Anda di halaman 1dari 86

PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP INSIDENSI KEJANG PASCA

STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI

Ditulis untuk memenuhi persyaratan akademik


guna memperoleh gelar sarjana kedokteran

Oleh :

NAMA : Brillyant Sabatino Raintama

NIM : 00000013938

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

KARAWACI

2018
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS AKHIR

Saya mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Nama Mahasiswa : Brillyant Sabatino Raintama

Nomor Pokok Mahasiswa : 00000013938

Jurusan : Kedokteran Umum

Dengan ini menyatakan bahwa karya tugas akhir yang saya buat dengan judul
“PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP INSIDENSI KEJANG PASCA
STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI” adalah:

1. Dibuat dan diselesaikan sendiri, dengan menggunakan tinjauan lapangan dan


buku – buku serta jurnal acuan yang tertera di dalam referensi pada karya
tugas akhir saya.
2. Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau yang
pernah dipakai untuk mendapatkan gelar sarjana di universitas lain, kecuali
pada sumber informasi yang dicantumkan dengan cara penulisan referensi
yang semestinya.
3. Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal acuan
yang tertera di dalam referensi pada karya tugas akhir saya.

Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang telah dinyatakan di atas, maka karya
tugas akhir ini batal.

Karawaci, …….

Yang membuat pernyataan

ii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR

JUDUL : Pengaruh Subtipe Stroke Terhadap Insidensi Kejang Pasca Stroke


pada Pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci

Nama : Brillyant Sabatino Raintama

NPM : 00000013938

Fakultas : Kedokteran

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian tugas akhir guna mencapai
gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan,
Lippo Karawaci, Tangerang.

Karawaci, 13 September 2018

Menyetujui:

Pembimbing utama Pembimbing Pendamping

(dr. Retno Jayantri Ketaren, Sp. S) (___________________________)

iii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN

PERSETUJUAN DOSEN PENGUJI TUGAS AKHIR

Pada , telah diselenggarakan ujian komprehensif untuk memenuhi


persyaratan akademik guna mencapai Gelar Sarjana Kedokteran, di Fakultas
Kedokteran, Universitas Pelita Harapan, atas nama:

Nama : Brillyant Sabatino Raintama

NPM : 00000013938

Tugas Akhir yang berjudul “PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP


INSIDENSI KEJANG PASCA STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT
SILOAM KARAWACI” oleh tim penguji yang terdiri:

Nama Status Tanda tangan

1. Ketua sidang __________________

2. anggota penguji __________________

3. sekretaris sidang __________________

PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

iv
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Sebagai sivitas akademik Universitas Pelita Harapan, saya yang bertanda tangan
dibawah ini:

Nama : Brillyant Sabatino Raintama


NIM : 00000013938
Fakultas : Kedokteran
Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Pelita Harapan, Hak Bebas Royalti atas karya ilmiah saya yang berjudul:
PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP INSIDENSI KEJANG PASCA
STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI

Dengan Hak Bebas Royalti ini Universitas Pelita Harapan berhak menyimpan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan sebagai pemilik
Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Pada tanggal : ____________________
Yang menyatakan

(Brillyant Sabatino Raintama)

ABSTRACT

THE EFFECT OF STROKE SUBTYPES TO POST-STROKE SEIZURE


INCIDENCE ON PATIENTS IN SILOAM HOSPITAL KARAWACI

v
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Brillyant Sabatino Raintama / 00000013938

Background

Stroke is a cerebrovascular disease causing 113,000,000 disability and 6,500,000


mortality. Seizure occurred on 12% stroke patients. In Indonesia, stroke counts as
12.1% of all diseases with 15.4% mortality rate. 80% of stroke patients come from
developing countries, like Indonesia. Study shows that post-stroke seizures have
worse prognosis than one without. Furthermore, studies revealed that hemorrhagic
stroke is riskier in developing seizure (4.3 – 24%) than ischemic (2 – 13.5%).

Aim

This study aims to understand the stroke subtype relations toward seizure.

Material and Methods

On February to April 2018, this cross-sectional study was done in the Siloam
Hospital Medical Record, Karawaci. 190 samples are chosen by purposive sampling.
Qualitative data of stroke with and without seizure are gathered from medical record.
Excel 2010 and SPSS24 used for tabulation and data analysis, respectively.

Results

Due to differences in post-stroke seizure definition and exclusion factor, stroke


subtype has insignificant distribution between seizure and non-seizure group (p-value
= 0.875; odds ratio [OR] 1.129; 95% confidence interval [CI95] 0.558 – 2.284).
Hormonal imbalance also portrays gender insignificance to post-stroke seizure (p-
value = 0.133;

odds ratio [OR] 1.634; 95% confidence interval [CI95] 0.910 – 2.934). Likewise,
neurodegenerative processes affect the insignificant relation of age and post-stroke

vi
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
seizure (p-value = 0.892; odds ratio [OR] 1.102; 95% confidence interval [CI95]
0.582 – 2.088).

Conclusions

Stroke subtype do not significantly affect incidence of post-stroke seizure. Gender


and age also are insignificant factors toward post-stroke seizure incidence.

Keywords: Stroke, Stroke Subtypes, Ischemic Stroke, Hemorrhagic Stroke,


Seizure, Post-stroke Seizure, Siloam Hospital, Karawaci

ABSTRAK

PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP INSIDENSI KEJANG PASCA


STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI

vii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Brillyant Sabatino Raintama / 00000013938

Latar Belakang
Stroke adalah penyakit serebrovaskuler yang mengkontribusikan 113,000,000 kasus
disabilitas dan 6,500,000 kematian di dunia. Di Indonesia, stroke dengan prevalensi
12.1% menyebabkan mortalitas sebesar 15.4%. 12% pasien stroke mengalami kejang.
80% penderita kejang berasal dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Penelitian menunjukkan bahwa prognosis kejang pasca stroke lebih buruk
dibandingkan stroke tanpa kejang. Berbagai penelitan menunjukkan kejang pasca
stroke lebih tinggi pada stroke hemoragik (4,3 – 24%) dibandingkan iskemik (2 –
13,5%).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtipe stroke terhadap kejadian
kejang.

Material dan Metode


Penelitian cross-sectional ini dilakukan di Rekam Medis Rumah Sakit Siloam,
Karawaci pada Februari sampai April 2018. Sampling purposif digunakan untuk
pengambilan 190 sampel. Data kualitatif stroke dengan dan tanpa kejang diambil dari
rekam medis. Microsoft Excel 2010 digunakan untuk tabulasi, sedangkan SPSS24
untuk analisis data.

Hasil

viii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Berdasarkan perbedaan definisi kejang pasca stroke dan faktor eksklusi, subtipe
stroke tidak berbeda secara proporsional antara kelompok kejang dan tidak (p-value =
0.875; odds ratio [OR] 1.129; 95% confidence interval [CI95] 0.558 – 2.284). Karena
ketidakseimbangan hormon, ditemukan hubungan jenis kelamin dengan kejang pasca
stroke tidak signifikan (p-value = 0.133; odds ratio [OR] 1.634; 95% confidence
interval [CI95] 0.910 – 2.934). Dengan proses neurodegeneratif, umur dan kejang
pasca stroke ditemukan tidak signifikan (p-value = 0.892; odds ratio [OR] 1.102; 95%
confidence interval [CI95] 0.582 – 2.088).

Kesimpulan

Subtipe stroke tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian kejang pasca
stroke. Jenis kelamin dan usia juga tidak memiliki hubungan signifikan dengan
kejadian kejang pasca stroke.

Kata Kunci: Stroke, Subtipe Stroke, Stroke Iskemik, Stroke Hemoragik,


Kejang, Kejang Pasca Stroke, Rumah Sakit Siloam, Karawaci

ix
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

Tugas Akhir dengan judul “PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP


INSIDENSI KEJANG PASCA STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT
SILOAM KARAWACI” ini ditujukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
akademik guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Strata Satu Universitas Pelita
Harapan, Tangerang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai
pihak, Tugas Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:

1) Dosen Pembimbing, dr. Retno Jayantri Ketaren, Sp.S yang telah


memberikan bimbingan dan banyak memberikan masukan kepada penulis.
2) Dosen Penguji, dan yang telah
memberi banyak masukan selama pelaksanaan sidang skripsi.
3) Keluarga tercinta, Ayahanda (Benny Raintama), Ibunda (Evie Lumunon),
Kakak (Marsevino Raintama), Adik (Revanya dan Raffael Raintama) yang
telah memberikan dukungan doa, moral, materi dan semangat sepanjang
pengerjaan Tugas Akhir dan perkuliahan.
4) Jonathan Salim, yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran dalam
menolong saya mengerjakan Tugas Akhir.
5) Teman – teman di Fakultas Kedokteran (Aldo, Moses), teman satu
bimbingan (Mariska, Hartoyo, Vido), yang telah memberi dukungan dan
membantu dalam proses penulisan.

x
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
6) Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci yang telah bersedia memberikan izin
untuk pengumpulan sampel dari rekam medis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat
bermanfaat bagi penulis. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membacanya.

Tangerang, 13 September 2018


Penulis

xi
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS AKHIR ii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR iii

PERSETUJUAN DOSEN PENGUJI TUGAS AKHIR iv

PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN


AKADEMIS v

ABSTRACT vi

ABSTRAK viii

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Pertanyaan penelitian 3
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.4.1 Tujuan umum 3
1.4.2 Tujuan khusus 3
1.5 Manfaat Penelitian 4
1.5.1 Manfaat Akademik 4
1.5.2 Manfaat Praktis 4
 
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi Stroke 5
2.2 Klasifikasi Stroke 5
2.3 Epidemiologi Stroke 8
2.4 Patofisiologi Stroke 11
2.4.1 Stroke iskemik 11
2.4.1.1 Trombosis 11
2.4.1.2 Emboli12
2.4.1.3 Hipotensi 12

xii
2.4.1.4 Mekanisme kematian sel 13
2.4.1.4.1 Ketidakseimbangan ion 13
2.4.1.4.2 Eksitotoksisitas 14
2.4.1.4.3 Stres oksidatif dan nitrosatif 14
2.4.1.4.4 Apoptosis – jalur intrinsik dan ekstrinsik 15
2.4.1.4.5 Inflamasi setelah stroke 16
2.4.2 Stroke hemoragik 18
2.4.2.1 Pendarahan intraserebral 19
2.4.2.2 Pendarahan subaraknoid 20
2.5 Faktor Risiko Stroke 21
2.5.1 Tidak dapat dimodifikasi 21
2.5.2 Dapat dimofikasi 22
2.6 Diagnosis stroke 23
2.6.1 Diagnosis stroke iskemik 23
2.6.2 Diagnosis stroke hemoragik 25
2.7 Epidemiologi Kejang Pasca Stroke 27
2.8 Patofisiologi Kejang Akibat Stroke 27
2.8.1 Kejang akut akibat stroke 28
2.8.2 Kejang kronis akibat stroke 29
2.9 Definisi Kejang 31
2.10 Klasifikasi Kejang 31
2.10.1 Kejang fokal 32
2.10.1.1 Kejang fokal tanpa kelainan kognitif 33
2.10.1.2 Kejang fokal dengan kelainan kognitif 34
2.10.2 Kejang umum 35
2.10.2.1 Kejang absans tipikal 35
2.10.2.2 Kejang absans atipikal 36
2.10.2.3 Kejang umum tonik-klonik 36
2.10.2.4 Kejang atonik 38
2.10.2.5 Kejang mioklonik 38
2.10.3 Kejang yang tidak dapat diklasifikasi 39
2.10.4 Bentuk kejang lainnya 39
2.11 Epidemiologi Kejang 40
2.12 Etiologis Kejang 41
2.13 Patofisiologi Kejang 42
2.14 Diagnosis Kejang 43
2.14.1 Anamnesis 43
2.14.2 Pemeriksaan fisik 44
2.14.3 Pemeriksaan laboratorium 45
2.14.4 Pencitraan otak 45

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 47


3.1 Kerangka Teori 47

xiii
3.2 Kerangka Konsep 48
3.3 Hipotesis Penelitian 48
3.4 Variabel 48
3.4.1 Variabel bebas 48
3.4.2 Variabel terikat 48
3.5 Definisi Operasional 49

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 51


4.1 Desain Penelitian 51
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 51
4.3 Bahan dan Cara Penelitian 51
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian 51
4.5 Cara pengambilan sampel 52
4.6 Jumlah Sampel 52
4.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 53
4.8 Alur Penelitian 54
4.9 Uji Statistik 55

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 56


5.1 Hasil 56
5.2 Pembahasan 58

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 60


6.1 Kesimpulan 60
6.2 Saran 60

BAB VII DAFTAR PUSTAKA 61

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Stroke 6


Tabel 2.2. Prevalensi stroke pada umur 15 tahun ke atas berdasarkan provinsi di
Indonesia tahun 2013 9
Tabel 2.3. Prevalensi stroke pada umur 15 tahun ke atas berdasarkan karakteristik di
Indonesia tahun 2013 10
Tabel 2.4. Gejala klinis stroke iskemik 24
Tabel 2.5. Klasifikasi kejang menurut ILAE 2010 31
Tabel 2.6. Etiologis kejang 41
Tabel 3.1. Definisi operasional 49
Tabel 4.1. Penghitungan jumlah sampel 52
Tabel 5.1. Data demografik sampel 56
Tabel 5.2. Analisis bivariat subtipe stroke terhadap kejang pasca stroke 52
Tabel 5.3. Analisis bivariat faktor-faktor risiko terhadap kejang pasca stroke 57

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kaskade iskemia 18

DAFTAR SINGKATAN

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar


DKI : Daerah Khusus Ibukota
TIA : Transient Ischemic Attack
IV : Intravena
DI : Daerah Istimewa
ATP : Adenosine Triphosphate
NMDA : N-methyl-d-aspartate
ROS : Reactive Oxygen Species
RNS : Reactive Nitrogen Species
DNA : Deoxyribonucleic Acid

xv
Bid : BH3-interacting domain death agonist
Bcl-2 : B-cell lymphoma 2
Bad : Bcl-xL/Bcl-2 associated death promoter
Bax : Bcl-2 associated x protein
PTPC : Permeability Transition Pore Complex
Smac/DIABLO : Second Mitochondria-derived Activator of Caspase/Direct
IAP-Binding Protein with Low pI
Apaf-1 : Apoptotic protein-activating factor-1
CD95/FasR : Cluster of differentiation 95/Fas receptor
DR4 : Death receptor 4
DISC : Death Initiation Signalling Complex
ICAM-1 : Intracellular Adhesion Molecule-1
VCAM : Vascular Adhesion Molecule
Mac-1 : Macrophage-1
LFA-1 : Lymphocyte Function-associated Antigen-1
TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α
IL-6 : Interleukin-6
BBB : Blood-brain Barrier
IFN-γ : Interferon-γ
MMP : Matriks Metaloproteinase
iNOS : inducible Nitric Oxide Synthase
PARP : Poly-A Ribose Polymerase
CAA : Cerebral Amyloid Angiopathy
AVM : Arteriovenous Malformation
CT-scan : Computed Tomography scan

xvi
MRI : Magnetic Resonance Imaging
TCD : Transcranial Doppler
TCCD : Transcranial Colour-Coded Duplexsonography
DSA : Digital Substraction Angiography
RAS : Reticular Activating System
EEG : Elektroensefalogram
GABA : γ (gamma)-Aminobutyric Acid
ILAE : International League Against Epilepsy
FLAIR : Fluid-Attenuated Inversion Recovery
PET : Positron Emission Tomography
SPECT : Single-Proton Emission Computed Tomography
CI : Confidence Interval

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stroke adalah penyakit serebrovaskuler yang menjadi salah satu penyebab


disabilitas dan kematian yang paling sering ditemukan di banyak negara. Di seluruh
dunia, dilaporkan ada 113 juta kasus disabilitas karena stroke dengan jumlah kasus
kematian mencapai hingga 6,5 juta pada tahun 2013. 1 Menurut pernyataan Kusuma et
al yang dikutip oleh Williams et al, stroke menduduki peringkat teratas sebagai
penyebab kematian terbanyak di Indonesia, dimana sekitar 15,4% kematian
diakibatkan oleh stroke.2 Di sisi lain, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
menyatakan bahwa prevalensi stroke di Indonesia adalah 12,1 dari 1.000 penduduk.
Berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di Indonesia juga, prevalensi stroke tertinggi
ditemukan di Sulawesi Utara (10,8‰), sedangkan DKI Jakarta menempati peringkat
ke-empat (9,7‰).3

RISKESDAS 2013 mendefinisikan stroke sebagai penyakit serebrovaskuler


nontraumatik yang ditandai dengan adanya gangguan fungsi neurologis yang bersifat
lokal ataupun global, muncul secara mendadak, progresif, dan cepat.3 Stroke dibagi
menjadi dua subtipe besar, yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik adalah
stroke yang disebabkan oleh adanya obstruksi pembuluh darah otak, sedangkan stroke
hemoragik merupakan stroke yang muncul sebagai akibat dari pecahnya pembuluh
darah di parenkim otak atau sub araknoid. 4 Data statistik di tahun 2016 menunjukkan
bahwa stroke iskemik memiliki prevalensi yang lebih tinggi (87%) dibandingkan
stroke hemorhagik.5

Kejang juga menjadi salah satu manifestasi stroke yang tidak jarang ditemukan.
Ditemukan bahwa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengidap kejang epileptik,

1
dimana hampir 80% penderita berasal dari negara dengan tingkat pendapatan rendah
sampai menengah, termasuk Indonesia.6 Koome et al mengambil kutipan dari
penelitian Graham et al, yang menunjukkan bahwa hingga 12% penderita stroke
mengalami kejang pasca stroke. Koome et al juga mengutip dari penelitian Menon
yang menyatakan bahwa stroke merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa dengan epilepsi onset baru di negara maju. 7 Adapun
pasien dengan kejang pasca stroke cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada stroke tanpa kejang.8 Suatu penelitian menemukan bahwa tingkat mortalitas
pada pasien kejang epileptik pasca stroke iskemik di hari ke-30 setelah onset kejang
pertama cenderung lebih tinggi (27,4%) dibandingkan dengan stroke tanpa kejang
epileptik (2,1%).9

Seperti yang dikutip oleh Kim et al dari penelitian Merkler et al, sebagian besar
penelitan menunjukkan bahwa frekuensi kejadian kejang pasca stroke cenderung
lebih tinggi pada pasien dengan stroke hemorhagik (4,3 – 24%) dibandingkan pada
pasien stroke iskemik (2 – 13,5%).10 Meskipun demikian, beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang berlawanan, dimana stroke iskemik ditemukan menjadi
subtipe stroke yang paling sering menimbulkan kejang pasca stroke.11 Suatu
penelitian prospektif menunjukkan bahwa dari 100 pasien kejang pasca stroke
ditemukan ada 80 orang mengidap stroke iskemik dan 20 lainnya terdiri stroke
hemoragik.12 Hal ini dipercaya terjadi karena banyaknya jumlah pasien stroke
iskemik dibandingkan pasien stroke hemorhagik.5 Selain itu, Graham et al mengutip
dari penelitian Camilo, bahwa 2 – 67% pasien dengan stroke iskemik memiliki risiko
mengalami kejang, sehingga tingkat risiko untuk mengidap kejang masih bervariasi
dalam rentang yang lebar.13

Dengan demikian, peneliti ingin memastikan subtipe stroke yang mempunyai


tingkat risiko tertinggi menyebabkan kejang pasca stroke sambil mengacu kepada
tingginya mortalitas stroke dan prevalensi kejang di Indonesia serta mortalitas kejang
pasca stroke.

2
1.2. Rumusan Masalah

Sebagai salah satu manifestasi stroke, kejang memiliki prevalensi tinggi di


negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Adapun pasien kejang pasca stroke
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien stroke tanpa kejang.
Peneliti ingin memastikan subtipe stroke dengan risiko tertinggi menyebabkan kejang
pasca stroke sambil mengacu kepada tingginya mortalitas stroke dan prevalensi
kejang di Indonesia serta mortalitas kejang pasca stroke.

1.3. Pertanyaan Penelitian


Bagaimana pengaruh subtipe stroke terhadap kejadian kejang?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum :
Mengetahui pengaruh subtipe stroke terhadap kejadian kejang
1.4.2. Tujuan Khusus :
1. Mengetahui subtipe stroke yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
memperkirakan kejadian kejang pada pasien stroke.
2. Mengetahui subtipe stroke yang paling sering ditemukan pada pasien
kejang pasca stroke di Rumah Sakit Siloam, Karawaci.
3. Mengetahui prevalensi pasien kejang pasca stroke di Rumah Sakit
Siloam, Karawaci.

3
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Akademik :
1. Sebagai data kepustakaan mengenai prevalensi kejang pasca stroke di
Indonesia, khususnya daerah Karawaci, Tangerang.
2. Menguji konsistensi dari penelitian-penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa stroke hemoragik merupakan subtipe stroke yang
paling sering menimbulkan kejang pada pasien kejang pasca stroke.
1.5.2. Manfaat Praktis :
Mengedukasi pasien dengan subtipe stroke tertentu agar lebih waspada
terhadap timbulnya kejang beserta bahayanya, sehingga pasien dapat
memiliki pola pikir untuk memulai gaya hidup sehat demi terhindar
dari kejang, termasuk minum obat secara teratur.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Stroke

Menurut RISKESDAS 2013, stroke merupakan penyakit serebrovaskuler


nontraumatik yang ditandai dengan adanya gangguan fungsi neurologis yang bersifat
lokal ataupun global, muncul secara mendadak, progresif, dan cepat.3

2.2. Klasifikasi Stroke

Stroke dibagi menjadi dua subtipe besar, yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke
iskemik merupakan stroke yang disebabkan oleh adanya obstruksi pembuluh darah
otak, sedangkan stroke hemoragik merupakan stroke yang muncul sebagai akibat dari
pecahnya pembuluh darah di parenkim otak atau sub araknoid. 4 Berdasarkan
penyebabnya, stroke iskemik secara lebih lanjut dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu
trombotik, embolik, dan hipoperfusi. Di sisi lain, stroke hemoragik terbagi menjadi 2
jenis, yakni intrakranial dan pendarahan subaraknoid nontraumatik. Tabel dibawah ini
(Tabel 2.1) menyajikan informasi mengenai klasifikasi stroke beserta mekanisme
singkat, etiologis, serta catatan klinis yang perlu diperhatikan.14

5
Tabel 2.1. Klasifikasi stroke14
Subtipe Stroke Mekanisme Etiologis Catatan Klinis
Iskemik
Trombotik Penyempitan lumen 1. Aterosklerosis  Gejala-gejalanya
pembuluh darah yang 2. Vaskulitis seringkali memiliki
rusak oleh karena 3. Diseksi arteri onset yang gradual
adanya proses in situ – 4. Polisitemia dan yang bisa
biasanya pembentukan 5. Hypercoagulable menurun maupun
gumpalan darah. state meningkat.
6. Infeksi (infeksi  Sering
human menyebabkan
immunodeficiency transient ischemic
virus, sifilis, attack (TIA).
trikinosis,
tuberculosis,
aspergilosis)
Embolik Obstruksi lumen 1. Vegetasi vaskuler  Muncul secara
pembuluh darah normal 2. Mural thrombi tiba-tiba.
oleh substansi- 3. Emboli paradox  Mencakup 20%
substansi intravaskuler 4. Kardioembolisme dari stroke
yang berasal dari 5. Tumor jantung iskemik.
bagian lain dalam 6. Emboli arteri ke
sistem sirkulasi. arteri dari sumber
proksimal
7. Emboli lemak
8. Particulate emboli
(penggunaan obat
IV)

6
9. Emboli sepsis
Hipoperfusi Keadaan dimana aliran Hipotensi sistemik  Pola lesi menyebar
darah rendah dan yang timbul karena di daerah yang
berujung kepada gagal jantung mendapat suplai
hipoperfusi otak darah.
 Gejala-gejala bisa
memiliki tingkat
keparahan yang
bervariasi dengan
adanya faktor-
faktor
hemodinamik.
Hemoragik
Intraserebral Pendarahan 1. Hipertensi  Tekanan
intraparenkim dari 2. Amiloidosis intrakranial tinggi
arteriol yang 3. Koagulasi menyebabkan
sebelumnya sudah iatrogenic kerusakan neuron
lemah 4. Malformasi lokal.
vaskuler  Katabolisme darah
5. Penggunaan kokain atau neuron yang
menimbulkan
vasokonstriksi
sekunder.
 Faktor risiko
termasuk usia
lanjut, riwayat
stroke, dan
penggunaan rokok

7
atau alkohol
 Sering ditemukan
pada ras Asian atau
African.
Subaraknoid Pendarahan di rongga 1. Ruptur dari berry Bisa didahului oleh
nontraumatik subaraknoid aneurysm sentinel headache.
2. Ruptur malformasi
vaskuler

2.3. Epidemiologi Stroke

Pada tahun 2013, terdapat hampir 25,7 juta penderita stroke yang bertahan
hidup (71% dengan stroke iskemik) dan 10,3 juta kasus baru stroke (67% stroke
iskemik) di seluruh dunia.1 Dilaporkan bahwa jumlah kasus disabilitas serta tingkat
mortalitas dari stroke iskemik dan hemoragik secara statistik lebih tinggi pada negara
berkembang (stroke iskemik mencakup 2189/100.000 per tahun; stroke hemoragik
mencakup 137/100.000 per tahun) dibandingkan negara maju (stroke iskemik
mencakup 1022/100.000; stroke hemoragik mencakup 67/100.000).1 Di Asia, angka
mortalitas stroke tertinggi ditemukan di Mongolia (222,6/100000 orang per tahun)
dan Indonesia (193,3/100000 orang per tahun).15

Di Indonesia, RISKESDAS 2013 mengelompokkan prevalensi stroke ke


dalam 2 kelompok, yaitu kelompok stroke yang terdiagnosis tenaga kesehatan
(Kelompok D) dan kelompok stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau
gejala (Kelompok D/G). Kelompok D mencakup 7 dari 1000 orang, sedangkan
kelompok D/G sebesar 12,1 per 1000 orang. Adapun data prevalensi tersebut
dikelompokkan dengan persyaratan bahwa penderita stroke berumur 15 tahun ke atas.
Pengelompokkan juga disesuaikan berdasarkan provinsi (Tabel 2.2) dan karakteristik
pasien (Tabel 2.3).3

8
Tabel 2.2. Prevalensi stroke pada umur 15 tahun ke atas berdasarkan provinsi di
Indonesia tahun 20133

Berdasarkan provinsi, prevalensi stroke pada kelompok D ditemukan tertinggi


di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan
DKI Jakarta masing-masing 9,7 per 1000 orang. Sedangkan pada kelompok D/G,
prevalensi stroke tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta
(16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per 1000 orang.3

9
Tabel 2.3. Prevalensi stroke pada umur 15 tahun ke atas berdasarkan
karakteristik di Indonesia tahun 20133

Selain itu, prevalensi stroke berdasarkan umur dilaporkan tertinggi pada umur
≥75 tahun (43,1‰ untuk kelompok D dan 67,0‰ untuk kelompok D/G). Sementara
berdasarkan jenis kelamin, prevalensi stroke untuk laki-laki dan perempuan pada
kelompok D dan D/G memiliki angka yang sama. Pada masyarakat dengan
pendidikan rendah (Kelompok D : 16,5%; Kelompok D/G : 32,8%), yang tinggal
didaerah perkotaan (Kelompok D : 8,2‰; Kelompok D/G : 12,7‰), dan

10
pengangguran (Kelompok D : 1,4‰; Kelompok D/G : 18‰) cenderung menunjukkan
angka prevalensi stroke yang tinggi.3

2.4. Patofisiologi Stroke

Seperti pembagian subtipenya, patofisiologi stroke terbagi menjadi iskemik dan


hemoragik.16

2.4.1. Stroke Iskemik

Stroke iskemik dimulai ketika terjadinya pengurangan atau interupsi pada


aliran darah ke otak akibat trombosis, emboli, maupun hipotensi.16

2.4.1.1. Trombosis

Trombosis yang terjadi pada stroke merupakan trombosis serebral, yaitu


pembentukan trombus yang terjadi di dalam arteri-arteri yang memperdarahi
otak (seperti arteri karotis interna atau arteri vertebralis) dan kemudian
menyebabkan oklusi. Salah satu penyebab terjadinya stroke trombotik akibat
oklusi vaskuler adalah aterosklerosis.16

Plak aterosklerotik bisa mengalami perubahan patologis yang mengarah


kepada terbentuknya trombosis. Perubahan patologis ini terjadi ketika terdapat
gangguan pada endotelium, yang kemudian melangsungkan suatu proses yang
mengaktifasi sejumlah besar enzim-enzim vasoaktif yang bersifat merusak.
Adesi platelet beserta agregasinya ke dinding vaskuler juga terjadi, sehingga
membentuk kumpulan substansi fokal yang terdiri dari platelet dan fibrin.
Selanjutnya, mekanisme koagulasi teraktifasi, sehingga trombus terbentuk pada
lokasi plak. Ketika mekanisme kompensasi berupa sirkulasi kolateral tidak
mencukupi, perfusi kemudian menjadi terganggu, sehingga mengakibatkan
kematian sel.17

11
2.4.1.2. Emboli

Emboli serebral merupakan suatu kejadian dimana gumpalan darah yang


terbentuk di lokasi lain dalam sistem sirkulasi kemudian menyebabkan oklusi di
arteri-arteri yang memperdarahi otak. Pada prosesnya, gumpalan darah yang
terbentuk itu terlepas dan kemudian terbawa oleh aliran darah, sehingga terjepit
masuk di arteri-arteri yang berukuran sedang dan bercabang. 16 Mikroemboli juga
dapat terlepas dari plak aterosklerotik yang terdapat pada arteri karotis ataupun
dari jantung, seperti pada fibrilasi atrium, kelainan sinoatrial, infark miokard
akut, endocarditis bakterial subakut, tumor jantung, dan kelainan katup jantung.14

2.4.1.3. Hipotensi

Hipoperfusi dapat terjadi akibat serangan jantung dikarenakan infark


miokard, aritmia, atau shock.14 Akibat hipotensi, iskemia global juga dapat
terjadi. Iskemia global terbilang lebih buruk dibandingkan hanya sekedar
hipoksia dan hipoglikemia, karena selain gagal menghasilkan energi proses ini
berujung pada akumulasi asam laktat dan zat-zat toksik dari proses
metabolisme.18

Ketiga mekanisme diatas kemudian berujung kepada berkurang dan


terhentinya pasokan darah ke otak. Perubahan metabolisme terjadi pada 30 detik
pertama. Ketika mencapai 1 menit, fungsi neuron berhenti, dan setelah 5 menit
terjadi anoksia yang dapat menyebabkan infark serebri. Proses-proses yang
terjadi pada infark yaitu vasodilatasi lokal, stasis dari darah, lalu edema, yang
kemudian berujung pada nekrosis jaringan otak.19

12
2.4.1.4. Mekanisme kematian sel

Pada sel-sel neuron yang terlibat iskemia, terjadi berbagai proses


molekular yang berujung kepada kematian sel oleh karena teraktifasinya kaskade
iskemik.17

2.4.1.4.1. Ketidakseimbangan Ion

Dalam hitungan detik sampai menit setelah berkurangnya aliran


darah ke bagian-bagian otak, kaskade iskemik langsung dimulai dengan
cepat. (Gambar 1) Iskemia menyebabkan berkurangnya suplai glukosa dan
oksigen pada sel neuron, sehingga mitokondria gagal memproduksi ATP
(adenosine triphosphate) yang cukup. Berkurangnya produksi ATP akan
menstimulasi glikolisis dari sisa glukosa dan glikogen tanpa adanya
oksigen, yang kemudian menyebabkan akumulasi proton (H+) dan laktat
(respirasi anaerob).17

Proses tersebut kemudian menyebabkan asidifikasi intrasel,20


dimana terjadi pengurangan ATP lebih lanjut karena berhentinya aktifitas
rantai transpor elektron mitokondria. Akibatnya, sistem pompa ion seperti
Na+-K+-ATPase,21 Ca2+-H+ ATPase, dan Na+-Ca2+ exchanger menjadi
terganggu. Kondisi ini menyebabkan konsentrasi ion sodium (Na +), ion
kalsium (Ca2+), dan ion klorida (Cl-) di intrasel meningkat bersamaan
dengan efluks potasium (K+). Distribusi ion-ion tersebut pada membran
plasma akan menyebabkan depolarisasi sel neuron serta astrosit.16

2.4.1.4.2. Eksitotoksisitas

Depolarisasi kemudian berujung pada eksitotoksisitas neuron,


dimana terjadi eksagerasi dari eksitasi neuron.20 Pada prosesnya,
depolarisasi membuka voltage-gated Ca2+ dan Na+ channels, lalu

13
menyebabkan keluarnya glutamat secara berlebihan ke celah sinaptik.
Keadaan ini kemudian menimbulkan eksitasi eksesif dengan adanya
stimulasi reseptor NMDA (N-methyl-d-aspartate) postsinaptik secara
berlebihan oleh glutamat.16 Disfungsi transpor glutamat juga terjadi pada
kondisi ini.22 Dengan adanya influks kalsium, protein yang berfungsi untuk
melangsungkan kematian sel diaktifkan dan memicu kaskade transduksi
sinyal menginisiasi kematian sel neuron.23

2.4.1.4.3. Stres oksidatif dan nitrosatif

Mitokondria membantu menyeimbangkan kadar kalsium intrasel


dengan cara mengambil kalsium dalam jumlah besar dan memfasilitasi
proses ATP-dependent calcium extrusion. Proses ini justru merusak dalam
keadaan iskemik, karena menghasilkan reactive oxygen spesies (ROS),23
seperti superoksida (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2) beserta reactive
nitrogen species (RNS) seperti nitrat oksida (NO) dan peroksinitrit
(ONOO-).21

Meningkatnya konsentrasi ion kalsium intrasel, ROS, dan RNS


akan menyebabkan kematian sel dengan cara :

1. Mengaktivasi protease yang merusak struktur sel [seperti protein, DNA


(deoxyribonucleic acid), dan lipid]24
2. Melakukan lisis lipid, yang mengganggu integritas membran16
3. Menstimulasi mikroglia untuk memproduksi substansi-substansi yang
bersifat sitotoksik
4. Mengganggu fungsi mitokondria
5. Menyebabkan pyknosis (kondensasi kromatin)23

14
Dalam hitungan menit setelah stroke iskemik fokal, daerah inti dari
jaringan otak yang terpapar kurangnya aliran darah secara dramatis menjadi
rusak dan berlanjut pada kematian sel nekrotik. Inti nekrotik ini dikelilingi
oleh zona yang kurang terpengaruh oleh aliran darah rendah, yang kemudian
mengalami penurunan fungsi, namun masih aktif secara metabolik. Daerah
ini dikenal sebagai penumbra, dimana neuron-neuron di daerah tersebut
dapat mengalami apoptosis setelah beberapa jam atau hari. Adapun
jaringan-jaringan ini dapat menjadi kembali normal setelah onset stroke.24

2.4.1.4.4. Apoptosis – jalur intrinsik dan ekstrinsik

Proses aktivasi apoptosis terbagi menjadi 2 jalur besar, yaitu


intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik teraktivasi ketika terjadi kondisi-
kondisi stres seperti kerusakan DNA, stres oksidatif, dan lainnya.25
Peningkatan konsentrasi kalsium di intrasel mengaktifkan kalpain, yang
memediasi katabolisme Bid (BH3-interacting domain death agonist)
menjadi Bid terpotong (tBid). Proses ini terjadi di membran luar
mitokondria, dimana famili protein Bcl-2 (B-cell lymphoma 2) memiliki
peran dalam meregulasi apoptosis, inhibisi protein antiapoptotis, dan
aktivasi protein pro-apoptosis [seperti Bad (Bcl-xL/Bcl-2 associated death
promoter) dan Bax (Bcl-2 associated x protein)]. tBid yang terbentuk
kemudian berinteraksi dengan protein apoptotik. 26 Proses ini akan membuka
permeability transition pore complex (PTPC) dan menghilangkan gaya
proton yang diperlukan untuk fosforilasi oksidatif dan penghasilan ATP.25

Hasil dari proses ini adalah pelepasan konstituen dari mitokondria


ke membran luar dan dalam mitokondria. Konstituen yang dimaksudkan
merupakan protein-protein yang berhubungan dengan apoptosis, yakni
sitokrom c, Smac/DIABLO (second mitochondria-derived activator of

15
caspase/direct IAP-binding protein with low pI), dan serin protease
HtrA2/Omi.27 Setelah pelepasan ke sitosol, sitokrom c menempel pada
apoptotic protein-activating factor-1 (Apaf-1) dan prokaspase-9 untuk
membentuk apoptosome, yang berfungsi untuk mengaktifkan kaspase-9 dan
kemudian kaspase-3. Kaspase-3 yang teraktivasi kemudian memotong
enzim perbaikan nDNA [seperti poli (ADP-ribosa) polymerase (PARP)],
yang berlanjut kepada kerusakan nDNA dan akhirnya apoptosis.17

Sementara itu, mekanisme ekstrinsik terjadi di ekstrasel melalui


pengaktifan reseptor yang terdapat pada permukaan sel, yakni CD95/FasR
(Cluster of differentiation 95/Fas receptor) dan DR4 (death receptor 4) oleh
molekul-molekul yang disebut juga sebagai lethal ligands atau death ligand
trimer.25 Ketika terjadi pengikatan ligand dengan reseptor, beberapa molekul
reseptor tergabung menjadi satu dan mengalami perubahan konformasi,
sehingga menyebabkan pembentukan kompleks multiprotein yang besar,
yang dikenal dengan nama Death Initiation Signalling Complex (DISC).
Pembentukan DISC ini sendiri akan berujung kepada aktifasi kaskade
kaspase, yang berujung kepada kematian sel.25

2.4.1.4.5. Inflamasi setelah stroke

Respon inflamatorik dipicu oleh beberapa faktor yang terdapat


dalam mekanisme stroke sendiri, seperti hipoksia, stres gesekan, debris sel
nekrotik, dan ROS.28 Peningkatan radikal bebas oksigen juga memicu
terjadinya ekspresi gen-gen pro-inflamatorik. Faktor-faktor pemicu ini dapat
menyebabkan aktivasi mikroglia (sel imun utama pada sistem saraf pusat), 29
peningkatan ekspresi gen untuk kemokin dan sitokin, serta ekspresi molekul
adesi seperti intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular
adhesion molecule (VCAM), selektin (P-selektin dan E-selektin), dan

16
integrin [Mac-1 (Macrophage-1) dan LFA-1 (Lymphocyte Function-
associated Antigen-1)] pada permukaan sel endotel, leukosit, dan platelet.28

Mikroglia yang teraktifasi akan terbentuk menjadi fagosit dan


berfungsi untuk melepaskan substansi-substansi seperti sitokin pro-
inflamatorik [TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α), IL-6 (Interleukin-6), IL-1β
(Interleukin-1β), molekul-molekul sitotoksik seperti NO dan ROS)30 atau
sitoprotektif.31 Peningkatan ekspresi gen kemokin akan memicu kemotaksis
dari sel inflamatorik ke bagian otak yang iskemik, khususnya di sekitar
penumbra, atau pada batas infark. Molekul-molekul adesi memediasi
terjadinya adesi leukosit (khususnya neutrofil) ke endotelium di bagian
perifer dari infark,32 sehingga menyebabkan oklusi28 dan alterasi dari
permeabilitas blood brain barrier (BBB).32 Dengan adanya kelainan pada
BBB ini, sel-sel imun dapat melakukan infiltrasi ke dalam parenkim otak,
dalam waktu 24 jam setelah onset iskemia.28

Infiltrasi oleh neutrofil, makrofag, sel dendritik, dan limfosit T


maupun B akan berujung pada eksositosis dan pelepasan molekul-molekul
proinflamatorik yang bermacam-macam, seperti NO, ROS, dan matriks
metalloproteinase (MMP).17 Masing-masing limfosit T CD4+ dan CD8+
berkontribusi dalam terjadinya kerusakan otak dengan memproduksi
mediator proinflamatorik, seperti interferon-γ (IFN-γ), IL-1β, IL-6,33 IL-17,
dan tumor necrosis factor (TNF), yang semuanya menimbulkan gangguan
pada BBB dan matriks ekstrasel.28

17
Gambar 2.1. Kaskade iskemia. iNOS, inducible nitric oxide synthase; PARP,
poly-A ribose polymerase.16

Lesi iskemik yang dalam dan kecil seringkali berhubungan


dengan penyakit yang melibatkan pembuluh darah kecil (small vessel
disease atau stroke lakunar). Jika aliran darah kembali normal sebelum
terjadi kematian sel yang signifikan, pasien bisa jadi hanya akan mengalami
gejala-gejala yang bersifat sementara, yang disebut juga transient ischemic
attack (TIA).16

2.4.2 Stroke hemoragik

Berdasarkan klasifikasinya, stroke hemoragik terbagi menjadi 2, yaitu


intracerebral hemorrhage (pendarahan intraserebral) dan subarachnoid hemorrhage
(pendarahan sub araknoid).14

18
2.4.2.1 Pendarahan intraserebral

Hipertensi merupakan penyebab pendarahan intraserebral yang paling


sering ditemukan. Kondisi ini dapat menimbulkan perubahan arteriosklerotik
pada pembuluh darah kecil, khususnya pada arteri-arteri kecil yang menembus
ke otak bagian dalam (seperti cabang-cabang arteri serebri media yang
memperdarahi ganglia basalis). Pembuluh darah yang terlibat kemudian
mengalami reduplikasi lamina interna, hialinisasi lamina media, serta
pembentukan mikroaneurisma yang dikenal dengan aneurisma Charcot-
Bouchard. Pembuluh-pembuluh darah tersebut kemudian menjadi lemah dan
akhirnya mengalami sobekan.4 Kondisi ini juga dapat terjadi pada pembuluh
darah yang mensuplai talamus, serebelum, dan pons.16

Pada pasien tanpa hipertensi namun berisiko tinggi, pendarahan


intraserebral dapat disebabkan oleh adanya cerebral amyloid angiopathy
(CAA). Pada kondisi ini, dinding dari arteri korteks serebri yang berukuran
kecil maupun sedang menjadi tempat terakumulasinya protein β-amyloid.
Penumpukan β-amyloid kemudian menggantikan kolagen serta elemen-elemen
kontraktil pembuluh darah, sehingga arteri menjadi rapuh dan kemudian
mengalami ruptur.4

Hematoma yang muncul akibat kelainan-kelainan diatas, bisa berukuran


kecil atau bisa juga berbentuk suatu gumpalan darah besar yang kemudian
menekan jaringan didekatnya. Tekanan ini muncul sebagai mass effect dari
hematoma tersebut, yang secara fisik mengganggu struktur dari parenkim otak
yang terlibat.16 Peningkatan tekanan intrakranial karena pembesaran hematoma
juga mengganggu aliran darah, deformasi mekanikal, pelepasan
neurotransmiter, disfungsi mitokondria, serta depolarisasi membran. Akibatnya,
kerusakan sel neuron di daerah perihematoma terdapat edema dan reaksi
inflamasi oleh faktor-faktor yang merupakan turunan dari darah. 34 Selain itu,

19
pembesaran hematoma dapat menyebabkan herniasi ataupun kematian. Darah
juga dapat masuk ke dalam rongga ventrikel, dimana kondisi ini dapat
meningkatkan morbiditas serta risiko terjadinya hidrosefalus.16

Mekanisme yang lain melibatkan kaskade penggumpalan darah oleh


trombin, setelah terjadinya kerusakan endotel beserta katabolisme hemoglobin.
Trombin bereaksi dengan protease-activated receptors 1 dan kemudian
mengaktivasi mikroglia di sistem saraf pusat serta kaskade complement. Dengan
begitu, berbagai mekanisme imun teraktifasi dan berkontribusi kepada
terjadinya apoptosis dan nekrosis. Influks heme ke dalam sel neuron setelah
kerusakan endotel akan berujung kepada pelepasan besi, yang selanjutnya
merusak sel neuron.34

2.4.2.2. Pendarahan subaraknoid

Pendarahan subaraknoid yang atraumatik paling sering disebabkan oleh


aneurisma (berry aneurysm). Pada berry aneurysm, ruptur pembuluh darah
terjadi pada titik-titik percabangan dari arteri-arteri yang terdapat di bagian
dasar otak. Lokasi-lokasi yang paling sering yaitu arteri komunikans anterior,
persimpangan antara arteri komunikans posterior dengan arteri karotis interna,
bifurkasi arteri serebri media, bagian atas arteri basilaris, asal dari cabang-
cabang besar arteri basilaris, serta asal dari arteri serebelaris posterior inferior. 35
Lamina elastika interna tampak mengalami kelainan dengan adanya kantong
yang kelihatan seperti buah beri, yang bisa ditemukan sendirian atau multipel.
Setelah ruptur, pendarahan subaraknoid pun terjadi.35

Arteriovenous malformation (AVM) juga dapat menimbulkan pendarahan


subaraknoid atraumatik. AVM sendiri terdiri dari pembuluh darah abnormal
yang memiliki alur yang kacau antara sistem arteri dan vena. Fistula
arteriovenosus paling sering ditemukan, dimana pembuluh darah di daerah

20
tersebut membesar dan bertumbuh seiring berjalannya waktu. Pada bagian
pembuluh darah yang abnormal tersebut, terdapat pembuluh darah yang
berdinding tipis, yang menjadi sumber terjadinya ruptur. AVM dapat terjadi
pada seluruh bagian otak, batang otak, serta korda spinalis, namun AVM
dengan ukuran paling besar lebih sering ditemukan pada hemisfer. Gangguan
aliran vena yang disebabkan stenosis atau oklusi dapat meningkatkan risiko
terjadinya pendarahan pada AVM. Akibat dari munculnya pendarahan oleh
karena adanya berry aneurysm atau AVM, vasospasme serebral, ruptur dan
pendarahan ulang, serta hidrosefalus dapat terjadi.35

2.5. Faktor Risiko Stroke

Faktor risiko stroke dibagi ke dalam 2 kelompok, yakni faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.4

2.5.1. Tidak dapat dimodifikasi :


a. Usia
Usia sendiri merupakan determinan terkuat dalam kejadian stroke
iskemik. Risiko kejadian stroke cenderung meningkat seiring
bertambahnya umur seseorang. Setelah 55 tahun, risiko stroke iskemik
meningkat dua kali lipat setiap bertambahnya umur sebanyak 1 dekade.
Risiko terkena stroke hemoragik cenderung tinggi setelah seseorang
mencapai usia lebih dari 45 tahun.36

b. Jenis kelamin
Secara keseluruhan, stroke lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki, karena perempuan memiliki masa hidup yang
lebih lama.36 Namun, risiko stroke iskemik lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Suatu studi kohort membuktikan bahwa angka

21
kejadian stroke iskemik pada laki-laki mencapai 4,5 dari 1000 orang,
sedangkan perempuan hanya mencakup 2,5 dari 1000 orang masing-
masing. Pada stroke hemoragik, laki-laki juga memiliki risiko yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan.37

c. Ras
Ras kulit hitam memiliki tingkat risiko yang dua kali lebih tinggi
dibandingkan kulit putih. Angka kasus kejadian tampak melonjak pada ras
kulit hitam yang berusia muda, dimana risiko pendarahan subaraknoid dan
intraserebral jauh lebih tinggi dari ras kulit putih. 36 Stroke iskemik juga
cenderung terjadi pada ras kulit hitam.34

2.5.2. Dapat dimodifikasi38


a. Tinggi tekanan darah
Hipertensi arterial menkontribusikan 60% dari seluruh kasus
stroke dengan adanya mekanisme-mekanisme seperti ateroma pada arteri
karotis interna, arteri vertebralis, dan arkus aorta; kerapuhan arteri-arteri
kecil; disfungsi ventrikel kiri dan fibrilasi atrium. Terapi diperlukan
apabila tekanan mancapai lebih dari 140/90 mmHg.17

b. Diabetes mellitus (DM)


Diestimasikan bahwa 11% dari seluruh kasus stroke dan 9,1% dari
seluruh kasus stroke berulang dikontribusikan oleh diabetes. Pasien
dengan diabetes juga memiliki tingkat mortalitas dan keparahan yang
lebih tinggi dibandingkan pasien stroke tanpa diabetes.17

c. Merokok

22
Merokok secara aktif maupun pasif merupakan faktor risiko stroke
iskemik dan hemoragik. Risiko stroke iskemik dua kali lebih tinggi pada
perokok dibandingkan pada orang yang tidak merokok. Risiko ini berlaku
bagi semua umur, jenis kelamin, dan ras.17

d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol berat memiliki faktor risiko stroke berulang pada
pasien dengan riwayat stroke iskemik dan hemoragik. Mekanisme yang
mendasari meningkatnya faktor risiko yaitu, hipertensi yang disebabkan
oleh alkohol, hypercoagulable state, kurangnya aliran darah ke otak, dan
fibrilasi atrium.17

e. Faktor risiko lainnya


Mencakup hiperkolesterolemia, obesitas, kurangnya aktifitas
fisik,17 penggunaan obat-obatan (seperti kokain dan amfetamin) dan obat-
obat kontrasepsi, stenosis karotis asimtomatik, transient ischemic attack,
genetik (bisa termasuk pada faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi).4

2.6. Diagnosis Stroke


Stroke iskemik dan stroke hemoragik masing-masing memiliki
manifestasi klinis yang berbeda-beda, sehingga diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya gejala yang khas, serta melalui pemeriksaan penunjang.4

2.6.1. Diagnosis Stroke Iskemik


Gejala klinis yang muncul akibat stroke iskemik bergantung kepada
distribusi pembuluh darah yang memperdarahi.4 (Tabel 2.4.)

23
Tabel 2.4. Gejala klinis stroke iskemik4
Arteri Gejala
Karotis komunis Asimtomatis.
Karotis interna 1. Kebutaan ipsilateral (amaurosis fugaks)
2. Hemiparesis dan hemihipestesia kontralateral
3. Hemianopia
4. Afasia atau denial dan hemineglect
Serebri media 1. Hemiparesis
2. Hemihipestesi
3. Hemianopia
4. Afasia atau denial dan hemineglect
Serebri anterior 1. Hemiparesis dan gangguan sensorik (defisit pada
tungkai lebih berat daripada lengan)
2. Abulia atau akinetik mutism, terutama pada
infark bilateral
Serebri posterior 1. Kortikal unilateral : hemianopia homonym,
aleksia, anomia warna
2. Kortikal bilateral : buta kortikal dengan atau
tanpa macular sparing
3. Talamus : gangguan sensorik murni, kadang
disertai nyeri sentral
4. Nukleus subtalamikus : hemibalismus
5. Lobus temporal inferior bilateral : amnesia
6. Mesensefealon : gangguan gerakan bola mata

24
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien stroke iskemik
yaitu :
a. Imaging kepala Computed Tomography (CT)-Scan kepala,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala atau CT-
Perfusion/MR-Perfusion.
b. Pemeriksaan pembuluh darah dapat dinilai dengan melakukan
Carotis Doppler, Transcranial Doppler (TCD) atau Transcranial
Colour-Coded Duplexsonography (TCCD), CT-Angiografi atau
Digital Substraction Angiography (DSA), dan MR-Angiografi.
c. Pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan untuk mencari
tahu adanya faktor-faktor risiko seperti diabetes mellitus,
gangguan hemostasis, dan hiperkolesterolemia.4

2.6.2. Diagnosis Stroke Hemoragik


Gejala klinis yang dialami pasien stroke hemoragik cenderung memiliki
onset yang tiba-tiba.4 Gejala-gejala tersebut adalah sebagai berikut.
 Sakit kepala
Pada pendarahan intrakranial sakit kepala berkaitan dengan
adanya hematoma besar.34 Khusus pada pendarahan subaraknoid, sakit
kepala seringkali dideskripsikan pasien sebagai nyeri kepala hebat (the
worst headache in life).4

 Mual dan muntah


Ditemukan pada sekitar 50% pasien dengan pendarahan
intrakranial yang melibatkan hemisfer otak, namun lebih sering
ditemukan pada pendarahan serebelum.34

 Kehilangan kesadaran

25
Stupor atau koma mengindikasikan adanya hematoma besar
yang melibatkan reticular activating system (RAS).34

 Amblyopia, diplopia, dan penglihatan kabur


Amblyopia mengindikasikan adanya juxtaclinoid aneurysm
yang mengkompresi nervus optikus.35

 Pinpoint pain di belakang mata


Kondisi ini bisa dibarengi dengan adanya kelainan pada nervus
okulomotorius, serta mengindikasikan adanya aneurisma pada titik
pertemuan antara arteri komunikans posterior dan arteri karotis
interna.35

 Kelumpuhan sensorimotor
Kelumpuhan sensorimotor berhubungan dengan adanya
hematoma pada daerah supratentorial yang melibatkan basal ganglia
atau talamus.34

 Afasia, apatis, deviasi penglihatan, gangguan kognitif, dan hemianopia


Gejala-gejala ini dapat timbul ketika adanya pendarahan lobar
dengan disfungsi higher cortex.34

 Kaku kuduk
Terjadi pada stroke pendarahan subaraknoid, karena adanya
iritasi pada meningen yang disebabkan oleh terakumulasinya darah di
rongga subaraknoid.4

26
 Kejang.
Kejang ditemukan pada 10% pasien pendarahan intrakranial
dan 50% pada pasien dengan pendarahan lobar. Kejang juga seringkali
muncul pada saat mulai pendarahan atau dalam 24 jam pertama
terjadinya pendarahan.34 Meskipun demikian, kejang dapat terjadi pada
stroke iskemik, namun penelitian-penelitian lain mendukung bahwa
stroke hemoragik cenderung lebih sering menyebabkan kejang.10

CT-scan merupakan teknik imaging yang menjadi standar


emas dalam penegakkan diagnosis stroke hemoragik. Namun, MRI
dan x-ray angiografi serebral juga dapat digunakan.4

2.7. Epidemiologi Kejang Pasca Stroke


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kejang merupakan salah satu
gejala stroke. Koome et al mengambil kutipan dari penelitian Graham et al,
yang menunjukkan bahwa hingga 12% penderita stroke mengalami kejang
pasca stroke. Koome et al juga mengutip dari penelitian Menon yang
menyatakan bahwa stroke merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa dengan epilepsi onset baru di negara maju. 7
Dilaporkan juga bahwa penyakit serebrovaskuler, termasuk stroke, mewakili
50% kasus baru kejang epileptik pada pasien diatas 65 tahun.39

2.8. Patofisiologi Kejang Akibat Stroke


Kejang akibat stroke dapat terjadi baik secara akut maupun kronis. Kejang
akut adalah kejang yang terjadi pada saat mulainya stroke, dimana kondisi ini
lebih cenderung terjadi pada stroke dengan emboli dibandingkan hemoragik
atau trombotik. Kejang kronis secara tipikal muncul berbulan-bulan sampai

27
bertahun-tahun setelah stroke pertama dan berkaitan dengan semua jenis stroke.
Kejang akut terjadi dengan mekanisme yang berbeda dengan kejang kronis.39

2.8.1. Kejang akut akibat stroke


Pada kejang akut, terjadi mekanisme seperti pada stroke iskemik,
yakni eksitotoksisitas neuron. Kondisi iskemia akan menyebabkan influks
kalsium dari ekstrasel, kemudian membuka voltage-dependent sodium
channels, influks sodium, dan terbentuknya aksi potensial yang repetitif. 39
Pada stroke hemoragik, pendarahan akan menyebabkan terpaparnya besi
dalam darah dengan membran sel neuron, yang menyebabkan peroksidasi
dari membran lipid dan kemudian meningkatkan arus eksitatorik, sehingga
terjadi penurunan ambang kejang membran.40
Kondisi-kondisi tersebut selanjutnya akan menyebabkan depolarisasi
dalam durasi yang lama,39 dimana terjadi pelepasan glutamat secara
berlebihan ke celah sinaptik beserta disfungsi transpor glutamat,22 yang
kemudian menyebabkan eksitasi berlebihan. Proses ini menstimulasi
terbentuknya aktifitas bursting dari sel neuron secara individu (paroxysmal
depolarization shift). Dengan adanya aktifasi yang cukup, perekrutan sel
neuron lain dapat terjadi, dimana kumpulan sel neuron normal yang
mengelilingi sel-sel neuron yang terlibat kejang kemudian ikut menjadi
abnormal dan turut membentuk aktifitas kejang.39
Proses perekrutan tersebut dapat terjadi melalui mekanisme-
mekanisme sinaptik maupun nonsinaptik, yakni :
1. Peningkatan kadar potasium di ekstrasel, sehingga mengganggu
hiperpolarisasi dan juga menyebabkan depolarisasi sel neuron di
dekatnya.
2. Akumulasi kalsium di terminal presinaptik, yang berujung
kepada peningkatan pelepasan neurotransmiter

