PENDAHULUAN
Kepuasan kerja perawat masih menjadi tantangan global yang dihadapi oleh profesi
keperawatan. Statistik menunjukkan angka kepuasan kerja perawat masih bervariasi.
Studi di Eropa yang menyurvei lebih dari 33.000 perawat pada 488 rumah sakit di 12
negara, 1 dari 5 perawat melaporkan ketidakpuasan terhadap pekerjaannya (Aiken, Sloa
ne, Bruyneel, Heede, & Sermeus, 2013). Lebih lanjut Aiken et al., (2013) merinci tingka
t ketidakpuasan perawat di beberapa negara aitu 1 dari 10 perawat di Belanda, sekitar 2
dari 10 perawat di Belgia, Norwegia, Swediya dan Swiss, 4 dari 10 perawat di Inggris,
Jerman, Irlandia dan Spanyol, dan hampir 6 dari 10 perawat di Yunani.
Tingkat kepuasan kerja perawat di Cina telah menjadi fokus beberapa peneliti. Liu et a
l., (2012) melaporkan ketidakpuasan perawat lebih dari 50% dengan pekerjaannya di
provinsi Guangdong, China. Penelitian lain melibatkan 2.250 perawat dari 19 rumah
sakit umum di Shanghai, China melaporkan bahwa 50,2% perawat tidak puas dengan
pekerjaannya (C. Liu et al., 2011). Penelitian di Harbin, Cina menyatakan 650 perawat
dari enam rumah sakit mengemukakan beban kerja dan kompensasi sebagai alasan keti
dakpuasan (Ning, Zhong, Libo, & Li, 2009). Farhadjafari, Seyedehsan beladianbehbaha
n, Fatemehazami, Gharahgozloi, & Behzadtadayyon (2014) menyatakan 71,9% perawa
t tidak puas dengan pekerjaan di Teheran Iran. Nantsupawat et al., (2011) melaporkan
bahwa 28% perawat di Thailand tidak puas dengan pekerjaan perawat.
1
Universitas Indonesia
2
Sementara tahun 2016 sebanyak 53,4%. Banyak faktor yang membuat perawat merasa
kurang puas dengan pekerjaannya.
Gaji merupakan faktor penyebab ketidakpuasan. Zhang et al., (2014) menyatakan 45%
dari 9.698 perawat di 181 rumah sakit di Cina melaporkan tidak puas dengan pekerjaan
saat ini dengan gaji sebagai faktor utama ketidakpuasan. Gaji merupakan sumber
ketidakpuasan sebagian besar perawat di semua negara di Eropa, dari terendah di Swiss
(34%) hingga tertinggi di Yunani (83%) (Aiken et al., 2013). Selain gaji, ada faktor lain
berpengaruh pada kepuasan kerja perawat. Penelitian menyebutkan dua faktor yang ber
pengaruh pada ketidakpuasan kerja perawat ruang ICU rumah sakit di China yaitu stres
yang dialami dari tuntutan beban kerja yang berlebihan, dan kurangnya rasa hormat dan
pengakuan untuk pekerjaan perawat (Tao, Ellenbecker, Wang, & Li, 2015). Banyak
dampak yang ditimbulkan dari rendahnya kepuasan kerja, salah satunya mempengaruhi
kinerja perawat.
Kepuasan kerja perawat merupakan fenomena yang patut mendapat perhatian karena
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja pelayanan yang diberikan. Beberapa
penelitian meyakini korelasi kepuasan kerja dengan kinerja merupakan mitos, namun
sebuah studi tinjauan pada 300 penelitian menyimpulkan hubungan yang cukup erat
(Robbins & Judge, 2017). Penelitian lain menyatakan pengaruh signifikan antar
kepuasan kerja dengan kinerja perawat (p < 0,05) (Aulia & Sasmita, 2014; Y. Indrawati,
2014; Mamahit, 2013; Putra, Musnadi, & Majid, 2014). Pada level yang lebih besar,
hasil survey membuktikan bahwa organisasi yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang
lebih baik cenderung lebih efektif (Robbins & Judge, 2017). Perilaku seorang perawat
akan memberikan dampak secara keseluruhan terhadap kinerja rumah sakit.
Kepuasan kerja menjadi faktor penentu dari perilaku anggota organisasi. Penelitian
menyatakan bahwa kepuasan kerja perawat memiliki pengaruh yang bermakna pada
perilaku positif angota organisasi (organizational citizenship behavior) (Berlian, 2016;
Fanani, Djati, & Silvanita, 2017; Fitrianasari, Nimran, & Utami, 2013). Organizational
citizenship behavior (OCB) memberikan banyak kontribusi bagi organisasai. Salah
satunya adalah meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan
mempertahankan karyawan agar senang bekerja (Fanani et al., 2017; Podsakoff,
Mackenzie, Moorman, & Fetter, 1990).
Universitas Indonesia
3
Faktor lain yang memengaruhi kualitas pelayanan adalah motivasi. Motivasi perawat
masih menjadi tantangan serius yang dihadapi oleh profesi keperawatan. Perawat yang
bekerja dengan motivasi rendah cenderung tidak menikmati dan merasa tertekan dalam
bekerja (Taghipour & Dejban, 2013). Motivasi rendah akan memberikan penekanan
negatif pada diri sendiri sehingga menganggap membantu pasien didasarkan pada rasa
kewajiban semata (Dill, Erickson, & Diefendorff, 2016). Perawat sebagai pemberi
pelayanan yang dekat dengan pasien, dituntut untuk mununjukkan kinerja yang baik.
Statistik menunjukkan angka motivasi kerja perawat masih bervariasi. Motivasi perawat
yang belum optimal akan mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.
Penelitian menunjukan bahwa perawat masih memiliki motivasi kerja pada kategori
rendah yaitu 56.7% (Rumagit, Mulyadi, & Malara, 2017), 44.6% (Renoningsih,
Kandou, & Porotu’o, 2016), 58.5% (Miladiyah, Mustikasari, & Gayatri, 2015), 57.6%
(Natasia, Andarini, & Koeswo, 2014), 36.4% (Khodijah & Marni, 2014), 63.3%
(Nurazizah & Isnaeni, 2013), 52.8% (Yanti & Warsito, 2013), 46.9% (Nur, Noor, &
Irwandy, 2013), 43% (Etlidawati, 2012), 84.8% (Sagala & Fathi, 2012), 41% (Zahara,
Sitorus, & Sabri, 2011), 31.5% (Badi’ah et al., 2009), 28.9% (Ariyani, 2009). Angka
Universitas Indonesia
4
yang ditampilkan oleh beberapa penelitian amat bervariasi, namun hal ini tentulah
menjadi kabar tidak baik yang harus disikapi karena berpengaruh pada pelayanan
keperawatan. Hasil wawancara dengan sepuluh perawat pada beberapa rumah sakit
pemerintah di Tangerang mengemukakan tujuh perawat menyatakan kurang
bersemangat dalam bekerja karena harapan terhadap reward yang tidak sesuai.
Motivasi perawat harus dipertahankan pada tingkat yang optimal karena akan
berdampak pada kinerja. Penelitian menunjukkan apabila motivasi seseorang tinggi,
maka kinerjanya pun menjadi lebih baik. Sebaliknya jika motivasi rendah, maka kinerja
menjadi kurang baik . Mandagi, Umboh, & Rattu (2015) memperlihatkan kekuatan
hubungan motivasi perawat dengan kinerja (p < 0,05), dengan nilai odds ratio (OR)
menyatakan motivasi yang tinggi memberikan dampak pada kinerja baik 6,9 kali lebih
besar.
Motivasi kerja yang tinggi dapat memberikan dorongan kepada perawat untuk bekerja
sebaik mungkin berdasarkan standar keselamatan pasien. Kurangnya motivasi menjadi
masalah yang serius bagi profesi keperawatan. Penelitian menunjukkan salah satu faktor
yang memiliki hubungan signifikan dengan penerapan keselamatan pasien di rumah
sakit adalah motivasi perawat (p < 0,05) (Nivalinda, Hartini, & Santoso, 2013; Nur et
al., 2013; Oktafia, 2015; Renoningsih et al., 2016; Sri, 2015). Penelitian lain
menyebutkan adanya pengaruh motivasi (p = 0,020) terhadap sikap mendukung
penerapan program keselamatan pasien (Ariyani, 2009). Perawat yang memiliki
motivasi yang tinggi dalam bekerja, akan menjadikan program keselamatan pasien
sebagai budaya dalam bekerja (Nivalinda et al., 2013). Hasil analisis menggambarkan
bahwa perawat yang mempunyai motivasi kurang, berpotensi 8 kali kurang menerapkan
keselamatan pasien (Sri, 2015). Motivasi perawat turut mempengaruhi kualitas asuhan
keperawatan.
Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien harus dipertahankan pada
kondisi yang optimal. Salah satu cara untuk mempertahankan dan meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan melalui kegiatan supervisi. Sílvia, Monteiro, & Cruz (201
1) merekomendasikan agar supervisi dalam keperawatan harus dilakukan bagi setiap
perawat dalam praktik klinis karena memiliki dampak positif yang besar, namun proses
supervisi harus dipantau secara sistematis dengan teknik yang akurat. Supervisi tidak
Universitas Indonesia
5
hanya terdiri dari interaksi dengan pertemuan rutin antara supervisee dan supervisor
untuk mendiskusikan kasus atau situasi tertentu yang muncul dari praktik dengan tujuan
untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan solusi, tetapi juga merupakan proses
formal sebagai dukungan terhadap peningkatan profesionalisme dan standarisasi praktik
(Cruz, Luís, Barbosa, & Lamas, 2015). Salah satu standar yang harus diterapkan di rum
ah sakit adalah program keselamatan pasien.
Supervisi dapat mengurangi kelelahan dan stress akibat pekerjaan. (Circenis, Jeremejev
a, Millere, & Deklava, (2015) mendapatkan bahwa ada perbedaan signifikan antara
kelelahan emosional dan indikator depersonalisasi dalam kelompok eksperimen peserta
sebelum dan sesudah supervisi. Supervisi mengurangi indikator kelelahan pada
kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol. Perawat yang merasakan adany
a dukungan dari supervisor akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan dan
menyebabkan tingkat kelelahan yang lebih rendah (Brunero & Stein-Parbury, 2008). Su
pervisi membantu perawat untuk mengerti lebih baik diri sendiri, emosi dan aspek
perilaku dari berbagai stress akibat pekerjaan. Penelitian lain menunjukkan bahwa
ketika supervisi dilakukan untuk mendukung pekerjaan, perlakuan ini mengarah pada
hasil yang menguntungkan bagi karyawan dan organisasi seperti berkurangnya stres
kerja dan peningkatan kinerja (Taghipour & Dejban, 2013). Supervisi yang dilakukan d
engan kurang baik akan memberikan pengaruh negatif pada kinerja perawat pelaksana d
an prognosis buruk bagi kualitas layanan keperawatan.
Universitas Indonesia
6
Setiap perawat profesional dan pengelola keperawatan harus memiliki kemampuan supe
rvisi. Studi yang dilakukan oleh Cruz, Carvalho, & Sousa, (2015) menunjukkan bahwa
pengelola perawatan perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang supervisi klinik ke
perawatan untuk dapat bekerja sama dalam melakukan tindakan keperawatan. Hall-lord,
Theander & Athlin (2013) dan Australia Health Worforce (2014) mengemukakan bahw
a pengalaman belajar klinis yang berkualitas difasilitasi oleh supervisor yang memiliki k
omitmen dan kompeten serta jumlah yang memadai.
Universitas Indonesia
7
Beban kerja ganda dan ketiadaan waktu dikonfirmasi menjadi penyebab supervisi belum
optimal (Ahaddyah, 2012; Harmatiwi et al., 2017; Sugiarto, 2016). Studi eksplorasi yan
g dilakukan Schole & Cox (2016) terhadap pengalaman supervisor menyimpulkan
bahwa faktor-faktor seperti beban kerja yang berat, kekurangan staf, dan pengalaman
dalam proses supervisi sering menjadi kendala. Penerapan supervisi berjenjang ditawark
an sebagai salah satu strategi efektif menghadapi situasi yang belum optimal.
Hasil wawancara peneliti dengan sepuluh perawat pada beberapa rumah sakit
pemerintah di Tangerang pada Maret 2017, menyatakan bahwa supervisi di ruang rawat
dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua tim. Kepala ruangan dan ketua tim belum
memiliki jadual dalam melaksanakan supervisi. Hasil supervisi yang telah dilaksanakan
tidak disampaikan sebagai bahan masukan bagi perawat pelaksana. Pelaksanaan supervi
si yang ada merupakan kegiatan pengarahan dan bimbingan situasional ketika perawat
menghadapi kesulitan. Perawat mengatakan selama ini supervisi yang dilaksanakan
hanya sebatas mengobservasi, menilai kelengkapan dokumentasi tanpa ada kegiatan
pendampingan yang optimal dan feed back.
Beberapa penelitian menunjukkan ada korelasi kuat antara supervisi dengan kepuasan
kerja perawat (p < 0,05) (Lutfiyah et al., 2014; Mua, Hariyati, & Afifah, 2011; Sigit,
Keliat, & Hariyati, 2011; Sulistyarini, 2013; Tampilang et al., 2013; Zahara et al.,
2011). Penelitian lain menunjukkan korelasi signifikan antara supervisi dengan motivasi
Universitas Indonesia
8
(p < 0,05) (Tongo, Lapian, & Rattu, 2017). Penelitian serupa namun menunjukkan
kontradiksi hubungan antara supervisi dengan motivasi (p = 0,169) (Purnamasari,
Erwin, & Jumaini, 2014), kontradiksi supervisi dengan kepuasan kerja (p = 0,380)
(Wolo, Trisnawati, & Wiyadi, 2015).
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia