Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dyspepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.
Berdasarkan pendapat para ahli bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami
dispepsia (Djojoningrat, 2009).
Di Amerika Serikat, 25% dari seluruh penduduknya terkena sindrom
dispepsia (tidak termasuk keluhan refluks) dimana hanya 5% dari jumlah
penderita tersebut pergi ke dokter pelayanan primer. Di Inggris terdapat 21%
penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang berkonsultasi
ke dokter pelayanan primer. Dari seluruh penderita yang datang ke dokter
pelayanan primer, hanya 40% di antaranya dirujuk ke dokter spesialis (Wong et
al., 2002). Berdasarkan data tersebut bahwa 95% penderita di Amerika Serikat
membiarkannya saja bahkan 98% penderita di Inggris tidak pergi ke dokter.
Pembiaran atau pengabaian pada kejadian sindrom dispepsia terjadi mungkin saja
karena mereka menganggap bahwa hal tersebut hanyalah hal ringan yang tidak
berbahaya; atau bisa saja pembiaran tersebut terjadi karena tingkat pemahaman /
kesadaran mengenai kesehatan belum tinggi (Lu et al., 2005).
Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktik
umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia. Pasien
yang datang berobat ke praktik gastroenterologist terdapat sebesar 60% dengan
keluhan dispepsia (Djojoningrat, 2009). Berdasarkan data tersebut ternyata
pasien yang mengalami sindrom dispepsia cukup tinggi di Indonesia. Mengenai
profil kesehatan tahun 2010 menyatakan bahwa dispepsia menempati urutan ke-5
dari 10 besar penyakit dengan pasien yang dirawat inap dan urutan ke-6 untuk
pasien yang dirawat jalan (Depkes RI, 2004).

1
2

Kata Dyspepsia berasal dari bahasa -Yunani yang berarti  pencernaan yang
sulit / jelek, juga dikenal sebagai sakit perut atau gangguan pencernaan, mengacu
pada kondisi gangguan pencernaan Ini adalah suatu kondisi medis yang ditandai
dengan nyeri kronis atau berulang di atas.  perut kepenuhan dan merasa kenyang
lebih awal dari yang diharapkan ketika makan.  Hal ini dapat disertai dengan
kembung, bersendawa, mual, atau mulas. Dispepsia adalah masalah umum, dan
sering akibat penyakit gastroesophageal reflux (GERD) atau gastritis, tetapi
dalam sebuah minoritas kecil mungkin merupakan gejala pertama dari penyakit
ulkus peptikum (tukak lambung dari lambung atau duodenum) dan kadang-
kadang kanker (Djojoningrat, 2009).
Banyak sumber, banyak juga angka yang diberikan. Ada yang menyebut 1
dari 10 orang, namun ada juga yang menyatakan sekitar 25 persen dari populasi.
Mengenai jenis kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena
penyakit itu. Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama
saja. Di Indonesia sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada
tahun 2001 menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti.
Sayang, tidak hanya di Indonesia , di luar negeri pun, menurut sumber di
Internet, banyak orang yang tidak peduli dengan dispepsia itu. Mereka tahu
bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung mereka, tetapi hal itu tidak
membuat mereka merasa perlu untuk segera memeriksakan diri ke dokter (Lu et
al., 2005).
Padahal, menurut penelitian- masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari
mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus
(borok) pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri,
penyebab dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1
persen disebabkan oleh kanker lambung. Menurut Depkes (2003), dispepsia
berada pada peringkat ke 10 dengan proporsi 1,5% untuk kategori 10 penyakit
terbesar pada pasien rawat jalan diseluruh rumah sakit di Indonesia. Tahun 2004
dispepsia menempati urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat
3

inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3 % dan menempati urutan ke 35