28
3. Aktifasi subtipe reseptor NMDA yang ditimbulkan oleh
depolarisasi, yang selanjutnya menyebabkan influks kalsium
beserta aktifasi neuron.
4. Interaksi efaptik yang berhubungan dengan perubahan tingkat
osmolaritas jaringan dan pembengkakan sel.39

Perekrutan sel neuron dalam jumlah yang cukup akan berujung


kepada propagasi gelombang eksitatorik ke daerah yang berdekatan melalui
koneksi korteks lokal dan juga ke daerah yang lebih jauh melalui jalur
komisura seperti korpus kalosum.39 Akibatnya, sejumlah besar neuron
eksitatorik lokal yang terekrut melepaskan impuls yang intens secara hampir
bersamaan (hipersinkronisasi),34 sehingga pada EEG (elektroensefalogram)
akan tampak ”spike”, yakni ciri khas presentasi EEG dari kejang.39

Pada kejang fokal, aktifitas kejang dapat dimulai dari daerah korteks
yang diskrit, lalu kemudian secara perlahan memenginvasi daerah di
sekitarnya. Adapun barisan depan dari aktifitas kejang yang menyebar
kemudian melambat dan akhirnya dihalangi oleh adanya hiperpolarisasi yang
dimediasi oleh reseptor γ-aminobutyric acid (GABA) atau potassium
channel. Di sisi lain, penyebaran aktifitas kejang juga diinhibisi oleh sel
neuron inhibitorik yang teraktifasi.39

2.8.2. Kejang kronis akibat stroke


Kejang kronis akibat stroke cenderung berkaitan dengan adanya
perubahan struktur jaringan sel neuron menjadi jaringan dengan tingkat
eksitabilitas yang tinggi (hipereksitabilitas) secara kronis. Kondisi ini terjadi
pada atrofi otak, gliosis,41 dan meningocerebral scarring.42 Proses tersebut
dinamakan juga epileptogenesis. Perubahan patologis ini menurunkan
ambang kejang pada daerah otak yang terlibat hingga menimbulkan kejang
secara spontan.39

29
Proses-proses yang terlibat dapat dilihat dalam berbagai penelitian
yang meneliti tentang epileptogenesis di lobus temporal, dimana terdapat
kerusakan sel-sel neuron yang berfungsi untuk menginhibisi sel-sel neuron
eksitatorik utama di girus dentatus. Sebagai akibat kerusakan serta tidak
berfungsinya sel-sel neuron tersebut, reorganisasi atau sprouting dari neuron
(khususnya akson mossy-fiber)41 yang bertahan hidup kemudian
mempengaruhi eksitabilitas dari jaringan sel neuron.
Pada kondisi tersebut, input eksitatorik yang normal akan
menimbulkan eksitasi yang berlebihan.39 Hal ini dapat dilihat pada adanya
proyeksi sel granul dentatus ke neuron CA3. Meningkatnya aktifitas di
proyeksi mossy-fiber akan menimbulkan eksitasi yang eksesif dari neuron
CA3. Sehingga, stimulus eksitatorik normal dari korteks entorinal ke sel-sel
granul dentatus yang mengalami reorganisasi akan menimbulkan eksitasi
berlebihan dari neuron CA3 dalam konteks berkurangnya inhibisi. Dengan
begitu, terjadi inisiasi pelepasan signal yang berulang ke neuron setelah
CA3.43 Selain itu, juga terjadi alterasi jangka panjang dalam komponen-
komponen intrinsik dan biokimia dari sel-sel neuron (seperti disfungsi
glutamat dan GABA), dimana kaskade inflamatorik menjadi faktor penting.
Adapun synaptic loop multipel pada lobus temporalis rentan terhadap
aktifitas listrik abnormal, yang meningkatkan risiko epileptogenesis.41
Dengan adanya cedera (seperti trauma kepala), hipereksitabilitas yang
terjadi kemudian akan berujung kepada perubahan struktural yang lebih
lanjut seiring berjalannya waktu, sampai suatu lesi fokal menimbulkan gejala
kejang yang tampak secara klinis.39 Ada periode jeda yang panjang antara
kejadian stroke dengan munculnya kejang pertama, dimana periode jeda
tersebut bisa mencapai hingga berbulan-bulan maupun bertahun-tahun.43

30
2.9. Definisi Kejang
Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang terjadi sebagai akibat dari
aktivitas listrik yang abnormal dan hipersinkron dari neuron susunan saraf pusat.44

2.10. Klasifikasi Kejang


International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2010 membuat
klasifikasi kejang terbaru (Tabel 2.5.).43 Klasifikasi ini juga didasarkan pada
manifestasi klinis kejang beserta hasil EEG yang ditemukan.39

Tabel 2.5. Klasifikasi kejang menurut ILAE 201043


Kejang fokal Deskriptor untuk kejang fokal :
1. Tanpa gangguan kesadaran
atau awareness
- Dengan komponen motor
atau otonom yang bisa
diobservasi
- Hanya melibatkan
fenomena sensorik atau
cenayang yang subjektif
2. Dengan gangguan kesadaran
atau awareness
3. Berkembang menjadi kejang
konfulsif bilateral
Kejang umum 1. Kejang absans
- Tipikal
- Atipikal
- Absans dengan manifestasi
khusus
a. Absans mioklonik

31
b. Mioklonia kelopak
mata
2. Tonik klonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Atonik
6. Mioklonik
- Mioklonik
- Mioklonik atonik
- Mioklonik tonik
Bisa fokal, umum, atau Spasme epileptik
belum jelas

Pada dasarnya, kejang dapat terjadi baik secara fokal maupun umum. Kejang
fokal biasanya berkaitan dengan adanya kelainan struktural pada otak, sedangkan
kejang umum bisa terjadi akibat kelainan seluler, biokimia, atau struktural, yang
terdistribusi secara luas.39

2.10.1. Kejang fokal

Aktifitas kejang fokal muncul dari jaringan neuron yang diskrit dan
dapat terdistribusi lebih luas, namun terbatas hanya pada satu hemisfer
serebrum saja. Meskipun begitu, kejang fokal dapat berubah menjadi kejang
umum, dimana terdapat aura sebelum terjadinya kejang. EEG interiktal rutin
pada pasien dengan kejang fokal cenderung normal atau bisa menunjukkan
gelombang yang disebut epileptiform spikes atau gelombang tajam.39

2.10.1.1. Kejang fokal tanpa kelainan kognitif

32
Kejang fokal dapat menimbulkan gejala-gejala motorik, sensorik,
otonomik, atau cenayang, tanpa adanya gangguan kognitif. Pasien dengan
kejang fokal motorik yang melibatkan korteks motor primer, berdekatan
dengan daerah yang mengatur pergerakan tangan, akan mengalami pergerakan
tangan kontralateral involunter. Pergerakan tersebut secara tipikal merupakan
pergerakan klonik (seperti gerakan fleksi/ekstensi berulang-ulang) dengan
frekuensi ~2-3 Hz. Selain itu, postur tonik juga bisa ditemukan. Daerah
korteks yang mengatur pergerakan tangan memiliki lokasi yang sangat dekat
dengan daerah untuk ekspresi fasial, sehingga kejang ini juga akan
menimbulkan pergerakan abnormal dari wajah. EEG elektroda kulit kepala
ketika pada waktu kejang bisa menunjukkan adanya gelombang abnormal di
daerah yang terbatas dalam area yang seharusnya di korteks serebri, jika fokus
kejang melibatkan konveksitas serebrum. Jika aktifitas kejang terjadi di
bagian yang lebih dalam, maka diperlukan elektroda intrakranial.

Pasien dengan pergerakan yang dimulai dari daerah-daerah kecil


seperti jari-jari dapat secara gradual berkembang melibatkan daerah yang
lebih besar dari anggota gerak. Fenomena ini disebut Jacksonian march, yang
mewakili penyebaran aktifitas kejang di sepanjang daerah yang luas pada
korteks motorik. Pasien juga dapat mengalami paresis lokal (Todd’s paresis)
selama hitungan menit atau berjam-jam pada daerah yang terlibat, setelah
terjadinya kejang. Pada kasus-kasus tertentu, kejang juga dapat berlanjut
selama berjam-jam atau berhari-hari. Kondisi ini juga disebut sebagai
epilepsia partialis continua.

Kejang fokal bisa juga memiliki manifestasi seperti perubahan pada


sensasi somatik (seperti parestesia), penglihatan (kedipan cahaya atau
halusinasi), ekuilibrium (sensasi jatuh atau vertigo), atau fungsi otonomik
(berkeringat, piloereksi). Kejang fokal yang muncul dari daerah korteks
temporal atau frontal juga dapat menyebabkan alterasi pada pendengaran,

33
penciuman, atau higher cortical function (gejala cenayang). Gejala-gejala
tersebut juga termasuk adanya bau yang tidak biasa dan intens (seperti bau
karet yang dibakar atau kerosene), suara (suara kasar yang kompleks), atau
sensasi epigastrik yang muncul dari gaster atau dada ke kepala. Beberapa
pasien mengalami perasaan internal yang aneh seperti ketakutan, perasaan
akan terjadi sesuatu, detachment, depersonalisasi, déjà vu, atau ilusi bahwa
objek-objek tertentu menjadi lebih kecil (mikropsia) atau besar (makropsia).
Kejadian-kejadian subjektif dan internal ini juga disebut sebagai aura.39

2.10.1.2. Kejang fokal dengan kelainan kognitif

Kejang fokal juga dapat disertai gangguan sementara pada kemampuan


pasien untuk mempertahankan komunikasi yang normal dengan lingkungan
sekitarnya. Pasien tidak bisa merespon dengan normal terhadap perintah
visual atau verbal ketika sedang mengalami kejang dan memiliki gangguan
ingatan serta awareness mengenai terjadinya fase iktal. Selain itu, ada gejala
penyerta seperti automatism, yaitu perilaku involunter dan otomatis yang
dapat terdiri dari perbuatan-perbuatan sederhana seperti mengunyah,
mengecap bibir, menelan, gerakan “mengambil” dari tangan, atau perilaku-
perilaku seperti menunjukkan emosi atau berlari. Pasien bingung setelah
kejang, dimana transisi ke pemulihan kesadaran total dapat terjadi dari
hitungan detik sampai satu jam. Secepatnya setelah kejang, amnesia
anterograde atau afasia postiktal dapat ditemukan. EEG tambahan dapat
berguna apabila kejang fokal sulit dibedakan dengan penyakit lain untuk
penegakkan diagnosis.39

34
2.10.2. Kejang Umum

Kejang umum diduga berasal dari satu titik di otak, namun secepatnya
menyebar dengan melibatkan jaringan neuron di kedua hemisfer serebrum. Beberapa
tipe kejang umum memiliki manifestasi yang membuat mereka masing-masing
berbeda dan juga membantu diagnosis.39

2.10.2.1. Kejang absans tipikal

Kejang absans tipikal ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran


yang tiba-tiba dan cepat tanpa adanya kehilangan kendali postur tubuh.
Uniknya, gejala kejang hanya berlangsung sekian detik dan kesadaran pulih
secepatnya secara tiba-tiba, tanpa adanya kebingungan postiktal. Walaupun
kehilangan kesadaran bisa tidak ditemukan pada waktu pemeriksaan, kejang
absans biasanya disertai gejala-gejala motor bilateral ringan seperti
mengedipkan mata secara cepat, gerakan mengunyah, atau pergerakan klonik
dengan amplitudo kecil.

Kejang absans tipikal cenderung terjadi pada kelompok orang yang


memiliki epilepsi genetik dengan onset biasanya pada anak-anak (umur 4-8
tahun) atau remaja dan merupakan jenis kejang yang mewakili 15-20% anak-
anak dengan epilepsi. Kejang dapat terjadi beratus-ratus kali dalam sehari.
Oleh karena gerjala-gejalanya yang ringan, orang tua yang tidak memiliki
pengalaman sebelumnya mengenai kejang absans cenderung
mendeskripsikannya sebagai daydreaming dan juga penurunan performa
akademik yang diobservasi oleh guru.

Pada EEG, kejang absans tipikal menunjukkan adanya gelombang


yang menyeluruh, simetris, dan spike-and-wave 3-Hz yang mulai serta
berakhir secara mendadak. Periode spike-and-wave yang berlangsung lebih
dari beberapa detik biasanya berkorelasi dengan tanda-tanda klinis, namun
EEG cenderung menunjukkan lebih banyak burst singkat dari aktifitas

35
abnormal korteks dibandingkan dengan yang diduga secara klinis.
Hiperventilasi biasanya memprovokasi terjadinya perubahan elektrografik
ini.39

2.10.2.2. Kejang absans atipikal

Kejang absans atipikal memiliki manifestasi yang berlawanan dengan


kejang absans tipikal, baik secara klinis maupun elektrofisiologis. Durasi
hilangnya kesadaran cenderung lebih panjang dengan onset dan
pemberhentian yang kurang tiba-tiba. Kejang biasanya disertai gejala motorik
yang nampak dan bisa dalam bentuk fokal atau lateral. EEG menunjukkan
adanya pola spike-and-wave yang pelan dengan frekuensi ≤2.5 per detik
beserta aktifitas abnormal lainnya. Kejang absans atipikal biasanya berkaitan
dengan abnormalitas struktural yang menyebar atau multifokal seperti
retardasi mental. Respon terhadap antikonvulsan juga cenderung kurang
responsif dibandingkan dengan kejang absans tipikal.39

2.10.2.3 Kejang umum tonik-klonik

Kejang umum tonik-klonik merupakan tipe kejang pada sekitar 10%


orang dengan epilepsi. Kejang umum tonik-klonik juga merupakan tipe
kejang yang paling sering disebabkan oleh kelainan metabolik, sehingga
sering juga ditemukan pada konteks klinis yang beragam. Kejang biasanya
dimulai secara mendadak tanpa tanda-tanda, walaupun beberapa pasien
mengeluhkan adanya gejala-gejala tertentu berjam-jam sebelum kejang.
Gejala prodromal ini berbeda dengan aura yang dialami pasien dengan kejang
fokal yang berubah menjadi umum. Fase awal kejang biasanya merupakan
kontraksi tonik dari otot di seluruh tubuh. Kontraksi tonik dari otot untuk

36
ekspirasi dan laring akan menghasilkan erangan yang keras (ictal cry).
Respirasi terganggu, sekret terkumpul di orofaring, dan terbentuk sianosis.
Kontraksi otot rahang juga dapat menimbulkan gejala menggigit lidah.
Peningkatan tonus simpatik juga berujung kepada meningkatnya kecepatan
denyut jantung, tekanan darah, dan ukuran pupil.

Setelah 10 – 20 detik, fase tonik dari kejang berubah menjadi fase


klonik, yang dihasilkan oleh superimposisi dari relaksasi otot yang mengalami
kontraksi tonik. Periode relaksasi meningkat secara progresif sampai akhir
fase iktal, yang biasanya berlangsung selama tidak lebih dari 1 menit. Fase
postiktal ditandai dengan tidak adanya respon, kelemahan otot, dan salivasi
berlebihan yang bisa menyebabkan pernapasan stridor serta obstruksi parsial
dari jalur udara. Inkontinensia kemih atau usus dapat juga terjadi pada titik
ini. Kesadaran pasien mulai pulih secara bertahap dalam hitungan menit
sampai berjam-jam. Dalam transisi tersebut, bisa terdapat periode
kebingungan postiktal. Setelah itu, pasien biasanya mengalami sakit kepala,
kelelahan, dan nyeri otot.

EEG pada waktu fase tonik kejang menunjukkan adanya peningkatan


aktifitas menyeluruh yang cepat dan bervoltase rendah, diikuti oleh
gelombang menyeluruh dengan amplitudo tinggi beserta polyspike. Pada fase
klonik, aktifitas amplitudo tinggi diinterupsi oleh gelombang lambat yang
menghasilkan pola spike-and-wave. EEG postiktal menunjukkan perlambatan
menyeluruh yang pulih secara bertahap ketika pasien bangun. Ada beberapa
varian dari kejang umum tonik-klonik, termasuk kejang yang hanya semata-
mata kejang tonik dan kejang klonik. Kejang tonik singkat selama beberapa
detik perlu diperhatikan, karena seringkali berkaitan dengan sindrom epilepsi,
seperti sindrom Lennox-Gastaut.39

37
2.10.2.4. Kejang atonik

Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot postural yang


tiba-tiba dan berlangsung selama 1 – 2 detik. Kesadaran terganggu secara
singkat, namun tidak terdapat kebingungan postiktal. Kejang yang sangat
singkat hanya akan menyebabkan anggukan kepala secara cepat, sementara
kejang dengan durasi yang lebih panjang menyebabkan pasien pingsan. Hal
ini sangat berbahaya, karena adanya risiko tejadinya cedera kepala ketika
pasien jatuh. Rekaman EEG menunjukkan gelombang spike-and-wave
menyeluruh diikuti oleh gelombang lambat yang berkorelasi dengan
kehilangan tonus otot. Seperti kejang murni tonik, kejang atonik juga biasanya
ditemukan pada orang dengan sindrom epilepsi.39

2.10.2.5. Kejang mioklonik

Mioklonus adalah kontraksi otot mendadak yang berlangsung cepat


dan bisa melibatkan satu atau seluruh bagian tubuh. Bentuk fisiologis dari
mioklonus adalah gerakan menyentak tiba-tiba yang bisa diobservasi pada
waktu tidur. Mioklonus patologis dapat ditemukan pada pasien dengan
kelainan metabolik, penyakit sistem saraf pusat yang degeneratif, atau cedera
otak anoksik. Kejang mioklonik dianggap sebagai kejadian epileptik, karena
kejang mioklonik sendiri disebabkan oleh kelainan kortikal. EEG
menunjukkan gelombang spike-and-wave yang sinkron serta bersinkronisasi
dengan mioklonus, walaupun memang gelombang tersebut dapat terhalangi
oleh pergerakan artefak. Kejang mioklonik biasanya disertai juga dengan

38
bentuk kejang umum yang lain, namun menjadi gejala yang predominan pada
epilepsi mioklonik juvenile.39

2.10.3. Kejang yang tidak dapat diklasifikasi

Tidak semua tipe kejang dapat dikelompokkan sebagai fokal atau umum,
sehingga harus dikategorikan sebagai “tidak dapat diklasifikasi” sampai adanya bukti
tambahan yang memperbolehkan terbentuknya klasifikasi yang sah. Kejang ini
ditandai dengan fleksi atau ekstensi yang singkat dan tidak terinterupsi otot-otot
proksimal, seperti otot trunkal. EEG menunjukkan adanya hipsaritmia, yang terdiri
dari gelombang menyeluruh yang besar dengan latar belakang terdiri dari spike
multifokal serta gelombang tajam yang kacau dan ireguler. Pada waktu spasme klinis,
terdapat supresi dari latar belakang EEG (electrodecremental response). EMG
(elektromiogram) menunjukkan adanya pola romboid yang khas dan bisa membantu
membedakan spasme dari kejang tonik atau mioklonik yang singkat. Spasme
epileptik secara predominan terjadi pada balita dan bisa dikarenakan perbedaan
fungsi neuron dan konektivitas pada sistem saraf pusat yang belum dewasa dan sudah
dewasa.39

2.10.4. Bentuk kejang lainnya

Adapun kejang dapat bermanifestasi dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti


epilepsi. Epilepsi sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang
mengalami kejang berulang karena adanya suatu proses kronis yang mendasarinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan jika ada kencenderungan yang besar untuk terjadinya
kejang berulang lebih dari 24 jam.45 Terjadinya epilepsi disebabkan oleh mekanisme
yang menyebabkan jaringan sel neuron pada sistem saraf pusat untuk mengalami
perubahan patologis yang kronis, dimana jaringan sel neuron yang terlibat kemudian

39
memiliki tingkat eksitabilitas yang tinggi (hyperexcitability). Proses tersebut
dinamakan juga epileptogenesis.39

Pada anak-anak, kejang yang paling sering ditemukan yaitu kejang demam
(febrile seizure), yang adalah kejang yang muncul berkaitan dengan adanya demam,
namun tanpa adanya bukti infeksi sistem saraf pusat atau penyebab lain yang pasti.
Adapun kejang demam biasanya terjadi diantara umur 3 bulan sampai 5 tahun. Pada
wanita, kejang juga dapat ditemukan dalam bentuk epilepsi katamenial, dimana
frekuensi kejadian kejang meningkat pada periode di sekitar terjadinya menstruasi.39

Status epileptikus juga merupakan salah satu bentuk kejang, dimana kejang
terjadi secara terus-menerus atau berulang-ulang dan diskrit disertai gangguan
kesadaran pada periode interiktal. Durasi dari aktifitas kejang pada status epileptikus
bisa mencapai 15-30 menit. Selain itu, kejang dapat terjadi dalam bentuk psikogenik
(kejang psikogenik), dimana terdapat gejala-gejala seperti memutar kepala dari satu
sisi ke sisi yang lain, pergerakan gemetar dari anggota gerak secara asimetris dan
beramplitudo luas, dan kedutan pada keempat anggota gerak tanpa kehilangan
kesadaran. Manifestasi klinis tersebut cenderung menjadi bagian dari reaksi konversi
yang disebabkan oleh kelainan psikologis.39

2.11. Epidemiologi Kejang


Diperkirakan 5-10% orang menderita kejang selama hidupnya, dengan
insidensi tertinggi pada anak-anak dan orang dewasa tua. 39 Dilaporkan juga bahwa
sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengidap kejang epileptik, dimana hampir 80%
penderita berasal dari negara dengan tingkat pendapatan rendah sampai menengah,
termasuk Indonesia.6 Untuk kejang demam, prevalensi keseluruhan mencapai 3 – 5%
dan bahkan lebih tinggi di benua Asia. Selain itu, di benua Asia juga dilaporkan
bahwa insidensi kasus status epileptikus mencapai 42/100000/tahun, dimana 53 –
57% laki-laki mengidap status epileptikus. 46 Di Indonesia, prevalensi penderita

40
kejang epileptik mencapai kira-kira 0,5-0,6%, sehingga diperkirakan ada sekitar 1,5
juta orang di Indonesia yang mengalami penyakit ini.47

2.12. Etiologis Kejang


Etiologis kejang sendiri cenderung berbeda-beda di setiap rentang umur
tertentu, sehingga dapat dikelompokkan berdasarkan umur dari penderita. (Tabel 2.6.)

Tabel 2.6. Etiologis kejang39

Bayi baru lahir (<1 bulan) 1. Hipoksia perinatal dan iskemia


2. Pendarahan intrakranial dan trauma
3. Infeksi sistem saraf pusat
4. Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesemia,
kekurangan piridoksin)48
5. Pemberhentian pemakaian obat
6. Kelainan tumbuh kembang
7. Kelainan genetik
Balita dan anak-anak (>1 bulan dan 1. Kejang demam
<12 tahun) 2. Kelainan genetik (metabolik,
degeneratif, sindrom epilepsi primer)
3. Infeksi sistem saraf pusat
4. Kelainan tumbuh kembang
5. Trauma
Remaja (12-18 tahun) 1. Trauma
2. Kelainan genetik
3. Infeksi
4. Penggunaan obat-obatan terlarang
(antidepresan, tramadol,

41
diphenhidramine, isoniazid, kokain,
metamfetamin, dan lainnya)48
5. Tumor otak
Dewasa muda (18-35 tahun) 1. Trauma
2. Pemberhentian konsumsi alkohol
3. Penggunaan obat-obatan terlarang
(antidepresan, tramadol,
diphenhidramine, isoniazid, kokain,
metamfetamin, dan lainnya)48
5. Tumor otak
6. Autoimun
Dewasa tua (>35 tahun) 1. Penyakit serebrovaskuler (seperti
stroke)
2. Tumor otak
3. Pemberhentian konsumsi alkohol
4. Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepar, kelainan elektrolit,
hipoglikemia, hiperglikemia)
5. Alzheimer’s disease dan penyakit
degeneratif pada sistem saraf pusat
lainnya
6. Autoimun

2.13. Patofisiologi Kejang


Kejang terjadi ketika adanya peralihan keseimbangan normal dari
eksitasi dan inhibisi pada sistem saraf pusat. Eksitabilitas neuron dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga ada banyak cara yang dapat terjadi

42
untuk mengganggu keseimbangan normal. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya
penyebab kejang. (Tabel 5.).
Patofisiologi kejang yang berkaitan dengan stroke telah dibahas pada
sub-bab 2.6.5. Namun, penyebab-penyebab kejang selain stroke juga dapat
dijelaskan dengan mekanisme tersebut. Contohnya, penelanan asam domoat
(analog dari glutamat) dapat menyebabkan kejang dengan cara mengaktifasi
reseptor asam amino eksitatorik yang terdapat di sistem saraf pusat. Penisilin
juga menurunkan ambang kejang, dimana terjadi inhibisi karena penisilin
berperan sebagai antagonis dari efek GABA pada reseptornya. Meskipun
demikian, faktor-faktor lain seperti demam, infeksi, pemberhentian konsumsi
alkohol, kurangnya waktu tidur, dan faktor-faktor endogen (seperti genetik)
masih memiliki mekanisme-mekanisme yang belum jelas, tapi diduga
melibatkan gangguan eksitabilitas neuron.39

2.14. Diagnosis Kejang

Diagnosis kejang seniri dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis serta


rekaman EEG, seperti yang telah diuraikan pada sub bab 2.8.1 sampai 2.8.3.
Namun, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat juga sangat diperlukan
dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium beserta pencitraan otak
juga dapat dilakukan sebagai penunjang diagnosis.39

2.14.1. Anamnesis

Tujuan pertama dilakukannya anamnesis yaitu untuk menentukan


apakah pasien benar-benar mengalami kejang. Riwayat yang jelas perlu
didapatkan, karena pada banyak kasus, diagnosis kejang hanya didasarkan
semata pada dasar riwayat klinis, dimana pemeriksaan fisik maupun
laboratorium cenderung normal. Gejala-gejala juga harus ditanyakan dengan
perhatian kepada manifestasi yang terjadi sebelum, selama, dan setelah episode

43
kejang untuk membedakan kejang dengan penyakit lain yang menjadi diagnosis
banding seperti sinkop.

Anamnesis juga harus berfokus kepada faktor-faktor risiko dan


predisposisi seperti riwayat kejang demam, aura dini atau kejang singkat, dan
riwayat kejang keluarga. Faktor epileptogenik seperti trauma kepala, stroke,
tumor, atau infeksi sistem saraf pusat juga harus diidentifikasikan. Pada anak-
anak, penilaian riwayat tumbuh kembang dapat mengindikasikan adanya
penyakit sistem saraf pusat yang mendasarinya. Faktor-faktor pemicu seperti
kurangnya waktu tidur, penyakit sistemik, kelainan metabolik atau elektrolit,
infeksi akut, obat-obatan yang menurunkan ambang kejang, konsumsi alkohol,
dan penggunaan obat-obatan terlarang juga harus diidentifikasi.39

2.14.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum termasuk pada penilaian kualitatif mengenai


tanda-tanda infeksi atau penyakit sistemik. Pemeriksaan pada kulit dapat
menunjukkan adanya penyakit neurokutan seperti tuberous sclerosis,
neurofibromatosis, penyakit liver kronis, atau penyakit ginjal kronis.
Organomegali mengindikasikan adanya penyakit metabolik. Asimetris dari
anggota gerak juga dapat memberi petunjuk adanya cedera otak pada masa
perkembangan dini. Tanda-tanda trauma kepala dan penggunaan alkohol atau
obat-obatan terlarang juga harus dinilai. Auskultasi jantung dan arteri karotis
dapat mendindikasikan adanya abnormalitas yang menjadi predisposisi terhadap
penyakit serebrovaskuler.

Semua pasien harus mendapat pemeriksaan neurologis lengkap,


dengan memperhatikan kepada tanda-tanda penyakit hemisfer serebrum.
Penilain status mental seperti memori, fungsi bahasa, dan berpikir abstrak dapat
mengindikasikan adanya lesi di lobus frontalis anterior, parietalis, atau

44
temporalis. Uji lapang pandang juga dapat dilakukan untuk membantu skrining
adanya lesi pada jalur optik dan lobus oksipital. Uji skrining terhadap fungsi
motor seperti pronator, refleks tendon dalam, cara berjalan, dan koordinasi
dapat menunjukkan adanya lesi pada korteks motorik (frontal), dan uji sensorik
kortikal (seperti double simultaneous simulation) dapat mendeteksi lesi pada
korteks parietalis.39

2.14.3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin dapat dilakukan untuk mengindentifikasi


penyebab metabolik, seperti kelainan elektrolit, glukosa, kalsium, atau
magnesium, dan penyakit hepar atau ginjal. Skrining untuk memeriksa toksin
dalam darah dan urine harus dilakukan pada semua pasien dengan risiko tinggi,
khususnya ketika faktor pemicu belum diketahui. Pungsi lumbar juga
diindikasikan apabila ada dugaan adanya meningitis atau ensefalitis. Pungsi
lumbar wajib dilakukan pada semua pasien yang terinfeksi HIV, bahkan jika
pasien tidak menunjukkan adanya tanda atau gejala infeksi. Uji autoantibodi
pada serum dan cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien yang
datang dengan epilepsi yang tampak agresif, yang berkaitan dengan gangguan
lain seperti gangguan kognitif.39

2.14.4. Pencitraan otak

Hampir semua pasein dengan kejang beronset baru sebaiknya


dilakukan pemeriksaan pencitraan (imaging) otak untuk menentukan adanya
abnormalitas struktural yang mendasarinya. Kemungkinan pengecualian yaitu
pada anak-anak dengan riwayat penyakit kejang ringan dan menyeluruh, seperti
epilepsi absans. MRI lebih baik daripada CT-scan dalam mendeteksi lesi

45
serebral yang berkaitan dengan epilepsi. Pada beberapa kasus, MRI dapat
mengindentifikasi lesi seperti tumor, malformasi vaskuler, atau patologi lain
yang membutuhkan terapi darurat. Metode MRI yang baru seperti 3-tesla
scanner, pencitraan paralel dengan multichannel head coils, pencitraan
struktural pada resolusi submilimeter yang tiga dimensi, dan fluid-attenuated
inversion recovery (FLAIR), meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi
kelainan pada struktur korteks, termasuk atrofi hipokampus yang berkaitan
dengan sklerosis mesial temporal dan kelainan migrasi neuron korteks.

Pada pasien yang diduga infeksi sistem saraf pusat atau lesi massa,
CT-scan dapat dilakukan secepatnya apabila MRI belum dapat tersedia
secepatnya. Lagipula, biasanya MRI lebih baik dilakukan beberapa hari setelah
evaluasi inisial. Penctiraan fungsional seperti positron emission tomography
(PET) dan single-proton emission computed tomography (SPECT) juga
digunakan untuk mengevaluasi pasien-pasien tertentu dengan kejang
refraktorik.39

46
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Ruptur pembuluh
Trombosis Emboli Hipotensi darah

Iskemia Hemorrhage

Influks Ca2+/Na+ Peroksidasi


membran lipid
oleh besi

Proteolisis Depolarisasi lama


dan berulang
Kematian sel
Sekresi glutamat

Reorganisasi
neuron Eksitotoksisitas

Hiperkesitabilitas Paroxysmal
depolarization shift

Kejadian kejang

Kejang Kejang konvulsif


nonkonvulsif

47
3.2. Kerangka Konsep

Subtipe stroke
 Iskemik
Kejadian kejang
 Hemoragik

3.3. Hipotesis Penelitian

Stroke hemoragik lebih meningkatkan risiko terjadinya kejang dibandingkan


stroke iskemik.

3.4. Variabel

3.4.1. Variabel bebas : Subtipe stroke (iskemik dan hemoragik)

3.4.2. Variabel terikat : Kejadian kejang

48
3.5. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi operasional

No. Variabel Indikator Metode Definisi Referensi


1. Subtipe 1. Iskemik Data rekam Penyakit Badan Penelitian dan
stroke medis dari serebrovaskuler Pengembangan Kesehatan.
2.
Rumah nontraumatik Riset Kesehatan Dasar
Hemoragik
Sakit yang ditandai (RISKESDAS) 2013. Lap
Siloam dengan adanya Nas 2013. 2013;91–2.
Gedung A gangguan fungsi
dan B, neurologis yang
Karawaci. bersifat lokal
ataupun global,
muncul secara
mendadak,
progresif, dan
cepat.
2. Kejadian 1. Kejang Data rekam Kejadian Dill, Linda Jo. Seizure
Kejang konvulsif medis dari paroksismal Disorder. Journal of the
Rumah sebagai akibat American Academy of
2. Kejang
Sakit dari aktivitas Physicians. 2013; 26 (7):
non
Siloam listrik yang 49-50.
konvulsif
Gedung A abnormal dan
dan B, hipersinkron
Karawaci. dari neuron
susunan saraf
pusat.
Umur Setiawan E. Kamus Besar
3. 1. < 65 tahun
Bahasa Indonesia (KBBI)

49
2. ≥ 65 tahun Data rekam Lama waktu [Internet]. Arti kata sukses -
medis dari hidup sejak Kamus Besar Bahasa
Rumah dilahirkan atau Indonesia (KBBI) Online.
Sakit diadakan. [cited 2018Sep12].
Siloam Available from:
Gedung A https://kbbi.web.id/umur
dan B,
Karawaci.
4. Jenis 1. Laki – laki Data rekam Sifat atau Setiawan E. Kamus Besar
Kelamin 2. medis dari keadaan sebagai Bahasa Indonesia (KBBI)
Perempuan Rumah laki – laki atau [Internet]. Arti kata sukses -
Sakit perempuan. Kamus Besar Bahasa
Siloam Indonesia (KBBI) Online.
Gedung A [cited 2018Sep12].
dan B, Available from:
Karawaci. https://kbbi.web.id/kelamin

50
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi analitik dengan desain studi potong lintang
(cross sectional).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Rekam Medis Rumah Sakit


Siloam, Karawaci. Pengumpulan data dilakukan pada periode waktu Februari
2018 sampai dengan April 2018.

4.3. Bahan dan Cara Penelitian

Data akan diambil dari rekam medis yang memenuhi kriteria


inklusi/eksklusi untuk pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif pasien. Data
yang diperoleh akan berbentuk kategorik dan numerik. Microsoft Excel 2010
adalah program elektronik komputer yang akan digunakan untuk tabulasi data,
sedangkan SPSS24 digunakan untuk analisis data secara statistikal.

4.4. Populasi dan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini, populasi target adalah populasi penderita stroke di


Karawaci. Di sisi lain, populasi terbatas penelitian ini adalah pasien stroke
yang pernah dirawat di Rumah Sakit Siloam, Karawaci. Sampel penelitian
adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi penelitian.

51
4.5. Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian diambil dengan cara sampling purposif, karena


pengambilan sampel penelitian tidak dilakukan secara acak, tapi dengan
restriksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi.

4.6. Jumlah Sampel

Atas dasar tujuan dan/atau hipotesa, penelitian ini termasuk dalam


kategori dimana jumlah sampel dapat dihitung dengan rumus analitik
kategorik tidak berpasangan yaitu :

2
Zα √ 2 PQ+ Zβ √ P 1Q 1+ P 2Q 2
n= ( P 1−P 2 )
Tabel 4.1. Penghitungan jumlah sampel49
Kejang Non kejang
Stroke Iskemik 85.7 93.3
Stroke Hemoragik 14.3 6.7
Keterangan :

Zα = 1.64
Zβ = 0.84
P = (P1+P2)/2 = 0.579861665
Q = 1 – P = 0.420138335
P1 = a/a+b = 0.47877095
P2 = c/c+d = 0.680952381
Q1 = 1 – P1 = 0.52122905
Q2 = P1 – P2 = 0.319047619

52
2
Zα √ 2 PQ+ Zβ √ P 1Q 1+ P 2Q 2
n= ( P 1−P 2 )
2
1.64 √ 0.4872442324+0.84 √ 0.4668055632
n= ( 0.680952381−0.47877095 )
2
n=( 8.5006911243 )

n=72.2617495908 x 1.1

n=80 x 2

n=160

4.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi :

1. Pasien dengan diagnosis stroke


2. Pasien yang dirawat dan pernah dirawat di Rumah Sakit
Siloam, Karawaci

Kriteria Eksklusi :

1. Pasien dengan riwayat kejang sebelum diagnosis stroke

2. Pasien dengan etiologi kejang selain stroke, yaitu infeksi sistem


saraf pusat (meningitis, ensefalitis, dan lainnya), demam, trauma
kepala, kelainan kongenital pada sistem saraf pusat, gangguan
metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hipokalsemia,
ketidakseimbangan elektrolit, dan lainnya), tumor otak,
penggunaan obat-obatan terlarang (antidepresan, tramadol,
diphenhidramine, isoniazid, kokain, metamfetamin, dan lainnya),
pemberhentian konsumsi alkohol, genetik, dan kurangnya waktu

53
tidur.

3. Data rekam medis pasien yang dibutuhkan kurang lengkap

4.8. Alur Penelitian

Pasien Rumah Sakit Siloam,


Karawaci

Sampling purposif
Kriteria inklusi / eksklusi

Pengumpulan data dari rekam medis

Tabulasi Data (Microsoft Excel 2010)

Analisa Data (SPSS24)

Penyusunan Laporan dan Publikasi

4.9. Uji Statistik

54
Data yang diperoleh dalam tabel data akan digunakan untuk mengetahui
p-value, odds ratio (OR) dan CI (Confidence Interval) menggunakan Chi-
square untuk data normal atau uji Fischer untuk data tidak normal

55
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Tabel 5.1 Data demografik sampel

Kategori Nilai
Jenis Kelamin
Laki – laki 111 (58.4%)
Perempuan 79 (41.6%)
Usia
< 65 tahun 138 (72.6%)
≥ 65 tahun 52 (27.4%)
Subtipe Stroke
Hemoragik 39 (20.5%)
Iskemik 151 (79.5%)
Kejadian Kejang
Kejang 88 (46.3%)
Non Kejang 102 (53.7%)

Dari 190 sampel, ditemukan sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
111 (58.4%) dan perempuan 79 (41.6%). Berdasarkan usia, sampel dengan usia
dibawah 65 tahun berjumlah 138 (72.6%), sedangkan 65 tahun keatas sebanyak 52
(27.4%). Sampel dengan stroke hemoragik ditemukan ada sebanyak 39/190 (20.5%),
sementara stroke iskemik berjumlah sebesar 151/190 (79.5%). Di sisi lain, terdapat
88/190 (46.3%) sampel yang mengalami kejang, dimana 102/190 (53.7%) tidak
mengalami kejang.

56
Tabel 5.2 Analisis bivariat subtipe stroke terhadap kejang pasca stroke

Kejang (n = 88) Non Kejang (n = 102) OR 95% CI p-value


Subtipe Stroke 1.129 0.558 – 2.284 0.875
Hemoragik 19 (48.7%) 20 (51.3%)
Iskemik 69 (45.7%) 82 (54.3%)

Di antara pasien yang menderita stroke hemoragik, terdapat sebanyak 48.7%


yang mengalami kejang. Sedangkan pada kelompok pasien dengan stroke iskemik,
ditemukan ada 45.7% yang mengalami kejang (p-value = 0.875; odds ratio [OR]
1.129; 95% confidence interval [CI95] 0.558 – 2.284).

Tabel 5.3 Analisis bivariat faktor-faktor risiko terhadap kejang pasca stroke

Kejang (n = 88) Non Kejang (n = 102) OR 95% CI p-value


Jenis Kelamin 1.634 0.910 – 2.934 0.133
Laki - laki 57 (51.4%) 54 (48.6%)
Perempuan 31 (39.2%) 48 (60.8%)
Usia 1.102 0.582 – 2.088 0.892
< 65 tahun 63 (45.7%) 75 (54.3%)
≥ 65 tahun 25 (48.1%) 27 (51.9%)

Di sisi lain, ditemukan bahwa pasien berjenis kelamin laki-laki yang


mengalami kejang pasca stroke ada sebanyak 51.4%, sedangkan perempuan 39.2%
(p-value = 0.133; odds ratio [OR] 1.634; 95% confidence interval [CI95] 0.910 –
2.934). Pada analisis usia terhadap kejadian kejang pasca stroke, hasil menunjukkan
bahwa frekuensi kejadian kejang pasca stroke pada usia dibawah 65 tahun adalah
45.7%, sementara usia 65 tahun keatas 48.1% (p-value = 0.892; odds ratio [OR]
1.102; 95% confidence interval [CI95] 0.582 – 2.088).

