Anda di halaman 1dari 20

C.

Tinjauan Sejarah Islam mengenai Aliran – Aliran Keagamaan

Ajaran Islam, selain berisi doktrlin pokok yang bersifat absolut dan

universal juga berisi bagaian yang mencerminkan palksanaan dan pengamalan

agama pada tempat dan lingkungan tertentu, masa dan era tertentu, latar belakang

sosial tertentu, berbeda yang satu dengan yang lainnya bahkan kadangkala terlihat

kontrdiktif. Perbedaaan pendapat serta kontradiktif tersebut dapat diredam

pangaruh negatifnya apabila kita mampu dan berani menarik garis pemisah

anatara bagaian doktrin pokok yang bersifat absolut dan universal.

Sepeninggal Rasulullah telah terjadi beda pendapat. Perbedaan pendapat

itu terjadi secara umum menyangkut segala segi kehidupan baik yang barkaitan

dengan akidah, fiqih dan hukum Islam yang menyangkut ibadah, muamalah dan

sebagainnya termasuk masalah polotik sosial dan budaya. Perbedaaan pendapat

itu bukan hanya terjadi dikalangan umat Islam saja, akan tetapi dalam agam lain

pun kita dapat ketemukan. (Abu Zahroh, 1992;4).

Dulu umat Islam adalah satu, agama Islam berdiri tegak pada masa

khilafah Abû Bakar dan ‘Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ. Tatkala ‘Umar terbunuh

secara syahid maka pecahlah pintu fitnah, orang-orang yang berhati busuk

memimpin demontrasi hingga mereka menyembelih khalifah ‘Utsmân ibn ‘Affân

al-Syahid tanpa ada perlawanan sedikitpun. Maka terpecahlah suara umat Islam

hingga terjadilah peristiwa perang unta dan perang shiffin. Maka saat itu

muncullah kelompok Khawarij yang mengkafirkan para sahabat-sahabat besar,

lalu muncul Syî’ah (Rafîdhah, pendukung ‘Alî) dan Nashibah (memusuhi,

membenci ‘Alî).
Pada masa akhir sahabat, muncul Qadariyah, lalu muncul Mu'tazilah di

Bashrah, Jahmiyah dan Mujassimah di Khurasan di tengah-tengah masa Tabi'in

ketika sunnah dan orang-orangnya masih berkuasa. Maka ketika masuk abad

ketiga, muncullah khalifah al-Ma’mûn yang cerdik dan rasionalis, dia

mendatangkan buku-buku filsafat yunani hingga Jahmiyah dan Mu'tazilah

mengangkat kepala, begitu pula Syî’ah.( Siyar A’lâm al-Nubalâ, 11/236.)

1. Khawârij

Mereka adalah pengikut ‘Alî yang kecewa dengan peristiwa tahkîm,

mereka meyakini bahwa tahkîm tersebut maksiat dan kufur, lalu mereka terpecah

menjadi 20 kelompok dan yang masih eksis hingga kini adalah al-Ibâdiyah (di

Oman dan Afrika Utara). Mereka menganggap semua sahabat sebelum tahkîm

adalah adil (saleh dan terpercaya) semua, kemudian mereka mengkafirkan

sahabat, seperti Thalhah, al-Zubair, ‘Âisyah, Abû Mûsâ al-Asy’arî, Amr ibn ‘Âsh,

Mu’âwiyah dan seluruh Khalifah Bani Umaiyah dan orang-orang yang ridha

dengan tahkim, dengan demikian banyak sunnah Nabi yang mereka ingkari,

terutama hadits-hadits tentang fadhilah ahlu bait (keutamaan keluarga Nabi).

Mereka sampai berpaham seperti ini, karena salah dalam menafsirkan al-

Qur'an, mereka menafsiri al-Qur`ân, tidak utuh dan hanya mengandalkan

pemahaman (ra'yu)-nya sendiri, tanpa merujuk kepada sunnah dan aqwal sahabat,

padahal mereka semua bukan ulama. Ibn Hazm mengatakan: "Mereka adalah

orang-orang Badui yang membaca al-Qur`ân sebelum memahami sunnah yang

tetap dari Nabi Sholallhu 'Alaihi Wa Salam. Dan di tengah-tengah mereka tidak

ada seorangpun dari para fuqaha, tidak dari murid-murid ibn Mas'ud atau murid-
murid Umar karena itu mereka mudah sekali saling mengkafirkan yang

diakibatkan oleh masalah yang kecil.( Lihat, Ahmad Muhammad Jali, Dirâsah ‘an

al-Firaq fî Târîkh al-Muslimîn: al-khawârij wa al-Syî'ah, (Riyadh, Markaz al-

Faishal, 1988), hal. 61-65)

Pada perkembangan selanjutnya, kelompok Ibadhiyah (Abadhiyah)

memiliki banyak kesamaan dengan aqidah Mu'tazilah, seperti: menolak sifat-sifat

Allah, termasuk ru'yah (melihat) kepada Allah di surga, mengatakan al-Qur'an itu

makhluq (ibadhiyah Maghrib), dan menolak syafa'at.

2. Syi'ah

Yang dimaksud dengan Syi'ah di sini adalah kelompok yang melampaui

batas dalam mencintai Ali Radhiyallhu 'Anhu, hingga mereka mengkafirkan

semua sahabat kecuali empat hingga lima belas sahabat yang dianggap setia

dengan Ali. Dengan demikian mereka menolak sunnah-sunnah Nabi yang

diriwayatkan oleh para sahabat Nabi Sholallhu 'Alaihi Wa Salam, terutama

mereka mengingkari hadits-hadits tentang manaqib sahabat Radhiyallhu 'Anhu.

(keutamaan para sahabat).

Mereka sampai sesat seperti ini karena tidak mau mengikuti para sahabat

Rasul Sholallhu 'Alaihi Wa Salam dalam memahami agama ini, melainkan

mengikuti hawa nafsunya sendiri dan mengikuti seorang Yahudi; Abdullah ibn

Saba'. Karena dalam sejarah, orang yang pertama kali dikenal mencaci maki

sahabat dan mencela Khulafa' Rasyidin dan yang menyuarakan adanya wasiat

imamah untuk Ali adalah ibn Saba' ini.( Lihat, Mamduh Farhan Buhairi, al-Syi'ah

Minhum Alaihim, (Indonesia, Dar al-Faruq, 1422, hal. 13017)


Dalam perkembangan selanjutnya, syi'ah terpecah menjadi banyak sekte,

yang terbesar sekarang adalah Rafidhah atau Syi'ah imamiyah. Pokok aqidah

mereka antara lain adalah:

1. al-Qur'an itu memiliki zhahir dan bathin, manusia hanya mengetahui yang

zhahir, sedangkan yang batin tidak diketahui kecuali oleh para imam

Syi'ah.

2. Semua sahabat murtad, kecuali empat orang (Salman al-Farisi, Abu Dzar

al-Ghifari, Miqdad ibn al-Aswad, Abu Darda').

3. Mengingkari semua sunnah yang diriwayatkan oleh sahabat, kecuali dari

empat sahabat di atas, atau yang datang dari imam mereka(Ibid, hal. 27,

169-188; Ahmad Muhammad Jali, op.cit, hal. 233-240; Nashir ibn Abd.

Allah al-Qifari, Ushul Madzhab al-Syi'ah al-Imamiyah al-Itsna Asyariyah,

cet. II, 1994, 1/125-399) Tidak ada (al-Qifari, Ibid, 1/403)

3. Mu'tazilah

Paham i’tizal yang dicetuskan oleh Wasil ibn Atha' (w. 131 H), tidaklah

mengikuti jalur politik sebagaimana khawarij dan syi'ah, tetapi mengikuti jalur

pemikiran murni yang dibangun di atas logika filsafat Yunani, sehingga mereka

mengingkari hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah dan tentang ghaibiyyat.

Mu'tazilah terpecah menjadi 22 kelompok yang saling mengkafirkan satu sama

lain. Di antara pecahan mereka adalah:

- Washiliyah: pengikut Wasil ibn Atha' yang meragukan keadilan

(kesalehan) para sahabat sejak terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman).

- Amriyah: Pengikut Amr ibn Ubaid yang meyakini kefasikan para sahabat
sejak zaman fitnah.

- Nazhzhamiyah: Pengikut Abu Ishaq Ibrahim ibn Sayyar al-Nazhzham,

yang mencaci maki para sahabat-sahabat besar dan menuduh mereka

dengan kata-kata dusta, bodoh dan munafik. Ketiga kelompok ini menolak

sunnah-sunnah Nabi yang riwayatnya dari para sahabat tersebut. Lebih

dari itu al-Nazhzham mengingkari hujjiyah ijma' dan qiyas dan

mengingkar i Qath'iyah hadits mutawatir.

