Anda di halaman 1dari 16

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

PRAKTIKUM II
ALZHEIMER

OLEH :
Nurlinda Sari (171200193)

A2B FARMASI KLINIS


DOSEN PENGAMPU : Ida Ayu Manik Parthasutema, S.Farm., M.Farm., Apt.
Tanggal praktikum : Selasa, 6 April 2020

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2020
PRAKTIKUM I
PENYAKIT ALZHEIMER

I. TUJUAN PRATIKUM
1. Mengetahui definisi dari penyakit alzheimer
2. Mengetahui klasifikasi penyakit alzheimer
3. Mengetahui patofisiologi penyakit alzheimer
4. Mengetahui tatalaksana penyakit alzheimer (Farmakologi & Non-Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit alzheimer secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1. Definisi Alzheimer
Demensia merupakan hilangnya ingatan yang bisa timbul bersama dengan
gejala gangguan perilaku maupun psikologis pada seseorang (Ikawati, 2009). Gambaran
paling awal berupa hilangnya ingatan mengenai peristiwa yang baru berlangsung.
Terganggunya intelektual seseorang dengan Demensia secara signifikan mempengaruhi
aktivitas normal dan hubungan. Mereka juga kehilangan kemampuan untuk mengontrol
emosi dan memecahkan sebuah masalah, sehingga bukan tidak mungkin mereka
mengalami perubahan kepribadian dan tingkah laku.

Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50- 60%) dan
kedua oleh cerebrovaskuler (20%) (Japardi, 2002). Penyakit Alzheimer adalah penyakit
degeneratif otak dan penyebab paling umum dari demensia. Hal ini ditandai dengan
penurunan memori, bahasa, pemecahan masalah dan keterampilan kognitif lainnya yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Penurunan
ini terjadi karena sel-sel saraf (neuron) di bagian otak yang terlibat dalam fungsi kognitif
telah rusak dan tidak lagi berfungsi normal.

Pada penyakit Alzheimer, kerusakan saraf akhirnya mempengaruhi bagian otak


yang memungkinkan seseorang untuk melaksanakan fungsi tubuh dasar seperti berjalan
dan menelan (Alzheimer’s Association, 2015). Pada akhirnya penderita dapat mengalami
kematian setelah beberapa tahun karena kemampuan motoriknya sudah tidak berfungsi.

2.2 Karakteristik Alzheimer


Penyakit Alzheimer merupakan sebagian besar penyebab umum demensia,
menyumbang sekitar 60 persen sampai 80 persen kasus. Kesulitan mengingat percakapan
terakhir, nama atau peristiwa sering kali merupakan gejala klinis awal, apatis dan depresi
juga gejala sering yang terjadi diawal. Termasuk gangguan komunikasi, disorientasi,
kebingungan, penilaian buruk, perubahan perilaku, pada akhirnya kesulitan berbicara,
menelan dan berjalan. (Alzheimer’s Association, 2015)

II.3 Patofisiologi Alzheimer


Terdapat beberapa mekanisme yang dikatakan sebagai penyebab tingginya kadar plak
neuritik dan neurofibrilary tangles (NFTs) pada area kortikal dan lobus temporal bagian
tengah antara lain (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008),

