Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI

Oleh:
Shila Wisnasari
0810720065

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
LAPORAN PENDAHULUAN
ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)

A. Definisi
Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah
terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat
aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan
fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2007).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-
elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI).
STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark
yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan
adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi
sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium,
sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

B. Etiologi dan Faktor Risiko


Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya rupture
vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat beberapa
faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain aktivitas fisik
yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat
beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu.
Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang
tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.
1. Faktor yang tidak dapat dirubah :
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif,
biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang
kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun
usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark
miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar, et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat
bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Hal ini diperkirakan
merupakan pengaruh dari hormon estrogen (Kumar, et al., 2007).
c) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya IMA.

2. Faktor resiko yang dapat dirubah :


a) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum
di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan
meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini
akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan
kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri
koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai
faktor pelindung terhadap penyakit ini.
b) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan
dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien
hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal jantung kongestif, dan
sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2007).
c) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang
lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok
dapat menurunkan risiko secara substansial (Kumar, et al., 2007).
d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada
seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat
peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

C. Manifestasi Klinis
1. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien
dengan STEMI. Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral, yang
biasa dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas, seperti
ditusuk, atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama
dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih
berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah
dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri
juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Nyeri
sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan ansietas
(Fauci, et al., 2007).
2. Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang
menunjukkan ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pallor yang
berhubungan dengan keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering
ditemukan pada pasien dengan STEMI. Nyeri dada substernal yang berlangsung
selama >30 menit dan diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun
sebagian besar pasien menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang
normal selama satu jam pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark
anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia
dan/atau hipertensi), dan 50% pasien dengan infark inferior menunjukkan
hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi.
Tanda fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga
sering terjadi penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya
penurunan stroke volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin
ditemukan selama satu minggu post STEMI.
D. PATOFISIOLOGI

Merokok, alcohol,
hipertensi, lipid, congenital

LDL teroksidasi

Timbul bercak lemak
Meningkatnya ↓
permeabilitas terhadap Plak halus
lipid ↓
Aktivasi faktor VII dan X Defisitperawatan
Deficit Perawatan Diri
diri
↓ ↑
Protrombin  thrombin Motivasi personal hygiene ↓
Fibrinogen  fibrin
↓ Intoleransi aktivitas
Intoleransi Aktivitas
Rupture plak
↓ ↑
Thrombus Kelemahan
↓ ↑
Oklusi arteri koroner Hipoksia
↑ ↑
Aliran darah koroner Penurunan aliran darah
menurun

Supply O2 ke jaringan Penurunan CO2 Kematian jaringan Gagal pompa ventrikel kiri
berkurang ↓ ↓ ↓
↓ Hipotensi Nekrosis Penurunan cardiac
Penurunan Cardiac Output
Kebutuhan O2 tidak ↓ ↓ output
tercukupi Syok Stimulasi saraf
↓ ↓ ↓
Takipneu Penurunan kesadaran Melepas mediator nyeri: Reflux ke paru-paru Gagal pompa ventrikel
↓ ↓ ↓ ↓ kanan
Resiko
Resikoinjury
Injury Alveoli edema ↓
Ketidakefektifan Pola Napas Nyeri akut
Tekanan diastole
Metabolism anaerob Gangguan Pertukaran Gas meningkat
↓ ↓
Asam laktat meningkat Bendungan atrium kanan
↓ ↓
Nyeri terus menerus Terjadi malam hari Bendungan vena sistemik
Informasi tidak adekuat ↓ ↓ ↓
↓ Ansietas
Ansietas Gangguan pola
Gangguan Pola tidur
tidur Hepar
Salah terapi, salah ↓ Hepatomegali
persepsi ↓ Mendesak diafragma
↓ ↓ Sesak nafas
Kurang
Kurang pengetahuan
Pengetahuan ↓
Gagal pompa ventrikel
kiri
Ketidakefektifan Pola Napas
Ketidakefektifan pola
nafas
Forward failure Backward failure
↓ ↓ Mendesak organ GIT
Suplai darah Suplai O2 otak ↓ Renal flow ↓ LVED naik ↓
jaringan ↓ ↓ ↓ ↓ Mual muntah
↓ Sinkop RAA ↑ Tek.vena pulmonalis ↑ ↓
Metabolism ↓ ↓ ↓
anaerob Ketidakseimbangan
Gangguan Aldosteron
Gangguan Perfusi Jaringan Serebral↑ Tek.kapiler paru ↑
↓ nutrisi kurang dari
perfusi ↓ ↓
Asidosis metabolic kebutuhan tubuh
jaringan ADH ↑ Edema paru Beban ventrikel kanan ↑
↓ ↓ ↓ ↓
Penimbunan asam Retensi Na + Ronchi basah Hipertrovi ventrikel kanan
laktat dan ATP ↓ H2O ↓ ↓
↓ ↓ Iritasi mukosa paru Penyempitan lumen
Fatigue Kelebihan ↓ ventrikel kanan
↓ Kelebihan Volume Cairan
volume c Reflek batuk ↓
Intoleransi
Intoleransi Aktivitas ↓
aktivitas Penumpukan secret Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
↓ bersihan jalan na
Edema Menghambat pertukaran
↓ O2 dan CO2
Bed rest Perubahan ↓
↓ bentuk tubuh Gangguan pertukaran Suplai O2 di sirkulasi
Tidak dapat Gangguan Pertukaran Gas
↓ gas berkurang Fungsi Hepar terganggu
beribadah seperti Gangguan ↓
biasa Citra Tubuh Fungsi detoksikasi
↓ berkurang
Gangguan Citra Tubuh
Distres Spiritual ↓
Resiko Infeksi
Informasi dan dukungan Kurang
Mobilisasi berkurang tidak adekuat Kurang pengetahuan
Pengetahuan
↓ ↓
Sirkulasi O2 terganggu Nafsu makan ↓
↓ ↓
Dekubitus Intake kurang Imunitas tubuh ↓ ↓
Ansietas
↓ ↓ ↓ Tidak mau menerima
Disfungsi Seksual Kerusakan intergitas Ketidakseimbangan
Nutrisi kurang dari Leukosit kurang keadaan tubuh
Kerusakan Integritas Kulit nutrisi kurang dari
kulit kebutuhan tubuh ↓ ↓
↓ kebutuhan tubuh Resiko Tidak patuh dalam
Resiko Infeksi
Kesepian pengobatan
↓ ↓ Albumin ↓ ↓
Kerusakan
↓ integritas
Stress Berlebihan Ketidakefektifan Pemeliharaan Kesehatan
jaringan
Kerusakan Integritas Jaringan

