PENDAHULUAN
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud Etika Absolut dan Relative ?
2. Bagaimana perkembangan Etika dan Moral menurut Kohlberg ?
3. Apa saja teori-teori Etika ?
4. Definisi teori-teori yang ada ?
1.3 TUJUAN
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami penggunaan etika absolut dan relative.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami perkembangkan etika dan moral menurut para
ahli.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami teori-teori etika.
BAB II
PEMBAHASAN
· Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga
dan keempat dalam perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki
peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang
lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut,
karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih,
dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk
membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran
yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.
Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosialkarena berguna
dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari
sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa
yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau
tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang
baik.
· Pasca-konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari
tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang
harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’
ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-
konvensional. Individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-
nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan
jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut memang anda siapa
membuat keputusan kalau yang lain tidak Sejalan dengan itu, hukum dilihat
sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.
Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Penalaran
moral berdasar pada penalaran abstrakmenggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya
valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan
keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak
sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional
(lihat imperatif kategoris dariImmanuel Kant.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang
saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama
(lihat veil of ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus.
Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang
bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan,
legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
2.3 Teori-teori Etika
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang
adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik.
Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu
tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang
berlainan.
Berikut teori-teori Etika :
1. Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme.
Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan
manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori ini, orang
boleh saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun
semua tindakan yang terkesan luhur dan/ atau tindakan yang suka berkorban tersebut
hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya sendiri.
2. Utilitarianisme
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi
sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number).
Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari
tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak dalam mengukur akibat dari suatu
tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah
ketidakbahagiaan, kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa
yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan
individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan orang
banyak.
3. Deontologi
Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme,
yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat
entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat
(utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan
merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut
dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi,
atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologiSangat berbeda dengan paham
teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau
konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis
tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau
akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan
untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral
harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri bukan karena keinginan untuk memperoleh
tujuan kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu diperintahkan oleh Tuhan.
Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia
berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral
mutlak itu bersifat rasional.
Walaupun teori deontologi tidak lagi mengkaitkan kriteria kebaikan moral dengan
tujuan tindakan sebagaimana teori egoisme dan tlitarianisme, namun teori ini juga
mendapat kritikan tajam terutama dari kaum agamawan. Kant mencoba membangun
teorinya hanya berlandaskan pemikiran rasional dengan berangkat dari asumsi bahwa
karena manusiabermartabat, maka setiap perlakuan manusia terhadap manusia lainnya
harus dilandasi olehkewajiban moral universal. Tidak ada tujuan lain selain mematuhi
kewajiban moral demi kewajiban itu sendiri.
4. Teori Hak
Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut
sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari
deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila
suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama
merupakan kewajibanbagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi bahwa
manusiamempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang sama.
5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)
Teori keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens,2000). Teori keutamaan
tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Teori ini
tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan mengenai
sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai
manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina.
Karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat/watak yang telah
melekat/dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang
secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secar amoral
disebut manusia hina. (Bertens,2000) memberikan contoh sifat keutamaan, antara lain:
kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati. Sedangkan untuk pelaku bisnis, sifat utama
yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan dan keuletan.
6. Teori Etika Teonom
Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang
ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk
memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen, yang
mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh kesesuaian
hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral dianggap baik jika
sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap tidak baik bila tidak
mengikuti aturan/perintah Allah sebagaiman dituangkan dalam kitab suci.
Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat
diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori etika
Kant teletak pada pengabaian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus dicapai
umat manusia, walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak. Moralitas dikatakan
bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikatakan dengan tujuan tertinggi umat manusia.
Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan dengan pendekatan rasional
karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat kecerdasan rasional yang dimiliki
manusia.
II. Nilai-nilai vital,
Memberi
Hakikat tidak
Tujuan dari manfaat/ Kesejahteraan
2. Utilitarianisme utuh(PQ, IQ,
tindakan kegunaan bagi duniawi masyarakat
EQ)
banyak orang
Kewajiban
Tujuan itu Demi kewajiban itu Hakikat tidak
3. Deontologi-Kant mutlak setiap
sendiri sendiri utuh(IQ, EQ)
orang
Tingkat
Aturan tentang Demi martabat Hakikat tidak
4. Teori hak kepatuhan
HAM kemanusiaan utuh(IQ)
terhadap HAM
Kebahagiaan
Disposisi Karakter positif- Hakikat tidak
5. Teori keutamaan duniawi dan
karakter negatif individu utuh(IQ, EQ)
mental(psikologis)
Karakter mulia
Disposisi dan mematuhi Kebahagiaan rohani(
Hakikat
karakter dan kitab suci agama surgawi, akhirat,
6. Teori teonom utuh(PQ, IQ,
tingkat masing-masing moksa, nirmala),
EQ, SQ)
keamanan individu dan mental, dan duniawi
masyarakat
Teori Etika dan Hubungannya dengan Paradigma Hakikat Manusia dan Kecerdasan