Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Kerja Perawat


2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Pengertian kepuasan kerja belum ditentukan secara konsisten oleh para ahli. Pada
kenyataannya kepuasan kerja merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh
banyak komponen (C. Liu et al., 2011). Penelitian Dilig-Ruiz, (2017) mengkategorikan
pengertian kepuasan kerja menjadi dua. Pandangan tradisional tentang kepuasan kerja b
erfokus pada tanggapan atau sikap seseorang terhadap pekerjaan (Locke, 1969). Sikap i
ni bisa bersifat positif yang menghasilkan kepuasan kerja, atau bersifat negatif yang
mengarah pada ketidakpuasan. Pendekatan global digunakan ketika keseluruhan
perasaan seseorang mempunyai ketertarikan terhadap pekerjaan (Lu, Barriball, Zhang,
& While, 2012).

Pengertian lain menjelaskan kepuasan kerja merupakan tingkat kenyamanan yang dirasa
kan seseorang di tempat kerja, dan ini sering memengaruhi kinerja (Pung, Shorey, & Go
h, 2017). Pengertian ini mempertimbangkan faktor mana yang membuat pekerjaan
menjadi memuaskan dan memeriksa aspek-aspek pekerjaan yang menghasilkan
kepuasan atau ketidakpuasan. Pandangan Robbins & Judge (2017) menyatakan bahwa
kepuasan merupakan keseluruhan sikap seseorang terhadap pekerjaan yang
menunjukkan perbedaan persepsi antara harapan dengan jumlah yang seharusnya
diterima.

Kepuasan kerja pada prinsipnya bersifat individual karena setiap orang mempunyai
persepsi masing-masing terhadap tingkat kepuasan kerja sesuai dengan penilaian yang
diberikan. Semakin banyak indikator pekerjaan yang sejalan dengan harapan, maka
semakin meningkat derajat kepuasan yang dipersepsikan. Kepuasan kerja dipengaruhi
emosi, perasaan, pemikiran, dan persepsi seseorang terhadap pekerjaan yang dipandang
dari berbagai perspektif (Munir & Rahman, 2016). Kepuasan kerja mencerminkan
orientasi afektif individu terhadap peran kerja yang ditempati saat ini.

Kepuasan kerja merupakan manifestasi persepsi seseorang dan merupakan komparasi


hasil dengan harapan. Kepuasan kerja merupakan fenomena yang kompleks tergantung
pada harapan seorang perawat terhadap sifat pekerjaan (Biegger et al., 2016). Dalam

11
12

analisis konsep kepuasan kerja keperawatan, Castaneda & Scanlan (2014)


menyimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah reaksi afektif terhadap pekerjaan yang
dihasilkan dari posisi kerja saat ini dengan yang diinginkan, diharapkan dan layak diteri
ma.

Kompleksitas konsep kepuasan kerja menjelaskan berbagai definisi, tetapi kebanyakan


literatur menunjukkan bahwa seseorang memiliki kebutuhan sehingga tingkat kepuasan
kerja sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh kebutuhan ini terpenuhi (Al Maqbali, 2015).
Sehingga dapat disimpulkan kepuasan kerja adalah sikap, respon atau perasaan
seseorang terhadap aspek-aspek pekerjaan yang sesuai dengan penilaian dan harapan
masing-masing individu.

2.1.2 Teori Kepuasan Kerja


Banyak teori yang mernbahas dimensi kepuasan kerja, diantaranya: teori
ketidaksesuaian (discrepancy theory); keadilan (equity theory); teori dua faktor (two
factor theory); teori pernenuhan kebutuhan (need fulfillment theory); teori pandangan
kelornpok (social reference group theory); teori pengharapan (expectancy theory).

2.1.2.1 Wexley dan Yulk (1977) dalam As’ad (2004), menjabarkan tiga teori tentang
kepuasan kerja yaitu:
Discrepancy theory (teori ketidaksesuaian) berpendapat bahwa seseorang akan merasa
puas jika antara apa yang dikehendaki dengan persepsinya atas kenyataan yang terjadi
tidak terdapat perbedaan. Porter (1961) mempelopori pendapat ini dengan mengukur
kepuasan kerja dan membandingkan selisih antara kenyataan yang dirasakan dengan apa
yang seharusnya didapat. Locke (1969) dalam (Luthans, 2011) menjelaskan bahwa
kepuasan kerja terkait pada ketidaksesuaian antara yang seharusnya diterima
(expectation, need, and value) dengan apa didapat melalui pekerjaan.

Equity theory (teori keadilan) memiliki prinsip bahwa seseorang merasa puas atau tidak
puas, terkait situasi pekerjaan yang dirasakan orang tersebut. Dasar teori equity dalam A
s’ad (2004) terdiri dari tiga elemen, yaitu input, output, dan comparison persons. Input
merupakan segala hal yang dirasakan berharga sebagai sumbangsih atas pekerjaannya.
Output merupakan segala hal yang dirasakan berharga sebagai hasil dari pekerjaannya.
Sedangkan comparison persons merupakan perbandingan rasio input-output yang dimili

Universitas Indonesia
13

ki seseorang dengan orang lain. Comparison persons dapat berupa seseorang dengan or
ang lain didalam perusahaan, atau dengan orang di tempat yang berbeda, atau dapat
pula membandingkan dengan diri sendiri dimasa lalu. Simpulan dari teori ini adalah ses
eorang akan merasa puas jika perbandingan dinilai adil.

