Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

A. Tinjauan Teori
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik dan perubahan tata letak tulang karena patahan tulang.
(Brunner & Suddarth, 2011). Fraktur adalah Patah tulang yang biasanya
disebabkan oleh trauma/tenaga fisik (Price dan Wilson, 2015).
2. Etiologi
Penyebab fraktur secara umum disebabkan karena pukulan secara
langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi
otot eksterm (Suddart, 2012). Sedangkan menurut Henderson, (2011) fraktur
yang paling sering adalah pergerseran condilius lateralis tibia yang
disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan merobek
ligamentum medialis sendi tersebut. Penyebab terjadinya fraktur yang
diketahui adalah sebagai berikut :
a. Trauma langsung ( direct ) Fraktur yang disebabkan oleh adanya
benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan
langsung.
b. Trauma tidak langsung ( indirect ) Fraktur yang bukan disebabkan oleh
benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang
berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya seperti pada
olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu tangannya
untuk menumpu beban badannya.
c. Trauma pathologis Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti
osteomielitis, osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome,
komplikasi kortison / ACTH, osteogenesis imperfecta (gangguan
congenital yang mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi karena
struktur tulang yang lemah dan mudah patah yaitu :
1) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
keropos dan rapuh dan dapat mengalami patah tulang.
2) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari
fokus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c.Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan
sendi dan tulang rawan (Majoer & Arif, 2010).
3. Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang
terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi odem lokal
maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman
nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler
yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau.
Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang,
biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik yang
terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman
nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak
yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh (Henderson, 2010).
4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas,
pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan berubahan
warna yaitu :
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyartai fraktur merupakan bentuk
bidai alami yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar frekmen
tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alami ( gerakan luar biasa ) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain.
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya. ( uji krepitus dapat menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang lebih berat ).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. Tidak semua tanda
dan gejala terdapat pada setiap fraktur, pada fraktur linear atau
frakturimpaksi (perrmukaan patahan saling berdesak satu sama lain).
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, pemeriksaan sinar-
x pasien (Smeltzer, 2011)
5. Pemeriksaan Penunjang atau Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen
untuk menentukan luas atau lokasi pada daerah yang dicurigai fraktur.
b. CT Scan tulang,
fomogram MRI Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami
kerusakan.
c. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)
d. Hitung darah kapiler
1) HT mungkin meningkat (hema konsentrasi) meningkat atau
menurun.
2) Kreatinin meningkat, trauma obat, keratin pada ginjal meningkat.
3) Kadar Ca kalsium, Hb (Doenges, 2010).
e. Pemeriksaan lainnya yang juga merupakan persiapan operasi yaitu,
Darah lengkap, Golongan darah, Masa pembekuan dan perdarahan,
EKG, Kimia darah.
6. Penatalaksanaan Medis
Adapun penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien
fraktur antara lain : (Smeltzer & Bare, 2012)
a. Terapi konservatif
(1) Proteksi saja
Dengan menggunakan mitella agar kedudukan tetap baik.
(2) Immobilisasi saja tanpa reposisi
Adalah mempertahankan reposisi selama masa penyembuhan
tulang, misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
(3) Rehabilitasi
Adalah proses pemulihan kembali fungsi tulang yang dapat
dilakukan dengan fisioterapi aktif dan pasif.
(4) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak
sesuai kontur tubuh dimana gips ini dipasang. Tujuan
pemasangan gips adalah untuk mengimobilisasi bagian tubuh
dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang merata pada
jaringan lunak yang terletak didalamnya.
(5) Traksi
Traksi adalah alat pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh.
Traksi digunakan untuk menimbulkan spasme otot, untuk
mereduksi, mensejajarkan dan mengimobilisasi fraktur. Traksi
harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik. Secara umum traksi dilakukan
dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstremitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa, sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang patah.
Reeves, Roux, Lockhart (2001) menyatakan bahwa terdapat dua
tipe traksi yaitu kulit dan tulang :
(1) Traksi kulit
Traksi Buck merupakan tipe traksi kulit yang sering
digunakan sebelum pembedahan pada fraktur tulang
pinggul untuk mengurangi spasmus, reduksi dislokasi,
menghindari kontraktur fleksi tulang pinggul dan
mengurangi rasa sakit pinggang bagian bawah ( low back
pain).
(2) Traksi halter leher-kepala digunakan untuk rasa sakit,
strain dan salah urat pada leher. Beban disambungkan
melalui spread bar ke halter dengan sabuk pengikat di
bawah dagu dan mengelilingi kepala pada dasar
tengkorak.
(3) Traksi russel sama dengan traksi buck, ditambah dengan
suspensi yang mengangkat ke atas yaitu berupa sling
(bidai) dibawah lutut atau paha bagian bawah. Traksi ini
digunakan untuk fraktur tulang panggul, luka di paha dan
beberapa luka di lutut. Traksi russel memungkinkan
dilakukannya gerakan.
(4) Terdapat dua tipe traksi pelvis. Traksi ini menggunakan
pengikat untuk rasa sakit pada punggung bagian bawah
dan yang lain menggunakan sling untuk fraktur panggul.
(5) Traksi tulang
Penjepit steinmann atau tali kirschner merupakan
perangkat yang dimasukkan ke dalam batang tulang
kemudian diikat dengan perangkat traksi.
(6) Traksi kepala atau tengkorak menggunakan jepitan
crutchfield atau vinckle yang dimasukkan ke dalam
tengkorak dan diikat pada beban. Perangkat ini merupakan
traksi tulang sederhana. Perangkat halo (lingkaran) diikat
pada tulang tengkorak dan rompi dipasang pada torso.
Traksi tulang ini digunakan untuk fraktur tulang belakang.
b. Terapi operatif
Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup
1) Reposisi tertutup (fiksasi eksterna)
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intra
operatif maka dipasang alat fiksasi eksterna. Reposisi tertutup
dengan radiologis diikuti fiksasi interna. Contoh : reposisi
tertutup fraktur supra condylair humerus pada anak diikuti
dengan pemasangan pararel pins. Reposisi fraktur collum
pada anak diikuti dengan pinning dan immobilisasi gips. Cara
ini terus dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur
femur dan tibia yaitu pemasangan fiksasi interna meduler
(pen) tanpa membuka frakturnya.
2) Terapi operatif dengan membuka frakturnya.
a. ORIF (Open Reduction with Internal Fixation)
Merupakan tindakan insisi pada tempat yang mengalami
cedera dan ditentukan sepanjang bidang anatomic menuju
tempat yang mengalami fraktur. Keuntungannya yaitu reposisi
anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi dari ORIF :
(1) Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair
nekrosis tinggi. Misalnya : Fraktur talus, fraktur collom
femur.
(2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya :
fraktur avulasi, fraktur dislokasi
(3) Fraktur yang dapat direposisi sulit dipertahankan.
Misalkan : fraktur pergelangan kaki
(4) Fraktur intra-articuler.
Misalnya : fraktur patela
b) OREF (Open Reduction with eksternal Fixation)
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksternal dengan
mempergunakan kanselosa screw dengan metil metaklirat
(akrilik gigi) atau fiksasi eksternal dengan jenis-jenis lain
misalnya dengan mempergunakan screw schanz. Indikasi dari
OREF : fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang
yang hebat, fraktur dengan infeksi, fraktur yang miskin
jaringan ikat.
7. Komplikasi
a. Komplikasi awal
yang dapat ditimbulkan dari frakur adalah syok, yang bisa berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak yang dapat
terjadi dalam 48 jam atau lebih dan sindrom kompartemen yang
berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak
ditangani secara segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan
dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, emboli paru yang
dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera, serta
syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan dan kehilangan
cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. Selain komplikasi awal juga
terdapat komplikasi lambat seperti penyatuan terlambat atau tidak
ada penyatuan, nekrosis avaskuler tulang yang terjadi bila tulang
kehilangan asupan darah kemudian mati dan reaksi terhadap alat
fiksasi interna. Oleh karena itu, fraktur harus mendapat penanganan
yang cepat dan tepat.
b. Komplikasi lanjut
1) Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang
waktu 3-5 bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk
anggota gerak bawah. Hal ini juga merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke
tulang menurun.
2) Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan
dan tidak didapatkan konsilidasi sehingga terdapat sendi palsu.
3) Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada
saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk anggulasi,
vagus/valgus, rotasi, pemendekan.
Jika penanganan yang dilakukan baik, maka tulang akan menyatu
dengan baik, hal tersebut dapat dilihat melalui tahap – tahap proses
penyembuhan tulang antara lain :
a. Fase hematoma
Pada mulanya terjadi hematoma dan disertai pembengkakan jaringan
lunak, kemudian terjadi organisasi (proliferasi jaringan penyambung
muda dalam daerah radang) dan hematoma akan mengempis. Tiap
fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah, sehingga
terdapat penimbunan darah di sekitar fraktur. Pada ujung tulang yang
patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter dari garis patahan
yang mengakibatkan matinya osteosit pada daerah fraktur tersebut.
b. Fase proliferatif
Proliferasi sel-sel periosteal dan endoosteal, yang menonjol adalah
proliferasi sel-sel lapisan dalam periosteal dekat daerah fraktur.
Hematoma terdesak oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh.
Bersamaan dengan aktivitas sel-sel sub periosteal maka terjadi
aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan
dari bone marrow masing-masing fragmen. Proses dari periosteum
dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen bertemu dalam
satu proses yang sama, proses terus berlangsung ke dalam dan keluar
dari tulang tersebut, sehingga menjembatani permukaan fraktur satu
sama lain. Pada saat ini mungkin tampak di beberapa tempat pulau-
pulau kartilago, yang mungkin banyak sekali, walaupun adanya
kartilago ini tidak mutlak dalam penyembuhan tulang. Pada fase ini
sudah terjadi pengendapan kalsium.
c. Fase pembentukan callus
Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan di sini tulang menjadi
osteoporotik akibat reabsobsi kalsium untuk penyembuhan. Sel-sel
osteoblas mengeluarkan matriks intra selluler yang terdiri dari
kolagen dan polisakarida, yang segera bersatu dengan garam-garam
kalsium, membentuk tulang immature atau young callus, karena
proses pembauran tersebut, maka pada akhir stadium terdapat dua
macam callus yaitu di dalam disebut internal callus dan di luar
disebut external callus.
d. Fase konsolidasi
Pada fase ini callus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut
oleh aktivitas osteoblas, callus menjadi tulang yang lebih dewasa
(mature) dengan pembentukan lamela-lamela. Pada stadium ini
sebenarnya proses penyembuhan sudah lengkap. Pada fase ini terjadi
pergantian fibrous callus menjadi primary callus. Pada saat ini sudah
mulai diletakkan, sehingga sudah tampak jaringan yang
radioopaque. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada
umur-umur lebih mudah lebih cepat. Secara berangsur-angsur
primary bone callus diresorbsi dan diganti dengan second bone
callus yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang normal.
e. Fase remodeling
Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni dengan kalsium
yang banyak dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi
pembentukan kembali dari medula tulang. Apabila union sudah
lengkap, tulang baru yang terbentuk pada umumnya berlebihan,
mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam kanal, sehingga
dapat membentuk kanal medularis. Dengan mengikuti stres/tekanan
dan tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot dan sebagainya,
maka callus yang sudah mature secara pelan-pelan terhisap kembali
dengan kecepatan yang konstan sehingga terbentuk tulang yang
sesuai dengan aslinya (Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 2015).
B. Tinjauan Kasus
1. Pengkajian
Data pre operasi
Pada pengkajian fraktur akan didapatkan data subyektif dan data obyektif.
Data subyektif : - pasien mengeluh rasa nyeri pada daerah fraktur
- pasien mengeluh mengalami keterbatasan gerak
- pasien mengeluh lemah, pasien mengatakan tidak
mampu melakukan aktifitas
- pasien mengatakan cemas dengan keadaannya,
pasienmengatakan cemas.
Data obyektif : - pasien tampak meringis
- tampak bengkak pada luka atau area fraktur
- lemah dan pemendekan tulang
- perubahan warna pada daerah fraktur (memar)
- pasien tampak gelisah, dan pasien tampak tegang.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Nanda Nic Noc,
2015 pada pasien pre operasi fraktur adalah :
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik biologis
b) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (tindakan
pembedahan).
2. Data intra operasi
Data subyektif : -
Data obyektif : - pasien tampak menggunakan anastesi blok general
anastesi - Pasien tampak sudah terpengaruh efek obat
anastesi
- Pasien tampak dibedah
- Pasien tampak perdarahan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Nanda Nic Noc,
2015 pada pasien pre operasi fraktur adalah :
a) Resiko perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
b) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan prosedur tindakan
pembedahan.
3. Data post operasi
Data subyektif : - pasien mengeluh nyeri pada daerah pembedahan
- pasien mengatakan mengatakan lemas.
Data obyektif : - adanya luka post operasi
- pasien tampak lemas
- pasien tampak mampu menggerakan ektremitasnya atas
dan bawah,
- pasien tampak bertanya-tanya tentang keadaaannya.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Carpenito, L.J
(2000) pada pasien pre operasi fraktur adalah :
a) Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik (prosedur pembedahan)
b) Resiko cedera fisik berhubungan dengan zat kimia farmakologi
(general anastesi)
Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
Pre Operatif Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji skala nyeri, intensitas, 1. Mengetahui skala, intensitas,
keperawatan selama 1 x 2 frekuensi, lokasi, waktu dan frekuensi, lokasi, waktu dan
1. Nyeri akut jam diharapkan nyeri akut penyebab nyeri penyebab nyeri serta menentukan
berhubungan dengan dapat terkontrol atau tindakan selanjutnya.
agen cedera biologis berkurang dengan kriteria: 2. Monitor TTV pasien
(infeksi) 1. Mampu mengontrol 2. Mengetahui keadaan umum
nyeri pasien
2. Menyatakan nyeri 3. Ajarkan teknik distraksi dan
berkurang dari relaksasi nafas dalam 3. Melemaskan otot-otot sehingga
sebelumnya yaitu 1-2 tubuh menjadi relax
dengan skala nyeri yang 4. Kolaborasi dalam pemberian
diberikan 1-10 aanalgetik 4. Obat analgetik merupakan obat
3. Mampu mengenali nyeri untuk mengurangi rasa nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda-
tanda nyeri)
4. Pasien menjadi relax
5. TTV dalam batas normal
yaitu: TD: 110-120/70-
80x/mnt, N: 60-
100x/mnt, RR: 16-
24x/mnt, S: 36-37,5 oC

