Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepuasan kerja perawat masih menjadi tantangan global yang dihadapi oleh profesi
keperawatan. Statistik menunjukkan angka kepuasan kerja perawat masih bervariasi.
Studi di Eropa yang menyurvei lebih dari 33.000 perawat pada 488 rumah sakit di 12
negara, 1 dari 5 perawat melaporkan ketidakpuasan terhadap pekerjaannya (Aiken, Sloa
ne, Bruyneel, Heede, & Sermeus, 2013). Lebih lanjut Aiken et al., (2013) merinci tingka
t ketidakpuasan perawat di beberapa negara aitu 1 dari 10 perawat di Belanda, sekitar 2
dari 10 perawat di Belgia, Norwegia, Swediya dan Swiss, 4 dari 10 perawat di Inggris,
Jerman, Irlandia dan Spanyol, dan hampir 6 dari 10 perawat di Yunani.

Tingkat kepuasan kerja perawat di Cina telah menjadi fokus beberapa peneliti. Liu et a
l., (2012) melaporkan ketidakpuasan perawat lebih dari 50% dengan pekerjaannya di
provinsi Guangdong, China. Penelitian lain melibatkan 2.250 perawat dari 19 rumah
sakit umum di Shanghai, China melaporkan bahwa 50,2% perawat tidak puas dengan
pekerjaannya (C. Liu et al., 2011). Penelitian di Harbin, Cina menyatakan 650 perawat
dari enam rumah sakit mengemukakan beban kerja dan kompensasi sebagai alasan keti
dakpuasan (Ning, Zhong, Libo, & Li, 2009). Farhadjafari, Seyedehsan beladianbehbaha
n, Fatemehazami, Gharahgozloi, & Behzadtadayyon (2014) menyatakan 71,9% perawa
t tidak puas dengan pekerjaan di Teheran Iran. Nantsupawat et al., (2011) melaporkan
bahwa 28% perawat di Thailand tidak puas dengan pekerjaan perawat.

Statistik kepuasan kerja perawat di Indonesia menunjukkan hasil yang beragam.


Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa perawat masih tidak puas sebesar 50% di
rumah sakit militer Jakarta (Yayah & Hariyati, 2015), 43,3% di Kota Salatiga,
Semarang (Lutfiyah, Sukesi, & Solechan, 2014), 47,1% di Rumah Sakit Haji Jakarta
(Sulistyarini, 2013), 39% di rumah sakit daerah Sulawesi Utara (Tampilang, Tuda, &
Warouw, 2013). Pada dasarnya kepuasan kerja bersifat individual, setiap orang akan
memiliki derajat kepuasan yang bervariasi karena dipengaruhi oleh persepsi yang ada
pada dirinya. Hasil survey kepuasan pegawai yang dilakukan di salah satu rumah sakit
pemerintah di Tangerang tahun 2017 didapatkan angka kepuasan sebesar 59,1%.

1
Universitas Indonesia
2

Sementara tahun 2016 sebanyak 53,4%. Banyak faktor yang membuat perawat merasa
kurang puas dengan pekerjaannya.

Gaji merupakan faktor penyebab ketidakpuasan. Zhang et al., (2014) menyatakan 45%
dari 9.698 perawat di 181 rumah sakit di Cina melaporkan tidak puas dengan pekerjaan
saat ini dengan gaji sebagai faktor utama ketidakpuasan. Gaji merupakan sumber
ketidakpuasan sebagian besar perawat di semua negara di Eropa, dari terendah di Swiss
(34%) hingga tertinggi di Yunani (83%) (Aiken et al., 2013). Selain gaji, ada faktor lain
berpengaruh pada kepuasan kerja perawat. Penelitian menyebutkan dua faktor yang ber
pengaruh pada ketidakpuasan kerja perawat ruang ICU rumah sakit di China yaitu stres
yang dialami dari tuntutan beban kerja yang berlebihan, dan kurangnya rasa hormat dan
pengakuan untuk pekerjaan perawat (Tao, Ellenbecker, Wang, & Li, 2015). Banyak
dampak yang ditimbulkan dari rendahnya kepuasan kerja, salah satunya mempengaruhi
kinerja perawat.

Kepuasan kerja perawat merupakan fenomena yang patut mendapat perhatian karena
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja pelayanan yang diberikan. Beberapa
penelitian meyakini korelasi kepuasan kerja dengan kinerja merupakan mitos, namun
sebuah studi tinjauan pada 300 penelitian menyimpulkan hubungan yang cukup erat
(Robbins & Judge, 2017). Penelitian lain menyatakan pengaruh signifikan antar
kepuasan kerja dengan kinerja perawat (p < 0,05) (Aulia & Sasmita, 2014; Y. Indrawati,
2014; Mamahit, 2013; Putra, Musnadi, & Majid, 2014). Pada level yang lebih besar,
hasil survey membuktikan bahwa organisasi yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang
lebih baik cenderung lebih efektif (Robbins & Judge, 2017). Perilaku seorang perawat
akan memberikan dampak secara keseluruhan terhadap kinerja rumah sakit.

Kepuasan kerja menjadi faktor penentu dari perilaku anggota organisasi. Penelitian
menyatakan bahwa kepuasan kerja perawat memiliki pengaruh yang bermakna pada
perilaku positif angota organisasi (organizational citizenship behavior) (Berlian, 2016;
Fanani, Djati, & Silvanita, 2017; Fitrianasari, Nimran, & Utami, 2013). Organizational
citizenship behavior (OCB) memberikan banyak kontribusi bagi organisasai. Salah
satunya adalah meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan
mempertahankan karyawan agar senang bekerja (Fanani et al., 2017; Podsakoff,
Mackenzie, Moorman, & Fetter, 1990).

Universitas Indonesia
3

Banyak perilaku yang dapat diungkapkan perawat untuk menunjukkan rasa


ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Perawat yang merasa tidak puas dengan pekerjaan
akan menunjukkan perilaku turnover intentions. Ketidakpuasan kerja menjadi faktor
yang paling memengaruhi kecenderungan dan keputusan karyawan untuk keluar dari
tempat kerjanya (Aiken et al., 2013; Biegger, Geest, Schubert, & Ausserhofer, 2016;
Nantsupawat et al., 2011; Wang, Liu, Tao, & Ellenbecker, 2012; Zhang et al., 2014).
Penelitian menyatakan terdapat hubungan negatif yang bermakna antara kepuasan kerja
dengan intensitas turnover (p < 0,05) (Mardiana, Hubeis, & Panjaitan, 2014; Rahmawati
& Mikhriani, 2016). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kepuasan kerja maka semakin
rendah intensitas turnover pada perawat. Kepuasan kerja adalah prediktor terkuat untuk
mempertahankan perawat (Wang et al., 2012). Biegger, Geest, Schubert, &
Ausserhofer (2016) berpendapat bahwa jika tujuan untuk mempertahankan perawat,
maka kepuasan dengan berbagai peluang untuk kemajuan harus ditingkatkan. Perawat y
ang merasa puas dengan pekerjaan akan memiliki kontribusi positif terhadap pelayanan
yang diberikan.

Faktor lain yang memengaruhi kualitas pelayanan adalah motivasi. Motivasi perawat
masih menjadi tantangan serius yang dihadapi oleh profesi keperawatan. Perawat yang
bekerja dengan motivasi rendah cenderung tidak menikmati dan merasa tertekan dalam
bekerja (Taghipour & Dejban, 2013). Motivasi rendah akan memberikan penekanan
negatif pada diri sendiri sehingga menganggap membantu pasien didasarkan pada rasa
kewajiban semata (Dill, Erickson, & Diefendorff, 2016). Perawat sebagai pemberi
pelayanan yang dekat dengan pasien, dituntut untuk mununjukkan kinerja yang baik.

Statistik menunjukkan angka motivasi kerja perawat masih bervariasi. Motivasi perawat
yang belum optimal akan mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.
Penelitian menunjukan bahwa perawat masih memiliki motivasi kerja pada kategori
rendah yaitu 56.7% (Rumagit, Mulyadi, & Malara, 2017), 44.6% (Renoningsih,
Kandou, & Porotu’o, 2016), 58.5% (Miladiyah, Mustikasari, & Gayatri, 2015), 57.6%
(Natasia, Andarini, & Koeswo, 2014), 36.4% (Khodijah & Marni, 2014), 63.3%
(Nurazizah & Isnaeni, 2013), 52.8% (Yanti & Warsito, 2013), 46.9% (Nur, Noor, &
Irwandy, 2013), 43% (Etlidawati, 2012), 84.8% (Sagala & Fathi, 2012), 41% (Zahara,
Sitorus, & Sabri, 2011), 31.5% (Badi’ah et al., 2009), 28.9% (Ariyani, 2009). Angka

Universitas Indonesia
4

yang ditampilkan oleh beberapa penelitian amat bervariasi, namun hal ini tentulah
menjadi kabar tidak baik yang harus disikapi karena berpengaruh pada pelayanan
keperawatan. Hasil wawancara dengan sepuluh perawat pada beberapa rumah sakit
pemerintah di Tangerang mengemukakan tujuh perawat menyatakan kurang
bersemangat dalam bekerja karena harapan terhadap reward yang tidak sesuai.

Motivasi perawat harus dipertahankan pada tingkat yang optimal karena akan
berdampak pada kinerja. Penelitian menunjukkan apabila motivasi seseorang tinggi,
maka kinerjanya pun menjadi lebih baik. Sebaliknya jika motivasi rendah, maka kinerja
menjadi kurang baik . Mandagi, Umboh, & Rattu (2015) memperlihatkan kekuatan
hubungan motivasi perawat dengan kinerja (p < 0,05), dengan nilai odds ratio (OR)
menyatakan motivasi yang tinggi memberikan dampak pada kinerja baik 6,9 kali lebih
besar.

Motivasi kerja yang tinggi dapat memberikan dorongan kepada perawat untuk bekerja
sebaik mungkin berdasarkan standar keselamatan pasien. Kurangnya motivasi menjadi
masalah yang serius bagi profesi keperawatan. Penelitian menunjukkan salah satu faktor
yang memiliki hubungan signifikan dengan penerapan keselamatan pasien di rumah
sakit adalah motivasi perawat (p < 0,05) (Nivalinda, Hartini, & Santoso, 2013; Nur et
al., 2013; Oktafia, 2015; Renoningsih et al., 2016; Sri, 2015). Penelitian lain
menyebutkan adanya pengaruh motivasi (p = 0,020) terhadap sikap mendukung
penerapan program keselamatan pasien (Ariyani, 2009). Perawat yang memiliki
motivasi yang tinggi dalam bekerja, akan menjadikan program keselamatan pasien
sebagai budaya dalam bekerja (Nivalinda et al., 2013). Hasil analisis menggambarkan
bahwa perawat yang mempunyai motivasi kurang, berpotensi 8 kali kurang menerapkan
keselamatan pasien (Sri, 2015). Motivasi perawat turut mempengaruhi kualitas asuhan
keperawatan.

Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien harus dipertahankan pada
kondisi yang optimal. Salah satu cara untuk mempertahankan dan meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan melalui kegiatan supervisi. Sílvia, Monteiro, & Cruz (201
1) merekomendasikan agar supervisi dalam keperawatan harus dilakukan bagi setiap
perawat dalam praktik klinis karena memiliki dampak positif yang besar, namun proses
supervisi harus dipantau secara sistematis dengan teknik yang akurat. Supervisi tidak

Universitas Indonesia
5

hanya terdiri dari interaksi dengan pertemuan rutin antara supervisee dan supervisor
untuk mendiskusikan kasus atau situasi tertentu yang muncul dari praktik dengan tujuan
untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan solusi, tetapi juga merupakan proses
formal sebagai dukungan terhadap peningkatan profesionalisme dan standarisasi praktik
(Cruz, Luís, Barbosa, & Lamas, 2015). Salah satu standar yang harus diterapkan di rum
ah sakit adalah program keselamatan pasien.

Supervisi keperawatan memberikan pengaruh positif terhadap upaya peningkatan kesela


matan pasien. Penelitian menunjukkan ada korelasi antara supervisi dengan penerapan
keselamatan pasien (p < 0,05) (Irawan, Yulia, & Muliyadi, 2017; Nugroho & Sujianto,
2017; Pratiwi, 2015; Rasdini, Wedri, & Mega, 2014; Rivai, Sidin, & Kartika, 2016; Nur
et al., 2013; Oktafia, 2015). Temuan penelitian yang dilakukan Cruz et al., (2015)
menunjukkan bahwa supervisi keperawatan berkontribusi pada penerapan penilaian risi
ko dan pencegahan pasien jatuh yang tepat, dan akhirnya akan meningkatkan
keselamatan pasien dan kualitas asuhan keperawatan. Supervisi yang baik mempunyai
peluang 7,4 kali perawat pelaksana menerapkan budaya keselamatan pasien secara baik
(Irawan et al., 2017).

Supervisi dapat mengurangi kelelahan dan stress akibat pekerjaan. (Circenis, Jeremejev
a, Millere, & Deklava, (2015) mendapatkan bahwa ada perbedaan signifikan antara
kelelahan emosional dan indikator depersonalisasi dalam kelompok eksperimen peserta
sebelum dan sesudah supervisi. Supervisi mengurangi indikator kelelahan pada
kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol. Perawat yang merasakan adany
a dukungan dari supervisor akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan dan
menyebabkan tingkat kelelahan yang lebih rendah (Brunero & Stein-Parbury, 2008). Su
pervisi membantu perawat untuk mengerti lebih baik diri sendiri, emosi dan aspek
perilaku dari berbagai stress akibat pekerjaan. Penelitian lain menunjukkan bahwa
ketika supervisi dilakukan untuk mendukung pekerjaan, perlakuan ini mengarah pada
hasil yang menguntungkan bagi karyawan dan organisasi seperti berkurangnya stres
kerja dan peningkatan kinerja (Taghipour & Dejban, 2013). Supervisi yang dilakukan d
engan kurang baik akan memberikan pengaruh negatif pada kinerja perawat pelaksana d
an prognosis buruk bagi kualitas layanan keperawatan.

Universitas Indonesia
6

Penerapan supervisi keperawatan dapat meningkatkan kinerja perawat. Mayoritas


perawat pelaksana menyatakan bahwa supervisi memberikan manfaat yang cukup baik.
Kegiatan supervisi dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja, meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam pemberian asuhan keperawatan, serta dapat menin
gkatkan hubungan yang baik antara supervisor dengan perawat pelaksana (Harmatiwi,
Sumaryani, & Rosa, 2017; Sugiarto, 2016). Penelitian lain menyebutkan terdapat
korelasi signifikan antara kemampuan supervisi kepala ruangan yang dipersepsikan oleh
perawat pelaksana dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan
keperawatan (Hastuti, 2014). Zahara et al., (2011) menunjukkan faktor yang dominan
berpengaruh dengan kinerja yaitu supervisi. Mandagi et al., (2015) menyoroti pengaruh
supervisi terhadap kinerja melaksanakan asuhan keperawatan. Penelitian ini menunjukk
an jika supervisi dilakukan dengan baik akan memberikan kinerja baik sebesar 4,7 kali l
ebih besar. Kegiatan supervisi yang baik didukung oleh kemampuan supervisor dalam
melaksanakan supervisi.

Setiap perawat profesional dan pengelola keperawatan harus memiliki kemampuan supe
rvisi. Studi yang dilakukan oleh Cruz, Carvalho, & Sousa, (2015) menunjukkan bahwa
pengelola perawatan perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang supervisi klinik ke
perawatan untuk dapat bekerja sama dalam melakukan tindakan keperawatan. Hall-lord,
Theander & Athlin (2013) dan Australia Health Worforce (2014) mengemukakan bahw
a pengalaman belajar klinis yang berkualitas difasilitasi oleh supervisor yang memiliki k
omitmen dan kompeten serta jumlah yang memadai.

Kualifikasi dan kompetensi supervisor mutlak diperlukan untuk mendukung


keberhasilan pelaksanaan kegiatan supervisi. Keberhasilan pelaksanaan supervisi
diantaranya sangat di tentukan oleh kompetensi kepala ruangan sehingga kepala ruang
dituntut memiliki kemampuan supervisi (Hastuti, 2014). Kualifikasi dan kompetensi
supervisor merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang pencapaian tujuan
pelaksanaan supervisi keperawatan. (Ahaddyah, 2012). Pengelola keperawatan
diharapkan mampu melaksanakan fungsi pengarahan melalui supervisi sebagai garansi
terhadap kualitas asuhan keperawatan yang diberikan (Harmatiwi et al., 2017).
Kompetensi meliputi pengetahuan, entrepreneurial, intelektual, sosioemosional dan

Universitas Indonesia
7

interpersonal. Pada kenyataannya kemampuan pengelola keperawatan masih beragam d


alam melaksanakan supervisi.

Hasil evaluasi pelaksanaaan supervisi di beberapa rumah sakit, menunjukkan bahwa


kompetensi dan komitmen supervisor belum optimal. Pelaksanaan supervisi belum
tejadual, kegiatan supervisi berupa inspeksi mendadak mengenai pelayanan
keperawatan, terkadang tentang dokumentasi keperawatan, kegiatan yang dilakukan
lebih pada pengawasan (Hastuti, 2014). Pendapat lain menunjukkan kegiatan supervisi
belum optimal dilaksanakan. Berdasarkan jadwal yang dibuat selama Juni-Agustus 2015
di salah satu rumah sakit daerah Yogyakarta, kegiatan supervisi keperawatan terealisasi
31,7% (Harmatiwi et al., 2017). Beberapa supervisor jarang memberikan kesempatan
kepada perawat untuk merefleksikan dan mereview asuhan keperawatan dan
mendikusikan kasus-kasus pasien secara mendalam (Sugiarto, 2016).

Beban kerja ganda dan ketiadaan waktu dikonfirmasi menjadi penyebab supervisi belum
optimal (Ahaddyah, 2012; Harmatiwi et al., 2017; Sugiarto, 2016). Studi eksplorasi yan
g dilakukan Schole & Cox (2016) terhadap pengalaman supervisor menyimpulkan
bahwa faktor-faktor seperti beban kerja yang berat, kekurangan staf, dan pengalaman
dalam proses supervisi sering menjadi kendala. Penerapan supervisi berjenjang ditawark
an sebagai salah satu strategi efektif menghadapi situasi yang belum optimal.
Hasil wawancara peneliti dengan sepuluh perawat pada beberapa rumah sakit
pemerintah di Tangerang pada Maret 2017, menyatakan bahwa supervisi di ruang rawat
dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua tim. Kepala ruangan dan ketua tim belum
memiliki jadual dalam melaksanakan supervisi. Hasil supervisi yang telah dilaksanakan
tidak disampaikan sebagai bahan masukan bagi perawat pelaksana. Pelaksanaan supervi
si yang ada merupakan kegiatan pengarahan dan bimbingan situasional ketika perawat
menghadapi kesulitan. Perawat mengatakan selama ini supervisi yang dilaksanakan
hanya sebatas mengobservasi, menilai kelengkapan dokumentasi tanpa ada kegiatan
pendampingan yang optimal dan feed back.

Beberapa penelitian menunjukkan ada korelasi kuat antara supervisi dengan kepuasan
kerja perawat (p < 0,05) (Lutfiyah et al., 2014; Mua, Hariyati, & Afifah, 2011; Sigit,
Keliat, & Hariyati, 2011; Sulistyarini, 2013; Tampilang et al., 2013; Zahara et al.,
2011). Penelitian lain menunjukkan korelasi signifikan antara supervisi dengan motivasi

Universitas Indonesia
8

(p < 0,05) (Tongo, Lapian, & Rattu, 2017). Penelitian serupa namun menunjukkan
kontradiksi hubungan antara supervisi dengan motivasi (p = 0,169) (Purnamasari,
Erwin, & Jumaini, 2014), kontradiksi supervisi dengan kepuasan kerja (p = 0,380)
(Wolo, Trisnawati, & Wiyadi, 2015).

Profesi keperawatan masih dihadapkan pada kondisi perilaku ketidakpuasan kerja


perawat yang bervariasi, motivasi kerja perawat yang fluktuatif, dan pelaksanaan
supervisi yang belum optimal. Berdasarkan fenomena yang terjadi dan hasil penelitian
yang beragam maka peneliti ingin mengidentifikasi hubungan supervisi berjenjang
dengan motivasi dan kepuasan kerja perawat pada beberapa rumah sakit di Tangerang.

1.2 Rumusan Masalah


Kepuasan kerja perawat masih menunjukkan angka yang kurang menggembirakan.
Fenomena ketidakpuasan kerja perawat masih menjadi isu global yang perlu mendapat
penanganan serius dari pengelola keperawatan. Banyak penelitian telah dilakukan untuk
menentukan strategi yang tepat menghadapi permasalahan kepuasan kerja, namun
tingkat ketidakpuasan kerja pada perawat masih tinggi. Motivasi perawat masih menjadi
tantangan serius yang dihadapi oleh profesi keperawatan. Motivasi perawat yang rendah
akan memberikan penekanan negatif pada diri sendiri dan mendasari kecenderungan
perawat bekerja berdasarkan rutinitas dan sekedar melaksanakan kewajiban semata.

Kegiatan supervisi di rumah sakit belum optimal dilaksanakan. Bimbingan dan


dukungan melalui kegiatan supervisi yang tidak memadai dapat memengaruhi motivasi
dan kepuasan kerja perawat. Faktor-faktor seperti beban kerja yang berat, ketiadaan wa
ktu, kekurangan staf, dan pengalaman dalam proses supervisi sering menjadi kendala. P
enerapan supervisi berjenjang ditawarkan sebagai salah satu strategi efektif menghadapi
situasi yang belum optimal. Supervisi berjenjang dirancang untuk memfasilitasi fungsi
peer-educative. Melalui kegiatan supervisi berjenjang, perawat akan merasa
dipedulikan, diperhatikan, dihargai, dan akan terbina hubungan personal yang baik serta
diharapkan menciptakan motivasi dan kepuasan kerja. Namun, hubungan tersebut
belum diteliti secara b/ersamaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum
diketahuinya hubungan antara supervisi berjenjang dengan motivasi dan kepuasan kerja.

1.3 Tujuan Penelitian

Universitas Indonesia
9

1.3.1 Tujuan Umum


Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan supervisi berjenjang dengan
motivasi dan kepuasan kerja perawat pelaksana di ruang rawat inap beberapa rumah
sakit di Tangerang.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus penelitian ini adalah agar teridentifikasinya:
1.3.2.1 Gambaran karakteristik perawat pelaksana di ruang rawat inap beberapa rumah
sakit di Tangerang.
1.3.2.2 Gambaran motivasi, kepuasan kerja, dan supervisi berjenjang di ruang rawat
inap beberapa rumah sakit di Tangerang.
1.3.2.3 Hubungan karakteristik perawat dengan motivasi di ruang rawat inap beberapa
rumah sakit di Tangerang.
1.3.2.4 Hubungan karakteristik perawat dengan kepuasan kerja di ruang rawat inap
beberapa rumah sakit di Tangerang.
1.3.2.5 Hubungan supervisi berjenjang dengan motivasi, dan kepuasan kerja perawat
pelaksana di ruang rawat inap beberapa rumah sakit di Tangerang.
1.3.2.6 Variabel paling dominan memengaruhi motivasi perawat pelaksana di ruang
rawat inap beberapa rumah sakit di Tangerang.
1.3.2.7 Variabel paling dominan memengaruhi kepuasan kerja perawat pelaksana di
ruang rawat inap beberapa rumah sakit di Tangerang.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini memberikan manfaat bagi pengembangan praktik keperawatan,
pengembangan keilmuan keperawatan, dan penelitian berikutnya.

1.4.1 Bagi Pengembangan Praktik Keperawatan


Penelitian ini membantu rumah sakit di Tangerang menghadapi permasalahan motivasi
dan kepuasan kerja perawat melalui kebijakan supervisi berjenjang. Lebih lanjut,
kebijakan supervisi berjenjang dapat meningkatkan dan mempertahankan motivasi dan
kepuasan kerja serta meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.

1.4.2 Bagi Pengembangan Keilmuan Keperawatan

Universitas Indonesia
10

Penelitian ini memberikan alasan bagi pengembangan pendidikan melalui penambahan


kurikulum materi supervisi berjenjang untuk meningkatkan motivasi dan kepuasan
kerja.

1.4.3 Bagi Penelitian Berikutnya


Hasil penelitian ini digunakan sebagai data dasar untuk mengembangkan penelitian
selanjutnya terkait supervisi berjenjang, motivasi, dan kepuasan kerja perawat dengan
menggunakan metode pendekatan yang berbeda. Instrumen yang digunakan dapat
dilakukan di rumah sakit yang memiliki karakter berbeda, seperti di rumah sakit swasta
dengan kelas yang sama maupun yang berbeda untuk mendapatkan generalisasi hasil.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai