Anda di halaman 1dari 24

TUNA DAKSA

MAKALAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi
Analisis Materi PGMI: Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu: Ani Sumarni

Disusun oleh:
Asa Robby Azizan 17.3.002
Laras Haura 17.3.010
Rahmi Rahmawati 17.3.016
Repi Ramdani 17.3.017

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
PERSATUAN ISLAM
GARUT
Jl. Aruji Kartawinata Ciawitali Depan Lap. Ciateul. Telp. 0262-232413 Tarogong Kidul
Garut – 44151
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahuwataala yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya. Tiada daya dan upaya dari pada-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah untuk
pembawa Risalah Rasulullah Shallallahualaihiwasallam, kepada para sahabatnya, tabi’in
tabiatnya, dan kita selaku ummatnya yang mengharap syafa’atnya.
Dalam pembahasan makalah ini menjelaskan mengenai Tuna Daksa, merupakan salah
satu materi yang sedang dipelajari dalam mata kuliah Pendidikan Inklusi.
Penulis menyadari jauhnya dari kesempurnaan baik isi maupun penulisan makalah ini,
maka dari itu penulis mengharap saran dan kritik yang membangun untuk kedepannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya, dan bagi penulis sendiri
khususnya.
Akhirulkalam, Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
Garut, Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH............................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN..............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................................................1
A. PENGERTIAN, KLASIFIK ASI DAN KARAKTERISTI K ANAK TUNADAKSA..............................1
B. PENYEBAB TUNADAKSA......................................................................................................................9
C. LAYANAN PENDIDIKAN P ADA ANAK TUNADAKSA..................................................................10
D. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN.....................................................................................................15
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................................1
A. KESIMPULAN...........................................................................................................................................1
B. SARAN.......................................................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................................1

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Manusia pada umumnya berharap dilahirkan dalam keadaan fisik yang normal dan
sempurna, akan tetapi tidak semua manusia mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan
karen adanya keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti kecacatan atau kelainan
pada fisiknya yang disebut tunadaksa. Dalam kamus bahasa Indonesia tunadaksa merupakan
cacat pada anggota tubuhnya (Marhijanto, 1993). Penyabab terjadinya tunadaksa menurut
Riadi dkk. (2006) ada tiga faktor yaitu faktor karena kelahiran, faktor kecelakaan, faktor
virus.

Faktor kalahiran dikarenakan pada proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang
pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen
menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringa syaraf
pusat mengalami kerusakan. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang
mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf pada otak bayi. Pemakaian
anestesi yang melebihi ketentuan ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan
anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi, sehingga
otak mengalami kelaianan struktur ataupun fungsinya

Faktor kecelakaan, dimana seseorang mengalami kecelakaan dalam kerja seperti


cleaning service yang terjatuh saat membersihkan kaca jendela tempat ia bekerja sehingga ia
harus diamputasi.

Faktor virus disebabkan tubuh terserang penyakit seperti polio. Tunadaksa tidak hanya
bagi mereka bagi mereka yang kehilangan anggota tubuhnya saja tapi kelebihan anggota
tubuh dapat juga dikatakan sebagai tunadaksa, seperti memeiliki jari yang lebih dari lima
buah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian, klasifikasi dan karakteristik anak tunadaksa?
2. Apa penyebab tunadaksa?
3. Bagaimana layanan pendidikan anak tunadaksa?

1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian, klasifikasi dan karakteristik tunadaksa
2. Untuk mengetahui penyabab tunadaksa
3. Untuk mengetahui layana pendidikan anak tunadaksa

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN, KLASIFIK ASI DAN KARAKTERISTI K ANAK TUNADAKSA

Istilah tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh/tunafisik, yaitu berbagai
kelainan bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan
gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Untuk mengetehui lebih lanjut mari simak uraian dibawah
ini.

1. PENGERTIAN ANAK TUNADAKSA

Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa" yang
berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna,
sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada
anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari
bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai yang berhubungan
dengan otot, tulang dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kalainannya terletak
pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan
yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau
kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak
penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun
saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa maksudnya sama dengan istilah yang berkembang seperti
cacat tubuh, tuna tubuh , tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan
orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6). Selanjutnya, Samuel A Kirk (1986) yang
dialihbahasakan oleh Moh.Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991:3) mengemukakan bahwa
seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu
kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah.
Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat mengikuti kegiatan
sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak yang minum obat untuk mengendalikan

1
gangguan kesehatannya maka anak-anak jenis itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik.
Tetapi jika kondisi fisik tidak bisa memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap
penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara rutin maka anak itu
termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).
Persepsi masyarakat awam tentang anak berkelainan fungsi anggota tubuh(anak
tunadaksa) sebagai salah satu jenis anak berkelainan dalam konteks pendidikan luar biasa
(pendidikan khusus)masih dipermasalahkan. Munculnya permasalaha tersebut terkait dengan
asumsi bahwa anak tunadaksa (kehilangan salah satu atau lebih fungsi anggota tubuh) pada
kenyataannya tidak mengalami kesulitan untuk meniti tugas perkembangannya, tanpa harus
masuk sekolah khusus untuk anak tunadaksa (khususnya tunadaksa ringan).
Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami
ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota
tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya
kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.
Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah
ketidakmampuan anggota tubuh untuk malaksanakan fungsinya disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal.. akibat
luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna (Suroyo, 1977) sehingga untuk
kepentingan pembelajarannya perli layanan secara khusus (Knedler, 1984).
Sama seperti anak berkelainan lainnya, anak tunadaksa dilihat dari jenis dan
karakteristiknya memmiliki gradasi berbeda. Perbedaan berat-ringannya gradasi
ketunadaksaan, baik tunadaksa ortopedi maupun tunadaksa neurologis, berpengaruh pada
layanan pendidikannya.

Menyimak keadaan fisik yang tampak pada anak tunadaksaortopedi dan tunadaksa
saraf tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa
memiliki kesamaan, terutama pada fungsionalisasi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas.
Namun apabila dicermati secara seksama sumber ketidakmampuan umtuk memanfaatkan
fungsi tubuhnya untuk beraktivitas atau mobilitas, akan tampak perbedaannya.

Kondisi ketunadaksaan sering dikaitkan dengan masalah ekonomi dapat


dikelompokan menjadi: (1) penderita tunadaksa hanya memerlukan pertolongan dalam
penempatan pada pekerjaan yang cocok, (2) penderita tunadaksa karena kelainannya sehingga
memerlukan latihan kerja (vocational training) untuk dapat ditempatkan dalam jabatan-

2
jabatan biasa (open employment), (3) penderita tunadaksa setelah diberi pertolongan
rehabilitasi dan latihan-latihan dapat dipekerjakan dengan perlindungan khusus (sheltered
employment), dan (4) penderita tunadaksa yang sedemikian beratnya sehingga memerlukan
perawatan secara terus- menerus dan tidak mungkin dapat produktif.
2. KLASIFIKASI ANAK TUNADAKSA

Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang


tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi (orthopedically
handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped) (Hallahan & Kauffman,
1991).
Anak tunadaksa ortopedi ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan,
ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian (Heward &
Orlansky, 1998), baik yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian
(karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara
normal.
Menurut ketentuan yang tertuang dalam rencana undang-undang bagi rehabilitasi
penderita cacat di Indonesia dijelaskan, “penderita cacat tubuh atau tunadaksa ortopedi adalah
seseorang menurut ilmu kedokteran dapat ditunjukkan bahwa orang tersebut mempunyai
kelainan pada tubuh atau sebagian dari tubuhnya yang tetap dan yang sedemikian sifatnya.
Kelainan itu merupakan rintangan baginya untuk mempertahankan atau mendapatkan suatu
lapangan pekerjaan yang selanjutnnya dapat ditempatkan berdasarkan bakat, pendidikan,
pengalaman dan pasaran kerja jika ia tidak mempunyai kelainan-kelainan itu” (dalam Suroyo,
1997).
Definisi ilmu kedokteran tersebut untuk menetapkan siapa-siapa yang cacat
(tunadaksa) dan yang perlu diberikan pertolongan rehabilitasi. Di sini dapat dibedakan
pengertian antara orang yang sakit dan cacat, namun sifatnya sementara dan tidak menjadi
objek rehabilitasi seperti penyandang cacat/tunadaksa. Pengertian kalimat yang terakhir
tersebut dalam ilmu kedokteran diterangkan, bahwa kelainan pada tubuh yang sifatnya
menetap dan tidak akan berubah dalam waktu enam bulan. Contoh kelainan yang termasuk
dalam kategori tunadaksa ortopedi ini diantaranya poliomyelitis, tubercolosis tulang,
ostomyelitis, arthritis, paraplegia, muscle dystrophia, kelainan pertumbuhan anggota atau
anggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan kaki dan lain-
lain.

3
Berdasarkan insiden terjadinya ketunadaksaan ortopedi, dasar pemberian pertolongan
rehabilitasi, dan usaha penempatan kerja, penderita tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi
ketunadaksaan karena kecelakaan lalu lintas, ketunadaksaan karena penyakit, serta
ketunadaksaan yang didapat sejak lahir (Suroyo, 1977).
Anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped), yaitu anak tunadaksa yang
mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf diotak (Heward & Orlansky, 1991).
Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme
tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik,
emosi dan mental.
Sebuah eksperimen yang dilakukan Panfield dan Rasmussen dengan menggunakan
perangsangan listrik dan beberapa bagian otak. Hasilnya, selama manusia dalam kondisi
sadar, ternyata mampu menghasilkan gerakan otot pada bagian-bagian tubuh, misalnya
rangsangan terhadap daerah pendengaran menghasilkan nada-nada pendengaran, rangsangan
terhadap daerah penglihatan
menimbulkan sensasi warna, bentuk, dan lain-lain, atau jika yang dirangsang iobus temporalis
akan muncul teori tentang suatu situasi atau yang lainnya.
Luka pada bagian otak tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam
perkembangannya, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai
bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainanyang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada
anak cerebral palsy (CP). Cerebral palsy yang berasal dari kata cerebral yang artinya otak,
dan palsy yang mempunyai arti ketidakmampuan atau gangguan motorik (Kirk, 1970). Jadi
cerebral palsy memiliki pengertian lengkap yakni gangguan aspek motorik yang disebabkan
oleh disfungsinya otak.
The American Academy of Cerebral Palsy mendefinisikan, yaitu berbagai perubahan
gerakan atau fungsi motor tidak normal dan timbul sebagai akibat kecelakaan, luka, atau
penyakit pada susunan saraf yang terdapat pada rongga tengkorak. Pengertian selengkapnya
dapat dikutip dari The United Cerebral Palsy Association, cerebral palsy menyangkut
gambaran klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, terutama pada kommponen yang
menjadi penghalang dalam gerak sehingga keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy
dapat digambarkan sebagai kondisi semenjak kanak-kanak dengan kondisi nyata, seperti
lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan
oleh patologi pusat kontrol gerak di otak.
Dengan terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang dialami anak
menderita cerebral palsy, rentetan kesulitan berikutnya kemungkinan dapat memengaruhi

4
kesulitan belajar, maslah-masalah kejiwaan, kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun
penyimpangan perilaku yang bersumber pada fungsi organ tubuhnya. Dalam banyak kasus,
luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau bagian-bagiannya, baik yang didapat sebelum,
selama, maupun sesudah kelahiran dapat menyebabkan gangguan pada mental, kekacauan
bahasa (aphasia), ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan menulis (agrafia),
ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan berbicara (speech
defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli), di samping berbagai bentuk gerak lainnya.
Perli dipahami bahwa cerebral palsy bukan suatu penyakit, melainkan suatu kondisi
yang ditandai oleh sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Hal ini berarti cerebral palsy
berbeda dengan cacar air, tubercolosis, atau penyakit kanker. Cerebral palsy merupakan suatu
sindrom dan mempunyai gambaran yang jelas.
Dilihat dari manifestasi yang tamapak pada aktivitas motorik, anak cerebral palsy
dapat dikelompokkan menjadi spasticity, athetosis, ataxia, tremor, danrigidity (Hallahan &
Kaufman, 1986; Patton, 1991).
a. Spasticity
Pada tahun 1861, dokter Little dari London memberi gambaran kondisi anak yang
mengalami sindrom spastis. Kondisi ini kemudian dikenal dengan penyakit Little. Istila-
istilah lain yang digunakan untuk menyebutkan kondisi ini diantaranya cerebrospastis,
cerebral spastis, birth injured, dan cerebral palsy.
Kondisi ini terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan motor) bidang piramida
dan beberapa kemungkinan bidang ekstra piramida yang berhubungan dengan pengontrolan
gerakan sadar tidak berfungsi sempurna. Bidang piramida yang terletak di antara daerah
gerak dan pengindraan di lapisan luar, dan daerah ekstra piramida terletak di bawah cortical,
lebih masuk kedalam otak. Daerah tertentu pada otak dapat menimbulkan gerak tertentu,
kontraksi, atau rangsangan-rangsangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut
disebut supresor (pendesak).
Apabila salah satu dari supresor ini masuk, maka akan terjadi suatu desakan,
akibatnya otot akan berada dalam kondisi tegang dan kejang. Ketika kondisi otot kejang
keseimbangan akan hilang, gerakan yang muncul menjadi tidak harmonis, tidak terkontrol
dan kontraksi otot tidak teratur, sehingga gerakan yang tampak seperti suatu hentakan.
Namun demikian, dalam keadaan normal anak mampu menggerakkan otot dengan baik,
meskipun gerakannya tampak lamban, eksplosif, dan tidak sempurna.
Beberapa kelompok otot yang dapat dipengaruhi oleh kelumpuhan jenis ini, antara
lain monoplegia yaitu jika salah satu anggota badan mengalami kekejangan, hemiplegia yaitu

5
jika salh satu dari anggota tubuh seperti kaki dan tangan mengalami kekejangan, triplegia
yaitu jika diantara anggota tubuh, seperti dua kaki dan satu tangan mengalami kekejangan,
paraplegia yaitu jika kekejangan itu terjadi pada kedua kaki, dan quadriplegia yaitu
kekejangan yang muncul pada keempat anggota tubuh, sebagian kadang-kadang di kepala dan
anggota tubuh lainnya.
Karakteristik lain dari spasticity ini ialah penderita menunjukkan hypertomicity
seperti tegangan otot yang berlebihan atau kontraksi getaran sewaktu otot-otot beristirahat.
Distribusi frekuensi penderita spasticity sekitar 40-60% dari anak penderita cerebral palsy.
b. Athetosis
Paralysis spastic (kejang lumpuh)terjadi karena luka atau gangguan pada bidang
piramida yang terletak pada kortek motor (lapisan luar area motorik), sedangkan athetosis
penyebabnya adalah luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun
tengah. Meskipun demikian, belumjelas daerah pemisahnya sebab pada penderita spasticity
barangkali juga melibatkan sistem ekstra piramida. Banyak orang percaya bahwa ekstra
piramida menjebatani antara kegiatan otot dan kontrol gerak secara otomatis seperti berjalan
dan gerakan ekspresi wajah.
Anak yang menderita cerebral palsy jenis athetosis ini tampak susah payah untuk
berjalan, menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung (sempoyongan). Gerakannya tidak
berirama dan tidak mengikuti urutan yang wajar, perilakunya serung tidak terkontrol.
Beberapa dari mereka bergerak dengan cara tidak wajar atau aneh. Penderita athetoid
meskipun mamapu meletakkan tangan pada mulutnya, namun ketika melakukan kegiatan ini
tampak berbagai bentuk gerakan yang tidak terkontrol dan ekstrem.
Penderita athetosis dalam kondisi tidur gerakan seperti menggeliat tidak tampak,
namun gerakan ini akan muncul pada saat penderita dalam keadaan sadar. Gerakan-gerakan
abnormal penderita athetosis ini kian menghebat, apabila yang bersangkutan melakukan
kegiatan disertai emosi yang tinggi. Karakteristik dari penderita athetosis ini ialah mengalami
problem pada sejumlah besar tangan, bibir, lidah, serta sejumlah kecil kaki. Populasi
penderita athetosis diperkirakan sekitar 15-20% dari penderita cerebral palsy.
c. Ataxia
Kondisi ataxia ini tidak begitu umum dibandingkan dengan spasticity maupun
athetosis. Kondisi ataxia ini disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian
belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi
pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia gerakannya tidak teratur, berjalan dengan
langkah yang tinggi dan dengan mudah menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak

6
terkoordinasi, gerakannya seperti tersentak-sentak (nystagmus). Penderita ataxia tidak
kelihatan ketika dilahirkan, namun ketika masa meraban dan berjalan kondisi ini tampak jelas
sekali. Sebagaimana spasticity dan athetosis, ataxia ada beberapa tingkatan, mulai dari yang
ringan sampai yang sangat berat tergantung perluasan luka pada cerebellum.
d. Tremor dan Regidity
Tremor dan regidity mirip dengan athetosis, yakni disebabkan oleh luka pada sistem
ekstra piramida. Kondisi ini muncul pada sebagian kecil anak penderita cerebral palsy.
Tremor pada penderita cerebral palsy diketahui sejak dini, manakala terjadi perubahan fibrasi
tubuh secara alami tidak beraturan. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan antara
kelompok otot yang bekerja berlawanan. Dalam kondisi ini anak masih dapat malakukan
aktivitas sesuai dengan tujuannya, walaupun ada beberapa hambatan jika dibandingkan
dengan penderita spasticity atau athetosis. Regidity merupakan interferensi terhadap postural
tone yang disebabkan oleh resistensi otot-otot agonis dan antagonis. Berbeda dengan athetosis
yang mana gerakannya lebih bebas dan lebih sering berubah, sedangkan tremor dan regidity
gerakannya terbatas dan menurut irama tertentu serta agak lambat.
e. Tipe Campuran
Walaupun jenis-jenis cerebral palsy sudah dapat diidentifikasikan menurut jenisnya,
namun pada kasus-kasus tertentu menunjukkan perpaduan di antara jenis cerebral palsy
tersebut. Misalnya, penderita cerebral palsy yang diidentifikasikan dalam ciri spasticity
tamapak pula ciri athetosis dan ataxia, atau spasticity dengan tremor atau regidity, atau
bentuk kombinasi yang lain.
3. KARAKTERISTIK ANAK TUNADAKSA

Karakteristik anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah berikut ini
a. Karakteristik Akademik
Pada umumnnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak
normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral tingkat
kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990)
mqngemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangn mental
(tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya sedikit
dibawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan
hubungan xecara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya
anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.

7
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami
kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf
penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses presepsi yang
dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian
ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kogmisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapatmengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus-menerus
melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi
disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan yang dilihat.
Kelainan yang komplek ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.
f. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang
merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan
mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang
tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan
pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat
mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah
diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu,
banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu,
tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya.
g. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh
adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak
ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan
motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu
pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain
dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya
ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra
pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy

8
mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur
sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan
tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik,
intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam,
gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons
rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit
melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis,
menggambar, dan menari.

D. PENYEBAB TUNADAKSA
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak sehingga
menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum
tulang belakang, serta pada sistem musculus skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa,
dan masing-masing timbulnya kerusakan yang berneda- beda. Dilihat dari waktu terjadinya,
kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelim lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. SEBELUM LAHIR (FASE PRENATAL)

Kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan disebabkan:


a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang
otak bayi yang sedang dikandungnya.
h. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan,
sehingga merusak pembentukan saraf-saraf di dalam otak.
i. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem saraf
pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
j. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan
k. terganggunya pembentukan sistem saraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya
terbentur dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi, maka
dapat merusak sistem saraf pusat bayi.

