Anda di halaman 1dari 24

Pengertian Politik

Secara etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani, yakni Politeia.
Politeia berasal dari akar kata polis dan teia. Polis mengandung arti kesatuan
masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara. Sedangkan teia mengandung arti urusan.
Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan
umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip,
keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita
kehendaki. Politics dan policy memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Politics
memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan
pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya1.
Dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan
alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy, yang
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah penggunaan
pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat lebih menjamin terlaksananya suatu usaha,
cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Pengambil kebijaksanaan biasanya dilakukan oleh
seorang pemimpin2.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara
melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public
policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada.
Perlu diingat bahwa penentuan kebijakan umum, pengaturan, pembagian, maupun alokasi
sumber-sumber yang ada memerlukan kekuasaan dan wewenang (authority). Kekuasaan dan
wewenang ini memainkan peran yang sangat penting dalam pembinaan kerjasama dan
penyelesaian konflik yang mungkin muncul dalam proses pencapaian tujuan3.
Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making process) kebijakan umum
(public policy), dan distribusi atau alokasi sumber daya (distribution of value or resources)4.
1. Pengertian Strategi

1
Sumarsono, et.al., Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001,
hal. 137
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid., lihat Pula dalam Mirriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka
Utama, 1990; dan Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Grasindo, 1992.

1
Strategi berasal dari bahasa Yunani, yakni strategia, yang artinya adalah seni seorang
panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan (the art of general). Di era modern
sekarang ini, penggunaan kata strategi tidak lagi terbatas pada konsep atau seni seorang
panglima dalam peperangan, tetapi sudah digunakan secara luas, termasuk dalam ilmu
ekonomi, ilmu teknik, olahraga, dan ilmu lainnya. Dalam pengertian umum, strategi adalah
cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencapaian tujuan. Dengan kata lain, strategi pada
dasarnya merupakan seni dan ilmu menggunakan dan mengembangkan kekuatan (ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya5.
2. Pengertian Nasional
Nasional berasal dari bahasa Inggris, yakni “national” yang akar katanya adalah
“nation”, yang dalam bahasa Indonesia berarti bangsa. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan “nation” adalah sesuatu yang berhubungan atau berkaitan dengan skala nasional yang
merujuk pada bangsa dan negara.6
3. Politik dan Strategi Nasional
Politik nasional adalah asas, haluan, usaha, serta kebijaksanaan negara tentang
pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan
kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Strategi nasional disusun untuk pelaksanaan
politik nasional, misalnya strategi jangka jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang. Dengan demikian, strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam
arti mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.7

A. Dasar Penyusunan Politik dan Strategi Nasional


Dalam penyusunan politik dan strategi nasional, tentunya harus
berlandaskan pada dasar pemikiran yang absah, legal, dan jelas sehingga
akan mencerminkan kepentingan nasional seluruh komponen bangsa
Indonesia. Berikut ini adalah dasar pemikiran penyusunan politik dan
strategi nasional.

5
Ibid.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1990.
7
Sumarsono, et.al., Op. Cit.

2
1. Proses penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen
nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945,
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Landasan pemikiran
dalam sistem manajemen nasional ini sangat penting sebagai
kerangka acuan dalam penyusunan politk dan strategi nasional,
karena didalamnya terkandung dasar negara, cita-cita nasional dan
konsep strategis bangsa Indonesia8.
2. Proses penyusunan politik dan strategi nasional juga harus
mengacu pada nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia 1945 sehingga akan menjadi pedoman, petunjuk, dan
koridor bagi terselenggaranya semua program pembangunan
nasional.
3. Proses penyusunan politik dan strategi nasional juga harus
mencerminkan jati diri, budaya, adat istiadat, bahasa, dan
lingkungan masyarakat Indonesia, yang beradab dan adi luhung.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Politik dan Strategi


Nasional
Proses penyusunan politik dan strategi nasional selalu
memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, baik dalam skala
global, regional, nasional maupun lokal, sebagaimana diuraikan sebagai
berikut :
1. Perkembangan Global
Dalam penyusunan politik dan strategi nasional tentunya
pemerintah harus memperhatikan aspek global yang sedang
berkembang, khususnya yang berhubungan dengan isu demokrasi,
HAM, lingkungan hidup, terorisme, globalisasi, pasar bebas dan
perdagangan bebas. Para pengambil kebijakan dalam menyusun
politik dan strategi nasional pasti akan mempertimbangkan