Two factor theory (teori dua faktor) pertama ditampilkan oleh Frederick Herzbergs
(1966), yang menegaskan bahwa faktor kepuasan dan faktor ketidakpuasan merupakan
dua hal yang berlainan. Maksudnya adalah kepuasan dan ketidakpuasan seseorang deng
an pekerjaannya, bukanlah hal yang berkesinambungan. Teori ini mengelompokkan
sikap seseorang terhadap situasi kerja menjadi dua, yaitu kelompok satisfiers dan
kelompok dissatisfiers.

Kelompok satisfiers menganggap promosi, prestasi, pengakuan, penghargaan, tanggung


jawab, dan pekerjaan sebagai situasi yang merupakan sumber kepuasan kerja. Adanya
faktor ini memunculkan kepuasan, namun ketidakhadirannya belum tentu menimbulkan
ketidakpuasan. Pada kelompok dissatisfiers, faktor-faktor yang menjadi alasan
ketidakpuasan yaitu gaji, kebijakan organisasi/ perusahaan, supervisi, rekan kerja,
keamanan, dan kondisi kerja. Adanya perbaikan pada faktor ini mungkin akan
mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan, namun tidak bisa dipastikam akan memun
culkan kepuasan sebab faktor-faktor ini bukan merupakan sumber kepuasan.

2.1.2.2 Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory)


Kebutuhan yang terpenuhi atau tidak akan memengaruhi tingkat kepuasan. Seseorang
yang kebutuhannya terpenuhi tentunya akan merasa lebih puas. Semakin banyak
kebutuhan yang didapat, semakin besar pula tingkat kepuasan yang dirasakan. Pada
teori pemenuhan kebutuhan, penggabungan beberapa aspek pengukuran kepuasan
berdasarkan faktor terpenuhinya kebutuhan dari pekerjaan yang di bobot merupakan
aspek pengukuran kepuasan kerja secara umum (Gawel, 1997; Harrigan & Commons,
2015).

2.1.2.3 Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Group Theory)


Teori pandangan kelompok menganggap bahwa kepuasan kerja tergantung pada
pandangan dan pendapat kelompok yang dijadikan sebagai acuan/ tolok ukur. Seseorang
akan menilai kepuasan diri dan lingkungannya dengan membandingkan dengan
kelompok acuan (Holmberg, Caro, & Sobis, 2017; Vito, Brown, Bannister, Cianci, &

Universitas Indonesia
14

Mujtaba, 2016). Kepuasan kerja dianggap terpenuhi jika pekerjaannya sesuai dengan
minat yang diharapkan oleh kelompok acuan sebagai pembanding. (Mangkunegara,
2005).

2.1.2.4 Teori Pengharapan (Expectancy Theory)


Teori pengharapan dicetuskan oleh Victor Vroom yang menyatakan bahwa
kecenderungan kekuatan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu bergantung
pada kekuatan harapan tentang hasil yang akan didapat (Vito et al., 2016). Teori ini
memusatkan ketertarikan pada tiga hubungan yaitu, seseorang memiliki kecenderungan
melakukan usaha terbaik pada pekerjaan untuk mendapatkan penilaian kinerja.
Penilaian kinerja yang baik diharapkan akan berdampak pada pemberian imbalan/
kompensasi. Terakhir, imbalan yang diterima seseorang apakah sesuai dengan yang
diinginkan (Robbins & Judge, 2017).

2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja


Penelitian yang menggali masalah kepuasan kerja perawat dengan pekerjaan telah banya
k dilakukan. Studi literatur mengungkapkan banyak faktor menarik yang berkontribusi
pada pembentukan sikap kepuasan kerja perawat (Lu et al., 2012). Kajian yang
dilakukan Al Maqbali (2015) mengkategorikan faktor personal dan faktor pekerjaan
memengaruhi kepuasan kerja. Faktor personal meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan,
dan penglaman kerja. Lebih lanjut, faktor personal akan dibahas pada variabel confound
ing.

Faktor pekerjaan yang memengaruhi kepuasan kerja meliputi imbalan berupa gaji, peng
akuan dari lingkungan kerja, kebijakan administrasi, hubungan dengan rekan kerja dan a
tasan, supervisi yang diterapkan, jaminan pekerjaan, dan karaktersitik serta kondisi peke
rjaan itu sendiri (Al Maqbali, 2015; Sulistyarini, 2013; Wolo et al., 2015). Penelitian lai
n menambahkan bahwa faktor kepemimpinan, pengembangan karir, dan pengembangan
organisasi memiliki korelasi kuat secara parsial dan simultan (p < 0,05) (Djestawana,
2012). Spector (dalam Dilig-Ruiz, 2017) merangkum faktor kepuasan kerja sebagai
berikut:

Universitas Indonesia
15

2.1.3.1 Pengakuan dan Penghargaan;


Pengakuan dan penghargaan yang diberikan atas pekerjaan yang telah dilakukan meru
pakan salah satu motivator dalam meningkatkan kepuasan kerja. Pengakuan yang didap
at meliputi pujian, penghargaan, dan perhatian baik dari atasan; rekan kerja; pasien; dan
rnasyarakat secara luas mengenai pekerjaan yang dilakukan (Luthans, 2011). Seseorang
akan merasa bahwa pekerjaan terbaik yang telah dilakukan mendapat apresiasi yang ses
uai dari lingkungannya. Ini akan menjadi sumber motivasi yang dapat meningkatkan se
mangat dalam bekerja. Penelitian menyimpulkan bahwa ada korelasi signifikan antara
pengakuan dengan kepuasan kerja (Astuti & Zulaifah, 2017; Tahsinia, 2013).

2.1.3.2 Kompensasi Gaji, Kenaikan Gaji, dan Imbalan Kerja;


Gaji adalah jumlah bayaran yang didapat seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan
kerja. Kepuasan terhadap pemberian gaji ini tidak hanya mencakup nominal gaji yang
didapatkan akan tetapi lebih kepada kepuasan seseorang pada kebijakan penggajian,
adanya berbagagai tunjangan, serta kepuasan terhadap tingkat kenaikan gaji. Gaji yang t
idak sesuai harapan merupakan faktor ketidakpuasan sebagian besar perawat disemua
negara di Eropa (Aiken et al., 2013). Berbeda dengan penelitian Wolo et al., (2015)
yang menyatakan gaji tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan (p = 0,975).

2.1.3.3 Komunikasi Organisasi;


Komunikasi memungkinkan seseorang akan saling berinteraksi, saling membagi
informasi dan saling membantu menyelesaikan masalah dalam organisasi, serta saling
bertukar pikiran untuk meningkatkan kerja demi tercapainya keberhasilan organisasi.
Pentingnya komunikasi organisasi yang baik agar tidak terjadinya salah penyampaian
informasi antar anggota dalam suatu organisasi dan agar tercapainya rasa kepuasan
kerja. Hasil penelitian menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara
komunikasi organisasi dengan kepuasan kerja pegawai (p < 0,05) (Dahliawati, 2015;
Handayani, 2014).

2.1.3.4 Rekan Kerja;


Pekerjaan membutuhkan interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti aturan serta
kebijakan organisasi. Rekan kerja merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
kepuasan kerja (Atefi, Abdullah, & Wong, 2014). Rekan kerja yang memiliki kesamaan
dalam bersikap akan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dan membentuk

Universitas Indonesia
16

tali persahabatan. Perasaan senang dan rasa persahabatan yang timbul sangat berkaitan
dengan kepuasan kerja seseorang. Penelitian menunjukkan ada pengaruh signifikan anta
ra hubungan interpersonal terhadap kepuasan kerja (p < 0,05) (D. Abdullah, 2014).

2.1.3.5 Kepemimpinan dan Supervisi;


Indikator lain yang memengaruhi kepuasan kerja seseorang adalah kepuasan terhadap
atasan. Kepuasan terhadap gaya kepemimpinan atasan ternyata memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap kepuasan kerja karyawan. Faktor yang paling memuaskan
bagi perawat adalah gaya kepemimpinan atasan langsung mereka (Al-Dossary, Vail, &
Macfarlane, 2012). Gaya kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif
yang kuat terhadap pemberdayaan seseorang di tempat kerja, yang pada gilirannya
meningkatkan kepuasan kerja perawat (Boamah & Laschinger, 2017; Podsakoff et al.,
1990). Temuan ini memberikan dukungan bagi para manajer untuk menggunakan gaya
kepemimpinan transformasional sebagai strategi efektif dalam menciptakan kondisi
kerja yang mendukung produktifitas dan menciptakan kepuasan.

Supervisi menunjukkan kompetensi seorang pemimpin dalam memfasilitasi bimbingan


teknis dan dukungan pengetahuan, sikap, dan prilaku kepada karyawan yang mengalami
masalah dalam bekerja. Sigit et al., (2011) menyimpulkan bahwa pelatihan fungsi
pengarahan berupa penguatan, bimbingan, dan pendampingan pada kepala ruangan dan
ketua tim dalam melakukan supervisi dapat meningkatkan kepuasan kerja perawat
pelaksana dibanding kelompok kontrol yang tidak diberi intervensi pelatihan fungsi
pengarahan dalam melakukan supervisi (p < 0,005). Penelitian lain melaporkan ketidak
puasan disebabkan oleh kurangnya dukungan rekan kerja dan supervisi dari atasan (Pun
g et al., 2017; Takatelide, Rattu, & Pelealu, 2015).

2.1.3.6 Kondisi Pekerjaan;


Kondisi pekerjaan, baik secara fisik maupun psikologis turut memengaruhi kepuasan.
Faktor fisik terdiri dari kondisi fisik seseorang dan lingkungan, meliputi kesehatan
karyawan, posisi tubuh waktu bekerja (body mechanic), perlengkapan kerja, jenis
pekerjaan, ventilasi udara, termasuk pengaturan waktu kerja dan jam istirahat/ cuti.
Faktor psikologis berkaitan dengan kondisi kejiwaan yang meliputi minat, ketentraman
kerja, sikap terhadap kerja, perasaan kerja. Hasil analisis didapatkan hubungan yang

Universitas Indonesia
17

bermakna antara persepsi tentang iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat (p <
0,001) (Yayah & Hariyati, 2015).

2.1.3.7 Sifat Pekerjaan;


Karakteristik yang terdapat di dalam sebuah pekerjaan dapat menjadi faktor tepenuhinya
rasa puas dalam bekerja. Keterampilan seseorang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dengan baik sesuai dengan keahliannya masing-masing. Kepuasan kerja akan
meningkat atau menurun pada diri seseorang jika suatu pekerjaan dianggap sulit atau
mudah dikerjakan, serta perasaan bahwa kemampuannya diperlukan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Seseorang melakukan pekerjaan dengan perasaan
senang jika pekerjaan tersebut dapat memberikan kesempatan untuk memaksimalkan
kemampuannya.

2.1.3.8 Kebijakan Organisasi;


Kebijakan merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat dan
mengatur perilaku anggota dengan tujuan untuk menciptakan tata kelola organisasi yang
baik. Kebijakan organisasi merupakan pedoman untuk mewujudkan ketertiban dan
melindungi hak-hak karyawan sehingga tercipta kesejahteraan dan kepuasan kerja. Purw
aningsih, Yetti, & Ayubi (2008) menyimpulkan bahwa kebijakan organisasi berhubunga
n dengan kepuasan kerja (p = 0,017).

2.1.3.9 Peluang Pertumbuhan Pribadi (Promosi);


Kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama
bekerja menjadi faktor yang memengaruhi kepuasan seseorang. Berdasarkan penelitian
terbukti bahwa hipotesis yang menyatakan pengembangan karir memiliki korelasi yang
kuat terhadap kepuasan kerja, baik secara parsial dan simultan (p < 0,05). (Djestawana,
2012).

2.1.3.10 Jaminan Keamanan


Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja. Keadaan yang aman sangat
mempengarugi perasaan kerja selama bekerja. Termasuk jaminan bahwa seseorang akan
tetap dipekerjakan pada pekerjaan saat ini. Penelitian menyimpulkan bahwa terdapat kor
elasi signifikan diantara variabel keamanan dan kepuasan kerja (p = 0,029 <0,05)
(Takatelide et al., 2015).

Universitas Indonesia
18

2.1.4 Mengukur Kepuasan Kerja


Pengukuran kepuasan kerja seseorang sangat sulit, karena sifatnya subyektif dan terus
berkembang sesuai tuntutan kehidupan. Setiap karyawan mempunyai ukuran secara
pribadi untuk mengukur kepuasan kerjanya. Selain itu banyak faktor yang memengaruhi
kepuasan kerja. Penilaian seseorang atas kepuasan terhadap suatu pekerjaan, merupakan
kompleksitas keanekaragaman dari banyak komponen yang digabungkan (Robbins &
Judge, 2017).

Kepuasan kerja dapat diartikan sebagai pandangan umum seseorang mengenai


pekerjaannya. Evaluasi seseorang tentang puas atau tidak puas dengan pekerjaan
merupakan selisih yang rumit dari penjumlahan banyak aspek pada pekerjaan yang
diskrit (berbeda dan terpisah satu sama lain) (Paramarta & Haruman, 2005). Aspek yang
yang memengaruhi kepuasan meliputi tuntutan rnengikuti aturan dan kebijakan
organisasi, pemenuhan standar kinerja, interaksi dengan rekan kerja dan atasan, dan
kondisi kerja yang kadang tidak sesuai. Robbins & Judge (2017) menyatakan ada dua
pendekatan popular dapat digunakan untuk menilai kepuasan kerja, yaitu single global
rating (peringkat global tunggal) dan summation score (skor pejumlahan).

Pendekatan single global rating (peringkat global tunggal) merupakan sebuah respon
pada satu pertanyaan. Misalnya ketika seseorang ditanya tentang seberapa puas anda
dengan pekerjaan dengan mempertimbangkan semua hal. Responden memilih satu
nomor antara 1- 5 dari sangat tidak puas sampai sangat puas. Pendekatan summation
score (skor penjumlahan) merupakan penilaian tingkat kepuasan kerja dengan teknik
menggabungkan seluruh skor kepuasan atas elemen-elemen kunci (supervisi, sifat
pekerjaan, imbalan, promosi, rekan kerja) sehingga akan didapat nilai total kepuasan
kerja seseorang. Kedua metode tersebut saling melengkapi. Pada metode peringkat
global tunggal waktu yang dgunakan lebih sedikit, dan pada metode skor penjumlahan
dapat melihat aspek-aspek pekerjaan sehingga menjadi solusi lebih akurat.

Skala pengukuran kepuasan kerja digunakan untuk mendapatkan simpulan tentang


tingkat kepuasan kerja seseorang, dan akhirnya merangkum kepuasan organisasi secara
keseluruhan. Pengukuran kepuasan kerja kerja diantaranya:

Universitas Indonesia
19

2.1.4.1 lndeks Deskripsi Jabatan (Job Description Index)


lndeks Deskripsi Jabatan (JDI) secara resmi diperkenalkan pada tahun 1969 oleh Smith,
Kendall, dan Hulin dan sejak itu menjadi standar popular dari skala kepuasan kerja. JDI
tetap menjadi salah satu ukuran kepuasan kerja yang paling banyak digunakan karena
penekanan yang kuat pada aspek psikometri dan pembaruannya yang mengikuti kebutuh
an zaman. JDI merupakan ukuran aspek kepuasan, yang berarti bahwa ukuran tersebut
menilai kepuasan orang dengan lima aspek pekerjaan yang dapat dibedakan: pekerjaan
itu sendiri, pembayaran/ upah, peluang untuk promosi, supervisi, dan rekan kerja (Lake,
Gopalkrishnan, Sliter, & Withrow, 2010). Penelitian menunjukkan tingkat pendidikan
muncul sebagai korelasi demografis yang paling penting dari aspek kepuasan kerja dan
peran supervisi terbukti paling signifikan memengaruhi kepuasan (McIntyre & Mendon
c, 2010).

2.1.4.2 Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ)


Skala pengukuran kepuasan kerja dengan kuesioner MSQ dikembangkan oleh Weiss,
Davis, dan England (Mangkunegara, 2005). MSQ mengukur kepuasan kerja
menggunakan dua puluh faktor kepuasan kerja, termasuk dua dimensi kepuasan, yaitu f
aktor intrinsik dan ekstrinsik (Ouyang, Sang, Li, & Peng, 2015). Masing-masing
dimensi mempunyai lima item sehingga secara keseluruhan terdapat 100 alternatif aspek
kepuasan kerja. MSQ menyediakan lima pilihan, setiap aspek kepuasan dinilai dari 1
(sangat tidak puas) hingga 5 (sangat puas). 20 dimensi faktor kepuasan kerja
ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Dimensi Faktor-faktor Kepuasan Kerja

Variabel
Deskripsi
Kepuasan Kerja
Penggunaan Kesempatan untuk melakukan pekerjaan menggunakan
kemampuan kemampuan, keahlian, dan keterampilan diri sendiri
Aktivitas Tingkat kesibukan melakukan pekerjaan setiap saat
Promosi Kesempatan memperoleh promosi kerja
Prestasi Suatu keberhasilan yang didapatkan selama bekerja
Wewenang Kesempatan untuk mengatur atau memimpin orang lain
Kreativitas Kesempatan untuk melakukan ide dari diri sendiri dalam
melaksanakan pekerjaan
Independensi Kesempatan untuk bebas melakukan pekerjaannya sendiri
Aktivitas sosial Kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain

Universitas Indonesia
20

Variabel
Deskripsi
Kepuasan Kerja
Tanggung jawab Kesempatan untuk mengambil keputusan dan menjalankannya
Variasi Kesempatan untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang berbeda
Status sosial Kesempatan mendapatkan pengakuan yang berarti dari orang lain
tentang pekerjaan
Moral Kesempatan untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hati nurani
Kebijakan Seberapa jauh kebijakan perusahaan ditanggapi positif oleh
perusahaan dan karyawan
praktiknya
Gaji/ upah Tingkat bayaran yang diperoleh sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan
Rekan kerja Seberapa baik hubungan dan interaksi dengan rekan kerja
Penghargaan Seberapa baik penghargaan yang diberikan sesuai dengan hasil
pekerjaan
Kondisi kerja Seberapa baik kenyamanan dalam bekerja
Supervisi Kemampuan atasan berhubungan dengan bawahannya
(operasional)
Supervisi (teknis) Kemampuan atasan dalam mengatur pekerjaan
Keamanan Tingkat jaminan kelangsungan pekerjaan

2.1.4.3 Face Job-Satisfaction Scale


Pada tahun 1955, Kunin menerbitkan jenis baru cara mengukur kepuasan kerja melalui
gambar wajah. Teknik ini memberikan ukuran kepuasan secara langsung yang menyatu
dengan kepuasan kerja. Skala wajah Kunin terdiri 11 gambar ekspresi wajah laki-laki ya
ng menunjukkan tingkat kebahagiaan, mulai dari cemberut sampai senyum lebar. Pada p
erkembangannya Skala Kunin juga dipakai menggunakan wajah perempuan (Dunham
& Herman, 1975).

2.1.4.4 Need Satisfaction Questionnaire (NSQ)


NSQ dikembangkan oleh Porter pada tahun 1961 dan kuesioner ini terdiri dari 4 skala
yaitu lingkungan, kompetensi, tugas, dan motivasi. Masing–masing skala terdiri dari 5
poin pertanyaan. Skor hasil pengukuran berkisar antara 0-40 dan hasilnya dari ke empat
skala tersebut perlu diubah atau tidak.

2.1.4.5 Custom Made


Instrumen ini dikembangkan untuk dirancang sesuai dengan karakteristik dan
permintaan dari suatu organisasi ataupun perusahaan tertentu untuk menilai kepuasan
kerja karyawannya (Mashareen, Supriyanto, & Ivanti, 2016). Suatu perusahaan atau

Universitas Indonesia
21

organisasi membuat khusus instrument kepuasan kerja karyawannya untuk


memudahkan melihat aspek kepuasan atau ketidakpuasan yang terjadi.

2.1.4.6 Job Diagnostic Survey (JDS)


Hackman dan Oldham pada tahun 1975 mengembangkan metode ini. Instrumen
dirancang untuk mengukur kepuasan kerja seseorang yang sedang dalam posisi
fluktuasi. Tujuan dari instrumen untuk mendiagnosa pekerjaan dan menentukan strategi
solusi untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja.

2.1.4.7 Index Of Work Satisfaction (IWS)


Paula L. Stamps dari Community Health Study Departement of Massachuset pada tahun
1972 dan di publikasikan pada tahun 1978 mengembangkan skala pengukuran IWS.
Pengukuran kepuasan berdasarkan lima variabel yaitu: status professional, persyaratan
tugas, kompensasi, hubungan, kebijakan organisasi, dan otonomi.

2.1.5 Dampak Kepuasan Kerja


Robbins & Judge (2017) menjelaskan respon ketidakpuasan kerja seseorang bisa
dimanifestasikan dengan berbagai perilaku menyimpang misalnya tidak menyelesaikan
pekerjaan, mengungkapkan keluhan, membangkang, mengabaikan, tidak peduli,
mencuri barang milik perusahaan/ organisasi, menghindari sebagian tanggung jawab
dan lainnya. Suatu model teoritis/ kerangka kerja mengilustrasikan empat respon
seseorang terhadap ketidakpuasan (Robbins & Judge, 2017) sebagai berikut.

Gambar 2.1 Respon atas Ketidakpuasan

Universitas Indonesia
22

Gambar diatas menjelaskan empat respon seseorang dalam mengungkapkan


ketidakpuasan, yaitu Active-destructive, respon seseorang yang mengarahkan perilaku
meninggalkan organisasi, termasuk mencari sebuah posisi yang baru serta niat
pengunduran diri. Active-contrustive, respon seseorang memilih bertahan pada
pekerjaanya dengan memberikan masukan, kritik, saran dan berbagai usaha untuk
memperbaiki situasi dan kondisi kerja. Passive-destructive, respon seseorang yang
menunjukkan perilaku pengabaian pada pekerjaan, termasuk tidak disiplin atau
keterlambatan, kurangnya usaha, dan tingkat kesalahan yang bertambah. Passive-
constructive, respon seseorang yang masih memperlihatkan loyalitas pada perusahaan
walaupun caranya dengan menunggu dan berharap situasi dan kondisi perusahaan
kembali membaik.

