Anda di halaman 1dari 5

ULANGAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH UNDANG-UNDANG DAN ETIKA

NAMA : DEVON S BUYANTORO


NIM : E0016012
KELAS : 4A FARMASI
MATA KULIAH : UNDANG-UNDANG DAN ETIKA
DOSEN PENGAMPU : AGUNG NUR CAHYANTA, M.Farm.,Apt
TIPE SOAL : TAKE HOME ASSIGMENT

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2019
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,yang


selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur
mengenai hak-hak konsumen, begitu pula dengan kewajiban-kewajiban
konsumenserta pelaku usaha. Pasien sebaga ipengguna jasa kesehatan yang diatur
dalam Undang-Undang kesehatan dapat dikualifikasi sebagai konsumen. Kedua
undang - undang ini, baik Undang-Undang Kesehatan maupun Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan peranannya sebagai peraturan yang
mengatur masalah perlindungan hukum terhadap pasien yang dirugikan, atas
tindakan apoteker yang melakukan kesalahan dalam pemberian obat berdasarkan
resep dokter. Selain itu juga mengenai tanggung jawab perdata yang harus
ditempuh apoteker, sebagai upaya untuk mengganti kerugian yang diderita pasien
atas tindakan kesalahannya itu.

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya


di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi
dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi
dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi


konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang
dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas
bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui
kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran


konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh
rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan
Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Hubungan hukum antara pasien dan pengobat tradisional adalah hubungan


hukum antara konsumen dan penyedia jasa, sebagaimana diatur dalam UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).
Dalam pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Konsumen disebutkan, konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan, Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi (pasal 1 angka 3).

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pelaku pengobatan


tradisional, yang menyediakan jasa pengobatan tradisional, dapat dikatakan
sebagai pelaku usaha. Sedangkan pasiennya, yang mendapatkan jasa pengobatan
tradisional tersebut, dapat dikategorikan sebagai konsumen. Dengan demikian,
UU Perlindungan Konsumen dapat diterapkan dalam hubungan antara pasien dan
pelaku pengobatan tradisional.

Menentukan bahwa pengobat tradisional tersebut telah melakukan


kelalaian atau kesalahan dalam melakukan upaya pengobatannya memang agak
sulit karena belum ada standar yang secara khusus mengatur pelayanan
pengobatan tradisional. Akan tetapi, Anda dapat menggunakan UU Perlindungan
Konsumen dalam hal ini. Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan
bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan
barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Apabila
Anda merasa bahwa jasa yang diberikan tidak sesuai dengan iklan atau promosi
penjualan jasa pengobatan tradisional tersebut, maka Anda dapat menggunakan
ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen ini.

Seperti telah diuraikan di atas, ketentuan dalam UU Perlindungan


Konsumen dapat diterapkan dalam hubungan antara pasien dan pengobat
tradisional.

Dalam psal 58 UU Kesehatan, disebutkan,

“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”

Jadi, apabila Anda merasa bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
pengobat tradisional merugikan Anda, Anda dapat mengajukan gugatan ganti rugi
ke pengadilan.

Selain itu, Anda dapat melaporkan pelanggaran atas pasal 8 UU


Perlindungan Konsumen, yaitu memproduksi/memperdagangkan jasa yang tidak
sesuai dengan iklan/promosi. Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen mengatur
bahwa hal tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.

Anda mungkin juga menyukai