Anda di halaman 1dari 13

Pengertian Afektif dan Penilaian Afektif

Afektif atau sikap merupakan suatu kecendrungan tingkah laku untuk berbuat
sesuatu dengan cara, metode, teknik, dan pola tertentu terhadap dunia sekitarnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Afektif adalah berkenaan dengan rasa
takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, serta mempunyai
gaya atau makna yang menunjukkan perasaan. Muhajir (1992) menjelaskan
bahwa sikap merupakan kecendrungan afeksi, suka atau tidak suka pada suatu
objek social. Harvey dan Smith (1991) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan
merespons secara konsisten dalam bentuk positif atau negative terhadap objek
atau situasi. Eagly & Chaiken (1993) sikap adalah “ a psychological tendency that
is expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or
disfavor”.
Keempat pendapat tersebut memiliki kesamaan, yaitu bahwa sikap merupakan
reaksi seseorang dalam menghadapi suatu objek. Menurut Sumarna (2004) bahwa
objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran adalah :
Sikap terhadap materi pelajaran, peserta didik perlu memiliki sikap positif
terhadap materi pelajaran. Dengan Siokap positif peserta didik akan tumbuh minat
belajar, akan lebih mudah diberi motivasi, dan akan lebih mudah menyerap materi
pelajaran yang di ajarkan.
Sikap terhadap guru atau pengajar. Peserta didik perlu memiliki sikap positif
terhadap guru. Peserta didik yang tidak memiliki sikap positif terhadap guru akan
cendrung mengabaikan hal- hal yang diajarkan. Dengan dimikian, peserta didik
yang memiliki sikap negative terhadap guru/ pengajar akan sukar menyerap
materi pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut.
Sikap terhadap proses pembelajaran. Peserta didik perlu memiliki sikap positif
terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Proses pembelajaran mencakup
suasana pembelajaran, strategi, metodologi dan teknik pembelajaran yang
digunakan. Proses pembelajaran yang menarik, nyaman dan menyenangkan dapat
menumbuhkan  belajar peserta didik, sehingga dapat mencapai hasil belajar yang
maksimal.
Sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi
pelajaran.
Dengan demikian penilaian efektif adalah penilaian terhadap reaksi seseorang atau
peserta didik tentang suatu objek yang telah diuraikan di atas. Sikap bermula dari
perasaan  (suka atau tidak suka ) yang terkait dengan kecendrungan seseorang
dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai atau
pandangan hidup yang dimiliki oleh  seseorang. Sikap  dapat dibentuk, sehingga
terjadi  perilaku atau tindakan  yang diinginkan. Sikap terdiri dari tiga komponen
yaitu: afektif, kognitif dan konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang
dimiliki oleh seseorang  atau peni;aian terhadap suatu objek, Kompenen kognitif
adalah kepercayaan  atau keyakinan seseorang mengenai objek. Adapun
komponen konatif kecendrungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara
tertentu berkenaan dengan kehadiran objek sikap. ( Rusgiyanto, 2005). Menurut
Sudaryono (2012) sikap merupakan variable tersembunyi yang tidak dapat
diamati secara langsung, tetapi dapat disimpulkan melalui tingkah laku.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan
keadaan internal seseorang, berupa kecendrungan atau kesiapan memberikan
respon meliputi kognitif, afeksi dan konatif terhadap suatu stimulus dari
lingkungan sekitarnya, Yang harus digarisbawahi adalah penilaian sikap tidak
berdiri sendiri. Penilaian sikap terintegrasi dengan penilaian pengetahuan dan
penilaian keterampilan.
