Anda di halaman 1dari 55

16

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi


Menurut Brookhart (2010) Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
dipandang sebagai proses kognitif yang kompleks, sedangkan Susanti (2014)
mendefinisikan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi sebagai
kemampuan menggunakan pikiran untuk memenuhi atau menghadapi tantangan
baru. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi adalah suatu kemampuan menggunakan pikiran
dalam proses kognitif yang kompleks untuk memenuhi suatu tantangan baru.
King, et al. (1998) menyatakan bahwa Kemampuan Berpikir Matematis
Tingkat Tinggi meliputi berpikir kritis, logis, reflektif, metakognisi dan kreatif.
Thompson (2008) menyatakan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
melibatkan pemecahan suatu tugas dengan menggunakan suatu algoritma yang
belum pernah diberikan atau menggunakan suatu algoritma yang sudah dikenal
tetapi pada situasi atau konteks yang tidak familier. Selanjutnya, Webb & Coxford
(1993) mengatakan bahwa berpikir matematis digolongkan menjadi dua, yaitu
berpikir matematis tingkat tinggi dan berpikir matematis tingkat rendah.
Melakukan operasi perhitungan sederhana, menerapkan aturan secara langsung,
bekerja pada suatu tugas algoritma digolongkan pada berpikir matematis tingkat
rendah, sedangkan, kemampuan memahami ide matematis secara lebih mendalam,
menyusun konjektur, analogi dan generalisasi, berpikir logis, pemecahan masalah,
serta komunikasi dan koneksi matematis digolongkan dalam berpikir matematis
tingkat tinggi.
Kemampuan memahami ide matematis secara lebih mendalam, mengamati
data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi dan generalisasi,
menalar secara logis termasuk di dalam penalaran matematis sedangkan
kemampuan mengaitkan ide matematis dengan kegiatan intelektual lainnya
termasuk di dalam koneksi matematis. Jadi dapat disimpulkan bahwa komponen
Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi meliputi pemecahan masalah,
penalaran, komunikasi dan koneksi matematis.

16
17

1. Pemecahan Masalah Matematis


Pengertian pemecahan masalah telah diungkapkan oleh beberapa ahli.
Sumarmo (2000) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses
untuk mengatasi kesulitan yang ditemui demi mencapai suatu tujuan yang
diinginkan. Polya (dalam Gani, 2007) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah
sebagai suatu usaha mencari cara untuk mengatasi suatu kesulitan dan mencapai
suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat tercapai. Polya juga menegaskan
bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu cara untuk menyelesaikan
masalah matematis dengan menggunakan konsep matematis yang telah dikuasai
sebelumnya (Silver, 1997). Berdasarkan berbagai pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematis adalah kemampuan individu
untuk melakukan serangkaian proses dengan tujuan menyelesaikan suatu masalah
matematis dengan menggunakan konsep matematis yang telah dikuasai
sebelumnya.
Branca (1980) mengungkapkan bahwa tujuan umum dalam pembelajaran
matematika adalah pemecahan masalah matematis, bahkan pemecahan matematis
juga disebut sebagai jantungnya matematika. Jika seseorang mempunyai
kemampuan pemecahan masalah yang baik, orang tersebut akan mempunyai daya
analitis yang baik pula untuk diterapkan dalam berbagai macam situasi. Oleh karena
itu kemampuan memecahkan masalah pada diri manusia hendaknya sudah
ditanamkan dan dibiasakan mulai sejak dini.
Untuk dapat lebih mengerti tentang pemecahan masalah, harus dipahami
terlebih dahulu pengertian dari suatu masalah. Masalah dalam matematika adalah
suatu persoalan yang penyelesaiannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang
rutin (Ruseffendi, 2006). Diperlukan suatu proses berpikir yang kreatif untuk
mengajukan dan memecahkan suatu masalah (Siswono, 2008). Dari sini dapat
dikatakan masalah bagi individu yang satu belum tentu menjadi masalah bagi
individu lain.
Menurut Gagne (dalam Ruseffendi, 2006), fakta, kemampuan, konsep dan
prinsip merupakan objek langsung dari belajar matematika, sedangkan pemecahan
masalah sebagai objek tidak langsung dari belajar matematika. Dalam diri
mahasiswa, pemecahan masalah tidak tumbuh dengan sendirinya akan tetapi
18

banyak dosen justru menjadikan pemecahan masalah matematis sebagai objek


langsung yang harus dipelajari oleh mahasiswa. Hal ini akan menimbulkan
kesulitan pada diri mahasiswa. Dengan menggunakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari diharapkan minat mahasiswa untuk
berusaha memecahkan masalah matematis dapat ditingkatkan.
Polya (1985) serta Foshay & Kirkley (1998) menyatakan bahwa untuk
memecahkan suatu masalah terdapat empat langkah yang dapat dilakukan: (1)
Memahami masalah, yaitu menentukan (mengidentifikasi) apa (data) yang
diketahui, apa yang ditanyakan (tidak diketahui), syarat‐syarat apa yang diperlukan,
apa syarat‐syarat bisa dipenuhi, memeriksa apakah syarat‐syarat yang diketahui
mencukupi untuk mencari yang tidak diketahui, dan menyatakan kembali masalah
asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan); (2) Merencanakan
pemecahannya, yaitu memeriksa apakah sudah pernah melihat sebelumnya atau
melihat masalah yang sama dalam bentuk berbeda, memeriksa apakah sudah
mengetahui soal lain yang terkait, mengaitkan dengan teorema yang mungkin
berguna, memperhatikan yang tidak diketahui dari soal dan mencoba memikirkan
soal yang sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama;
(3) Melaksanakan rencana, yaitu melaksanakan rencana penyelesaian, mengecek
kebenaran setiap langkah dan membuktikan bahwa langkah benar; (4) Melihat
kembali, yaitu meneliti kembali hasil yang telah dicapai, mengecek hasilnya,
mengecek argumennya, mencari hasil itu dengan cara lain, dan menggunakan hasil
atau metode yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah lain.
Para pendidik (dalam hal ini dosen) dapat memberikan masalah yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan banyak cara, sehingga para peserta didik dapat
berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi penyelesaian masalah. Hal ini
dapat membantu peserta didik untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman
belajar.
Ada beberapa jenis masalah yang dapat diberikan dosen untuk melatih
kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa. Jenis masalah yang
dipandang memiliki potensi besar untuk mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi pada umumnya dan pemecahan masalah matematis pada khususnya
adalah masalah tidak lengkap dan masalah terbuka.
19

Masalah tidak lengkap adalah masalah yang masih memerlukan informasi


tambahan untuk dapat dikerjakan, tujuannya tidak jelas (banyak), penyelesaiannya
tidak terduga, serta mempunyai banyak penyelesaian. Untuk menyelesaikan
masalah jenis ini diperlukan strategi lain sebagai prasyarat untuk melaksanakan
strategi lanjutan. Masalah ini sejalan dengan masalah terbuka yaitu jenis masalah
yang mempunyai banyak penyelesaian. Kedua jenis masalah di atas dapat
diselesaikan menggunakan berbagai macam strategi, sehingga akan timbul
kreativitas mahasiswa dalam menyelesaikannya sekaligus memberikan pengalaman
belajar bagi mahasiswa tersebut. Akan tetapi membiasakan mahasiswa
menyelesaikan masalah tidak lengkap dan masalah terbuka bukanlah perkara yang
mudah. Oleh karena itu untuk melatih mahasiswa, dosen dapat terlebih dahulu
memberikan masalah lengkap dan masalah tertutup.
Masalah lengkap dan masalah tertutup dapat diwujudkan dalam bentuk soal
yang strategi penyelesaiannya dapat diduga, hanya mempunyai satu penyelesaian
yang benar serta semua informasi untuk menyelesaikannya telah tersedia dalam
soal tersebut. Soal jenis ini yang paling biasa ditemui dalam pembelajaran
matematika. Jelas pemberian masalah lengkap dan masalah tertutup bukanlah hal
yang salah di dalam pembelajaran. Akan tetapi hendaknya setelah mahasiswa
mampu untuk menyelesaikannya, mahasiswa diberikan masalah tidak lengkap dan
masalah terbuka untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
matematisnya. Foshay & Kirkley (1998) menggambarkan proses penyelesaian
masalah tidak lengkap dan masalah terbuka adalah sebagai berikut.
Mengingat Kembali

Merepresentasikan Masalah Mencari Solusi Mengimplentasikan Solusi

Salah/ Belum Berhasil


Berhasil

Berhenti

Gambar 2.1. Model Proses Pemecahan Masalah

Dari gambar di atas dapat dikatakan ketika mahasiswa sedang melakukan


proses pemecahan masalah, mahasiswa tersebut melakukan representasi masalah,
mencari solusi dan mengimplementasikan solusi dari masalah yang sedang
20

dihadapi. Dalam melakukan ketiga tindakan di atas, mahasiswa menggunakan


semua pengetahuan yang telah dimilikinya. Selain itu dalam gambar juga dapat
dilihat bahwa dalam melakukan proses pemecahan masalah, mahasiswa tidak selalu
berhasil. Ketika gagal, mahasiswa melihat kembali representasi masalah dan
pencarian solusi yang telah dilakukan dan melakukan revisi atau perbaikan pada
bagian yang dianggap kurang tepat untuk selanjutnya mengimplementasikan
kembali sehingga memperoleh solusi yang benar. Setelah mahasiswa mendapatkan
solusi yang benar, maka proses pemecahan masalah ini akan dihentikan.
Mengingat pentingnya proses pemecahan masalah matematis yang harus
dimiliki oleh mahasiswa, apalagi mahasiswa calon guru matematika, NCTM
Program Standards (2003) meletakkan Knowledge of Mathematical Problem
Solving sebagai standar pertama dari tujuh standar yang ditetapkan. NCTM
menyatakan seorang mahasiswa calon guru matematika hendaknya mengetahui,
memahami dan dapat menerapkan proses dari pemecahan masalah matematis. Hal
ini sangat beralasan karena mahasiswa calon guru matematika nantinya harus
membimbing siswa agar dapat melakukan proses pemecahan masalah matematis.
Selain itu menurut standar NCTM (2003) indikator seseorang yang telah
mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis adalah dapat (1)
Menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk
menyelesaikan masalah; (2) Menyelesaikan masalah yang muncul di dalam
matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika; (3)
Membangun pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah; (4)
Memonitor dan merefleksi pada proses penyelesaian masalah matematis.
Langkah-langkah dan strategi pemecahan masalah matematis yang umum
telah ada secara lengkap panduannya. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan
masih terdapat kendala-kendala dalam proses pemecahan masalah matematis.
Beberapa kendala yang mungkin muncul dalam pemecahan masalah matematis
adalah adanya salah interpretasi, ukuran masalah dan motivasi. Salah interpretasi
dapat terjadi karena kurang jelasnya gambar, tabel atau diagram; penggunaan
bahasa atau istilah yang kurang dapat dimengerti; ataupun ketidakjelasan diskripsi
masalahnya. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan komunikasi dan koneksi
matematis yang harus dimiliki mahasiswa. Kemampuan komunikasi dan koneksi
21

matematis juga penting dimiliki oleh mahasiswa selain sebagai modal dalam proses
pemecahan masalah matematis juga sebagai modal untuk menghadapi masalah-
masalah di dalam bidang lain dan kehidupan bermasyarakat nantinya.
Selain itu menyangkut kendala motivasi dan kurang jelasnya gambar, tabel
atau diagram dapat diatasi dengan menggunakan pembelajaran berbantuan web.
Karena salah satu tujuan dari pembelajaran berbantuan web adalah untuk
mengurangi kemungkinan salah penafsiran serta mendorong munculnya minat dan
motivasi belajar peserta didik (Kusumah, 2011).
Dari langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah matematis di atas,
secara garis besar dapat dikatakan bahwa seseorang telah memiliki kemampuan
untuk memecahkan masalah matematis jika dapat (1) memahami masalah; (2)
Memilih dan menerapkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah; dan (3)
Meninjau ulang kebenaran penyelesaian masalah yang didapat dengan
menggunakan strategi yang telah dipilih. Langkah-langkah tersebut adalah
indikator dari pemecahan masalah matematis yang digunakan dalam penelitian ini.
Langkah pertama, memahami masalah, mahasiswa harus dapat memahami
masalah yang diajukan kepadanya. Mahasiswa harus dapat mengerti hal-hal apa
yang tanyakan serta tahu informasi-informasi apa saja yang terdapat dalam masalah
yang dapat berfungsi untuk menyelesaikan masalah.
Langkah ke-2, memilih dan menerapkan strategi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah. Dengan menggunakan pengetahuan yang telah
dimilikinya, mahasiswa mampu menentukan berbagai macam strategi yang
sekiranya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, selanjutnya
dipilih suatu strategi yang paling tepat untuk diimplementasikan. Selanjutnya,
mahasiswa hendaknya mampu mengimplementasikan strategi yang telah dipilihnya
untuk menyelesaikan masalah sehingga didapatkan solusi dari hal-hal yang
ditanyakan dalam masalah tersebut.
Langkah ke-3, meninjau ulang kebenaran penyelesaian masalah yang didapat
dengan menggunakan strategi yang telah dipilih. Seperti yang telah diungkapkan di
atas, bahwa dalam proses penyelesaian suatu masalah kadang kala menemui
kegagalan dan kadangkala menemui keberhasilan. Mahasiswa harus dapat
meninjau ulang apakah solusi yang didapat dari strategi yang telah dipilih tersebut
22

benar atau tidak. Jika menemui keberhasilan dapat langsung dibuat kesimpulan.
Jika menemui kegagalan mahasiswa dapat meninjau kembali strategi yang telah
dipilihnya atau berusaha kembali memahami masalah yang diajukan untuk
selanjutnya dilakukan proses pemecahan masalah kembali.
Adapun contohnya adalah sebagai berikut.

4 meter

4 meter

Penampang tegak sebuah bak penampuangan air yang terisi penuh dengan panjang 10
meter berbentuk trapesium seperti gambar di atas. Jika air harus dipompa setinggi 1 meter
di atas puncak bak tersebut, berapa kerja yang dibutuhkan untuk mengosongkan tanki
tersebut?
a. Tulis unsur yang diketahui dan ditanyakan. Berlebih, cukup, atau kurangkah unsur
yang diketahui agar soal dapat diselesaikan? Kalau berlebih, tulislah unsur yang lebih,
kalau kurang lengkapi unsur tersebut.
b. Kalau unsur mencukupi, susun model matematis untuk menghitung kerja yang
dibutuhkan saat mengosongkan bak penampungan air tersebut, kemudian
selesaikan, disertai penjelasan atau periksa kebenaran jawaban yang diperoleh.
c. Tuliskan konsep matematika dan konsep fisika yang termuat dalam masalah di atas.