- Hudzailiyyah: pengikut Muhammad ibn al-Hudzail al-Allaf, yang menolak

hadits ahad kecuali jika diriwayatkan oleh 20 orang yang salah satunya

adalah ahli Syurga.

Dengan demikian yang membuka pintu lebar-lebar bagi para Orientalis

untuk mencela dan mendustakan para sahabat Nabi Sholallhu 'Alaihi Wa Salam

adalah kaum Mu'tazilah, setelah sebelumnya dilakukan oleh Syi'ah.

Sebab sesatnya Mu'tazilah adalah keluar dari bimbingan ulama, seperti

yang terlihat dari kisah Washil ibn Atha', dan mengandalkan ra'yunya semata

sebagai ganti dari sunnah dan atsar. Kemudian mengambil pemikiran liar yang

sedang berkembangdi Bashrah saat itu, yaitu pemikiran Qadariyah, Jahmiyah, dan

Khawarij, sehingga Mu'tazilah menolak sifat-sifat Allah, menolak syafa'at,

menolak taqdir, mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluq, mewajibkan turun

kepada pemerintah yang dianggap bersalah (kalau tidak mau, maka wajib

diperangi) dan menghukumi kekal di neraka bagi orang yang berdosa

besar(Awwad al-mu'tiq, al-Mu'tazilah, (Riyadh, Dar al-Ashimah, 1409), hal. 27-

28)
4. Pengaruh Mu'tazilah pada sebagian ahli fiqh

Setelah serangan Mu'tazilah tehadap sunnah, maka muncullah tokoh

Mu'tazilah Bisyr al-Murisi (w. 218 H) yang dalam fiqh menganut madzhab

Hanafi, begitu pula Qadhi Isa ibn Aban (w. 221 H), mereka berdua berpendapat

bahwa Qiyas (akal) harus didahulukan dari pada hadits ahad bila perawinya tidak

faqih seperti Abu Hurairah dan Anas ibn Malik Radhiyallahu 'Anhuma. pemikiran

mereka yang menyimpang ini tidak laku hingga akhirnya ada kelompok

mutaakhkhirin dari orang-orang Hanafiyah yang membangun ushul dan furu'

berdasarkan pendapat Isa ibn Aban ini, sehingga mereka menta'wil hadits-hadits

shahih dengan ta'wil yang bathil(Shalahudin Maqbul, Zawabi' Fi Wajh al-Sunnah,

hal. 51-65)

B. Pada Masa Modern

Pada masa modern ini, sunnah dan al-Qur'an banyak mendapatkan

perlawanan yang lebih dasyat dari yang sebelumnya dari orang-orang yang jatuh

mentalnya dan merasa inferior di hadapan peradaban Barat yang menjadi

penjajah. Setelah berinteraksi dan bersinggungan dengan Barat modern, sebagian

intelektual muslim berkesimpulan bahwa untuk bisa mengejar kemajuan Barat,

umat Islam harus rajin berpikir dan meninjau kembali warisan syariat Islam di

bawah terang visi peradaban Barat, maka lahirlah apa yang disebut dengan

gerakan "Tajdid", yang terus berkembang sampai melahirkan paham Islam

Liberal.

1. Gerakan Tajdid
Tajdid dalam istilah Islam berarti menghidupkan kembali rambu-rambu

Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Ilmiyah agama ini dengan menjaga

nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama ini dari debu-debu

bid'ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang Nazhariyah

(pemikiran), amaliyah (Ibadah) maupun bidang Sulukiyah (perilaku akhlaq). Akan

tetapi gerakan Tajdid yang dimaksud di sini adalah mengikuti pengertian tajdid

dalam terminology Barat yang berarti pandangan keagamaan yang dibangun di

atas keyakinan bahwa kemajuan sains dan peradaban modern mengharuskan

adanya pengkajian ulang terhadap ajaran keagamaan tradisional sesuai

pemahaman-pemahaman filsafat dan ilmu pengetahuan yang berkembang.

Menurut pandangan ini suatu agama dianggap benar selagi tidak bersebrangan

dengan dinamika kemajuan peradaban.

Ajakan untuk melakukan "Tajdid" terhadap agama Islam oleh orang-orang

yang bernisbat kepada Islam muncul pada akhir abad ke-19 M, disaat dunia Islam

diduduki dan dikuasai oleh para penjajah dari Barat. Ajakan ini dilakukan oleh

segelintir putra-putra Islam yang telah terwarnai oleh filsafat Barat. Untuk

kepentingan ini mereka menciptakan istilah-istilah yang menggiurkan seperti

"Ashraniyah" (modernisme), "Tanwir" (pencerahan), Tajdid (perbaruan) dan

terkadang "al-Yasar al-Islami" (Islam kiri).

Orang yang paling menonjol dalam gerakan ini adalah Sayyid Ahmad

Khan dan muridnya Sayyid Amir Ali, syeikh Muhammad Abduh, dan muridnya

Qosim Amin, Muhammad Iqbal, Abbas al-Aqqad, Syeikh Abd Allah al-Alili, Dr.

Hasan al Turabi, Rasyid Ghanusyi, Fahmi Huwaidi dan lain-lain.


Di India, Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) membujuk kaum

muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Iggris, ia juga

menolak Tafsir al-Qur'an yang sudah ada, ia kemudian menulis tafsir dalam 6 jilid

dengan metode baru yang banyak dipengaruhi oleh budaya Barat, ia juga menolak

ijma' dan konsep ijjtihad. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang

kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara itu Amir Ali (1879-

1928) melalui buku The Spirit of Islam (diterjemahkan oleh HB Yassin dengan

judul Api Islam) berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuji di Iggris

pada masa Ratu Victoria, Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah

pelopor agung Rasionalisme.

Di Mesir, Rifa'ah al-Thafthawi (1800-1873), yang tinggal 7 tahun di Paris

dan kembali ke Mesir pada tahun 1831, adalah peletak batu pertama dalam

memusuhi hijab dengan menghalalkan dansa antara laki-laki dan perempuan. Pada

tahun 1871 seorang Syi'ah Iran datang ke Mesir, dia adalah anggota gerakan

Masuniyah (Free Masonry) yang berpaham Pluralisme (semua agama sama).

Karena ia menyebarkan pemikiran revolusi menentang pemerintah, maka pada

tahun 1879 oleh al-Khidiwi Tawfik (Muhammad Tawfik Basha), ia dikeluarkan

dari Mesir, dia adalah Jamaludin al-Afghanai (1838-1897), guru dari Muhammad

Abduh (1849-1905). Abduh adalah murid al-Afghani yang paling menonjol, tapi

pengaruhnya melebihi gurunya karena latar belakang keagamaannya. Setelah

revolusi Arab oleh murid-murid al-Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi

-saat itu Abduh jadi Syeikh al-Azhar- maka Abduh diasingkan ke Beirut. Hasil

revolusi Arab adalah Mesir dikendalikan oleh Inggris (1882 M).


Setelah pulang dari pembuangan karena syafaat Inggris, Abduh pindah

haluan, dari revolusi menjadi reformasi (modernisasi) yang intinya adalah:

mendekatkan Islam dengan Barat atau menundukkan (menyesuaikan) ajaran Islam

dengan budaya dan peradaban Barat. Hal ini telah dimulai oleh Abduh saat ia

menjalani masa pengasingan di Beirut pada tahun 1883 M. setelah ia bertemu

dengan misionaris Inggris Ishac Taylor, ia mendirikan lembaga pendekatan antara

agama-agama yang bernama "Jam'iyah Ta'lif Wa al-Taqrib", bersama Mirza

Muhammad Baqir al-Irani dan Jamaludin al-Afghani. Akhirnya atas petunjuk

Konsul Inggris di Mesir, Abduh diangkat jadi Mufti Mesir. Abduh memandang

bahwa jihad yang ada dalam Islam hanyalah membela diri, intinya ia tidak ingin

berurusan dengan orang kafir, meskipun Mesir, negerinya sendiri dijajah para

penyembah salib.

Setelah Abduh kembali ke Mesir, ia melakukan program "Tajdid" yang

intinya adalah:

1. Mendekatkan kaum muslimin kepada orang-orang kafir.

2. Memupus semangat jihad agar hidup tenang tidak ada masalah.

3. Mengajak kepada Nasionalisme Mesir, pisah dari khilafah Islamiyah.

4. Kontekstualisasi Islam agar sesuai dengan kehidupan modern dengan cara

ta'wil dan tahrif.

