Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

DIAGNOSIS DAN PENANGANAN TERBARU TUBERKULOSIS


RESISTEN OBAT (RO)

Pembimbing :

dr. Johannes R.S. Sp.P

Penyusun :

Agus Bonardo

NIM : 1865050012

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Periode 24 Febuari 2020 – 2 Mei 2020

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

2020
KATA PENGANTAR

S
egala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena terselesaikannya referat yang berjudul
“Diagnosis dan Penanganan Terbaru Tuberkulosis Resisten
Obat”. Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran,
serta diajukan guna memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan
Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Universitas Kristen
Indonesia.
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr.
Johannes R.S. Sp.P yang telah memberikan dorongan, bimbingan
dan pengarahan dalam pembuatan referat ini. Penyusun juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan referat ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini


masih jauh dari sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa,
maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan
penyusunan referat ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini.
Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2020


Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

Pendahuluan 3

Epidemiologi 4

Faktor-Faktor Penyebab Resistensi 4

Mekanisme Resistensi 6

Diagnosis 9

Penatalaksanaan dan Pemilihan Regimen 11

Mono Resisten 11

Poli Resisten 12

Multi Drug Resistant (MDR) 13

Extensively Drug Resistant (XDR) 24

Penelitian Obat TB Terbaru 26


Hasil Pengobatan 27
Tatalaksana Pembedahan 27
Pencegahan 28
Prognosis 29
Kesimpulan 30
Daftar Pustaka 31
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT

I. PENDAHULUAN
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Hasil surveilans secara global menemukan bahwa OAT
yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah menyebar dan
mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara
Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia
dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di negara berkembang
prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.5
Menurut WHO pada Global TB Program 2015, Indonesia
menempati urutan kedua diantara 30 negara dengan beban TB yang
tinggi, dengan insidensi 1.000.000 kasus TB pertahun atau mencapai
10,3% kasus TB global. Untuk kasus TB resistan obat, Indonesia
menempati urutan ke 7 dari 30 negara dengan beban TB MDR yang
tinggi. World Health Organization pada tahun 2011 menggunakan
angka 2% untuk kasus baru dan 12% untuk kasus pengobatan ulang
untuk memperkirakan kasus TB-MDR di Indonesia.

II. DEFINISI
Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis) tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT
yang dipakai saat ini. Resistensi ini dimulai dari yang sederhana
yaitu mono resistan sampai dengan Multi Drug Resistant (MDR) dan
eXtensively Drug Resistant (XDR). Terdapat lima jenis kategori
resistensi terhadap OAT, yaitu:
A. Mono resisten : Resistensi terhadap salah satu OAT,
misalnya resisten terhadap INH saja, atau rifampisin saja,
dll.
B. Poli resisten : Resistensi terhadap lebih dari satu OAT,
selain isoniazid (H) bersama rifampisin (R), misalnya
resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S, dll.
C. Multi drug resistant (MDR) : Resisten terhadap sekurang-
kurangnya isoniazid (H) dan rifampisin (R), secara
bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya : HR, HRE, HRES.
D. Extensively drug resistant (XDR) : TB-MDR disertai
resistensi terhadap salah satu obat golongan fluoroquinolon
dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
Kanamisin, dan Amikasin).
E. TB Resistant Rifampicin (TBRR) : resistan terhadap
rifampisin (mono- resistance, poli-resistance, TB MDR, TB
XDR) yang terdeteksi dengan menggunakan metode fenotip
dan genotip dengan atau tanpa resistan terhadap OAT
lainnya.

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi tiga :

A. Resistensi primer : Resistensi yang terjadi Mycobacterium


tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki
riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan
OAT, namun kurang dari 1 bulan.
B. Resistensi sekunder : Pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan.
C. Resistensi inisial : Bila tidak diketahui pasti apakah pasien
sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum
pernah.1

III. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RESISTENSI


Kegagalan pada pengobatan TB resisten obat akan
menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman
Mycobacterium tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan
pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB
resisten obat pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,
sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang
menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB resisten obat ke
orang lain.5,6

Lima Celah Penyebab Terjadinya TB-MDR (“SPIGOTS” ) :

A. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan


mutan resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi
resisten terhadap OAT lini pertama
B. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan
diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi
obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit
tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien
C. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka
pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman.
Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
D. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman
tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek
dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini
menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan
obat yang tidak multipel dan tidak efektif
E. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi
sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksious. 1

Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal


penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT, yaitu:
A. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
B. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis
obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah
terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya
memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan
resistensi terhadap kedua obat tersebut.
C. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan
dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan
berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali
selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian
seterusnya.
D. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak
berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten saja.
E. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak
dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas
obat.
F. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.7,8

IV. MEKANISME RESISTENSI


Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi
genetik, dan hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan.
Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi
OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur Mycobacterium
tuberculosis wild type tidak terpajan. Diantara populasi
Mycobacterium tuberculosis wild type ditemukan sebagian kecil
mutasi resisten OAT. Resisten lebih dari satu OAT jarang
disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat
yang tidak adekuat. Populasi galur Mycobacterium tuberculosis
resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati,
tetapi terapi OAT yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan
meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka
pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten
terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi.
Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan Mycobacterium
tuberculosis sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Penularan
galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus
resistensi obat baru.8

V. DIAGNOSIS

Kriteria terduga TB resistan obat :

1. Pasien TB gagal dengan pengobatan kategori II


2. Pasien TB pengobatan kategori II yang tidak konversi
setelah 3 bulan pengobatan

3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang


tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi
lini kedua minimal selama satu bulan

4. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal

5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3


bulan pengobatan

6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2

7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai


berobat/ default)

8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan


pasien TB MDR

9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara baik


klinis maupun bakteriologis dengan pemberian OAT (bila
penegakkan diagnosis awal tidak menggunakan GeneXpert)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M. tuberculosis


dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu
metode konvensional dan metode tes cepat (rapid test).

A. Metode konvensional

-  Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau


media cair (MGIT).
-  Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama
dan OAT lini kedua

B. Tes cepat (rapid test).

- Menggunakan Xpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan


GeneXpert.
- Merupakan tes amplikasi asam nukleat secara otomatis
sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk
rifampisin.
- Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang
lebih 2 jam.
- Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin -
Menggunakan Line probe assay (LPA):
- Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR pluso Hasil
pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 -
48 jam, tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya
yang ada.Digunakan untuk uji kepekaan terhadap
Rifampisin dan Isoniasid
VI. ALUR TATALAKSANA TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT

gambar 1. Alur tatalaksana TB RO

A. KLASIFIKASI DAN TIPE PASIEN TB RO

Klasifikasi pasien TB Resistan obat mengikuti klasifikasi baku


untuk pasien TB, yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi penyakit:
1. Paru: apabila kelainan ada di dalam parenkim paru.
2. Ekstra paru: apabila kelainan ada pada organ di luar
parenkim paru, dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis resistan obat dari sampel pemeriksaan yang
diambil di luar parenkim paru.
Catatan: Bila dijumpai kelainan di paru maupun di luar paru
maka pasien di registrasi sebagai pasien TB RR/TB MDR dengan
klasifikasi TB RR/TB MDR Paru.
b. Pasien TB RR/TB MDR diregistrasi sesuai dengan
klasifikasi pasien berdasar riwayat pengobatan sebelumnya,
sebagai berikut:
1. Pasien baru: pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau pernah di obati
menggunakan OAT kurang dari 1 bulan
2. Pengobatan ulang:
I. Kasus gagal pengobatan kategori 1: pasien
memperoleh pengobatan dengan paduan kategori 1
dengan hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
II. Kasus gagal pengobatan kategori 2: pasien yang
memperoleh pengobatan ulangan dengan paduan
kategori 2 dengan hasil pemeriksaan dahaknya
positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke
lima atau lebih selama pengobatan. Hal ini
ditunjang dengan rekam medis yang
menunjukkan adanya riwayat pengobatan TB
sebelumnya.
III. Kasus kambuh (relaps): pasien TB yang
sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap yang kemudian didiagnosis kembali sebagai
kasus TB rekuren berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis dahak baik secara mikroskopis, biakan
atau tes cepat.
IV. Kasus lalai berobat/ default/ loss to follow-up:
pasien yang kembali berobat setelah loss to follow-
up / berhenti berobat paling sedikit 2 bulan baik
dengan pengobatan kategori-1 atau kategori-2 serta
hasil pemeriksaan bakteriologis menunjukkan hasil
positif baik secara mikroskopis, biakan atau tes cepat.
V. Pernah diobati namun tidak diketahui hasilnya:
pasien yang telah mendapatkan pengobatan TB > 1
bulan tetapi hasil pengobatannya tidak diketahui atau
tidak terdokumentasi
B. MULTI DRUG RESISTANT (MDR)

TB MDR MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN


TB RESISTAN OBAT (MTPTRO)

 TBC resistan Obat adalah TBC yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami
kekebalan terhadap OAT.
 Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) atau TBC
MDR adalah TBC resistan Obat terhadap minimal 2 (dua)
obat anti TBC  yang paling poten yaitu INH dan Rifampisin
secara bersama sama atau disertai resisten terhadap obat anti
TBC lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin
dan pirazinamid.
 Extensively Drug Resistant Tuberculosis atau XDR TBC
adalah TBC MDR disertai dengan kekebalan terhadap obat
anti TBC lini kedua yaitu golongan fluorokuinolon dan
setidaknya satu  obat anti TBC lini kedua suntikan seperti
kanamisin, amikasin atau kapreomisin.

Penularan kuman TBC resistan obat, TBC MDR maupun


TBC XDR adalah sama seperti penularan kuman TBC yang
tidak resistan obat pada umumnya. Orang yang tertular
(terinfeksi) kuman TBC Resistan obat, TBC MDR atau TBC
XDR dapat berkembang menjadi “sakit TB” dan akan
mengalami“ sakit TBC MDR” dikarenakan yang ada di dalam
tubuh pasien tersebut adalah kuman TBC MDR. Pasien TBC
MDR dapat menularkan kuman TBC yang resistan obat kepada
masyarakat disekitarnya.
Resistan terhadap obat anti TBC dapat terjadi pemberian
obat yang tidak tepat yaitu pasien tidak menyelesaikan pengobatan
yang diberikan, petugas kesehatan memberikan pengobatan yang
tidak tepat baik paduan, dosis, lama pengobatan dan kualitas
obat,demikian pula adanya kendala suplaiobat yang tidak selalu
tersedia.
TBC Resistan obat dapat mengenai siapa saja, akan tetapi
biasanya terjadi pada orang yang:

 Tidak menelan obat TBC secara teratur atau seperti yang


disarankan oleh petugas kesehatan
 Sakit TBC berulang serta mempunyai riwayat mendapatkan
pengobatan TBC sebelumnya
 Datang dari wilayah yang mempunyai beban TBC Resistan
obat yang tinggi
 Kontak erat dengan seseorang yang sakit TBC Resistan
Obat, TBC MDR, atau TBC XDR.

1. Diagnosis TBC Resistan Obat, TBC MDR dan  TBC


XDR

Diagnosis TB Resistan obat, TBC MDR dan TBC XDR


dilakukan dengan menggunakan tes cepat dengan metode PCR
(Xpert MTB/RIF), pemeriksaan biakan serta uji kepekaan kuman
terhadap obat TBC (Drugs Sensitivity Test/DST).
2. Pengobatan TBC Resistan Obat, TBC MDR dan TBC
XDR