8
Ibid.

3
perkembangan lingkungan strategis pada skala global, khususnya
yang terkait dengan hubungan luar negeri, politik luar negeri dan
perdagangan internasional. Berbagai perjanjian dan konvensi
internasional yang dihasilkan dalam kerangka multilateral,
trilateral maupun bilateral menjadi bahan pertimbangan dalam
penyusunan politik dan strategi nasional.
2. Perkembangan Regional
Dalam penyusunan politik dan strategi nasional tentunya
hal-hal yang berhubungan perkembangan lingkungan strategis
dalam skala regional, seperti kejahatan transnasional, perbatasan,
keamanan regional, dan organisasi regional dalam kerangka
ASEAN dan APEC tentunya menjadi bahan pertimbangan yang
sangat penting. Politik dan strategi nasional yang disusun tentunya
harus mampu merespon berbagai tantangan regional yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia. Sebagai komunitas regional Asia Tenggara,
bangsa Indonesia menjadi negara yang sangat penting bagi
terwujudnya kawasan regional Asia Tenggara yang aman, damai,
sejahtera, dan dinamis, sehingga politik dan strategi nasional yang
disusun harus mampu mengadaptasi perkembangan regional.

3. Perkembangan Nasional
Dalam penyusunan politik dan strategi nasional,
perkembangan skala nasional yang meliputi asta gatra (tri gatra dan
panca gatra) menjadi masukan yang sangat penting. Perubahan
politik dan strategi nasional pada tataran empiris yang mengalami
perubahan dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi
merupakan bukti nyata betapa perkembangan lingkungan strategis
di tingkat nasional sangat berpengaruh. Arus reformasi yang
menggelora pada akhir masa Orde Baru telah mengubah proses
politik dan strategi nasional sekarang ini. Perkembangan geografi,
demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan, yang terjadi di Indonesia
sebenarnya termanifestasikan dalam politik dan strategi nasional.

4
Politik dan strategi nasional yang disusun harus mampu menjadi
jawaban atas permasalahan yang terjadi pada skala nasional.
4. Perkembangan Lokal
Dalam penyusun politik dan strategi nasional, aspek lokal,
seperti berkembangnya otonomi daerah, desentralisasi, dan nilai-
nilai kearifan lokal juga menjadi bahan pertimbangan. Politik dan
strategi nasional harus mampu mengadaptasi berbagai gejala,
fenomena, dan peristiwa yang ada di tingkat lokal sehingga dapat
menjadi pedoman atau petunjuk dalam proses penanganannya.
Proses penyusunan politik dan strategi nasional memperhatikan jati
diri masyarakat Indonesia di tingkat lokal dengan mengadopsi
mekanisme musyawarah mufakat, semangat toleransi, gotong
royong, dan nilai-nilai kemasyarakatan lainnya. Penyusunan politik
dan strategi nasional merupakan cerminan dinamika masyarakat di
tingkat lokal sehingga akan mampu diimplementasikan dalam aras
kemasyarakatan, khususnya di tingkat propinsi, kabupaten, kota,
kecamatan, dan desa.

C. Proses Penyusunan Politik dan Strategi Nasional


Sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang ini, Pemerintah
telah menyusun politik dan strategi nasional, baik pada masa Orde Lama,
Orde Baru, Transisi Reformasi, dan Orde Reformasi, yang akan diuraikan
sebagai berikut :
1. Orde Lama
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era
Orde Lama atau sering dikenal pula dengan sebutan “Demokrasi
Terpimpin” ini diliputi situasi, kondisi dan keadaan masyarakat
dan negara yang serba tidak memuaskan. Proses penyusunan
politik dan strategi nasional dimulai dari pembentukan Dewan
Perancang Nasional (Depernas) melalui UU No. 8 Tahun 1958.
Tugas dari Depernas ialah untuk mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Pembangunan Nasional yang Berencana. Setelah

5
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945, Depernas disempurnakan dengan
Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1959. Dalam jangka waktu 1
tahun, Depernas berhasil menyusun Naskah Rancangan Undang-
Undang Pembangunan Naisonal Semesta Berencana Delapan
Tahun (1961 – 1969). Pola Pembangunan Nasional Semesta itu
disampaikan oleh Depernas kepada Presiden pada tanggal 13
Agustus 1960. Kemudian rancangan itu diteruskan kepada MPRS
untuk mendapat pengesahan9.
Dalam sidang yang pertama, MPRS menetapkan
Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional
Semesta Berencana Delapan Tahun 1961 – 1969 itu sebagai Garis-
Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahapan Pertama 1961 – 1969. Ketetapan MPRS
No.II/MPRS/1960 itu dikenal dengan nama Haluan Pembangunan
Negara Republik Indonesia. Pola Pembangunan itu merupakan
pimpinan bagi setiap usaha perekonomian dan merupakan dasar
segala pembangunan di sleuruh pelosok tanah air pada waktu itu10.
Politik dan strategi nasional pada masa Orde Lama
ditujukan untuk merancang pola pembangunan masyarakat adil dan
makmur atau masyarakat sosialisme Indonesia. Adapun tujuan itu
harus dicapai dengan pembangunan nasional, semesta, dan
berencana. Nasional : Karena pola pembangunan itu harus
menggambarkan keinginan seluruh daerah dan seluruh lapisan dan
golongan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semesta
: Karena pola tersebut harus meliputi seluruh lapangan hidup
bangsa dan negara. Berencana : Karena tidak mungkin tercapai
pelaksanaan masyarakat adil dan makmur sekaligus, akan tetapi
dilaksanakan setapak demi setapak, tahap demi tahap, tingkat demi
tingkat, daerah demi daerah, lapangan demi lapangan, dengan

9
C.S.T. Kansil, Modul Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Pradnya Paramita, 2006, hal.
158
10
Ibid., hal. 159

6
perkataan lain tidak ada sekaligus, tetapi secara berencana namun
cepat dan deras sesuai dengan irama gelombang Revolusi
Indonesia11.
Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana ini
merupakan Tripola karena terdiri dari 3 pola, yaitu : (1) Pola
Proyek; (2) Pola Penjelasan; dan (3) Pola Pembiayaan. Dalam
pekerjannya, Depernas selalu berpedoman pada beberapa naskah
nasional, yaitu : (1) UUD 1945; (2) Amanat Pembangunan
Presiden 28 Agustus 1959; (3) Penegasan Amanat Pembangunan
Presiden 9 Januari 1960. Dalam ketiga naskah itu telah ditentukan
bahwa tujuan seluruh pembangunan adalah untuk mewujudkan
amanat penderitaan rakyat, yaitu menciptakan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur menurut Pancasila12.
Namun demikian, Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana yang ditetapkan oleh Pemerintah ketika itu tidak
berjalan lama karena pada tahun 1965 – 1966 terjadi konflik politik
dan ketidakstabilan politik yang menyebabkan tumbangnya
pemerintahan Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno digantikan
dengan Pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.
2. Orde Baru
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era
Orde Baru atau sering dikenal pula dengan sebutan “Demokrasi
Pancasila” didasarkan pada UUD 1945, khususnya pasal 3
(sebelum diamandemen), dimana MPR menetapkan Undang-
Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Wujud nyata politik dan strategi nasional saat itu adalah GBHN
yang ditetapkan oleh MPR melalui TAP MPR kemudian
diserahkan kepada Presiden untuk dijadikan sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
GBHN merupakan program pembangunan nasional di
segala bidang yang berlangsung terus menerus dalam rangka
11
Ibid., hal. 159 - 160
12
Ibid., hal. 160

7
mencapai tujuan nasional dan mewujudkan cita-cita nasional.
GBHN memberikan kejelasan arah bagi perjuangan negara dan
rakyat Indonesia yang sedang membangun agar mewujudkan
keadaan dan mampu memberikan gambaran masa depan yang
diinginkan. GBHN merupakan rencana pembangunan lima
tahunan13.
Sebagai produk MPR, yang merupakan lembaga tertinggi
negara, pemegang kedaulatan rakyat, pemegang kekuasan negara
yang tertinggi, GBHN mempunyai kedudukan yang amat penting
dalam menjunjung tinggi serta berperan aktif dalam
melaksanakannya sesuai dengan fungsi, bidang tugas, dan
kemampuannya masing-masing. GBHN juga berfungsi sebagai
tolok ukur bagi penyelenggaraan negara14.
Dalam melaksanakan GBHN, presiden menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Repelita disusun oleh
Presiden dengan bantuan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS). Pada masa Orde Baru telah disusun 7
(tujuh) Repelita, yang dasar hukumnya akan diuraikan sebagai
berikut :15
a. Keputusan Presiden No. 319 Tahun 1968, dasar hukum
Repelita I (1969 – 1973).
b. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN Tahun
1973 – 1978, dasar hukum Repelita II (1974/1975 –
1978/1979).
c. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN Tahun
1978 – 1983, dasar hukum Repelita III (1979/1980 –
1983/1984).

13
Minto Rahayu, Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa,
Jakarta, Grasindo, 2007, hal. 101
14
C.S.T. Kansil, Op. Cit., hal. 95
15
Ibid., hal. 178

8
d. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN Tahun
1983 – 1988, dasar hukum Repelita IV (1984/1985 –
1988/1989).
e. Ketetapan MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN Tahun
1988 – 1993, dasar hukum Repelita V (1989/1990 –
1993/1994).
f. Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN Tahun
1993 – 1998, dasar hukum Repelita VI (1994/1995 –
1998/1999).
g. Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN Tahun
1998 – 2003, dasar hukum Repelita VII (1998/1999 –
2003/2004).
Berdasarkan rancangan pembangunan nasional yang
disusun oleh Pemerintah, Repelita I sampai dengan Repelita V
disebut dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang (PJPT) Tahap I
. Sedangkan Repelita VI dan VII merupakan bagian dari Pola
Pembangunan Jangka Panjang (PJPT) Tahap II. Sebagaimana
diketahui bahwa pemerintah menetapkan PJPT berjangka waktu 25
tahunan, sehingga logikanya ketika pemerintah telah melaksanakan
5 (lima) kali Repelita, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah telah
melaksanakan PJPT I.
Namun demikian, karena terjadi krisis ekonomi yang
mengarah pada krisis politik, krisis kepercayaan dan krisis
multidimensional pada tahun 1997 – 1998, maka Pemerintahan
Presiden Soeharto jatuh pada tanggal 21 Mei 1998 oleh gelombang
reformasi mahasiswa bersama rakyat yang tidak puas dengan
program pembangunan nasional yang dijalankan ketika itu.
Akhirnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN Tahun 1998
– 2003 dicabut oleh Sidang MPR melalui TAP MPR No.
IX/MPR/1998.
3. Transisi Reformasi

9
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era
transisi reformasi diawali dengan diterbitkannya beberapa
ketetapan MPR sebagai respon terhadap berbagai tuntutan
reformasi yang sangat deras ketika itu. Ketetapan MPR tersebut,
antara lain :

a. TAP MPR No. X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok


Reformasi Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.

b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan


Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

c. TAP MPR No. XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi


Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

d. TAP MPR No. XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan


Otonomi Daerah, pengaturan & Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan
Pusa dan Daerah Dalam Kerangka NKRI.

e. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi


Manusia.

Berkaitan dengan politik dan strategi nasional, MPR hasil


Pemilu 1999 pada Rapat Paripurna ke-12 Sidang Umum MPR pada
tanggal 19 Oktober 1999 menetapkan TAP MPR No.
IV/MPR/1999 Tentang GBHN Tahun 1999 – 2004. GBHN 1999-
2004 tersebut memuat arah kebijakan penyelenggaraan negara
untuk menjadi pedoman bagi penyelenggara negara, termasuk
lembaga tinggi negara, dan seluruh rakyat Indonesia, dalam
melaksanakan penyelenggaraan negara dan melakukan langkah-
langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan
pembangunan, dalam kurun waktu tersebut. Sesuai dengan amanat
GBHN 1999-2004, arah kebijakan penyelenggaraan negara

10
tersebut dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional lima
tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya, Propenas diperinci dalam
Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan oleh
Presiden bersama DPR.
Propenas, sebagai penjabaran dari GBHN 1999-2004,
merupakan rencana pembangunan lima tahunan. Kerangka waktu
Propenas adalah tahun 2000-2004. Propenas adalah rencana
pembangunan yang berskala nasional serta merupakan konsensus
dan komitmen bersama masyarakat Indonesia mengenai
pencapaian visi dan misi bangsa. Fungsi Propenas adalah untuk
menyatukan pandangan dan derap langkah seluruh lapisan
masyarakat dalam melaksanakan prioritas pembangunan selama
lima tahun ke depan.
Perumusan Propenas dilakukan secara transparan dengan
mengikutsertakan berbagai pihak baik itu kalangan pemerintah,
dunia usaha, dunia pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), maupun para pakar, baik di pusat maupun di daerah.
Berbagai upaya mencari masukan dilakukan dengan tujuan agar
semua pihak merasa ikut memiliki dan berpartisipasi dalam
pelaksanaannya. Propenas bukanlah rencana pembangunan
pemerintah pusat saja, melainkan merupakan rencana
pembangunan seluruh komponen bangsa. Propenas merupakan
payung bagi seluruh lembaga tinggi negara dalam melaksanakan
tugas pembangunan. Proses penyusunan Propenas yang dilakukan
secara transparan akan meningkatkan rasa tanggung jawab dan
mendorong pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik.
Tiap-tiap lembaga tinggi negara, departemen dan lembaga
pemerintah non departemen menyusun Rencana Strategis
(Renstra), sedangkan pemerintah daerah menyusun Program

11
Pembangunan Daerah (Propeda). Renstra dan Propeda harus
mengacu pada Propenas. Untuk Propeda, dimungkinkan adanya
penekanan prioritas yang berbeda-beda dalam menyusun program-
program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah
masing-masing.
Propenas mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang lalu.
Propenas berupaya untuk memberikan ruang gerak yang lebih
besar bagi penyelenggara pembangunan di pusat
(Departemen/LPND) dan di daerah (Pemerintah Daerah) untuk
membuat rencana pembangunannya masing - masing. Hal ini
sejalan dengan semangat desentralisasi segala aspek kehidupan
bernegara, termasuk dalam hal pembangunan nasional.
4. Orde Reformasi
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era
reformasi diawali dengan diterbitkannya UU No. 25 Tahun 2004
Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan bahwa
yang dimaksud Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah
satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh
unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan
Daerah.
Dalam UU SPPN dinyatakan secara jelas bahwa terdapat
tiga dokumen perencanaan pembangunan nasional, yakni Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang berlaku 20
tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang berlaku 5 tahunan, dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) yang berlaku tahunan. Sedangkan untuk perencanaan
pembangunan daerah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka

12
Panjang Daerah (RPJPD) yang berlaku 20 tahunan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berlaku 5
tahunan, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang
berlaku tahunan.
Sistem perencanaan pembangunan nasional mencakup lima
pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu: politik;
teknokratik; partisipatif; atas-bawah (top-down); dan bawah-atas
(bottom-up). Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan
Presiden/Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena
rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-
program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon
Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan
adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang
ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam
rencana pembangunan jangka menengah. Perencanaan dengan
pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metoda
dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang
secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan
pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan.
Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan
menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah
dan, bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas
diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan
untuk: mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik
antardaerah, antar ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah
maupun antara Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan
konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan

13
pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien,
efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perencanaan Pembangunan
Nasional menghasilkan : rencana pembangunan jangka panjang;
rencana pembangunan jangka menengah; dan rencana
pernbangunan tahunan.
Dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah,
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) adalah
forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan
Nasional dan rencana pembangunan Daerah. Penyelenggaraan
Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP dan RKPD selain
diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan
dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi
profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemuka
adat dan pemuka agama, serta kalangan dunia usaha.
Ruang lingkup perencanaan pembangunan nasional dan
daerah adalah sebagai berikut :

NASIONAL DAERAH
Rencana Pembangunan Jangka Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Panjang Daerah
Rencana Pembangunan Jangka Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Menengah Daerah
Rencana Strategis Kementerian / Rencana Strategis Satuan Kerja
Lembaga Perangkat Daerah
Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah
Daerah
Rencana Kerja Kementerian / Rencana Kerja Satuan Kerja
Lembaga Perangkat Daerah

Sampai dengan saat ini, pemerintah dan DPR telah


menerbitkan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.
Dalam UU RPJPN tersebut ditegaskan kewajiban pemerintah
untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional, yaitu RPJM Nasional I Tahun 2005–2009, RPJM

14
Nasional II Tahun 2010–2014, RPJM Nasional III Tahun 2015–
2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020–2024. RPJMN
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ketika
melaksanakan kampanye pada saat Pemilu.
Berkaitan dengan RPJMN, pemerintahan SBY telah
menetapkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2004 – 2009, yang merupakan penjabaran visi, misi, dan
program Presiden hasil Pemilu yang dilaksanakan secara langsung
tahun 2004. Presiden SBY juga telah menetapkan Peraturan
Presiden No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014, yang
merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden hasil
Pemilu yang dilaksanakan secara langsung tahun 2009.

D. Implementasi Politik dan Strategi Nasional


1. Orde Lama
Dalam era dua puluh tahun pertama setelah kemerdekaan
(1945–1965), bangsa Indonesia mengalami berbagai ujian yang
sangat berat. Indonesia telah berhasil mempertahankan
kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara. Persatuan dan
kesatuan bangsa berhasil pula dipertahankan dengan meredam
berbagai benih pertikaian, baik pertikaian bersenjata maupun
pertikaian politik diantara sesama komponen bangsa. Pada masa itu
para pemimpin bangsa berhasil menyusun rencana pembangunan
nasional. Namun, suasana yang penuh ketegangan dan pertikaian
telah menyebabkan rencana-rencana tersebut tidak dapat terlaksana
dengan baik.
Politik dan strategi nasional yang tertuang dalam Garis-
Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahapan Pertama 1961 – 1969 sangat didominasi oleh kebijakan
Presiden Soekarno yang anti terhadap Blok Barat dan cenderung

15
ingin bersahabat dengan negara-negara Blok Timur. Pada saat itu,
Presiden Soekarno menetapkan “Politik sebagai panglima” dan
“Politik Mercusuar”. Pembangunan yang dijalankan lebih
diarahkan pada pembangunan politik sehingga sebagian besar
program dan kegiatan pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan
dengan baik yang pada akhirnya menyebabkan krisis ekonomi
yang menyebabkan ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan
Presiden Soekarno.
Akhirnya, melalui proses yang panjang dengan penuh
kemelut politik yang menimbulkan turbulensi politik yang
menegangkan, Presiden Soekarno jatuh dan pemerintahan Orde
Lama digantikan dengan pemerintahan Soeharto yang
menyatakana diri sebagai pemerintahan Orde Baru dengan
komitmen akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen.
2. Orde Baru
Pada kurun waktu 1969–1997, bangsa Indonesia berhasil
menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis
melalui tahapan lima tahunan. Pembangunan tersebut merupakan
penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara untuk
mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu
telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan
berkelanjutan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat,
seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial.
Proses pembangunan pada kurun waktu tersebut sangat
berorientasi pada output dan hasil akhir. Sementara itu, proses dan
terutama kualitas institusi yang mendukung dan melaksanakan
tidak dikembangkan dan bahkan ditekan secara politis sehingga
menjadi rentan terhadap penyalahgunaan dan tidak mampu

16
menjalankan fungsinya secara profesional. Ketertinggalan
pembangunan dalam sistem dan kelembagaan politik, hukum, dan
sosial menyebabkan hasil pembangunan menjadi timpang dari sisi
keadilan dan dengan sendirinya mengancam keberlanjutan proses
pembangunan itu sendiri.
Menjelang timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1997,
pembangunan ekonomi sesungguhnya sedang dalam optimisme
yang tinggi sehubungan dengan keberhasilan pencapaian
pembangunan jangka panjang pertama. Namun, berbagai upaya
perwujudan sasaran pembangunan praktis terhenti akibat krisis
yang melumpuhkan perekonomian nasional. Rapuhnya
perekonomian di negara-negara kawasan Asia Tenggara
menunjukkan bahwa pondasi ekonomi negara-negara di kawasan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia belum kuat menahan gejolak
eksternal. Pertumbuhan cukup tinggi yang berhasil dipertahankan
cukup lama lebih banyak didorong oleh peningkatan akumulasi
modal, tenaga kerja dan pengurasan sumber daya alam daripada
peningkatan dalam produktivitas perekonomian secara
berkelanjutan. Dari krisis tersebut terangkat kelemahan mendasar
bahwa kemajuan selama ini belum diikuti oleh peningkatan
efisiensi dan perbaikan tata kelola kelembagaan ekonomi yang
akhirnya meruntuhkan kepercayaan para pelaku, baik di dalam
maupun di luar negeri. Oleh karena itu, di samping rentan terhadap
gangguan eksternal, struktur perekonomian seperti itu akan sulit
berkembang jika dihadapkan pada kondisi persaingan yang lebih
ketat, baik pada pemasaran hasil produksi maupun pada
peningkatan investasi, dalam era perekonomian dunia yang makin
terbuka.
Krisis tahun 1997 telah meruntuhkan pondasi
perekonomian nasional. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun
nilai tukar merosot drastis mencapai sekitar Rp15.000,00 per US $
1. Implikasinya, utang pemerintah dan swasta membengkak dan

17
mengakibatkan permintaan agregat domestik terus menurun sampai
dengan pertengahan 1998. Akibatnya, PDB mengalami kontraksi
sekitar 13 persen pada tahun tersebut. Banyaknya perusahaan yang
bangkrut mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat tajam
hampir tiga kali lipat, yaitu sekitar 14,1 juta orang; jumlah
masyarakat miskin meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 28
juta orang pada tahun 1996 menjadi sekitar 53 juta orang pada
tahun 1998.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis
multidimensi, yang selanjutnya berdampak pada perubahan
(reformasi) di seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Reformasi tersebut memberikan semangat politik dan
cara pandang baru sebagaimana tercermin pada perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan substansial dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkait dengan perencanaan
pembangunan nasional adalah : (1) Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) tidak diamanatkan lagi untuk menetapkan Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN); (2) Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat;
dan (3) desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.
3. Transisi Reformasi
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga
perencanaan, Bappenas telah menyelesaikan penyusunan Program
Pembangunan Nasional lima tahun (Propenas). Penyusunan
Propenas merupakan tugas Presiden, sebagai mandataris MPR,
untuk menjabarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1999, sebagaimana penyusunan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) yang menjabarkan GBHN selama periode 1971
hingga 1998. Propenas tentunya memiliki warna yang berbeda
dengan Repelita karena disusun dalam suasana dan semangat yang
berlainan.

18
Penyusunan kebijakan dan program dalam Propenas bertitik
awal dari tujuan pembangunan nasional, kondisi umum, visi dan
misi pembangunan nasional seperti yang diamanatkan oleh GBHN
1999-2004. Sebagai penjabaran dari GBHN tentunya Propenas
tidak bisa lepas dari maksud penetapan GBHN oleh MPR, yaitu
memberikan arah penyelenggaraan negara dengan tujuan
mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan sosial,
melindungi hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum
dalam tatanan masyarakat dan bangsa yang beradab, berakhlak
mulia, mandiri, bebas, maju, dan sejahtera untuk kurun waktu lima
tahun ke depan. Selain itu muatan kebijakan dan program dalam
Propenas disusun lebih rinci dan terukur daripada GBHN.
Propenas adalah merupakan rencana program
pembangunan nasional untuk jangka waktu 5 (lima) tahunan.
Selama 32 tahun terakhir, rencana program pembangunan nasional
lima tahunan negara kita disusun dalam apa yang disebut dengan
Repelita. Paradigma yang digunakan dalam perumusan Repelita
pada waktu itu sangat mendalam (komprehensif) yaitu
menguraikan secara panjang lebar dan terinci rencana
pembangunan menurut sektor dan daerah. Sedangkan dalam
Propenas digunakan paradigma yang menekankan pada skala
prioritas dalam perumusan masalah dan penyelesaiannya (strategic
choices). Dalam Propenas agenda-agenda kebijakan yang penting,
mendesak, dan mendasar yang menjadi prioritas bagi bangsa pada
masa lima tahun ke depan lebih diutamakan dan ditonjolkan.
Pendekatan ini sejalan dengan keterbatasan pembiayaan dalam
masa krisis ini. Propenas kemudian dirinci ke dalam Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan berbagai program penanganan krisis yang
diselenggarakan selama periode transisi reformasi, kondisi mulai
membaik sejak tahun 2000. Perbaikan kondisi tersebut ditunjukkan

19
dengan beberapa indikator sebagai berikut. Defisit anggaran negara
turun dari 3,9 persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,1
persen PDB pada tahun 2004, stok utang Pemerintah/PDB dapat
ditekan di bawah 60 persen, dan cadangan devisa terus meningkat
dalam empat tahun terakhir menjadi USD 35,4 miliar pada tahun
2004. Nilai tukar dapat distabilkan pada tingkat sekitar Rp
9.000,00 per US $ 1 dan inflasi ditekan di angka sekitar 6,0 persen
pada tahun 2004. Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi tersebut
memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara
bertahap menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti penurunan suku bunga
simpanan perbankan secara signifikan, tetapi belum sepenuhnya
diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun
belum optimal, penurunan suku bunga itu telah dimanfaatkan oleh
perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat
struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit,
terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil,
kondisi yang stabil tersebut memberikan kesempatan kepada dunia
usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal.
Berbagai kinerja di atas telah berhasil memperbaiki
stabilitas ekonomi makro. Walaupun demikian, kinerja tersebut
belum mampu memulihkan pertumbuhan ekonomi ke tingkat
seperti sebelum krisis. Hal tersebut karena motor pertumbuhan
masih mengandalkan konsumsi. Sektor produksi belum
berkembang karena sejumlah permasalahan berkenaan dengan
tidak kondusifnya lingkungan usaha, yang menyurutkan gairah
investasi, di antaranya praktik ekonomi biaya tinggi, termasuk
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta berbagai aturan
yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu,
sulitnya pemulihan sektor investasi dan ekspor juga disebabkan
oleh lemahnya daya saing nasional, terutama dengan makin
ketatnya persaingan ekonomi antar negara. Lemahnya daya saing

