Anda di halaman 1dari 5

Nama : Intan Firdhaus

NIM : P27824119020

Prodi: D3 Kebidanan Sutomo

Semester : 4

Kasus Gizi Buruk di Surabaya Masih Tinggi


Senin 15 Oct 2012 16:39 WIB
Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu

Penderita gizi buruk, tergolek lemas, di Rumah Sakit (ilustrasi).


Foto: Antara/Saiful Bahri

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dinas Kesehatan Surabaya, Jawa Timur melaporkan


hingga Agustus 2012, setidaknya 626 balita mengalami gizi buruk. Namun angka itu
menurun drastis pada 2011 dimana terdapat 1.027 kasus balita bergizi buruk.

Penyebaran balita yang mengalami gizi buruk itu menyebar di seluruh Kota Pahlawan,
terutama wilayah pinggir kota. Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, dr Esty Martiana Rachmie
mengungkapkan kasus temuan gizi buruk ini merata hampir di seluruh kecamatan di
Surabaya.

"Di 2012 per Agustus ini, kami mencatat setidaknya 626 balita di Kota Surabaya alami gizi
buruk," ungkap Esty usai acara Monitoring dan Pembinaan Penanggulangan Gizi Buruk yang
digelar bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jatim dan Surabaya, di wilayah Kenjeran,
utara Surabaya, Senin (15/10).

Esty mengungkapkan dari 31 kecamatan di Surabaya, hampir 50 persen kasus gizi buruk
sebagian besar ditemukan di tiga kecamatan. Ketiga kecamatan tersebut adalah Kecamatan
Semampir, Bulak dan Kenjeran.

Ketiga kecamatan ini masuk dalam administrasi Surabaya utara, karena letaknya yang berada
di pesisir dan menghadap ke Pulau Madura. Di tiga kkecamatan yang sebagian besar
penduduknya berasal dari Madura ini, setiap tahunnya memiliki temuan kasus gizi buruk
lebih banyak ketimbang kecamatan lain di Surabaya. "Kita memang telah memfokuskan
penanganan kasus gizi buruk di tiga kecamatan ini," terangnya. Esty juga menilai kasus gizi
buruk di Surabaya bukan sekedar masalah ekonomi, tapi rendahnya mindset penduduk terkait
asupan gizi berkualitas bagi balita.

Menurut Esty, sebagian besar kasus gizi buruk karena perilaku masyarakat, seperti keluarga
yang mengesampingkan pola makan dan pola asuh bayi sesuai masa pertumbuhannya.
"Kemiskinan memang ada, tapi tidak mutlak karena kemiskinan. Mindset keluarga terhadap
asupan makanan bergizi yang kurang pun jadi penyebabnya," terang dia.

Ia mencontohkan, beberapa keluarga yang memiliki anak gizi buruk, seringkali ditemui sang
bapak yang lebih mementingkan pembelian rokok dari pada asupan susu dan sumber
makanan bergizi bagi buah hatinya. Ini termasuk juga, jumlah dukun bayi di tiga wilayah ini
pun masih lebih banyak ketimbang dokter jaga persalinan. "Ini artinya mindset kesehatan ibu
dan bayi disaat lahiran masih rendah, karena masih mengandalkan hal yang bersifat non
medis," terangnya.
A. EPIDEMIOLOGI GIZI BURUK
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan
masyarakat dapat dilihat dari berbagai faktor yang meliputi indikator umur harapan hidup,
angka kematian, angka kesakitan dan status gizi masyarakat (Dinkes Kabupaten Sampang,
2012)
Keadaan gizi yang baik merupakan syarat utama kesehatan dan berdampak terhadap kualitas
sumber daya manusia. Gizi buruk menurut World Health Organization (WHO) ditentukan
berdasarkan indikator antropometri berat badan menurut tinggi atau panjang badan (BB/TB)
dengan z-skor BB/TB <-3 SD dan ada atau tidaknya odema.
Faktor penyebab gizi buruk dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu penyebab langsung dan
penyebab tidak langsung. Penyebab langsung gizi buruk meliputi kurangnya jumlah dan
kualitas makanan yang dikonsumsi dan menderita penyakit infeksi, sedangkan penyebab
tidak langsung gizi buruk yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, kemiskinan, pola asuh
yang kurang memadai dan pendidikan yang rendah. Faktor konsumsi makanan merupakan
penyebab langsung dari kejadian gizi buruk pada balita. Hal ini disebabkan karena konsumsi
makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi
seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman sehingga akan berakibat secara
langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Faktor penyakit infeksi berkaitan
dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit
pernapasan akut (ISPA).
Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar dari kekurangan gizi, yang mana faktor ini erat
kaitannya terhadap daya beli pangan di rumah tangga sehingga berdampak terhadap
pemenuhan zat gizi
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh
terhadap kejadian gizi buruk. Hal ini dikarenakan bayi yang mengalami BBLR akan
mengalami komplikasi penyakit karena kurang matangnya organ, menyebabkan gangguan
pertumbuhan fisik dan gangguan gizi saat balita. Faktor pendidikan Ibu erat kaitannya dengan
pengetahuan Ibu mengenai gizi sehingga akan berakibat terhadap buruknya pola asuh balita.
B. UKURAN EPIDEMIOLOGI
1. Ukuran Frekuensi
a) Proporsi
Pada agustus 2012, ada 626 balita mengalami gizi buruk. Namun angka itu
menurun drastis pada 2011 dimana terdapat 1.027 kasus balita bergizi buruk.
Jadi balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2012 adalah

626
× 100% = 6,09% )
1.027

b) Rasio
Pada agustus 2012 ada 626 balita gizi buruk dan pada tahun 2011 terdapat
1.027

626
= 6,09
1.027

c) Rate
Balita yang mengalami gizi buruk pada tahun 2012 sebanyak 6,09% dari
1.027 kasus tahun 2011.

2. Ukuran Morbiditas

Kondisi malnutrisi merupakan penyebab primer morbiditas dan mortalitas anak balita
di negara berkembang. Hal ini merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab
kematian anak terbesar. Berdasarkan data dari WHO 2012, prevalensi malnutrisi pada
anak di bawah umur lima tahun dari tahun 2005-2011 di dunia masih tinggi yaitu
16,2%.

Tingginya tingkat gizi kurang pada anak menjadi tantangan utama untuk ketahanan
hidup dan perkembangan anak., Selain gizi kurang, diperkirakan sekitar 40 juta (6%)
pada balita memiliki gizi lebih dengan berat badan untuk tinggi badan melebihi dari
dua standar deviasi dari nilai median standar pertumbuhan anak.

Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang dapat menghambat
pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir. Balita yang menderita gizi
buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga sepuluh persen. Dampak
paling buruk dari gizi buruk yaitu kematian pada umur yang sangat
dini.Mengantisipasi makin parahnya kondisi yang mungkin terjadi akibat kejadian
gizi buruk, maka pemerintah Dinas Kesehatan Kota Semarang telah melakukan upaya
pelayanan perbaikan gizi balita gizi buruk dengan mendirikan rumah pemulihan gizi.
3. Ukuran Mortalitas

Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2008-2009


menunjukkan angka kematian balita sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup atau setiap
hari ada 566 kematian balita. Sedangkan status gizi pada tahun 2009 jumlah anak
kurang gizi sebesar 5 juta dan anak dengan status gizi buruk sekitar 1,5 juta dan
150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmuskwasiorkor).

Tahun 2010 di Indonesia dilaporkan Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka


Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBA) berturut-turut sebesar
19/1000 kelahiran hidup (KH), 34/1000 dan 44/1000 KH dari target AKB dan AKBA
tahun 2015 23/1000 KH dan 32/1000 KH (Kemenkes RI, 2010).

Tingginya angka kematian bayi dan kematian balita tersebut dikarenakan masih
ditemukan beberapa masalah kesehatan di masyarakat. Masalah tersebut salah satunya
adalah kurang energi protein (KEP) pada balita. KEP merupakan salah satu masalah
gizi utama pada balita di Indonesia. Ada dua jenis tingkatan KEP yaitu KEP ringan
atau gizi kurang dan KEP berat atau gizi buruk (Depkes RI, 2009).

Angka kematian dan kesakitan balita akan sangat menentukan status kesehatan balita
yang merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat yang utama dan gambaran
ukuran dari sistem kesehatan masyarakat suatu Negara (Wijono, 2006).

Rendahnya status kesehatan balita merupakan pencerminan kondisi perinatal yang


kurang sehat mulai dari masa ANC (Antenatal care), INC (Intranatal care) serta PNC
(Postnatal care) dari segi ibu dan bayi atau merupakan akibat dari faktor lingkungan
yang buruk pada awal usia anak (Wijono, 2006). Selain faktor perinatal, kondisi sosial
dan demografi juga sangat mempengaruhi status kesehatan balita khususnya status
gizi balita. Dimana faktor wilayah atau spasial akan sangat berperan dalam kejadian
masalah gizi di Indonesia.

Sumber;

http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm
(Diakses pada tanggal 1 Maret 2021)
Silvera Oktavia, Laksmi Widajanti, Ronny Aruben, 2017. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Status Gizi Buruk Pada Balita Di Kota Semarang Tahun 2017
Vol 5 Hal 187
http://jurnalpediometri.unair.ac.id/
(Diakses pada tanggal 1 Maret 2021)
Budi Faisol Wahyudi, Sriyono, Retno Indarwati, 2015. Analisis Faktor Yang
Berkaitan Dengan Kasus Gizi Buruk Pada Balita Vol. 3 No. 1

Anda mungkin juga menyukai