Pentingnya Penilaian Afeksi
Sebenarnya guru dalam melaksanakan proses penilaian tidak hanya mencakup
penilaiain kognitif saja, namun idealnya guru juga dapat melakukan peniliaian
pada aspek afektif (sikap). Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi
belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Aderson (1981) berpendapat bahwa
karakteristk manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan
perasaan. Tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Penilaian afektif 
dilakukan oleh pendidik melalui pengamatan terhadap perkembangan afeksi
peserta didik. Komponen penilaian afektif seperti yang tercantum dalam Standar
Kompetensi Lulusan (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan); meliputi:
memiliki keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran
agama masing-masing yang tercermin dalam perilaku sehari-hari,
menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan,
dan pekerjaannya,
 menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik
dalam bidang pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan,
 menganalisis sikap positif terhadap penegakan hukum, peradilan nasional, dan
tindakan anti korupsi,
 mengevaluasi sikap berpolitik dan bermasyarakat madani sesuai dengan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, sikap cermat dan menghargai hak atas kekayaan
intelektual,
 menunjukkan sikap toleran dan empati terhadap keberagaman budaya yang ada di
masyarakat setempat dalam kaitannya dengan budaya nasional,
 menunjukkan sikap peduli terhadap bahasa dan dialek, dan
 menunjukkan sikap kompetitif, sportif, dan etos kerja untuk mendapatkan hasil
yang terbaik dalam bidang iptek (Lampiran Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan);
Pengukuran ranah afektif dilakukan melalui metode observasi dan metode laporan
diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik
afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan atau reaksi
psikologi. Mungkin pada KTSP, penilaian afektif belum terlalu diperhatikan,
namun seiring dengan  dikembangkannya pendidikan karakter bangsa, penilaian
afektif menjadi lebih penting dan harus dilakukan guru agar dapat diketahui
keberhasilan pembelajaran yang dapat diwujudkan melalui internalisasi sikap
yang ditunjukan oleh peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran.
Tingkatan dan Jenis Ranah Afektif
Tingkatan Ranah Afektif
Menurut Krathwohl (1973) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif
mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya
ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan
ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving
(attending), responding, valuing, organization, dan characterization.
Tingkat Receiving
Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan), adalah kepekaan
seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada
dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam
jenjang ini misalnya adalah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus,
mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar.
Receiving atau attenting juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk
memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik
dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada
mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau
mengidentifikasikan diri dengan nilai itu.
Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan
memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kegiatan belajar,
kegiatan musik, kegiatan olahraga, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan
perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif.
Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku,
senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan,
dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
Tingkat Responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari
perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan
pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam
memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-
hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus.
Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman,
senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
Tingkat Valuing
Valuing adalah sesuatu yang memiliki manfaat atau kepercayaan atas manfaat
sesuatu. Hal ini menyangkut pikiran atau tindakan yang dianggap sebagai nilai
keyakinan atau sikap dan menunjukan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat
rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk
meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau
penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil
belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil
agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini
diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
Valuing merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan
responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik di sini
tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah
berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila
suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu
adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses
penilaian. Nilai itu mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan
demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik.
Tingkat Organization
Organization (mengatur atau mengorganisasikan), artinya mempertemukan
perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada
perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan
dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu
nilai dengan nilai lain, pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi
sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.
Tingkat Characterization
Characterization (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni
keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang
mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi
nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah
tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini
merupakan tingkat efektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-
benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan. Jadi pada
jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah
lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola
hidup” tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Hasil
pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.
Jenis Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai
ranah afektif (Andersen, 1981: 4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan
emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain
yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas
menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat
dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian orang
kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding yang lain. Arah
perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang
menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada
pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas
dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam
suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai
arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau,
ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap
sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa
merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh
seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa
cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa
target kecemasannya adalah tes.
Objek ranah afektif menurut Krathwohl (1973: 24) unsur-unsurnya terdiri dari
minat (interest), sikap (attitude), nilai (value), apresiasi (apresiation), dan
penyesuaian (adjustmen). Fishbein dan Ajzen (1975) membagi dalam
kepercayaan (belief), sikap (attitude), keinginan/maksud (intention), dan perilaku
(behaviour). Berbeda dengan Fishbein dan Ajzen, Hammond (Worthen dan
Sanders, 1973) menyatakan bahwa objek afektif meliputi unsur perhatian, minat
(interest), sikap (attitude), perasaan (feeling), dan emosi (emotion). Menurut
Hopkins dan Antes (1990), unsur-unsur ranah afektif meliputi emotion, interest,
attitude, value, character development, dan motivation. Mardapi (2011: 183)
menambahkan bahwa karakter juga merupakan bagian dari ranah afektif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diidentifikasikan bahwa unsur-unsur ranah
afektif paling tidak meliputi: perhatian/minat, sikap, nilai, apresiasi, karakter,
kepercayaan, perasaan, emosi perilaku, keinginan, dan penyesuaian.
