Anda di halaman 1dari 15

PERTEMUAN 5

PILAR AKSES DAN STABILITAS PANGAN

Tujuan Pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai akses pangan dan faktor apa
saja yang mempengaruhi akses pangan di Indonesia,
2. Mahasiswa mampu menganalisispermasalahan yang mempengaruhi
aspek pangan serta mampu menganalisis solusi permasalahan tersebut.
3. Mahasiswa mampu menganalisis permasalahan yang mempengaruhi
aspek pangan serta mampu menganalisis solusi dari permasalahan
tersebut, dan
4. Mahasiswa mampu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
stabilitas pangan.

Akses memiliki tiga faktor penting yaitu faktor fisik, ekonomi dan sosial (World Food
Program, 2009). Akses pangan merupakan salah satu sub sistem ketahanan pangan yang
menghubungkan antara ketersediaan pangan dengan konsumsi atau pemanfaatan pangan.
Akses pangan dikatakan baik apabila semua rumahtangga atau semua anggota rumahtangga
mempunyai sumber daya yang cukup untuk mendapatkan pangan yang cukup pula baik dari
segi kuantitatif, kualitatif dan keragaman pangan (Ariani, dkk., 2015).
Faktor fisik dapat diartikan dimana pangan yang diproduksi pada daerah tertentu dapat
di distribusikan secara merata ke sekelompok masyarakat tertentu karena ketersediaan
infrastruktur pasar, kemudahan akses dan kejelasan fungsi pasar (Napoli, 2011). Dari sudut
pandang ekonomi, ketahanan pangan ada ketika orang mampu membeli pangan yang cukup.
Kerawanan pangan muncul ketika makanan tersedia tetapi masyarakat tidak mampu
membelinya. Pada daerah pedesaan, kebanyakan orang terutama orang miskin bergantung pada
pasar untuk menyediakan pangan, dan juga menjual produk mereka untuk mendukung
pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Napoli, 2011).
Percent of Paved Roads
over Total Roads

Road Density Rail-lines Density

Prevalence of Food Domestic Food Price Level


Index

Depth of the Food Deficit Prevalence of


Undernourishment
Share of Food Expenditure
of the Poor

Gambar 5.1 Indikator Penilaian Pilar Accessibility


Unsur ketiga adalah dimensi sosial yang muncul ketika makanan yang secara fisik
tersedia dan konsumen mampu untuk membeli tetapi terhambat karena perbedaan kelompok
sosial dengan indikator tingkat pendidikan atau modal sosial (barter, pinjam meminjam atau
adanya program dukungan sosial yang lain).

Akses Fisik
Hal yang penting pada aspek fisik dalam ketahanan pangan adalah infrastruktur
transportasi. Untuk mengangkut bahan pangan tepat waktu dengan biaya yang efektif,
keseluruhan pasokan pangan membutuhkan infrastruktur udara, pelabuhan dan jalan yang baik.
Indonesia sebagai negara yang berbentuk kepulauan lebih dari 13.400 pulau, tengah
menghadapi tantangan besar yakni memastikan rantai pasokan pangan yang mudah dan murah
untuk dapat memenuhi pasokan pangan ke seluruh pulau. Saat ini Indonesia sedang
mengembangkan fasilitas transportasi udara, darat dan laut yang efisien dan terintegrasi untuk
mengangkut berbagai jenis pangan dengan meminimalkan terjadinya kerusakan pangan.
Pengembangan sarana transportasi dapat menurunkan harga pangan, sekaligus
mendukung peningkatan pendapatan petani. Biaya-biaya perantara yang sering terjadi akibat
kerusakan, transportasi dan ketidaksempurnaan rantai pasok dapat dikurangi. Meskipun telah
melakukan upaya-upaya tersebut, konsumen Indonesia masih mengalami peningkatan harga
pangan karena faktor inefisiensi, terutama wilayah Indonesia bagian timur.
Gambar 5.2 Peningkatan Infrastruktur 4 tahun terakhir
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perhubungan,
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 2018)

Pembangunan transportasi dimaksudkan agar mendukung mobilisasi masyarakat,


distribusi barang dan jasa serta sektor-sektor ekonomi melalui penyediaan jasa transportasi
dengan harga terjangkau. Hal ini sesuai dengan kebijakan Penguatan Konektivitias Nasional
(Kementerian PPN/Bappenas, 2011). Tersedianya infrastruktur yang baik dan berkualitas dapat
memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas, membuka
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan baik disektor pertanian maupun non pertanian.