Pengobatan TBC Resistan Obat, TBC MDR, dan TBC XDR


lebih sulit jika dibandingkan dengan pengobatan kuman TBC yang
masih sensitif. Angka keberhasilan pengobatan tergantung kepada
seberapa cepat kasus TB resistan obat ini teridentifikasi dan
ketersediaan pengobatan yang efektif. TBC resitan obat dan TBC
MDR dapat disembuhkan, meskipun membutuhkan waktu sekitar
18-24 bulan. Harga obat TBC lini kedua jauh lebih mahal (± 100
kali lipat dibandingkan pengobatan TBC biasa) dan penanganannya
lebih sulit. Selain paduan pengobatannya yang rumit, jumlah
obatnya lebih banyak dan efek samping yang disebabkan juga lebih
berat.
Pengobatan TBC XDR lebih sulit lagi karena kuman TBC
telah kebal terhadap OAT lini pertama maupun lini kedua sehingga
pilihan paduan OAT TBC XDR sangat terbatas. Meskipun demikian
di beberapa negara yang banyak ditemukan pasien TBC XDR
melaporkan keberhasilan pengobatan sebesar 50-60 % tergantung
dari seberapa berat penyakitnya, status imunitas pasien serta berapa
banyak OAT lini pertama dan kedua yang sudah tidak dapat lagi
digunakan karena kuman TBC telah kebal. 

3. Pencegahan terjadinya TBC resistan obat, TBC MDR


dan TBC XDR

 Kunci pencegahan TBC MDR adalah dengan mendiagnosis


secara dini setiap terduga TBC resistan obat dan dilanjutkan
dengan pengobatan dengan OAT lini kedua sesuai standar.
Pengobatannya harus dipantau kepatuhan dan ketuntasannya,
serta harus dilaporkan kedalam system surveilans.
 Pengobatan TBC dengan tatalaksana yang tidak standar baik
dalam hal paduan, lama dan cara pemberian pengobatan dapat
menjadi factor pencetus untuk meningkatnya jumlah kasus TBC
resistan obat dan TBC MDR. Penggunaan obat anti TBC lini
kedua (missal siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin,
kanamisin dll) secara sembarangan dapat dapat memicu 
munculnya TBC XDR.
 Untuk mencegah penularan kuman TBC MDR, pencegahan dan
pengendalian infeksi yang tepat harus dilakukan disetiap
fasyankes yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
TBC Resistan obat, TBC MDR/ XDR, termasuk juga menjaga
lingkungan tempat tinggal pasien TBC Resistan obat, TBC
MDR/ XDR.

4. Manajemen Terpadu Pengendalian TBC Resistan Obat


(MTPTRO) atau Programmatic Management of Drug
Resistant TB (PMDT)

 MTPTRO adalah kegiatan yang bertujuan untuk menangani pasien


TBC resistan obat, TBC MDR, dan TBC XDR. Strategi kegiatan ini
didasarkan pada 5 komponen DOTS yaitu :
o Komitmen politis berkesinambungan untuk meningkatkan
sumberdaya manusia dan sumberdaya keuangan dalam
penanganan TBC MDR.
o Diagnosis berkualitas melalui tes cepat dengan metode PCR
(Xpert MTB/RIF), pemeriksaanbiakan dan uji kepekaan
obat (DST) yang terjamin mutunya untuk deteksi kasus pada
orang yang diduga (suspek) TBC Resistan obat.
o Pengawasan menelan obat secara langsung menggunakan
paduan OAT lini kedua.
o Ketersediaan OAT lini kedua secara berkesinambungan.
o Sistem pencatatan dan pelaporan yang memastikan penilaian
terhadap hasil keluaran setiap pasien dan penilaian terhadap
program DOTS secara keseluruhan.

 Dua tujuan utama MTPTRO adalah;


o Mencegah terjadinya kasus TBC Reistan obat melalui
pelayanan DOTS yang bermutu
o Melaksanakan manajemen kasus TBC Resistan Obat secara
terstandarisasi4,5
 Komponen utama dalam MTPTRO:
o Diagnosis dengan menggunakan kultur dan uji kepekaan
obat di laboratorium yang tersertifikasi oleh Laboratorium
Supranasional;
o Pengobatan TBC Resistan Obat (TB MDR) yang
terstandarisasi yang dilakukan oleh Tim Ahli Klinis di RS
Rujukan TBC MDR;
o Pelayanan di fasilitas layanan rawat jalan penuh, kecuali jika
kondisi klinis pasien memburuk dan terdapat keputusan tim
ahli klinis untuk dirawat inap; dan
o Pengawasan menelan obat secara langsung setiap hari oleh
petugas kesehatan.6,7
 MTPTRO memerlukan dukungan dan keterlibatan aktif dari para
pemangku kepentingan di berbagai tingkatan mulai dari tingkat
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
 Perkembangan MTPTRO di Indonesia semakin tahun semakin
meningkat, salah satunya dengan semakin banyakanya Rumah Sakit/
Balai Layanan Kesehatan TB RO. Seluruh Provinsi di Indonesia (34
Provinsi) sudah memiliki minimal satu (1) Rumah Sakit/ Balai
Layanan Kesehatan TB RO.
 Dukungan pemerintah untuk terus menyediakan layanan TB RO
secara universal adalah dengan adanya Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/350/2017 tentang Rumah
Sakit dan Balai Kesehatan Pelaksana Layanan Tuberkulosis Resistan
Obat
 Hingga tahun 2019, terdapat 198 RS/ Balkes Layanan TB RO yang
telah beroperasional dan tersebar di 34 Provinsi di Indonesia.
Pengobatan standar :
Data drugs resistancy survey (DRS) dari
populasi pasien yang representatif digunakan
sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak
tersedianya hasil uji kepekaan individual.
Seluruh pasien akan mendapatkan regimen
pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai
TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji
kepekaan.6
Pengobatan empiris :
Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan
riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan
data hasil uji kepekaan populasi representatif.
Biasanya regimen empiris akan disesuaikan
setelah ada hasil uji kepekaan individual.6
Pengobatan individual :
Regimen pengobatan berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji
kepekaan.6
1. Paduan Obat TB-MDR
Tabel 4. Regimen terapi untuk TB-MDR

Panduan Pengobatan TB MDR di Indonesia dapat dibagi dalam dua


kategori yaitu :

1. Rejimen Standar
a. Rejimen TB RO standar (20-26 bulan)

Catatan : Ethambutol diberikan bila masih sensitif dari hasil


pemeriksaan resistensi obat / Drug Sensitivity Test (DST)

b. Rejimen TB RO standar jangka pendek / shorter regiment (9-11

bulan)

2. Rejimen Individual
a. OAT individual untuk pasien TB MDR yang resisten atau alergi
terhadap fluorokuinolon tetapi sensitif terhadap OAT lini kedua
(Pre XDR) Pasien Baru :

Pasien Pengobatan Ulang :

b. OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi


terhadap OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap
fluorokuinolon (Pre-XDR) Pasien Baru:

Pasien Pengobatan Ulang :


c. Paduan OAT individual untuk pasien TB XDR

Efek Samping Obat


Berbagai jenis efek samping dan kemungkinan OAT penyebab dapat dilihat pada tabel 2.

2. Pengobatan Ajuvan Pada TB-MDR


a. Pemberian tambahan zat gizi
 Pengobatan TB-MDR pada pasien dengan status gizi kurang akan
lebih berhasil bila diberi tambahan zat gizi protein, vit dan
mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll).

23
 Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon
karena akan mengganggu absorbsi obat, berikan masing-masing
dengan jarak minimal 4 jam. 6
b. Kortikosteroid
 Kortikosteroid diberikan pada pasien TB-MDR dengan gangguan
respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis.
Prednison digunakan 1 mg/kg dan diturunkan (tappering off)
apabila digunakan dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid juga
digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik
eksaserbasi. 6

3. Resistensi Silang
Pada pengobatan TB-MDR harus dipertimbangkan resistensi silang
dalam memilih jenis OAT yaitu suatu resistensi terhadap suatu antibiotik dapat
menyebabkan resisten terhadap semua derivatnya. Tidak efektif memberikan
OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi
resistensi silang.
a. Tionamid dan Tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi
terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan.
Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason,
galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif
dengan etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap
etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason
pada lebih dari 70% kasus.

b. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif
terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap
kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisisn dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif
terhadap kapreomisin.

Kesimpulan :

24
 Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau
amikasin
 Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
c. Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya
penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang
lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn
ofloksasin di masa datang.

d. Sikloserin dan Terizidon


Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak
terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.

4. Pemantauan dan Hasil Pengobatan


Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB
(batuk, berdahak, demam dan BB menurun) umumnya membaik dalam
beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respon pengobatan adalah
konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB-MDR dapat diperoleh
setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada
fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB-
MDR adalah:
a. Penilaian klinis termasuk berat badan
b. Penilaian segera bila ada efek samping
c. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan
pada fase lanjutan
d. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi
biakan
e. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan
akan kegagalan pengobatan
f. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat
suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin)
g. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda
hipotiroid.6

5. Pengobatan TB-MDR Pada Keadaan Khusus

25
a. Pengobatan TB-MDR pada wanita usia subur
1) Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan
kehamilan.
2) Pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia
produktif yang akan mendapat pengobatan TB-MDR. 2,6
b. Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil
1) Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB-MDR
tetapi sampai saat ini keamanannya belum diketahui.
2) Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini.
3) Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama
sehingga pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester
kedua. 2,6
c. Pengobatan TB-MDR pada ibu menyusui
1) Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB-
MDR harus mendapat pengobatan penuh.
2) Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI
dengan konsentrasi yang lebih kecil.
3) Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa
waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu
menggunakan masker. 2,6

d. Pengobatan TB-MDR dengan diabetes melitus


1) Pengobatan pasien TB-MDR Diabetes melitus bisa
memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal
dan neuropati perifer.
2) Obat-obatan hipoglikemi oral tidak merupakan kontraindikasi
selama pengobatan TB-MDR, tetapi mungkin memerlukan
dosis yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus.
3) Penggunaan etionamid lebih sulit penanganannya.
4) Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu
selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya
sekali sebulan. 2,6

e. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan ginjal


1) Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan
ginjal harus dilakukan dengan hati-hati

26
2) Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu
selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya
sekali sebulan
3) Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus
disesuaikan dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal).
2,6

f. Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan hati


1) OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT
lini pertama.
2) Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat
pengobatan TB-MDR jika tidak ada bukti klinis penyakit hati
kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu
atau pemakaian alkohol berlebihan.
3) Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas
sehingga harus lebih diawasi.
4) Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan
Pirazinamid.
5) Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika
kadar enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan
kepada tim penasehat terapi.
6) Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB-MDR selama
hepatitis akut, kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis
merupakan pilihan yang paling aman. 2,6
g. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan kejang-kejang
1) Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah
menelan obat anti kejang.
2) Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian
pengobatan anti kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan.
3) Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini.
4) Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya
harus diatasi.
5) sikloserin harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan
kejang yang aktif dan tidak cukup terkontrol dengan
pengobatan dengan gangguan psikiatris. 2,6

27
C. EXTENSIVELY DRUG RESISTANT (XDR)
Penatalaksanaannya lebih sulit dibandingkan TB-MDR terlebih lagi bila
terjadi pada pasien dengan HIV. Belum banyak laporan pendekatan manajemen
pasien dengan TB-XDR. Pedoman yang diberikan oleh WHO antara lain: 3

1. Gunakan obat kelompok 1 yang masih efektif.


2. Gunakan obat injeksi yang susceptible dan pertimbangkan
memperpanjang durasi penggunaan (mencapai 12 bulan atau selama
keseluruhan pengobatan). Bila pasien resisten terhadap semua obat injeksi
dianjurkan untuk menggunakan yang belum pernah digunakan.
3. Gunakan flouroquinolon generasi terakhir seperti moxifloxacin.
4. Gunakan obat pada kelompok 4 yang belum pernah digunakan pada
regimen pengobatan sebelumnya
5. Gunakan dua atau lebih obat dari kelompok 5
6. Pertimbangkan penggunaaan isoniazid dosis tinggi
7. Pertimbangkan terapi pembedahan ajuvan
8. Lakukan kontrol terhadap infeksi
9. Penanganan HIV
10. Lakukan monitoring yang menyeluruh.

28
Gambar 1. Langkah-langkah penyusunan regimen terapi untuk XDR-TB9

29
VII. PENELITIAN OBAT TB TERBARU
Bedaquiline merupakan obat anti-TB terbaru setelah rifampisin diperkenalkan
pada tahun 1970. Bedaquiline bekerja dengan menghambat enzim bakteri yang penting untuk
kehidupan bakteri. Dr. Edward Cox MPH, direktur dari Office of Antimicrobial Products in
the FDA's Center for Drug Evaluation and Research mengatakan bahwa TB-MDR merupakan
salah satu ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan bedaquline merupakan salah
satu pilihan terapi pada saat pasien sudah tidak memiliki pilihan terapi lagi. Namun, karena
pemberian terapi menggunakan bedaquiline memiliki beberapa risiko, seperti risiko
pemanjangan interval QT, hepatotoksisitas, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, dokter
hendaknya menggunakan obat ini dengan tepat dan berhati-hati dan hanya pada pasien yang
tidak memiliki pilihan terapi lagi. Indikasi yang diberikan untuk bedaquiline ini adalah sebagai
terapi TB paru yang disebabkan oleh MDR Mycobacterium tuberculosis pada pasien dewasa,
dan pemberiannya harus dilakukan dengan pengamatan yang ketat.8,9

Efektivitas bedaquiline untuk TB-MDR ini berdasarkan data dari 2 penelitian


yang melibatkan 440 pasien dengan TB-MDR, yaitu TB yang resisten terhadap rifampisin dan
isoniazid. Dalam penelitian acak terkontrol, bedaquiline menghasilkan konversi kultur yang
lebih cepat 33% (bermakna) dalam 24 minggu, yang terjadi pada kurang lebih 79% pasien
yang diterapi dengan bedaquiline, baik dalam penelitian kontrol plasebo dan penelitian terbuka
yang dilakukan. Masalah mengenai keamanan obat yang dikhawatirkan adalah peningkatan
risiko pemanjangan interval QT, hepatotoksisitas, dan jumlah kematian pasien yang lebih
banyak pada pasien yang diterapi dengan bedaquiline dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Namun walau demikian, jumlah pasien yang meninggal sedikit, dan paling tidak 50% pasien
yang meninggal disebabkan karena TB itu sendiri, namun perbedaan tersebut bermakna antara
kelompok terapi bedaquiline dengan plasebo (12,7% vs 2,5%). 8,9

Pemasaran bedaquiline akan disertai dengan box waring yang mengingatkan para
ahli kesehatan untuk berhati-hati memberikan bedaquiline karena dapat menyebabkan
pemanjangan interval QT dan risiko kematian pada pasien yang diterapi dengan bedaquiline.
Guideline terbaru merekomendasikan dosis 400 mg per oral  sekali sehari selama 2 minggu,
diikuti dengan 200 mg 3 kali seminggu selama 22 minggu, diberikan per oral bersama dengan
makanan. 12,13

30
VIII. HASIL PENGOBATAN
A. Sembuh : Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan
telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak
yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu
kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti
klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang
positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang
diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari.
B. Pengobatan lengkap : Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol
program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan
bakteriologis.
C. Meninggal : Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR.
D. Gagal : Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12
bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir
hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis
memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons
klinis, radiologis atau efek samping.
E. Lalai/Defaulted : Pasien yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua bulan
atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medic.
F. Pindah : Pasien yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil pengobatan
tidak diketahui. 6

IX. TATALAKSANA PEMBEDAHAN


Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap mulai dari reseksi segmental
sampai pleuro-pneumonektomi. Berdasarkan pengalaman yang ada, tindakan operasi pada
penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka komplikasi yang terjadi
cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang menjadi komplikasi utama.
Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan
tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini direkomendasikan pada penderita yang
hasil terapi dengan obat-obatan cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu: 11,12
1. Kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang
cukup banyak; dan atau
2. Adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau
bertambahnya resistensi; dan atau

31
3. Adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori
dan atau hipertensi pulmonal yang berat.

Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan
regimen obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan.
Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada
meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap
dilanjutkan setelah operasi dilakukan, selama 12-24 bulan, sebaliknya ketahanan hidup yang
jelek mungkin saja terjadi.7,8

X. PENCEGAHAN
A. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain
relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya
kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi
pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC
adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru
TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali,
penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap
TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap
pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal
pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan
ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi
berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman. 2,10,11

B. Strategi DOTS Plus


Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan
strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan
MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji
kepekaan yang terjamin mutunya.

32
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan
yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan
TB-MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan
dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan
memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.6,17

XI. PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada
penderita TB resisten obat. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya
keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT
dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang
aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut. 8, 18

XII. KESIMPULAN
Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus meningkat.
Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan
dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien harus dilakukan penilaian resiko
kemungkinan terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan
pada pasien dengan resiko tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan
penyakit yang berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan
pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TB-XDR dan TB-
TDR. 9,10,
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan
obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua
berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis. Pembedahan
perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum.
Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi. 10,11,12
Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah
tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk
menanggulangi hal ini.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepandi PZ. Diagnosis dan faktor yang mempengaruhi terjadinya tb-mdr. Departemen Pulmonologi
& Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta. 2010. Diunduh dari
http://ppti.files.wordpress.com/2010/01/makalah-dr-priyanti-diagnosis-dan-faktor-yg-
mempengaruhi-tb-mdr.pdf pada tanggal 10 April 2014.
2. Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis. WHO. 2011
3. Modul Pelatihan Inti 1. Penemuan Pasien TB RO. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2014.
4. Modul Pelatihan Inti 2. Pengobatan Pasien TB RO. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2014.
5. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat.
Kementerian Kesehatan RI. 2014
6. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2018.
7. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis. 2016 Update.
8. Departemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kini-lebih-baik.html
pada tanggal 27 April 2014.
9. Chiang CY, Centis R, Migliori GB. Drug-resistant tuberculosis: Past, present, future. Respirology.

34
2010. 15:413-32.
10. Nawas Arifin. Penatalaksanaan tb mdr dan strategi dots plus. Jurnal Tuberculosis Indonesia. 2010.
Vol.7:1-7.
11. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di indonesia. PERPARI.
Jakarta. 2006.
12. Syahrini H. Tuberkulosis paru resistensi ganda. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Adam
Malik Medan FK USU. 2008. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/3375/1/08E00731.pdf pada tanggal 10 April 2014.
13. Sjahrurachman Agus. Diagnosis ” multi drug resistant mycobacterium “ tuberculosis. Departemen
Mikrobiologi FKUI. Diunduh dari http://ppti.info/arsipppti/makalah-prof-agus-Sjahrurrahman-
diagnosis-mdr-e28093xdr-tb.pdf pada tanggal 10 April 2014.
14. International standards for tuberculosis care. 2nd ed. The Hague. Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance. 2009.
15. Chakroborty A. Drug-resistant tuberculosis: an insurmountable epidemic ?. Inflammopharmacol.
2011. 19:131-7.
16. Tucker ME. FDA approves bedaquiline for resistant tb treatment. Diunduh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/776901 pada tanggal 12 April 2014.
17. Barclay L. MDR TB: CDC issues guidelines for use of new drug. Diunduh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/813151 pada tanggal 12 April 2014.

35

Anda mungkin juga menyukai