Karakter
Karakter adalah tabiat, watak, akhlak, atau kepribadian seseorang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai dan norma
(Pusat Pengembangan Kurikulum, 2010: 3). Aristotle, filsof Yunani, menyatakan
bahwa karakter yang baik merupakan pengamalan tingkah laku yang benar
(Lickona, 1991:50). Tingkah laku yang benar dilihat dari sisi orang lain dan
lingkungan. Lebih lanjut Aristotle mengatakan bahwa kehidupan pada zaman
modern cenderung melupakan budi pekerti termasuk orientasi diri, seperti kontrol
diri, sikap dermawan, dan rasa sosial. Karakter adalah seperangkat trait yang
menentukan sosok seseorang sebagai individu (Kurtus, 2010). Karakter
menentukan apakah sesorang dalam mencapai keinginannya menggunakan cara
yang benar menurut lingkungannya dan mematuhi hukum dan aturan kelompok.
Jadi, karakter merupakan sifat atau watak seseorang yang bisa baik dan bisa tidak
baik berdasarkan penilaian lingkungannya.
Karakter berkaitan dengan personalitas walaupun ada perbedaannya. Personalitas
merupakan trait bawaan sejak lahir, sedang karakter merupakan perilaku hasil
pembelajaran. Sesorang lahir dengan trait personaliti tertentu, Seseorang ada yang
pemalu dan ada yang terbuka dan mudah bicara. Klasifikasi lain adalah apakah
sesorang beroritentasi pada tugas atau senang kegiatan sosial. Hal ini yang
menjadikan sesorang memiliki sifat ingin menguasai, ingin mempengaruhi,
personaliti stabil atau patuh.
Karakter pada dasarnya diperoleh melalui interaksi dengan orang tua, guru, teman,
dan lingkungan. Karakter diperoleh dari hasil pembelajaran secara langsung atau
pengamatan terhadap orang lain. Pembelajaran langsung dapat berupa ceramah
dan diskusi tentang karakter, sedang pengamatan diperoleh melalaui pengalaman
sehari-hari apa yang dilihat di lingkungan termasuk media televisi. Karakter
berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan predisposisi terhadap suatu
objek atau gejala, yaitu positif atau negatif. Nilai berkaitan dengan baik dan buruk
yang berkaitan dengan keyakinan individu. Jadi, karakter seseorang dibentuk
melalui pengalaman sehari-hari, apa yang dilihat dan apa yang didengar terutama
dari seseorang yang menjadi acuan atau idola seseorang.
Karakter yang baik melibatkan pemahaman, perhatian, dan bertindak sesuai
dengan nilai-nilai etika. Peserta didik berkembang untuk memahamai nilai inti
dengan mempelajarinya, mendiskusikannya, mengamati model perilaku, dan
memecahkan masalah yang mencakup nilai-nilai. Jadi, peserta didik harus paham
nilai inti dan komitmen mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter sering didefinisikan sebagai melakukan yang benar tanpa ada yang
melihat. Etika yang baik adalah selalu mengikuti aturan yang telah disepakati,
menghargai hak dan kebutuhan orang lain, tidak takut hukuman atau ingin
mendapat pujian saja. Peserta didik diharapkan menjadi orang selalu berbuat baik
kepada orang lain. Untuk itu, sekolah harus bekerja sama dengan peserta didik
dalam memahami aturan, dan kesadaran akan pengaruh tingkah laku seseorang
terhadap orang lain. Tanamkan keyakinan bahwa untuk memperoleh perlakukan
yang baik harus memberi kebaikan kepada orang lain.
Karakter yang selalu dikaitkan dengan pendidikan karakter sering digunakan
untuk menyatakan seberapa baik seseorang. Atau dengan kata lain, seseorang
yang menampilkan kualitas personal yang cocok dengan yang diinginkan
masyarakat dapat dinyatakan memiliki karakter yang baik dan mengembangkan
kualitas karakter sering dilihat sebagai tujuan pendidikan. Komponan ini
merupakan bagian dari aspek afektif pada standar nasional pendidikan.
Pendidikan karakter adalah bagian dari ranah afektif (Mardapi, 2011: 183).
Namun demikian, perhatian terhadap domain ini masih hanya sekedar pada usaha
untuk memupuk sikap dan karakter siswa selama proses pembelajaran. Padahal
untuk menentukan sejauh mana hasil dan kualitas pembelajaran terlebih untuk
menentukan langkah lanjutan maupun langkah perbaikan, mutlak bersandar pada
proses dan hasil evaluasi yang memadai dan relevan.