Akses Ekonomi
Akses ekonomi atau keterjangkauan ekonomi berarti jika masyarakat memiliki daya
beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan (Ariani, dkk.,
2015). Keterjangkauan pangan antara lain ditentukan oleh daya beli. Besarnya masyarakat yang
mempunyai daya beli rendah, dapat diukur oleh besarnya angka kemiskinan. Jumlah dan
proporsi penduduk miskin selama lima tahun terakhir berdasarkan data dari BPS mengalami
penurunan. Penduduk miskin di Indonesia pada September 2018 sebanyak 25,67 juta jiwa atau
sekitar 9.66 % (BPS, 2019).
Selain kemampuan daya beli, harga pangan juga berpengaruh terhadap akses ekonomi.
Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis
akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga. Impor pangan dapat mengganggu kesinambungan
produsen pangan lokal, karena harga produk pangan impor cenderung lebih murah akibat
distorsi dengan berbagai bantuan pemerintah negara eksportir pangan. Kenyataan di lapangan
terkait produksi, perdagangan dan konsumsi pangan dapat menuntut peran pemerintah agar
produsen dan konsumen domestik dapat dilindungi. Peran tersebut diharapkan mampu
menstabilkan harga pangan yang dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan agar
mengurangi ketidak pastian petani dan menjamin harga pangan menjadi lebih stabil bagi
konsumen.
Penduduk miskin memiliki proporsi pengeluaran makanannya mencapai 62,6 % pada
tingkat nasional. Secara nominal, pengeluaran rumah tangga ini 3 kali lebih sedikit untuk
makanan dari pada rata-rata rumah tangga di Indonesia. Pengeluaran pangan rumah tangga
pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 62 % rumah tangga di Indonesia mampu untuk membeli
makanan bergizi termurah dari komoditas lokal yang tersedia, dan 38%-nya tidak mampu.
Sementara makanan bergizi tersedia secara lokal, ditingkat nasional, rumah tangga yang paling
rentan secara ekonomi, diwakili oleh NTT dan Maluku yang lebih dari setengah populasi
penduduknya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Akses Sosial
Akses sosial didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga dalam memperoleh
pangan yang secara global dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial,
budaya/kebiasaan makan, konflik sosial keamanan dan lainnya. Tingkat pendidikan menjadi
indikator akses sosial pangan. Akses sosial pangan rumah tangga bergantung kepada
pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal.
Sebagai contoh, sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah
rendah, didominasi oleh lulusan SD atau tidak tamat SD. Oleh karena itu, akses pangan rumah
tangganya relatif rendah. Kajian yang lain menyatakan bahwa pendidikan formal ibu atau istri
juga berpengaruh terhadap akses pangan rumah tangga. Di Indonesia pola pengambilan
keputusan pemilihan pangan dalam keluarga adalah istri yang dominan. Peningkatan
pendidikan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi akses pangang yang rendah
(Hardinsyah, 2007)