4. FASE KELAHIRAN (FASE NATAL/PERINATAL)

Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak pada bayi pada saat bayi dilahirkan
antara lain:

9
a. Proseskelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggangnya yang kecil pada ibu
sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan
terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan saraf pusat
mengalami kerusakan.
l. Pemakaian alat Bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan
sehingga dapat merusak jaringan saraf otak pada bayi.
m. Pemakaian anestesi yang melebihi ketantuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan
menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persarafan
otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur maupun fungsinya.

5. SETELAH PROSES KELAHIRAN (FASE POST NATAL)

Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkansampai masa
perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun.
Hal-hal yang dapat menyebabakan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan atau trauma kepala, amputasi.
n. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

E. LAYANAN PENDIDIKAN P ADA ANAK TUNADAKSA


1. TUJUAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA

Tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun
1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik
dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan
dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Connor (1975) dalam Musyafak
Asyari (1995) mengemukakan bahwa dalam pendidikan anak tunadaksa perlu dikembangkan
7 aspek yang diadaptasikan sebagai berikut.
a. Pengembangan Intelektualdan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah melalui kegiatan
pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-D) tersedia seperangkat kurikulum
dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian
kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk mengoptimalkan perkembangan
intelektual dan akademiknya.
o. Membantu Perkembangan Fisik

10
Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik maka dalam proses
pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap pengembangan fisiknya dengan cara
bekerja sama dengan staf medis. Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan
motorik. Oleh karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak
memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus membantu memelihara
kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak yang salah dan mengembangkan ke arah
gerak yang normal.
p. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak

Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog harus
menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar dapat menerima dirinya. Hal
ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat
mendorong terciptanya interaksi yang harmonis.
q. Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya perlu
dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa agar turut serta bertanggung
jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.
r. Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-nilai, norma
kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan moral dan spiritualnya.
s. Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan kesenian,
keterampilan atau kerajinan.
t. Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk menyiapkan masa
depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak bekerja sesuai
dengan kemampuannya, membekali mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan
sesuatu yang dapat dijadikan bekal hidupnya.
Ketujuh sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual purpose (ganda),
yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikannya.
Tujuan utamanya adalah terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.

6. TEMPAT PENDIDIKAN

11
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan jumlah
peserta didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak tunadaksa dapat
mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.
a. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya berat dan
sangat berat.
u. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kemampuan pulang pergi
ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
v. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen
dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
w. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa dengan anak normal, pada
mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tunadaksa
mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.
x. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive Instructional
Service)
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah umum dengan
bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
y. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class Placement
with Consulting Service for Reguler Teachers)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum.
Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu
kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
z. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan normal,
memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal.

7. SISTEM PENDIDIKAN

Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem pendidikan anak


tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.

12
a. Pendidikan Integrasi (Terpadu)
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak dilakukan melalui jalur
sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar
Biasa bagian D), namun anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti
pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang mengikuti pendidikan di
sekolah umum harus mengikuti pendidikan sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus
sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan hadiah
terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan fisik (Astati, 2000).
Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan bahwa adaptasi pendidikan anak
tunadaksaapabila ditempatkan di sekolah umum adalah sebagai berikut.
1) Penempatan di kelas reguler
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
 Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa
untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu
agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda;
 Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena
anak sering tidak masuk sekolah;
 Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat
masalah fisiknya secara langsung;
 Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan
kesehatan yang lebih parah.
2) Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus
Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler karena ia sakit-
sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang sumber. Murid yang datang ke ruang
sumber tergantung pada materi pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa
yang mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik tingkat sedang
dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak dapat berbicara maka ia perlu masuk
kelas khusus sebagai persiapan anak untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di
kelas khusus ia sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal (siswa
kelas reguler).
aa. Pendidikan Segregasi (Terpisah)

13
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus,
seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak
Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994
terdiri atas komponen berikut.
 Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan
yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang
dan satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran,
lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan
penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di
tingkat nasional dan daerah.
 Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata
pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian
tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu- rambu pelaksanaannya, dan
uraian/cara pembelajaran yang disarankan.
 Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-
mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman
penilaian kegiatan dan hasil belajar.

Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai
berikut.
 TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi
kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama,
Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa,
Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang
diterima sekurang- kurangnya 3 tahun.
 SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan
usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas:
Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan
Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program khusus (Bina Diri dan
Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
 SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-
kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya

14
terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan
Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan,
Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan lokal
(Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
 SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga
tahun,dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi
program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket
Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis
keterampilan sebagai bekal hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang adalah TKLB
lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40
menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata
pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata
pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya; dan SMLB
lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan
mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

F. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang berkaitan dengan
keterlaksanaannya, seperti berikut.
1. Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar

Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak tunadaksa, Ronald


L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan
di sekolah formal maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang
diindividualisasikan. Dalam rangka mengembangkan program pendidikan yang
diindividualisasikan, banyak informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan
melalui assessment. Adapun langkah- langkah utama dalam merancang suatu program
pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.
a. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualisasikan
(TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler, diagnostician, kepala sekolah,
orang tua, siswa, serta personel lain yang diperlukan.

15
bb. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan dengan
assessment.
cc. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran jangka pendek.
dd. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan e. Menentukan metode dan
evaluasi kemajuan.

8. Prinsip Pembelajaran

Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak tunadaksa,
diantaranya sebagai berikut.
a. Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan
mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang
mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain
dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
ee. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan adalah
kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya dapat berbentuk klasikal
dan individual. Dalam model klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu
yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan
pada masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
ff. Penataan Lingkungan Belajar
Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam mengikuti
pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan belajarnya. Gedung
sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu yang memungkinkan dapat mendukung
kelancaran kegiatan anak tunadaksa di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya
dirancang dengan memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah
bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala sesuatu yang ada
di ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari, 1995).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
1) Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk
pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak
(physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina
diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.

16
3) Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang
memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi
roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman.
4) Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
5) Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan
yang tidak licin.
6) Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya
dibuat mengatup ke dalam.
7) Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain sebaiknya
disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di tembok agar anak
dapat mandiri berambulasi.
8) Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan
anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
9) Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan
segera dapat menjangkaunya.
10) Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu
menggunakannya.
11) Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya
disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat
disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk)
agar aman.

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas kami dapat menyimpulkan,
1. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan
istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota
tubuhnya, bukan cacat indranya. Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan
sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi
(orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped).
2. Sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa.
Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada
sistem musculus skeletal. Adanya keragaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan
timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa
sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
3. Tujuan utama pendidikan anak tunadaksa adalah terbentuknya kemandirian dan
keutuhan pribadi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sekurang-kurangnya tujuh aspek yang
perlu dikembangkan melalui pendidikan pada anak tunadaksa, yaitu (1) pengembangan
intelektual dan akademik, (2) membantu perkembangan fisik, (3) meningkatkan
perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, (4) mematangkan aspek sosial, (5)
mematangkan moral dan spiritual, (6) meningkatkan ekspresi diri, dan (7) mempersiapkan
masa depan anak.

G. SARAN
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Kami tetap
berharap makalah ini tetap memeberikan manfaat bagi pembaca. Namun, saran dan kritik
yang sifatnya membangun dengan tangan terbuka kami terima demi kesempurnaan di masa
akan datang.

1
DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Muhammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi


Akasara.
http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2194391-pengertian-
tunadaksa/#ixzz1q2evbGwK
httP://didikz888.wordpress.com/tag/makalah-adaptif-tuna-daksa/
http://ppcisulsel.blogspot.com/2009/02/informasi-mengenai-pendidikan-untuk.html

Anda mungkin juga menyukai