Sikap
Anastasi (1982) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan untuk bertindak
secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui
cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan
serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses
pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap
sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan
sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap adalah suatu predisposisi yang
dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi,
konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap
sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk
ditingkatkan (Popham, 1999: 204). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran,
misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran.
Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana
pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
Minat
Getzel (1966: 98), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus,
aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau
keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting
pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik
afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
Mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam
pembelajaran
Mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya
Pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik
Menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas
Mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama
Acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih
metode yang tepat dalam penyampaian materi
Mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan
pendidik
Bahan pertimbangan menentukan program sekolah
Meningkatkan motivasi belajar peserta didik
Persepsi
Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang
akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi,
serta meraba (kerja indra) disekitar kita. Yusuf (2007) menyatakan bahwa persepsi
adalah persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam
lingkungannya melalui indra-indra yang dimilikinya. Lebih lanjut Sunaryo (2004)
mendefinisikan persepsi sebagai proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh
penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian
individu ada perhatian dan diteruskan ke otak, selanjutnya individu menyadari
tentang adanya sesuatu. ,elalui persepsi individu menyadari dan dapat mengerti
tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal-hal yang
ada dalam diri individu yang bersangkutan.
Persepsi mempunyai ciri-ciri tertentu. Menurut Marliani (2010), ciri-ciri persepsi
adalah:
Proses pengorganisasian berbagai pengalaman
Proses menghubung-hubungkan antara pengalaman masa lalu dengan yang baru
Proses pemilihan informasi
Proses teorisasi dan rasionalisasi
Proses penafsiran atau pemaknaan pesan verbal dan nonverbal
Proses interaksi dan komunikasi berbagai pengalaman internal dan eksternal
Melakukan penyimpulan atau keputusan-keputusan, pengertian-pengertian dan
yang membentuk wujud persepsi individu
Persepsi merupakan bagaian dari keseluruhan proses yang menghasilkan
tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Persepsi dan kognisi
diperlukan dalam semua kegiatan kehidupan (Sobur, 2009). Dalam proses
persepsi terdapat 3 komponen utama yaitu:
Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar,
intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.
Interpretasi (penafsiran), yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga
mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan
kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi
informasi yang komplek menjadi sederhana.
Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku
sebagai reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah di serap yang
terdiri dari reaksi tersembunyi sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai
tindakan yang nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi
(pembentukan kesan).
Penyusunan Instrument Afektif dan Skala Yang Digunakan.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya
masih kurang. Hal ini disebabkan karena merancang pencapaian tujuan
pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor
(Mardapi, 2011: 184). Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran
yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik
melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik
mencapai kompetensikompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan perangkat penilaian ranah afektif serta acuan penafsiran hasil
pengukuraannya.
Menurut Andersen (1981), ada dua metode yang dapat digunakan untuk
mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri.
Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif
dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi
psikologi. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif
seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam
mengungkap karakteristik afektif diri sendiri. Menurut Lewin (dalam Andersen,
1981), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak (kognitif, afektif, dan
psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan
ditampilkan. Jadi tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh watak dirinya
dan kondisi lingkungan.
Pengukuran ranah afektif juga dapat dilakukan dengan menggunakan skala
pengukuran yang disebut skala sikap. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni
mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah
kecenderungan berperilaku pada seseorang. Ada tiga komponen sikap, yakni
kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang
tentang objek yang dihadapinya. Afeksi berkenaan dengan perasaan dalam
menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan
berbuat terhadap objek tersebut. Oleh sebab itu, sikap selalu bermakna bila
dihadapkan kepada objek tertentu. Skala sikap dinyatakan dalam bentuk
pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau
ditolaknya, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan yang
diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan
negative. Menurut Widoyoko (2009), ada beberapa bentuk skala sikap antara lain:
Skala Likert, skala Trustone, skala Guttman, dan Semantic Differensial.
Berikut ini adalah berbagai teknik dan instrumen yang dapat digunakan untuk
mengukur ranah afektif, yaitu:
Skala Minat dan Sikap
Yaitu instrumen penilaian yang dapat digunakan untuk menilai minat dan sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu. Langkah-langkah penyusunan
adalah:
Menentukan indikator minat yang akan dinilai
Memilih tipe skala yang akan digunakan
Menuliskan instrumen
Mendiskusikan instrumen dengan teman sejawat
Merevisi instrumen hasil diskusi tersebut
Skala Sikap Likert
Sikap pada hakekatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Skala
sikap Likert merupakan teknik pengukuran yang sederhana dan paling sering
dijumpai dalam pengukuran ranah afektif, khususnya untuk sikap. Skala Likert
menyajikan pernyataan yang harus ditanggapi dengan memilih satu di antara
beberapa alternatif.