Permasalahan Akses Pangan


1. Ketimpangan PDRB antar Wilayah/Provinsi
Indikator makro yang menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan
oleh wilayah atau pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu
daerah merupakan definisi dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin tinggi nilai
PDRB, kemampuan sumber daya ekonomi semakin besar serta peluang pemanfaatan untuk
penduduk yang bertempat tinggal di suatu wilayah tersebut juga semakin besar. Salah satu
tantangan utama pembangunan Indonesia saat ini adalah mengatasi persoalan ketimpangan
yang tidak hanya terjadi dalam dimensi individu atau rumah tangga tetapi juga wilayah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dari tiga dekade terakhir rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi Indonesa relatif tinggi, namun pada saat yang bersamaan tingkat
kesenjangan pendapatan juga tinggi. Data kemiskinan selama 1970-2017 menunjukkan bahwa
rata-rata tingkat kemiskinan di kawasan perkotaan adalah 13,9 %, sedangkan di kawasan
pedesaan mencapai 19,0 % (Sukwika, 2018).
2. Kesenjangan Ekonomi Antar Provinsi
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar
provinsi di Indonesia adalah Indeks Williamson dan coefficient variation (CV). Pada Indeks
Williamson, jika angka indeks mendekati angka satu, maka tingkat ketimpangan semakin
tinggi, sebaliknya jika angka indeks mendekati angka nol, maka tingkat ketimpangan semakin
kecil. Berdasarkan analisis selama kurun waktu 2010-2015, Indeks Williamson dan nilai CV
dari PDRB per kapita di Indonesia menunjukkan dua pergerakan yang sedikit berbeda (Gambar
1). Nilai CV Konsisten yakni menunjukkan penurunan selama periode tersebut, sedangakan
Indeks Williamson menunjukkan dua fase berbeda, yakni pada 2010-2012 meningkat dan
cenderung menurun pada 2013-2015.
Hasil ini menunjukkan bahwa ketimpangan antar provinsi di Indonesia cenderung
membaik meskipun nilai Indeks Williamson berkisar pada angka 0,7 masih tergolong tinggi.
Artinya pemerintah disarankan untuk mengakselerasi program-program pemerataan
pembangunan di seluruh wilayah. Sehingga proses pembangunan berkembang tidak hanya
pada wilayah yang sudah maju saja, tetapi juga pada wilayah-wilayah lainnya yang dianggap
masih tertinggal (Sukwika, 2018)
3. Geografi wilayah
Wilayah Indonesia terdiri dari bagian berupa pulau-pulau baik pulau besar maupun
pulau kecil. Masih banyak daerah yang terisolasi dari pusat-pusat kegiatan ekonomi seperti
daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, pesisir dan daerah pedalaman. Pada wilayah ini,
hubungan antara pulau atau antar daerah pedalaman harus dilalui dengan transport laut,
sehingga untuk pangan yang harus didatangkan dari luar pulau akan menghadapi kendala
apabila keadaan cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan pelayaran. Akan tetapi, sarana
transportasi laut juga masih terbatas. Akibatnya, terjadi gangguan pasokan pangan di wilayah
tersebut pada waktu-waktu tertentu dengan harga yang relatif mahal.
4. Besaran dan Ketimpangan Pendapatan Rumah tangga
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi akses pangan tingkat rumah tangga adalah
pendapatan. Jumlah pendapatan rumah tangga belum semuanya mencukupi kebutuhan sehari-
hari, sehingga masih ditemukan penduduk yang miskin dan atau rawan pangan. Ketimpangan
pendapatan masih terlihat di beberapa daerah, yang berdampak pada yang kaya semakin kaya
dan yang miskin semakin miskin. Proporsi rumah tangga yang termasuk berpendapatan rendah
juga relatif tetap.
Tiga kelompok rumah tangga yang diperkirakan berada pada 40 persen penduduk
berpendapatan terbawah adalah: (1) angkatan kerja yang bekerja tidak penuh terdiri dari
penduduk yang bekerja paruh waktu, termasuk di dalamnya adalah rumah tangga nelayan,
rumah tangga petani berlahan sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan dan rumah
tangga buruh perkotaan; (2) usaha mikro kecil termasuk rumah tangga sebagai pekerja
keluarga; dan (3) penduduk miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan (Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, 2014).
5. Kenaikan Harga Pangan dan Non Pangan
Daya beli rumah tangga merupakan hasil dari variabel pendapatan rumah tangga dan
harga pangan di pasaran. Kenaikan harga tanpa diikuti kenaikan pendapatan akan menurunkan
daya beli rumah tangga. Kenaikan harga pangan dipicu terutama oleh kenaikan bahan bakar
dan terbatasnya pasokan pangan pada periode tertentu. Kenaikan bahan bakar akan
meningkatkan harga input produksi dan biaya transportasi, yang semuanya tersebut berdampak
pada kenaikan harga pangan dan non pangan (Yovanda, 2015).
Dalam jangka pendek, manfaat dari harga pangan tinggi adalah surplus yang besar yang
didapatkan oleh para petani, sehingga petani ini bukan termasuk orang yang termiskin dari
yang miskin. Selain itu, orang miskin biasanya membeli lebih banyak membeli makanan dari
pada yang mereka jual. Dengan demikian harga pangan yang tinggi dapat memperburuk
kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi buruk. Namun, harga yang tinggi merupakan peluang
untuk memacu investasi jangka panjang di bidang pertanian, yang akan berkontribusi pada
ketahanan pangan berkelanjutan dalam jangka panjang. Dampak dari harga yang tinggi (atau
rendah) memiliki dua jenis efek yang berbeda. Harga pasar internasional dapat mempengaruhi
variabel ekonomi makro di tingkat nasional seperti neraca pembayaran, defisit anggaran dan
nilai tukar. Sementara harga domestik dapat mempengaruhi kemiskinan, asupan energi, dan
nutrisi masyarakat (FAO, 2011).
6. Perilaku Konsumsi Pangan Masyarakat
Terbatasnya pengetahuan rumah tangga tentang pangan yang beragam, bergizi,
seimbang dan aman adalah sebab perilaku konsumsi pangan yang menyimpang. Namun,
program tersebut belum berdampak signifikan pada perubahan perilaku konsumsi pangan
rumah tangga sesuai dengan kaidah atau aturan pangan dan gizi. Terdapat perilaku yang
cenderung berakibat pada pemborosan makanan. Misalnya mengambil makanan dalam jumlah
banyak, namun tidak semuanya dikonsumsi sampai habis. Hal ini terkait dengan persoalan
mind-set, budaya makan dan kurang sadarnya masyarakat akan arti pentingnya kehilangan nilai
ekonomi pangan.
Globalisasi dan liberalisasi juga berdampak pada pola konsumsi pangan, yakni terjadi
perubahan gaya makan dari makanan rumahan ke arah makanan jadi dan dari pangan lokal
(nusantara) ke pangan asing (impor), yang diindikasikan dengan berkembang pesatnya
waralaba asing di Indonesia. Penyimpangan tersebut berdampak pada orang dewasa seperti
terjadinya peningkatan penyakit degeneratif misalnya stroke, diabetes melitus, dan lainnya
sedangkan pada anak balita terjadi stunting, gizi kurang dan gizi buruk (Ariani dan Haryono,
2014).

