kesehatan diberbagai tingkat pelayanan baik di tingkat
pelayanan kesehatan dasar (primary care), pelayanan kesehatan sekunder
(secondary care) maupun pelayanan kesehatan tersier (tertiary care), termasuk

5
di sini adalah standar struktur, proses dan outcome dari SPGDT baik di tingkat
pra rumah sakit (primary care), di rumah sakit (secondary care) atau rujukan
antar rumah sakit (secondary dan tertiary care).

Standar dalam SPGDT penting sebagai kendaraan (vehicle) yang digunakan


organisasi untuk mengartikan kualitas dalam bentuk operasional dan
menghimpun semua orang dalam SPGDT (pasien, care provider, manajemen,
dan lain-lain) untuk meningkatkan akuntabilitas tentang perannya masing-
masing. Standar juga membuat organisasi mampu mengukur tingkat
kualitasnya.

Standar dalam SPGDT harus memenuhi beberapa kriteria antara lain :

1. Technical efficacy dan safety yaitu intervensi pelayanan sesuai standar harus
mampu menghasilkan outcome (health benefit) sesuai yang diharapkan dan
hasil dari kajian Litbang untuk menjamin efektivitasnya.

2. Cost effectiveness yaitu biaya untuk melakukan intervensi pelayanan sesuai


standar tidak menghalangi aksesibilitas, akseptabilitas dan afordabilitas dari
sisi pasien dan menguntungkan dari sisi provider.

3. Equity yaitu intervensi pelayanan sesuai standar harus menjangkau setiap


individu, keluarga dan komunitas termasuk high risk maupun vulnerable
group.

4. Integration dan Continuity yaitu standar pelayanan harus menjamin bahwa


berbagai intervensi dilakukan secara terpadu dan menjamin kesinambungan.

5. Client Satisfaction atau Kepuasan Klien (internal dan eksternal) adalah faktor
utama dalam menetapkan standar karena klien baik secara individu maupun
secara kolektif adalah penentu utama arti kualitas.

B. KOMPONEN-KOMPONEN PENTING DALAM SPGDT SEHARI-HARI DAN BENCANA

1. Komponen pra rumah sakit, komponen rumah sakit dan komponen antar

rumah sakit.

6
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Sehari-hari (SPGDT-S)

SUMBER DAYA MANUSIA


Dokter Penanggulangan
Awan UmumPetugas Perawat - Multidisiplin.
Pencegahan Awam Ambulans - Multiprofesi.
Khusus - Multisektor
- Health Promotion. KOMUNIKASI
- Health Protection.
- Preventive Services. TRANSPORTASI

Masyarakat
Aman & Sejahtera
( Safe Commnunity)
RS Klas RS Klas Pasien
Ambula
Puskesma
C B/A ns
s

PRA RS INTRA RS INTRA RS

ANTAR RS
PENDANAAN

TIME SAVING IS LIFE LIMB SAVING  Response Time <


MERUJUK THE RIGHT PATIENT, TO THE RIGHT PLACE
AT THE RIGHT TIME.

2. Komponen penunjang:
 Komunikasi, seperti telepon, mobile phone, radio medik dll.
 Transportasi, seperti ambulans, Pusling dll.

3. Komponen sumber daya manusia: petugas kesehatan (dokter, perawat /


paramedis) dan non kesehatan (awam umum, awam khusus, polisi, PMK,
PMI).

7
JENIS SDM KEMAMPUAN YANG PERLU DIMILIKI

 Dokter Spesialis Diagnosa dan terapi alternatif


GELS (ATLS, ACLS, APLS, dll).

 Dokter Umum GELS Dokter Umum


ATLS, ACLS, APLS, dll sesuai kebutuhan
(optional).

 Perawat PPGD Perawat (BASIC 1-2 , ADVANCED)

 Awam Khusus PPGD Awam Khusus.


Polisi
Pemadam Kebakaran
Pramuka
PMI
Hansip
 Awam Umum PPGD Awam Umum.

8
4. Komponen sektor-sektor terkait (sektor kesehatan dan sektor non

kesehatan).

Shared vision Masyarakat Aman

Public Safety Center


- Ambulans
- Pemadam Kekaran. Pelayanan Kesehatan
- Polisi ( Safe, aspek kesehatan, SPGDT-S/B)
Masya-
rakat
Akses

Instansi
Non Kes.
PERDA
APBD
Eksekutif
Legislatif
Komunikasi,
Pendekatan Informasi dan
Struktural Edukasi
Masyarakat Umum

Komponen-komponen tersebut harus dapat berinteraksi secara efektif dan


efisien untuk dapat menjamin berhasilnya pelayanan gawat darurat yang
bermutu. Peningkatan mutu hanya dapat dicapai apabila dilakukan perbaikan
pada semua komponen tanpa kecuali. Sebagai contoh pada perbaikan
Pendekatan
komponen intra rumah sakit saja tanpa perbaikan komponen pra rumah sakit
Kultural
tidak akan membawa perbaikan yang berarti. Pada saat ini pra rumah sakit
adalah satu komponen yang masih lemah padahal suksesnya penanganan
kegawatdaruratan sangat ditentukan pada mata rantai yang paling lemah.

Upaya Pencegahan

Merupakan upaya yang penting dan dilakukan oleh masyarakat didalam


lingkungannya, yang berhubungan dengan gaya hidup/perilaku masyarakat

1. Pencegahan Primer

a. Usaha-usaha mengenali (identifikasi) faktor-faktor resiko yang akan


menjurus ke keadaan gawat darurat (health promotion).

9
Contoh : Counseling tentang aktivitas fisik, diet, kesehatan mental,
konsumsi alkohol dan lain-lain.

b. Upaya peningkatan pemahaman pada masyarakat akan pentingnya


pencegahan primer melalui penyebaran brosur, poster, leaflet dll.

c. Upaya menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor resiko (health


protection).

Contoh : Kesehatan dan keselamatan kerja, kesehatan lingkungan, food


and drug safety, pengendara wajib menggunakan helm/ sabuk pengaman
dan lain-lain.

d. Upaya memantau dengan cermat agar faktor-faktor resiko tidak


berkembang menjadi pencetus kegawat daruratan (preventive services).

Contoh : Pemeriksaan ante natal / post natal, bayi sehat, medical check
up, klub asma, klub jantung sehat dan lain-lain.

2. Pencegahan Sekunder

a. Melakukan diagnosa dini (early diagnostic) dan tindakan dini (prompt


treatment) pada kejadian atau penyakit yang akan berkembang menjadi
kegawatan yang mengancam jiwa dan anggota badan.

b. Upaya tepat dan cepat untuk segera mengatasi puncak kegawatan yaitu
henti jantung dengan resusitasi jantung paru otak ( cardio-pulmonary-
cerebral resuscitation) agar kerusakan yang terjadi dapat dihindarkan
atau ditekan sampai minimal (disability limitation) dengan melakukan BLS
(Basic Life Support), ALS (Advanced Life Support) dan PLS (Prolonged Life
Support).

C. SPGDT BENCANA

Sistem penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana adalah merupakan


eskalasi dari SPGDT sehari-hari.
Berbagai kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam SPGDT-b sebagai
berikut :
1. Dalam pelayanan kesehatan penanganan bencana pada prinsipnya tidak
dibentuk sarana prasarana secara khusus, tetapi menggunakan sarana dan
prasarana yang telah ada, hanya intensitas kerjanya ditingkatkan dengan
memberdayakan semua sumberdaya Pemerintah Kabupaten/Kota dan
Provinsi serta Masyarakat dari unsur Swasta sesuai prinsip desentralisasi.
2. Setiap Kabupaten/Kota berkewajiban membentuk satuan tugas yang mampu

10
mengatasi masalah kesehatan penanggulangan bencana serta penanganan
pengungsi diwilayahnya secara terpadu dengan Satlak PB.
3. Pelayanan kesehatan penanggulangan bencana dilaksanakan dalam tiga
tahap :

a. Tahap persiapan/tahap pra-bencana atau sebelum pengungsi tiba.