Invasi
mikroorganisme
(mudah masuk)

Infeksi

Hipertermi
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba
setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang
secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular. Kerusakan ini difasilitasi
oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Pada
sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic
mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut terekspos dalam darah dan
kondisi yang mendukung trombogenesis (terbentuknya thrombus). Mural thrombus
(thrombus yang menempel pada pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya
plak, dan terjadi oklusi pada arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk
pada tempat terjadinya ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet,
thromboxane A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet
lebih lanjut.
Selain pembentukan thromboxane A2 , aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Ketika
reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan membentuk
protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul multivalent yang
dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan, menghasilkan ikatan silang
patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami aktivasi karena paparan faktor
jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya pada area rupturnya plak. Aktivasi
faktor VII dan X menyebabkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali
mengalami oklusi karena thrombus yang terdiri dari agregat platelet dan benang-
benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama
inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan oklusi koroner
tergantung pada
a) daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b) apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c) durasi oklusi koroner
d) kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan yang
terkena
e) kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara tiba-
tiba
f) faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g) keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri koroner
epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.

E. Pemeriksaan Penunjang
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI dapat
dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan indeks
nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
a) Lead II, III, aVF : Infark inferior
b) Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
c) Lead V2-V4 : Infark anterior
d) Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
e) Lead I, aVL : Infark high lateral
f) Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
g) Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
h) Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
2. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah
perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium
dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
a) cTnT dan cTnI
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam otot
skeletal. Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative assay
untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat spesifik. Karena
cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah individu normal tetapi
meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih tinggi dari nilai normal,
pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai pemeriksaan diagnostic.
Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat selama 7-10 hari setelah STEMI.
b) CKMB
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya
kembali normal setelah 48-72 jam. Pengukuran penurunan total CK pada STEMI
memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin meningkat pada
penyakit otot skeletal, termasuk infark intramuscular. Pengukuran isoenzim MB
dari CK dinilai lebih spesifik untuk STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat
dalam jumlah yang signifikan pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada
miokarditis, pembedahan kardiak mungkin didapatkan peningkatan kadar
isoenzim MB dalam serum.
3. Cardiac Imaging
a) echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat
dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan
echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika
tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka nada atau
tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat
digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus
mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel
kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri
menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga
dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi
pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler
echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi
mitral, dua komplikasi STEMI.
b) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution
cardiac MRI.
c) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai
12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat
dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama
dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu.

F. Penatalaksanaan
1. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar
tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal
(aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di
luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang
sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana
pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
 Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
 Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
 Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
2. Hospital
a) Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal
infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan
STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama.
Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk
untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi
tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini
bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler
paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat
berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan
secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien
harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
b) Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien
hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam
pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ±
300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori
total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi
rendah natrium.
c) Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri
seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien
mengalami konstipasi
3. Farmakoterapi
a) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat
diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus
dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien
yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan.
b) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek
vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi
dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
c) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit
yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
d) Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki
hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan
ukuran infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia.
e) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi
lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI)
yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat
melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).

G. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran,
dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan
ukuran dan lokasi infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark
yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul
lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang
ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan
perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis
metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi
miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di
rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda
adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran
melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang
sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah
yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan
diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi
kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya
terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam
atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde
dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan
aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena
pulmonalis.
8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi
peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic
dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan
jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini
akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks
jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap
sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi
kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan
thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
12. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium
dan menimbulkan reaksi peradangan.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
 Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama,
suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias dihubungi,
status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
 Status kesehatan saat ini
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
 Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
1) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang
dengan istirahat.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
3) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di
atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri
serta ketidakmampuan bahu dan tangan.
4) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan rentang
0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan.
Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5 skala (0-5).
5) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri oleh
infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya lebih
parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai infark
miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan pingsan.
 Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM,
dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien
pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang terjadi
di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang timbul.
 Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada
anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
 Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup menetap,
jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada istirahat/kerja.
 Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah TD, DM.
Tanda:
1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk/berdiri
2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.
4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5) Friksi; dicurigai perikarditis.
6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal
jantung/ventrikel.
8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
 Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,
marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang keluarga,
pekerjaan dan keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
 Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
 Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu hati/terbakar.
Tanda: penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan
perubahan berat badan
 Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri
 Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
 Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan dengan
aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
 Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial, dapat
menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti
epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher
 Kualitas nyeri ‘crushing’, menusuk, berat, menetap, tertekan, seperti
dapat dilihat.
 Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin pengalaman
nyeri paling buruk yang pernah dialami.
 Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan
DM, hipertensi dan lansia.
Tanda:
 Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
 Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
 Menarik diri, kehilangan kontak mata
 Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD,
pernapasan, warna kulit/kelembaban, kesadaran.
 Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk produktif/tidak
produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda: peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas
bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
 Interaksi social
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan
menarik diri dari keluarga
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi,
penyakit vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau

Pengkajian fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
 Tingkat kesadaran
 Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)
 Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak
mencukupinya oksigen ke dalam miokard
 Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
 Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan,
perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan
miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
 Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume
 Warna dan suhu kulit
 Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-
tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
 Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika
merupakan potensial komplikasi yang fatal
 Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya
tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria

Pemeriksaan Diagnostik
 EKG
 Echocardiogram
 Lab  CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi
arteri koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru
tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema
paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik,
otot infark, kerusakan struktural
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,
misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan
miokard, efek obat depresan jantung
6. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan kematian
7. Resiko ketidakpatuhan terhadap program perawatan diri yang berhubungan
dengan penolakan terhadap diagnosis miokard infark

C. RENCANA KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri
koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang
Kriteria hasil:
 Nyeri dada hilang/terkontrol
 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
 Klien tampak rileks,mudah
bergerak Intervensi:
1. Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi dan
faktor yang mempengaruhinya.
Rasional: Data tersebut membantu menentukan penyebab dan efek nyeri
dada serta merupakan garis dasar untuk membandingkan gejala pasca
terapi.
2. Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam kursi kardiak.
Rasional: Untuk mengurangi rasa tidak nyaman serta dispnea dan istirahat
fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung.
3. Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina
Rasional: Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola sebelumnya,
sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti meluasnya infark, emboli paru,
atau perikarditis
4. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
Rasional : Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga mengurangi
kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut
5. Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan tindakan nyaman
Rasional: Menurunkan rangsang eksternal
6. Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan,perilaku distraksi,
visualisasi, bimbingan imajinasi
Rasional: Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri
7. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik
Rasional: Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai akibat
pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat meningkatkan kerusakan
miokardia pada adanya kegagalan ventrikel
8. Kolaborasi dengan tim medis pemberian:
Antiangina (NTG)  Rasional: Untuk mengontrol nyeri dengan efek
vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi
miokardia
Penyekat β (atenolol)  Rasional: Untuk mengontrol nyeri melalui efek
hambatan rangsang simpatis, sehingga menurunkan fungsi jantung, TD
sistolik dan kebutuhan oksigen miokard
Preparat analgesik (Morfin Sulfat)  Rasional: Untuk menurunkan nyeri
hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja miokard
Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik  Rasional: Untuk
memulihkan otot jantung dan untuk memastikan peredaan maksimum nyeri
(inhalasi oksigen menurunkan nyeri yang berkaitan dengan rendahnya tingkat
oksigen yang bersirkulasi).

Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,


konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot
infark, kerusakan struktural
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam curah jantung
adekuat
Kriteria Hasil:
 TD, curah jantung dalam batas normal
 Haluaran urine adekuat
 Tidak ada disritmia
 Penurunan dispnea, angina
 Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Intervensi :
1. Pantau tanda vital: frekuensi jantung, TD,nadi
Rasional: Untuk mengetahui adanya perubahan TD,nadi secara dini
sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena TD dapat
meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun bila curah jantung
dipengaruhi.
2. Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4
Rasional: Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal mitral untuk
S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia, kekakuan ventrikel, dan
hipertensi pulmonal /sistemik
3. Auskultasi bunyi napas
Rasional: Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan fungsi
miokard
4. Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi asupan
kafein,kopi, coklat, cola
Rasional: Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardi,peningkatan
frekuensi jantung
Kolaborasi:
1. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional: Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia dan
disritmia lanjut
2. Pertahankan cairan IV
Rasional: Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada
disritmia/nyeri dada
3. Kaji ulang seri EKG
Rasional: Memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan/perbaikan
infark, fungsi ventrikel, keseimbangan elektrolit, dan efek terapi obat
4. Pantau laboratorium (enzim jantung, GDA, elektrolit)
Rasional: Untuk mengetahui perbaikan/perluasan infark adanya hipoksia,
hipokalemia/hiperkalsemia
5. Berikan obat antidisritmia

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,


misalnya vasikonstriksi, hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi
jaringan efektif
Kirteria Hasil:
 Kulit hangat dan kering
 Nadi perifer kuat
 Tanda vital dalam batas normal
 Kesadran compos mentis
 Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran
 Tidak edema dan nyeri
Intervensi:
1. Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran secara tiba-tiba
Rasional: Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung
2. Observasi adanya pucat, sianosis, kulit dingin/lembab da raba kekuatan nadi
perifer
Rasional: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung
3. Observasi adanya tanda Homan, eritema, edema
Rasional: Untuk mengetahui adanya trombosis vena dalam
4. Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif
Rasional: Menurunkan stasis vena, meningkatkan aliran balik vena dan
menurunkan risiko tromboflebitis
5. Pantau pemasukan dan perubahan keluaran urine
Rasional: Penurunan/mual terus menerus dapat megakibatkan penurunan
volume sirkulasi, yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ
6. Pantau laboratorium, kreatinin, elektrolit
Rasional: Indikator dari perfusi atau fungsi organ
7. Beri obat sesuai indikasi
 Heparin: Untuk menurunkan resiko tromboflebitis atau pembentukan
trombus mural
 Cimetidine untuk menetralkan asam lambung dan iritasi gaster

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard,
efek obat depresan jantung
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
menunjukkan peningkatan aktivitas secara bertahap
Kriteria Hasil:
 Klien dapat melakukan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
dengan frekuensi jantung/irama jantung dan TD dalam batas normal
 Kulit teraba hangat, merah muda dan
kering Intervensi :
1. Pantau frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama, dan
sesudah beraktivitas sesuai indikasi
Rasional: Untuk menentukan tingkat aktivitas klien yang tidak
memberatkan curah jantung
2. Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas pada dasar nyeri/respon hemodinamik,
berikan aktivitas senggang yang tidak berat
Rasional: Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan risiko
komplikasi
3. Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi
Rasional: Dengan mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava
sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi dan
peningkatan TD
4. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat akyivitas
Rasional: Aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan
regangan dan mencegah aktivitas berlebihan
5. Observasi gejala yang menunjukkan tidak toleran terhadap aktivitas
Rasional: Palpitasi, nadi tidak teratur, adanya nyeri dada atau dispnea dapat
mengindikasikan kebutuhan perubahan program oalahraga atau diet

Ansietas yang berhubungan dengan ketakutan akan kematian


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kecemasan klien hilang
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan pasien dan keluarganya serta mekanisme koping
Rasional: Data tersebut memberikan informasi mengenai perasaan sehat
secara umum dan psikologis sehingga gejala pasca terapi dapat
dibandingkan.
2. Kaji kebutuhan bimbingan spiritual
Rasional: Jika pasien memerlukan dukungan keagamaan, konseling agama
akan membantu mengurangi kecemasan dan rasa takut.
3. Biarkan pasien dan keluarganya mengekspresikan kecemasan dan
ketakutannya
Rasional: Kecemasan yang tidak dapat dihilangkan (respons stress)
meningkatkan konsumsi oksigen jantung.
4. Manfaatkan waktu kunjungan yang fleksibel, yang memungkinkan kehadiran
keluarga untuk membantu mengurangi kecemasan pasien
Rasional: Kehadiran dukungan anggota keluarga dapat mengurangi
kecemasan pasien maupun keluarga.
5. Dukung partisipasi aktif dalam program rehabilitasi jantung
Rasional: Rehabilitasi jantung yang diresepkan dapat membantu
menghilangkan ketakutan akan kematian, dapat meningkatkan perasaan
sehat.
Daftar Pustaka

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s


Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.

Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi
8. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai