Pembimbing :
Penyusun :
Agus Bonardo
NIM : 1865050012
2020
KATA PENGANTAR
S
egala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena terselesaikannya referat yang berjudul
“Diagnosis dan Penanganan Terbaru Tuberkulosis Resisten
Obat”. Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran,
serta diajukan guna memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan
Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Universitas Kristen
Indonesia.
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr.
Johannes R.S. Sp.P yang telah memberikan dorongan, bimbingan
dan pengarahan dalam pembuatan referat ini. Penyusun juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan referat ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Pendahuluan 3
Epidemiologi 4
Mekanisme Resistensi 6
Diagnosis 9
Mono Resisten 11
Poli Resisten 12
I. PENDAHULUAN
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Hasil surveilans secara global menemukan bahwa OAT
yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah menyebar dan
mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara
Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia
dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di negara berkembang
prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.5
Menurut WHO pada Global TB Program 2015, Indonesia
menempati urutan kedua diantara 30 negara dengan beban TB yang
tinggi, dengan insidensi 1.000.000 kasus TB pertahun atau mencapai
10,3% kasus TB global. Untuk kasus TB resistan obat, Indonesia
menempati urutan ke 7 dari 30 negara dengan beban TB MDR yang
tinggi. World Health Organization pada tahun 2011 menggunakan
angka 2% untuk kasus baru dan 12% untuk kasus pengobatan ulang
untuk memperkirakan kasus TB-MDR di Indonesia.
II. DEFINISI
Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis) tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT
yang dipakai saat ini. Resistensi ini dimulai dari yang sederhana
yaitu mono resistan sampai dengan Multi Drug Resistant (MDR) dan
eXtensively Drug Resistant (XDR). Terdapat lima jenis kategori
resistensi terhadap OAT, yaitu:
A. Mono resisten : Resistensi terhadap salah satu OAT,
misalnya resisten terhadap INH saja, atau rifampisin saja,
dll.
B. Poli resisten : Resistensi terhadap lebih dari satu OAT,
selain isoniazid (H) bersama rifampisin (R), misalnya
resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-E-S, dll.
C. Multi drug resistant (MDR) : Resisten terhadap sekurang-
kurangnya isoniazid (H) dan rifampisin (R), secara
bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain,
misalnya : HR, HRE, HRES.
D. Extensively drug resistant (XDR) : TB-MDR disertai
resistensi terhadap salah satu obat golongan fluoroquinolon
dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
Kanamisin, dan Amikasin).
E. TB Resistant Rifampicin (TBRR) : resistan terhadap
rifampisin (mono- resistance, poli-resistance, TB MDR, TB
XDR) yang terdeteksi dengan menggunakan metode fenotip
dan genotip dengan atau tanpa resistan terhadap OAT
lainnya.
V. DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
A. Metode konvensional
1. Rejimen Standar
a. Rejimen TB RO standar (20-26 bulan)
bulan)
2. Rejimen Individual
a. OAT individual untuk pasien TB MDR yang resisten atau alergi
terhadap fluorokuinolon tetapi sensitif terhadap OAT lini kedua
(Pre XDR) Pasien Baru :
23
Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon
karena akan mengganggu absorbsi obat, berikan masing-masing
dengan jarak minimal 4 jam. 6
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien TB-MDR dengan gangguan
respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis.
Prednison digunakan 1 mg/kg dan diturunkan (tappering off)
apabila digunakan dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid juga
digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik
eksaserbasi. 6
3. Resistensi Silang
Pada pengobatan TB-MDR harus dipertimbangkan resistensi silang
dalam memilih jenis OAT yaitu suatu resistensi terhadap suatu antibiotik dapat
menyebabkan resisten terhadap semua derivatnya. Tidak efektif memberikan
OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi
resistensi silang.
a. Tionamid dan Tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi
terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan.
Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason,
galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif
dengan etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap
etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason
pada lebih dari 70% kasus.
b. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif
terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap
kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisisn dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif
terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
24
Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau
amikasin
Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
c. Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya
penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang
lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn
ofloksasin di masa datang.
25
a. Pengobatan TB-MDR pada wanita usia subur
1) Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan
kehamilan.
2) Pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia
produktif yang akan mendapat pengobatan TB-MDR. 2,6
b. Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil
1) Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB-MDR
tetapi sampai saat ini keamanannya belum diketahui.
2) Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini.
3) Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama
sehingga pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester
kedua. 2,6
c. Pengobatan TB-MDR pada ibu menyusui
1) Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB-
MDR harus mendapat pengobatan penuh.
2) Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI
dengan konsentrasi yang lebih kecil.
3) Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa
waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu
menggunakan masker. 2,6
26
2) Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu
selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya
sekali sebulan
3) Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus
disesuaikan dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal).
2,6
27
C. EXTENSIVELY DRUG RESISTANT (XDR)
Penatalaksanaannya lebih sulit dibandingkan TB-MDR terlebih lagi bila
terjadi pada pasien dengan HIV. Belum banyak laporan pendekatan manajemen
pasien dengan TB-XDR. Pedoman yang diberikan oleh WHO antara lain: 3
28
Gambar 1. Langkah-langkah penyusunan regimen terapi untuk XDR-TB9
29
VII. PENELITIAN OBAT TB TERBARU
Bedaquiline merupakan obat anti-TB terbaru setelah rifampisin diperkenalkan
pada tahun 1970. Bedaquiline bekerja dengan menghambat enzim bakteri yang penting untuk
kehidupan bakteri. Dr. Edward Cox MPH, direktur dari Office of Antimicrobial Products in
the FDA's Center for Drug Evaluation and Research mengatakan bahwa TB-MDR merupakan
salah satu ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat dan bedaquline merupakan salah
satu pilihan terapi pada saat pasien sudah tidak memiliki pilihan terapi lagi. Namun, karena
pemberian terapi menggunakan bedaquiline memiliki beberapa risiko, seperti risiko
pemanjangan interval QT, hepatotoksisitas, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, dokter
hendaknya menggunakan obat ini dengan tepat dan berhati-hati dan hanya pada pasien yang
tidak memiliki pilihan terapi lagi. Indikasi yang diberikan untuk bedaquiline ini adalah sebagai
terapi TB paru yang disebabkan oleh MDR Mycobacterium tuberculosis pada pasien dewasa,
dan pemberiannya harus dilakukan dengan pengamatan yang ketat.8,9
Pemasaran bedaquiline akan disertai dengan box waring yang mengingatkan para
ahli kesehatan untuk berhati-hati memberikan bedaquiline karena dapat menyebabkan
pemanjangan interval QT dan risiko kematian pada pasien yang diterapi dengan bedaquiline.
Guideline terbaru merekomendasikan dosis 400 mg per oral sekali sehari selama 2 minggu,
diikuti dengan 200 mg 3 kali seminggu selama 22 minggu, diberikan per oral bersama dengan
makanan. 12,13
30
VIII. HASIL PENGOBATAN
A. Sembuh : Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan
telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak
yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu
kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti
klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang
positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang
diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari.
B. Pengobatan lengkap : Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol
program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan
bakteriologis.
C. Meninggal : Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR.
D. Gagal : Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12
bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir
hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis
memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons
klinis, radiologis atau efek samping.
E. Lalai/Defaulted : Pasien yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua bulan
atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medic.
F. Pindah : Pasien yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil pengobatan
tidak diketahui. 6
31
3. Adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru
yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori
dan atau hipertensi pulmonal yang berat.
Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan
regimen obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan.
Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada
meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap
dilanjutkan setelah operasi dilakukan, selama 12-24 bulan, sebaliknya ketahanan hidup yang
jelek mungkin saja terjadi.7,8
X. PENCEGAHAN
A. Pencegahan Terjadinya Resistensi Obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain
relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya
kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi
pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC
adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru
TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali,
penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap
TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap
pengobatan, dan adanya OAT secara gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal
pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan
ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi
berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman. 2,10,11
32
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan
yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan
TB-MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan
dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan
memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.6,17
XI. PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada
penderita TB resisten obat. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya
keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT
dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang
aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut. 8, 18
XII. KESIMPULAN
Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus meningkat.
Faktor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan
dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien harus dilakukan penilaian resiko
kemungkinan terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan
pada pasien dengan resiko tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan
penyakit yang berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan
pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TB-XDR dan TB-
TDR. 9,10,
Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan
obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua
berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis. Pembedahan
perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum.
Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi. 10,11,12
Konsep ”Direcly Observed Treatment Short Course” (DOTS) merupakan salah
satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah
tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk
menanggulangi hal ini.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepandi PZ. Diagnosis dan faktor yang mempengaruhi terjadinya tb-mdr. Departemen Pulmonologi
& Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta. 2010. Diunduh dari
http://ppti.files.wordpress.com/2010/01/makalah-dr-priyanti-diagnosis-dan-faktor-yg-
mempengaruhi-tb-mdr.pdf pada tanggal 10 April 2014.
2. Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis. WHO. 2011
3. Modul Pelatihan Inti 1. Penemuan Pasien TB RO. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2014.
4. Modul Pelatihan Inti 2. Pengobatan Pasien TB RO. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2014.
5. Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat.
Kementerian Kesehatan RI. 2014
6. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2018.
7. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis. 2016 Update.
8. Departemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kini-lebih-baik.html
pada tanggal 27 April 2014.
9. Chiang CY, Centis R, Migliori GB. Drug-resistant tuberculosis: Past, present, future. Respirology.
34
2010. 15:413-32.
10. Nawas Arifin. Penatalaksanaan tb mdr dan strategi dots plus. Jurnal Tuberculosis Indonesia. 2010.
Vol.7:1-7.
11. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di indonesia. PERPARI.
Jakarta. 2006.
12. Syahrini H. Tuberkulosis paru resistensi ganda. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Adam
Malik Medan FK USU. 2008. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/3375/1/08E00731.pdf pada tanggal 10 April 2014.
13. Sjahrurachman Agus. Diagnosis ” multi drug resistant mycobacterium “ tuberculosis. Departemen
Mikrobiologi FKUI. Diunduh dari http://ppti.info/arsipppti/makalah-prof-agus-Sjahrurrahman-
diagnosis-mdr-e28093xdr-tb.pdf pada tanggal 10 April 2014.
14. International standards for tuberculosis care. 2nd ed. The Hague. Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance. 2009.
15. Chakroborty A. Drug-resistant tuberculosis: an insurmountable epidemic ?. Inflammopharmacol.
2011. 19:131-7.
16. Tucker ME. FDA approves bedaquiline for resistant tb treatment. Diunduh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/776901 pada tanggal 12 April 2014.
17. Barclay L. MDR TB: CDC issues guidelines for use of new drug. Diunduh dari
http://www.medscape.com/viewarticle/813151 pada tanggal 12 April 2014.
35