Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan kelainan pada sistem kardiovaskular yang masih


menjadi beban kesehatan di masyarakat global karena prevalensinya yang tinggi
dan memiliki gejala yang berefek panjang dan merugikan (Ariff F et al., 2011).
Data WHO (World Health Organization) 2003 memperkirakan jumlah penderita
hipertensi di seluruh dunia adalah 600 juta orang, dengan 3 juta kematian setiap
tahun, 7 dari setiap 10 orang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat
(Rahajeng et al., 2009).
Hipertensi dikenal sebagai salah satu penyebab utama kematian di
Amerika Serikat (Price et al., 2006), diperkirakan 1 dari 4 orang dewasa
menderita hipertensi (Rahajeng et al., 2009). Menurut Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Departemen Kesehatan Tahun 2007 Hipertensi di Indonesia
mencapai 31,7% dari jumlah penduduk. Data RISKESDAS juga menyebutkan
hipertensi sebagai penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis,
jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab kematian pada semua umur di
Indonesia. Prevalensi hipertensi di Aceh adalah 30,2% dan hanya 33% dari
jumlah kasus tersebut yang terdiagnosa hipertensi (RISKESDAS, 2007).
Kira-kira 90-95 % orang yang menderita hipertensi dikatakan menderita
hipertensi primer yang juga dikenal sebagai hipertensi essensial dimana
penyebabnya tidak diketahui (Guyton and Hall, 2008; Beevers et al, 2001). Pada
kebanyakan kasus, hipertensi merupakan interaksi kompleks antara faktor genetik,
lingkungan dan demografi (Bakri dan Lawrences, 2008). Sedangkan lima persen
adalah penyakit hipertensi sekunder akibat penyakit lain seperti kerusakan
parenkim ginjal atau aldosteronisme primer (Brown, 2007). Hipertensi merupakan
penyakit kronis yang pengobatannya seumur hidup dan perlu dilakukan secara
teratur (WHO, 2003).

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah secara abnormal yang persisten


pada Arteri. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya kecacatan dan
kematian penyakit kardiovaskular. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya
stroke, infark miokard, angina pectoris, gagal jantung, dan gagal ginjal. (Siyad
A.R,2011; Busari et al., 2010; Pujiyanto, 2008). Hipertensi bahkan dapat
menyebabkan menyebabkan kematian awal (Siyad A.R, 2011). Hipertensi sering
disebut sebagai “The Silent Killer“ karena tidak memiliki gejala secara umum
sampai komplikasi yang serius berkembang (Siyad A.R, 2011; Pujiyanto 2008).
Hipertensi essensial atau hipertensi primer adalah hipertensi dimana
penyebabnya tidak diketahui yang terjadi pada ± 90-95% kasus hipertensi
(Beevers, 2001). Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang biasanya
disebabkan oleh penyakit lain. Adanya penyakit penyerta atau menggunakan obat-
obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sekitar 10% penderita hipertensi
mengalami hipertensi tipe ini. (Siyad A.R, 2011; Tagor GM, 2004; Silbernagl et
al, 2006). Penyakit tersering yang menyebabkan hipertensi jenis ini adalah gagal
ginjal (Siyad A.R, 2011; Silbernagl et al., 2006)

2.2 Klasifikasi

The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,


Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) (2004)
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas
menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti
yang tertera pada tabel di bawah ini.
3

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi untuk remaja berumur 18 tahun atau lebih
menurut JNC 7, 2004:

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 – 89
Stage 1 Hipertensi 140 – 159 Atau 90 – 99
Stage 2 Hipertensi ≥ 160 Atau ≥ 100
Sedangkan European Society of Hypertension (ESH) dan European Society
of Cardiology (ESC) tahun 2007 mengklasifikasikan hipertensi seperti tabel yang
tertera dibawah ini (Mancia et al, 2013)
.
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut ESH/ESC 2007:
Kategori Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80


Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi
Derajat 1(ringan) 140-159 dan/atau 90-99
Derajat 2 (sedang) 160-179 dan/atau 100-109
Derajat 3 (berat) ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Isolated systolic hypertension ≥ 140 dan < 90

2.3 Etiologi

Hipertensi Essensial / Primer merupakan hipertensi yang penyebabnya


tidak diketahui. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan
khusus. Hipertensi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Berbeda dengan hipertensi sekunder yang disebabkan oleh faktor primer yang
diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stress akut,
kerusakan vaskuler dan lain-lain. Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat dikontrol. Lebih dari 90% orang dari penyakit hipertensi menderita
hipertensi tipe ini. Resiko relatif hipertensi tergantung dari pada jumlah dan
4

keparahan dari faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor
genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
meliputi stress, obesitas dan nutrisi. Faktor genetik berperan penting pada
hipertensi primer (Siyad A.R, 2011; Tagor, 2004).
Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui
dengan jelas. Secara umum, faktor resiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi
antara lain:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Genetik
Hipertensi primer bersifat diturunkan atau bersifat genetik. Kaplan dikutip
dalam Hendraswari, 2008 menyatakan bahwa kemungkinan untuk
menderita hipertensi pada seseorang yang orang tuanya mempunyai
riwayat hipertensi adalah sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan orang
lain yang tidak mempunyai riwayat hipertensi pada orang tuanya.
Penderita hipertensi tidak selamanya diperoleh dari garis keturunan, tetapi
seseorang memiliki potensi untuk mendapat hipertensi jika orang tuanya
adalah penderita hipertensi (Anies, 2006).
b. Umur
Umumnya tekanan darah akan naik dengan bertambahnya umur terutama
setelah umur 40 tahun. Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan
umur dibawah 40 tahun masih berada dibawah 10%, tetapi di atas umur 50
tahun angka tersebut terus meningkat mencapai 20 - 30%, sehingga ini
sudah menjadi masalah yang serius untuk diperhatikan (Depkes RI dikutip
dalam Hendraswari, 2008).
c. Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria
lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita. Pria
diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan
darah dibandingkan dengan wanita (Kearney et al, 2005). Namun, setelah
memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita tinggi. Bahkan
setelah umur 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi
5

dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Pratiwi


dikutip dalam Hendraswari, 2008). Hasil SKRT 2004 diketahui bahwa
prevalensi hipertensi pada perempuan 16% dan pada laki-laki yaitu 12%.

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


a. Merokok
Merokok terbukti menyebabkan peningkatan denyut nadi yang
menyebabkan peningkatan curah jantung (Cardiac Output) dan tahanan
perifer yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Menurut penelitian,
diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan darah. Nikotin
yang terdapat didalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena
nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah.
Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolic, denyut jantung
bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2
bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada
pembuluh darah perifer (Winniford dalam Hendraswari, 2008).
b. Obesitas
Obesitas adalah meningkatnya massa tubuh karena jaringan lemak yang
berlebihan sehingga meningkatnya kebutuhan metabolik dan konsumsi
oksigen secara menyeluruh, akibatnya curah jantung bertambah. Tingginya
peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya penambahan berat
badan. Peningkatan resiko semakin bertambah parahnya hipertensi terjadi
pada penambahan berat badan tingkat sedang. Penurunan berat badan
sekitar 5kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan (Rasmaliah
et al., 2004).
c. Stress
Stress adalah respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya (Hawari dikutip dalam Hendraswari, 2008).
Peningkatan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai
kecenderungan stress emosional yang tinggi (Pinzon dikutip dalam
Hendraswari 2008). Stress atau ketegangan jiwa dapat merangsang
6