Upaya Peningkatan Akses Pangan Masyarakat


Peningkatan akses pangan rumah tangga yang rawan pangan baik kronis maupun
transien telah banyak dilakukan pemerintah. Program-program tersebut bersifat antisipatif dan
kuartif, yang dilaksanakan oleh banyak kementerian/lembaga. Kementerian Pertanian melalui
Badan Ketahanan Pangan telah memiliki program aksi secara reguler untuk meningkatkan
akses pangan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti program P2KP, Mandiri
Pangan, Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM), Pengembangan
Lumbung Pangan Masyarakat, Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi.
Dalam UU Pangan No.18 tahun 2012, pemerintah dan pemerintah daerah memiliki
tanggung jawab dalam membangun ketahanan pangan termasuk akses/keterjangkauan pangan.
Seperti yang tertulis dalam beberapa pasal dan ayat sebagai berikut: pemerintah dan pemerintah
daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab, seperti dalam ketersediaan pangan (pasal 12,
ayat 1), mengembangkan potensi produksi pangan (pasal 16, ayat 1), melakukan tindakan untuk
mengatasi krisis pangan (pasal 44, ayat 1), serta mewujudkan keterjangkauan pangan bagi
masyarakat, rumah tangga dan perseorangan (Pasal 46, ayat 1). Beberapa usulan upaya
peningkatan akses pangan adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan dan Pembangunan Infrastruktur di Wilayah KTI (Kawasan Timur
Indonesia)
Kesenjangan tersebut dapat diminimalisir melalui pengembangan dan pembangunan
sarana dan prasarana perekonomian terutama di wilayah KTI seperti sarana transportasi berupa
jalan dan kendaraan. Tersedianya sarana transportasi tersebut akan meningkatkan kelancaran
arus barang jasa juga dapat menekan harga pangan, meningkatan ketersediaan pangan
sekaligus meningkatkan mobilitas masyarakat untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik.
Transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah perlu dilakukan, salah satunya melalui
penyediaan infrastruktur yang terpadu dan merata.
2. Pembangunan Pulau Mandiri Pangan
Indonesia terdiri dari pulau besar dan pulau kecil. Setiap pulau mempunyai kapasitas
dan fasilitas yang berbeda terkait dengan karakteristik sumber daya manusia dan karakteristik
pola produksi serta konsumsi pangan. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari banyak pulau-
pulau kecil, dimana akses jalan yang harus ditempuh adalah melalui sarana transportasi laut,
seperti di Provinsi Maluku terdapat 12 gugus pulau yang setiap gugus mempunyai ciri yang
khas. Kemandirian pangan secara nasional tidak akan terwujud tanpa adanya kemandirian di
pulau-pulau kecil. Tujuan pembangunan pulau mandiri pangan adalah agar setiap pulau mampu
mencukupi kebutuhannya sendiri terutama untuk pangan pokoknya sesuai dengan potensi dan
budayanya.
Apabila kebutuhan pangan pokok di pulau-pulau kecil termasuk pulau terpencil dan
terluar harus didatangkan dari wilayah lain, sulit untuk tercapainya kemandirian pangan. Oleh
karena itu, jenis pangan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat harus sesuai dengan
kondisi agroekositem pulau tersebut. Sebagai contoh, pulau mandiri pangan di Maluku
didasarkan pada konsep gugus pulau dengan pendekatan laut pulau, dengan mengadopsi
prinsip kedaulatan pangan pada prioritas keluarga miskin dan kekurangan pangan,
mengembangkan kearifan lokal dalam proses produksi dengan melibatkan kaum perempuan,
serta mempertahankan pola konsumsi sesuai budaya setempat.
3. Peningkatan Pendapatan Masyarakat
Peningkatan akses pangan dapat terwujud dengan upaya peningkatan daya beli rumah
tangga. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan pendapatan dan menjaga stabilitas harga
pangan. Peningkatan pendapatan terutama pada rumah tangga berpendapatan rendah yaitu: 1)
angkatan kerja yang bekerja tidak penuh, yang bekerja paruh waktu (nelayan, petani berlahan
sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan, dan rumah tangga buruh perkotaan); (2) usaha
mikro kecil termasuk rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja keluarga, dan (3) penduduk
miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan. Program peningkatan pendapatan tersebut
akan berbeda sesuai dengan keterampilan, aset yang dimiliki dan karakteristik usaha.
Upaya yang utama dilakukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan dan usaha seluas-
luasnya pada wilayah tertentu serta disesuaikan dengan bidang keahlian dan tingkat
pendidikannya. Lapangan kerja yang dibuka adalah dengan tingkat pendidikan setara SD dan
SLTP, sehingga mampu untuk menyerap seluas-luasnya angkatan kerja yang berpendidikan
tersebut. Usaha mikro perlu dukungan penguatan teknologi, pemasaran, permodalan dan akses
pasar.
4. Stabilisasi Harga Pangan dan Non Pangan
Peningkatan akses pangan rumah tangga akan tercapai apabila harga pangan terkendali
sehingga masyarakat mampu membeli makanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Stabilisasi harga pangan dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang berpendapatan rendah
mampu menjangkau pangan yang ada di pasaran dengan mudah. Stabilisasi pangan pokok yang
dilakukan oleh pemerintah saat ini cukup efektif, akan tetapi koordinasi dan kekompakan antar
kementerian harus lebih ditingkatka, agar stabilisasi harga pangan pokok tetap terjaga terutama
di wilayah rawan pangan.
5. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat akan Pola Pangan Bergizi dan Sehat
Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 201 menyatakan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif dan produksif (Pasal
60, ayat 1). Salah satu upaya tersebut adalah dengan mempromosikan penganekaragaman
konsumsi pangan dan meningkatkan pengetahuan serta kesadaran masyarakat untuk
mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (ayat 2). Selain itu,
Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber daya Lokal, yang salah satu rencananya adalah kampanye,
sosialisasi, advokasi dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan yang bergizi seimbang
dan aman berbasis sumber daya lokal.
6. Bantuan Pangan
Bantuan Pangan yang diprogramkan pemerintah saat ini yaitu Program Bantuan Pangan
Non-Tunai (BPNT) sebagai upaya untuk menyalurkan bantuan pangan yang selama ini melalui
program Raskin, agar lebih tepat sasaran, tepat jumlah dan waktu. Melalui program BPNT
diharapkan dapat memberikan keleluasaan penerima manfaat program dalam memilih jenis,
kualitas, harga dan tempat membeli bahan pangan. Adapun sasaran dari program BPNT ini
adalah keluarga penerima manfaat (KPM) BPNT dengan kondisi sosial ekonomi 25% terendah
di daerah pelaksanaan. Besaran BPNT adalah Rp. 110.000/KPM/Bulan. Bantuan tersebut tidak
dapat diambil tunai, dan hanya dapat ditukarkan dengan beras dan/atau telur sesuai kebutuhan.
Bantuan dapat disisakan dan terakumulasi dalam rekening Bantuan Pangan (Tim Pengendali
Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, 2017).
Aksi peningkatan akses pangan terutama pada wilayah atau rumah tangga rawan
pangan transien telah banyak dilakukan oleh Kementerian Sosial karena akibat adanya
bencana. Program-program tersebut berdampak pada peningkatan akses pangan di wilayah
tersebut dan rumah tangga yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah penduduk miskin dan
penduduk rawan pangan. Akan tetapi, program peningkatan akses pangan untuk wilayah dan
rumah tangga tetap harus dilakukan secara kontinyu bahkan perlu dilakukan upaya-upaya
khusus agar berdampak pada perbaikan akses pangan secara signifikan. Sehingga akan
berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah senantiasa selalu
mendorong peran swasta melalui dana Corporate Sosial responsibility (CSR) dan masyarakat
dalam pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan baik dalam kondisi
normal maupun setelah terjadi bencana.

Stabilitas Pangan
Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012, pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi
pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan pangan pokok pemerintah, dan
distribusi pangan pokok untuk mewujudkan kecukupan pangan pokok yang aman dan bergizi
bagi masyarakat. World Food Summit mengatakan bahwa stabilitas harus ada pada setiap saat,
baik dalam hal ketersediaan, akses, dan pemanfaatan untuk terwujudnya ketahanan pangan.
Dalam hal ketersediaan, kestabilan dalam tersedianya jumlah maupun mutunya yang
dipengaruhi oleh luas lahan dan produktivitasnya; dalam hal keterjangkauan (akses) yaitu
tentang stabilitas harga dan distribusi yang dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur; dan dalam
hal pemanfaatan yaitu tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam bagaimana
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam konsumsi, produksi dan penganekaragaman
pangan dengan cara yang baik dan benar.
Stabilitas Ketersediaan Pangan
Stabilitas ketersediaan pangan dapat dilihat dari tersedianya jumlah bahan pangan yang
cukup untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat, serta cukup untuk memenuhi
asupan gizi yang dibutuhkan. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut maka faktor yang paling
berpengaruh yaitu faktor produksi bahan pangan. Produksi bahan pangan dipengaruhi oleh luas
lahan dan produktivitasnya. Dengan semakin luas lahan yang tersedia, maka semakin besar
pula lahan yang dapat dimanfaatkan untuk ditanami tanaman pangan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Selain itu, tingkat produktivitas produksi bahan pangan juga
berpengaruh terhadap ketersediaan bahan pangan, dimana dengan semakin tinggi produktivitas
suatu lahan atau komoditi pangan, maka semakin mempunyai dampak yang baik terhadap
ketersediaan pangan.
Dengan meningkatnya luas lahan, diharapkan dapat diiringi dengan meningkatnya
jumlah produksi bahan pangan sehingga produktivitas lahan semakin meningkat pula.
Pertumbuhan penduduk yang semakin hari semakin meningkat akan menjadi ancaman
terhadap luas lahan dan ketersediaan pangan di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya
baik dari segi sumber daya manusia, teknologi (budidaya dan produksi benih unggul), dan
faktor pendukung yang lain untuk dapat meningkatkan produktivitas suatu lahan. Hal tersebut
tidak hanya dibutuhkan untuk menjamin jumlah ketersediaan bahan pangan, tetapi juga
dibutuhkan untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu baik serta aman untuk
dikonsumsi. Faktor sumber daya manusia, teknologi, infrastruktur dan kebijakan pemerintah
sangat penting dalam menjamin stabilitas ketersediaan pangan di Indonesia.
Stabilitas Akses Pangan
Dari aspek keterjangkauan (akses), selain kegiatan distribusi pangan yang biasanya
menjadi perhatian khusus yaitu harga pangan yang fluktuatif. Fluktuasi harga pangan masih
sering terjadi, khususnya pada saat-saat tertentu seperti menjelang hari-hari besar keagamaan.
Volatilitas yang tinggi terhadap harga pangan, tidak hanya disebabkan oleh kebijakan impor
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan bahan pangan yang sangat rendah terhadap
perubahan musim. Oleh karena itu, stabilitas ketersediaan pangan terutama dari segi jumlah
akan mempengaruhi stabilitas harga bahan pangan tersebut. Bahan pangan yang sering
menyumbang komponen inflasi bergejolak antara lain: beras, cabai, daging ayam, telur ayam,
minyak goreng dan bawang merah. Volatilitasnya yang tinggi bahkan sering tak terkendali
pada saat tertentu, memaksa pemerintah melakukan berbagai upaya untuk dapat
menstabilkannya melalui berbagai kebijakan seperti operasi pasar.
Selain fluktuasi harga pangan, distribusi pasokan pangan juga harus diperhatikan
mengingat jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar yang tersebar di berbagai pulau dan
daerah di seluruh wilayah Indonesia. Ketersediaan pangan yang ada harus dapat dijangkau
semua masyarakat dimana pun dan kapan pun termasuk daerah-daerah terpencil, sehingga
infrastruktur harus baik untuk mendukung stabilitas akses pangan tersebut. Infrastruktur yang
dimaksud meliputi infrastruktur langsung dan tidak langsung. Infrastruktur langsung seperti
sistem irigasi, sedangkan indfrastruktur tidak langsung seperti jalan, jembatan, dan lain-lain.
Stabilitas Pemanfaatan Pangan
Untuk menjamin stabilitas dalam pemanfaatan pangan, maka hal yang perlu
diperhatikan yaitu pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam memahami pentingnya
konsumsi pangan yang baik, berimbang, dan beragam. Menurut UU No. 18 Tahun 2012,
pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan
kualitas konsumsi masyarakat melalui:
a. penetapan target pencapaian angka konsumsi pangan per kapita per tahun sesuai dengan
ankga kecukupan gizi;
b. penyediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan
c. pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola konsumsi pangan
yang beragam, bergizi seimbang, bermutu dan aman.
Selain itu, disebutkan pula bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban
mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat dan mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif. Penganekaragaman tersebut
yaitu dengan mengarahkan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan
membudayakan pola konsumsi pangan yang beragama, bergizi seimbang, dan aman serta
sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Dengan begitu, diharapkan masyarakat setelah
memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang penganekaragaman pangan tersebut dapat
memilih, mengolah, dan mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman.
Tidak hanya pengetahuan tentang konsumi dan penganekaragaman pangan,
pengetahuan tentang teknologi pengolahan bahan pangan juga sangat penting untuk dipahami
oleh masyarakat, sebab pada proses pengolahan bahan pangan tersebut akan mempengaruhi
mutu dan keamanan produk pangan yang dihasilkan. Untuk menghasilkan produk pangan yang
bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi, maka harus memperhatikan higienitas, dan praktik
atau proses pengolahan yang baik dan benar. Dengan demikian, maka akan terjamin kestabilan
dalam pemanfaatan pangan.

A. Rangkuman
Akses pangan adalah penghubung ketersediaan pangan dan pemanfaatan pangan. Akses
pangan terdiri dari 3 faktor penting yaitu: akses fisik, akses ekonomi dan akses sosial.
Berdasarkan pengertiannya, akses fisik adalah bagaimana bahan yang sudah tersedia, dapat
didistribusikan dengan baik pada seluruh wilayah Indonesia. Artinya infrastruktur pada semua
daerah harus terjamin kelayakannya. Akses ekonomi adalah bagaimana bahan pangan yang
telah tersedia di wilayah tersebut dapat dibeli oleh seluruh masyarakat. Artinya yang
berpengaruh pada faktor ini adalah harga pangan dan kemampuan daya beli masyarakat terkait
perbedaan pendapatan. Akses sosial dilihat dari tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri
yang memiliki peran dominan dalam pemilihan makanan sehari-hari dalam rumah tangga.
Stabilitas harus ada pada setiap saat, baik dalam hal ketersediaan, akses, dan
pemanfaatan untuk terwujudnya ketahanan pangan. Stabilitas harus terwujud pada semua pilar
ketahanan pangan baik ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.

B. Soal Latihan
1. Bagaimana akses pangan dapat berpengaruh terhadap terwujudnya ketahanan pangan?
2. Apa yang menyebabkan harga pangan di Indonesia masih bersifat fluktuatif?
3. Apa peran stabilitas dalam mewujudkan ketahanan pangan?
4. Bagaimana cara mewujudkan stabilitas pada masing-masing pilar ketahanan pangan?

1. Tes Formatif
1. Akses pangan secara singkat dapat diartikan..
a. penghubung ketersediaan pangan dan pemanfaatan pangan
b. penghubung ketersediaan pangan dan stabilitas pangan
c. penghubung keterjangkauan pangan dan pemanfaatan pangan
d. penghubung stabilitas pangan dan pemanfaatan pangan
2. Dibawah ini termasuk faktor dari akses pangan, kecuali
a. Akses sosial
b. Akses individu
c. Akses ekonomi
d. Akses fisik
3. Yang dimaksud dengan akses sosial adalah
a. Dimana kecukupan gizi atau nutrisi keluarga ditentukan oleh
pendidikan/pengetahuan istri tentang pangan baik pengolahan maupun jenisnya
b. Dimana kecukupan gizi keluarga dilihat dari pendidikan keluarga tersebut
c. Dimana kecukupan gizi kelaurga didominasi oleh kemauan anak
d. Dimana kecukupan gizi suatu keluarga dilihat dari peran seorang ayah dalam
mengatur keuangan keluarga
4. Syarat keluarga penerima manfaat (KPM) BPNT adalah
a. Kondisi sosial ekonomi 35% terendah didaerah pelaksanaan
b. Kondisi sosial ekonomi 15% terendah didaerah pelaksanaan
c. Kondisi sosial ekonomi 25% terendah di daerah pelaksanaan
d. Kondisi sosial ekonomi 20% terendah didaerah pelaksanaan
5. Jumlah besaran Bantuan Pangan Non Tunai per keluarga per bulan sebanyak
a. 100.000/KPM/Bulan
b. 150.000/KPM/Bulan
c. 120.000/KPM/Bulan
d. 110.000/KPM/Bulan
6. Berikut adalah pengaruh dari harga pasar internasional terhadap variabel ekonomi
makro di tingkat nasional, kecuali
a. Neraca pembayaran
b. Defisit anggaran
c. Nilai ekspor impor
d. Nilai tukar
7. Definisi singkat dari akses fisik adalah
a. Bagaimana bahan yang sudah tersedia, dapat didistribusikan dengan baik pada
seluruh wilayah Indonesia
b. Bagaimana bahan yang tersedia dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
c. Bagaimana bahan yang tersedia dapat dijual kembali oleh masyarakat demi
memenuhi kebutuhan hidupnya
d. Bagaimana bahan yang tersedia dapat berguna bukan hanya keluarga tersebut
akan tetapi tetangga sekitarnya
8. Perilaku menyimpang konsumsi masyarakat saat ini adalah
a. Pemborosan
b. Membuang makanan
c. Mengambil makanan dengan jumlah besar tetapi tidak dihabiskan
d. a dan b benar
9. Sampai 2018 berapa jumlah bandara yang sudah terbangun guna meningkatkan
aksesibilitas pangan
a. 12 bandara
b. 11 bandara
c. 10 bandara
d. 9 bandara
10. Berdasarkan laporan kinerja 4 tahun presiden, target pembangunan pelabuhan pada
2019 sebanyak
a. 8 pelabuhan
b. 9 pelabuhan
c. 10 pelabuhan
d. 11 pelabuhan

Daftar Pustaka
Ariani, M dan Haryono. 2014. Memperkuat Daya saing Pangan Nusantara. Buku. Memperkuat
Daya saing produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IAARD
Press
Ariani, M., Pasandoran, E., Rachmat, M., Hermanto., Sumedi., Suradisastra, K., Haryono.
2015. Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. IAARD Press
Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Profil Kemiskinan di Indonesia.
FAO. 2008. An Introduction to the Basic Concepts of Food Security. FAO Food Security
Programme
Hardinsyah. 2007. Review Determinan Keragaman Konsumsi Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan,
Vol 2 Juli 2007
Napoli, M. Towards a Food Insecurity Multidimensional Index (FIMI). 2011. Roma TRE.
University Degli Studi
Suryana, A. 2014. Menuju Ketahanan Pangan Indonesia yang Berkelanjutan 2025: Tantangan
dan Penanganannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 32(2) : 123 135
WFP (World Food Program). 2009. Emergency Food Security Assessment Handbook
Yohandarwati, A (ed). 2015. Evaluasi RPJMN 2010-2014, Jakarta: Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2014. Pedoman Umum Raskin 2015.
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54 Tahun 2014.
Jakarta.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS). 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2015-2019. Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong Royong. Jakarta
Sukwika T. 2018. Peran Pembangunan Infrastruktur terhadap Ketimpangan Ekonomi
Antarwilayah di Indonesia. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 6(2): 115-130.
http://dx.doi.org/10.14710/jwl.6.2.115-130
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2018. Buku Panduan Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi XI. Lipi Press. Jakarta
Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai. 2017. Pedoman
Umum Bantuan Pangan Non-Tunai. Jakarta
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perhubungan,
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 2018. dalam Laporan 4 tahun
Pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla.

Anda mungkin juga menyukai