5. Dakwah kepada "pembebasan" wanita muslimah. Dalam hal ini Abduh

dibantu oleh murid-muridnya yang bernama Qasim Amin (1865-1908)

(penulis buku Tahrir al-Mar`ah pada tahun 1899, setelah beberapa tahun

ia menulis al-Mar'ah al-Jadidah) dan Luthfi Sayyid dan oleh sahabat-


sahabatnya terutama Thaha Husain (1889-1973). Mereka itulah yang

memelopori "kelas campur" (co-Educational Classes) dalam program

pendidikan tinggi di Mesir.

Perjuangan Abduh yang tadinya ingin membangun bendungan bagi umat

Islam agar tidak terkena terpaan gelombang sekularisme, ternyata tanpa ia sadari,

justru menjadi jembatan bagi orang-orang sekularis(lihat Sulaiman al-Kharasi, al-

Ashrariyah Qantharah al-Almaniyah, di al-Karashi @Hotmail.com; Majalah al-

Bayan, vol. 149/1421 hal. 70, 82, 83.). Dalam hal ini ucapan al-Afghani sangat

tepat: "Pengalaman telah mengajarkan kita bahwa para peniru dari setiap bangsa,

yang memplagiat tahap-tahap kemajuan bangsa lain, mereka itu menjadi pintu-

pintu masuk yang diketuk oleh para musuh; menjadi bagian dari tunas penjarah

dan penyerbu, membukakan jalan untuk mereka, lalu merekapun menapakkan

kaki dengan mantap di bumi kita (Muhammad Imarah, op.cit, hal. 66)

Lalu muncul Ali Abdul Raziq (1880-1966) yang menentang system

khilafah Islamiyah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena

Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Salam hanyalah pemimpin agama, semua jihad

yang dilancarkannya hanyalah karena faktor duniawi, sedangkan khilafah

Rasyidah adalah pemerintahan yang tidak agamis. Menurutnya hukum zaman nabi

Sholallahu 'Alaihi Wa Salam itu tidak menentu dan ijma'-pun bukan hujjah,

karena itu ia divonis oleh para ulama sebagai ulama su'. Jejak Ali ini diteruskan

oleh Muhammad khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa: yang

dikehendaki oleh al-Qur'an hanyalah system demokrasi tidak ada yang lain.1

1
Sedangkan di Tunis muncul Burqibah yang mencabuti hijab dari wanita-wanita

Tunis, sehari setelah kemerdekaan. Lalu Thahir al-Haddad penulis kitab Imra'atani

fi al-Syariah wa al-Mujtama' pada tahun 1930).( Majalah al-Bayan, op.cit, hal.

83.)

Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di

perancis, ia menggagas tafsir al-Qur'an model baru yang didasarkan pada berbagai

disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda),

antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya ia ingin menela'ah Islam berdasarkan

ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman

pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran di luar Islam(Mu'adz,

Muhammad Arkoun, Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur'an, Jurnal Salam,

vol. 3 no. 1/2000, hal. 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; William M Watt:

143.)Di Pakistan muncul Fadzlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika

dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas Tafsir kontekstual,

satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-

Qur'an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh

al-Qur'an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.

Gagasan Rahman ini dikenal dengan konsep Etiko Religius al-Qur'an (Pemikiran

Gerakan Tajdid) dan metode Tafsir Ganda.( Fazlur Rahman: 21; William M. Watt:

142-143)

a. Tajdid dalam Bidang Ushuluddin

1. Memperbaharui aqidah sesuai dengan terang visi filsafat Barat modern,


sehingga sebagaian mereka menyuarakan "Wihdah al-Wujud".

2. Membongkar aqidah hari kebangkitan dan kehidupan akhirat dan

menggantinya dengan "perubahan kejiwaan, dari satu fase ke fase yang

lebih tinggi". Jadi dunia dan akherat bukanlah dua tempat nyata

sebagaimana yang ada dalam al-Qur'an.

3. Mendukung aqidah kaum Jahmiyah, Qadariyah dan Mu'tazilah dalam

bidang Taqdir, bahwasanya Allah tidak menciptakan perbuatan para hamba

dan tidak mengetahaui segala sesuatu kecuali secara global.

4. Berpendapat bahwa Nubuwah (kenabian) adalah kemampuan manusiawi,

anugerah alami dan kesiapan naluri (fitri) yang terus dikembangkan oleh

seseorang, sebagaimana seorang penyair mengembangkan potensi

bakatnya, sehingga mereka mengingkari mukjizat.

5. Berpendapat bahwa Malaikat itu hanyalah kekuatan kebaikan yang ada

pada diri manusia. Sedangkan syetan adalah kekuatan keburukan.

6. Berpendapat bahwa manusia itu berevolusi, bermula dari benda mati

kemudian tumbuhan kemudian hewan, sebagaimana teori Darwin. Bahkan

mereka juga meyakini evolusi agama seiring dengan evolusi sosial. Lebih

dari itu sebagian mereka menyuarakan "Wihdah al-Adyan" (kesatuan

agama).

b. Tajdid dalam bidang metodologi pemikiran dan argumentasi

1. Mencukupkan diri dengan al-Qur'an. Husen Ahmad Amin mengklaim

secara dusta bahwa Usman ibn Affan t. Telah membuang 500 ayat dari al-

Qur'an.
2. Menggunakan metode kritis modern untuk menulis kembali hadits Nabi

Sholallahu 'Alaihi Wa Salam, karena mengikuti para orientalis kafir,

seperti Goldziher (1850-1921 M).( Lihat: Agus Hasan Bashari, Yahudi

Pelopor Inkar Sunnah, Majalah al-Sunnah, edisi 10/Th V/1422/2001 M,

hal. 14-16) Mereka mengklaim bahwa studi hadits yang ada hanyalah

kritik sanad, tidak ada kritik matan.

3. Membagi hadits Nabi, dari sisi kemanusiaan Nabi Sholallahu 'Alaihi Wa

Salam menjadi hadits tasyri'iyah dan hadits Ghair Tasyri'iyah. Hadits

Tasyri'iyah khusus berkaitan dengan ritual ibadah (urusan privat) seperti

ibadah shalat dan puasa, maka hadits ini mengikat dan wajib diikuti.

Sedangkan hadits ghair Tasyri'iyah adalah hadits yang mengatur urusan

publik, dunia dan politik, maka ini tidak mengikat dan tidak wajib diikuti,

karena ini di luar tugas Rasul Sholallahu 'Alaihi Wa Salam dan hadits-

hadits ini hanya khusus berlaku pada masanya. Mereka juga mengklaim

bahwa hadits Ahad tidak bisa diambil, karena al-Qur'an lebih utama untuk

diikuti. Maka sebagai akibatnya muncullah kelompok inkar sunnah seperti

Brawiz Ghulam Ahmad, murid Ahmad Khan. Tokoh utama yang

mengatakan sebagaian besar sunnah adalah tidak mengikat: Sayid Ahmad

Khan dan muridnya. Sedangkan yang membedakan antara Tasyri'iyah dan

tidak Tasyri'iyah adalah Dr. Ahmad Kamal al-Majd dan Dr. Muhammad

al-'Awa.

Menafsiri al-Qur'an sesuai dengan peradaban Barat Modern. Dalam hal ini

yang paling menonjol adalah Syekh Muhammad Abduh dan Muhammad Asad.:
c. Tajdid Ushul Fiqh.

Dr. Hasan Turabi mengatakan bahwa Ushul Fiqh itu dibuat berdasarkan

kondisi sejarah. M. Arkoun juga berpandangan sama, ia mengatakan bahwa yang

dilakukan imam Syafi'i (767-820) adalah memasukkan disiplin baru, pengetahuan

baru, "pemahaman" historis yang baru ke dalam Islam sebagai sebuah pandangan

spiritual dan historis tentang keberadaan manusia.( Charles Kurzman, op.cit, hal.

538.) Karena itu mereka merasa perlu membuat Ushul Fiqh baru. Di antara isu

pokok yang mereka suarakan:

1. Ijma' Sahabat atau ulama mujtahid harus diganti dengan ijma' umat Islam

atau bangsa muslim.

2. Putusan pemerintah: Pemerintah berhak membuat hukum-hukum syar'i

baru.

3. Qiyas fuqoha harus diganti dengan qiyas bebas yang tidak terkait dengan

qawaid (kaidah-kaidah) dan dhawabith (batasan-batasan).

4. Membuka pintu ijtihad secara lebar dan liberal bagi umat Islam dan

menulis ulang kitab-kitab fiqih sesuai dengan pengetahuan modern dalam

sebuah ilmu yang disebut oleh Hasan Turabi dengan "Fiqih Sya'bi" (Fiqih

rakyat).

5. Menyuarakan tidak ada nasakh mansukh dalam al-Qur`an. Orang yang

paling menonjol dalam menyuarakan ini adalah Muhammad Iqbal, Dr.

Hasan al-Turabi, Rasyid Ghanusyi, Dr. Ahmad Kamal Abu al-Majd, Dr.

Jamaluddin Athiyah dan lain-lain.

d. Tajdid dalam bidang ibadah


1. Jihad itu hanya diajarkan pada waktu diserang oleh orang kafir. (Sayid

Ahmad Khan, Syekh Muhammad Abduh, Dr. Muhammad Imarah,

Muhammad Abid al-jabiri, Fahmi Huwaidi, dll)

2. Mengajak kepada pembatasan Thalaq dan menolak poligami, serta

mengajak keluarnya wanita dari rumah. Husen Ahmad Amin mengatakan

hijab itu hanyalah adat Persia Turkia. Sedangkan Hasan Turabi

mengatakan bahwa hijab hanya untuk istri Nabi Sholallahu 'Alaihi Wa

Salam, sedangkan menjaga kehormatan dan rasa malu maka ukuranya

adalah adat kebiasaan masyarakat. Di antara yang menyuarakan ini adalah

Dr. Muhammad Imarah dan Dr. Muhammad fathi Usman.

3. Mengingkari hukuman bagi orang murtad.

4. Menghalalkan nikahnya seorang muslimah dengan Yahudi dan Nashrani.

Bahkan Muhammad Ali al-Qadyani membolehkan nikahnya muslim

dengan wanita Hindu.

5. Membolehkan ikhtilath (campur antara laki-laki dan perempuan), di antara

yang membolehkan adalah Hasan Turabi.

6. Riba yang haram adalah riba yang dipungut dari orang fakir, sedangkan

bunga Bank dan keuntungan sederhana dari mu'amalah perdagangan maka

tidak termasuk riba. Pendapat ini dinisbatkan pada Syekh Muhammad

Abduh.

7. Menolak hukuman syar'i bagi pezina mukhshan, minum khamr, mencuri

dan hirabah (berbuat onar di muka bumi).

8. Mengatakan bahwa hukuman yang disebut dalam al-Qur'an tidaklah


mengikat, sebab yang dimaksudkan adalah tujuannya. Jadi setiap yang

mengantarkan kepada maksud dan tujuan, maka itulah sarana yang

dituntut secara syar'i. Ini disuarakan oleh Abu Zaid al-Damanhuri,

Musthafa Kamal al-Makhdawi, Dr. Musthafa Mahmud dan Husein Ahmad

Amin, hasan Hanafi, M. Arkoun dan Fazlur Rahman.

9. Sistem Khilafah, al-Qadha', tugas-tugas pemerintah dan segala yang

berhubungan dengan pemerintah tidak ada kaitannya dengan Islam.

Sumber system politik adalah akal.

10. Hukum-hukum syari'at tidak tetap, yang tetap hanyalah ruh agama.

Hukum apa saja yang bisa menghantarkan kepada ruh agama, maka itu

termasuk hukum Islam. Dr. Hasan Hanafi mengatakan bahwa sekularisme

adalah dasar wahyu. Dr. Muhammad Imarah berpendapat bahwa agama itu

adalah pemahaman dan nilai-nilai. Sementara manusia membatasi,

menetapkan dan mengelaborasi kehidupan mereka sesuai dengan

maslahat.

11. Maslahat harus didahulukan dari pada nash.

12. Hak-hak wanita dalam kehidupan politik dan sosial diambil dari

lingkungan sosial, bukan dari ilmu fiqh.

13. Kebenaran agama adalah relatif dan berbeda-beda antara lingkungan dan

masyarakat.

14. Menolak hukum kafir dzimmi.

15. Menyelewengkan sejarah Islam, perang riddah dianggap hanya perang

politik, futuhat Islamiyah sama dengan penjajahan, seperti apa yang


dikatakan oleh Ahmad Amin dan Abd. Al-Mun'im Majid Husen.

Jaringan Islam Liberal

Di Indoseia muncul Nurcholis Madjid (lahir 1939, murid dari Fadzlur

Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan Sekularisasi dan Liberalisasi

pandangan terhadap ajaran Islam bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib

dan Abdurrahman Wahid.(Adnan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan

Misinya, menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88)

Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaharuannya sejak tahun

1970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan

menyatakan: "Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham

kenisbian (relatifisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama

akan memutlakkan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap

manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama".( Nurkholis Majid, Islam

kerakyatan dan keindonesiaan, Bandung: Mizan, cet. III, 1996, hal. 239.)

Kemudian lahirlah apa yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di

Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang

didirikan 8 maret 2001. Pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak

muda. Mereka aktif di Paramadina, NU, dan IAIN Ciputat, semisal Ulil Abshar

Abdalla, Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng,

A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka. Komunitas di lapis duanya, banyak

pula yang mantan aktifis kelompok studi tahun 1980-an, yang kemudian sekolah

sampai S3 di AS. Komunitas tersebut makin mengkristal, mereka kemudian

mengorganisasikan diri dalam wadah JIL, dengan semboyan, "Menuju Islam yng
membebaskan". Latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas

maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile"

www.Islamlib.com , dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya

apa yang ia namakan "ekstrimisme, fundamentalisme dan Radikalisme".

Istilah dan wacana Islam Liberal sendiri tidak lebih merupakan hasil "copy

paste" dari Islamic Liberalism (Cicago 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal

Islam (Oxford 1998). Hasil editan Charles Kurzman. Buku-buku dari dua

Islamolog ini, sempat menjadi bahan diskusi di sederetan kampus di Indonesia.

Ketika yayasan Paramadina menerbitkan edisi buku terjemahan Kurzman Tahun

1999 (sebagai hasil kerjasama dengan Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford

Foundation), semakin menjamurlah perbincangan seputar "Islam" gaya baru ini.

istilah "Islam" Liberal dipopulerkan oleh Ali Asghar Fyzzee, intelektual muslim

India pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengambil istilah itu dari Fyzzee.(

Majalah Bunyan, edisi 1/ThII/, April 2002/Muharram 1423 H, hal. 13-14.)

Meletakkan istilah "Liberal" terhadap Islam adalah perang tendensius

secara Teologis, Idiologis maupun Metodologis. Sebab Liberalisme sendiri

muncul pada masa Renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi Perancis

dan Amerika. Yang menjadi focus dalam Liberalisme adalah kebebasan

individual. Kekuasaan negara harus dipisahkan dari intervensi agama Nashrani

(Gereja). Liberalisme mencetuskan Liberalisasi Politik (John Locke), ekonomi

(Adam Smith, David Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham, John Stuart Mill

dan Thomas Paine). Pada kutub yang sama kebebasan beragama (Liberal religius)

mendudukkan para pemeluk dan individu-individunya sebagai pemegang otoritas


final dalam menilai teks-teks sumber suci agama.( Laporan Harian Republika,

dimuat dalam buku Islam Liberal dan Fundamental, hal. 218.)

Oleh karena itu Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara

sengaja, kita harus menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita

perjuangkan bukan interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang

Liberal, yang sesuai dengan dasar Negara modern seperti yang berkembang di

Negara maju". Ia juga berkata, "Islam Liberal adalah interpretasi Islam yang

mendukung atau paralel dengan civic kultur (pro pluralisme, equal oportuniti,

modernisasi, trust dan tolerance, memiliki sense of kommuniti yang nasional)".

Luthfi juga menulis, " kalau kita ingin bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa.

Saya kira jawabannya jelas: bebas dari otoritas masa silam dan bebas untuk

menafsirkan dan mengkritisi otoritas tersebut".

Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam Liberal" atau Neo

Modernisme: "suatu komitmen pada rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan

pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial dan

pluralisme dalam ajaran agama, serta pemisahan agama dari partai-partai dan

posisi non sectarian Negara". Ringkasnya, tema-tema besar yang menjadi agenda

JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi ijtihad, pluralisme dan sekularisme.

( Majalah Bunyan, Edisi I/ Th.II/, April 2002/Muharram 1423 H, hal. 13-15)

Perbedaan pendapat dalam umat Islam, yangn paling kontras terlihata

adalah pada peristiwa tahkim, dimana umat islam terbelah menjadi beberapa sekte

atau alairan. Perbesdaan tersebut menjadi tidak bermasalah jikalau tibak

menimbulkan ekses negatif di masyarakat. Akan tetapi peristiwa itu menimbulkan


luka sejarah hingga kini. Sebab perbedaan itu melahirkan pertikaian yang tragis

dimana satu sama lainnya saling menuduh sesat, saling mengkafirkan bahakan

sampai terjadi pertumpahan darah, hal tersebut tidak sesuai dengan misi yang di

bawa Rasulullah dimana ajaran Islam pembawa rahmatan

Anda mungkin juga menyukai