kelenjar Supra renal melepaskan hormon Adrenaline dan memacu jantung


berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan
meningkat (Selpi dikutip dalam Hendraswari 2008).
d. Asupan garam
Garam membantu menahan air dalam tubuh. The American heart
Association step II diet menganjurkan seseorang rata-rata mengkonsumsi
tidak lebih dari 2.400 mg garam per hari. Asupan garam yang berlebihan
dapat menyebabkan peningkatan volume air dan akan meningkatkan
volume darah tanpa adanya penambahan ruang. Peningkatan volume ini
mengakibatkan bertambahnya tekanan di dalam arteri (Budistio dalam
Rasmaliah et al., 2004).
Faktor - faktor yang meningkatkan tekanan darah, seperti obesitas dan
alkohol yang tinggi dan asupan garam, disebut "faktor hypertensinogenic”. Faktor
hypertensinogenic dapat menyebabkan tekanan darah meningkat di atas kisaran,
sehingga menciptakan 4 kemungkinan utama: (1) pasien yang memiliki
mewarisi tekanan darah dalam kategori optimal (120/80 mmHg); jika 1 atau lebih
faktor hypertensinogenic ditambahkan, tekanan darah akan mungkin meningkat
tapi tetap dalam kisaran normal (135/ 85 mmHg) (Gambar 2.1, 2 kolom pertama);
(2) pasien yang telah mewarisi tekanan darah dalam kategori normal (130/ 85
mmHg); jika 1 atau lebih faktor yang hypertensinogenic ditambahkan, tekanan
darah mungkin akan meningkat ke kisaran normal tinggi (130-139/85-89 mmHg)
atau kategori hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg) (Gambar 2.1, 2 kolom
kedua); (3) pasien yang telah mewarisi tekanan darah kategori normal tinggi (130-
139/85-89 mmHg); jika 1 atau lebih faktor hypertensinogenic ditambahkan,
tekanan darah akan meningkat ke kisaran hipertensi (>140/>90mmHg) (Gambar
2.1, 2 kolom ketiga); dan (4) pasien yang telah mewarisi tekanan darah di kisaran
hipertensi; penambahan 1 atau lebih faktor hypertensinogenic akan membuat
hipertensi lebih parah, berubah dari tahap 1 sampai tahap 2 atau 3 (Gambar 2.1,
kolom keempat sampai keenam) (Oparil et al, 2003).
7

Gambar 2.1 Efek faktor hypertensiogenic pada tekanan darah

2.4 Patofisiologi

Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang


mempengaruhi rumus dasar.
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi
esensial antara lain (Price and Wilson, 2005):
a. Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus
hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan
perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel
otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel
otot halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium
intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan
mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin
8

dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan


perifer yang irreversible.
b. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volumecairan
extraseluler dan sekresi rennin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon
glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun
respon dari sistem saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme
(ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi
hati, yang oleh hormone rennin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II
(oktapeptida yang sangat aktif). Angitensin II berpotensi besar
meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor
melalui dua jalur, yaitu:
 Meningkatkan sekresi hormone antidiuretik (ADH) dan rasa
haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitary) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.
Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
disekresikan keluar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume
cairan extraseluler akan ditingkatkan dengan menarik cairan dari
bagian intraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
 Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormone steroid yang berperan penting pada ginjal.
Untuk mengatur volume cairan extraseluler, aldosteron akan
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorbsinya
9

dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan


kembali dengan cara meningkatnya volume dan tekanan darah.
c. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokontriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting
dalam mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena
interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem rennin-angiotensin
bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi
dan beberapa hormon.
Sampai saat ini hipertensi masih merupakan masalah yang kompleks karena
merupakan penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara
faktor-faktor risiko tertentu antara lain diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
sistem saraf simpatis, keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan
vasokonstriksi serta pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem
renin, angiotensin dan aldosteron (Kaplan, 2002; Oparil et al, 2003). Mekanisme
pengaturan tekanan darah seperti tertera pada gambar di bawah ini
(Sherwood,2001).
10