2. Ansietas Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TTV pasien 1. Mengetahui keadaan umum
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 2 pasien
krisis situasional jam diharapkan ansietas 2. Kaji tingkat kecemasan pasien
(tindakan pasien berkurang dengan 2. Mengetahui tingkat kecemasan
pembedahan) kriteria: pasien
1. Mampu menyatakan 3. Berikan penjelasan mengenai
bahwa ansietas prosedur pembedahan 3. Penjelasan mengenai prosedur
berkurang pembedahan dapat memberikan
2. Pasien tampak tenang informasi dan menambah
dan relax pengetahuan pasien dan keluarga.
3. TTV dalam batas normal 4. Ajarkan teknik relaksasi nafas
yaitu: TD: 110-120/70- dalam 4. Dapat membantu pasien menjadi
80x/mnt, N: 60- relax
100x/mnt, RR: 16-
24x/mnt, S: 36-37,5 oC

Intra Operatif Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TTV pasien 1. Mengetahui keadaan umum
keperawatan selama 1 x 2 pasien
1. Kekurangan volume jam diharapkan kekurangan 2. Pantau dan catat kehilangan
cairan berhubungan volume cairan tidak terjadi cairan pasien 2. Kehilangan cairan yang berlebih
dengan prosedur dengan kriteria: dapat membuat pasien terkena
pembedahan mayor 1. Tidak ada tanda-tanda syok hipovolemik
dehidrasi 3. Monitor status hidrasi
2. Turgor kulit elastic, (kelembaban membrane 3. Mengetahui status pasien apakah
mukosa bibir lembab mukosa, nadi adekuat, turgor mengalami dehidrasi atau tidak
3. Tidak terjadi perdarahan kulit)
yang berlebih
4. TTV dalam batas normal 4. Kolaborasi dalam pemberian 4. Mempertahankan keseimbangan
yaitu: TD: 110-120/70- cairan infuse RL 500 ml makro cairan
80x/mnt, N: 60- 20 tpm (i.v./set)
100x/mnt, RR: 16-
24x/mnt, S: 36-37,5 oC

2 Resiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TTV pasien 1. Mengetahui keadaan umum
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 2 pasien
tindakan jam diharapkan perdarahan
pembedahan tidak terjadi dengan kriteria 2. Monitor status hidrasi 2. Mengetahui status pasien
hasil : (kelembaban membran mukosa, mengalami dehidrasi atau tidak
1. Tidak ada hematuria dan nadi adekuat, turgor kulit dan
hematemesis warna kulit
2. Tidak ada tanda-tanda 3. Mempertahankan keseimbangan

syok 3. Delegatif dalam pemberian cairan dalam tubuh pasien

3. TTV dalam batas normal cairan infuse RL 500 ml makro


yaitu : TD: 110-120/70- 20 tpm
80x/mnt, N: 60-
100x/mnt, RR: 16-
24x/mnt, S: 36-37,5 oC

Post Operatif Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji skala nyeri, intensitas, 1. Mengetahui skala, intensitas,
keperawatan selama 1 x 2 frekuensi, lokasi, waktu dan frekuensi, lokasi, waktu dan
1. Nyeri akut jam diharapkan nyeri akut penyebab nyeri penyebab nyeri serta menentukan
berhubungan dengan dapat terkontrol atau tindakan selanjutnya.
agen cedera fisik berkurang dengan kriteria: 2. Monitor TTV pasien
1. Mampu mengontrol 2. Mengetahui keadaan umum
nyeri pasien
2. Menyatakan nyeri 3. Ajarkan teknik distraksi dan
berkurang dari relaksasi nafas dalam 3. Melemaskan otot-otot sehingga
sebelumnya yaitu 1-2 tubuh menjadi relax
dengan skala nyeri yang 4. Kolaborasi dalam pemberian
diberikan 1-10 aanalgetik 4. Obat analgetik merupakan obat
3. Mampu mengenali nyeri untuk mengurangi rasa nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda-
tanda nyeri)
4. Pasien menjadi relax
5. TTV dalam batas normal
yaitu: TD: 110-120/70-
80x/mnt, N: 60-
100x/mnt, RR: 16-
24x/mnt, S: 36-37,5 oC

3. Resiko cedera Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor keamanan dan fungsi 1. Mengetahui keamanan alat-alat
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 2 alat-alat medis yang terpasang medis yang terpasang pada pasien
zat kimia agen jam diharapkan tidak terjadi dengan pasien
farmakologi (obat cedera dengan kriteria: 2. Membuat pasien nyaman
anestesi) 1. Pasien terbebas dari 2. Sediakan tempat tidur yang
cedera nyaman dan aman untuk pasien
2. Mampu menggunakan 3. Memudahkan dalam
fasilitas kesehatan yang 3. Fiksasi roda brankar saat memindahkan pasien dan
ada memindahkan pasien meminimalisir kemungkinan
terjadinya cedera
4. Pasang side rail tempat tidur 4. Menjada pasien agar tetap aman
di tempat tidur.
4. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor TTV pasien 1. Mengetahui keadaan umum
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 2 pasien
prosedur invasif jam diharapkan infeksi tidak 2. Pertahankan teknik aseptic dan
terjadi dengan kriteria: steril (cuci tangan dan 2. Mencegah terjadinya infeksi
1. Tidak ada tanda-tanda menggunakan APD saat bakteri
infeksi (kalor, dolor, melakukan tindakan
rubor, tumor, keperawatan)
fungsilaesa)
2. Tidak ada tanda-tanda 3. Lakukan perawatan luka 3. Menjaga luka tetap bersih
infeksi sehingga mengurangi resiko
infeksi bakteri
4. Kolaborasi dalam pemberian 4. Mencegah terjadinya infeksi
antibiotik
A. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Implementasi dimulai setelah rencana
intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu pasien
mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2010).

B. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan, supaya hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana tujuan
yaitu:
a. Pre operatif
1. Nyeri akut dapat terkontrol
2. Ansietas dapat teratasi
b. Intra operatif
1. Kekurangan volume cairan tidak terjadi
2. Syok hipovolemik tidak terjadi
c. Post operatif
1. Nyeri akut dapat terkontrol
2. Tidak terjadi cedera
3. Tidak terjadi infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Bruner dan Suddarth. ( 2011 ). Buku Ajaran KMB. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Baradero, Mary., Dayrit, M.W., & Siswadi, Y. (2009). Prinsip & praktik
keperawatan perioperatif. Jakarta: EGC.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., Setiowulan, W., Wicaksono, A.,


Hamsah, A., dkk. (2010). Kapita selekta kedokteran (Edisi III).
Jakarta : Media Aesculapius.

Nuratif & Kusuma. (2015).Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc. Yogjakarta:


Medicatin Publisin.

Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan: konsep & praktik.


Jakarta : Salemba Medika.

Potter, Patricia A., & Perry Anne. G. (2011). Fundamental keperawatan : konsep,
proses dan praktik (Edisi 4, volume 1). Jakarta: EGC.

Potter, Patricia A., & Perry Anne. G. (2011). Fundamental keperawatan : konsep,
proses dan praktik (Edisi 4, volume 2). Jakarta: EGC.

Price, Sylvia Anderson & Wilson, L.M. (2010). Patofisiologi: konsep klinis
proses – proses penyakit (Edisi 6). Jakarta : EGC.

Smeltzer & Bare. (2011). Buku ajar keperawatan medikal bedah (Edisi 8, volume
1). Jakarta : EGC.

Smeltzer & Bare. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah (Edisi 8, volume
3). Jakarta : EGC.
Sylvia a. Price. (2015). Fraktur dalam buku Patofiologi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteranm EGC. Halaman 472-474.

Anda mungkin juga menyukai