20
tersebut, juga diakibatkan oleh rendahnya produktivitas SDM serta
rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi di dalam proses
produksi. Permasalahan lain yang juga punya pengaruh kuat ialah
terbatasnya kapasitas infrastruktur di dalam mendukung
peningkatan efisiensi distribusi. Penyelesaian yang berkepanjangan
dari semua permasalahan sektor riil di atas akan mengganggu
kinerja kemajuan dan ketahanan perekonomian nasional, yang pada
gilirannya dapat mengurangi kemandirian bangsa.
Walaupun secara bertahap berkurang, jumlah penduduk
miskin masih cukup tinggi, baik di kawasan perdesaan maupun di
perkotaan, terutama pada sektor pertanian dan kelautan. Hingga
tahun 2004, angka kemiskinan masih sekitar 30 juta jiwa dan
jumlah pengangguran masih sekitar 10 juta jiwa. Oleh karena itu,
kemiskinan masih menjadi perhatian penting dalam pembangunan
20 tahun yang akan datang. Luasnya wilayah dan beragamnya
kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah
kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat
lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda.
Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, karena bukan hanya
menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena juga kerentanan
dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin.
Selain itu, kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam
pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang
atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara
bermartabat.
4. Orde Reformasi
Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya
lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan
datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi
calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan
visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye.
Keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan

21
pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya.
Desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi
mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi
antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya serta antara
pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional. Untuk itu,
seluruh komponen bangsa sepakat menetapkan sistem perencanaan
pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN)
yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 tahun),
jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan
mempertimbangkan perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan perencanaan
pembangunan jangka panjang untuk menjaga pembangunan yang
berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita
bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu (1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan (4) ikut menciptakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut
perlu ditetapkan visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang
Indonesia.
Berbagai pengalaman yang didapatkan selama lebih dari 60
tahun mengisi kemerdekaan merupakan modal yang berharga
dalam melangkah ke depan untuk menyelenggarakan
pembangunan nasional secara menyeluruh, bertahap, dan
berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

22
Ketika memulai awal pemerintahan Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah
mengemukakan permasalahan mendasar yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia, yaitu tingginya angka kemiskinan, tingginya tingkat
pengangguran, dan besarnya utang pemerintah. Presiden SBY juga
berulang kali mengemukakan arah pembangunan yang hendak
diwujudkan melalui apa yang disebutnya sebagai “Triple Track
Strategy”, yaitu: pro-growth, pro-job, dan pro-poor.
Dalam mewujudkan sasaran tersebut, SBY menawarkan
tiga solusi. Track pertama adalah meningkatkan pertumbuhan
dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua adalah
menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Track
ketiga adalah merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan
ekonomi perdesaan untuk mengurangi kemiskinan. Dengan
demikian, pembangunan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan, atau
pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity).
Tantangan Indonesia untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan menghadap tantangan yang cukup
berat. Krisis global telah menghambat kemajuan  ekonomi
domestik meski kita akui bahwa kemerosotan ekonomi tidak terus
berlanjut, dan perekonomian mencatat pertumbuhan positif namun
krisis itu belum sepenuhnya dapat kita lewati.
Selain itu, indikator makro ekonomi juga mencatat
perbaikan seperti pertumbuhan ekonomi yang positif sementara
negara lain justru terkoreksi, tingkat inflasi yang rendah, ekspor
yang tinggi, stabilitas nilai tukar, indeks pasar saham yang positif
dan cadangan devisa yang mencapai posisi tertinggi dalam sejarah
perekonomian nasional. Stabilitas makro ekonomi yang kondusif
tersebut adalah prasyarat yang diperlukan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan.

23
Capaian menonjol yang telah ditorehkan oleh pemerintah
melalui politik dan strategi nasional yang tertuang dalam UU
SPPN (RPJPN, RPJMN, RKP) adalah pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 6%, angka kemiskinan berhasil diperkecil mencapai 20
juta orang, jumlah pengangguran juga berhasil dientaskan sehingga
menjadi 9 juta orang, dan masuknya Indonesia dalam keanggotaan
organisasi ekonomi dunia, yakni G-20. Indonesia juga dinilai oleh
Bank Dunia sebagai satu dari tiga negara di dunia (dua negara
lainnya adalah Cina dan India) yang mampu mempertahankan
pertumbuhan ekonomi yang stabil ketika dihantam oleh krisis
ekonomi global tahun 2008 yang lalu.

E. Diskusi dan Aplikasi

24

Anda mungkin juga menyukai