Pada tahap ini kegiatan yang dilaksanakan adalah :
1) Inventarisasi kemungkinan jenis, sifat dan lokasi terjadinya bencana
serta kategori pengungsi (akibat alam atau ulah manusia).
2) Inventarisasi sumber daya yang tersedia.
3) Masing-masing tingkat administrasi (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
membuat unit fungsional berupa Pusdalops (Pusat pengendalian
operasional) penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi.
4) Menyusun peta wilayah rawan bencana dan lokasi penampungan
pengungsi.
5) Penyusunan prosedur tetap pada setiap lokasi kemungkinan
terjadinya bencana
6) Penyebarluasan protap kepada semua unit yang terlibat.
7) Pelatihan setiap unit dan petugas yang terlibat dengan
melaksanakan gladi posko, gladi lapangan dan lain-lain.
8) Mengadakan koordinasi dengan sektor lain yang terkait.
9) Mempersiapkan sarana prasarana sesuai protap.
10) Mengadakan monitoring/pemantauan tempat-tempat yang
berpotensi terjadi bencana secara periodik ("early warning system").

b. Tahap terjadinya bencana dan pengungsian.

Pentahapan kegiatan pelayanan kesehatan pada tahap terjadinya bencana


dibagi dalam tiga tahap :
1) Tahap lapangan (tempat triase/tenda darurat, Puskesmas, Rumah
Sakit Lapangan, Ambulans, dan lain-lain).
2) Tahap antar sarana pelayanan kesehatan.
3) Tahap antar di pusat rujukan kesehatan.

Pada tahap terjadinya bencana, kegiatan yang dilaksanakan adalah :


1) Melaksanakan eskalasi pelayanan gawat darurat sehari hari menjadi
pelayanan gawat darurat bencana.
2) Melaksanakan penilaian kebutuhan dan dampaknya pada aspek

11
kesehatan secara cepat sebagai dasar untuk program bantuan
pelayanan kesehatan.
3) Apabila bencana yang terjadi disertai gangguan keamanan dan
keselamatan petugas kesehatan, maka penanggulangan kedaruratan
kesehatan dilaksanakan secara gabungan yaitu Depkes, TNI dan
POLRI.
4) Daerah bencana yang sangat membutuhkan dukungan bantuan
tenaga kesehatan dapat memanfaatkan Brigade Siaga Bencana.

Pada tahap terjadinya bencana, perlu dilakukan pembagian wilayah


penanggulangan:

1) Daerah lingkaran satu dimana terjadi bencana.


Mendirikan triase untuk melakukan pertolongan pelayanan kesehatan
secara cepat dan tepat serta melakukan penilaian kesehatan cepat
untuk membuat prakiraan keadaan dan kebutuhan serta meminta
bantuan dari daerah lingkaran dua dan tiga.
2) Daerah lingkaran dua yang berada disekitar terjadinya bencana.
Menyiapkan sarana untuk memberikan bantuan pelayanan kesehatan
serta mengirimkan bantuan kesehatan.
3) Daerah lingkaran tiga yang berada disekitar daerah lingkaran dua.
Menyiapkan dan memberikan bantuan medik (jika diperlukan) dan
membantu melakukan evakuasi korban bencana ke daerah lingkaran
dua dan lingkaran tiga.

Pada saat arus pengungsi tiba, kegiatan yang dilaksanakan adalah :


1) Satgas Kesehatan, Satlak PB Kabupaten/Kota segera
mengkoordinasikan secara lintas program untuk memobilisasi sumber
daya yang ada guna membantu penyiapan lokasi pengungsi.
2) Penilaian awal secara cepat ("rapid asessment") tentang kebutuhan
dasar dengan memperhatikan jumlah pengungsi, jenis kelamin, umur
dan pekerjaan.
3) Mendirikan pos pelayanan kesehatan.
4) Pemberian makanan jadi dalam waktu sesingkat mungkin (maksimum
selama 5 hari), dengan menyelenggarakan dapur umum merujuk pada
standar minimal dari Departemen Sosial.
5) Pemberian makanan tambahan dan bahan makanan bergizi lain
(blended food/compact food) terutama bagi bayi, anak balita, ibu

12
hamil, ibu menyusui, orang lanjut usia, orang sakit dan orang cacat.
6) Imunisasi campak bagi bayi dan anak balita apabila diperlukan.
7) Penyediaan dan perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi darurat
serta pengawasan kualitas kesehatan lingkungan lainnya.
8) Pelayanan kesehatan bagi yang sakit.
9) Pelayanan kesehatan reproduksi termasuk pelayanan kebidanan dan
bayi baru lahir; pelayanan Keluarga Berencana; pencegahan dan
penanggulangan infeksi saluran reproduksi, termasuk Penyakit
Menular Seksual (PMS) - HlV/AIDS; pencegahan dan
penatalaksanaan kekerasan.
10) Surveilans terhadap faktor resiko terjadinya masalah kesehatan dan
penyakit potensial wabah.
11) Pemberantasan penyakit menular potensial wabah (Malaria, Diare,
ISPA, Campak dll).
12) Pelayanan Promosi Kesehatan (penyuluhan/pelatihan kesehatan) bagi
yang terkena bencana atau bagi pengungsi.

c. Tahap pasca bencana dan rehabilitasi


Pada tahap pasca bencana dan rehabilitasi kegiatan yang dilaksanakan
adalah:
1) Upaya pemantauan dan pencegahan dampak bencana sekunder (KLB
penyakit menular) akibat perubahan kualitas lingkungan hidup.
2) Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi
setelah rapid assessment dilakukan, merencanakan kebutuhan
pangan untuk suplementasi gizi dan menyediakan paket bantuan
pangan (Ransum) yang cukup, mudah dikonsumsi oleh semua
golongan umur.
3) Penyediaan kebutuhan pokok bagi penduduk di penampungan
sementara (air bersih, pangan, papan, jamban dan pelayanan
kesehatan).
4) Pemulihan kesehatan fisik, mental dan psiko-sosial berupa :
a) Promosi kesehatan dalam bentuk konseling (bantuan psiko-sosial)
dan lain-lain kegiatan diperlukan agar para pengungsi dapat
mengatasi psiko-trauma yang dialami.
b) Pencegahan masalah psiko-sosial untuk menghindari
psikosomatis.
c) Pencegahan berlanjutnya psiko-patologis pasca pengungsian.

13
5) Rekonsiliasi
Khusus untuk konflik dengan tindak kekerasan dapat dilakukan
rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai dengan mediasi sektor
kesehatan, yaitu kesehatan sebagai jembatan menuju perdamaian
dengan kegiatan berupa:
a) Pelatihan Petugas Kesehatan, Pemerintah, TNI, POLRI, LSM dan
kader masyarakat.
b) Sosialisasi netralitas petugas kesehatan untuk menjalankan
profesinya kepada pihak yang bertikai.
c) Kerjasama petugas kesehatan dari pihak-pihak yang bertikai
dalam menyusun program kesehatan bagi korban kerusuhan.
d) Pelayanan kesehatan terpadu antara pihak bertikai tanpa
membedakan perbedaan (Azas Netralitas).
6) Upaya analisis dan penilaian penanggulangan masalah kesehatan.

4. Pelayanan kesehatan pada saat terjadinya bencana ditanngung oleh


pemeerintah

D. JEJARING RUJUKAN DALAM SPGDT

Dalam pelayanan kesehatan penanggulangan bencana sesuai dengan


rujukan rumah sakit Indonesia dibagi menjadi empat wilayah :
1) Wilayah tanggung jawab RSUP H.
Adam Malik Medan; meliputi wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Jambi.
2) Wilayah tanggung jawab RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta; meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta,
Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Banten.
3) Wilayah tanggung jawab RSUD
Dr. Soetomo Surabaya; meliputi wilayah Provinsi Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur, Bali.
4) Wilayah tanggung jawab RSUP Dr.
Wahidin Sudiro Husodo Makassar; meliputi wilayah Provinsi Sulawesi

14
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara,
Gorontalo,Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
5) Bila rujukan tersebut di atas
mengalami hambatan, maka pelaksanaan pelayanan kesehatan
rujukan disesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan tujuan yang
memungkinkan.
JEJARING SISTIM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU (SPGDT) DAN PENANGGULANGAN
PENDERITA GAWAT DARURAT (PPGD).
SUMUT
1. NAD RSUP H. ADAM MALIK, MDN
2. RIAU
3. JAMBI
RSUP Dr M. DJAMIL, PDG
1. SUMBAR

1. SUMSEL RSUP Dr M. HOESIN, PLG


2. BABEL

1. DKI JAKARTA
2. BENGKULU RSUPN Dr. CIPTO M, JKT
3. LAMPUNG
4. KALBAR
5. KALTENG
6. BANTEN

1. JAWA BARAT RSUP Dr HASAN S, BDG


2. BANTEN
1. JAWA TENGAH RSUP Dr KARIADI, SMR

1. D.I. YOGYAKARTA RSUP Dr SARJITO, YGK

1. JATIM
1.b. Kodya Malang RSUD Dr. SOETOMO, SRBY
2. KALSEL
3. KALTIM
4. NTB RSUP Dr SAIFUL A, MLG
5. NTT

1. BALI RSUP SANGLAH, DPS

1. SULSEL
2. SULTRA RSUP Dr. WAHIDIN S, MKS
3. MALUKU
4. PAPUA
5. SULTENG
6. SULBAR
7. MALUT
RSUP MALALAYANG, MND
1. SULUT BSB
2. GORONTALO

15
= Rumah Sakit Rujukan Wilayah/RS Rujukan

= Rujukan Lini 1
= Rujukan Lini 2

E. SAFE COMMUNITY DAN PUBLIC SAFETY CENTER (PSC)

Pengertian umum Safe Community adalah lingkungan aman dan sehat bagi
masyarakat yang hidup di dalam suatu komunitas. Dalam komunitas tersebut
masyarakat dijamin keselamatannya (health security) oleh upaya-upaya lintas
sektor (care) yaitu kegiatan-kegiatan promotif dan preventif untuk mengendalikan
perilaku dan lingkungan, preparedness dan mitigasi dan upaya-upaya intra
sektor kesehatan (cure) yang meliputi kegiatan kuratif (quick response) dan
rehabilitasi (recovery) melalui pemantapan Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (pra RS, intra RS dan antar RS).
Upaya pengembangan Safe Community hanya bisa terlaksana apabila ada
komitmen dan kesamaan visi antara berbagai pihak melalui pendekatan
struktural dan kultural. Realisasi Safe Community dimulai dengan pembentukan
Public Safety Center (Pusat Pelayanan Masyarakat Terpadu) yang intinya
adalah pelayanan Ambulans, Pemadam Kebakaran dan Kepolisian dibawah satu
atap. Tujuan dari Public Safety Center adalah meningkatkan “quick response”
terutama pra rumah sakit yang merupakan salah satu mata rantai SPGDT -
S/B.

VII. REFERENSI

16
17

Anda mungkin juga menyukai