2.5 Penegakan Diagnosis

Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk: (i) menilai pola hidup dan
identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya
penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan,
(ii) mencari penyebab kenaikan tekanan darah, dan (iii) menentukan ada tidaknya
kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular. Evaluasi pasien hipertensi
adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi (Suyono, 2001):
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal
 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat-obat analgesic dan obat/bahan lain
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
 Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor resiko
 Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
 Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
 Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
 Kebiasaan merokok
 Pola makan
 Kegemukan, intensitas olahraga
4. Gejala kerusakan organ
 Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attack, deficit sensoris atau motoris.
 Ginjal : haus, poliuri, nokturia, hematuria
 Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
Pada 70-80% kasus hipertensi essensial didapatkan riwayat hipertensi dalam
keluarga, walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosis hipertensi
11

essensial. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orangtua, maka


dugaan hipertensi essensial lebih besar. Mengenai usia penderita hipertensi
essensial mayoritas timbul pada usia 25-45 tahun, dan hanya 20% yang timbulnya
kenaikan darah di bawah usia 20 tahun dan diatas usia 50 tahun. Bila telah
diketahui adanya riwayat hipertensi sebelumnya, perlu informasi tentang
pengobatan, efektifitas dan efek samping obat (Sidabutar, 1990).
Keterangan obat yang sedang di makan penderita yang mungkin
menimbulkan hipertensi seperti golongan kortikosteroid, golongan monoamine
oxidase inhibitor, dan golongan simpatomimetik. Konsumsi makanan yang
banyak mengandung garam juga harus ditanyakan. Pada wanita keterangan
mengenai hipertensi pada kehamilan, riwayat eklamsi, penggunaan pil kontrasepsi
juga ditanyakan. Data riwayat keluarga tentang penyakit ginjal polikistik, kanker
tiroid, feokromositoma, batu ginjal dan hiperparatiroidisme perlu ditanyakan
untuk melengkapi anamnesis (Sidabutar, 1990).
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala
pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target antara
lain adalah fungsi ginjal:
a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-
makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin
b. Pemeriksaan LFG, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat diperkirakan
dengan menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan
anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu:
Klirens Kreatinin*= (140-umur) x Berat Badan x (0,85 untuk perempuan)
72 x Kreatinin Serum

Pada penentuan diagnosis hipertensi esensial biasanya diterapkan secara


eksklusi, artinya apabila dengan segala usaha tidak dapat ditemukan etiologi yang
jelas, berupa penyakit ginjal, renovaskuler, endokrin, atau kelainan pembuluh
darah seperti coarctation aortae, dapat ditetapkan sebagai hipertensi esensial (Gray
et al., 2005).
12

Kenaikan tekanan darah sering merupakan satu-satunya tanda klinis


hipertensi esensial sehingga diperlukan tekanan darah yang akurat. Berbagai
faktor dapat mempengaruhi hasil pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat,
maupun tempat pengukuran. Pada seseorang yang baru bangun tidur, akan
didapatkan tekanan darah paling rendah yang dinamakan tekanan darah basal.
Tekanan darah yang diukur setelah berjalan kaki atau aktivitas fisik lain, akan
member angka yang lebih tinggi dan disebut tekanan darah kausal. Oleh karena
itu, pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada pasien istirahat yang
cukup, yaitu sesudah berbaring paling sedikit 5 menit (Proce and Wilson, 2005).
Pengukuran tekanan darah dianjurkan pada posisi duduk setelah
beristirahat selama 5 menit dan 30 menit bebas rokok atau minum kopi. Ukuran
manset harus cocok dengan ukuran lengan atas. Manset harus melingkar paling
sedikit 80% lengan atas dan lebar manset paling sedikit 2/3 kali panjang lengan
atas. Sedangkan alat ukur yang dipakai adalah Sphygmomanometer air raksa.
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran.
Diagnosis baru dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih pengukuran pada
kunjungan yang berbeda secara konsisten. Dalam pemeriksaan fisik dilakukan
pengukuran tekanan darah setelah pasien beristirahat 5 menit. Posisi pasien adalah
duduk bersandar dengan kaki di lantai dan lengan setinggi jantung. Ukuran dan
letak manset serta stetoskop harus benar. Ukuran manset standar untuk orang
dewasa adalah panjang 12-13 cm dan lebar 35 cm. Penentuan sistolik dan
diastolik dengan menggunakan Korotkoff fase I dan V. Pengukuran dilakukan dua
kali dengan jeda 1-5 menit. Pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua
pengukuran sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral
dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah
(Yogiantoro, 2006).

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pengobatan hipertensi bertujuan untuk menurunkan


morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dengan menurunkan tekanan darah
seoptimal mungkin. Dimulainya perubahan gaya hidup dan terapi obat
antihipertensi (Gambar 2.2) (Mancia et al, 2013).
13

Gambar 2.2 Tatalaksana hipertensi berdasarkan pengelompokan tekanan darah


dari faktor resiko kardiovaskular

Peran modifikasi gaya hidup. Sebuah program modifikasi gaya hidup


adalah langkah utama dalam pencegahan dan pengelolaan hipertensi dan penyakit
kardiovaskular. CHEP (Canadian Hypertension Education Program)
merekomendasikan sejumlah langkah-langkah untuk mengurangi kemungkinan
hipertensi, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi risiko komplikasi
kardiovaskular pada orang yang mengalami peningkatan tekanan darah ( lihat di
bawah). Pada pasien dengan diabetes dan tekanan darah > 130/80 mm Hg,
intervensi gaya hidup harus dimulai bersamaan dengan terapi farmakologis. Pada
14

pasien berisiko rendah dengan stadium 1 hipertensi (140-159/90-99 mmHg),


modifikasi gaya hidup dapat menjadi terapi tunggal.
1. Diet sehat : tinggi dalam buah-buahan dan sayuran, produk susu rendah
lemak, serat makanan larut dan, biji-bijian dan protein dari sumber
tanaman segar; rendah lemak jenuh, kolesterol, dan garam sesuai dengan
Canada’s Guide to Healthy Eating or DASH diet.
2. Aktivitas fisik yang teratur : akumulasi 30-60 menit moderate intensity
latihan dinamis (berjalan, jogging, bersepeda, berenang) 4-7 hari per
minggu, di samping kegiatan sehari-hari
3. Konsumsi alkohol berisiko rendah (< 2 minuman standar / hari dan kurang
dari 14/minggu untuk pria dan kurang dari 9/minggu untuk wanita.
4. Mencapai dan menjaga berat badan ideal ( BMI 18,5-24,9 kg/m2 )
5. Lingkar pinggang yang sehat : < 102 cm untuk pria , < 88 cm untuk wanita
6. Pengurangan asupan sodium ke tingkat yang direkomendasikan oleh
Healthy Canada (Tabel 2.3)
7. Sebuah lingkungan bebas asap rokok
8. Manajemen Stres

Tabel 2.3 Rekomendasi asupan garam oleh CHEP 2013

Obat antihipertensi perlu dimulai berdasarkan pada 2 kriteria: (1) tingkatan


tekanan darah sistolik dan diastolic, (2) tingkatan resiko kardiovaskular. Tujuan
pengobatan hipertensi adalah menurunkan dan mencegah kejadian
kardioserebrovaskular dan renal, melalui penurunan tekanan darah dan juga
pengendalian dan pengobatan faktor-faktor resiko yang reversible . Saat ini
tersedia 5 golongan obat antihipertensi : diuretic tiazida, antagonis kalsium, ACEi
(Angiotensin Converting Enzym inhibitors), ARB, dan betablockers. Obat-obat ini
dapat digunakan sebagai monoterapi maupun sebagai bagian dari terapi
15

kombinasi. Kelima jenis golongan obat ini telah terbukti dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada pengobatan hipertensi jangka
panjang (Mancia et al, 2013).

Gambar 2.4 Rekomendasi Terapi Kombinasi (ESC/ESH)

2.7 Komplikasi

Hipertensi yang diabaikan atau tidak diobati sesegera mungkin dapat


menyebabkan kerusakan organ dalam tubuh, diantaranya adalah:
a. Jantung
Hipertensi dapat menyebabkan CVD (Cardiovaskular Disease) dan
meningkatkan resiko kejadian iskemik seperti angina pectoris dan infark miokard
(Siyad A.R,2011; Busari et al.,2010; Pujiyanto, 2008) Selain itu sebagai
mekanisme kompensasi dari jantung dalam merespon naiknnya tekanan darah
hipertensi dapat menyebabkan LVH (Left Ventricle Hyperthropy). LVH sendiri
merupakan faktor resiko berbahaya akan terjadinya CAD (Coronary Artery
16

Disease), HF (Heart Failure), dan Aritmia. Hipertensi yang tidak terkontrol


merupakan salah satu pemicu Heart Failure (Saseen dan Carter, 2005).
b. Otak
Gejala kerusakan pada organ ini yaitu terjadinya TIA (Transient Ischemic
Attack), stroke iskmeik, infark serebral, dan perdarahan otak. Peningkatan tekanan
darah sistolik yang berkepanjangan dapat menyebabkan hipertensi ensefalopati
(Saseen and Carter, 2005; Rilantono et al., 2004). Uji klinis membuktikan, terapi
hipertensi dapat menurunkan resiko stroke kambuhan maupun stroke yang baru
dialami pertama kali (JNC 7, 2004).
c. Ginjal
GFR (Glomerulus Filtration Rate) digunakan untuk mengetahui fungsi
ginjal. Hipertensi menyebabkan GFR (Glomerulus Filtration Rate) menurun lebih
cepat. Hipertensi berhubungan dengan nephrosclerosis, yang mana menyebabkan
peningkatan tekanan intraglomerular (Saseen dan carter, 2005; Tagor GM, 2004).
d. Mata
Hipertensi dapat menyebabkan retinopati hipertensif yang berimplikasi
pada kebutaan. Keparahannya diklasifikasikan menjadi empat, yakni: tingkat 1
yang ditandai dengan menebalnya diameter arteri, yang menyebabkan
vasokonstriksi, tingkat 2 yang ditandai dengan nicking pada arteriovenosus (AV),
yang menyebabkan arterosklerosis, tingkat 3 yang terjadi jika hipertensi tidak
kunjung diobati yang dapat menyebabkan cotton wool exudates dan flame
hemorrhage, terakhir tingkat 4 muncul sebagai akibat dari kasus yang semakin
parah, yang ditandai dengan papil edema (Saseen dan Carter, 2005; Tagor GM,
2004).

2.8 Pencegahan

a. Mengurangi Berat badan.


b. Diet garam.
c. Meningkatkan asupan buah-buahan, sayur-sayuran dan potasium.
d. Mengurangi konsumsi alkohol.
e. Dilakukan Pengukuran Tekanan Darah Secara Teratur
(JNC 7, 2004; NICE, 2011).
17

BAB II
KESIMPULAN

1. Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus


menerus sehingga melebihi batas normal.
2. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial yang dimana penyebabnya tidak diketahui yang terjadi
pada ± 90-95% kasus hipertensi dan hipertensi sekunder yang diketahui
penyebabnya seperti gangguan ginjal yang terjadi pada 5-10% kasus.
3. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I iconverting enzyme (ACE).
4. Tujuan pengobatan hipertensi adalah menurunkan dan mencegah kejadian
kardiovaskular dan renal melalui penurunan tekanan darah dan juga
pengendalian dan pengobatan faktor-faktor resiko yang reversible.

Anda mungkin juga menyukai