dari 50 penyakit penyebab kematian. Survei yang dilakukan dr Ari F. Syam dari
FKUI pada tahun 2001 dari 93 pasien yang diteliti, hampir 50% mengalami
dispepsia. Berdasarkan data dari Rumah Sakit umum Mokopido Tolitoli tahun
2011 didapatkan bahwa angka kejadian rawat inap kasus dispepsia diruang
teratai interna berjumlah 204 pasien (22,7%), dan untuk tahun 2012 periode
bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2012 adalah 154 pasien, dengan
presentase 17,2% (DepkesRI, 2003).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan dyspepsia ?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya dyspepsia ?
3. Bagaimana terapi obat yang diberikan pada penderita dyspepsia ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan dyspepsia.
2. Mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya dyspepsia.
3. Mengetahui terapi obat yang diberikan pada penderita dyspepsia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dyspepsia
Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada ( heartburn) dan
regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia ( Mansjoer, Arif
Edisi III, 2000 hal : 488). Pengertian dyspepsia terbagi dua, yaitu:
1. Dyspepsia organic, bila telah diketahui adanya kelainan organic sebagai
penyebabnya. Sindroma dyspepsia organik terdapat keluhan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pancreas, radang empedu, dan lain – lain (Mansjoer, 2000).
2. Dyspepsia non-organik atau dyspepsia fungsional, atau dyspepsia non-
ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dyspepsia fungsional tanpa
disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan
klinis, laboratorium, radiologi, endoskopi ( teropong saluran pencernaan).
(Mansjoer, 2000).

Adapun klasifikasi dari dyspepsia, antara lain :

1. Dyspepsia Fungsional
Terdapat bukti bahwa dyspepsia fungsional berhubungan dengan
ketidaknormalan pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan
bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas). Selain itu, bisa
juga dyspepsia jenis itu terjadi akibat gangguan irama listrik dari lambung
atau gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal. Beberapa kebiasaan
yang bisa menyebabkan dyspepsia adalah menelan terlalu banyak udara.
Misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan mengunyah secara salah
(dengan mulut terbuka atau sambil berbicara). Atau mereka yang senang
menelan makanan tanpa dikunyah (biasanya konsistensi makanannya cair).

4
5

Keadaan itu bisa membuat lambung merasa penuh atau bersendawa


terus. Kebiasaan lain yang bisa menyebabkan dispesia adalah merokok,
konsumsi kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi.
Mereka yang sensitif atau alergi terhadap bahan makanan tertentu, bila
mengonsumsi makanan jenis tersebut, bisa menyebabkan gangguan pada
saluran cerna (Mansjoer, 2000).
Begitu juga dengan jenis obat-obatan tertentu, seperti Obat Anti-
Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik makrolides, metronidazole),
dan kortikosteroid. Obat-obatan itu sering dihubungkan dengan keadaan
dyspepsia. Yang paling sering dilupakan orang adalah faktor stres/tekanan
psikologis yang berlebihan (Mansjoer, 2000).
2. Penyakit Refluks Asam/Organik
Cukup sering ditemukan dyspepsia akibat asam lambung yang meluap
hingga ke esofagus (saluran antara mulut dan lambung). Karena saluran
esofagus tidak cukup kuat menahan asam -yang semestinya- tidak tumpah,
karena pelbagai sebab, pada orang tertentu asam lambung bisa tumpah ke
esofagus dan menyebabkan dyspepsia. Dyspepsia jenis itu bisa
menyebabkan nyeri pada daerah dada (Mansjoer, 2000).
3. Diagnosis
Mencari tahu sebab (diagnosis) dari dyspepsia tidaklah mudah. Dalam
dunia kedokteran, diagnosis harus ditegakkan dulu sebelum memberi
pengobatan. Dalam hal itu pengobatan dyspepsia boleh dibilang relatif
sukar karena untuk mengetahui dengan pasti penyebab penyakit itu relatif
tidak gampang (Mansjoer, 2000).
B. Etiologi
Dyspepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan pola
hidup. Menurut Guyton (1997) berikut ini berbagai penyakit (kondisi medis)
yang dapat menyebabkan keluhan dyspepsia :
6