Observasi
Pengamatan atau observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis
(Sulistyorini, 2009: 85). Dengan kata lain observasi dapat mengukur atau menilai
hasil dan proses belajar misalnya tingkah laku siswa pada waktu belajar, kegiatan
diskusi siswa, partisipasi. Melalui pengamatan dapat diketahui bagaimana sikap
dan perilaku siswa, kegiatan yang dilakukannya, partisipasi dalam kegiatan,
proses kegiatan yang dilakukannya, kemampuan bahkan hasil yang diperoleh dari
kegiatannya. Observasi harus dilakukan pada saat proses kegiatan itu berlangsung.
Pengamat terlebih dahulu harus menetapkan aspek-aspek tingkah laku apa yang
hendak diobservasinya. Lalu dibuat pedoman agar memudahkan dalam pengisian
observasi. Pengisian hasil observasi dalam pedoman yang dibuat sebenarnya bisa
diisi secara bebas (Arifin, 2009: 153).
Anecdotal Record
Anecdotal Record adalah catatan seketika yang berisi peristiwa atau kenyataan
yang spesifik dan menarik mengenai sesuatu yang diamati atau terlihat secara
kebetulan. Catatan tersebut bisa terjadi saat di luar kelas ataupun di dalam kelas.
Tujuan pemberian catatan tersebut adalah untuk pembinaan peserta didik lebih
lanjut (Sukardi, 2008: 176).
Kuesioner
Kuesioner adalah alat pengumpulan data secara tertulis yang berisi daftar
pertanyaan (questions) atau pernyataan (statement) yang disusun secara khusus
dan digunakan untuk menggali dan menghimpun keterangan dan/atau informasi
sebagaimana dibutuhkan dan cocok untuk dianalisis (Sudjana, 2008: 177).
 
Penilaian Ranah Afektif
Penilaian adalah kegiatan untuk menentukan pencapaian hasil pembelajaran. Hasil
pembelajaran dapat dikategorikan menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
psikomotor, dan afektif. Setiap peserta didik memiliki tiga ranah tersebut, hanya
kedalamannya tidak sama. Ada peserta didik yang memiliki keunggulan pada
ranah kognitif, atau pengetahuan, dan ada yang memiliki keunggulan pada ranah
psikomotor atau keterampilan. Namun, keduanya harus dilandasi oleh ranah
afektif yang baik. Pengetahuan yang dimiliki seseorang harus dimanfaatkan untuk
kebaikan masyarakat. Demikian juga keterampilan yang dimiliki peserta didik
juga harus dilandasi olah ranah afektif yang baik, yaitu dimanfaatkan untuk
kebaikan orang lain.
Penilaian pada ranah afektif, seperti pada ranah lainnya memerlukan data yang
bisa berupa kuantitaitf atau kualitatif. Data kuantatif diperoleh melalui
pengukuran atau pengamatan dan hasilnya berbentuk angka. Data kualitiatif pada
umumnya diperoleh melalui pengamatan. Untuk itu, diperlukan instrumen nontes,
yaitu instrumen yang hasilnya tidak ada yang salah atau benar. Data kualitatif
diperoleh dengan menggunakan instrumen dalam bentuk pedoman pengamatan.
Langkah-langkah Menyusun Instrumen Penilaian Afektif
Ada sebelas langkah yang harus diikuti dalam mengembangkan instrumen
penilaian afektif, yaitu: menentukan spesifikasi instrumen, menulis instrumen,
menentukan skala instrumen, menentukan sistem penskoran, menelaah instrumen,
merakit instrumen, melakukan ujicoba, menganalisis hasil ujicoba, memperbaiki
instrumen, melaksanakan pengukuran, dan menafsirkan hasil pengukuran.
Menentukan spesifikasi instrumen
Spesifikasi instrumen terdiri atas tujuan dan kisi-kisi instrumen. Dalam bidang
pendidikan pada dasarnya pengukuran afektif ditinjau dari tujuannya, contohnya
instrumen sikap.