57
5.2 Pembahasan

Dalam penelitian ini, frekuensi kejang pasca stroke lebih tinggi pada pasien
stroke hemoragik (48.7%) dibandingkan stroke iskemik (45.7%). Adapun pengaruh
subtipe stroke terhadap kejadian kejang pada ditemukan tidak signifikan secara
statistik (p-value = 0.875; odds ratio [OR] 1.129; 95% confidence interval [CI95]
0.558 – 2.284). Suatu penelitian serupa di Iraq menunjukkan bahwa kejadian kejang
pasca stroke lebih tinggi pada stroke hemoragik (18%) dibandingkan stroke iskemik
(8.5%). Penelitian tersebut menemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
subtipe stroke dengan kejadian kejang pasca stroke (p-value = 0.062).40

Adapun penelitian ini dan penelitian di Iraq tersebut berlawanan dengan dari
penelitian di Taiwan, yang menemukan bahwa stroke hemoragik secara signifikan
meningkatkan risiko terjadinya kejang pasca stroke (p-value = <0.001). Diagnosis
kejang didasarkan pada definisi epilepsi (kencenderungan yang besar untuk terjadinya
kejang berulang lebih dari 24 jam), sehingga mengeksklusi kejang yang hanya terjadi
satu kali. Penelitian tersebut juga hanya mengeksklusi penyakit katastrofik
(keganasan, autoimun, neurodegeneratif, dan gagal ginjal tingkat akhir) sebagai
penyebab kejang lainnya, sedangkan penelitian ini mengeksklusi semua penyakit lain
yang bisa menyebabkan kejang.50

Dalam penelitian ini, ditemukan sampel dengan jenis kelamin laki-laki


sebanyak 51.4% dan perempuan sebanyak 39.2%. Ditemukan bahwa hubungan antara
jenis kelamin dan kejadian kejang pasca stroke tidak signifikan (p-value = 0.133;
odds ratio [OR] 1.634; 95% confidence interval [CI95] 0.910 – 2.934). Suatu
penelitian serupa di China menemukan prevalensi kejang pasca stroke yang tidak
berbeda pada laki – laki (8.5%) dan perempuan (8.9%), dimana hubungan antara jenis
kelamin dengan kejang pasca stroke tidak signifikan (p-value = 0.903). 51 Selain itu,

58
ada juga penelitian di Inggris, yang menunjukkan bahwa pengaruh jenis kelamin
terhadap kejadian kejang pasca stroke tidak signifikan (p-value = 0.740).13

Berdasarkan kategori usia, frekuensi kejang pasca stroke pada pasien dengan
usia dibawah 65 tahun adalah 45.7%, sedangkan 65 tahun keatas 48.1%, dimana tidak
adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian kejang pasca stroke (p-
value = 0.892; odds ratio [OR] 1.102; 95% confidence interval [CI95] 0.582 – 2.088).
Berdasarkan data dari RISKESDAS 2013 mengenai frekuensi stroke di Indonesia,
kelompok umur 65 tahun keatas mencapai 76.3%, sementara dibawah 65 tahun hanya
mencakup 37.7%. Suatu penelitian di Jerman menemukan bahwa frekuensi kejang
pasca stroke pada pasien dengan umur 65 tahun keatas (11.9%) dan dibawah umur 65
tahun (10.8%) tidak berbeda (p-value = 0.910).11 Sebaliknya, pada suatu penelitian
serupa di Inggris ditemukan hasil yang signifikan (p-value = <0.001), dimana
frekuensi pasien kejang pasca stroke pada umur 65 tahun keatas mencakup 4.6%,
sedangkan pada kelompok umur dibawah 65 tahun meliputi 10.7%. Penelitian di
Inggris tersebut mendefinisikan kejadian kejang pasca stroke sebagai kejang berulang
yang terjadi minimal 2 kali pada fase akut stroke (dalam 24 jam pertama).13

59
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Subtipe stroke tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian


kejang pasca stroke. Selain itu, jenis kelamin dan usia juga tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan kejadian kejang pasca stroke.

6.2 Saran

Sebagai saran untuk penelitian, dapat dilakukan penambahan pada jumlah


sampel penelitian. Selain itu, juga dapat dilakukan perpanjangan pada rentang waktu
penelitian.

60
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

X1. Feigin VL, Mensah GA, Norrving B, Murray CJL, Roth GA, Bahit MC, et al.
Atlas of the global burden of stroke (1990-2013): The GBD 2013 study.
Neuroepidemiology. 2015;45(3):230–6.

2. Williams PA, Prabandari YS, Labresh KA. Understanding physicians ’


perceived barriers to screening and patient education to reduce stroke risk in
community health centers in Indonesia. 2015;8(2):143–51.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;91–2.

4. Simanungkalit A, Suryadisastra D, Lalisang L, Ng P, Gunawan P, Ketaren R,


et al. Pengantar Neurologi Klinik. Tangerang: FK Press; 2016. 38-51 p.

5. Mozaffarian D. Heart Disease and Stroke Statistics—2016 Update. A Rep


From Am Hear Assoc. 2016;133(4):38–360.

6. World Health Organization. Epilepsy. WHO. 2017.

7. Koome M, Churilov L, Chen Z, Chen Z, Naylor J, Thevathasan A, et al.


Computed tomography perfusion as a diagnostic tool for seizures after
ischemic stroke. Neuroradiology. 2016;58(6):577–84.

8. Zelano J, Lundberg RG, Baars L, Hedegärd E, Kumlien E. Clinical course of


poststroke epilepsy: A retrospective nested case-control study. Brain Behav.
2015;5(9):1–6.

9. Arntz RM, Rutten-Jacobs LCA, Maaijwee NAM, Schoonderwaldt HC,

61
Dorresteijn LDA, van Dijk EJ, et al. Poststroke Epilepsy Is Associated With a
High Mortality After a Stroke at Young Age: Follow-Up of Transient Ischemic
Attack and Stroke Patients and Unelucidated Risk Factor Evaluation Study.
Stroke. 2015;46(8):2309–11.

10. Kim HJ, Park KD, Choi K-G, Lee HW. Clinical predictors of seizure
recurrence after the first post-ischemic stroke seizure. BMC Neurol.
2016;16(1):212.

11. Jungehulsing GJ, Heuschmann PU, Holtkamp M, Schwab S, Kolominsky-


Rabas PL. Incidence and predictors of post-stroke epilepsy. Acta Neurol
Scand. 2013;127(6):427–30.

12. Kamble S, Srivastava T, Sardana V, Maheshwari D, Bhushan B, Ojha P.


Clinical and radiological profile of post-Stroke seizures. 2017;3(1):8–12.

13. Graham NSN, Crichton S, Koutroumanidis M, Wolfe CDA, Rudd AG.


Incidence and associations of poststroke epilepsy the prospective South
London stroke register. Stroke. 2013;44(3):605–11.

14. Go S, Worman DJ, Tintinalli JE, Stapczynski JS, Ma OJ, Yealy DM, et al.
Stroke Syndromes. In: Tintinalli’s Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide, 8e. 8th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2016. p.
1142-55.

15. Venketasubramanian N, Yoon W, Pandian J, Navarro C. Stroke Epidemiology


in South , East , and South-East Asia : A Review. 2017;19(3):286–94.

16. Smith WS, Johnston SC, Hemphill JC, Kasper D, Fauci A, Hauser S, et al.
Cerebrovascular Diseases. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
York, NY: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2559-86.

62
17. Kanyal N. The Science of Ischemic Stroke: Pathophysiology &
Pharmacological Treatment. Int J Pharma Res Rev IJPRR. 2015;4(410):65–84.

18. Agamanolis, D. Cerebral Ischemia And Stroke. Neuropathology. 2014; 2.

19. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al.
An updated definition of stroke for the 21st century: A statement for healthcare
professionals from the American heart association/American stroke
association. Stroke. 2013;44(7):2064–89.

20. Breton R, Rodriguez J. Excitotoxicity and oxidative stress in acute ischemic


stroke. Acute ischemic stroke. 2012;

21. Lai TW, Zhang S, Wang YT. Excitotoxicity and stroke: Identifying novel
targets for neuroprotection. Prog Neurobiol. 2014;115:157–88.

22. Luiz Martins do Nascimento J, Armando Sawada L, Matos Oliveira KR,


Crespo-López ME, Manoel Herculano Oliveira da Silva A, Hamoy M, et al.
GABA and glutamate transporters: New events and function in the vertebrate
retina. Psychol Neurosci. 2013;6(2):145–50.

23. Balkhi H, Bandey M, Haq E. Glutamate Excitotoxicity: An Insight into the


Mechanism. Int J Adv Res. 2014;2(7):361–73.

24. Dong YS, Et al. Protective Effect of Quercetin against Oxidative Stress and
Brain Edema in an Experimental Rat Model of Subarachnoid Hemorrhage. Int
J Med Sci. 2014;11(3):282–90.

25. Favaloro B, Allocati N, Graziano V, Ilio CD, Laurenzi VD. Role of Apoptosis
in disease. Aging (Albany NY). 2012;4(5):330–49.

26. Czabotar PE, Lessene G, Strasser A, Adams JM. Control of apoptosis by the

63
BCL-2 protein family: Implications for physiology and therapy. Nat Rev Mol
Cell Biol. 2014;15(1):49–63.

27. Grosse L, Wurm CA, Bru ser C, Neumann D, Jans DC, Jakobs S. Bax
assembles into large ring-like structures remodeling the mitochondrial outer
membrane in apoptosis. EMBO J. 2016;35(4):402–13.

28. Kim J, Kawabori M, Yenari M. Innate inflammatory responses in stroke:


mechanisms and potential therapeutic targets. Curr Med Chem.
2014;21(18):2076–97.

29. Oluwaseun O. VinpocetineAnd Its Anti – Inflammatory Effects In


Atherosclerosis And Ischemic Stroke. Int J Innov Pharm Sci Res.
2015;3(5):395–410.

30. Bedard K, Krause K. The NOX Family of ROS-Generating NADPH


Oxidases : Physiology and Pathophysiology. 2007;245–313.

31. Sarti P, Forte E, Giuffrè A, Mastronicola D, Magnifico MC, Arese M. The


chemical interplay between nitric oxide and mitochondrial cytochrome c
oxidase: Reactions, effectors and pathophysiology. Int J Cell Biol. 2012;2012.

32. Broughton BRS, Et al. Post-stroke inflammation and the potential efficacy of
novel stem cell therapies: focus on amnion epithelial cells. Front inCellular
Neurosci. 2013;6:66.

33. Arakelova E, Al E. Oxidative Stress and Post- Ischemic Inflammatory


Response in Ischemic Stroke Complicated with Diabetes Mellitus Type 2. J
Biosci Med. 2015;3:94–8.

34. An SJ, Kim TJ, Yoon B-W. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features
of Intracerebral Hemorrhage: An Update. J Stroke. 2017;19(1):3–10.

64
35. Camargo E, Ding M, Zimmerman E, Silverman S, Halter JB, Ouslander JG, et
al. Cerebrovascular Disease. In: Hazzard’s Geriatric Medicine and
Gerontology. 7th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2017.

36. Boehme AK, Esenwa C, Elkind MSV. Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention. Circ Res. 2017;120(3):472–95.

37. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman M, et al.
Heart disease and stroke statistics-2015 update : A report from the American
Heart Association. Vol. 131, Circulation. 2015. 29-39 p.

38. Legge SD, Koch G, Diomedi M, Stanzione P. Stroke Prevention: Managing


Modifiable Risk Factors. Stroke Res Treat. 2013;1–15.

39. Lowenstein DH, Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL, et al.
Seizures and Epilepsy. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19e.
19th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2542–51.

40. Mohammed Saeed Ridha S. Post Stroke Seizure in Group of Hospitalized


Patient in Baghdad Teaching Hospital. Am J Intern Med. 2015;3(6):245.

41. Goldberg EM, Coulter DA. Mechanisms of epileptogenesis: A convergence on


neural circuit dysfunction. Nat Rev Neurosci. 2013;14(5):337–49.

42. Asai C, Asai H. Involvement of Toll-like Receptors in Ischemic Stroke


Induced Neuronal Damage. J Neurol Disord Stroke. 2014;2(2):1051.

43. Henry TR. Seizures and Epilepsy : Pathophysiology and Principles of


Diagnosis. Hosp Physician Epilepsy Board Rev Man. 2012;1(1):1–21.

44. Dill LJ. Seizure Disorder. J Am Acad Physicians. 2013;26(7):49–50.

45. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A. ILAE official report: a practical

65
clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;(55):475–82.

46. Sanchez S, Rincon F. Status Epilepticus: Epidemiology and Public Health


Needs. J Clin Med. 2016;5(8):71.

47. Muttaqin Z. Epilepsy Surgery in Indonesia : Achieving a Better Result with


Limited Resources. Bali Med J. 2012;1(2):57–63.

48. Chen HY, Albertson TE, Olson KR. Treatment of drug-induced seizures. Br J
Clin Pharmacol. 2016;81(3):412–9.

49. Conrad J, Pawlowski M, Dogan M, Kovac S, Ritter MA, Evers S. Seizures


after cerebrovascular events: Risk factors and clinical features. Seizure.
2013;22(4):275–82.

50. Indonesia, P. K. (2018). Profil Kesehatan Indonesia 2017.

51. Chen, T. C., Chen, Y. Y., Cheng, P. Y., & Lai, C. H. (2012). The incidence
rate of post-stroke epilepsy: A 5-year follow-up study in Taiwan. Epilepsy
Research, 102(3), 188–194.

52. Wang M, Li Y, H. H. (2017). Clinical analysis on high risk factors for epilepsy
after acute stroke, 10(6), 9779–9784.

66
SURAT KEPUTUSAN DEKAN

SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


PELITA HARAPAN

Nomor: 066/SKD/FK/UPH/VI/2016

tentang

PEDOMAN TATA TERTIB DAN PELAKSANAAN DAN


SIDANG TUGAS AKHIR SKRIPSI FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Menimbang : a. Bahwa untuk penyusunan tugas akhir skripsi


perlu dibuat suatu pedoman penulisan;

b. Bahawa dalam rangka sidang tugas akhir skripsi


perlu diatur tata tertib beserta persyaratannya.

c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas,


perlu ditetapkan dengan Keputusan Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional;

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 17

67
tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.

3. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional


Republik Indonesia Nomor : 232/U/2000 tentang
pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Pendidikan Nasional
tanggal 20 Desember 2000.

4. Statuta Universitas Pelita Harapan tahun 2007.

5. Keputusan Rektor no 071-SKR/UPH/IV/2012


Tentang kompilasi dan penyempurnaan pedoman
tata tertib dan pelaksanaan tugas akhir, sidang tugas
akhir dan pedoman umum penulisan tugas akhir
program sarjana di lingkungan Universitas Pelita
Harapan

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN DEKAN TENTANG PEDOMAN


TATA TERTIB PELAKSANAAN DAN SIDANG
TUGAS AKHIR SKRIPSI, FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA
HARAPAN

68
Pertama : Pedoman Tata Tertib dan Pelaksanaan dan Sidang
Tugas Akhir Skripsi sebagaimana tercantum dalam
lampiran Surat Keputusan ini,

Kedua : Keputusan ini berlaku bagi mahasiswa yang


mengambil tugas akhir skripsi pada tahun akademik
2015/2016

Ketiga : Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruaan


dalam keputusan ini akan diubah dan diperbaiki
semana mestinya

Diterapkan di : Karawaci,

Pada tanggal : 30 Juni 2016

Dekan,

Prof. Dr. Dr. dr. Eka J. Wahjoepramono, Sp.BS, Ph.D

69

Anda mungkin juga menyukai