a. Hipotesis Amiloid Kaskade


Plak neuritik atau pikun adalah timbunan protein ekstraselular dari fibril dan
agregat amorf dari þ-amiloid protein. Protein ini merupakan pusat patogenesis
Alzheimer. Protein þ- amiloid hadir dalam bentuk non-toksin yang larut dalam otak
manusia. Pada penyakit Alzheimer, perubahan konformasi yang terjadi membuat
bentuk tersebut larut dan menyebabkannya untuk tertimbun ke plak difus amorf
yang terkait dengan dystrophi neuritis. Seiring waktu, timbunan menjadi
terpadatkan ke dalam plak dan protein þ-amiloid menjadi fibrillar dan neurotoksik.
Peradangan terjadi secara sekunder untuk kelompok astrosit dan mikroglia sekitar
plak tersebut. Peradangan yang terjadi akibat protein þ-amiloid disebut pula
hipotesis Alzheimer berdasarkan mediator peradangan.
b. Neurofibrillary Tangles
Neurofibrillary tangles termasuk intraseluler dan terdiri dari protein tau abnormal
terfosforilasi yang terlibat dalam perakitan mikrotubulus. Tangles atau kekusutan
mengganggu fungsi saraf yang mengakibatkan kerusakan sel, dan kehadirannya
telah berkorelasi dengan keparahan dementia. Kekusutan ini tidak larut bahkan
setelah sel mati, dan tidak dapat dihilangkan. Neuron yang dominan dipengaruhi
adalah neuron yang menyediakan sebagian besar persarafan kolinergik ke korteks.
Oleh karena itu, pencegahan adalah kunci untuk terapi target kekusutan ini.
c. Hipotesis Kolinergik
Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk mentransmisikan
pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada penyakit Alzheimer, plak dan
tangles merusak jalur ini, menyebabkan kekurangan asetilkolin, sehingga terjadi
gangguan dalam belajar dan mengingat. Hilangnya aktivitas asetilkolin berkorelasi
dengan keparahan penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan farmakologis
penyakit Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak.
Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik.
Memblokir enzim ini mengarah ke peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan
menstabilkan transmisi neuro. Inhibitor kolinesterase yang disetujui di Amerika
Serikat untuk pengobatan penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil,
rivastigmine, dan galantamine.
d. Abnormalitas Neurotransmitter Lain
Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita Alzheimer
mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara lain seperti
dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat adalah
neurotransmitter rangsang utama dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat
dalam memori, pembelajaran, dan plastisitas saraf. Kerjanya dengan cara
menyediakan informasi dari satu daerah otak ke daerah lain dan mempengaruhi
kognisi melalui fasilitasi dari koneksi dengan neuron kolinergik di korteks serebral
dan basal forebrain. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat,
N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari
glutamat yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan kenaikan ion kalsium yang
menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan
produksi APP. Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak
pada tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine
merupakan antagonis NMDA non-kompetitif yang bekerja berdasarkan
patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-satunya agen di kelas ini yang disetujui
untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
e. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak
Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu distribusi nutrien pada sel saraf dan
mengurangi pengeluaran protein þ-amiloid dari otak. Peningkatan konsentrasi
kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit Alzheimer. Kolesterol meningkatkan
sintesis protein þ-amyloid yang dapat memicu pembentukan plak. Selain itu, apo
E4 alel dianggap terlibat dalam metabolisme kolesterol dan berhubungan dengan
tingginya kolestrol.
f. Abnormalitas Neurotransmitter Lain
Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita Alzheimer
mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara lain seperti
dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat adalah
neurotransmitter rangsang utama dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat
dalam memori, pembelajaran, dan plastisitas saraf. Kerjanya dengan cara
menyediakan informasi dari satu daerah otak ke daerah lain dan mempengaruhi
kognisi melalui fasilitasi dari koneksi dengan neuron kolinergik di korteks serebral
dan basal forebrain. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat,
N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari
glutamat yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan kenaikan ion kalsium yang
menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan
produksi APP. Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak
pada tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine
merupakan antagonis NMDA non-kompetitif yang bekerja berdasarkan
patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-satunya agen di kelas ini yang disetujui
untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
g. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak
Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu distribusi nutrien pada sel saraf dan
mengurangi pengeluaran protein þ-amiloid dari otak. Peningkatan konsentrasi
kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit Alzheimer. Kolesterol meningkatkan
sintesis protein þ-amyloid yang dapat memicu pembentukan plak. Selain itu, apo
E4 alel dianggap terlibat dalam metabolisme kolesterol dan berhubungan dengan
tingginya kolestrol
h. Mekanisme Lain
Estrogen tampaknya memiliki sifat yang melindungi terhadap kehilangan memori
yang berhubungan dengan penuaan normal. Telah disarankan bahwa estrogen dapat
menghalangi produksi protein þ-amyloid dan bahkan memicu pertumbuhan saraf
pada terminal saraf kolinergik. Estrogen juga merupakan antioksidan dan
membantu mencegah kerusakan sel oksidatif.
2.4 Gejala dan Data Klinik (Clinical Presentation)

a. Keadaan Umum
Diagnosis penyakit Alzheimer bergantung pada pengujian status mental yang
menyeluruh dan tes neuropsikologi, riwayat medis dan psikiatris, neurologis ujian,
wawancara pengasuh dan keluarga anggota, serta laboratorium dan pencitraan data
untuk mendukung diagnosis dan menyingkirkan penyebab lainnya.
b. Tanda dan Gejala (Chisholm-burns et al, 2008)

• Kognitif: kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi waktu dan


tempat, penilaian buruk atau menurun, masalah dengan belajar dan berpikir
abstrak, lupa tempat menyimpan sesuatu. Tahapan penurunan kognitif
berdasarkan stadium Alzheimer dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2. Tahapan penurunan kognitif menurut GDS (Chisholm-burns et al, 2008)

Stage Tipe Level Deskripsi


Stage 1 Norm Tidak ada perubahan fungsi kognitif
al
Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama
Stage 2 Pelup teman, tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dan
a fungsi sosial. Umumnya merupakan
bagian dari proses penuaan yang normal
Ada penurunan kognisi yang menyebabkan
Mild Early gangguan fungsi sosial & kerja. Anomia,
Stage 3 kesulitan mengingat kata yang tepat dalam
confusion percakapan, dan sulit mengingat. Pasien mulai
sering bingung/anxiety
Late Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan dan
Stage 4 confusi aktivitas rumah tangga, sulit mengingat peristiwa
on yang baru terjadi, mulai meninggalkan tugas
(Early yang sulit, tetapi biasanya masih menyangkal
punya masalah memori
AD)
Early Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan
dement orang lain. Sering terjadi disorientasi (waktu,
Stage 5 Moder ia tempat), sulit memilih pakaian, lupa kejadian
ate masa lalu. Tetapi pasien umumnya masih
(moder
ate menyangkal punya masalah, hanya biasanya
AD) menjadi curigaan atau mudah
Depresi
Middle Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari
dementi (mandi, berpakaian, toileting), lupa nama
Stage 6 a keluarga, sulit menghitung mundur dari angka
(moderat 10. Mulai muncul gejala agitasi, paranoid, &
Severe ely mengalami delusi
severe
AD)
Late Pasien tidak bisa bicara jelas (bergumam atau
Stage 7 dementia teriak), tidak bisa jalan atau makan sendiri.
Inkontensi urin dan feses. Kesadaran bisa
berkurang dan akhirnya koma.
• Non-kognitif: perubahan mood atau perilaku, perubahan dalam
kepribadian, atau kehilangan inisiatif.
• Fungsional: kesulitan melakukan tugas yang familiar

c. Tes laboratorium (Chisholm-burns et al, 2008)

• Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography (CT)


digunakan untuk mengukur perubahan dalam ukuran otak dan volume
dan menyingkirkan stroke, tumor otak, atau edema serebral.
• Tes untuk mengecualikan kemungkinan penyebab demensia meliputi
depresi layar, vitamin B12, fungsi tiroid tes [thyroid-stimulating
hormone (TSH) dan triiodothyronine bebas dan tiroksin], jumlah sel
darah lengkap, dan kimia panel.
• Tes diagnostik lain yang perlu dipertimbangkan untuk diagnosis
diferensial: tingkat sedimentasi eritrosit, urinalisis, toksikologi, dada
x-ray, layar logam berat, tes HIV ( human immunodeficiency virus ),
tes cairan serebrospinal (CSF), pemeriksaan electroencephalography,
dan neuropsikologi tes seperti Folstein Mini Mental Status Exam.

2.5 Faktor Resiko Alzheimer


Para ahli percaya bahwa Alzheimer, seperti penyakit kronis umum lainnya,
berkembang sebagai akibat dari beberapa faktor. Penyebab ataupun faktor yang
menyebabkan seseorang menderita penyakit Alzheimer antara lain sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Faktor resiko menderita Alzheimer.

Faktor Resiko Keteran


gan
Umur Kemungkinan menderita Alzheimer meningkat dua kali lipat
tiap lima tahun setelah umur 65 tahun. Setelah umur 85 tahun,
resiko meningkat hingga 50%.
Riwayat keluarga Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai
orangtua, saudara atau
anak yang menderita Alzheimer, lebih berisiko untuk terkena
Alzheimer dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai
riwayat keluarga.
Genetik Abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada
ras Kaukasian.
Cedera kepala Ada hubungan yang erat antara cedera kepala yang berat dan
peningkatan resiko terjadinya Alzheimer.
Hubungan jantung- Setiap kerusakan/gangguan pada jantung dan pembuluh darah
otak akan meningkatkan risiko terjadinya Alzheimer.
Gaya hidup Gaya hidup yang baik biasanya akan menghasilkan otak yang
sehat dan memberikan perlindungan terhadap kemungkinan
berkembangnya Alzheimer.
(Dipiro et al, 2008)
2.6 Tatalaksana Terapi Alzheimer

1. Farmakoterapi dari Gejala Kognitif

Terapi ini bertujuan mengatasi gejala penurunan kognisi atau


menunda perkembangan penyakit.
• Golongan Inhibitor Kolinesterase

Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda


perkembangan penyakit adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik
di otak. Inhibitor kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase yang
menyebabkan peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan
menstabilkan transmisi neuro. Asetilkolinesterase adalah enzim yang
mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik. Inhibitor kolinesterase yang
disetujui penggunaanya di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit
Alzheimer meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dan galantamine
(Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).
a) Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk
mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium.
Donepezil tersedia dalam bentuk tablet oral. Biasanya diminum
satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan.
Obat ini akan diberikan dosis rendah pada awalnya lalu
ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu. Efek samping yang
sering terjadi sewaktu minum Donepezil adalah sakit kepala,
nyeri seluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare,
nafsu makan hilang, berat badan turun, kram, nyeri sendi,
insomnia, dan meningkatkan frekwensi buang air kecil
(Chisholm-burns et al, 2008).
b) Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk
mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium.
Rivastigmine biasanya diberikan dua kali sehari setelah makan.
Karena efek sampingnya pada saluran cerna pada awal
pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine umumnya
dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari,
dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu.
Dosis maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika
pasien mengalami gangguan pencernaan yang bertambah parah
karena efek samping obat seperti mual dan muntah, penurunan
berat badan, penurunan nafsu makan sebaiknya minum obat
dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis
yang sama atau lebih rendah (Chisholm-burns et al, 2008 ;
Dipiro, 2008).
c) Galantamine
Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan
pagi dan malam. Seringkali Galantamine diberikan dengan
dosis rendah pada awalnya yaitu 4 mg dua kali sehari untuk
beberapa minggu dan dilanjutkan dengan 8 mg dua kali sehari
untuk beberapa minggu pengobatan selanjutnya. Meskipun
demikian, beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih
besar. Untuk kapsul lepas lambat diminum satu kali sehari.
Obat dari golongan antikolinergik yang langsung masuk ke
dalam otak, seperti Atropin, Benztropin dan Ttriheksiphenil
memberikan efek yang berseberangan dengan Galantamine dan
harus dihindari minum obat tersebut jika dalam pengobatan
dengan Galantamine. Efek samping yang sering terjadi dari
Galantamine adalah mual, muntah, diare, kehilangan berat
badan. Efek samping ini umumnya terjadi pada awal
pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Efek samping yang
terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Minum
Galantamine sesudah makan dan minum dengan air yang
cukup akan mengurangi akibat efek sampingnya (Chisholm-
burns et al, 2008).

• Golongan Antagonis Reseptor NMDA

Golongan lain adalah antagonis reseptor NMDA. Pada penyakit


Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat
(NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat
yang tak teregulasi. Golongan ini bekerja dengan cara menghambat
reseptor tersebut sehingga kenaikan ion kalsium yang menginduksi
kaskade sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan
produksi APP tidak terjadi. Peningkatan produksi APP dikaitkan
dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan
hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine saat ini satu-satunya agen
di kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati
penyakit Alzhaimer taraf sedang hingga berat. Obat ini diawali dengan
dosis rendah 5 mg setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk
mencapai dosis optimal 20 mg/hari. (Chisholm-burns et al, 2008 ;
Dipiro, 2008)

• Golongan Obat Non Konvensional

• Estrogen

Penggantian estrogen telah dipelajari secara ekstensif untuk


pengobatan dan pencegahan AD. tidak semua epidemiologi studi
menunjukkan kejadian yang lebih rendah dari AD pada wanita yang
memakai terapi sulih estrogen postmenopausa. Hasil dari survei
epidemiologi mendorong peneliti untuk melihat penggunaan
estrogen preventif dan sebagai pengobatan untuk penurunan
kognitif (Dipiro et al, 2008).
• Agen Antiradang
Studi epidemiologi menunjukkan pelindung efek terhadap AD pada
pasien yang telah menggunakan NSAIDs. Pengobatan untuk kurang
dari 2 tahun dikaitkan dengan risiko relatif lebih rendah, namun
durasi pengobatan yang lebih lama menurunkan risiko ini lebih
lanjut (Dipiro et al, 2008).
• Lipid-Lowering Agents

Kepentingan dalam efek proteksi yang potensial pada pasien AD


adalah agen penurun lipid (Lipid-Lowering Agents), khususnya 3-
hidroksi- 3-methylglutaryl-koenzim A reduktase inhibitor. Studi
epidemiologi menunjukkan hubungan antara tinggi usia
pertengahan, kadar kolesterol total dan AD. Uji klinis prospektif
perlu dilakukan, seperti uji untuk mengatasi kognitif, durasi efek
pengobatan, efektivitas individu agen, dan dosis yang optimal.
Simvastatin telah dipelajari dalam satu percobaan klinis
menunjukkan penurunan þAP pada pasien dengan AD yang ringan,
tetapi tidak pada pasien dengan tingkat penyakit yang parah.
Atorvastatin saat ini sedang dipelajari dalam uji klinis (Dipiro et al,
2008).
• Antioksidan

Berdasarkan teori patofisiologis yang melibatkan oksidatif stres dan


akumulasi radikal bebas di AD, telah berkembang tentang
penggunaan antioksidan dalam pengobatan AD. Vitamin E
seringkali direkomendasikan sebagai pengobatan adjunctive untuk
pasien AD. Efek samping yang terjadi dengan mengkonsumsi
vitamin E adalah gangguan hemostasis, kelelahan, mual, diare dan
nyeri perut. Vitamin E dapat menyebabkan pendarahan jika
digunakan bersama dengan obat lain seperti aspirin, ibuprofen atau
naproxen. Sebuah analisis menemukan bahwa dosis tinggi vitamin E
meningkatkan kematian pada orang yang berusia lanjut. Untuk itu,
perlu menghindarkan pemberian vitamin E dalam dosis tinggi per
hari pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).
• Ginkgo biloba

Ginkgo biloba adalah ekstrak dari tanaman Ginkgo yang


mengandung bahan-bahan yang mempunyai efek yang positif pada
sel-sel otak dan tubuh. Ginkgo biloba memiliki efek antioksidan dan
anti-inflamasi yang dapat melindungi membran sel, dan mengatur
kerja dari sistem saraf. Produk dari metabolisme oksidatif, seperti
radikal bebas, dapat merusak sel saraf (neurotoksik). Ginkgo biloba
dapat mengurangi kerusakan saraf yang terjadi akibat radikal bebas
tersebut dan secara potensial dapat memperlambat onset dan
progresivitas penyakit Alzheimer (Chisholm-burns et al, 2008 ;
Dipiro et al, 2008).
2. Farmakoterapi Gejala Non-kognitif

• Inhibitor kolinesterase dan memantine

Uji klinis dengan inhibitor Kolinesterase telah secara konsisten


melaporkan manfaat sederhana dalam mengelola gejala neuropsikiatri,
meskipun ini umumnya bukanlah hasil utama yang dipelajari dalam
percobaan. Dalam, percobaan placebo-controlled yang prospektif dan
acak, Donepezil secara signifikan merubah gejala perilaku AD
(Alzeimer Disesase) selama minimal 3 bulan. Bukti menunjukkan
galantamine dan rivastigmine memiliki manfaat efikasi yang sama.
Memantine menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan selama
minimal 6 bulan, baik dengan dosis tunggal atau dalam kombinasi
dengan cholinesterase inhibitor. Perawatan ini dalam jangka pendek
dapat memberikan perbaikan dan mungkin memperlambat
perkembangan dan progres dari gejala penyakit. Inhibitor Kolinesterase
dan memantine dapat dianggap sebagai terapi lini pertama dalam
pengelolaan awal gejala perilaku pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).
• Antipsikosis

Antipsikotik banyak digunakan dalam pengelolaan gejala


neuropsikiatri pada pasien AD. Ada bukti sederhana yang meyakinkan
bahwa sebagian besar antipsikotik atipikal memberikan beberapa
manfaat bagi gejala neuropsikiatri tertentu, namun data ini telah cukup
untuk mendapatkan persetujuan Food and Drug Administration sebagai
indikasi untuk pengelolaan gejala perilaku pada pasien AD.
Berdasarkan meta-analisis terakhir, hanya 17% sampai 18% dari pasien
demensia menunjukkan respon dari pengobatan atipikal antipsikotik.
Efek buruk yang terkait dengan atipikal antipsikotik adalah mengantuk,
gejala ekstrapiramidal, gaya berjalan yang abnormal, kognisi
memburuk, kejadian serebrovaskular, dan peningkatan risiko kematian.
Antipsikotik tipikal juga dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko
kematian kecil, serta efek ekstrapiramidal lebih parah dan hipotensi.
Secara keseluruhan, ada harapan yang moderat dan potensi bahaya yang
juga harus dipertimbangkan terkait dengan penggunaan antipsikotik
pada pasien dengan AD (Dipiro et al, 2008).
• Antidepressan

Gejala depresi yang umum pada pasien dengan AD, terjadi pada
sebanyak 50% dari pasien. Apatisme mungkin bahkan lebih sering,
namun gejala ini mungkin sulit untuk dibedakan pada pasien demensia.
Dalam prakteknya, pengobatan dengan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) dimulai paling sering pada pasien dengan AD,
berdasarkan profil efek samping dan bukti keberhasilan. Manfaat telah
ditunjukkan dengan sertraline, citalopram, fluoxetine, dan paroxetine,
meskipun paroxetine menyebabkan efek antikolinergik lebih besar dari
SSRI lainnya. Serotonin / norepinefrin reuptake inhibitor seperti
venlafaxine mungkin menjadi alternatif. Fungsi serotonergik juga
mungkin memainkan peran dalam beberapa gejala perilaku lain dari
AD, dan beberapa studi mendukung penggunaan SSRI dalam
pengelolaan perilaku, bahkan dalam ketiadaan depresi. Antidepresan
trisiklik memiliki khasiat mirip dengan SSRI, namun umumnya harus
dihindari karena aktivitas antikolinergiknya (Dipiro et al, 2008).
• Terapi lainnya
Karena antipsikotik dan terapi antidepresan telah menunjukkan
efikasi moderat dan hanya menimbulkan resiko efek samping yang tidak
diinginkan, obat-obat lainnya dapat digunakan untuk mengobati perilaku
mengganggu dan agresi pada gangguan kejiwaan dan neurologis lainnya
telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif yang potensial. Alternatif
tersebut adalah benzodiazepin, buspirone, selegiline, karbamazepin, dan
asam valproat. Oxazepam khususnya, telah digunakan untuk mengobati
kecemasan, agitasi, dan agresi, tapi obat–obat tersebut umumnya
menunjukkan khasiat rendah bila dibandingkan dengan antipsikotik.
Gejala nonkognitif adalah aspek yang paling sulit dari AD untuk
pengasuh. Antipsikotik dan antidepresan telah berguna untuk manajemen
yang efektif dari perilaku, psikotik, dan gejala depresi pasien, sehingga
mengurangi beban pengasuh dan memungkinkan pasien untuk
menghabiskan waktu tambahan di rumah. Efek samping tetap menjadi
perhatian penting pada pengobatan pasien (Dipiro et al, 2008).
3.1 ALAT DAN BAHAN
ALAT :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan Koneksi Internet.

BAHAN :
1. Text Book
2. Data nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait ( Journal, Systematic, Review , Meta Analysis

4.1 KASUS
DAFTAR PUSTAKA

Brice, Alexis. 2003. Alzhaimer Disease. Paris : Orphanet


Chisholm-burns, M. A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone,
J. M. Kolesar, J. C. Rotschafer, and J. T. Dipiro. 2008.
Pharmacotheraphy Principles and Practice. USA : The McGraw-Hill
Companies inc. P. 1372
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey.
2008. Pharmacotherapy A Patophisiologic Approach Seventh
Edition. New York : McGraw- Hill Companies
Lacy, C.F., L.L. Armstrong, M.P.Goldman, L.L.Lance. 2009. Drug
Information Handbook: A Comprehensive Resource for All
Clinicians and Healthcare Professionals 18thEdition
.North America : Lexy Comp Inc.
Scwinghammer TL., 2002, Pharmacotherapy Casebook : A Patient
Focused Approach 5th Edition, New York: McGraw-Hill
Companies.

Anda mungkin juga menyukai