Menulis instrumen
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Afektif
N Indikato Jumla Pertanyaan/Pernyataa
o r h Butir n Skala
1
2
3
4
5
 
Contoh: Instrumen sikap
Definisi konseptual: Sikap merupakan kecenderungan merespon secara konsisten
baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk
mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya kegiatan sekolah.
Sikap bisa positif bisa negatif. Definisi operasional: sikap adalah perasaan positif
atau negatif terhadap suatu objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran.
Cara yang mudah untuk mengetahui sikap peserta didik adalah melalui kuesioner.
Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan perasaan yang positif
atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan. Kata-kata yang sering
digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan seseorang;
menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diingini-tidak
diingini.
Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran matematika misalnya:
Membaca buku matematika
Mempelajari matematika
Melakukan interaksi dengan guru matematika
Mengerjakan tugas matematika
Melakukan diskusi tentang matematika
Memiliki buku matematika
Contoh pernyataan untuk kuesioner:
Saya senang membaca buku matematika
Tidak semua orang harus belajar matematika
Saya jarang bertanya pada guru tentang pelajaran matematika
Saya tidak senang pada tugas pelajaran matematika
Saya berusaha mengerjakan soal-soal matematika sebaik-baiknya
Memiliki buku matematika penting untuk semua peserta didik
Menentukan skala instrumen
Secara garis besar skala instrumen yang sering digunakan dalam penelitian, yaitu
Skala Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda semantik..
Contoh Skala Likert: Sikap terhadap pelajaran Matematika
Pelajaran
Matematika S T ST
1 bermanfaat S S S S
Pelajaran
Matematika S T ST
2 sulit S S S S
Tidak semua
harus belajar S T ST
3 Matematika S S S S
Pelajaran
Matematika
harus dibuat S T ST
4 mudah S S S S
Sekolah saya
menyenangka S T ST
5 n S S S S
Keterangan:
SS        : Sangat Setuju
S          : Setuju
TS        : Tidak Setuju
STS     : Sangat Tidak Setuju
Menentukan sistem penskoran
Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran. Apabila
digunakan skala Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap butir 7 dan skor
terendah 1. Demikian pula untuk instrumen dengan skala beda semantik, tertinggi
7 terendah 1. Untuk skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir 5 dan
terendah 1. Dalam pengukuran sering terjadi kecenderungan responden memilih
jawaban pada katergori tiga 3 (tiga) untuk skala Likert. Untuk menghindari hal
tersebut skala Likert dimodifikasi dengan hanya menggunakan 4 (empat) pilihan,
agar jelas sikap atau minat responden.
Menelaah instrumen
Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a) butir
pertanyaan/pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan
komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, c) butir
pertanyaaan/pernyataan tidak bias, d) format instrumen menarik untuk dibaca, e)
pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan f) jumlah butir dan/atau
panjang kalimat pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan
untuk dibaca/dijawab.
Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila
ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang
diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang
digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan responden. Hasil telaah
selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.
Merakit instrumen
Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan
format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan. Format instrumen
harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk
membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya dipisahkan
dengan cara memberi spasi yang lebih, atau diberi batasan garis empat persegi
panjang. Urutkan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam
menjawab atau mengisinya.
Melakukan ujicoba
Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai dengan tujuan
penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua peserta didik.
Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi yang ingin
dinilai. Bila yang ingin dinilai adalah peserta didik SMA, maka sampelnya juga
peserta didik SMA. Sampel yang diperlukan minimal 30 peserta didik, bisa
berasal dari satu sekolah atau lebih.
Menganalisis hasil ujicoba
Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir pertanyaan/pernyataan.
Jika menggunakan skala instrumen 1 sampai 7, dan jawaban responden bervariasi
dari 1 sampai 7, maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat
dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja,
misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik.
Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda dan indeks keandalan yang
dikenal dengan indeks reliabilitas.
Memperbaiki instrumen
Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan yang tidak baik,
berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun
hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan instrumen
harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden
ujicoba. Instrumen sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.
Melaksanakan pengukuran
Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan yang
digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah. Ruang
untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang cukup dan
sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden tidak
terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling bertanya pada
responden yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama atau homogen. Pengisian
instrumen dimulai dengan penjelasan tentang tujuan pengisian, manfaat bagi
responden, dan pedoman pengisian instrumen.
Menafsirkan hasil pengukuran
Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran
diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan
jumlah butir pertanyaan/pernyataan yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai