Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan,

karena bagaimanapun kesuksesan seseorang tidak ada artinya bila mengalami

sakit. Kesehatan juga merupakan unsur dasar bagi masyarakat dalam

meningkatkan kesejahteraan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam

masyarakat, bila salah satu anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan,

maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga yang lain, termasuk salah

satu penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat adalah penyakit TB Paru.

Tuberculosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat di dunia.

Penyakit Tuberkulosis (TBC) sudah dikenal sejak dahulu kala. WHO

melaporkan bahwa setengah persen dari penduduk dunia terserang penyakit ini,

sebagian besar berada di Negara berkembang sekitar 75%, diantaranya di

Indonesia setiap tahun ditemukan 539.000 kasus baru TB BTA positif dengan

kematian 101.000. Menurut catatan Departemen Kesehatan sepertiga penderita

tersebut ditemukan di RS dan sepertiga lagi di puskesmas, sisanya tidak

terdeteksi dengan baik. (Depkes, 2010).

Tuberculosis paru (TB) adalah penyakit infeksius/menular yang

disebabkan oleh bacteri mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan

penyakit infeksi yang banyak di derita masyarakat karena penularannya sangat

mudah, yaitu melalui udara atau droplet infection. Sumber penularan TB BTA

1
2

positif yaitu melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya (Kemenkes RI,

2016).

Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

meriang lebih dari satu bulan.

Faktor yang dapat meningkatkan resiko TB yaitu Kontak langsung

dengan penderita TB, Resiko terinfeksi TB berhubungan dengan sifat TB dan

lama paparannya seperti contohnya bila salah satu anggota rumah tangga

terkena TB maka faktor resiko 1 dari 3 orang kemungkinan tertular. Faktor usia

juga dapat meningkatkan resiko TB, Orang lanjut usia dan anak-anak memiliki

resiko lebih tinggi terkena TB karena sistem kekebalan tubuh yang kurang kuat

sehingga lebih mudah terinfeksi TB.

Tujuan dari pengobatan TB adalah mencegah komplikasi, mencegah

perkembangan latency dan atau kambuh berikutnya, dan mengurangi

kemungkinan penularan TB. Pada pasien dengan TB laten, tujuan terapi adalah

untuk mencegah perkembangan penyakit, Sedangkan pemberian obat golongan

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) bertujuan untuk membunuh Mycobacterium

tuberkulosis yang menyerang tubuh pasien. Biasanya pemberian OAT (Obat

Anti Tuberkulosis) di lakukan selama 6 bulan atau lebih di lihat dari kuat nya

sifat Mycobacterium Tuberkulosis. Pengobatan TB juga tergantung pada faktor

usia, kondisi kesehatan, respon terhadap obat, jenis TB dan lokasi terinfeksinya

di tubuh. Penggunaan obat TB kemungkinan memiliki efek samping yang


3

membuat tidak nyaman namun tidak membahayakan, seperti Mual dan muntah,

Kehilangan nafsu makan, Kulit menjadi berwarna kuning, Urin atau kencing

menjadi berwarna keruh bahkan kemerahan dan demam tanpa sebab.

Berdasarkan WHO Global TB Report 2018, diperkirakan insiden TBC di

Indonesia mencapai 842 ribu kasus dengan angka mortalitas 107 ribu kasus.

Jumlah ini membuat Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi untuk kasus

TBC setelah India dan China. Dari angka insiden ini dilakukan perhitungan

beban TB di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Untuk perhitungan

beban TB di tingkat kabupaten/kota, Ditjen P2P telah menerbitkan Buku

Panduan Penentuan Beban dan Target Cakupan Penemuan dan Pengobatan

Tuberkulosis di Indonesia Tahun 2019-2024.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur terus berupaya dalam mencegah

dan memberantas penyakit tuberkulosis atau yang biasa disebut penyakit TBC.

Salah satunya adalah dengan gerakan TOSS (Temukan TBC Obati Sampai

Sembuh). Saat ini penyakit TBC di Jawa Timur menempati urutan kedua di

Indonesia. Kepala Dinkes Jatim, Dr dr Kohar Hari Santoso mengatakan bahwa

penyakit TBC di Jawa Timur turun ke peringkat dua setelah gencar

mengkampanyekan dan melakukan gerakan TOSS. Pada tahun 2018, angka

penemuan dan pengobatan kasus TBC mencapai angka 57.442 kasus, angka

tersebut naik dibandingkan dengan tahun 2017 yaitu 55.865 (Dinkes Jatim,

2019)

Data selanjutnya dari Dinas Kesehatan Kab Sidoarjo (2018), jumlah

penderita TBC di Kab Sidoarjo berada di posisi ketiga, setelah Surabaya dan
4

Jember. Penderita tuberculosis (TB) mencapai 6.449 pasien. (Dinkes Sidoarjo,

2019).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Buduran, pada tahun

2017 jumlah penderita TB paru mencapai 110 pasien. Dan data pada tahun 2018

terjadi peningkatan menjadi 124 pasien tuberculosis, (Puskesmas Buduran

2018)

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, kita perlu menyadari bahwa TB

adalah penyakit yang sangat perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut

mengenai kepatuhan minum obat pada pasien dengan TB paru di wilayah kerja

Puskesmas Buduran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut” Bagaimana kepatuhan minum obat pada pasien TB

paru di wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pasien TB paru di Wilayah kerja

Puskesmas Buduran kabupaten Sidoarjo.


5

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Buduran

2. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien TB di wilayah kerja

Puskesmas Buduran Sidoarjo

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan

pengalaman bagi peneliti.

1.4.2 Bagi Tempat Penelitian

Hasil penelitian ini merupakan informasi bagi tempat peneliti untuk

mengetahui kepatuhan minum obat pada pasien dengan TB Paru.

1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian pada tugas akhir ini sebagai acuan pengembangan

kurikulum kegiatan belajar mengajar dalam penanganan penderita TB

paru.

1.4.4 Bagi perkembangan Ilmu keperawatan

Sebagai bahan acuan untuk melakukan pengembangan penelitian

selanjutnya.

BAB 2
6

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Medis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis (TBC)

Penyakit Tuberkulosis (TBC) sudah dikenal sejak dahulu kala,

Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. (Kemenkes

RI, 2016). Kuman ini pada umumnya menyerang paru-paru dan

sebagian lagi dapat menyerang di luar paru-paru, seperti kelenjar getah

bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan, selaput otak dan

sebagainya. Kuman ini menyebar melalui inhalasi droplet nuklet,

kemudian masuk ke saluran nafas dan bersarang di jaringan paru

hingga membentuk afek primer.

Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi

perhatian global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang

dilakukan, insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun,

namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan

menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan

China merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak

yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh penderita di dunia

(WHO, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Tuberkulosis

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif


7

4. Analisis kohort hasil pengobatan

A. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :

1) Tuberkulosis paru : Adalah TB yang berlokasi pada parenkim

(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya

lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus

juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB

paru.

2) Tuberkulosis ekstraparu : Adalah TB yang terjadi pada organ selain

paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit,

sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus

dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran

radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB

ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan

hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru

harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya

Mycobacterium tuberculosis.

B. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan

TB terakhir, yaitu:
8

a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh

atau karena reinfeksi).

b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-

up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow

up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien

setelah putus berobat /default).

d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah

pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).

C. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

1) Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap

lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan

Rifampisin (R) secara bersamaan.


9

3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan

atau tanpa diikuti resistan OAT lini pertama lainnya.

4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus

juga Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT

golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua

jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain

yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler)

atau metode fenotip (konvensional). ( Kemenkes RI, 2016)

2.1.3 Etiologi

Penyebab infeksi tuberculosis adalah Mycobacterium

tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang

1-4 /um dan tebal 0,3-0,6/um. Mycobacterium tuberculosis merupakan

kuman batang aerobic dan tahan asam dan merupakan organisme

pathogen yang penting bagi manusia.

Kuman penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium

tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan

pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar

diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat

dibersihkan lagi dari fuchin atau metileenblauw oleh cairan asam

sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl

Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini. Ada dua


10

macam mikrobakteria penyebab tuberculosis, yaitu tipe human dan tipe

bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis

tuberculosa, dan bila diminum dapat menyebabkan tuberkulosa usus.

Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang

berasal dari penderita TB paru terbuka. Orang yang rentan dapat

terinfeksi TB paru bila menghirup bercak ini. Ini merupakan cara

penularan terbanyak. (Sjamsuhidayat dan Jong 2013).

2.1.4 Patofisiologi TB Paru

Infeksi diawali karena seorang menghirup basil

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan nafas

menuju alveoli lalu berkembangbiak dan terlihat bertumpuk.

Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau

sampai ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga dapat

menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain

(ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru sendiri.

Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembangbiak

di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih

panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitoloid yang

dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang

mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel

epiteloid dan fibrolast akan menimbulkan respins berbeda, kemudian

pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh

tuberkel ( Somantri I, 2008)


11

Proses infeksi M.tuberculosis bervariasi pada penjamu yang

berbeda. Penyakit paru biasanya muncul, tetapi infeksi dapat terjadi

pada daerah lain meliputi meninges, ginjal, tulang dan nodul limfe.

Tampaknya semua penularan TB terjadi dari infeksi paru dengan

adanya pelepasan organisme melalui bersin, batuk, tertawa atau

pengeluaran ke udara. Saat pasien TB batuk, inti doplet, organisme

dapat menyerang mekanisme perlindungan di jalan nafas dan mencapai

alveoli.

Pada keadaan ini dapat dikatakan bahwa pasien mengalami

infeksi primer. Organisme dilingkungan oleh makrofag nonspesifik

dan disebarkan dari paru melalui hematogen dan sistem limfa ke

seluruh tubuh. Setelah itu organisme dikenali oleh sel T dan reaksi

kekebalan spesifik mulai berkembang. Sering kekebalan ini tidak

membunuh organisme, tapi membuat periode laten selama beberapa

bulan sampai beberapa tahun. Selama keadaan laten, organisme hidup

tapi tidak bereproduksi dan meskipun tidak sakit, penjamu tetap

terinfeksi.

Meskipun proses infeksi ini secara laten tidak menunjukkan

gejala sepanjang hidup, sekitar 10% dari mereka yang terinfeksi

menjadi sakit TB. Dengan integritas kekebalan yang menurun karena

mal-nutrisi, infeksi HIV, supresi kekebalan imunoterapi, atau

bertambahnya usia, Imunologi menjadi tidak efektif dan dapat terjadi

lesi patologik. Dengan pembaharuan pertumbuhan organisme, lesi

dapat tumbuh dan kavitasi mungkin timbul pada area yang terinfeksi.
12

Di paru (di mana lebih dari 80% penyakit ditemukan) kavitas menjadi

area deposit bagi bakteri TB dalam jumlah besar bersama debris dari

dektruksi sel dan sel imunologi lain.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala atau keluhan yang mungkin muncul pada penderita

TB paru adalah :

1. Demam

Penelitian Vauthey tahun 1998 di India menunjukkan bahwa

demam kemungkinan terjadi sekitar 60-85% pada penderita TB.

Biasanya subfebris menyerupai influenza, tetapi kadang-kadang panas

badan dapat 40-41ºc. Serangan demam pertama dapat sembuh

kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini,

sehingga penderita merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam

influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita

dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

2. Batuk

Batuk dapat terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini

diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk

mulai dari kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Batuk yang bersifat akut

merupakan penyebab yang paling sering dikeluhkan oleh pasien ketika

berkonsultasi ke dokter. Sedangkan batuk yang bersifat kronik

didefinisikan sebagai batuk yang durasinya lebih dari 8 minggu.

3. Batuk darah
13

Keadaan yang lebih lanjut dari batuk berupa batuk darah

(hemoptosis) karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Sekitar 70%

batuk darah disebabkan oleh tuberculosis dan biasanya terjadi pada

kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

Hemoptosis atau batuk darah bisa banyak, atau bisa pula sedikit

sehingga hanya berupa garis merah cerah di dahak. Hemoptosis massif

adalah ekspektorasi 600 ml darah dalam 24 sampai 48 jam.

4. Sesak nafas

Sesak nafas merupakan ungkapan rasa/sensai yang dialami

individu dengan keluhan tidak enak/tidak nyaman bernafas. Pada

penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas.

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana

infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.

5.Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan

pleuritis.

6.Malaise

Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala

malaise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak nafsu makan, badan

makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,

keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan

terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.1.6 Komplikasi Tuberkulosis


14

Penyakit tuberculosis bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Tuberkulosis dapat menimbulkan banyak

komplikasi. Komplikasi dini dari TB adalah pleuritis, efusi pleura. Dan

apabila dibiarkan tanpa pengobatan akan semakin memperburuk

kondisi kesehatan penderita. Pneumothorax menjadi ancaman

selanjutnya bagi penderita TB. Dan akan menjadi lebih parah jika

penderita TB mengalami gagal nafas dan gagal jantung. Kejadian fatal

ini merupakan ancaman yang menakutkan bagi penderita TB. Terlebih

jika penderita tersebut tidak melakukan pengobatan secara rutin.

2.1.7 Faktor resiko terjadinya TB Paru

Terdapat beberapa faktor yang memicu berkembangnya penyakit TB

pada kelompok masyarakat, yaitu :

1. Umur

Umur merupakan faktor resiko terhadap kejadian TB. Sekitar 75%

pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis

yaitu pada umur 15 – 50 tahun.

2. Jenis kelamin

Pada umumnya penderita TB lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan pada perempuan. Hal ini disebabkan karena pada

umumnya seorang laki-laki dituntut bekerja lebih keras untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari terutama yang berusia produktif, bahkan

terkadang masih ada yang bekerja meskipun sudah tua.

3. Diabetes melitus dan HIV


15

Diabetes melitus dapat mengganggu respons immun yang penting

untuk mengatasi proliferasi TB sehingga diabetes melitus merupakan

suatu faktor resiko untuk TB. Diabetes melitus juga sebagai suatu faktor

resiko independen untuk infeksi saluran pernafasan bawah.

Infeksi HIV merupakan faktor resiko yang paling penting dalam

peningkatan kejadian TB. Penderita TB menular (dengan sputum BTA

positif) yang juga mengidap HIV merupakan penularan TB tertinggi.

4. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan sebagai faktor predisposisi terhadap kejadian TB

di kelompok masyarakat. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi

prilaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin

mudah menerima informasi atau pengetahuan tentang TB.

5. Sosial ekonomi

Kejadian TB biasanya berkaitan dengan faktor sosial ekonomi.

Menurut WHO (2011), 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi rendah atau miskin.

6. Kepadatan (crowding)

Kepadatan penghuni rumah sangat mempengaruhi terjadinya

penularan penyakit terutama penyakit yang menular melalui udara

seperti TB. Semakin padat penghuni di dalam rumah maka perpindahan

penyakit akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota

keluarga yang menderita TB dengan BTA positif.


16

7. Keadaan jendela dan ventilasi

Ruangan dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi

ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap

segar. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi

syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi

oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat

racun bagi penghuninya.

8. Kelembaban

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Kelembaban

udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40 – 60%.

Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

9. Suhu dan pencahayaan

Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya. Suhu

rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan

kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan

dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi.

Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri terutama

bakteri M. tuberculosis. Bakteri ini dapat mati oleh sinar matahari

langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang

buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian TB.


17

10. Kebiasaan merokok

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian tidak disebutkan bahwa

kebiasaan merokok bukan merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian TB, akan tetapi pola hidup seseorang dengan kebiasaan

merokok dapat memicu kemungkinan tertular TB. Sebanyak 71

responden yang mempunyai kebiasaan merokok terdapat 64 orang

(70,3%) yang menderita TB.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnosis TB

Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa

pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, dan

pemeriksaan laboratorium.

1. Pemeriksaan Klinis dibagi atas pemeriksaan manifestasi klinis dan

pemeriksaan fisik.

a). Pemeriksaan Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis TB paru dibagi menjadi dua golongan yaitu :

manifestasi klinis respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak

nafas, dan nyeri dada. Golongan yang kedua adalah manifestasi

klinis sistemik seperti deman, keringat malam, anoreksia, malaise,

berat badan menurun serta nafsu makan menurun.

b). Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas lesi dan

kelainan stuktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit

sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan fisik. Suara atau bising


18

nafas abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah,

suara nafas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan

mediastinum.

2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat,

limfositosis)

3. Foto thorax PA dan lateral Gambaran foto thorax yang menunjang

diagnosis TB yaitu:

 Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical

lobus bawah

 Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular)

 Adanya kavitas, tunggal atau ganda

 Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru

 Adanya kalsifikasi

 Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian

 Bayangan milier

4. Pemeriksaan Sputum BTA

Pemeriksaan mikroskopik ini dapat melihat adanya basil tahan

asam, dimana dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per mil

sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum

dipakai adalah pewarnaan Zielh Nielsen dan pewarnaan Kinyoun

Gabbet.

5. Peroksidase anti peroksidasi (PAP)


19

Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen

imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik

terhadap basil TB.

6. Tes Mantoux Tuberkulin

Sampai saat ini tes kulit adalah satu-satunya tes untuk mendeteksi

infeksi laten TB yang menggunakan campuran antigen dari

Mycobacterium tuberculosis.

7. Teknik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam

berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya adalah

mikroorganisme dalam specimen. Selain itu teknik PCR ini juga

dapat mendeteksi adanya resistensi.

8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC)

9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).

2.1.9 Penatalaksanaan

1. Pengobatan TB

a. Tujuan Pengobatan TB adalah:

1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta

kualitas hidup.

2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak

buruk selanjutnya.

3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB.

4) Menurunkan risiko penularan TB.


20

5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

b. Prinsip Pengobatan TB: Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah

komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB

merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus

memenuhi prinsip:

1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya

resistensi.

2) Diberikan dalam dosis yang tepat.

3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi

dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai

pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

c. Tahapan Pengobatan TB: Pengobatan TB harus selalu meliputi

pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud:

1) Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan

pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif

menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan

meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin

sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.

Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan

selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur


21

dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun

setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

2) Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan bertujuan

membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya

kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah

terjadinya kekambuhan. (Kemenkes RI, 2016).

2.2 Konsep Kepatuhan Minum Obat

2.2.1 Definisi Kepatuhan

Secara umum, istilah kepatuhan (compliance atau adherence)

didiskripsikan dengan sejauh mana pasien mengikuti instruksi-

instruksi atau saran medis. Terkait dengan terapi obat, kepatuhan

pasien didefinisikan sebagai derajat kesesuaian antara riwayat dosis

yang sebenarnya dengan regimen dosis obat yang diresepkan. Oleh

karena itu, pengukuran kepatuhan pada dasarnya mempresentasikan

perbandingan antara dua rangkaian kejadian, yaitu bagaimana

nyatanya obat diminum dengan bagaimana obat seharusnya diminum

sesuai resep. Dalam konteks pengendalian tuberkulosis paru atau TB

paru, kepatuhan terhadap pengobatan dapat didefinisikan sebagai

tingkat ketaatan pasien yang memiliki riwayat pengambilan obat

terapeutik terhadap resep pengobatan. Kepatuhan rata-rata pasien pada

pengobatan jangka panjang terhadap penyakit kronis di Negara maju

hanya 50 % sedangkan di Negara berkembang, jumlahnya jauh lebih

rendah.
22

Tingkat kepatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting,

karena bila pengobatan tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai

dengan waktu yang telah di tentukan maka akan dapat timbul

kekebalan (resistence) kuman tuberkulosis terhadap Obat Anti

tuberkulosis (OAT) secara meluas atau disebut dengan Multi Drugs

Resistence (MDR). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan

mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB

paru, sehingga akan meningkatkan resiko kesakitan, kematian, dan

menyebabkan semakin banyak ditemukan penderita TB paru dengan

Basil Tahan Asam (BTA) yang resisten dengan pengobatan standar.

Pasien yang resisten tersebut akan menjadi sumber penularan kuman

yang resisten di masyarakat. Hal ini tentunya akan mempersulit

pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat

beban pemerintah

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat antara lain :

1. Pengaruh Diri Sendiri terhadap Tingkat Kepatuhan

Motivasi atau keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri, menjadi

faktor utama pada tingginya tingkat kepatuhan pasien dalam

menjalani terapi obat TB paru. Motivasi untuk tetap

mempertahankan kesehatannya sangat mempengaruhi terhadap

faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pasien dalam

mengontrol penyakitnya.

2. Peran Keluarga terhadap Tingkat Kepatuhan Pasien


23

Peran Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat

diperlukan untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat. PMO

sangat dibutuhkan pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat

setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya

kekebalan (resistensi) terhadap semua OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) terutama Rifampisin.

3. Peran Petugas (Sistem Pelayanan Kesehatan) terhadap Tingkat

Kepatuhan Pasien

Sementara menurut Senewe (2002) menyatakan bahwa faktor

pelayanan kesehatan mempengaruhi terhadap kepatuhan berobat

penderita TB paru. Faktor pelayanan kesehatan ini meliputi

penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, ketersediaan obat TB

(OAT), mutu obat TB (OAT), ketersediaan sarana transportasi dan

jarak.

4. Ketidakpatuhan Pasien

Ketidakpatuhan pasien tuberkulosis paru untuk minum obat secara

tuntas di sebabkan karena obat TB paru harus dikonsumsi dalam

jangka waktu yang panjang sehingga akan memberikan tekanan

psikologis bagi penderita karena harus menjalani pengobatan yang

lama.

2.2.3 Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 1. OAT Lini Pertama Jenis Sifat Efek samping


Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer
(H) (Gangguan saraf tepi),
24

psikosis toksik, gangguan


fungsi hati, kejang.
Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome(gejala
(R) influenza berat),gangguan
gastrointestinal,urine
berwarna merah,gangguan
fungsi hati,
trombositopeni, demam,
skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan
(Z) gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout arthritis.
Streptomisin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan,
(S) gangguan keseimbangan
dan pendengaran,renjatan
anafilaktik, anemia,
agranulositosis,
trombositopeni
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan,
(E) buta warna, neuritis
perifer (Gangguan saraf
tepi).

Tabel 2. Pengobatan Lini kedua


Group Golongan Jenis Obat
A Florokuinolon Levofloksasin (Lfx)
Moksifloksasin (Mfx)
Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik lini Kanamisin (Km)
kedua Amikasin (Am)*
Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)**
C OAT oral lini Etionamid
Kedua (Eto)/Protionamid (Pto)*
Sikloserin (Cs) /Terizidon
(Trd)*
Clofazimin (Cfz)
Linezolid (Lzd
D1 OAT lini pertama Pirazinamid (Z)
25

Etambutol (E)
Isoniazid (H) dosis tinggi
D2 OAT baru Bedaquiline (Bdq)
Delamanid (Dlm)*
Pretonamid (PA-824)*
D3 OAT tambahan Asam para aminosalisilat
(PAS)
Imipenemsilastatin (Ipm)*
Meropenem (Mpm)*
Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)*
Thioasetazon (T)*

Keterangan:

*Tidak disediakan oleh program

**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada

kondisi tertentu dan tidak disediakan oleh program

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah ;

1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE) S/(HRZE) /

5(HR)E.

3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2

yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,

Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan

obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

Catatan: Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang

digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis

intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi


26

yang telah direkomendasikan (Tabel 3 Dosis rekomendasi OAT Lini

Pertama untuk pasien Dewasa). Penyediaan OAT dengan dosis harian saat

ini sedang dalam proses pengadaan oleh Program TB Nasional.

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk

paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini

terdiri dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam 1 (satu)

paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid

(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas

dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien

yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.

Tabel 3. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa


Obat Dosis Dosis Dosis 3x Dosis
harian harian per minggu 3x per
(mg/kgBB) Maksimum (mg/kgBB) minggu
(mg) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin(R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid(z) 25 (20-30) 35 (30-40)
Etambutol(E) 25 (15-20) 30 (25-35)
Streptomisin(S) 15 (12-18) 15 (12-18)

1) Kategori-1: Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.


27

c) Pasien TB ekstra paru.

a) Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))


Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))
Berat badan Tahap Intensif setiap Tahap Lanjutan Setiap
hari RHZE setiap hari RH
(150/75/400/275) (150/75)
Selama 56 hari Selama 16 minggu
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet

b) Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan


(2(HRZE)/4(HR)3)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)

Berat badan Tahap Intensif setiap Tahap Lanjutan 3 kali


hari RHZE seminggu RH
(150/75/400/275) (150/150)
Selama 56 hari Selama 16 minggu
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1


Tahap Lama Dosis per hari / kali
pengobatan pengob
Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumla
atan
Isoniasi Rifampis Pirazin Etamb h hari /
d in @450 amid utol kali
@300 mgr @500 @250 menel
mgr mgr mgr an
obat
Intesif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
28

2.2.4 Cara Mengukur Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan dapat diukur dengan berbagai metode yang secara

umum dibagi menjadi metode pengukuran langsung (direct methods)

dan metode pengukuran tidak langsung (indirect methods). Metode

pengukuran langsung dapat berupa pengamatan langsung (directly

observed therapy), pengukuran konsentrasi obat atau metabolitnya di

dalam darah, dan deteksi konsentrasi obat di dalam darah menggunakan

biological markers. Metode pengukuran tidak langsung dapat berupa

patient self-reports (kuesioner), pill counts, jadwal refill obat, asesmen

respon klinis pasien, electronic medication monitors, pengukuran

respon fisiologis pasien (misal pengukuran denyut jantung pada pasien

yang diberi beta-blocker), serta catatan sehari-hari pasien (Osteberg dan

Blaschke 2005).

Pertengahan tahun 1980 an, Morisky dan tim risetnya

mengembangkan sebuah kuesioner untuk dapat memprediksi kepatuhan

pasien terhadap pengobatan antihipertensi. Instrumen ini telah

divalidasi dalam berbagai studi dan menunjukkan hasil psikometri yang

baik.Sejak saat itu, para peneliti di seluruh dunia telah mengembangkan

penggunaan instrumen ini terhadap berbagai penyakit seperti diabetes

dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) (Morisky et al. 2008)

Penilaian menggunakan Morisky Scale yaitu menanyakan pada

pasien, setiap pertanyaan yang direspon dilingkari ”ya” atau ”tidak”.


29

Lingkaran jawaban untuk setiap pertanyaan, jumlah skor untuk kolom

motivasi dan jumlah skor untuk kolom pengetahuan. Pasien dengan

total nilai yang tinggi diasumsikan lebih patuh dibandingkan pasien

dengan nilai total yang lebih rendah. Pasien dengan nilai yang lebih

rendah memiliki resiko yang lebih besar untuk berperilaku tidak patuh

(CMSA 2006).

Nilai kepatuhan penggunaan obat dengan MMAS adalah dengan

memberikan angka 1 jika “tidak” dan angka 0 jika “iya” pada item

pertanyaan nomer 1 hingga 7 kecuali pada nomer 5. Pada item

pertanyaan nomer 5 diberikan nilai 1 jika “iya” dan 0 jika “tidak”. Item

nomer 8 terdapat beberapa penilaian yaitu jika “tidak pernah/sangat

jarang” diberikan nilai 1; jika “sesekali” diberikan nilai 0,75; jika

“kadang-kadang” diberikan nilai 0,5; jika “biasanya” diberikan nilai

0,25; dan jika “selalu/sering” diberikan nilai 0. Tingkat kepatuhan

responden dikelompokkan menjadi 3, yaitu kepatuhan rendah dengan

skor kurang dari 6, kepatuhan sedang dengan skor 6 hingga 7, dan

kepatuhan tinggi dengan skor 8.

Ketiga kategori kepatuhan tersebut dilakukan penggabungan sel

untuk mengelompokkan kategori patuh dan tidak patuh. Kategori patuh

dan tidak patuh dari hasil penggabungan sel yaitu skor ≥ 6 untuk patuh

dan skor < 6 untuk tidak patuh (Puspita 2016).

Tabel 7. Pengelompokan Kategori Kepatuhan

Variabel Kategori Awal Kategori Hasil


Penggabungan sel
30

Kepatuhan Pasien < 6 rendah < 6 tidak patuh


6-7 sedang ≥ 6 patuh
8 tinggi

2.3 Konsep Kesembuhan TB Paru

2.3.1 Kesembuhan TB Paru

Kesembuhan penyakit TB Paru yaitu suatu kondisi dimana

individu telah menunjukan peningkatan kesehatan dan memiliki salah

satu indikator kesembuhan penyakit TBC, diantaranya: menyelesaikan

pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up)

hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan

follow up sebelumnya negatif. (Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis, 2010) Kesembuhan penyakit TB yaitu suatu kondisi

dimana individu telah menunjukan peningkatan kesehatan dan

memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit TBC, diantaranya :

perubahan berat badan dan perlu dilakukan tes BTA terhadap sputum.

Target Angka kesembuhan nasional > 85%.

Rumus:

Jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh X 100%

Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati

2.3.2 Faktor –faktor yang berhubungan dengan kesembuhan TB Paru

Berikut ini akan diuraikan masing-masing faktor-faktor yang

berhubungan dengan kesembuhan tuberkulosis:


31

1.Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor

pencetus yang mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam:

a.Pengetahuan tentang TB paru

b.Sikap penderita TB Paru

c.Perilaku kesehatan

2. Faktor yang memungkinkan (enabling factor) yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan dikarenakan

antara lain adalah pemakaian OAT dan peran PMO.

a.Pemakaian OAT Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan

tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis.

b.Pelayanan kesehatan

Seperti Puskesmas, Rumah Sakit umum Pemerintah, dan PMO

(Pengawas Minum Obat).

3. Faktor penguat (reinforcing factor) terwujud dalam sikap dan

perilaku kelompok yaitu dukungan keluarga.

2.3.3 Cara Mengukur Kesembuhan TB Paru

Cara mengukur hasil pengobatan dilaksanakan dengan

pemeriksaan ulang secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis

dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED)


32

tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan. Untuk

memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen

sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan

negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen

positif, maka hasil pemerikasaan ulang dahak tersebut dinyatakan

positif. Pemeriksaan ulang dahak untuk mementau kemajuan

pengobatan dilakukan pada :

a. Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA positif

dengan kategori 2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif

dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak,

yaitu perubahan BTA positif menjadi negatif.

1) Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1:

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar (seharusnya 80 %)

dari penderita sudah BTA negatif (konversi). Penderita ini dapat

meneruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. Jika

pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya masih

BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama

1 bulan. Setelah paket sisipan satu selesai, dahak diperiksa

kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun

hasil pemerikasaan ulang dahak BTA masih tetap positif.


33

2) Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan ketegori 2:

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih

positif, tahap intensif harus diteruskan lagi, selama 1 bulan

dengan OAT sisipan. Setelah satu bulan diberi sisipan dahak

diperiksa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan

meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif.

Bila memungkinkan spesimen dahak penderita dikirim untuk

dilakukan biakan dan uji kepekaan obat (sensitivity test).

Sementara pemeriksaan dilakukan, penderita meneruskan

pengobatan tahap lanjutan. Bila hasil uji kepekaan obat

menunjukam bahwa kuman sudah resisten terhadap 2 atau lebih

OAT, maka penderita dirujuk ke unit pelayanan spesialistik

yang dapat menangani kasus resisten. Bila tidak mungkin, maka

pengobatan dengan tahap lanjutan diteruskan sampai selesai.

3) Pengobatan penderita BTA negatif hasil Rontgen positif dengan

ketegori 3 (ringan) atau 1 (berat): Penderita TBC paru BTA

negatif, rontgen positif, baik dengan pengobatan ketegori 3

(ringan) atau kategori 1 (berat), tetap dilakukan pemeriksaan

ulang dahak pada tahap akhir bulan ke dua. Bila hasil

pemeriksaan ulang dahak BTA positif, maka ada 2

kemungkinan :

a) Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama (pada saat

diagnosis sebenarnya adalah BTA positif tapi dilaporkan

sebagai BTA negatif.


34

b) Penderita berobat tidak teratur.

b. Sebulan sebelum akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum

akhir bulan ke 5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan

kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan

ulang penderita BTA positif kategori 2.

c. Akhir Pengobatan Dilakukan seminggu akhir bulan ke 6

pengobatan pada penderita baru BTA positif dengan kategori 1,

atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA

positif, dengan kategori 2. Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan

sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan

untuk menilai hasil pengobatan (“sembuh”, atau “gagal”).Penderita

dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak

(follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif.

Tabel 8. Mengukur pemeriksaan BTA pada pasien TB Paru

No Pengobatan ( waktu ) Hasil BTA Hasil BTA


Positif negative
1 Akhir tahap intensif Pengobatan Penderita ini
(Seminggu sebelum akhir diteruskan dapat
bulan ke 2 pengobatan) dengan OAT meneruskan
sisipan selama pengobatan
1 bulan. dengan tahap
lanjutan
2 Akhir bulan ke 3 Tahap intensif Penderita ini
pengobatan harus dapat
diteruskan lagi, meneruskan
selama 1 bulan pengobatan
dengan OAT dengan tahap
sisipan. lanjutan
3 Akhir bulan ke 4 Pengobatan Penderita ini
pengobatan tahap lanjutan dapat
35

tetap diberikan meneruskan


meskipun hasil pengobatan
pemeriksaan dengan tahap
dahak ulang lanjutan
BTA masih
positif.
4 Akhir bulan ke 5 Pengobatan Penderita ini
pengobatan tahap lanjutan dapat
tetap diberikan meneruskan
meskipun hasil pengobatan
pemeriksaan dengan tahap
dahak ulang lanjutan
BTA masih
positif.
5 Akhir bulan ke 6 Hasil Dinyatakan
pengobatan pengobatan di sembuh jika
nyatakan gagal pemeriksaan
ulang dahak
(follow up)
paling sedikit
2 kali berturut-
turut hasilnya
negative
36

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam

penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil. Rancangan penelitian studi kasus

dimaksud untuk mengkaji suatu fenomena berdasarkan fakta empiris di

lapangan. Rancangan juga digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam

perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau

menjawab suatu pertanyaan penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian

deskriptif untuk mengetahui kepatuhan minum obat pada pasien dengan

TB Paru.

3.2 Subyek Studi Kasus

Penjelasan tentang subyek penelitian biasanya meliputi darimana

populasi diambil dan bagaimana sampel dipilih. Pada bagian ini juga

dituliskan dasar karakteristik subjek, misalnya usia, jenis kelamin serta hal

hal lain yang sesuai.

Subyek dalam penelitian ini adalah Pasien dengan penderita TB paru

30 orang dengan kriteria usia (20 – 60) tahun di wilayah kerja Puskesmas

Buduran.

3.3 Fokus Studi


37

Fokus studi dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat pasien

dalam upaya penyembuhan TB paru di wilayah kerja Puskesmas Buduran.

3.4 Definisi Operasional

Tabel Definisi Operasional

No Variabel Definisi Indikator Alat ukur Skor


Operasional
1. Pasien Tb Mengukur -Terinfeksi Tb Observasi -Positif (1)
Paru pemeriksaan Paru jika BTA - BB ( Berat -Negatif (0)
BTA pada Positif Badan )
pasien dengan -Tidak - BTA
TB Paru Terinfeksi Tb ( Bakteri
Paru jika BTA Tahan Asam )
negatif
2. Kepatuhan Perilaku pasien Penilaian Pertanyaan Skor < 6 =
pasien yang sesuai menggunakan kuisioner kepatuhan
minum obat dengan Morisky Scale rendah.
ketentuan yang yaitu Skor 6 – 7
diberikan oleh menanyakan = kepatuhan
petugas sedang
pada pasien,
kesehatan.
setiap Skor 8 =
pertanyaan yang kepatuhan
tinggi.
direspon
dilingkari ”ya”
atau ”tidak”.
Lingkaran
jawaban untuk
setiap
pertanyaan,
jumlah skor
untuk kolom
motivasi dan
jumlah skor
untuk kolom
pengetahuan.
Pasien dengan
total nilai yang
tinggi
diasumsikan
lebih patuh
38

dibandingkan
pasien dengan
nilai total yang
lebih rendah.
Pasien dengan
nilai yang lebih
rendah memiliki
resiko yang
lebih besar
untuk
berperilaku
tidak patuh
(CMSA2006).

3.5 Lokasi dan Waktu

Pengambilan data akan dilakukan di Puskesmas Buduran pada bulan

Maret – April 2020.

3.6 Tehnik dan Instrumen Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian.

Dalam studi kasus ini, peneliti menggunakan metode hasil kuisioner dan

wawancara dalam mengetahui tentang kepatuhan minum obat pada pasien TB

Paru. Sebelum kuisioner disebarkan kepada responden, peneliti menjelaskan

terlebih dahulu maksud dan tujuan dari penelitian. Dan peneliti menanyakan

kepada responden bersedia atau tidak. Jika bersedia peneliti membagikan

kuisioner dan memberikan lembar persetujuan menjadi responden ( informed

concent) untuk ditanda tangani, dilanjutkan dengan wawancara dengan

responden untuk mengetahui kepatuhan minum obat TB paru.


39

3.7 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Buduran.

Setelah proposal peneliti disetujui oleh penguji proposal. Peneliti mengambil

sampel dan meminta persetujuan kepada klien untuk dijadikan responden.

Pengumpulan data menggunakan kuisioner dan wawancara langsung

3.8 Penyajian dan Analisis Data

Tehnik penyajian data merupakan cara bagaimana untuk menyajikan

data sebaik-baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca hasil penelitian

disajikan dalam bentuk deskripsi naratif untuk mengambarkan hasil

penelitian dari responden.

3.9 Etika Studi Kasus

Etika dalam penelitian menunjukan pada prinsip-prinsip etis yang

diterapkan dalam kegiatan penelitian, dari proposal penelitian sampai dengan

publikasi hasil penelitian. Menurut ( Notoatmodjo, 2012), prinsip sebuah

penelitian meliputi :

1. Respect for Human Dignity ( menghormati harkat dan martabat

manusia)

2. Respect for Justice an Inclusiveness ( keadilan dan keterbukaan )

3. Balancing Harms and Benefits ( memperhitungkan manfaat dan

kerugian yang ditimbulkan )

Responden yang memenuhi syarat akan dilindungi hak-haknya untuk

menjamin kerahasiaan.
40

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika
41

Brunner & Suddart, 2001. Buku Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta:
EGC

Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati dkk. 2017. Buku KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN, Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius

Dinkes Jatim., 2019. Provinsi Jatim Terbanyak Kedua Penderita TBC se-
Indonesia. Surabaya : Bhirawa Online tersedia di
https://www.harianbhirawa.co.id/provinsi-jatim-terbanyak-kedua-
penderita-tbc-se-indonesia/ (diaskes 15 Desember 2019)

Kemenkes R.I., 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67


Tahun 2016.

Kemenkes R.I, 2018. Tuberkulosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan R.I tersedia di


https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infod
atin-tuberkulosis-2018.pdf (diaskes 15 Desember 2019)

Kompas.com., 2016. Kepatuhan Minum Obat Jadi Kunci Kesembuhan


TB.Tersedia di
https://lifestyle.kompas.com/read/2016/04/04/150000723/Kepatuhan.Minu
m.Obat.Jadi.Kunci.Kesembuhan.TB. (diaskes 16 Desember 2019)

PAAI., 2014. Jurnal e-Biomedik (eBM) tersedia di


https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/5604/5138
(diaskes 17 Desember 2019)

Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 2(2), 116-121 tersedia di


file:///C:/Users/HP/Downloads/Tingkat_Kepatuhan_Penggunaan_Obat_pa
da_Pasien_Tube.pdf
(diaskes 10 Maret 2020)

Lampiran 1

SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


42

Kepada
Yth. Responden
Di Tempat
Dengan Hormat
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah Mahasiswa Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Surabaya Program Studi D3 Keperawatan
Kampus Sidoarjo, akan melakukan penelitian tentang “Studi Kasus Kepatuhan
Minum Obat pada Pasien Tb Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Buduran
Kabupaten Sidoarjo”.
NAMA : Tatuth Eunike
NIM : P27820417057
Tujuan penelitian ini adalah untuk Menggambarkan kepatuhan minum
obat pasien Tb Paru berdasarkan teori. Bersama ini saya mohon kesediaan
Saudara/I untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Jawaban yang Anda
berikan akan saya jaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian.
Data yang Anda berikan akan digunakan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan khusunya di bidang keperawatan dan tidak dipergunakan untuk
maksud yang lain.
Atas kesediaan Anda sebagai responden kami ucapkan terima kasih.

Sidoarjo, ………………2020

Hormat Saya

Lampiran 2
43

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENJADI RESPONDEN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Inisial Nama :

Umur :

Alamat :

Menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian yang berjudul

“Studi Kasus Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tb Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo” yang dilaksanakan sebagai salah satu

tugas akhir Program Studi D3 Keperawatan Sidoarjo Politeknik Kesehatan

Kementrian Kesehatan Surabaya tahun 2020.

Surat pernyataan ini dibuat dengan sadar tanpa ada paksaan dari pihak

manapun.

Sidoarjo, ………………2020

( )

Lampiran 3

KUISIONER

NAMA :
44

USIA :
JENIS KELAMIN :
Penyakit yang pernah dialami :

Diabetes Melitus Darah Tinggi Tidak Ada

Berilah jawaban Ya atau Tidak pada pertanyaan berikut yang menurut anda paling

sesuai dengan anda !

No Pertanyaan

1 Apakah anda terkadang lupa untuk


minum obat
2 Pernahkah anda tidak minum obat
selain karena alasan lupa?

3 Pernahkah berhenti minum obat dan


tidak memberi tahu dokter anda?

4 Pernahkah anda lupa membawa obat


saat dalam perjalanan?

5 Apakah kemarin anda minum obat


dengan lengkap?

6 Apakah anda pernah berhenti untuk


minum obat saat tidak ada gejala?

7 Apakah anda pernah kesal dengan


rencana pengobatan anda yang lama?

8 Apakah anda sering lupa untuk


minum obat anda ?

a.Tidak pernah/jarang

b.Sekali-sekali

c.Kadang
45

d.Biasanya

e.Selalu

Lampiran 4
LEMBAR OBSERVASI
KESEMBUHAN TB PARU
Nama Responden :
Jenis Kelamin :
46

Umur :
Alamat :
Tanggal Pertama Pemeriksaan :
Tanggal Terakhir Kali Pemeriksaan :

Bulan Hasil Hasil Hasil Observasi


pemeriksaan pemeriksaan BB Pemeriksaan
( Berat Badan) BTA

Bulan ke-1

Bulan ke-2

Bulan ke-3

Bulan ke-4

Bulan ke-5

Bulan ke-6

Lampiran 5

LEMBAR KONSULTASI KARYA TULIS ILMIAH

Nama Mahasiswa : Tatuth Eunike

NIM : P27820417057

Dosen Pembimbing : Dr. Hotmaida Siagian, SKM, M.Kes


47

Judul : “Studi Kasus Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tb Paru Di


Wilayah Kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo”

No Hari/Tanggal Materi Konsul Revisi Tanda Tangan


Mahasiswa Pembimbing

Lampiran 5

LEMBAR KONSULTASI KARYA TULIS ILMIAH

Nama Mahasiswa : Tatuth Eunike

NIM : P27820417057

Dosen Pembimbing : Dr. Hotmaida Siagian, SKM, M.Kes


48

Judul : “Studi Kasus Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tb Paru Di


Wilayah Kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo”

No Hari/Tanggal Materi Konsul Revisi Tanda Tangan


Mahasiswa Pembimbing

Anda mungkin juga menyukai