1. Dyspepsia fungsional (nonulcer dyspepsia)


Dyspepsia fungsional adalah rasa tidak nyaman hingga nyeri di perut
bagian atas yang setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh tidak
ditemukan penyebabnya secara pasti. Dispepsia fungsional adalah
penyebab maag yang paling sering (Guyton, 1997).
2. Tukak lambung (stomach ulcers)
Tukak lambung adalah adanya ulkus atau luka  di lambung. Gejala
yang paling umum adalah rasa sakit yang dirasakan terus menerus, bersifat
kronik (lama) dan semakin lama semakin berat (Guyton, 1997).
3. Refluks esofagitis (gastroesophageal reflux disease)
4. Pangkreatitis
5. Iritable bowel syndrome
6. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus
Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin,
ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada lambung.
Jika pemakaian obat – obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan
terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya secara
terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan maag
(Guyton, 1997).
7. Stress fisik
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau
infeksi berat dapat menyebabkan gastritis serta pendarahan pada lambung
(Guyton, 1997).
8. Malabsorbsi (gangguan penyerapan makanan)
9. Penyakit kandung empedu
10. Penyakit liver
11. Kanker lambung (jarang)
12. Kanker esofagus (kerongkongan)(jarang)
7

C. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-
zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL
yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga
rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak
adekuat baik makanan maupun cairan (Wibawa, 2006).
D. Path Way
8

E. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi dyspepsia menjadi tiga tipe:
1. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus ( Ulkus – like dyspepsia ),  dengan
gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau peberian antacid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic (Sujono, 2006).
2. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas ( dismotility-like
dyspepsia), dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Pper abdominal bloating
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan (Sujono, 2006).
3. Dyspepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
(Sujono, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama
kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi. Berikut merupakan pemeriksaan penunjang:
1. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan
kelainan serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter
9

pylori menunjukkan ulkus peptikum namun belum menyingkirkan


keganasan saluran pencernaan (Schwartz, M William, 2004).
2. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium
Barret, dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse
untuk H.pylori (tes CLO) (Schwartz, M William, 2004).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan
kausa organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H.
pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia
baru. Pemeriksaan endoskopi diindikasikan terutama pada pasien dengan
keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien dengan tanda
alarm seperti penurunan berat badan, muntah, disfagia, atau perdarahan
yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit structural (Schwartz, M
William, 2004).
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan
kemungkinan komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat
GNJ, endoskopi direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada
evaluasi penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat
mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia organik atau
fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung (Schwartz, M William,
2004).
3. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
4. EGD : Tumor, PUD, penilaian esophagitis
5. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung
darah lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan
pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau
pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan untuk melakukan
10

pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas (Schwartz, M William,


2004).
G. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan non farmakologis
a. Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam
lambungMenghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang
peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres
b. Atur pola makan
2. Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
a. Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan
terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti
karena pross patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan
bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap placebo.
b. Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam
lambung) golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam
lambung) dan prokinetik (mencegah terjadinya muntah).
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Status Pasien
1. Identitas Pasien
a. Nama : Tn. H
b. Umur : 27 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Status : Menikah
e. Agama : Islam
f. No. RM : 617131
g. Diagnostik Medik : Dyspepsia
h. Tanggal Rawat Jalan : 1 Desember 2019
i. Tanggal Pengkajian : 1 Desember 2019
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pada saat pengkajian tanggal 1 Desember 2019, pasien mengeluh
nyeri pada abdomen atas, merasa mual dan demam.
b. Riwayat Kesehatan/ penyakit Sekarang
Keluarga pasien mengatakan sebelum pasien masuk rumah sakit
pada tanggal 27 November 2019 pasien sedang berpusa, kemudian
ketika pasien berbuka puasa dengan minum penyegar berupa Adam
sari (cairan yang asam), pasien tidak ada makan dan merasa nyeri pada
abdomen, kemudian pasien minum obat puyer dan nyerinya bertambah
dan rasanya sangat hebat.
c. Riwayat Kesehatan/ penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sebelumnya juga
pernah mengalami nyeri pada abdomennya, namun tidak terlalu lama
dan tidak sampai dibawa ke Rumah Sakit.

11
12

d. Riwayat Kesehatan/ penyakit Keluarga


Keluarga pasien mengatakan ibu pasien juga pernah mengalami
hal seperti apa yang dirasakan pasien, tapi tidak sampai masuk Rumah
Sakit dan tidak separah pasien.
3. Riwayat Alergi
Tidak ada alergi obat
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
1) Pasien tampak lemah dan terbaring ditenpat tidur, tingkat kesadran
pasien Composmentis dengan GCS 4, 5, 6.
Ket : 4 (Respon membuka mata spomtan)
5 (Respon verbal orientasi baik)
6 (Respon motorik mengikuti perintah)
2) Tanda-tanda Vital Pasien :
- Tekanan Darah : 110/ 60 mmHg
- Nadi : 100 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 38°C
3) Data Antropmetrik
- Berat Badan : 50 kg
- Tinggi Badan : 165 cm
- LLA  : 23 cm
- BBI   : 58.5 kg
b. Kulit
Stuktur kulit tampak simetris, kebersihan kulit baik, kulit teraba
agak lembab, tidak terdapat lesi atau luka pada kulit, turor kulit
kembali ± 2 detik, kulit teraba hagat dengan suhu 38°C, warna kulit
kuning langasat.
c. Mulut dan Gigi
13

Struktur mulut dan gigi tampak simetris, mukosa bibir tampak


kering, kebersihan mulut dan gigi cukup baik, tidak terapat peradangan
dan perdarahan pada gusi, lidah tapak bersih dan klien tidak
meggunakan gigi palsu.
d. Dada, Pernafasan dan Sirkulasi
Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 20x/menit, tidak ada nyeri
tekan pada dada, klien bernafas melalui hidung, tidak ada terdengar
bunyi nafas tambahan seperti wheezing atau ronchi, CRT kembali ± 3
detik.
e. Abdomen
Struktur abdomen simetris, abdomen tampak datar(tidak ada
benjolan), saat diperkusi terdenagr bunyi hipertimpani.Klien
mengatakan perutnya terasa kembung, saat dipalpasi terdapat nyeri
tekan, klien mengatakan nyeri didaerah abdomen pada bagin atas.
Klien mengatakn skala nyerinya 3 dan seperi disuk-tusuk, serta
nyerinya bisa berjam-jam.
B. Metode Pemecahan Farmasi Klinik
1. Subjektif
Pasien mengeluh nyeri pada abdomen atas, merasa mual dan demam.
2. Objektif
- Tekaan Darah : 110/ 60 mmHg
- Nadi : 100 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 38°C
3. Assasment
a. Pasien didiagnosis dyspepsia dari hasil pemeriksaan fisik.

b. Obat yang diberikan pada pasien :


- R/ Lansoprazole
14

- R/ Sucralfat
- R/ Domperidon
- R/ Paracetamol
4. Plan
a. Terapi Farmakologi
1. Lamsoprazol digunakan untuk mengatasi gangguan pada system
pencernaan akibat produksi asam lambung yang berlebihan.
2. Sucralfat digunakan untuk mengobati dan mencegah tukak lambung
serta ulkus duodenum.
3. Domperidon digunakan untuk mengobati rasa mual pada pasien.
4. Paracetamol digunakan untuk mengatasi demam.
b. Terapi Non Farmakologi
1. Modifikasi gaya hidup.
2. Disarankan pada pasien untuk makan tepat waktu.
3. Olahraga.
4. Mengurangi konsumsi alkohol.
5. Menghindari makanan pedas dan asam.
C. Ketepatan Pemberian Obat
1. Tepat Obat
Keputusan pemilihan obat diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang dipilih
berdasarkan pertimbangan manfaat dan resiko. Evaluasi ketepatan obat dinilai
berdasarkan kesesuaian pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis
yang telah tertulis (Sumawa, 2015). Obat-obatan yang digunakan pada terapi
ini sudah sesuai dengan indikasi yang ada yang sesuai dengan hasil diagnosis.

2. Tepat Pasien
15

Ketepatan pasien ialah ketepatan pemilihan obat yang


mempertimbangkan keadaan pasien sehingga tidak menimbulkan
kotraindikasi kepada pasien secara individu. Hal ini dikarenakan respon tiap-
tiap individu terhadap efek obat sangatlah beragam (Sumawa, 2015). Pada
pasien tersebut pemberian terapi obat disesuaikan dengan diagnosis yang
dialami.
3. Tepat Dosis
Kriteria tepat dosis yaitu tepat dalam frekuensi pemberian, dosis yang
diberikan, serta cara pemberian. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya
untuk obat yang memiliki indeks terapi sempit, akan sangat beresiko untuk
menimbulkan efek samping. Begitupun sebaliknya, dosis yang terlalu kecil
tidak menjamin tercapainya efek farmakologi yang optimal dan diharapkan
(Kemenkes, 2011).
4. Tepat Cara Pemberian
Ketepatan cara pemberian yaitu tepat tidaknya cara pasien dalam
mengkonsumsi obat. Misalnya antasida harus dikunyah dahulu kemudian baru
ditelan. Begitu pula interval waktu pemberian, sebaiknya dibuat sesederhana
mungkin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Karena
semakin sering frekuensi pemberian obat per hari, semakin rendah kepatuhan
pasien untuk meminum obat. Pasien diberikan terapi obat peroral yaitu
lansoprazole, sucralfat, domperidon, dan paracetamol.
5. Tepat Waktu Pemberian
a. Lansoprazole diberikan 1x1 sehari dan diminum pada malam hari sebelum
makan.
b. Sucralfat diberikan 3x1 sehari dan diminum sebelum makan.
c. Domperidon diberikan 3x1 sehari dan diminum pada pagi,siang dan malam
setelah makan.
d. Paracetamol diberikan 3x1 sehari dan diminum pada pagi, siang dan
malam setelah makan.
16

D. Pembahasan
Dyspepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.
Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor diet dan
lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi
viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori (Djojoningrat, 2009).
Faktor diet dan sekresi asam lambung pada sindrom dispepsia menurut
Reshetnikov (2007) berkaitan dengan ketidakteraturan dalam pola makan dan
jeda antara jadwal makan yang lama. banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pola makan. Pola makan dipengaruhi oleh keinginan dari dalam dalam diri untuk
mempunyai bentuk tubuh (body image) yang ideal.
Pasien mengeluh nyeri pada abdomen atas, merasa mual dan demam.
Pasien diberikan terapi lansoprazol, sucralfat, domperidon dan paracetamol.
Lansoprazole adalah kelompok obat proton pump inhibitor (PPI). Obat ini
digunakan untuk mengatasi gangguan pada system pencernaan akibat produksi
asam lambung yang berlebihan, seperti sakit maag dan tukak lambung. Selain itu,
obat ini juga bisa meredakan gejala akibat naiknya asam lambung
kekerongkongan, seperti kesulitan menelan dan batuk berkepanjangan.
Lansoprazole bekerja dengan cara mengurangi jumlah asam yang dihasilkan oleh
dinding lambung. Lambung menghasilkan asam secara alami untuk mencerna
makanan dan membunuh bakteri. Namun asam ini bisa mengiritasi lambung
sendiri, oleh karena itu mukosa atau lender pelingdung diproduksi untuk
melindungi dinding lambung. Ketika lapisan mukosa pelindung ini mengalami
gangguan, asam lambung akan mulai melukai dinding lambung hingga
menyebabkan terjadinya peradangan, tukak, dan kondisi-kondisi lainnya. Selain
itu, sebagian orang juga juga mengalami masalah dengan katup otot (sfingter)
yang berfungsi sebagai pintu satu arah untuk masuknya makanan dari
kerongkongan ke lambung dan mencegah naiknya kembali makanan dari
17

lambung ke kerongkongan. Masalah yang terjadi pada otot tersebut


menyebabkan asam terlepas naik ke atas dan menyebabkan iritasi pada
kerongkongan, sehingga munculah gejala-gejala penyakit asam lambung
(GERD).
Sukralfat adalah obat untuk mengobati dan mencegah tukak lambung serta
ulkus duodenum. Sukralfat juga dapat digunakan untuk mengatasi peradangan
pada lambung (gastritis) dan mencegah perdarahan saluran cerna. Obat ini
bekerja dengan membentuk lapisan pada bagian yang luka dan melindunginya
dari asam lambung yang dapat memperlambat penyembuhan. Konsumsi sukralfat
dalam keadaan perut kosong, 1 jam sebelum makan, atau sesuai anjuran dokter.
Jika menggunakan sukralfat dalam bentuk suspensi, kocok botol sebelum
dikonsumsi. Lanjutkan konsumsi sukralfat meski sudah tidak merasakan nyeri
lambung, dan jangan berhenti mengonsumsi obat tanpa berkonsultasi dengan
dokter. Butuh waktu 4 sampai 8 minggu agar sembuh sempurna.
Domperidone adalah obat untuk meredakan mual dan muntah. Obat ini
tersedia dalam bentuk tablet 10 mg, sirup, dan drop. Dosis obat perlu disesuaikan
dengan usia dan kondisi yang diderita. Domperidone bekerja dengan
mempercepat gerakan saluran pencernaan, sehingga makanan di dalam lambung
lebih cepat menuju usus. Akibatnya, rasa mual dapat berkurang. Selain mual dan
muntah, domperidone dapat digunakan untuk mengatasi gangguan gerakan
saluran cerna, seperti gastroparesis. Domperidone juga bisa dimanfaatkan untuk
merangsang atau memperbanyak produksi ASI. Terlepas dari khasiatnya,
penggunaan domperidone harus dilakukan sesuai dengan anjuran dokter karena
berisiko mengganggu irama jantung, terutama pada pasien lanjut usia.
Parasetamol adalah obat jenis analgetik dan antipiretik yang biasa
digunakan untuk mengatasi nyeri ringan - sedang dan demam. Obat ini populer di
Amerika dan Eropa begitu juga di Indonesia. Nama lain obat demam ini
yaitu acetaminophen Parasetamol bekerja langsung di pusat saraf dengan
mempengaruhi ambang rasa sakit dengan menghambat enzim cyclooxsygenase,
18

COX-1, COX-2 dan COX-3 yang terlibat dalam pembentukan prostaglandin,


substansi yang bertindak mengatur rasa sakit dan diketahui juga sebagai regulator
panas pada hipotalamus.
Lansoprazole diberikan 1x1 sehari dan diminum pada malam hari sebelum
makan. Sucralfat diberikan 3x1 sehari dan diminum sebelum makan.
Domperidon diberikan 3x1 sehari dan diminum pada pagi,siang dan malam
setelah makan. Paracetamol diberikan 3x1 sehari dan diminum pada pagi, siang
dan malam setelah makan.
E. Konseling
Konseling mengenai komunikasi, informasi dan edukasi untuk penderita
hipertensi antara lain :
1. Sebisa mungkin kurangi atau hindari makanan yang pedas dan asam.
2. Memakanan makanan yang bersifat lembek terlebih dahulu.
3. Hindari makan terlambat.
4. Menyarankan untuk melakukan pola hidup sehat..
5. Penggunaan Lansoprazol diminum satu kali sehari satu kapsul sebelum makan.
6. Penggunaan Sucralfat diminum tiga kali sehari satu sendok makan setelah
makan.
7. Penggunaan Domperidon apa bila merasa mual dan muntah.
8. Penggunaan Paracetamol tiga kali sehati satu tablet.
.BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dyspepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Pasien
mengeluh nyeri pada abdomen atas, merasa mual dan demam. Pasien diberikan
terapi lansoprazole, sucralfat, domperidon dan paracetamol.
B. Saran
Sebaiknya pasien makan tepat waktu agar tidak terjadi penyakit berlanjut,
dan pasien menghindari makanan yang asam dan pedas. Harus lebih ditingkatkan
cara mengkonsumsi makanan agar tidak terjadi potensi ketidakpatuhan pasien
yang dapat menyebabkan kekambuhan yang dapat menimbulkan komplikasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. KEMENKES RI : Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015–2019. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
KEMENKES RI : Jakarta.
Dipiro, J., dkk. 2011. Pharmacotherapy: Pathophysiologic Approach
Inayah Iin, 2004, Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan
sistempencernaan, edisi pertama, Jakarta, Salemba Medika.
Manjoer, A, et al, 2000, Kapita selekta kedokteran, edisi 3, Jakarta, Medika
aeusculapeus.
Suryono Slamet, et al, 2001, buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 2, edisi , Jakarta,
FKUI
Doengoes. E. M, et al, 2000, Rencana asuhan keperawatan, edisi 3 Jakarta, EGC.
Price & Wilson, 1994, Patofisiologi, edisi 4, Jakarta, EGC.
Warpadji Sarwono, et al, 1996, Ilmu penyakit dalam, Jakarta, FKUI.

20

Anda mungkin juga menyukai