PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dyspepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.
Berdasarkan pendapat para ahli bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami
dispepsia (Djojoningrat, 2009).
Di Amerika Serikat, 25% dari seluruh penduduknya terkena sindrom
dispepsia (tidak termasuk keluhan refluks) dimana hanya 5% dari jumlah
penderita tersebut pergi ke dokter pelayanan primer. Di Inggris terdapat 21%
penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang berkonsultasi
ke dokter pelayanan primer. Dari seluruh penderita yang datang ke dokter
pelayanan primer, hanya 40% di antaranya dirujuk ke dokter spesialis (Wong et
al., 2002). Berdasarkan data tersebut bahwa 95% penderita di Amerika Serikat
membiarkannya saja bahkan 98% penderita di Inggris tidak pergi ke dokter.
Pembiaran atau pengabaian pada kejadian sindrom dispepsia terjadi mungkin saja
karena mereka menganggap bahwa hal tersebut hanyalah hal ringan yang tidak
berbahaya; atau bisa saja pembiaran tersebut terjadi karena tingkat pemahaman /
kesadaran mengenai kesehatan belum tinggi (Lu et al., 2005).
Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktik
umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien
yang datang berobat ke praktik gastroenterologist terdapat sebesar 60% dengan
keluhan dispepsia (Djojoningrat, 2009). Berdasarkan data tersebut ternyata
pasien yang mengalami sindrom dispepsia cukup tinggi di Indonesia. Mengenai
profil kesehatan tahun 2010 menyatakan bahwa dispepsia menempati urutan ke-5
dari 10 besar penyakit dengan pasien yang dirawat inap dan urutan ke-6 untuk
pasien yang dirawat jalan (Depkes RI, 2004).
1
2
Kata Dyspepsia berasal dari bahasa -Yunani yang berarti pencernaan yang
sulit / jelek, juga dikenal sebagai sakit perut atau gangguan pencernaan, mengacu
pada kondisi gangguan pencernaan Ini adalah suatu kondisi medis yang ditandai
dengan nyeri kronis atau berulang di atas. perut kepenuhan dan merasa kenyang
lebih awal dari yang diharapkan ketika makan. Hal ini dapat disertai dengan
kembung, bersendawa, mual, atau mulas. Dispepsia adalah masalah umum, dan
sering akibat penyakit gastroesophageal reflux (GERD) atau gastritis, tetapi
dalam sebuah minoritas kecil mungkin merupakan gejala pertama dari penyakit
ulkus peptikum (tukak lambung dari lambung atau duodenum) dan kadang-
kadang kanker (Djojoningrat, 2009).
Banyak sumber, banyak juga angka yang diberikan. Ada yang menyebut 1
dari 10 orang, namun ada juga yang menyatakan sekitar 25 persen dari populasi.
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena
penyakit itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama
saja. Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada
tahun 2001 menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti.
Sayang, tidak hanya di Indonesia , di luar negeri pun, menurut sumber di
Internet, banyak orang yang tidak peduli dengan dispepsia itu. Mereka tahu
bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung mereka, tetapi hal itu tidak
membuat mereka merasa perlu untuk segera memeriksakan diri ke dokter (Lu et
al., 2005).
Padahal, menurut penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari
mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus
(borok) pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri,
penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1
persen disebabkan oleh kanker lambung. Menurut Depkes (2003), dispepsia
berada pada peringkat ke 10 dengan proporsi 1,5% untuk kategori 10 penyakit
terbesar pada pasien rawat jalan diseluruh rumah sakit di Indonesia. Tahun 2004
dispepsia menempati urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat
3
1. Dyspepsia Fungsional
Terdapat bukti bahwa dyspepsia fungsional berhubungan dengan
ketidaknormalan pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan
bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas). Selain itu, bisa
juga dyspepsia jenis itu terjadi akibat gangguan irama listrik dari lambung
atau gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal. Beberapa kebiasaan
yang bisa menyebabkan dyspepsia adalah menelan terlalu banyak udara.
Misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan mengunyah secara salah
(dengan mulut terbuka atau sambil berbicara). Atau mereka yang senang
menelan makanan tanpa dikunyah (biasanya konsistensi makanannya cair).
4
5
C. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-
zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL
yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga
rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak
adekuat baik makanan maupun cairan (Wibawa, 2006).
D. Path Way
8
E. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dyspepsia menjadi tiga tipe:
1. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus ( Ulkus – like dyspepsia ), dengan
gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau peberian antacid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic (Sujono, 2006).
2. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas ( dismotility-like
dyspepsia), dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Pper abdominal bloating
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan (Sujono, 2006).
3. Dyspepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
(Sujono, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama
kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi. Berikut merupakan pemeriksaan penunjang:
1. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan
kelainan serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter
9
11
12
- R/ Sucralfat
- R/ Domperidon
- R/ Paracetamol
4. Plan
a. Terapi Farmakologi
1. Lamsoprazol digunakan untuk mengatasi gangguan pada system
pencernaan akibat produksi asam lambung yang berlebihan.
2. Sucralfat digunakan untuk mengobati dan mencegah tukak lambung
serta ulkus duodenum.
3. Domperidon digunakan untuk mengobati rasa mual pada pasien.
4. Paracetamol digunakan untuk mengatasi demam.
b. Terapi Non Farmakologi
1. Modifikasi gaya hidup.
2. Disarankan pada pasien untuk makan tepat waktu.
3. Olahraga.
4. Mengurangi konsumsi alkohol.
5. Menghindari makanan pedas dan asam.
C. Ketepatan Pemberian Obat
1. Tepat Obat
Keputusan pemilihan obat diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang dipilih
berdasarkan pertimbangan manfaat dan resiko. Evaluasi ketepatan obat dinilai
berdasarkan kesesuaian pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis
yang telah tertulis (Sumawa, 2015). Obat-obatan yang digunakan pada terapi
ini sudah sesuai dengan indikasi yang ada yang sesuai dengan hasil diagnosis.
2. Tepat Pasien
15
D. Pembahasan
Dyspepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.
Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor diet dan
lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi
viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori (Djojoningrat, 2009).
Faktor diet dan sekresi asam lambung pada sindrom dispepsia menurut
Reshetnikov (2007) berkaitan dengan ketidakteraturan dalam pola makan dan
jeda antara jadwal makan yang lama. banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pola makan. Pola makan dipengaruhi oleh keinginan dari dalam dalam diri untuk
mempunyai bentuk tubuh (body image) yang ideal.
Pasien mengeluh nyeri pada abdomen atas, merasa mual dan demam.
Pasien diberikan terapi lansoprazol, sucralfat, domperidon dan paracetamol.
Lansoprazole adalah kelompok obat proton pump inhibitor (PPI). Obat ini
digunakan untuk mengatasi gangguan pada system pencernaan akibat produksi
asam lambung yang berlebihan, seperti sakit maag dan tukak lambung. Selain itu,
obat ini juga bisa meredakan gejala akibat naiknya asam lambung
kekerongkongan, seperti kesulitan menelan dan batuk berkepanjangan.
Lansoprazole bekerja dengan cara mengurangi jumlah asam yang dihasilkan oleh
dinding lambung. Lambung menghasilkan asam secara alami untuk mencerna
makanan dan membunuh bakteri. Namun asam ini bisa mengiritasi lambung
sendiri, oleh karena itu mukosa atau lender pelingdung diproduksi untuk
melindungi dinding lambung. Ketika lapisan mukosa pelindung ini mengalami
gangguan, asam lambung akan mulai melukai dinding lambung hingga
menyebabkan terjadinya peradangan, tukak, dan kondisi-kondisi lainnya. Selain
itu, sebagian orang juga juga mengalami masalah dengan katup otot (sfingter)
yang berfungsi sebagai pintu satu arah untuk masuknya makanan dari
kerongkongan ke lambung dan mencegah naiknya kembali makanan dari
17
A. Kesimpulan
Dyspepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Pasien
mengeluh nyeri pada abdomen atas, merasa mual dan demam. Pasien diberikan
terapi lansoprazole, sucralfat, domperidon dan paracetamol.
B. Saran
Sebaiknya pasien makan tepat waktu agar tidak terjadi penyakit berlanjut,
dan pasien menghindari makanan yang asam dan pedas. Harus lebih ditingkatkan
cara mengkonsumsi makanan agar tidak terjadi potensi ketidakpatuhan pasien
yang dapat menyebabkan kekambuhan yang dapat menimbulkan komplikasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015–2019. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
KEMENKES RI : Jakarta.
Dipiro, J., dkk. 2011. Pharmacotherapy: Pathophysiologic Approach
Inayah Iin, 2004, Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan
sistempencernaan, edisi pertama, Jakarta, Salemba Medika.
Manjoer, A, et al, 2000, Kapita selekta kedokteran, edisi 3, Jakarta, Medika
aeusculapeus.
Suryono Slamet, et al, 2001, buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 2, edisi , Jakarta,
FKUI
Doengoes. E. M, et al, 2000, Rencana asuhan keperawatan, edisi 3 Jakarta, EGC.
Price & Wilson, 1994, Patofisiologi, edisi 4, Jakarta, EGC.
Warpadji Sarwono, et al, 1996, Ilmu penyakit dalam, Jakarta, FKUI.
20