2. Penalaran Matematis
Menurut Ruseffendi (2006) matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran
yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Hal ini berarti untuk
memahami materi matematika diperlukan kegiatan penalaran yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Penalaran matematis juga
diperlukan untuk mencapai kemampuan mengkonstruksi konjektur matematika,
mengembangkan dan mengevaluasi argumen, serta menyeleksi dan menggunakan
berbagai tipe representasi (NCTM, 2003).
Penalaran digambarkan sebagai proses berpikir ketika mencoba untuk
menunjukkan hubungan antara dua hal atau lebih yang berdasar pada aturan tertentu
yang telah terbukti benar melalui langkah-langkah tertentu dan diakhiri dengan
suatu kesimpulan (Ramdani, 2011). Baroody (1993) menyatakan penalaran
23

merupakan suatu alat yang penting untuk matematika dan kehidupan sehari-hari.
Banyak masalah dalam matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari yang
memerlukan penalaran untuk menyelesaikannya.
Baroody (1993) menyatakan ada tiga tipe penalaran yaitu penalaran intuitif,
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran intuitif membutuhkan sesuatu
yang sudah ada atau memainkan perasaan. Penalaran ini tidak memerlukan
informasi dalam mengambil keputusan dan hanya berdasarkan pada hal yang jelas
terlihat atau perasaan saja. Penalaran induktif merupakan penalaran yang mengikuti
pola, sedangkan penalaran deduktif merupakan penalaran yang berdasarkan pada
hal yang telah diketahui. Baroody (1993) juga menyatakan pembuktian deduktif
dapat menentukan berlaku atau tidaknya suatu pengertian atau konjektur secara
logis dan konsisten serta berlakunya pengertian atau konjektur tersebut hanya untuk
suatu kasus tertentu atau dapat digeneralisasikan. Masalah-masalah pembuktian
dalam matematika lebih sering menggunakan penalaran secara deduktif daripada
yang lainnya karena hasilnya dapat berlaku secara umum.
Selanjutnya dari pendapat beberapa pakar Sumarmo (2002) merangkum
bahwa penalaran matematis meliputi (1) menarik kesimpulan logis; (2) memberi
penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan;
(3) memperkirakan jawaban dan proses solusi; (4) menggunakan pola dan
hubungan untuk menganalisis situasi matematis; (5) menyusun dan mengkaji
konjektur; (6) merumuskan lawan contoh (counter examples); (7) mengikuti aturan
inferensi, memeriksa validitas argumen; (8) menyusun argumen yang valid; dan (9)
menyusun pembuktian langsung dan menggunakan induksi matematik.
Adapun indikator-indikator kemampuan penalaran matematis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Indikator pertama,
mahasiswa mampu memberikan penjelasan dengan menggunakan konsep, prinsip,
aturan, atau rumus matematika. Jika mahasiswa diberikan suatu masalah atau tugas
matematis, mahasiswa tersebut harus mampu menyelesaikannya dengan
menggunakan konsep, prinsip, aturan, atau rumus matematika yang telah ada
sebelumnya. Adapun contohnya adalah sebagai berikut.
24

Seorang anak mengatur sejumlah balok dengan pola seperti pada gambar berikut.

Hitung banyak balok pada tiap pola, dan susun pola bilangan yang terjadi. Kemudian
hitung jumlah balok dari pola 1 sampai dengan pola 5. Bagaimana menghitungnya? Bila
proses tersebut dilanjutkan sampai dengan pola ke-n, hitung banyak balok seluruhnya.
Bagaimana menghitungnya?
Jelaskan konsep, prinsip, aturan, atau rumus matematika yang digunakan dalam
penyelesaian masalah tersebut!

Indikator ke-2, mahasiswa harus dapat memberikan bukti baik secara


langsung maupun tidak langsung. Adapun contohnya adalah sebagai berikut.

Buktikan Ketaksamaan Cauchy (∑𝑛


𝑖=1 𝑎𝑖 𝑏𝑖 )
2
≤ (∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖 )(∑𝑛𝑖=1 𝑏𝑖 ).

3. Komunikasi Matematis
Komunikasi berasal dari bahasa latin communicare yang berarti
memberitahukan. Secara umum komunikasi mengandung pengertian memberikan
informasi, pesan, gagasan, ide, pikiran, perasaan kepada orang lain, dengan maksud
agar orang lain berpartisipasi, yang pada akhirnya informasi, pesan, gagasan, ide,
pikiran, perasaan tersebut menjadi milik bersama antara komunikator dan
komunikan (Soeharto, 2008), sedangkan komunikasi matematis menurut Schoen,
et al. (1996) adalah kemampuan individu dalam hal menjelaskan suatu algoritma
dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan individu mengkonstruksi dan
menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata atau kalimat,
persamaan, tabel dan sajian secara fisik.
Jadi, komunikasi matematis adalah kemampuan untuk menyatakan dan
mengilustrasikan ide matematis ke dalam model matematis dan sebaliknya. Model
matematis sendiri dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, notasi, gambar ataupun
grafik.
Dalam suatu pembelajaran terdapat interaksi antara mahasiswa dengan dosen.
Interaksi ini dapat berupa komunikasi baik lisan maupun tulisan. Interaksi belajar
mengajar yang baik dapat meningkatkan kualitas hubungan dosen dan mahasiswa,
sehingga tidak terdapat jurang pemisah antara dosen dengan mahasiswanya. Hal ini
25

bermanfaat dalam mencapai tujuan pembelajaran secara optimal karena kualitas


pembelajaran dapat meningkat secara signifikan. Sebagai contoh, jika interaksi
dosen mahasiswa berjalan dengan baik, mahasiswa tidak akan takut untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang tidak diketahuinya,
mahasiswa juga tidak akan takut untuk mengemukakan pendapat yang menurut
mereka benar, sehingga kreativitas mahasiswapun akan meningkat.
Interaksi yang berupa komunikasi dalam pembelajaran (dalam hal ini
pembelajaran matematika) inilah yang bertujuan untuk menjembatani mahasiswa
sampai pada pemahaman matematis. Menurut Hatano & Inagaki (1991) mahasiswa
yang mengalami ketidaksepakatan dalam diskusi saat berusaha memecahkan suatu
masalah akan memperoleh pemahaman matematis yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan mahasiswa tersebut akan berusaha meyakinkan pendapatnya melalui
berbagai sudut pandang kepada rekan-rekan satu kelompoknya.
Menurut Baroody (1993) sedikitnya ada 2 alasan penting yang menjadikan
komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu menjadi fokus perhatian, yaitu
(1) matematika sebagai bahasa; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir,
menemukan pola, atau menyelesaikan masalah namun matematika juga alat yang
sangat berharga untuk berkomunikasi secara tepat, jelas dan ringkas; serta (2)
pembelajaran matematika sebagai aktivitas sosial; dalam aktivitas sosial tersebut
terjadi interaksi siswa dengan siswa serta guru dengan siswa yang merupakan
bagian penting dalam rangka mengembangkan potensi matematika siswa.
Selain itu Peraturan Menteri Pendidikan No. 22 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Kelulusan dalam bidang matematika juga mengungkapkan pentingnya
komunikasi di dalam pembelajaran. Adapun isi dari Peraturan tersebut secara
lengkap adalah sebagai berikut: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) Menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh; (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
26

diagram, atau media lain; (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Jadi, kemampuan komunikasi matematis ini mutlak diperlukan oleh
mahasiswa. Dengan kemampuan komunikasi matematis yang baik, mahasiswa
dapat mengilustrasikan ide matematis ke dalam model matematika atau sebaliknya,
sehingga mahasiswa diharapkan terbiasa untuk menyelesaikan masalah baik
masalah akademik maupun sehari-hari.
Dari pendapat beberapa pakar Sumarmo (2004) merangkum bahwa peserta
didik dikatakan memiliki komunikasi matematis jika mampu (1) Menghubungkan
benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (2) Menjelaskan ide,
situasi dan relasi matematis, secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar,
grafik dan aljabar; (3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
matematis; (4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5)
Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; (6) Membuat
konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; (7)
Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
LACOE (dalam Lake, et al., 1995) menyatakan terdapat beragam bentuk
komunikasi matematis yaitu. (1) merefleksi dan mengklarifikasi pemikiran tentang
ide-ide matematika; (2) menghubungkan bahasa sehari-hari dengan bahasa
matematika yang menggunakan simbol-simbol; (3) menggunakan keterampilan
membaca, mendengarkan, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide
matematika; dan (4) menggunakan ide-ide matematis untuk membuat dugaan
(conjecture) dan membuat argumen yang meyakinkan.
Menurut Vermont Department of Education (dalam Stecher & Mitchell,
1995), komunikasi matematis melibatkan 3 aspek, yaitu: (1) menggunakan bahasa
matematika secara akurat dan menggunakannya untuk mengkomunikasikan aspek-
aspek penyelesaian masalah; (2) menggunakan representasi matematis secara
akurat untuk mengkomunikasikan penyelesaian masalah; dan (3)
mempresentasikan penyelesaian masalah yang terorganisasi dan terstruktur dengan
baik.
27

Adapun indikator-indikator komunikasi matematis yang digunakan dalam


penelitiaan ini adalah sebagai berikut. Indikator pertama, mahasiswa mampu
menjelaskan ide atau situasi matematis dengan gambar atau gambar grafik dan
aljabar. Dengan menjelaskan ide atau situasi matematis dengan menggunakan
grafik atau gambar, diharapkan akan membantu proses penyelesaian masalah serta
dapat memberikan penjelasan terhadap ide atau situasi matematis yang ada. Adapun
contoh soal pada indikator ini adalah
Diketahui kurva 𝑦 = 2𝑥 2 − 8𝑥 + 6 dan garis 𝑦 = 2𝑥 − 2 pada selang [-1,4]. Gambarlah
sketsa situasi di atas.

Indikator ke-2, mahasiswa mampu menjelaskan situasi metematis ke dalam


model matematis. Kemampuan mahasiswa dalam indikator ini dapat dilihat jika
mahasiswa mampu membuat model matematika dari situasi matematis sehingga
model tersebut dapat terselesaikan. Adapun contoh soal pada indikator ini adalah
Buatlah model matematika matematika untuk menghitung luas daerah yang dibatasi
𝑓(𝑥) = 𝑥 3 − 3𝑥 2 − 𝑥 + 3, sumbu 𝑋, sumbu 𝑌, dan 𝑥 = 2, kemudian selesaikan disertai
dengan penjelasan pada tiap langkah pengerjaan.

Indikator ke-3, mahasiswa dapat membuat pertanyaan tentang matematika


yang telah dipelajari. Jika mahasiswa telah mempelajari suatu materi matematika,
mahasiswa tersebut diharapkan dapat membuat pertanyaan yang berhubungan
dengan materi tersebut. Contohnya adalah
Lengkapi gambar di samping dengan
data yang diperlukan, kemudian
susunlah suatu pertanyaan yang
relevan dan selesaikanlah pertanyaan
yang anda buat.

4. Koneksi Matematis
Ruspiani (2000) mengungkapkan bahwa koneksi matematis adalah
kemampuan mengaitkan konsep–konsep matematika baik antar konsep matematika
itu sendiri (dalam matematika) maupun mengaitkan konsep matematika dengan
bidang lainnya (luar matematika). Kusuma (2005) menyatakan koneksi matematis
adalah kemampuan seseorang dalam memperlihatkan hubungan internal dan
28

eksternal matematika, yang meliputi: koneksi antar topik matematika, koneksi


dengan disiplin ilmu lain, dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari.
Jadi, koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep–konsep
matematika baik antar konsep matematika itu sendiri (dalam matematika) maupun
mengaitkan konsep matematika dengan bidang lainnya (luar matematika), yang
meliputi: koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan
koneksi dengan kehidupan sehari-hari.
Ada dua tipe koneksi matematis menurut NCTM (1989) yaitu modeling
connections dan mathematical connections. Modeling connections merupakan
hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam
disiplin ilmu lain dengan representasi matematisnya, sedangkan mathematical
connections adalah hubungan antara dua representasi yang ekuivalen, dan antara
proses penyelesaian dari masing-masing representasi.
Koneksi matematis diperlukan mahasiswa karena matematika merupakan
satu kesatuan, di mana konsep yang satu berhubungan dengan konsep yang lain.
Atau dengan perkataan lain untuk mempelajari suatu konsep tertentu dalam
matematika diperlukan prasyarat dari konsep-konsep yang lain. Hal ini bersesuaian
dengan pendapat Ruseffendi (2006) yang mengatakan bahwa salah satu hal penting
mengapa mahasiswa perlu diberikan latihan-latihan yang berkenaan dengan soal-
soal koneksi adalah bahwa dalam matematika setiap konsep berkaitan satu sama
lain seperti dalil dengan dalil, antara teori dengan teori, antara topik dengan topik,
antara cabang matematika. Oleh karena itu agar mahasiswa berhasil belajar
matematika, mahasiswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat
kaitan-kaitan itu (melakukan koneksi). Sebagai contoh koneksi antar topik
matematika, dalam segitiga Pascal. Topik ini memiliki koneksi dengan topik
himpunan, dalam mencari himpunan bagian beserta anggotanya atau bisa memiliki
koneksi dengan topik polinomial, untuk menentukan koefisien dan pangkatnya.
NCTM (2003) menyatakan bahwa matematika bukan kumpulan dari topik
dan kemampuan yang terpisah-pisah, walaupun dalam kenyataannya pelajaran
matematika sering dipartisi dan diajarkan dalam beberapa cabang. Matematika
merupakan ilmu yang terintegrasi. Memandang matematika secara keseluruhan
sangat penting dalam belajar dan berfikir tentang koneksi diantara topik-topik
29

dalam matematika. Apabila mahasiswa mampu mengaitkan ide-ide matematis


maka pemahaman matematisnya akan semakin dalam dan bertahan lama karena
mereka mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan konteks
selain matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari (NCTM, 1989).
Bahkan koneksi matematis sekarang dengan matematika jaman dahulu, misalkan
dengan matematika zaman Yunani, dapat meningkatkan pembelajaran matematika
dan menambah motivasi mahasiswa (Banihashemi, 2014).
Menurut NCTM (1989) peserta didik dikatakan telah memiliki koneksi
matematis jika telah mampu melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Dapat
menggunakan koneksi antar topik matematika; (2) Dapat menggunakan koneksi
antara matematika dengan disiplin ilmu lain; (3) Dapat mengenali representasi
ekuivalen dari konsep yang sama; (3) Dapat menghubungkan prosedur antar
representasi ekuivalen; (4) Dapat menggunakan ide–ide matematis untuk
memperluas pemahaman tetang ide–ide matematis lainnya; (5) Dapat menerapkan
pemikiran dan pemodelan matematis untuk menyelesaikan masalah yang muncul
pada disiplin ilmu lain; (6) Dapat mengeksplorasi dan menjelaskan hasilnya dengan
grafik, aljabar, model matematis verbal atau representasi.
Selanjutnya dari pendapat beberapa pakar Sumarmo (2010) merangkum
bahwa kegiatan yang tergolong pada koneksi matematis di antaranya adalah
(1) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; (2) Memahami
hubungan antar topik matematika; (3) Menerapkan matematika dalam bidang lain
atau dalam kehidupan sehari-hari; (4) Memahami representasi ekuivalen suatu
konsep; (5) Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam
representasi yang ekuivalen; (6) Menerapkan hubungan antar topik matematika dan
antara topik matematika dengan topik di luar matematika.
Adapun indikator-indikator koneksi matematis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut. Indikator pertama, mahasiswa mampu
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Jika
mahasiswa diberikan masalah tentang peristiwa sehari-hari, mahasiswa dapat
menerjemahkannya ke dalam bahasa atau simbol matematika untuk kemudian
dicari penyelesaiannya, contohnya adalah
30

Seorang pekerja bangunan berdiri di lantai atas sebuah gedung, dia akan mengangkat
benda seberat 50 kg yang diikat dengan tali sepanjang 9 meter dengan berat 4,5 kg.
Berapa kerja yang diperlukan untuk mengangkat benda hingga sampai ke lantai atas
gedung tersebut?

Indikator ke-2, mahasiswa mampu menerapkan matematika dalam bidang


lain atau dalam kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan raja dari ilmu
pengetahuan tetapi juga sekaligus pelayan dari semua ilmu pengetahuan. Sehingga
matematika dapat digunakan dalam disiplin ilmu yang lain. Sebagai contoh
misalnya kalkulus dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam bidang
biologi sebagai berikut.
Suatu bakteri dalam kultur jaringan tumbuh secara cepat sekitar 10.000 bakteri pada
awalnya dan menjadi empat kali lipat dua hari kemudian. Berapakah populasi bakteri
setelah 5 hari?

Indikator ke-3, mahasiswa mampu memahami representasi ekuivalen konsep


yang sama, mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang
ekuivalen; seperti yang telah disebutkan di atas bahwa matematika merupakan
suatu kesatuan yang hirarkis, di mana terdapat konsep-konsep yang ekuivalen,
prosedur-prosedur yang saling berhubungan dalam representasi yang ekuivalen.
Adapun indikator Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Komponen dan Indikator Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
Komponen Langkah-langkah/ Indikator
Pemecahan Masalah 1) Memahami masalah;
Matematis 2) Memilih strategi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai
masalah; mengimplementasikan strategi yang telah dipilih
untuk menyelesaikan masalah;
3) Meninjau ulang kebenaran penyelesaian masalah.
Penalaran Matematis 1) Memberi penjelasan dengan menggunakan model, fakta,
sifat-sifat dan hubungan;
2) Memberikan bukti baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Komunikasi Matematis 1) Menjelaskan ide atau situasi matematis dengan gambar atau
grafik;
2) Menjelaskan situasi matematis ke dalam model matematis;
3) Membuat pertanyaan tentang matematika yang telah
dipelajari
Koneksi Matematis 1) Menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari;
2) Menerapkan matematika dalam bidang lain;
3) Memahami representasi ekuivalen konsep yang sama.
31

B. Self-efficacy
Self-efficacy terdiri dari kata self yang diartikan sebagai unsur struktur
kepribadian, dan efficacy yang berarti penilaian diri, apakah dapat melakukan
tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan
sesuatu sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol, 2010). Self-efficacy
merupakan salah satu komponen dari self-regulated (kemandirian) (Schunk &
Ertmer, 2000). Bandura (1990) mendefinisikan Self-Efficacy sebagai pertimbangan
seseorang tentang kemampuan dirinya untuk mencapai tingkatan kinerja
(performansi) yang diinginkan atau ditentukan, yang akan mempengaruhi tindakan
selanjutnya. Self-efficacy seseorang akan mempengaruhi tindakan, upaya,
ketekunan, fleksibilitas dalam perbedaan, dan realisasi dari tujuan, dari individu ini,
sehingga self-efficacy yang terkait dengan kemampuan seseorang seringkali
menentukan outcome sebelum tindakan terjadi (Bandura, 1990). Jadi, self-efficacy
dapat didefinisikan sebagai keyakinan diri seseorang atas kemampuan yang
dimilikinya berdasarkan pengalaman yang telah terjadi sebelumnya.
Menurut Bandura (1990), self-efficacy, yang merupakan konstruksi sentral
dalam teori kognitif sosial, yang dimiliki seseorang, akan memberi dampak sebagai
berikut.
1) Mempengaruhi pengambilan keputusannya, dan mempengaruhi tindakan
yang akan dilakukannya. Seseorang cenderung akan menjalankan sesuatu
apabila ia merasa kompeten dan percaya diri, dan akan menghindarinya
apabila tidak.
2) Membantu seberapa jauh upaya ia bertindak dalam suatu aktivitas, berapa
lama ia bertahan apabila mendapat masalah, dan seberapa fleksibel dalam
suatu situasi yang kurang menguntungkan baginya. Makin besar self-efficacy
seseorang, makin besar upaya, ketekunan, dan fleksibilitasnya.
3) Mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosionalnya. Seseorang dengan self-
efficacy yang rendah mudah menyerah dalam menghadapi masalah,
cenderung menjadi stres, depresi, dan mempunyai suatu visi yang sempit
tentang apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalah itu, sedangkan self-
efficacy yang tinggi, akan membantu seseorang dalam menciptakan suatu
perasaan tenang dalam menghadapi masalah atau aktivitas yang sukar.
32

Dari pengaruh-pengaruh ini, self-efficacy berperan dalam tingkatan


pencapaian yang akan diperoleh, sehingga Bandura (Pajares, 2002) berpendapat
bahwa self-efficacy menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia, apakah
berpikir secara produktif, secara pesimis atau optimis, bagaimana mereka
memotivasi diri, kerawanan akan stres dan depresi, dan keputusan yang dipilih.
Self-efficacy juga merupakan faktor yang kritis dari kemandirian belajar (self-
regulated learning). Selain itu kepercayaan diri juga mempengaruhi tindakan
mahasiswa dalam melakukan proses penyelesaian masalah (keyakinan diri) (Lerch,
2004).
Persepsi self-efficacy dapat dibentuk dengan menginterpretasi informasi dari
empat sumber (Bandura, dalam Zeldin, 2000):
1) Pengalaman otentik, yang merupakan sumber yang paling berpengaruh,
karena kegagalan/ keberhasilan pengalaman yang lalu akan menurunkan/
meningkatkan self-efficacy seseorang untuk pengalaman yang serupa kelak.
Khususnya kegagalan yang terjadi pada awal tindakan tidak dapat dikaitkan
dengan kurangnya upaya atau pengaruh lingkungan eksternal.
2) Pengalaman orang lain, yang dengan memperhatikan keberhasilan/ kegagalan
orang lain, seseorang dapat mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
membuat pertimbangan tentang kemampuan dirinya sendiri. Model
pengalaman orang lain ini sangat berpengaruh apabila ia mendapat situasi
yang serupa dan miskin pengalaman dalam pengalaman tersebut.
3) Pendekatan sosial atau verbal, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
meyakini seseorang bahwa ia memiliki kemampuan untuk melakukan
sesuatu. Perlu diperhatikan, bahwa pernyataan negatif tentang kompetensi
seseorang dalam area tertentu sangat berakibat buruk terhadap mereka yang
sudah kehilangan kepercayaan diri, misalnya pernyataan bahwa kaum
perempuan tidak sesuai untuk belajar matematika, akan mengakibatkan kaum
perempuan akan percaya bahwa mereka tidak kompeten dalam matematika.
4) Indeks psikologis, di mana status fisik dan emosi akan mempengaruhi
kemampuan seseorang. Emosi yang tinggi, seperti kecemasan akan
matematika akan mengubah kepercayaan diri seseorang tentang
33

kemampuannya. Seseorang dalam keadaan stress, depresi, atau tegang dapat


menjadi indikator kecenderungan akan terjadinya kegagalan.

Para peneliti pada umumnya menggali keyakinan self-efficacy dengan


bertanya pada individu tentang tingkatan dan kekuatan kepercayaan diri mereka
dalam mencapai tujuan atau keberhasilan mereka dalam suatu situasi. Dalam setting
akademik, instrumen dari self-efficacy adalah untuk mengukur kepercayaan diri
individu, antara lain dalam menyelesaikan masalah matematis yang spesifik
(Hackett & Betz, 1989), kinerja dalam tugas menulis atau membaca (Shell, et al.,
1995), atau keterlibatan dalam strategi kemandirian belajar tertentu (self regulated
learning) (Bandura, 1989).
Adapun aspek-aspek self-efficacy dan indikatornya yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut. Aspek pertama, yaitu pengalaman otentik,
terdiri dari dua indikator yaitu (1) selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Kalkulus apapun dan (2) merasa mampu menyelesaikan tugas mata kuliah
Kalkulus yang diberikan oleh dosen. Sebagai contoh pernyataan pada skala self-
efficacy untuk indikator-indikator tersebut adalah

(1) Berusaha mencoba cara lainnya ketika gagal menyelesaikan tugas Kalkulus.
(2) Gugup menghadapi soal Kalkulus yang tidak rutin.

Aspek kedua, yaitu pengalaman orang lain, terdiri dari tiga indikator yaitu (1)
berusaha mencari dan mau menerima bantuan jika menghadapi kesulitan dalam
menyelesaikan masalah atau tugas mata kuliah Kalkulus; (2) merasa menguasai
materi yang diberikan dosen; serta (3) mampu dan mau berdiskusi tentang mata
kuliah Kalkulus baik materi maupun tugas. Sebagai contoh pernyataan pada skala
self-efficacy untuk indikator-indikator tersebut adalah

(1) Bersimpati pada teman yang mengalami kesulitan belajar Kalkulus.


(2) Merasa kurang menguasai Kalkulus.
(3) Berani berpendapat berbeda dalam diskusi Kalkulus.

Aspek ketiga, yaitu dukungan langsung atau sosial, terdiri dari tiga indikator
yaitu (1) senang mendapatkan pujian jika berhasil menyelesaikan tugas mata kuliah
Kalkulus; (2) berani bertanya dan mengungkapkan pendapat; serta
(3) merasa dapat lebih berkembang dengan dorongan dari orang lain. Sebagai
contoh pernyataan pada skala self-efficacy untuk indikator-indikator tersebut adalah
34

(1) Senang mendapat pujian atas tugas Kalkulus yang dikerjakan.


(2) Enggan menyajikan hasil diskusi di depan kelas.
(3) Memerlukan dorongan semangat dari teman dalam belajar Kalkulus.

Aspek keempat, yaitu psikologis dan afektif, terdiri dari tiga indikator, yaitu
(1) tidak mudah putus asa; (2) percaya diri dan (3) berpartisipasi aktif. Sebagai
contoh pernyataan pada skala self-efficacy untuk indikator-indikator tersebut adalah

(1) Pantang menyerah menghadapi soal Kalkulus yang sulit.


(2) Yakin dapat menguasai materi Kalkulus yang sulit.
(3) Takut memimpin diskusi Kalkulus.

Secara ringkas aspek dan indikator-indikator self-efficacy yang digunakan


dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2
Aspek dan Indikator Self-Efficacy
Aspek Self-efficacy Indikator
Pengalaman Otentik 1) Selalu berusaha untuk meyelesaikan tugas mata
kuliah Kalkulus apapun.
2) Merasa mampu menyelesaikan tugas mata kuliah
Kalkulus yang diberikan oleh dosen.
Pengalaman orang lain 1) Berusaha mencari dan mau menerima bantuan
jika menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan
masalah atau tugas mata kuliah Kalkulus.
2) Merasa menguasai materi yang diberikan dosen.
3) Mampu dan mau berdiskusi tentang mata kuliah
Kalkulus baik materi maupun tugas.
Aspek Dukungan Langsung atau Sosial 1) Senang mendapatkan pujian jika berhasil
menyelesaikan tugas mata kuliah Kalkulus.
2) Berani bertanya dan mengungkapkan pendapat.
3) Merasa dapat lebih berkembang dengan dorongan
dari orang lain.
Aspek Psikologis dan Afektif 1) Tidak mudah putus asa.
2) Percaya diri
3) Berpartisipasi aktif

C. Brain- Based Learning


Menurut Jensen (2008) Brain-Based Learning merupakan pembelajaran yang
diselaraskan dengan cara kerja otak yang didesain secara alamiah untuk belajar.
Pembelajaran ini dititikberatkan pada penciptaan kondisi optimal demi terciptanya
pembelajaran yang alami. Otak dikatakan bekerja secara optimal jika semua potensi
yang dimilikinya dapat teroptimalkan dengan baik. Pembelajaran berbasis
35

kemampuan kerja otak mempertimbangkan apa yang sifatnya alami bagi otak
manusia dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan karena sebagian besar
otak kita terlibat dalam hampir semua tindakan pembelajaran (Jensen, 2008).
Sebelum dibahas lebih lanjut tentang Brain-Based Learning terlebih dahulu dibahas
tentang peran otak dalam pembelajaran.
1. Bagian Otak Manusia
Otak adalah organ tubuh manusia yang paling kompleks dan memproses
informasi secara efisien. Otak terdiri dari 78% air, 10% lemak 8% protein dan
sisanya bahan lain (Altman, 1993). Adapun bagian-bagian otak manusia adalah
sebagai berikut.

Gambar 2.2. Bagian-bagian Otak

a. Otak Besar (Cerebrum)


Otak besar merupakan bagian terbesar dari otak manusia dan juga disebut
sebagai Cerebral Cortex atau Forebrain. Otak besar ini secara umum berfungsi
agar manusia memiliki kemampuan berpikir, bahasa, kesadaran, kemampuan
visual, pencernaan, serta gerak (Altman, 1993). Selanjutnya, Bennett (1964)
menguraikan bagian-bagian otak dengan berbagai fungsi sebagai berikut. (1)
Occipital lobe, berfungsi sebagai pusat penglihatan, rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang
ditangkap oleh retina mata; (2) Frontal lobe, berfungsi dalam pengendalian gerak,
kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas,
kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum;
(3) Parietal lobe, berfungsi dalam pengaturan sensor perasaan seperti tekanan,
36

sentuhan dan rasa sakit; serta (4) Temporal lobe, berfungsi sebagai pusat
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
Altman (1993) juga menyatakan selain terbagi menjadi 4 lobe, otak besar
juga dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri.
Kedua belahan ini terhubung dengan jaringan saraf di bagian bawahnya. Secara
umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri
mengontrol sisi kanan tubuh.
Otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio,
kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Beberapa
pakar menyebutkan bahwa otak kiri merupakan pusat Intelligence Quotient (IQ).
Sementara otak kanan berfungsi dalam sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan
manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak
kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh,
seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya.
Beberapa ahli menyebut otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional
Quotient (EQ) (Bennett, 1964).
b. Otak Kecil (Celebellum)
Otak kecil berada di bagian belakang kepala manusia. Otak kecil ini berfungsi
untuk mengontrol gerak otomatis, keseimbangan, dan posisi tubuh (Altman, 1993).
c. Batang Otak (Brainstem)
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang.
Batang otak secara umum berfungsi untuk mengatur pernapasan, denyut jantung,
mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting
dasar manusia (Altman, 1993). Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) Otak
tengah (Mesencephalon) adalah bagian teratas dari batang otak yang
menghubungkan otak besar dan otak kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur
gerakan tubuh dan pendengaran; (2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf
tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla oblongata mengontrol fungsi otomatis otak, seperti detak
jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan; (3) Pons merupakan stasiun
37

pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular.
Pons yang menentukan saat manusia terjaga atau tertidur (Bennett, 1964; Altman,
1993).
d. Sistem Limbic
Sistem limbic dihubungkan dengan daerah otak besar yang terlibat dalam
pembelajaran kompleks dan bernalar. Sistem limbic ini memiliki peran dalam
menyatukan respon emosi dan musikal serta sebagai mediasi memori jangka
panjang. Hal ini bermanfaat dalam pembelajaran. Thalamus, hippothalamus,
amygdala, dan hippocampus adalah bagian-bagian dari sistem limbic.
Thalamus terdiri dari sejumlah pusat syaraf dan berfungsi sebagai pusat
penerimaan sensor data dan sinyal-sinyal motorik. Saluran neuron dari thalamus ke
cortex adalah saluran yang besar dan panjang. Terdapat gumpalan saluran neuron
yang lebih halus (kecil dan pendek) yang menghubungkan thalamus ke wilayah
amygdala (Bennett, 1964; Altman, 1993).
Hippothalamus terletak di dasar otak depan dan merupakan bagian otak yang
terdiri dari sejumlah nukleus, tempat neurosekresi yang mempengaruhi
pengeluaran hormon pada hipofisis. Hippothalamus juga merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem limbic dan merupakan konektor sinyal dari berbagai
bagian otak menuju ke otak besar yang mengatur bermacam-macam fungsi seperti
suhu tubuh, pola tidur, keseimbangan air, rasa lapar dan kenyang, rasa haus, emosi,
dan tingkah laku reproduktif. Hippothalamus terdiri dari lima bagian, yaitu (1)
Hippothalamus anterior, merupakan pusat yang mengatur rasa haus, aktifitas
seksual yg di aktifasi oleh hormon seks, dan keringat yang disebabkan panas;
(2) Hippothalamus posterior, merupakan pusat yang mengatur ketika kita merasa
dingin dan mencium bau; (3) Hippothalamus lateral, merupakan pusat yang
mengatur rasa lapar, respon ketika kita merasa takut atau berani. Di bagian
hippothalamus lateral inilah terdapat banyak neuron (sel syaraf) yang berhubungan
langsung dengan bagian inti sel hipotalamus sebelah tengah; (4) Hipotalamus
ventral, berfungsi mensintesis beberapa hormon untuk dikirim ke bagian tonjolan
akson yang akan dilepaskan ke dalam darah dan disampaikan di hipofisis anterior;
(5) Hipotalamus ventromedial merupakan pusat yang mengatur ketika kita merasa
kenyang (Bennett, 1964; Altman, 1993).
38

Amygdala berasal dari bahasa Latin Amigdalae yaitu sekelompok saraf yang
berbentuk seperti kacang almond yang berfungsi dalam pengolahan data sensorik
dan ingatan atas emosi. Tubuh akan bereaksi menggunakan amygdala sebagai pusat
emosi lebih cepat daripada tubuh menyadari apa yang dilakukannya. Emosi yang
ditangkap oleh amygdala akan dirasionalisasikan oleh salah satu komponen dari
sistem limbic yang lain yang dinamakan cortex prefrontal. Ketika amygdala
mengontrol emosi, cortex prefrontal mengendalikannya dalam proporsi seimbang
(Bennett, 1964; Altman, 1993).
Berdasarkan hasil penelitian dari Goleman (1976) otak emosional lebih
dahulu bekerja dibandingkan otak berpikir. Oleh karena itu, seringkali ketika
menghadapi suatu permasalahan maka amygdala akan langsung memberikan
signalnya. Amygdala juga berhubungan dengan hippocampus yang memainkan
peranan dalam pembentukan memori. Menurut LeDoux (1994) amygdala berfungsi
untuk pembentukan memori yang identik dengan emosi tertentu. Contohnya, ketika
suasana belajar menyenangkan maka materi cenderung lebih kuat untuk diingat
dibandingkan pada saat keadaan diam saja atau tanpa ekspresi. Selanjutnya,
Eriksson (1998) menyatakan bahwa amygdala merupakan sumber emosi yang
memberi makna pada memori serta bertanggungjawab atas pembelajaran dan
ingatan. Jensen (2008) mengungkapkan bahwa pengalaman dalam belajar memicu
terjadinya intuisi, sedangkan amygdala berkontribusi dalam munculnya intuisi.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa amygdala mempunyai
kontribusi terhadap emosi, memori dan intuisi yang berpengaruh terhadap
pembelajaran.
Hippocampus, berfungsi sebagai kegiatan mengingat (memori) dan
navigurasi ruangan. Hippocampus juga bertanggung jawab untuk menyimpan
kenangan, biasanya bagian ini akan mengalami atrophy rata-rata pada usia 55-60
tahun. Hippocampus memiliki peran penting dalam pembentukan kenangan baru
tentang peristiwa yang dialami (memori episodik atau otobiografi). Kerusakan pada
hippocampus tidak mempengaruhi beberapa tipe memori, seperti kemampuan
untuk mengendarai motor atau keterampilan kognitif (misalnya, memainkan alat
musik, atau memecahkan teka-teki jenis tertentu). Fakta ini menunjukkan bahwa
39

kemampuan tersebut tergantung pada jenis memori (memori prosedural) dan


wilayah otak yang berbeda (Bennett, 1964; Altman, 1993).
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dapat mengaktifkan
semua bagian otak secara menyeluruh sehingga keterampilan berpikir dapat
dikembangkan dengan optimal. Keterampilan berpikir dapat berkembang secara
maksimal jika dihadapkan pada model berpikir tingkat tinggi dan pengalaman
(Jensen, 2008). Brain-Based Learning dapat memfasilitasi agar semua bagian otak
dapat digunakan secara menyeluruh. Oleh karena itu dengan Brain-Based Learning
diharapkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy dapat
berkembang secara optimal.

2. Pengetahuan Awal dan Peta Konsep dalam Pembelajaran


Menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki oleh mahasiswa dengan
materi yang akan dipelajari dapat membuat pelaksanaan pembelajaran berjalan
lebih cepat. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini materi yang akan diteliti adalah
materi matematika yang bersifat sistematis, di mana konsep yang lama merupakan
prasyarat dari konsep matematika yang baru. Wahyudin (2012) juga menyatakan
bahwa pengetahuan awal peserta didik berpengaruh pada apa yang dipelajarinya
saat ini. Apa yang dipelajari peserta didik sangat bergantung pada apa yang telah
diketahuinya. Semakin banyak yang diketahui dan dilakukan seseorang semakin
mudah baginya untuk dapat mempelajari materi baru. Konsepsi tentang apa yang
peserta didik ketahui dapat membantu tenaga pengajar dalam merencanakan
pembelajaran untuk menghubungkan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan
awal. Ausubel (Ruseffendi, 2006) juga menyatakan bahwa belajar bermakna timbul
jika peserta didik mencoba menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
yang dimilikinya. Jika pengetahuan baru tidak berhubungan dengan pengetahuan
yang ada, maka pengetahuan yang baru akan dipelajari melalui hafalan. Hal ini
disebabkan pengetahuan baru tidak diasosiasikan dengan pengetahuan yang ada
(Weil & Murphy, 1982; Hidayat, 2004).
Selain pengetahuan awal, memberikan peta konsep sebelum dilakukan
pembelajaran juga dipandang efektif. Dengan peta konsep maka akan tercipta
pandangan yang menyeluruh terhadap materi yang akan dipelajari (juga
40

dihubungkan dengan pengetahuan yang telah ada). Memungkinkan mahasiswa


untuk merencanakan strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan. Mahasiswa juga dapat mengumpulkan bahan tentang materi
yang akan dipelajari dari berbagai sumber. Peta konsep juga mendorong terjadinya
proses pemecahan masalah dengan membiarkan mahasiswa mencoba-coba strategi
dengan penuh kreativitas. Peta konsep juga merupakan peta rute yang hebat bagi
ingatan, memungkinkan mahasiswa menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa
sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal (Sutarni, 2011).

3. Musik dan Pembelajaran


Telah sejak lama banyak pakar yang menyatakan bahwa pembelajaran
dengan menggunakan musik memberikan manfaat yang signifikan. Dalam
beberapa langkah (elaborasi, inkubasi dan formasi memori, serta verifikasi atau
pengecekan keyakinan) Brain-Based Learning terdapat iringan musik. Iringan
musik ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan mahasiswa saat belajar
sehingga diharapkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dapat
meningkat secara optimal. Bever & Chiarello (1974) mengungkapkan bahwa ketika
mendengarkan musik belahan otak kiri dan amygdala diaktifkan. Hasil studi
mereka juga menemukan bahwa peserta didik yang mengambil kelas musik
menunjukkan skor lebih tinggi dalam ujian verbal dan matematika.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Rauscher, et al. (1993) menunjukkan
beberapa hal. Pertama, siswa yang mendengarkan musik klasik selama 10 menit
sebelum ujian dimulai, menunjukkan hasil skor ujian berpikir spasial dan abstrak
yang lebih tinggi daripada siswa yang tidak mendengarkan musik sebelum ujian.
Kedua, siswa yang mendengarkan musik sederhana (pop/ instrumental)
menunjukkan kemampuan berpikir spasial yang lebih tinggi daripada siswa yang
mendengarkan musik klasik. Sebuah survei yang dilakukan Kent (2006) juga
menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara GPA mahasiswa
yang mendengarkan musik saat belajar dan yang tidak. Kent juga menemukan
bahwa GPA mahasiswa yang mendengarkan musik klasik saat belajar mempunyai
GPA yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang mendengarkan musik Hip
Hop saat belajar. Selanjutnya, An, Capraro & Tilman (2013) menyatakan bahwa
41

pengintegrasian musik dalam pembelajaran matematika yang dilakukan guru


memberikan efek positif pada kemampuan matematis siswa.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian di atas, peneliti memilih musik
klasik sebagai salah satu musik yang mengiringi pembelajaran. Selain musik klasik
juga dipilih lagu daerah dan musik pop masa kini. Pemilihan iringan lagu daerah
dimaksudkan agar mahasiswa lebih mengenal lagu-lagu daerah nusantara,
sedangkan musik masa kini dipilih karena jenis musik ini yang lebih akrab di telinga
mahasiswa.

4. Prinsip-prinsip Brain-Based Learning


Menurut Caine & Caine (1990) Brain-Based Learning bekerja berdasarkan
pada 12 prinsip, yaitu (1) Otak merupakan prosesor paralel; (2) Belajar melibatkan
seluruh fisiologi tubuh; (3) Pencarian makna merupakan bawaan; (4) Pencarian
makna terjadi melalui pembentukan pola; (5) Emosi merupakan hal yang penting
dalam pembentukan pola; (6) Proses di dalam otak berlangsung secara simultan;
(7) Pembelajaran melibatkan perhatian yang dipusatkan pada tanggapan sekitar; (8)
Belajar melibatkan proses yang disadari maupun tidak disadari; (9) Individu
memiliki paling sedikit dua tipe memori yaitu sistem memori spasial dan sepasang
sistem memori untuk belajar hafalan; (10) Otak memahami dan mengingat paling
baik ketika fakta dan skill dikaitkan dengan kehidupan nyata; (11) Pembelajaran
dapat ditingkatkan dengan tantangan dan pembelajaran harus dihindarkan dari
ancaman; serta (12) Setiap otak bersifat unik.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa otak merupakan prosesor paralel,
artinya otak akan bekerja secara maksimal jika semua bagian otak ikut terlibat
dalam proses pembelajaran. Selanjutnya Duman (2006) menyatakan bahwa Brain-
Based Learning sebagai cara belajar yang berpusat pada siswa dengan
memanfaatkan seluruh fungsi otak dan mengakui bahwa tidak semua siswa dapat
belajar dengan cara yang sama. Lebih lanjut Springer, et al. (1999) juga menyatakan
bahwa pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil lebih efektif
untuk meningkatkan prestasi akademik. Pada Brain-Based Learning Berbantuan
Web pembelajaran dilakukan melalui diskusi kelompok, sehingga diharapkan
42

Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang merupakan kemampuan


akademik mahasiswa dapat meningkat.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memperlakukan peserta
didik dalam hal ini mahasiswa sebagai individu yang unik dengan tingkatan
kecerdasan yang berbeda. Manusia secara virtual memiliki DNA yang sama kurang
lebih 99,5 persen bagian tubuhnya. Akan tetapi, angka 0,5 persen yang unik
membuat setiap manusia menjadi berbeda (Jensen, 2008). Brain-Based Learning
dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan yang berbeda
tersebut terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta berpusat pada
mahasiswa (Cigman & Davis, 2008). Hal ini bersesuaian dengan pendapat Wilson
& Spears (2009) yang menyatakan Brain-Based Learning adalah suatu
pembelajaran yang berdasar pada kerja otak yang menyarankan otak kita belajar
secara alami. Jensen (2008) juga mengatakan sebagai peserta didik kita tidak
memiliki gaya yang pembelajaran yang ditentukan secara genetik atau menjadi
satu-satunya gaya pembelajaran. Oleh karena itu dosen harus mampu
mengupayakan suatu pembelajaran yang dapat memfasilitasi semua mahasiswa
dengan keunikan mereka masing-masing. Jadi diharapkan dengan menggunakan
Brain-Based Learning kemampuan-kemampuan matematis mahasiswa dapat juga
berkembang secara optimal.

5. Langkah-langkah Brain-Based Learning


Langkah-langkah Brain-Based Learning terbagi menjadi tujuh tahapan, yaitu
(1) pra pemaparan, (2) persiapan, (3) inisiasi dan akuisisi, (4) elaborasi, (5) inkubasi
dan formasi memori, (6) verifikasi atau pengecekan keyakinan, serta (7) perayaan
dan integrasi. Tahapan pra pemaparan dilakukan dengan memberikan peta konsep,
tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi sebelum pelaksanaan
perkuliahan berlangsung. Pada tahap ini dihubungkan pengetahuan yang telah
dimiliki oleh mahasiswa dengan materi yang akan dipelajari. Waktu yang paling
baik digunakan untuk melaksanakan tahap ini adalah satu sampai dua minggu
sebelum pembelajaran berlangsung (Jensen, 2008). Hal ini bertujuan agar
mahasiswa telah mempersiapkan diri sebelum kuliah berlangsung sehingga
pembelajaran dapat berlangsung lebih optimal. Untuk tahap selanjutnya dosen
43

memberikan masalah dan serangkaian tugas untuk didiskusikan dalam kelompok.


Hasil diskusi yang sejenis selanjutnya dipresentasikan ke depan oleh wakil
kelompok untuk diberikan tanggapan oleh seluruh mahasiswa dan dosen.
Selanjutnya setiap mahasiswa diberikan soal latihan dalam dua tipe yaitu mudah
dan sulit untuk dikerjakan secara individu dengan diiringi musik. Bagian akhir dari
pembelajaran ini adalah penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh mahasiswa
bersama-sama dengan dosen, yang dilanjutkan dengan perayaan.

6. Kelebihan dan Kelemahan Brain-Based Learning


Brain-Based Learning secara umum mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan pembelajaran yang lain. Kelebihan tersebut antara lain adalah
(1) dapat mengembangkan sisi afektif pada diri mahasiswa (dalam penelitian ini
self-efficacy) disamping kognitif pada saat yang bersamaan; (2) merangsang
bekerjanya seluruh bagian otak secara bersamaan; (3) memberikan kebebasan
sepenuhnya pada diri mahasiswa untuk memilih strategi penyelesaian masalah dan
membangun pengetahuannya; serta (4) membuat mahasiswa dan juga dosen
menjadi kreatif.
Adapun kelemahan dari Brain-Based Learning antara lain adalah (1)
memerlukan waktu yang relatif lebih lama di bandingkan pembelajaran
konvensional; (2) memerlukan fasilitas, tenaga dan biaya yang memadai; (3) dosen
harus membuat persiapan semaksimal mungkin agar pembelajaran dapat
berlangsung secara optimal; serta (4) penilaian kelompok dapat membatalkan
penilaian secara individu apabila dosen tidak jeli dalam pelaksanaannya.
Beberapa kelemahan ini sebenarnya dapat diminimalkan dengan
mengkombinasikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) khususnya web
dengan Brain-Based Learning. Pada pelaksanaan Brain-Based Learning dosen
harus dapat membuat suatu masalah yang sekreatif mungkin untuk dihubungkan
dengan kehidupan nyata. Hal ini dapat disiasati dengan pembuatan masalah melalui
tayangan sedemikian rupa sehingga masalah menjadi lebih “hidup” dan dapat
merangsang otak mahasiswa untuk menyelesaikannnya. Selain itu pelaksanaan
pembelajaran ini juga banyak melibatkan soal-soal pada tahap inkubasi dan formasi
memori serta verifikasi, penggunaan web yang dapat menyimpan jawaban secara
44

sistematis dapat memudahkan dosen untuk memeriksanya. Mahasiswa juga dapat


mengakses web menggunakan fasilitas WIFI yang disediakan oleh perguruan tinggi
tempat dilaksanakannya penelitian. Untuk selanjutnya kombinasi antara Brain-
Based Learning dengan penggunaan web sebagai medianya disebut sebagai Brain-
Based Learning Berbantuan Web.

D. Pembelajaran Berbantuan Web


Selain menggunakan Brain-Based Learning, penelitian ini menggunakan
media web dalam pembelajaran. Penggunaan media web yang termasuk bagian dari
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ini dimaksudkan agar
pembelajaran lebih efektif dan efisien. Di samping itu karakteristik Mata Kuliah
Kalkulus yang abstrak, menggunakan banyak grafik dan gambar serta banyak
diterapkan di kehidupan nyata dan disiplin ilmu yang lain inilah yang menjadi
pertimbangan untuk menggunakan media web dalam pembelajaran (Bogley, et al.,
1996; Yushau, 2006).
Pembelajaran berbantuan Web adalah suatu pembelajaran yang
menggunakan bantuan website sebagai media utamanya. Dengan kata lain dosen
mengunggah materi perkuliahan, tugas dan soal-soal latihan di web, namun tetap
terjadi pertemuan tatap muka antara dosen dan mahasiswa dalam setiap
perkuliahan. Seperti yang telah diketahui bahwa pembelajaran berpusat pada guru
atau dosen yang menjadikan guru atau dosen sebagai satu-satunya sumber
informasi, kelas yang formal, suasana hening serta penggunaan papan tulis sebagai
sarana utama dalam proses pembelajaran sudah bukan jamannya lagi. Pembelajaran
dengan menggunakan sistem seperti di atas dianggap mempunyai banyak
kelemahan serta kurang baik untuk pengembangan diri dan intelektual siswa.
Pmerintah juga menyadari akan hal ini. Kurikulum Pendidikan Tinggi (K-
DIKTI) (2014) yang berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
menyatakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information
Communication Technology (ICT) sebagai salah satu capaian pembelajaran.
Dengan adanya penggunaan TIK sebagai media pembelajaran, mahasiswa maupun
dosen dapat mempunyai kesempatan yang sama untuk mengakses semua informasi
yang relevan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan serta dapat mengurangi
45

keterbatasan-keterbatasan dalam pembelajaran tanpa menggunakan TIK.


Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain kemungkinan terjadinya salah
penafsiran atau pembelajaran monoton. Penggunaan TIK juga dapat membuat
mahasiswa lebih mudah memahami objek kajian matematika yang abstrak sehingga
terjadinya salah penafsiran dapat dihindari. Hal ini bersesuaian dengan pendapat
Ismail, et al. (2009) yang menyatakan bahwa matematika yang abstrak dapat lebih
mudah dipahami dan menarik dengan pembelajaran menggunakan TIK, sedangkan
pembelajaran monoton biasanya diakibatkan oleh kurangnya kreativitas dosen
sehingga membuat mahasiswa merasa bosan dan tidak berminat dengan subyek
matematis.
Pembelajaran berbantuan Web merupakan salah satu wujud dari penggunaan
TIK dalam pembelajaran. Salah satu ciri dari pembelajaran berbantuan Web adalah
belajar insidental. Penggunaan web telah turut pula memberikan banyak alternatif
media, model dan metode pembelajaran. Dari media pembelajaran yang semula
menggunakan papan tulis dan kapur beralih ke penggunaan komputer, LCD, dan
lainnya serta dari metode pembelajaran yang semula bertatap muka secara langsung
sedikit demi sedikit bergerak menuju ke pembelajaran virtual dalam bentuk e-
learning, model pembelajaran jarak jauh, teleconferencing atau video conferencing
yang dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja (Kusumah,
2011). Paris (2004) juga mengungkapkan bahwa peserta didik yang mendapat
pembelajaran berbantuan web mengalami peningkatan aktifitas dan sikap positif
terhadap pembelajaran, dapat belajar di luar jam pelajaran, dapat berkonsultasi di
luar jam pelajaran.
Pembelajaran dengan menggunakan web tidak dipungkiri mempunyai
kelebihan-kelebihan yang tidak dapat ditemui jika menggunakan media lain.
Dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Web ini, dosen dapat mengunggah
peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi dalam suatu
situs atau Web, sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya sebelum perkuliahan
berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa telah mempersiapkan diri
sebelum kuliah berlangsung sehingga pembelajaran dapat berlangsung lebih
optimal. Selain itu penggunaan web untuk mengakses masalah dan soal-soal latihan
dalam pembelajaran dapat membuat masalah dan soal tersebut lebih “hidup”,
46

artinya jika masalah disampaikan melalui multimedia (gabungan bunyi, video,


animasi, teks, grafik) akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa dibandingkan
hanya sekedar disampaikan melalui tulisan dan gambar saja. Hal ini sesuai dengan
pendapat Zanzali dan Noraziah dalam Sharizah (2010) yang menemukan bahwa
penggunaan TIK membantu siswa mengaitkan matematika dengan kehidupan
sehari-hari. Ini berarti mahasiswa dapat mengaplikasikan materi yang dipelajari dan
menjadikan sesuatu pembelajaran menjadi lebih bermakna serta dapat
mengulangnya sesering yang mereka mau baik saat perkuliahan berlangsung
maupun setelahnya.
Kusumah (2011) juga menyatakan kelebihan lain penggunaan TIK (web)
dalam pembelajaran di antaranya adalah memiliki “kesabaran” yang tiada batas,
mampu memotivasi siswa dengan pujian yang dirancang khusus, memberi
kesempatan bereksperimen tanpa dihantui kekuatiran akan kerusakan yang bisa
terjadi, tidak diskriminatif, memberi siswa keterampilan yang berharga untuk masa
depannya, mempercepat proses perhitungan yang secara manual sangat lama waktu
penyelesaiannya atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Selain itu penggunaan
web juga diharapkan dapat meminimalkan penggunaan kertas sehingga konsumsi
kertas akan semakin ditekan tanpa mengurangi efektifitas pembelajaran dan
merupakan salah satu upaya dalam pencegahan pemanasan global serta
mengembalikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia.
Berbagai temuan penelitian juga mengungkapkan bahwa penggunakan TIK
di dalam pembelajaran cukup efektif untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi maupun self-efficacy mahasiswa (Kulik, et al., 1991;
Herrington & Oliver, 1999; Gundy, 2006; Nurlaelah, 2009; dan Nuriadin, 2015).
Kombinasi antara Brain-Based Learning dan media web ini untuk selanjutnya
disebut sebagai Brain-Based Learning Berbantuan Web.

E. Brain-Based Learning Berbantuan Web


Brain-Based Learning Berbantuan Web merupakan suatu pembelajaran yang
berdasarkan cara kerja otak yang alami dengan menggunakan web sebagai media
utamanya. Brain-Based Learning berbantuan Web adalah suatu alternatif
pembelajaran yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan Kemampuan
47

Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy mahasiswa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Clemon (2005) yang menyatakan bahwa Brain-Based Learning
memungkinkan untuk diaplikasikan dalam pembelajaran online.
Selain itu menurut Kammer (2007) penggunaan teknologi dan pembelajaran
interaktif seperti video, games, dan sebagainya dapat membuat pengalaman belajar
lebih berharga dan memungkinkan peserta didik untuk menghubungkan konten
baru dengan konten yang sudah ada di dalam otak. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Herrington & Oliver (1999) memperoleh temuan bahwa penggunaan
multimedia dalam pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang
mendukung dan mempertahankan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi.
Dengan menggunakan media web mahasiswa dapat mengakses perangkat
pembelajaran kapan saja dan di mana saja, serta dapat berkomunikasi dengan
mahasiswa lain maupun dosen pengampu melalui Forum Komunikasi yang ada di
web tersebut. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa yang mengalami kesulitan
tentang materi yang dipelajarinya dapat menanyakan ke mahasiswa lain atau
kepada dosen melalui forum tersebut.
Dalam Brain-Based Learning Berbantuan Web mahasiswa tidak hanya
belajar melalui website saja, melainkan dikombinasikan dengan pertemuan tatap
muka di dalam kelas. Tujuan pertemuan ini agar mahasiswa dapat berinteraksi
dengan lingkungan, dengan dosen serta dengan sesama mahasiswa. Selain itu dosen
juga dapat memperlakukan mahasiswa sebagai individu yang unik. Seperti yang
telah diketahui bahwa pembelajaran yang baik adalah menganggap peserta didik
dalam hal ini mahasiswa sebagai individu yang unik dengan tingkat kecerdasan
yang berbeda-beda. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Jensen (2008) yang
menyatakan Brain-Based Learning dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan
tingkat kecerdasan yang berbeda tersebut terangkum dalam gaya pembelajaran
yang sama.
Untuk melaksanakan suatu pembelajaran diperlukan persiapan terlebih
dahulu dari dosen pengampu mata kuliah agar tujuan perkuliahan dapat tercapai
secara optimal. Persiapan-persiapan tersebut antara lain membuat Satuan Acara
Perkuliahan (SAP), Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), Media serta alat evaluasi
sesuai dengan pembelajaran yang telah dipilih dan kemampuan-kemampuan
48

matematis yang akan dikembangkan. Hubungan antara emosi, kognisi dan


pembelajaran adalah hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan
perencanaan dalam Brain-Based Learning (Langelier & Connell, 2005).
Sebelum dilakukan pembelajaran mahasiswa dapat mengunduh terlebih
dahulu bahan yang berisi peta konsep, tujuan pembelajaran, materi prasyarat,
beberapa pertanyaan apersepsi dan video senam otak. Selanjutnya ketika
pembelajara digunakan LKM yang berisi masalah dan tugas-tugas yang
diselesaikan secara kelompok serta soal-soal yang diselesaikan secara individu.
Adapun langkah-langkah Brain-Based Learning Berbantuan Web secara lengkap
adalah sebagai berikut.
1) Pra Pemaparan
Pada tahap ini dosen memajang peta konsep, menyampaikan tujuan
pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi di web sehingga mahasiswa
dapat mengaksesnya beberapa hari sebelum terlaksananya perkuliahan.
Selain itu dapat juga ditampilkan video atau langkah-langkah senam otak
sebagai pemanasan untuk otak agar dapat bekerja secara optimal.
2) Persiapan
Tahap persiapan ini adalah tahap awal terlaksananya perkuliahan, dosen dapat
mengaitkan materi dengan kejadian sehari-hari.
3) Inisiasi dan akuisisi
Pada tahap Inisiasi dan akuisisi, dosen memberikan masalah yang dikerjakan
mahasiswa secara berkelompok. Masalah yang diberikan oleh dosen disajikan
melalui sebuah tayangan yang dapat diakses melalui website.
4) Elaborasi
Pada tahap elaborasi ini otak diberikan kesempatan untuk menyortir,
menyelidiki, menganalisis, menguji dan memperdalam pembelajaran.
Mahasiswa akan mendiskusikan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah dengan anggota kelompoknya. Kemudian
mengungkapkan hasil diskusi tersebut ke seluruh anggota kelas untuk
diberikan masukan atau sanggahan.
49

5) Inkubasi dan Formasi memori


Pada tahap ini mahasiswa diistirahatkan otaknya sebentar sambil
mendengarkan musik dan menyelesaikan soal-soal yang relatif mudah. Soal-
soal disajikan secara interaktif di website dengan diiringi musik selama siswa
menyelesaikannya.
6) Verifikasi atau Pengecekan Keyakinan
Pada tahap ini dosen mengecek kembali pemahaman mahasiswa terhadap
materi dengan memberikan soal yang agak rumit untuk dikerjakan secara
individual dengan diiringi musik.
7) Perayaan dan Integrasi
Pada tahap ini mahasiswa bersama-sama dengan dosen menyimpulkan materi
yang baru saja dipelajari. Kemudian diberikan suatu perayaan kecil atas
keberhasilan pembelajaran pada perkuliahan hari itu.
(Jensen, 2008)

F. Keterkaitan Brain-Based Learning Berbantuan Web, Kemampuan


Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan Self-efficacy Mahasiswa

Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi meliputi beberapa


komponen, yaitu pemecahan masalah matematis, penalaran matematis, komunikasi
matematis dan koneksi matematis yang memiliki keterkaitan yang erat antar
bagiannya. Komponen penalaran, komunikasi dan koneksi matematis diperlukan
mahasiswa dalam proses penyelesaian masalah, begitu pula sebaliknya, ketika
menyelesaikan soal-soal yang membutuhkan kemampuan penalaran, komunikasi
maupun koneksi matematis mahasiswa juga menggunakan langkah-langkah proses
penyelesaian masalah. Pemecahan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi
matematis diperlukan mahasiswa agar mahasiswa dapat menyelesaikan masalah
matematika yang diberikan dengan menggunakan penalaran yang baik,
mengilustrasikan ide matematis ke dalam model matematis kemudian dapat
mengkoneksikannya ke dalam konsep-konsep matematika yang lain maupun dalam
kehidupan sehari-hari serta disiplin ilmu yang lain. Selain itu mahasiswa perlu
dibekali self-efficacy dengan baik, sehingga diharapkan mahasiswa tersebut dapat
50

memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu menghadapi dan menyelesaikan


masalah-masalah kehidupan pada umumnya atau tugas matematis pada khususnya.
Agar Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy
mahasiswa dapat ditingkatkan, diperlukan suatu pembelajaran yang dapat melatih
aspek-aspek dari kemampuan tersebut. Dinther, et al. (2011) berpendapat bahwa
pembelajaran yang diikuti dengan penguatan terbukti efektif untuk meningkatkan
self-efficacy. Brain-Based Learning Berbantuan Web adalah salah satu
pembelajaran yang memungkinkan untuk itu. Adapun penjelasan setiap langkah-
langkah Brain-Based Learning Berbantuan Web adalah sebagai berikut.
Langkah pertama, Pra Pemaparan
Pada tahap ini dosen memajang peta konsep, menyampaikan tujuan
pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi. Tahap ini terjadi di luar
perkuliahan, sebaiknya satu atau dua minggu sebelum perkuliahan. Peta konsep,
tujuan pembelajaran dan pertanyaan-pertanyaan apersepsi ini disampaikan melalui
website. Pada tahap ini upaya untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis
mahasiswa dilakukan dengan cara menghubungkan konsep yang telah dimiliki
dengan materi baru yang akan dipelajari.
Langkah ke-2, Persiapan
Tahap persiapan ini adalah tahap awal terlaksananya perkuliahan, dosen
membagi mahasiswa ke dalam kelompok yang terdiri dari 4-5 orang. Kemudian
dosen dapat mengaitkan materi dengan kejadian sehari-hari. Pada langkah
persiapan ini kemampuan koneksi dan komunikasi matematis mahasiswa dilatih
yaitu saat menghubungkan masalah-masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-
hari dengan ide matematika.
Langkah ke-3, Inisiasi dan akuisisi
Pada tahap Inisiasi dan akuisisi, dosen memberikan masalah yang dikerjakan
mahasiswa secara berkelompok, sehingga upaya melatih peningkatan kemampuan
pemecahan masalah serta koneksi matematis mahasiswa akan terjadi pada tahap ini.
Hal ini bersesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Copper & Sweller
(1987) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran yang terdapat langkah akuisisi
masalah telah terbukti membuat peserta didik mampu memecahkan masalah dan
memahami masalah lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh
51

pembelajaran konvensional. Masalah yang diberikan oleh dosen disajikan melalui


sebuah tayangan yang dapat diakses melalui website.
Langkah ke-4, Elaborasi
Pada tahap elaborasi ini otak diberikan kesempatan untuk menyortir,
menyelidiki, menganalisis, menguji dan memperdalam pembelajaran. Mahasiswa
akan mendiskusikan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah dengan anggota kelompoknya. Kemudian mengungkapkan hasil diskusi
tersebut ke seluruh anggota kelas untuk diberikan masukan atau sanggahan. Dalam
tahap ini upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah, koneksi dan
komunikasi matematis dilaksanakan. Kemampuan pemecahan masalah diperlukan
untuk menyelesaikan masalah yang telah diberikan oleh dosen. Kemampuan
koneksi diperlukan untuk menyusun strategi pemecahan masalah dengan
mengaitkan pada pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Dan self-efficacy
diperlukan dalam proses penyelesaian masalah serta menyampaikan pendapat,
gagasan dan atau sanggahan dalam diskusi baik di dalam kelompok atau saat
pemaparan di depan kelas.
Langkah ke-5, Inkubasi dan Formasi Memori
Pada tahap ini mahasiswa diistirahatkan otaknya sebentar sambil
mendengarkan musik dan menyelesaikan soal-soal yang relatif mudah. Soal-soal
disajikan secara interaktif di website dengan diiringi musik selama mahasiswa
menyelesaikannya. Pada tahap ini diperlukan kemampuan pemecahan masalah,
penalaran, komunikasi dan koneksi matematis mahasiswa, sehingga upaya
peningkatan kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilakukan.
Langkah ke-6, Verifikasi dan Pengecekan Keyakinan
Pada tahap ini dosen mengecek kembali pemahaman mahasiswa terhadap
materi dengan memberikan soal yang agak rumit untuk dikerjakan secara individual
dengan diiringi musik. Dalam tahap ini upaya peningkatan kemampuan pemecahan
masalah, koneksi dan komunikasi matematis serta self-efficacy juga dilaksanakan.
Soal yang dikerjakan pada langkah ini tersedia pada Lembar Kerja Mahasiswa yang
ada di dalam web.
Pada langkah ke-5 dan ke-6 ini mahasiswa diberikan latihan soal-soal yang
bertujuan untuk mengecek pemahaman mahasiswa terhadap materi. Hal ini
52

bersesuaian dengan pendapat Ghraibeh (2012) yang menyatakan dengan Brain-


Based Learning yang di dalamnya terdapat metode belajar yang menggunakan
pengulangan menunjukkan hasil yang terbaik dibandingkan dengan yang lainnya.
Langkah ke-7, Perayaan dan Integrasi
Pada tahap ini mahasiswa bersama-sama dengan dosen menyimpulkan materi
yang baru saja dipelajari. Kemudian diberikan suatu perayaan kecil atas
keberhasilan pembelajaran pada perkuliahan hari itu.
Secara garis besar kerterkaitan antara Brain-Based Learning berbantuan Web
dengan Peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan Self-
efficacy Mahasiswa di atas dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Keterkaitan antara Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-
efficacy juga dapat dilihat dari aspek-aspek yang terdapat pada Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy. Aspek pengalaman otentik.
Aspek ini membuat mahasiswa berusaha untuk berhasil dari pengalamannya
sendiri, membuat mahasiswa selalu berusaha untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Mahasiswa tidak takut gagal untuk mencoba dan terus mencoba dalam
proses penyelesaian masalah.
Aspek pengalaman orang lain. Aspek ini membuat mahasiswa dapat belajar
dari pengalaman yang dimiliki oleh orang lain selain belajar dari pengalaman
otentik. Dalam pembelajaran, pengalaman orang lain ini dapat diperoleh mahasiswa
saat diskusi. Melalui diskusi akan timbul tukar pengalaman atau biasa yang disebut
tutor sebaya. Mahasiswa yang sudah mengetahui solusi dari masalah yang
didiskusikan akan memberi tahu mahasiswa yang belum memahami.
Aspek dukungan langsung atau sosial. Dengan adanya dukungan yang
diperoleh mahasiswa dari dosen maupun teman satu kelompoknya, mahasiswa
tersebut akan yakin terhadap kemampuannya. Hal ini juga membuat mahasiswa
nyaman untuk mengungkapkan pendapat atau bertanya tentang strategi dan solusi
untuk menyelesaikan masalah.
53

Brain-Based Learning Berbantuan Web

Inkubasi dan Formasi Verifikasi dan


Pra Pemaparan Persiapan Inisiasi dan Akuisisi Elaborasi Perayaan dan Integrasi
memori Pengecekan Keyakinan

Mendiskusikan cara-cara
atau strategi yang
Menampilkan di Web: digunakan untuk Pengecekan pemahaman
Peta konsep Pemberian menyelesaikan masalah Menyelesaikan soal-soal melalui pemberian soal
Mengaitkan Materi interaktif yang relatif yang relatif sulit yang Menyimpulkan materi
Tujuan Perkuliahan dengan kehidupan Masalah melalui Mengungkapkan hasil mudah dengan diiringi dikerjakan secara Melakukan perayaan
Apersepsi sehari-hari tayangan di Web diskusi tersebut ke musik individu dengan iringan
seluruh anggota kelas musik
untuk diberikan masukan
atau sanggahan

Kemampuan Pemecahan Kemampuan Pemecahan


Kemampuan Pemecahan Masalah matematis
Masalah matematis
Masalah matematis
Kemampuan Pnalaran Kemampuan Penalaran Kemampuan Penalaran
Kemampuan Pemecahan Kemampuan Penalaran Matematis
Matematis Matematis
Masalah matematis Matematis
Kemampuan Koneksi Kemampuan Koneksi Kemampuan Koneksi Kemampuan Komunikasi
Matematis Kemampuan Koneksi Kemampuan Koneksi Matematis
Matematis Matematis
Matematis Matematis
Kemampuan Komunikasi Kemampuan Komunikasi Self Efficacy
Komunikasi Matematis Matematis
Matematis
Self Efficacy Self Efficacy
Self Efficacy

Gambar 2.3. Langkah-langkah Brain-Based Learning Berbantuan Web


54

Aspek yang terakhir dari self efficacy adalah aspek psikologis dan afektif.
Aspek ini membuat mahasiswa percaya diri, dan tidak mudah putus asa serta
berpartisipasi aktif. Aspek ini membuat mahasiswa berani mencoba dan terus
mencoba sampai solusi dari permasalahan terselesaikan. Ketika solusi
permasalahan sudah diketahui, akan timbul rasa percaya diri akan kemampuan yang
dimilikinya sehingga mahasiswa mau untuk berpartisipasi aktif.
Berdasarkan uraian di atas tentang aspek-aspek yang terdapat pada self-
efficacy, dapat dikatakan bahwa aspek-aspek tersebut membuat kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa akan berkembang. Saat proses menyelesaikan
masalah, dibutuhkan kemampuan penalaran, komunikasi dan koneksi matematis.
Jadi keseluruhan aspek Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dapat
berkembang juga. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa self-efficacy
memberikan pengaruh terhadap pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis
Tingkat Tinggi pada diri mahasiswa (Schunk, 1987; Bouffard-Bouchard, 1989;
Zimmerman, 2000; dan Dewanto, 2008).
Begitu pula sebaliknya, jika seorang mahasiswa mempunyai Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang tinggi maka mahasiswa akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, mencari
bantuan ketika menghadapi kesulitan, mau dan mampu berdiskusi untuk
menyelesaikan masalah, berani bertanya dan mengungkapkan pendapat, tidak
mudah putus asa, percaya diri serta mampu berpartisipasi aktif dalam proses
penyelesaian masalah. Dengan kata lain self-efficacy mahasiswa tinggi pula. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan timbal balik atau assosiasi antara Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy mahasiswa.
Keterkaitan juga dilihat dari kemampuan awal matematis mahasiswa dan
Brain-Based Learning Berbanatuan Web terhadap pencapaian dan peningkatan
Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy mahasiswa.
Mahasiswa dengan kemampuan awal matematis yang tinggi cenderung tidak
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan Lembar Kerja Mahasiswa, baik
masalah, tugas maupun soal-soal latihan. Hal ini dikarenakan mahasiswa sudah
menguasai materi-materi prasyarat yang diperlukan serta dapat memodifikasi atau
55

menggabungkan konsep-konsep tersebut untuk menyelesaikan masalah yang


dihadapinya.
Untuk mahasiswa dengan kemampuan awal matematis sedang, cenderung
mengalami sedikit kendala dalam menyelesaikan Lembar Kerja Mahasiswa
dibandingkan dengan mahasiswa dengan kemampuan awal matematis tinggi.
Kendala tersebut biasanya melibatkan penggabungan konsep-konsep materi
prasyarat dalam proses penyelesaian masalah. Lain halnya dengan mahasiswa yang
memiliki kemampuan awal matematis rendah. Mahasiswa kategori ini mengalami
kendala dalam menyelesaikan Lembar Kerja Mahasiswa. Hal ini dikarenakan
materi-materi prasyarat tidak dikuasai dengan baik, sehingga mahasiswa
mengalami kesulitan jika dihadapkan pada soal yang berbeda dengan soal yang
pernah mereka kerjakan sebelumnya. Melalui langkah-langkah Brain-Based
Learning Berbantuan Web dengan Lembar Kerja Mahasiswa diduga dapat
meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy
mahasiswa.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bransford, et al. (1986) yang menyatakan
bahwa pembelajaran yang diperkuat dengan memperhatikan kemampuan awal dan
memberikan bimbingan kepada peserta didik dapat mempengaruhi kemampuan
pemecahan masalah peserta didik tersebut. Peserta didik dalam hal ini mahasiswa
dapat lebih memahami materi yang diajarkan apabila pembelajaran dimulai dari
pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa sebelumnya. Akibatnya, kemampuan
berpikir matematis mahasiswa juga akan meningkat. Dengan adanya peningkatan
kemampuan kognitif mahasiswa, pengalaman akan keberhasilan mahasiswa juga
akan meningkat yang berakibat self-efficacy mahasiswa akan meningkat pula. Hasil
penelitian Pajares & Graham (1999) juga menyatakan hal serupa, yaitu siswa
berbakat mempunyai self-efficacy, motivasi serta kinerja matematis yang lebih baik
daripada siswa regular.
Selain memperhatikan Kemampuan Awal Matematis Mahasiswa, penelitian
ini juga memperhatikan perbedaan program studi asal subyek penelitian. Hal ini
dikarenakan Mata Kuliah Kalkulus adalah mata kuliah yang wajib diikuti oleh
kedua program studi, baik Pendidikan Matematika maupun Matematika. Selain itu,
karakteristik mahasiswa yang berasal dari Program Studi Pendidikan Matematika
56

dan Program Studi Matematika berbeda. Perbedaan ini termuat juga di dalam
capaian pembelajaran yang tertuang di dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi (K-
DIKTI) (2014) yang berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Untuk capaian pembelajaran pada Program Studi Matematika dititik
beratkan pada penguasaan materi matematika dan kemampuan berpikir matematis
tingkat tinggi, sedangkan untuk Program Studi Pendidikan Matematika, selain
penguasaan materi matematika dan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi,
capaian pembelajaran juga menitikberatkan pada mendidik, mentransfer ilmu,
mempersiapkan, mengembangkan dan mengelola pembelajaran. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini, pencapaian dan peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis
Tingkat Tinggi dan Self-Efficacy juga dilihat berdasarkan jenis program studi
mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa faktor pembelajaran
diduga mempunyai pengaruh terhadap pencapaian dan peningkatan Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy mahasiswa. Begitu pula faktor
kemampuan awal matematis dan program studi diduga mempunyai pengaruh
terhadap pencapaian dan peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat
Tinggi dan self-efficacy mahasiswa. Akan tetapi faktor pembelajaran tidak
tergantung dari ketegori kemampuan awal matematis dan jenis program studi
mahasiswa. Artinya, pada kategori kemampuan awal matematis dan jenis program
studi apapun, pencapaian dan peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis
Tingkat Tinggi dan self-efficacy mahasiswa yang mandapatkan Brain-Based
Learning Berbantuan Web lebih baik daripada mahasiswa yang mendapatkan
pembelajaran konvensional. Dengan kata lain diduga tidak terdapat interaksi antara
jenis pembelajaran dan kemampuan awal matematis terhadap pencapaian dan
peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy
mahasiswa, serta tidak terdapat interaksi antara jenis pembelajaran dan jenis
program studi terhadap pencapaian dan peningkatan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy mahasiswa. Interaksi di sini mempunyai
makna efek faktor yang satu bergantung pada jenis faktor yang lain (Wahyudin,
2012).
57

G. Teori-teori Belajar Pendukung


Beberapa teori belajar yang mendukung Brain-Based Learning adalah
pandangan konstruktivisme serta psikologi tingkah laku.
1) Pandangan Konstruktivisme
Beberapa tokoh pandangan konstruktivisme ini adalah Jean Piaget dan
Vygotsky. Jean Piaget melalui teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif mengungkapkan tentang kesiapan anak untuk belajar, yang
dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap
tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 2006). Piaget juga
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya,
sedangkan perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999).
Dalam Brain-Based Learning, mahasiswa berusaha untuk mengkonstruksi
pengetahuan baru dengan bekerja secara kelompok yang memungkinkan
mahasiswa untuk aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial
yang dikembangkan oleh Vygotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan
dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery
dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang
(Poedjiadi, 1999). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vygotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar. Melalui interaksi dengan
teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya.
Pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam perkembangan
intelektual anak tampak dari empat ide kunci yang membangun teorinya. Keempat
kunci tersebut adalah
58

a) Penekanan pada hakikat sosial


Vygotsky (dalam Nur, 1999) mengemukakan bahwa anak belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam Brain-Based
Learning, pembelajaran dilakukan dengan aktivitas yang terdiri dalam kelompok-
kelompok heterogen yang akan bekerjasama untuk menyelesaikan masalah yang
diajukan dalam pembelajaran. Di sinilah terjadi interaksi antara mahasiswa dengan
mahasiswa di mana mahasiswa yang lebih mengerti akan memberitahukan
pendapatnya kepada mahasiswa yang belum mengerti sedemikian rupa sehingga
mahasiswa tersebut dapat memahami masalah maupun pemecahannya dengan baik.
Selain interaksi mahasiswa dengan mahasiswa terjadi juga interaksi antara
mahasiswa dengan dosen. Dosen sebagai fasilitator memberikan fasilitas dalam
proses pembelajaran. Jika terjadi kemacetan atau kesalahan dalam melakukan
proses pemecahan masalah dosen dapat meluruskan atau memberikan bantuan
sehingga mahasiswa dapat bekerja dengan baik sesuai dengan tujuan yang
diharapkan dalam pembelajaran tersebut.
b) Wilayah perkembangan terdekat (Zone of Proximal Development).
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Tingkat Perkembangan potensial

Zone of Proximal Development (ZPD)

Tingkat Perkembangan aktual

Gambar 2.4. Zone of Proximal Development


Vygotsky menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat
perkembangan aktual seseorang sudah mampu untuk belajar atau memecahkan
masalah dengan menggunakan kemampuan yang ada pada dirinya pada saat itu.
59

Adapun tingkat perkembangan potensial adalah tingkat perkembangan intelektual


yang dicapai seseorang dengan bantuan orang lain yang lebih mampu. Tingkat
perkembangan potensial terletak di atas tingkat perkembangan aktual seseorang.
Perubahan dari tingkat perkembangan aktual menuju ke tingkat perkembangan
potensial tidak terjadi secara langsung dan otomatis. Perubahan itu berlangsung
dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah perkembangan terdekat.
Wilayah perkembangan terdekat terletak sedikit di atas perkembangan aktual
seseorang. Menurut Slavin (1997) seorang anak yang bekerja dalam wilayah
perkembangan terdekat terlibat dalam tugas-tugas yang tidak mampu
diselesaikannya sendiri. Ia memerlukan kehadiran orang yang lebih mampu untuk
membantunya. Dengan mengerjakan serangkaian tugas belajar di wilayah
perkembangan terdekat seorang anak diharapkan mencapai tingkat kecakapan
tertentu pada waktu selanjutnya. Dengan demikian proses belajar di wilayah
perkembangan terdekat dapat dipandang sebagai suatu proses transisi atau peralihan
dari tingkat perkembangan aktual ke tingkat perkembangan potensial.
Aktivitas yang terjadi dalam kelompok-kelompok heterogen pada Brain-
Based Learning dapat membantu mahasiswa untuk menuju ke tingkat
perkembangan potensialnya. Hal ini disebabkan dalam aktivitas selain terjadi
interaksi dalam kelompok (mahasiswa yang lebih pandai membantu mahasiswa
yang kurang pandai), dosen juga dapat membantu mahasiswa untuk melampaui
ZPD tersebut atau dengan kata lain “melompat” dari tingkat perkembangan aktual
menuju tingkat perkembangan potensial.
c) Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship)
Menurut Vygotsky, dalam proses pemagangan kognitif seseorang secara
bertahap mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar, orang
dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih (Nur, 1999).
Implementasi dari ide ini dalam Brain-Based Learning adalah pembentukan
kelompok belajar kooperatif heterogen sehingga mahasiswa yang lebih pandai
dapat membantu mahasiswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugasnya.
d) Perancahan (Scaffolding)
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada anak selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan
60

kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia
dapat melakukannya (Slavin). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan
kepada anak untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat
berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-
langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan anak itu belajar mandiri.

2) Pandangan Psikologi Tingkah Laku


Pandangan Psikologi tingkah laku ini diungkapkan oleh beberapa tokoh,
diantaranya Ausubel, Thorndike dan Bruner. Ausubel menyatakan tentang belajar
bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar di mulai. Dalam teori ini
mengungkapkan tentang pentingnya belajar menemukan dibandingkan dengan
belajar menerima. Menurut Ausubel, penerapan metode atau model pembelajaran
tertentu akan menjadi belajar menerima atau belajar bermakna tergantung dari
situasinya.
Menurut Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang (Dahar, 1996). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana
setiap informasi atau pengetahuan baru dihubungkan dengan struktur pengertian
atau pemahaman yang sudah dimiliki oleh anak sebelumnya. Belajar bermakna
terjadi bila mahasiswa mampu menghubungkan setiap informasi baru ke dalam
struktur pengetahuan mereka. Dalam Brain-Based Learning, mahasiswa dituntut
untuk dapat menghubungkan masalah yang diberikan kepadanya dengan struktur
pengetahuan yang telah dimiliki sedemikian rupa sehingga mahasiswa dapat
menyelesaikan masalah tersebut dan memperoleh pengetahuan baru sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
Thorndike (dalam Hudoyo, 1988) mengungkapkan tentang the law of
exercises (hukum latihan) yang dasarnya menunjukkan hubungan antara stimulus
dan respon akan semakin kuat manakala terus menerus dilatih dan diulang,
sebaliknya hubungan stimulus respon akan semakin lemah manakala tidak diulang.
Dalam Brain-Based Learning terjadi beberapa kali pengulangan saat pembelajaran,
61

yaitu saat tahap inisiasi dan akuisisi, elaborasi, inkubasi dan formasi memori, serta
tahap verifikasi dan pengecekan keyakinan.
Menurut Bruner (dalam Cobb, 2004) prinsip-prinsip pengajaran adalah (1)
Pengajaran harus dikaitkan dengan pengalaman dan konteks yang membuat anak
mempunyai kemauan dan kemampuan untuk belajar; (2) Pengajaran harus tersusun
(structured) sehingga anak dapat menyerapnya dengan mudah; dan (3) Pengajaran
harus dirancang untuk memudahkan ramalan atau perhitungan dan atau mengurangi
kesenjangan.
Prinsip (1), menekankan pentingnya memperhatikan kesiapan (readiness)
anak untuk belajar, agar pembelajaran mencapai hasil yang optimal. Dalam Brain-
Based Learning prinsip (1) terjadi pada saat tahap persiapan di mana peta konsep,
tujuan pembelajaran dan pertanyaan apersepsi telah diberikan sebelumnya sehingga
mahasiswa dapat mempersiapkan sebelum perkuliahan berlangsung. Pada prinsip
(2), pengajaran disusun menurut pola spiral. Artinya, topik pertama merupakan
landasan dari topik dua, topik kedua merupakan landasan dari topik ketiga, begitu
seterusnya. Hal ini sesuai dengan karakteristik matematika secara umum yang
menyatakan bahwa konsep yang sebelumnya merupakan prasyarat bagi konsep
sesudahnya. Prinsip (3) dimaksudkan agar anak dapat memperoleh pengetahuan
melalui informasi yang diberikan. Dalam Brain-Based Learning dosen diharapkan
siap untuk memberikan masalah yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan
memperhatikan pengetahuan yang telah dimiliki oleh mahasiswa sebelumnya.

H. Kalkulus dan Pembelajarannya


Kalkulus adalah cabang ilmu matematika yang mencakup limit, turunan,
integral, dan deret takterhingga. Kalkulus memiliki aplikasi yang luas dalam
bidang-bidang sains, ekonomi, dan teknik; serta dapat memecahkan berbagai
masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan aljabar elementer. Kalkulus memiliki
dua cabang utama, kalkulus diferensial dan kalkulus integral yang saling
berhubungan melalui teorema dasar kalkulus. Pelajaran kalkulus adalah pintu
gerbang menuju pelajaran matematika lainnya yang lebih tinggi, yang khusus
mempelajari fungsi dan limit, yang secara umum dinamakan analisis matematika
(Wikipedia, 2013).
62

Kalkulus Integral merupakan mata kuliah wajib bagi Mahasiswa Jurusan


Matematika yang mempelajari salah satu cabang dari kalkulus yaitu kalkulus
Integral. Mata Kuliah kalkulus Integral ini diberikan untuk mahasiswa pada tahun
awal perkuliahan dengan beban 3 SKS dan penting untuk dikuasai mahasiswa
karena mencakup materi-materi yang akan digunakan untuk mata kuliah-mata
kuliah lain di tingkat yang lebih tinggi.
Materi pada Mata Kuliah Kalkulus banyak melibatkan grafik fungsi dan
gambar yang secara manual memerlukan waktu yang lama untuk membuatnya.
Penggunaan web dan komputer dalam pembelajaran akan membuat tampilan grafik
dan gambar menjadi semakin jelas serta menarik untuk penyampaian materi konsep
fungsi, limit dan turunan. Adapun contoh penggunaan web dan komputer dalam
penyampaian materi Volume Benda Putar adalah

Carilah volume benda yang dibatasi oleh kurva 𝑦 = 𝑥 3 , sumbu 𝑌 dan garis 𝑦 = 3 dan
diputar mengelilingi sumbu 𝑌.

Jawab:
Gambar daerah yang dibatasi oleh kurva 𝑦 = 𝑥 3 , sumbu 𝑦 dan garis 𝑦 = 3 adalah

Gambar daerah yang dibatasi oleh kurva 𝑦 = 𝑥 3 , sumbu 𝑦 dan garis 𝑦 = 3 diputar
mengelilingi sumbu 𝑦 adalah

Dengan bantuan komputer lebih mudah mengilustrasikan suatu daerah yang diputar
menurut garis atau sumbu tertentu, hasilnya dapat diletakkan di web untuk
dipelajari lebih lanjut oleh mahasiswa.
63

Selain itu penggunaan web juga berfungsi untuk penyampaian masalah yang
berbentuk tayangan pada langkah Inisiasi dan Akuisisi serta penyajian soal
interaktif yang diiringi musik dalam Brain-Based Learning, serta mahasiswa dapat
mengakses, menyimpan dan mencari materi kapan saja dan di mana saja sesuai
kebutuhannya.

