Oleh :
NIM : 00000013938
FAKULTAS KEDOKTERAN
KARAWACI
2018
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Dengan ini menyatakan bahwa karya tugas akhir yang saya buat dengan judul
“PENGARUH SUBTIPE STROKE TERHADAP INSIDENSI KEJANG PASCA
STROKE PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI” adalah:
Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang telah dinyatakan di atas, maka karya
tugas akhir ini batal.
Karawaci, …….
ii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
NPM : 00000013938
Fakultas : Kedokteran
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian tugas akhir guna mencapai
gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan,
Lippo Karawaci, Tangerang.
Menyetujui:
iii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
NPM : 00000013938
PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
iv
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Sebagai sivitas akademik Universitas Pelita Harapan, saya yang bertanda tangan
dibawah ini:
Dengan Hak Bebas Royalti ini Universitas Pelita Harapan berhak menyimpan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan sebagai pemilik
Hak Cipta.
ABSTRACT
v
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Brillyant Sabatino Raintama / 00000013938
Background
Aim
This study aims to understand the stroke subtype relations toward seizure.
On February to April 2018, this cross-sectional study was done in the Siloam
Hospital Medical Record, Karawaci. 190 samples are chosen by purposive sampling.
Qualitative data of stroke with and without seizure are gathered from medical record.
Excel 2010 and SPSS24 used for tabulation and data analysis, respectively.
Results
odds ratio [OR] 1.634; 95% confidence interval [CI95] 0.910 – 2.934). Likewise,
neurodegenerative processes affect the insignificant relation of age and post-stroke
vi
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
seizure (p-value = 0.892; odds ratio [OR] 1.102; 95% confidence interval [CI95]
0.582 – 2.088).
Conclusions
ABSTRAK
vii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Brillyant Sabatino Raintama / 00000013938
Latar Belakang
Stroke adalah penyakit serebrovaskuler yang mengkontribusikan 113,000,000 kasus
disabilitas dan 6,500,000 kematian di dunia. Di Indonesia, stroke dengan prevalensi
12.1% menyebabkan mortalitas sebesar 15.4%. 12% pasien stroke mengalami kejang.
80% penderita kejang berasal dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Penelitian menunjukkan bahwa prognosis kejang pasca stroke lebih buruk
dibandingkan stroke tanpa kejang. Berbagai penelitan menunjukkan kejang pasca
stroke lebih tinggi pada stroke hemoragik (4,3 – 24%) dibandingkan iskemik (2 –
13,5%).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtipe stroke terhadap kejadian
kejang.
Hasil
viii
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
Berdasarkan perbedaan definisi kejang pasca stroke dan faktor eksklusi, subtipe
stroke tidak berbeda secara proporsional antara kelompok kejang dan tidak (p-value =
0.875; odds ratio [OR] 1.129; 95% confidence interval [CI95] 0.558 – 2.284). Karena
ketidakseimbangan hormon, ditemukan hubungan jenis kelamin dengan kejang pasca
stroke tidak signifikan (p-value = 0.133; odds ratio [OR] 1.634; 95% confidence
interval [CI95] 0.910 – 2.934). Dengan proses neurodegeneratif, umur dan kejang
pasca stroke ditemukan tidak signifikan (p-value = 0.892; odds ratio [OR] 1.102; 95%
confidence interval [CI95] 0.582 – 2.088).
Kesimpulan
Subtipe stroke tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian kejang pasca
stroke. Jenis kelamin dan usia juga tidak memiliki hubungan signifikan dengan
kejadian kejang pasca stroke.
ix
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai
pihak, Tugas Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:
x
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
6) Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci yang telah bersedia memberikan izin
untuk pengumpulan sampel dari rekam medis.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat
bermanfaat bagi penulis. Semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membacanya.
xi
DAFTAR ISI
ABSTRACT vi
ABSTRAK viii
KATA PENGANTAR x
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Pertanyaan penelitian 3
1.4 Tujuan Penelitian 3
1.4.1 Tujuan umum 3
1.4.2 Tujuan khusus 3
1.5 Manfaat Penelitian 4
1.5.1 Manfaat Akademik 4
1.5.2 Manfaat Praktis 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi Stroke 5
2.2 Klasifikasi Stroke 5
2.3 Epidemiologi Stroke 8
2.4 Patofisiologi Stroke 11
2.4.1 Stroke iskemik 11
2.4.1.1 Trombosis 11
2.4.1.2 Emboli12
2.4.1.3 Hipotensi 12
xii
2.4.1.4 Mekanisme kematian sel 13
2.4.1.4.1 Ketidakseimbangan ion 13
2.4.1.4.2 Eksitotoksisitas 14
2.4.1.4.3 Stres oksidatif dan nitrosatif 14
2.4.1.4.4 Apoptosis – jalur intrinsik dan ekstrinsik 15
2.4.1.4.5 Inflamasi setelah stroke 16
2.4.2 Stroke hemoragik 18
2.4.2.1 Pendarahan intraserebral 19
2.4.2.2 Pendarahan subaraknoid 20
2.5 Faktor Risiko Stroke 21
2.5.1 Tidak dapat dimodifikasi 21
2.5.2 Dapat dimofikasi 22
2.6 Diagnosis stroke 23
2.6.1 Diagnosis stroke iskemik 23
2.6.2 Diagnosis stroke hemoragik 25
2.7 Epidemiologi Kejang Pasca Stroke 27
2.8 Patofisiologi Kejang Akibat Stroke 27
2.8.1 Kejang akut akibat stroke 28
2.8.2 Kejang kronis akibat stroke 29
2.9 Definisi Kejang 31
2.10 Klasifikasi Kejang 31
2.10.1 Kejang fokal 32
2.10.1.1 Kejang fokal tanpa kelainan kognitif 33
2.10.1.2 Kejang fokal dengan kelainan kognitif 34
2.10.2 Kejang umum 35
2.10.2.1 Kejang absans tipikal 35
2.10.2.2 Kejang absans atipikal 36
2.10.2.3 Kejang umum tonik-klonik 36
2.10.2.4 Kejang atonik 38
2.10.2.5 Kejang mioklonik 38
2.10.3 Kejang yang tidak dapat diklasifikasi 39
2.10.4 Bentuk kejang lainnya 39
2.11 Epidemiologi Kejang 40
2.12 Etiologis Kejang 41
2.13 Patofisiologi Kejang 42
2.14 Diagnosis Kejang 43
2.14.1 Anamnesis 43
2.14.2 Pemeriksaan fisik 44
2.14.3 Pemeriksaan laboratorium 45
2.14.4 Pencitraan otak 45
xiii
3.2 Kerangka Konsep 48
3.3 Hipotesis Penelitian 48
3.4 Variabel 48
3.4.1 Variabel bebas 48
3.4.2 Variabel terikat 48
3.5 Definisi Operasional 49
xiv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
xv
Bid : BH3-interacting domain death agonist
Bcl-2 : B-cell lymphoma 2
Bad : Bcl-xL/Bcl-2 associated death promoter
Bax : Bcl-2 associated x protein
PTPC : Permeability Transition Pore Complex
Smac/DIABLO : Second Mitochondria-derived Activator of Caspase/Direct
IAP-Binding Protein with Low pI
Apaf-1 : Apoptotic protein-activating factor-1
CD95/FasR : Cluster of differentiation 95/Fas receptor
DR4 : Death receptor 4
DISC : Death Initiation Signalling Complex
ICAM-1 : Intracellular Adhesion Molecule-1
VCAM : Vascular Adhesion Molecule
Mac-1 : Macrophage-1
LFA-1 : Lymphocyte Function-associated Antigen-1
TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α
IL-6 : Interleukin-6
BBB : Blood-brain Barrier
IFN-γ : Interferon-γ
MMP : Matriks Metaloproteinase
iNOS : inducible Nitric Oxide Synthase
PARP : Poly-A Ribose Polymerase
CAA : Cerebral Amyloid Angiopathy
AVM : Arteriovenous Malformation
CT-scan : Computed Tomography scan
xvi
MRI : Magnetic Resonance Imaging
TCD : Transcranial Doppler
TCCD : Transcranial Colour-Coded Duplexsonography
DSA : Digital Substraction Angiography
RAS : Reticular Activating System
EEG : Elektroensefalogram
GABA : γ (gamma)-Aminobutyric Acid
ILAE : International League Against Epilepsy
FLAIR : Fluid-Attenuated Inversion Recovery
PET : Positron Emission Tomography
SPECT : Single-Proton Emission Computed Tomography
CI : Confidence Interval
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang juga menjadi salah satu manifestasi stroke yang tidak jarang ditemukan.
Ditemukan bahwa sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengidap kejang epileptik,
1
dimana hampir 80% penderita berasal dari negara dengan tingkat pendapatan rendah
sampai menengah, termasuk Indonesia.6 Koome et al mengambil kutipan dari
penelitian Graham et al, yang menunjukkan bahwa hingga 12% penderita stroke
mengalami kejang pasca stroke. Koome et al juga mengutip dari penelitian Menon
yang menyatakan bahwa stroke merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa dengan epilepsi onset baru di negara maju. 7 Adapun
pasien dengan kejang pasca stroke cenderung memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada stroke tanpa kejang.8 Suatu penelitian menemukan bahwa tingkat mortalitas
pada pasien kejang epileptik pasca stroke iskemik di hari ke-30 setelah onset kejang
pertama cenderung lebih tinggi (27,4%) dibandingkan dengan stroke tanpa kejang
epileptik (2,1%).9
Seperti yang dikutip oleh Kim et al dari penelitian Merkler et al, sebagian besar
penelitan menunjukkan bahwa frekuensi kejadian kejang pasca stroke cenderung
lebih tinggi pada pasien dengan stroke hemorhagik (4,3 – 24%) dibandingkan pada
pasien stroke iskemik (2 – 13,5%).10 Meskipun demikian, beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang berlawanan, dimana stroke iskemik ditemukan menjadi
subtipe stroke yang paling sering menimbulkan kejang pasca stroke.11 Suatu
penelitian prospektif menunjukkan bahwa dari 100 pasien kejang pasca stroke
ditemukan ada 80 orang mengidap stroke iskemik dan 20 lainnya terdiri stroke
hemoragik.12 Hal ini dipercaya terjadi karena banyaknya jumlah pasien stroke
iskemik dibandingkan pasien stroke hemorhagik.5 Selain itu, Graham et al mengutip
dari penelitian Camilo, bahwa 2 – 67% pasien dengan stroke iskemik memiliki risiko
mengalami kejang, sehingga tingkat risiko untuk mengidap kejang masih bervariasi
dalam rentang yang lebar.13
2
1.2. Rumusan Masalah
3
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Akademik :
1. Sebagai data kepustakaan mengenai prevalensi kejang pasca stroke di
Indonesia, khususnya daerah Karawaci, Tangerang.
2. Menguji konsistensi dari penelitian-penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa stroke hemoragik merupakan subtipe stroke yang
paling sering menimbulkan kejang pada pasien kejang pasca stroke.
1.5.2. Manfaat Praktis :
Mengedukasi pasien dengan subtipe stroke tertentu agar lebih waspada
terhadap timbulnya kejang beserta bahayanya, sehingga pasien dapat
memiliki pola pikir untuk memulai gaya hidup sehat demi terhindar
dari kejang, termasuk minum obat secara teratur.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stroke dibagi menjadi dua subtipe besar, yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke
iskemik merupakan stroke yang disebabkan oleh adanya obstruksi pembuluh darah
otak, sedangkan stroke hemoragik merupakan stroke yang muncul sebagai akibat dari
pecahnya pembuluh darah di parenkim otak atau sub araknoid. 4 Berdasarkan
penyebabnya, stroke iskemik secara lebih lanjut dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu
trombotik, embolik, dan hipoperfusi. Di sisi lain, stroke hemoragik terbagi menjadi 2
jenis, yakni intrakranial dan pendarahan subaraknoid nontraumatik. Tabel dibawah ini
(Tabel 2.1) menyajikan informasi mengenai klasifikasi stroke beserta mekanisme
singkat, etiologis, serta catatan klinis yang perlu diperhatikan.14
5
Tabel 2.1. Klasifikasi stroke14
Subtipe Stroke Mekanisme Etiologis Catatan Klinis
Iskemik
Trombotik Penyempitan lumen 1. Aterosklerosis Gejala-gejalanya
pembuluh darah yang 2. Vaskulitis seringkali memiliki
rusak oleh karena 3. Diseksi arteri onset yang gradual
adanya proses in situ – 4. Polisitemia dan yang bisa
biasanya pembentukan 5. Hypercoagulable menurun maupun
gumpalan darah. state meningkat.
6. Infeksi (infeksi Sering
human menyebabkan
immunodeficiency transient ischemic
virus, sifilis, attack (TIA).
trikinosis,
tuberculosis,
aspergilosis)
Embolik Obstruksi lumen 1. Vegetasi vaskuler Muncul secara
pembuluh darah normal 2. Mural thrombi tiba-tiba.
oleh substansi- 3. Emboli paradox Mencakup 20%
substansi intravaskuler 4. Kardioembolisme dari stroke
yang berasal dari 5. Tumor jantung iskemik.
bagian lain dalam 6. Emboli arteri ke
sistem sirkulasi. arteri dari sumber
proksimal
7. Emboli lemak
8. Particulate emboli
(penggunaan obat
IV)
6
9. Emboli sepsis
Hipoperfusi Keadaan dimana aliran Hipotensi sistemik Pola lesi menyebar
darah rendah dan yang timbul karena di daerah yang
berujung kepada gagal jantung mendapat suplai
hipoperfusi otak darah.
Gejala-gejala bisa
memiliki tingkat
keparahan yang
bervariasi dengan
adanya faktor-
faktor
hemodinamik.
Hemoragik
Intraserebral Pendarahan 1. Hipertensi Tekanan
intraparenkim dari 2. Amiloidosis intrakranial tinggi
arteriol yang 3. Koagulasi menyebabkan
sebelumnya sudah iatrogenic kerusakan neuron
lemah 4. Malformasi lokal.
vaskuler Katabolisme darah
5. Penggunaan kokain atau neuron yang
menimbulkan
vasokonstriksi
sekunder.
Faktor risiko
termasuk usia
lanjut, riwayat
stroke, dan
penggunaan rokok
7
atau alkohol
Sering ditemukan
pada ras Asian atau
African.
Subaraknoid Pendarahan di rongga 1. Ruptur dari berry Bisa didahului oleh
nontraumatik subaraknoid aneurysm sentinel headache.
2. Ruptur malformasi
vaskuler
Pada tahun 2013, terdapat hampir 25,7 juta penderita stroke yang bertahan
hidup (71% dengan stroke iskemik) dan 10,3 juta kasus baru stroke (67% stroke
iskemik) di seluruh dunia.1 Dilaporkan bahwa jumlah kasus disabilitas serta tingkat
mortalitas dari stroke iskemik dan hemoragik secara statistik lebih tinggi pada negara
berkembang (stroke iskemik mencakup 2189/100.000 per tahun; stroke hemoragik
mencakup 137/100.000 per tahun) dibandingkan negara maju (stroke iskemik
mencakup 1022/100.000; stroke hemoragik mencakup 67/100.000).1 Di Asia, angka
mortalitas stroke tertinggi ditemukan di Mongolia (222,6/100000 orang per tahun)
dan Indonesia (193,3/100000 orang per tahun).15
8
Tabel 2.2. Prevalensi stroke pada umur 15 tahun ke atas berdasarkan provinsi di
Indonesia tahun 20133
9
Tabel 2.3. Prevalensi stroke pada umur 15 tahun ke atas berdasarkan
karakteristik di Indonesia tahun 20133
Selain itu, prevalensi stroke berdasarkan umur dilaporkan tertinggi pada umur
≥75 tahun (43,1‰ untuk kelompok D dan 67,0‰ untuk kelompok D/G). Sementara
berdasarkan jenis kelamin, prevalensi stroke untuk laki-laki dan perempuan pada
kelompok D dan D/G memiliki angka yang sama. Pada masyarakat dengan
pendidikan rendah (Kelompok D : 16,5%; Kelompok D/G : 32,8%), yang tinggal
didaerah perkotaan (Kelompok D : 8,2‰; Kelompok D/G : 12,7‰), dan
10
pengangguran (Kelompok D : 1,4‰; Kelompok D/G : 18‰) cenderung menunjukkan
angka prevalensi stroke yang tinggi.3
2.4.1.1. Trombosis
11
2.4.1.2. Emboli
2.4.1.3. Hipotensi
12
2.4.1.4. Mekanisme kematian sel
2.4.1.4.2. Eksitotoksisitas
13
menyebabkan keluarnya glutamat secara berlebihan ke celah sinaptik.
Keadaan ini kemudian menimbulkan eksitasi eksesif dengan adanya
stimulasi reseptor NMDA (N-methyl-d-aspartate) postsinaptik secara
berlebihan oleh glutamat.16 Disfungsi transpor glutamat juga terjadi pada
kondisi ini.22 Dengan adanya influks kalsium, protein yang berfungsi untuk
melangsungkan kematian sel diaktifkan dan memicu kaskade transduksi
sinyal menginisiasi kematian sel neuron.23
14
Dalam hitungan menit setelah stroke iskemik fokal, daerah inti dari
jaringan otak yang terpapar kurangnya aliran darah secara dramatis menjadi
rusak dan berlanjut pada kematian sel nekrotik. Inti nekrotik ini dikelilingi
oleh zona yang kurang terpengaruh oleh aliran darah rendah, yang kemudian
mengalami penurunan fungsi, namun masih aktif secara metabolik. Daerah
ini dikenal sebagai penumbra, dimana neuron-neuron di daerah tersebut
dapat mengalami apoptosis setelah beberapa jam atau hari. Adapun
jaringan-jaringan ini dapat menjadi kembali normal setelah onset stroke.24
15
caspase/direct IAP-binding protein with low pI), dan serin protease
HtrA2/Omi.27 Setelah pelepasan ke sitosol, sitokrom c menempel pada
apoptotic protein-activating factor-1 (Apaf-1) dan prokaspase-9 untuk
membentuk apoptosome, yang berfungsi untuk mengaktifkan kaspase-9 dan
kemudian kaspase-3. Kaspase-3 yang teraktivasi kemudian memotong
enzim perbaikan nDNA [seperti poli (ADP-ribosa) polymerase (PARP)],
yang berlanjut kepada kerusakan nDNA dan akhirnya apoptosis.17
16
integrin [Mac-1 (Macrophage-1) dan LFA-1 (Lymphocyte Function-
associated Antigen-1)] pada permukaan sel endotel, leukosit, dan platelet.28
17
Gambar 2.1. Kaskade iskemia. iNOS, inducible nitric oxide synthase; PARP,
poly-A ribose polymerase.16
18
2.4.2.1 Pendarahan intraserebral
19
pembesaran hematoma dapat menyebabkan herniasi ataupun kematian. Darah
juga dapat masuk ke dalam rongga ventrikel, dimana kondisi ini dapat
meningkatkan morbiditas serta risiko terjadinya hidrosefalus.16
20
tersebut membesar dan bertumbuh seiring berjalannya waktu. Pada bagian
pembuluh darah yang abnormal tersebut, terdapat pembuluh darah yang
berdinding tipis, yang menjadi sumber terjadinya ruptur. AVM dapat terjadi
pada seluruh bagian otak, batang otak, serta korda spinalis, namun AVM
dengan ukuran paling besar lebih sering ditemukan pada hemisfer. Gangguan
aliran vena yang disebabkan stenosis atau oklusi dapat meningkatkan risiko
terjadinya pendarahan pada AVM. Akibat dari munculnya pendarahan oleh
karena adanya berry aneurysm atau AVM, vasospasme serebral, ruptur dan
pendarahan ulang, serta hidrosefalus dapat terjadi.35
Faktor risiko stroke dibagi ke dalam 2 kelompok, yakni faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.4
b. Jenis kelamin
Secara keseluruhan, stroke lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki, karena perempuan memiliki masa hidup yang
lebih lama.36 Namun, risiko stroke iskemik lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Suatu studi kohort membuktikan bahwa angka
21
kejadian stroke iskemik pada laki-laki mencapai 4,5 dari 1000 orang,
sedangkan perempuan hanya mencakup 2,5 dari 1000 orang masing-
masing. Pada stroke hemoragik, laki-laki juga memiliki risiko yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan.37
c. Ras
Ras kulit hitam memiliki tingkat risiko yang dua kali lebih tinggi
dibandingkan kulit putih. Angka kasus kejadian tampak melonjak pada ras
kulit hitam yang berusia muda, dimana risiko pendarahan subaraknoid dan
intraserebral jauh lebih tinggi dari ras kulit putih. 36 Stroke iskemik juga
cenderung terjadi pada ras kulit hitam.34
c. Merokok
22
Merokok secara aktif maupun pasif merupakan faktor risiko stroke
iskemik dan hemoragik. Risiko stroke iskemik dua kali lebih tinggi pada
perokok dibandingkan pada orang yang tidak merokok. Risiko ini berlaku
bagi semua umur, jenis kelamin, dan ras.17
d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol berat memiliki faktor risiko stroke berulang pada
pasien dengan riwayat stroke iskemik dan hemoragik. Mekanisme yang
mendasari meningkatnya faktor risiko yaitu, hipertensi yang disebabkan
oleh alkohol, hypercoagulable state, kurangnya aliran darah ke otak, dan
fibrilasi atrium.17
23
Tabel 2.4. Gejala klinis stroke iskemik4
Arteri Gejala
Karotis komunis Asimtomatis.
Karotis interna 1. Kebutaan ipsilateral (amaurosis fugaks)
2. Hemiparesis dan hemihipestesia kontralateral
3. Hemianopia
4. Afasia atau denial dan hemineglect
Serebri media 1. Hemiparesis
2. Hemihipestesi
3. Hemianopia
4. Afasia atau denial dan hemineglect
Serebri anterior 1. Hemiparesis dan gangguan sensorik (defisit pada
tungkai lebih berat daripada lengan)
2. Abulia atau akinetik mutism, terutama pada
infark bilateral
Serebri posterior 1. Kortikal unilateral : hemianopia homonym,
aleksia, anomia warna
2. Kortikal bilateral : buta kortikal dengan atau
tanpa macular sparing
3. Talamus : gangguan sensorik murni, kadang
disertai nyeri sentral
4. Nukleus subtalamikus : hemibalismus
5. Lobus temporal inferior bilateral : amnesia
6. Mesensefealon : gangguan gerakan bola mata
24
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien stroke iskemik
yaitu :
a. Imaging kepala Computed Tomography (CT)-Scan kepala,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala atau CT-
Perfusion/MR-Perfusion.
b. Pemeriksaan pembuluh darah dapat dinilai dengan melakukan
Carotis Doppler, Transcranial Doppler (TCD) atau Transcranial
Colour-Coded Duplexsonography (TCCD), CT-Angiografi atau
Digital Substraction Angiography (DSA), dan MR-Angiografi.
c. Pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan untuk mencari
tahu adanya faktor-faktor risiko seperti diabetes mellitus,
gangguan hemostasis, dan hiperkolesterolemia.4
Kehilangan kesadaran
25
Stupor atau koma mengindikasikan adanya hematoma besar
yang melibatkan reticular activating system (RAS).34
Kelumpuhan sensorimotor
Kelumpuhan sensorimotor berhubungan dengan adanya
hematoma pada daerah supratentorial yang melibatkan basal ganglia
atau talamus.34
Kaku kuduk
Terjadi pada stroke pendarahan subaraknoid, karena adanya
iritasi pada meningen yang disebabkan oleh terakumulasinya darah di
rongga subaraknoid.4
26
Kejang.
Kejang ditemukan pada 10% pasien pendarahan intrakranial
dan 50% pada pasien dengan pendarahan lobar. Kejang juga seringkali
muncul pada saat mulai pendarahan atau dalam 24 jam pertama
terjadinya pendarahan.34 Meskipun demikian, kejang dapat terjadi pada
stroke iskemik, namun penelitian-penelitian lain mendukung bahwa
stroke hemoragik cenderung lebih sering menyebabkan kejang.10
27
bertahun-tahun setelah stroke pertama dan berkaitan dengan semua jenis stroke.
Kejang akut terjadi dengan mekanisme yang berbeda dengan kejang kronis.39
28
3. Aktifasi subtipe reseptor NMDA yang ditimbulkan oleh
depolarisasi, yang selanjutnya menyebabkan influks kalsium
beserta aktifasi neuron.
4. Interaksi efaptik yang berhubungan dengan perubahan tingkat
osmolaritas jaringan dan pembengkakan sel.39
Pada kejang fokal, aktifitas kejang dapat dimulai dari daerah korteks
yang diskrit, lalu kemudian secara perlahan memenginvasi daerah di
sekitarnya. Adapun barisan depan dari aktifitas kejang yang menyebar
kemudian melambat dan akhirnya dihalangi oleh adanya hiperpolarisasi yang
dimediasi oleh reseptor γ-aminobutyric acid (GABA) atau potassium
channel. Di sisi lain, penyebaran aktifitas kejang juga diinhibisi oleh sel
neuron inhibitorik yang teraktifasi.39
29
Proses-proses yang terlibat dapat dilihat dalam berbagai penelitian
yang meneliti tentang epileptogenesis di lobus temporal, dimana terdapat
kerusakan sel-sel neuron yang berfungsi untuk menginhibisi sel-sel neuron
eksitatorik utama di girus dentatus. Sebagai akibat kerusakan serta tidak
berfungsinya sel-sel neuron tersebut, reorganisasi atau sprouting dari neuron
(khususnya akson mossy-fiber)41 yang bertahan hidup kemudian
mempengaruhi eksitabilitas dari jaringan sel neuron.
Pada kondisi tersebut, input eksitatorik yang normal akan
menimbulkan eksitasi yang berlebihan.39 Hal ini dapat dilihat pada adanya
proyeksi sel granul dentatus ke neuron CA3. Meningkatnya aktifitas di
proyeksi mossy-fiber akan menimbulkan eksitasi yang eksesif dari neuron
CA3. Sehingga, stimulus eksitatorik normal dari korteks entorinal ke sel-sel
granul dentatus yang mengalami reorganisasi akan menimbulkan eksitasi
berlebihan dari neuron CA3 dalam konteks berkurangnya inhibisi. Dengan
begitu, terjadi inisiasi pelepasan signal yang berulang ke neuron setelah
CA3.43 Selain itu, juga terjadi alterasi jangka panjang dalam komponen-
komponen intrinsik dan biokimia dari sel-sel neuron (seperti disfungsi
glutamat dan GABA), dimana kaskade inflamatorik menjadi faktor penting.
Adapun synaptic loop multipel pada lobus temporalis rentan terhadap
aktifitas listrik abnormal, yang meningkatkan risiko epileptogenesis.41
Dengan adanya cedera (seperti trauma kepala), hipereksitabilitas yang
terjadi kemudian akan berujung kepada perubahan struktural yang lebih
lanjut seiring berjalannya waktu, sampai suatu lesi fokal menimbulkan gejala
kejang yang tampak secara klinis.39 Ada periode jeda yang panjang antara
kejadian stroke dengan munculnya kejang pertama, dimana periode jeda
tersebut bisa mencapai hingga berbulan-bulan maupun bertahun-tahun.43
30
2.9. Definisi Kejang
Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang terjadi sebagai akibat dari
aktivitas listrik yang abnormal dan hipersinkron dari neuron susunan saraf pusat.44
31
b. Mioklonia kelopak
mata
2. Tonik klonik
3. Klonik
4. Tonik
5. Atonik
6. Mioklonik
- Mioklonik
- Mioklonik atonik
- Mioklonik tonik
Bisa fokal, umum, atau Spasme epileptik
belum jelas
Pada dasarnya, kejang dapat terjadi baik secara fokal maupun umum. Kejang
fokal biasanya berkaitan dengan adanya kelainan struktural pada otak, sedangkan
kejang umum bisa terjadi akibat kelainan seluler, biokimia, atau struktural, yang
terdistribusi secara luas.39
Aktifitas kejang fokal muncul dari jaringan neuron yang diskrit dan
dapat terdistribusi lebih luas, namun terbatas hanya pada satu hemisfer
serebrum saja. Meskipun begitu, kejang fokal dapat berubah menjadi kejang
umum, dimana terdapat aura sebelum terjadinya kejang. EEG interiktal rutin
pada pasien dengan kejang fokal cenderung normal atau bisa menunjukkan
gelombang yang disebut epileptiform spikes atau gelombang tajam.39
32
Kejang fokal dapat menimbulkan gejala-gejala motorik, sensorik,
otonomik, atau cenayang, tanpa adanya gangguan kognitif. Pasien dengan
kejang fokal motorik yang melibatkan korteks motor primer, berdekatan
dengan daerah yang mengatur pergerakan tangan, akan mengalami pergerakan
tangan kontralateral involunter. Pergerakan tersebut secara tipikal merupakan
pergerakan klonik (seperti gerakan fleksi/ekstensi berulang-ulang) dengan
frekuensi ~2-3 Hz. Selain itu, postur tonik juga bisa ditemukan. Daerah
korteks yang mengatur pergerakan tangan memiliki lokasi yang sangat dekat
dengan daerah untuk ekspresi fasial, sehingga kejang ini juga akan
menimbulkan pergerakan abnormal dari wajah. EEG elektroda kulit kepala
ketika pada waktu kejang bisa menunjukkan adanya gelombang abnormal di
daerah yang terbatas dalam area yang seharusnya di korteks serebri, jika fokus
kejang melibatkan konveksitas serebrum. Jika aktifitas kejang terjadi di
bagian yang lebih dalam, maka diperlukan elektroda intrakranial.
33
penciuman, atau higher cortical function (gejala cenayang). Gejala-gejala
tersebut juga termasuk adanya bau yang tidak biasa dan intens (seperti bau
karet yang dibakar atau kerosene), suara (suara kasar yang kompleks), atau
sensasi epigastrik yang muncul dari gaster atau dada ke kepala. Beberapa
pasien mengalami perasaan internal yang aneh seperti ketakutan, perasaan
akan terjadi sesuatu, detachment, depersonalisasi, déjà vu, atau ilusi bahwa
objek-objek tertentu menjadi lebih kecil (mikropsia) atau besar (makropsia).
Kejadian-kejadian subjektif dan internal ini juga disebut sebagai aura.39
34
2.10.2. Kejang Umum
Kejang umum diduga berasal dari satu titik di otak, namun secepatnya
menyebar dengan melibatkan jaringan neuron di kedua hemisfer serebrum. Beberapa
tipe kejang umum memiliki manifestasi yang membuat mereka masing-masing
berbeda dan juga membantu diagnosis.39
35
abnormal korteks dibandingkan dengan yang diduga secara klinis.
Hiperventilasi biasanya memprovokasi terjadinya perubahan elektrografik
ini.39
36
ekspirasi dan laring akan menghasilkan erangan yang keras (ictal cry).
Respirasi terganggu, sekret terkumpul di orofaring, dan terbentuk sianosis.
Kontraksi otot rahang juga dapat menimbulkan gejala menggigit lidah.
Peningkatan tonus simpatik juga berujung kepada meningkatnya kecepatan
denyut jantung, tekanan darah, dan ukuran pupil.
37
2.10.2.4. Kejang atonik
38
bentuk kejang umum yang lain, namun menjadi gejala yang predominan pada
epilepsi mioklonik juvenile.39
Tidak semua tipe kejang dapat dikelompokkan sebagai fokal atau umum,
sehingga harus dikategorikan sebagai “tidak dapat diklasifikasi” sampai adanya bukti
tambahan yang memperbolehkan terbentuknya klasifikasi yang sah. Kejang ini
ditandai dengan fleksi atau ekstensi yang singkat dan tidak terinterupsi otot-otot
proksimal, seperti otot trunkal. EEG menunjukkan adanya hipsaritmia, yang terdiri
dari gelombang menyeluruh yang besar dengan latar belakang terdiri dari spike
multifokal serta gelombang tajam yang kacau dan ireguler. Pada waktu spasme klinis,
terdapat supresi dari latar belakang EEG (electrodecremental response). EMG
(elektromiogram) menunjukkan adanya pola romboid yang khas dan bisa membantu
membedakan spasme dari kejang tonik atau mioklonik yang singkat. Spasme
epileptik secara predominan terjadi pada balita dan bisa dikarenakan perbedaan
fungsi neuron dan konektivitas pada sistem saraf pusat yang belum dewasa dan sudah
dewasa.39
39
memiliki tingkat eksitabilitas yang tinggi (hyperexcitability). Proses tersebut
dinamakan juga epileptogenesis.39
Pada anak-anak, kejang yang paling sering ditemukan yaitu kejang demam
(febrile seizure), yang adalah kejang yang muncul berkaitan dengan adanya demam,
namun tanpa adanya bukti infeksi sistem saraf pusat atau penyebab lain yang pasti.
Adapun kejang demam biasanya terjadi diantara umur 3 bulan sampai 5 tahun. Pada
wanita, kejang juga dapat ditemukan dalam bentuk epilepsi katamenial, dimana
frekuensi kejadian kejang meningkat pada periode di sekitar terjadinya menstruasi.39
Status epileptikus juga merupakan salah satu bentuk kejang, dimana kejang
terjadi secara terus-menerus atau berulang-ulang dan diskrit disertai gangguan
kesadaran pada periode interiktal. Durasi dari aktifitas kejang pada status epileptikus
bisa mencapai 15-30 menit. Selain itu, kejang dapat terjadi dalam bentuk psikogenik
(kejang psikogenik), dimana terdapat gejala-gejala seperti memutar kepala dari satu
sisi ke sisi yang lain, pergerakan gemetar dari anggota gerak secara asimetris dan
beramplitudo luas, dan kedutan pada keempat anggota gerak tanpa kehilangan
kesadaran. Manifestasi klinis tersebut cenderung menjadi bagian dari reaksi konversi
yang disebabkan oleh kelainan psikologis.39
40
kejang epileptik mencapai kira-kira 0,5-0,6%, sehingga diperkirakan ada sekitar 1,5
juta orang di Indonesia yang mengalami penyakit ini.47
41
diphenhidramine, isoniazid, kokain,
metamfetamin, dan lainnya)48
5. Tumor otak
Dewasa muda (18-35 tahun) 1. Trauma
2. Pemberhentian konsumsi alkohol
3. Penggunaan obat-obatan terlarang
(antidepresan, tramadol,
diphenhidramine, isoniazid, kokain,
metamfetamin, dan lainnya)48
5. Tumor otak
6. Autoimun
Dewasa tua (>35 tahun) 1. Penyakit serebrovaskuler (seperti
stroke)
2. Tumor otak
3. Pemberhentian konsumsi alkohol
4. Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepar, kelainan elektrolit,
hipoglikemia, hiperglikemia)
5. Alzheimer’s disease dan penyakit
degeneratif pada sistem saraf pusat
lainnya
6. Autoimun
42
untuk mengganggu keseimbangan normal. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya
penyebab kejang. (Tabel 5.).
Patofisiologi kejang yang berkaitan dengan stroke telah dibahas pada
sub-bab 2.6.5. Namun, penyebab-penyebab kejang selain stroke juga dapat
dijelaskan dengan mekanisme tersebut. Contohnya, penelanan asam domoat
(analog dari glutamat) dapat menyebabkan kejang dengan cara mengaktifasi
reseptor asam amino eksitatorik yang terdapat di sistem saraf pusat. Penisilin
juga menurunkan ambang kejang, dimana terjadi inhibisi karena penisilin
berperan sebagai antagonis dari efek GABA pada reseptornya. Meskipun
demikian, faktor-faktor lain seperti demam, infeksi, pemberhentian konsumsi
alkohol, kurangnya waktu tidur, dan faktor-faktor endogen (seperti genetik)
masih memiliki mekanisme-mekanisme yang belum jelas, tapi diduga
melibatkan gangguan eksitabilitas neuron.39
2.14.1. Anamnesis
43
kejang untuk membedakan kejang dengan penyakit lain yang menjadi diagnosis
banding seperti sinkop.
44
temporalis. Uji lapang pandang juga dapat dilakukan untuk membantu skrining
adanya lesi pada jalur optik dan lobus oksipital. Uji skrining terhadap fungsi
motor seperti pronator, refleks tendon dalam, cara berjalan, dan koordinasi
dapat menunjukkan adanya lesi pada korteks motorik (frontal), dan uji sensorik
kortikal (seperti double simultaneous simulation) dapat mendeteksi lesi pada
korteks parietalis.39
45
serebral yang berkaitan dengan epilepsi. Pada beberapa kasus, MRI dapat
mengindentifikasi lesi seperti tumor, malformasi vaskuler, atau patologi lain
yang membutuhkan terapi darurat. Metode MRI yang baru seperti 3-tesla
scanner, pencitraan paralel dengan multichannel head coils, pencitraan
struktural pada resolusi submilimeter yang tiga dimensi, dan fluid-attenuated
inversion recovery (FLAIR), meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi
kelainan pada struktur korteks, termasuk atrofi hipokampus yang berkaitan
dengan sklerosis mesial temporal dan kelainan migrasi neuron korteks.
Pada pasien yang diduga infeksi sistem saraf pusat atau lesi massa,
CT-scan dapat dilakukan secepatnya apabila MRI belum dapat tersedia
secepatnya. Lagipula, biasanya MRI lebih baik dilakukan beberapa hari setelah
evaluasi inisial. Penctiraan fungsional seperti positron emission tomography
(PET) dan single-proton emission computed tomography (SPECT) juga
digunakan untuk mengevaluasi pasien-pasien tertentu dengan kejang
refraktorik.39
46
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
Ruptur pembuluh
Trombosis Emboli Hipotensi darah
Iskemia Hemorrhage
Reorganisasi
neuron Eksitotoksisitas
Hiperkesitabilitas Paroxysmal
depolarization shift
Kejadian kejang
47
3.2. Kerangka Konsep
Subtipe stroke
Iskemik
Kejadian kejang
Hemoragik
3.4. Variabel
48
3.5. Definisi Operasional
49
2. ≥ 65 tahun Data rekam Lama waktu [Internet]. Arti kata sukses -
medis dari hidup sejak Kamus Besar Bahasa
Rumah dilahirkan atau Indonesia (KBBI) Online.
Sakit diadakan. [cited 2018Sep12].
Siloam Available from:
Gedung A https://kbbi.web.id/umur
dan B,
Karawaci.
4. Jenis 1. Laki – laki Data rekam Sifat atau Setiawan E. Kamus Besar
Kelamin 2. medis dari keadaan sebagai Bahasa Indonesia (KBBI)
Perempuan Rumah laki – laki atau [Internet]. Arti kata sukses -
Sakit perempuan. Kamus Besar Bahasa
Siloam Indonesia (KBBI) Online.
Gedung A [cited 2018Sep12].
dan B, Available from:
Karawaci. https://kbbi.web.id/kelamin
50
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan studi analitik dengan desain studi potong lintang
(cross sectional).
51
4.5. Cara Pengambilan Sampel
2
Zα √ 2 PQ+ Zβ √ P 1Q 1+ P 2Q 2
n= ( P 1−P 2 )
Tabel 4.1. Penghitungan jumlah sampel49
Kejang Non kejang
Stroke Iskemik 85.7 93.3
Stroke Hemoragik 14.3 6.7
Keterangan :
Zα = 1.64
Zβ = 0.84
P = (P1+P2)/2 = 0.579861665
Q = 1 – P = 0.420138335
P1 = a/a+b = 0.47877095
P2 = c/c+d = 0.680952381
Q1 = 1 – P1 = 0.52122905
Q2 = P1 – P2 = 0.319047619
52
2
Zα √ 2 PQ+ Zβ √ P 1Q 1+ P 2Q 2
n= ( P 1−P 2 )
2
1.64 √ 0.4872442324+0.84 √ 0.4668055632
n= ( 0.680952381−0.47877095 )
2
n=( 8.5006911243 )
n=72.2617495908 x 1.1
n=80 x 2
n=160
Kriteria Inklusi :
Kriteria Eksklusi :
53
tidur.
Sampling purposif
Kriteria inklusi / eksklusi
54
Data yang diperoleh dalam tabel data akan digunakan untuk mengetahui
p-value, odds ratio (OR) dan CI (Confidence Interval) menggunakan Chi-
square untuk data normal atau uji Fischer untuk data tidak normal
55
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
Kategori Nilai
Jenis Kelamin
Laki – laki 111 (58.4%)
Perempuan 79 (41.6%)
Usia
< 65 tahun 138 (72.6%)
≥ 65 tahun 52 (27.4%)
Subtipe Stroke
Hemoragik 39 (20.5%)
Iskemik 151 (79.5%)
Kejadian Kejang
Kejang 88 (46.3%)
Non Kejang 102 (53.7%)
Dari 190 sampel, ditemukan sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
111 (58.4%) dan perempuan 79 (41.6%). Berdasarkan usia, sampel dengan usia
dibawah 65 tahun berjumlah 138 (72.6%), sedangkan 65 tahun keatas sebanyak 52
(27.4%). Sampel dengan stroke hemoragik ditemukan ada sebanyak 39/190 (20.5%),
sementara stroke iskemik berjumlah sebesar 151/190 (79.5%). Di sisi lain, terdapat
88/190 (46.3%) sampel yang mengalami kejang, dimana 102/190 (53.7%) tidak
mengalami kejang.
56
Tabel 5.2 Analisis bivariat subtipe stroke terhadap kejang pasca stroke
Tabel 5.3 Analisis bivariat faktor-faktor risiko terhadap kejang pasca stroke
57
5.2 Pembahasan
Dalam penelitian ini, frekuensi kejang pasca stroke lebih tinggi pada pasien
stroke hemoragik (48.7%) dibandingkan stroke iskemik (45.7%). Adapun pengaruh
subtipe stroke terhadap kejadian kejang pada ditemukan tidak signifikan secara
statistik (p-value = 0.875; odds ratio [OR] 1.129; 95% confidence interval [CI95]
0.558 – 2.284). Suatu penelitian serupa di Iraq menunjukkan bahwa kejadian kejang
pasca stroke lebih tinggi pada stroke hemoragik (18%) dibandingkan stroke iskemik
(8.5%). Penelitian tersebut menemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
subtipe stroke dengan kejadian kejang pasca stroke (p-value = 0.062).40
Adapun penelitian ini dan penelitian di Iraq tersebut berlawanan dengan dari
penelitian di Taiwan, yang menemukan bahwa stroke hemoragik secara signifikan
meningkatkan risiko terjadinya kejang pasca stroke (p-value = <0.001). Diagnosis
kejang didasarkan pada definisi epilepsi (kencenderungan yang besar untuk terjadinya
kejang berulang lebih dari 24 jam), sehingga mengeksklusi kejang yang hanya terjadi
satu kali. Penelitian tersebut juga hanya mengeksklusi penyakit katastrofik
(keganasan, autoimun, neurodegeneratif, dan gagal ginjal tingkat akhir) sebagai
penyebab kejang lainnya, sedangkan penelitian ini mengeksklusi semua penyakit lain
yang bisa menyebabkan kejang.50
58
ada juga penelitian di Inggris, yang menunjukkan bahwa pengaruh jenis kelamin
terhadap kejadian kejang pasca stroke tidak signifikan (p-value = 0.740).13
Berdasarkan kategori usia, frekuensi kejang pasca stroke pada pasien dengan
usia dibawah 65 tahun adalah 45.7%, sedangkan 65 tahun keatas 48.1%, dimana tidak
adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian kejang pasca stroke (p-
value = 0.892; odds ratio [OR] 1.102; 95% confidence interval [CI95] 0.582 – 2.088).
Berdasarkan data dari RISKESDAS 2013 mengenai frekuensi stroke di Indonesia,
kelompok umur 65 tahun keatas mencapai 76.3%, sementara dibawah 65 tahun hanya
mencakup 37.7%. Suatu penelitian di Jerman menemukan bahwa frekuensi kejang
pasca stroke pada pasien dengan umur 65 tahun keatas (11.9%) dan dibawah umur 65
tahun (10.8%) tidak berbeda (p-value = 0.910).11 Sebaliknya, pada suatu penelitian
serupa di Inggris ditemukan hasil yang signifikan (p-value = <0.001), dimana
frekuensi pasien kejang pasca stroke pada umur 65 tahun keatas mencakup 4.6%,
sedangkan pada kelompok umur dibawah 65 tahun meliputi 10.7%. Penelitian di
Inggris tersebut mendefinisikan kejadian kejang pasca stroke sebagai kejang berulang
yang terjadi minimal 2 kali pada fase akut stroke (dalam 24 jam pertama).13
59
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
60
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
X1. Feigin VL, Mensah GA, Norrving B, Murray CJL, Roth GA, Bahit MC, et al.
Atlas of the global burden of stroke (1990-2013): The GBD 2013 study.
Neuroepidemiology. 2015;45(3):230–6.
61
Dorresteijn LDA, van Dijk EJ, et al. Poststroke Epilepsy Is Associated With a
High Mortality After a Stroke at Young Age: Follow-Up of Transient Ischemic
Attack and Stroke Patients and Unelucidated Risk Factor Evaluation Study.
Stroke. 2015;46(8):2309–11.
10. Kim HJ, Park KD, Choi K-G, Lee HW. Clinical predictors of seizure
recurrence after the first post-ischemic stroke seizure. BMC Neurol.
2016;16(1):212.
14. Go S, Worman DJ, Tintinalli JE, Stapczynski JS, Ma OJ, Yealy DM, et al.
Stroke Syndromes. In: Tintinalli’s Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide, 8e. 8th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2016. p.
1142-55.
16. Smith WS, Johnston SC, Hemphill JC, Kasper D, Fauci A, Hauser S, et al.
Cerebrovascular Diseases. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
York, NY: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2559-86.
62
17. Kanyal N. The Science of Ischemic Stroke: Pathophysiology &
Pharmacological Treatment. Int J Pharma Res Rev IJPRR. 2015;4(410):65–84.
19. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al.
An updated definition of stroke for the 21st century: A statement for healthcare
professionals from the American heart association/American stroke
association. Stroke. 2013;44(7):2064–89.
21. Lai TW, Zhang S, Wang YT. Excitotoxicity and stroke: Identifying novel
targets for neuroprotection. Prog Neurobiol. 2014;115:157–88.
24. Dong YS, Et al. Protective Effect of Quercetin against Oxidative Stress and
Brain Edema in an Experimental Rat Model of Subarachnoid Hemorrhage. Int
J Med Sci. 2014;11(3):282–90.
25. Favaloro B, Allocati N, Graziano V, Ilio CD, Laurenzi VD. Role of Apoptosis
in disease. Aging (Albany NY). 2012;4(5):330–49.
26. Czabotar PE, Lessene G, Strasser A, Adams JM. Control of apoptosis by the
63
BCL-2 protein family: Implications for physiology and therapy. Nat Rev Mol
Cell Biol. 2014;15(1):49–63.
27. Grosse L, Wurm CA, Bru ser C, Neumann D, Jans DC, Jakobs S. Bax
assembles into large ring-like structures remodeling the mitochondrial outer
membrane in apoptosis. EMBO J. 2016;35(4):402–13.
32. Broughton BRS, Et al. Post-stroke inflammation and the potential efficacy of
novel stem cell therapies: focus on amnion epithelial cells. Front inCellular
Neurosci. 2013;6:66.
34. An SJ, Kim TJ, Yoon B-W. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features
of Intracerebral Hemorrhage: An Update. J Stroke. 2017;19(1):3–10.
64
35. Camargo E, Ding M, Zimmerman E, Silverman S, Halter JB, Ouslander JG, et
al. Cerebrovascular Disease. In: Hazzard’s Geriatric Medicine and
Gerontology. 7th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2017.
36. Boehme AK, Esenwa C, Elkind MSV. Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention. Circ Res. 2017;120(3):472–95.
37. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman M, et al.
Heart disease and stroke statistics-2015 update : A report from the American
Heart Association. Vol. 131, Circulation. 2015. 29-39 p.
39. Lowenstein DH, Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL, et al.
Seizures and Epilepsy. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19e.
19th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2542–51.
65
clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;(55):475–82.
48. Chen HY, Albertson TE, Olson KR. Treatment of drug-induced seizures. Br J
Clin Pharmacol. 2016;81(3):412–9.
51. Chen, T. C., Chen, Y. Y., Cheng, P. Y., & Lai, C. H. (2012). The incidence
rate of post-stroke epilepsy: A 5-year follow-up study in Taiwan. Epilepsy
Research, 102(3), 188–194.
52. Wang M, Li Y, H. H. (2017). Clinical analysis on high risk factors for epilepsy
after acute stroke, 10(6), 9779–9784.
66
SURAT KEPUTUSAN DEKAN
Nomor: 066/SKD/FK/UPH/VI/2016
tentang
67
tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
MEMUTUSKAN
68
Pertama : Pedoman Tata Tertib dan Pelaksanaan dan Sidang
Tugas Akhir Skripsi sebagaimana tercantum dalam
lampiran Surat Keputusan ini,
Diterapkan di : Karawaci,
Dekan,
69