I. Penelitian-penelitian yang Relevan


Penelitian yang mengimplementasikan Brain-Based Learning dengan
mengambil subyek siswa sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi
telah dilakukan oleh Ozden & Gultekin (2008), Sugianti (2010), Nurhadyani
(2010), Saleh (2011), Seyihoglu & Kaptan (2012), Damayanti & Sukestiyarno
(2014), Findasari, et al. (2014), Sukoco (2014), Nur (2016).
Ozden & Gultekin (2008) menyimpulkan adanya perbedaan yang signifikan
terhadap prestasi akademik dan retensi siswa kelas 5 pada mata pelajaran sains
dibandingkan sebelum memperolah Brain-Based Learning. Penelitian ini dilakukan
di sebuah sekolah dasar di Turki. Sugianti (2010) juga menunjukkan bahwa
Kemampuan penalaran adaptif matematika siswa kelas VIII sebuah SMP di
Bandung yang memperoleh model Brain-Based Learning lebih tinggi daripada
siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional. Nurhadyani (2010)
menghasilkan kesimpulan bahwa peningkatan motivasi belajar dan kemampuan
koneksi matematis siswa kelas IX suatu SMP di Kabupaten Bandung yang
mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain-Based
Learning lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan konvensional. Selanjutnya Saleh (2011) menemukan
bahwa Brain-Based Learning dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa.
Seyihoglu & Kaptan (2012) juga membuat kesimpulan bahwa Brain-Based
Learning dapat meningkatkan sikap dan prestasi belajar matematika siswa.
Damayanti & Sukestiyarno (2014) menghasilkan temuan bahwa karakter dan
pemecahan masalah matematis siswa dapat meningkat melalui Brain-Based
Learning Berbantuan Sirkuit Matematika. Selain itu, Findasari, et al. (2014)
mengungkapkan bahwa Brain-Based Learning berbasis kinerja proyek efektif
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa MA kelas X.
64

Sukoco (2014) juga mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi matematis


siswa dapat ditingkatkan melalui Brain-Based Learning, serta Nur (2016)
menghasilkan temuan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis dan
kemandirian belajar siswa dapat meningkat dengan menggunakan model
pembelajaran Brain-Based Learning.
Secara umum penelitian-penelitian tersebut menghasilkan berbagai temuan
tentang keunggulan Brain-Based Learning dibanding dengan pembelajaran
konvensional. Temuan tersebut mengungkapkan bahwa prestasi akademik, retensi,
hasil belajar, kemampuan penalaran adaptif, motivasi belajar, sikap terhadap
pembelajaran, kemampuan koneksi, kemampuan pemahaman konseptual,
kemampuan prosedural, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan
komunikasi matematis peserta didik yang mendapatkan Brain-Based Learning
lebih baik daripada peserta didik yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
Jadi berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat dikatakan bahwa Brain-Based
Learning dapat digunakan untuk meningkatkan aspek-aspek prestasi akademik,
pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi. Aspek
pemecahan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi merupakan aspek di dalam
Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi.
Beberapa peneliti lain mengimplementasikan berbagai inovasi pembelajaran
matematika dengan mengambil subyek SMP. Kramarski & Mevarech (2003)
dengan pembelajaran kooperatif dan pelatihan metakognitif dapat meningkatkan
penalaran matematis siswa; Herman (2007) menggunakan pembelajaran berbasis
masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa
sekolah menengah pertama; Setiawan, et al. (2012) dan Adiastuti (2012) melakukan
pengembangan perangkat pembelajaran matematika dengan pendekatan problem-
based learning untuk meningkatkan keterampilan higher-order thinking untuk
materi yang berbeda; Fauziyah (2010) menyimpulkan bahwa kemampuan
pemahaman dan pemecahan masalah matematika siswa SMP dapat ditingkatkan
melalui strategi REACT (relating, experiencing, applying, cooperating,
transfering). Marthen (2010) menyatakan bahwa melalui strategi REACT (relating,
experiencing, applying, cooperating, transfering) dapat meningkatkan kemampuan
matematis siswa SMP. Dan Somakim (2010) menemukan bahwa dengan
65

Pendekatan Matematika Realistik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis


dan self-efficacy matematis siswa sekolah menengah pertama.
Peneliti-peneliti berikut mengambil subyek SMA. Miri, et al. (2007) dengan
purposely teaching dapat mengembangkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
siswa, Henningsen & Stein (1997) dengan mathematical tasks and student
cognition dapat mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
dan penalaran siswa; serta Clark (2005) dengan strategi pembelajaran berbasis
masalah dapat mengembangkan komunikasi matematis siswa.
Beberapa peneliti memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
dalam pembelajarannya. Kulik, et al. (1991) menyimpulkan bahwa pembelajaran
interaktif dengan media komputer dapat meningkatkan hasil belajar sejumlah siswa
dalam mata pelajaran matematika. Herrington & Oliver (1999) menggunakan
multimedia dalam pembelajaran untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi terhadap sejumlah siswa SMA. Gundy (2006)
menemukan bahwa dengan pembelajaran berbasis web dapat menurunkan
kecemasan terhadap matematika serta meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa.
Nurlaelah (2009) dengan pembelajaran berbasis program komputer dan tugas
resitasi dapat meningkatkan kreativitas dan daya matematis mahasiswa. Nurhajati
(2014) menemukan bahwa Pendekatan Konstruktivisme dengan Model
Pembelajaran Kooperatif Berbantuan Program Cabri 3D dapat meningkatkan
kemampuan penalaran dan koneksi matematis siswa SMA Tasikmalaya. Serta
Nuriadin (2015) menyimpulkan bahwa Pembelajaran Kontekstual Berbantuan
Program Geometer’s Sketchpad dapat meningkatkan kemampuan koneksi dan
komunikasi matematis siswa SMP.
Terdapat juga beberapa peneliti lain yang mengimplementasikan
pembelajaran yang berbeda untuk jenjang pendidikan yang berbeda pula.
Anggraeni (2013) menyimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematik siswa SMK dapat ditingkatkan melalui pendekatan kontekstual dan
strategi Formulate-Share-Listen-Create (FSLC); dan Bjuland & Kristiansand
(2007) mengungkapkan bahwa dengan Problem-Based Learning dapat
meningkatkan penalaran dalam geometri mahasiswa calon guru.
66

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian di atas, Kemampuan Berpikir


Matematis Tingkat Tinggi sebagian atau keseluruhan aspek dan self-efficacy dapat
ditingkatkan melalui pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kontekstual,
pembelajaran berbasis komputer dan pembelajaran kooperatif. Berbagai
pembelajaran tersebut terangkum di dalam Brain-Based Learning. Hal ini sesuai
dengan pendapat Wilson & Spears (2009) bahwa Brain-Based Learning juga
meliputi beberapa pembelajaran seperti pembelajaran kooperatif, pembelajaran
berbasis masalah, multiple intelligence, simulasi serta pendapat Clemon (2005)
yang menyatakan bahwa Brain-Based Learning memungkinkan untuk
diaplikasikan dalam pembelajaran online. Berdasarkan hal di atas peningkatan
terhadap Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self-efficacy
mahasiswa dimungkinkan melalui Brain-Based Learning berbantuan Web.
Selain itu, penelitian-penelitian tentang implementasi Brain-Based Learning
telah dilakukan di berbagai sekolah menengah, padahal Brain-Based Learning ini
sangat dimungkinkan untuk diterapkan pada perkuliahan di perguruan tinggi. Pada
Penelitian ini Brain-Based Learning diharapkan dapat digunakan untuk
meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan self afficacy
mahasiswa pada perkuliahan mata kuliah Kalkulus Integral.

J. Kerangka Teori Penelitian


Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dibutuhkan oleh mahasiswa
dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Kemampuan tersebut dibutuhkan agar
mahasiswa dapat menyelesaikan masalah matematika yang diberikan dengan
menggunakan penalaran yang baik, mengilustrasikan ide matematika ke dalam
model matematika kemudian dapat mengkoneksikannya ke dalam konsep-konsep
matematika yang lain maupun dalam kehidupan sehari-hari serta disiplin ilmu yang
lain. Komponen-komponen Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi terdiri
dari pemecahan masalah, penalaran, komunikasi dan koneksi matematis. Selain
dituntut untuk memiliki Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi yang baik,
mahasiswa juga dituntut untuk memiliki self-efficacy yang baik pula. Self-efficacy
dapat membuat mahasiswa lebih mempunyai keyakinan terhadap kemampuan yang
67

dimilikinya melalui pengalamam otentika, pengalaman orang lain, dukungan


langsung atau sosial serta aspek psikologis dan afektif.
Upaya untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
dan self-efficacy mahasiswa dilakukan dengan menggunakan Brain-Based
Learning Berbantuan Web. Brain-based Learning Berbantuan Web adalah suatu
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, dengan mengoptimalkan fungsi otak
secara menyeluruh serta menggunakan web sebagai medianya. Dosen mengunggah
Lembar Kerja Mahasiswa dan soal-soal latihan di web untuk dapat diunduh oleh
mahasiswa. Penggunaan web dalam pembelajaran ini dikombinasikan dengan
pertemuan tatap muka di dalam kelas melalui diskusi dan presentasi. Hal ini
dimaksudkan agar dosen dapat memperlakukan mahasiswa sebagai individu yang
unik. Brain-Based Learning Berbantuan Web terdiri dari tujuh tahapan yaitu (1) pra
pemaparan, (2) persiapan, (3) inisiasi dan akuisisi, (4) elaborasi, (5) inkubasi dan
formasi memori, (6) verifikasi atau pengecekan keyakinan, serta (7) perayaan dan
integrasi.
Brain-Based Learning Berbantuan Web melatih mahasiswa untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dengan menghubungkan dengan konsep-
konsep yang telah dimiliki sebelumnya (asimilasi). Selain itu mahasiswa juga
memodifikasi cara dan konsep matematika yang diketahui sebelumnya melalui
proses eksplorasi pada saat proses pengkonstruksian pengetahuan baru
(akomodasi). Scaffolding juga terjadi pada saat pembelajaran terutama saat terjadi
diskusi dalam rangka penyelesaian masalah yang dimaksudkan untuk
mengkonstrusksi materi atau pengetahuan baru.

K. Roadmap Penelitian
Penelitian-penelitian yang terkait dengan Brain-Based Learning¸
Pembelajaran dengan TIK, kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi, self-
efficacy telah dilakukan sebelumnya. Secara lengkap penelitian-penelitian ini telah
dibahas pada sub bab Penelitian-Penelitian yang Relevan.
Implementasi Brain-Based Learning pada penelitian ini berbeda dengan
implementasi yang sudah ada. Hal ini dikarenakan mengkombinasikan Brain-
Based Learning dengan media web. Akan tetapi penggunaan media web karena
68

dikombinasikan dengan pertemuan tatap muka di dalam kelas. Web dalam


penelitian ini sebagai sarana untuk mengunggah Lembar Kerja Mahasiswa, soal-
soal latihan dan tanya jawab melalui menu Forum Komunikasi. Akan tetapi pada
saat mahasiswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui diskusi kelompok,
kegiatan ini dilakukan di kelas. Pada saat mengerjakan soal-soal latihan di web,
posisi mahasiswa juga berada di kelas. Hal ini dimaksudkan agar dosen dapat
memperlakukan mahasiswa sebagai individu yang unik dan dapat berperan sebagai
fasilitator saat mahasiswa mengkonstruksi pengetahuannya. Roadmap penelitian
secara jelas dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Ozden & Gultekin (2008),


Sugianti (2010), Kulik, et al. (1991)
Nurhadyani (2010), Herrington & Oliver (1999)
Saleh (2011), Gundy (2006)
Seyihoglu & Kaptan (2012), Nurlaelah (2009)
Damayanti & Sukestiyarno (2014), Nurhajati (2014)
Findasari, et al. (2014),
Nuriadin (2015)
Sukoco (2014),
Nur (2016).

Brain-Based Learning
Berbantuan Web untuk
Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat
Tinggi dan Self-Efficacy

Gundy (2006)
Kramarski & Mevarech (2003)
Somakim (2010)
Herman (2007)
Setiawan, et al. (2012)
Adiastuti (2012)
Fauziyah (2010)
Marthen (2010)
Miri, et al. (2007)
Henningsen & Stein (1997)
Clark (2005)
Anggraeni (2013)
Bjuland & Kristiansand (2007)

Gambar 2.5. Roadmap Penelitian

Adapun kebaruan dalam penelitian ini adalah (1) Pelaksanaan Brain-Based


Learning Berbantuan Web, yang dikombinasikan dengan pertemuan tatap muka
antara dosen dan mahasiswa di dalam kelas; (2) Peneliti tidak hanya menganalisis
terkait perbedaan pencapaian dan peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis
69

Tingkat Tinggi dan Self-efficacy mahasiswa antara Brain-Based Learning


Berbantuan Web dan Pembelajaran konvensional, tetapi juga menganalisis
kontribusi (effect size) pembelajaran Brain-Based Learning Berbantuan Web
terhadap pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan Self-
efficacy baik secara keseluruhan, kategori kemampuan awal serta jenis program
studi; serta (3) Dihasilkannya Satuan Acara Perkuliahan dan Lembar Kerja
Mahasiswa dalam Mata Kuliah Kalkulus Integral yang berorientasi Brain-Based
Learning Berbantuan Web.

L. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini didasarkan pada rumusan
masalah dan kajian pustaka yang telah diuraikan di atas. Adapun hipotesis-hipotesis
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Mahasiswa yang mendapat Brain-Based Learning Berbantuan Web
memperoleh pencapaian Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
lebih tinggi daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
2. Mahasiswa yang mendapat Brain-Based Learning Berbantuan Web
memperoleh peningkatan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
lebih tinggi daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
3. Mahasiswa yang mendapat Brain-Based Learning Berbantuan Web
memperoleh pencapaian self-efficacy lebih tinggi daripada mahasiswa yang
mendapat pembelajaran konvensional.
4. Mahasiswa yang mendapat Brain-Based Learning Berbantuan Web
memperoleh peningkatan self-efficacy lebih tinggi daripada mahasiswa yang
mendapat pembelajaran konvensional.
5. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan kemampuan awal matematis
(tinggi, sedang, rendah) terhadap pencapaian Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi mahasiswa.
6. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan jenis program studi (Pendidikan
70

Matematika dan Matematika) terhadap pencapaian Kemampuan Berpikir


Matematis Tingkat Tinggi mahasiswa.
7. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan kemampuan awal matematis
(tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi mahasiswa.
8. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan jenis program studi (Pendidikan
Matematika dan Matematika) terhadap peningkatan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi mahasiswa.
9. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan kemampuan awal matematis
(tinggi, sedang, rendah) terhadap pencapaian self-efficacy mahasiswa.
10. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan jenis program studi (Pendidikan
Matematika dan Matematika) terhadap pencapaian self-efficacy mahasiswa.
11. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan kemampuan awal matematis
(tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan self-efficacy mahasiswa.
12. Terdapat interaksi antara pembelajaran (Brain-Based Learning Berbantuan
Web dan Pembelajaran Konvensional) dan jenis program studi (Pendidikan
Matematika dan Matematika) terhadap peningkatan self-efficacy mahasiswa.
13. Terdapat assosiasi antara Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
dan self-efficacy mahasiswa.
14. Terdapat korelasi antara Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi dan
self-efficacy mahasiswa.

Anda mungkin juga menyukai