Lebih lanjut Robbins & Judge (2017) membahas dampak yang lebih spesifik dari
kepuasan kerja, yaitu:

2.1.5.1 Kepuasan dan Kinerja


Seseorang yang bahagia dan puas dengan pekerjaannya lebih mungkin merupakan
karyawan yang produktif. Kepuasan kerja perawat pelaksana akan meningkatkan kinerja
pelayanan yang diberikan sehingga memengaruhi mutu asuhan yang diberikan.
Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap
kinerja perawat (p < 0,05) (Aulia & Sasmita, 2014; Y. Indrawati, 2014; Mamahit, 2013;
Putra et al., 2014).

2.1.5.2 Kepuasan dan Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Seseorang yang puas dengan pekerjaan akan berbicara positif mengenai organisasi,
membantu yang lain, dan melebihi ekspektasi pekerjaannya. Tampaknya logis
mengasumsikan bahwa kepuasan kerja seharusnya menjadi penentu dari perilaku
anggota oragnisasi. Penelitian membuktikan bahwa kepuasan kerja perawat memiliki
hubungan bermakna dengan perilaku positif angota organisasi (OCB) (Berlian, 2016;
Fanani et al., 2017; Fitrianasari et al., 2013). Hal ini kemungkinan seseorang ingin
membalas pengalaman positifnya dari pekerjaan.

2.1.5.3 Kepuasan Kerja dan Kepuasan Pelanggan

Universitas Indonesia
23

Bagi para pekerja lini depan yang memiliki kontak teratur dengan pelanggan seperti
perawat, maka kepuasan kerja berhubungan langsung dengan hasil kepuasan pelanggan
yang positif. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa kepuasan kerja (seacara
langsung dan tidak langsung) berkorelasi positif terhadap kepuasan pelanggan
(Indrawati, 2013). Pengaruh langsung artinya tidak ada perantara yang menghubungkan
kepuasan kerja dan kepuasan pelanggan, sedangkan pengaruh tidak langsung
menunjukkan variabel intervening turut menghubungkan kepuasan kerja dan kepuasan
pelanggan.

2.1.5.4 Kepuasan dan Kehadiran


Seseorang yang tidak puas akan memunculkan perilaku negatif seperti mangkir kerja,
mogok kerja, kerja lamban, pindah kerja dan perilaku buruk lainnya. Organisasi dengan
karyawan yang lebih puas cenderung memiliki tingkat kehadiran karyawan yang tinggi.
Tentu saja masuk akal bahwa pekerja yang tidak puas lebih cenderung meninggalkan
pekerjaannya. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kepuasan kerja dan
tingkat kehadiran pegawai (p = 0,013) (Zivani, 2012).

2.1.5.5 Kepuasan dan Pengunduran Diri


Seorang pekerja yang dihadapkan pada masalah ketidakpuasan dan disaat yang sama
muncul tawaran pekerjaan baru yang lebih menjanjikan, maka pengunduran diri
menjadi alternatif rasional yang dipilih. Ketidakpuasan kerja menjadi faktor yang
memengaruhi kecenderungan dan keputusan seseorang untuk keluar dari tempat
kerjanya (Aiken et al., 2013; Biegger, Geest, Schubert, & Ausserhofer, 2016; Zhang et
al., 2014).

2.1.5.6 Kepuasan dan Penyimpangan di Tempat Kerja


Ketidakpuasan kerja dan buruknya hubungan dengan rekan kerja menjadi prediktor
banyaknya perilaku buruk yang ditampilkan, termasuk mencuri di tempat kerja,
penyalahgunaan obat terlarang, sosialisasi yang kurang, dan keterlambatan (Robbins &
Judge, 2017). Solusi efektif mengendalikan konsekuensi ketidakpuasan adalah dengan
mengatasi sumber ketidakpuasan dibanding dengan mengendalikan respon yang
dimunculkan dari ketidakpuasan.

2.2 Motivasi

Universitas Indonesia
24

2.2.1 Pengertian Motivasi


Motivasi dapat didefinisikan sebagai proses yang menjelaskan mengenai kekuatan
(intensity), arahan (direction), dan ketekunan (persistence) yang dilakukan seseoang dal
am upaya untuk mencapai tujuan (Lambrou, Kontodimopoulos, & Niakas, 2010;
Robbins & Judge, 2017). Terdapat tiga kata kunci yaitu intensitas, arahan dan
ketekunan. Intensitas menyangkut seberapa kuatnya seseorang berusaha. Namun
intensitas yang kuat tidak akan membawa manfaat yang diinginkan jika tidak diarahkan
ke suatu tujuan yang menguntungkan organisasi. Ketekunan berhubungan dengan
lamanya seseorang bisa mempertahankan usahanya. Seseorang yang termotivasi akan
bertahan cukup lama pada pekerjaannya untuk mencapai tujuan (Robbins & Judge,
2017).

Pada kebanyakan kasus, motivasi berasal dari kebutuhan yang harus dipenuhi, dan pada
gilirannya mengarah ke perilaku tertentu. Luthans (2011) mendefinisikan motivasi
sebagai proses atau kegiatan didalam diri seseorang sehingga memunculkan perilaku
untuk mecapai tujuan karena memiliki kebutuhan psikologis dan fisiologis. Motivasi
merupakan elemen perilaku yang sangat penting, motivasi berinteraksi dan bertindak
berdasarkan proses kognitif. Luthans (2011) menegaskan bahwa motivasi seharusnya
tidak dianggap sebagai satu-satunya penjelasan tentang perilaku, karena ia berhubungan
dan bekerja bersama proses lain dan dengan lingkungan.

Luthan menekankan bahwa, seperti proses kognitif lainnya, motivasi tidak dapat dilihat.
Motivasi merupakan konsep yang sangat sulit dipelajari secara langsung, sebab motivasi
merupakan bangunan duganaan. Tingkah laku merupakan simpulan dari motivasi
seseorang, namun motivasi dan perilaku semata kadang tidak sinonim. Semua itu bisa
terjadi yang terlihat adalah perilaku, dan ini seharusnya tidak disamakan dengan
penyebab perilaku (Harrigan & Commons, 2015).

Penelitian yang dilakukan Mangkunegara (2005) menyimpulkan bahwa dorongan yang


muncul karena adanya kebutuhan dalam diri seseorang untuk dipenuhi agar dapat
beradaptasi dengan lingkungannya merupakan motif, sedangkan motivasi adalah
kondisi yang membuat seseorang untuk tergerak melaksanakan suatu kegiatan dalam
rangka memenuhi motifnya.

Universitas Indonesia
25

Motivasi merupakan dorongan intrinsik dan ekstrinsik untuk mengaplikasikan suatu


tindakan yang mengarah pada tujuan memenuhi kebutuhan. Berdasarkan sumbernya,
(Luthans, 2011) membagi motivasi menjadi dua sumber yang terpisah tetapi saling
terkait yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik berkaitan dengan
penghargaan yang diberikan oleh orang lain, misalnya pembayaran, tunjangan, promosi.
Motivasi intrinsik berasal dari dalam individu, misalnya bangga dan merasa senang den
gan pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Motivasi merupakan penggabungan
kekuatan baik dari dalam diri (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) yang
memunculkan kemauan untuk melaksanakan suatu aktivitas perilaku dalam rangka
memenuhi kebutuhan.

2.2.2 Teori Motivasi


Mangkunegara (2005), Luthans (2011), Robbins & Judge (2017) menjelaskan teori
motivasi sebagai berikut.
2.2.2.1 Teori Hierarki Kebutuhan
Abaraham maslow (1943) mengembangkan teori hierarki kebutuhan dan kebutuhan ini
akan memotivasi seseorang untuk memenuhinya. Dalam pandangan ini, individu
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih rendah sebelum bekerja
untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Kebutuhan dalam pertimbangan
hierarki maslow yaitu kebutuhan fisiologis, keselamatan, social/ memiliki, harga diri,
hingga kebutuhan aktualisasi diri. Masing-masing kebutuhan ini memiliki karakteristik
khusus. Pandangan analitik perilaku berfokus pada bagaimana memenuhi setiap tingkat
kebutuhan (Harrigan & Commons, 2015).

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan untuk memelihara kelangsungan kehidupan


diantaranya kebutuhan sandang, pangan, rumah, seksual, dan kesejahteraan. Kebutuhan
fisiologis merupakan kebutuhan primer yang menjadi prioritas dan telah ada sejak
manusia dilahirkan. Kebutuhan keselamatan meliputi rasa aman dan perlindungan dari
aspek fisik maupun emosional. Kebutuhan sosial meliputi rasa cinta dan memiliki, serta
interaksi dengan orang lain. Kebutuhan penghargaan merupakan pengakuan terhadap
keberadaan dan status seseorang. Kebutuhan aktualisasi merupakan kemampuan atau
potensi yang dimiliki seseorang. Meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi, dan
pemenuhan diri (Gawel, 1997; Harrigan & Commons, 2015; Vito et al., 2016).

Universitas Indonesia
26

Pada teori Maslow menunjukkan bahwa seseorang akan memenuhi kebutuhannya mulai
dari yang paling dasar hingga kebutuhan tertinggi. Kebutuhan yang telah terpenuhi tidak
lagi memotivasi, sehingga kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Penting bagi
manajer untuk menyelami pada tingkat mana seseorang berada, dan berikan perhatian
pada pemenuhan kebutuhan di tingkat tersebut maupun diatasnya (Robbins & Judge,
2017).

2.2.2.1 Teori X dan Y


McGregor menegaskan bahwa para manajer umumnya memiliki dua pandangan
berbeda tentang hakikat para karyawan. Para manajer teori X percaya bahwa karyawan
umumnya malas, tidak dapat dipercaya, dan tidak mau bekerja, dan tidak memiliki
kemampuan maupun keinginan untuk menyumbangkan ide dan kreativitas untuk
kesuksesan organisasi. Manajer teori Y melihat karyawan pada umumnya sebagai orang
yang rajin, jujur, pekerja keras, mampu, dan berkeinginan memberikan ide dan
kreativitas kepada organisasi (Ďuricová, Education, Bel, & Bystrica, 2017).

Manajer teori X dan Y akan terlibat dalam berbagai jenis perilaku manajerial. Manajer
teori X akan lebih mengarahkan dan menerapkan pengawasan ketat pada karyawan,
mengandalkan faktor ekstrinsik dan pemaksaan sebagai alat motivasi. Manajer teori Y
akan mencari ide dan masukan dari bawahan dengan menyediakan sumber daya dan
membantu memfasilitasi pekerjaan dengan mengandalkan faktor intrinsik sebagai alat
motivasi. Teori X / Y juga mengusulkan bahwa perilaku manajer mengubah perilaku
bawahan sesuai dengan keyakinan manajer (Prottas & Nummelin, 2018).

2.2.2.2 Teori Dua Faktor


Teori ini pertama dikemukakan oleh Frederick Hertzbergs tahun 1959, yang merupakan
salah satu model yang paling dikenal untuk mengeksplorasi dan memahami kepuasan
kerja. Teori ini juga dikenal sebagai teori motivasi-hygiene atau teori faktor ganda,
karena memberikan serangkaian faktor motivasi dan hygiene yang berdampak pada
kepuasan kerja dan ketidakpuasan (Alshmemri, Shahwan-Akl, & Maude, 2017). Teori
Herzberg menetapkan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan dihasilkan dari berbagai
faktor dan merupakan faktor yang berbeda (Holmberg et al., 2017).

Universitas Indonesia
27

Kepuasan tergantung pada motivator, sedangkan ketidakpuasan adalah hasil dari faktor
hygiene. Dalam teori motivator mengarah pada intrinsik untuk pekerjaan, seperti
pekerjaan yang menantang atau merangsang, pengakuan, pencapaian pribadi, peluang
untuk maju, dan pertumbuhan pribadi. Faktor kebersihan bersifat ekstrinsik terhadap
pekerjaan, seperti gaji dan tunjangan, kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan
interpersonal yang baik, dan status yang dipersepsikan (Alshmemri et al., 2017; Atefi et
al., 2014).

2.2.2.3 Teori Kebutuhan McClelland


Model yang diusulkan McClelland (1961) membahas 3 variabel kebutuhan yang memot
ivasi seseorang yaitu, kebutuhan pencapaian; kekuasaan; dan afiliasi (Royle & Hall, 20
12; Smith, Atkinson, Mcclelland, & Veroff, 1992; Robbins & Judge, 2017)

Kebutuhan pencapaian menggambarkan dorongan seseorang untuk unggul sesuai


dengan standar yang telah ditetapkan. Kebutuhan pencapaian terpenuhi ketika seseorang
mampu mengaktualisasikan tujuan dan terlepas dari ketergantungan pada orang lain.
McClelland mencatat bahwa orang-orang yang tinggi dalam dimensi pencapaian, akan
membedakan diri dari orang lain dengan keinginan untuk tampil pada tingkat yang lebih
maju dibanding orang lain. Seseorang yang memiliki dimensi pencapaian tinggi lebih
puas dalam pekerjaan yang melibatkan tingkat keterampilan tinggi dan tantangan yang
sulit. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kebutuhan prestasi tinggi
umumnya adalah pemimpin yang lebih efektif (Royle & Hall, 2012).

Kebutuhan akan kekuasaan menunjukkan keinginan seseorang untuk dapat memengaruh


i orang lain. Seseorang dengan kebutuhan kekuasan yang tinggi lebih suka situasi yang
kompetitif. Biasanya orang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi akan mencari
kekuatan posisi sehingga dapat memastikan bahwa metode yang dipilih untuk
memengaruhi orang lain berada dalam kendali dan tanggung jawabnya.

Kebutuhan afiliasi mencerminkan keinginan untuk memiliki hubungan yang ramah dan
akrab dengan orang lain dalam lingkungan organisasi. Seseorang yang tinggi dalam
dimensi afiliasi cenderung menyediakan waktu yang cukup untuk mencari interaksi
dengan orang lain. Kebutuhan afiliasi yang kuat akan melalakukan aktivitas tim di mana
interdependensi dan kerjasama dengan orang lain adalah yang terpenting. Tingkat

Universitas Indonesia
28

afiliasi yang tinggi memotivasi seseorang untuk bersimpati dan mengakomodasi kebutu
han lainnya (Smith et al., 1992).

2.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Motivasi


Banyak faktor yang memengaruhi motivasi seseorang bekerja. Pada kenyataannya tidak
ada faktor tunggal yang lebih dominan memengaruhi motivasi kerja seseorang. Aswat
(2010) dan Zahara, Sitorus, & Sabri (2011) menyatakan usia, kesempatan
pengembangan potensi individu, gaji yang diterima, hubungan interpersonal dan
kualitas supervisi memengaruhi motivasi. Lebih lengkap, Cahyani, Wahyuni, &
Kurniawan (2016) menambahkan faktor yang berpengaruh yaitu masa kerja, prestasi
kerja, pengakuan, kondisi kerja, dan kebijakan administrasi. Sedangkan Krisdiyanto
(2010) menyoroti bahwa motivasi dipengaruhi aspek kepuasan kerja, budaya
organisasi, dan pelatihan serta pengembangan. Makatiho, Tilaar, & Ratag (2014)
menekankan pengakuan atas prestasi menjadi faktor yang berpengaruh dengan motivasi
kerja perawat.

2.2.4 Prinsip Meningkatkan Motivasi


Ada banyak cara yang digunakan sebagai prinsip untuk memotivasi seseorang agar
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Mangkunegara (2005) menyebutkan prinsip-
prinsip motivasi yaitu:
2.2.4.1 Prinsip partisipasi
Pegawai diberikan kesempatan menunjukkan partisipasi dalam meningkatkan kinerja
organisasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pegawai yang diberi kesempatan
berpartisipasi akan merasa dihargai, diperhatikan dan dipedulikan sehingga
meningkatkan motivasi dalam bekerja.

2.2.4.2 Prinsip komunikasi


Komunikasi yang terbina dengan baik dianatara rekan kerja dan dengan pimpinan akan
memberi pengaruh positif pada pencapaian tujuan. Komunikasi pada situasi informal
akan lebih memberikan kesempatan bagi pegawai untuk mengomunikasikan pendapat
secara terbukadan pemimpin akan lebih mudah memotivasi pegawai.
2.2.4.3 Prinsip mengakui andil bawahan

Universitas Indonesia
29

Pengakuan terhadap usaha yang dilakukan pegawai merupakan bagian dari motivasi
yang tidak diketahui bawahan. Pemimpin memberikan pujian atas pencapain yang
dilakukan pegawai sehingga pegawai lebih bersemangat dalam bekerja.
2.2.4.4 Prinsip pendelegasian wewenang
Pemberian wewenang kepada pegawai sesuai dengan otonomi dan otoritasnya
merupakan bagian dari pengakuan atas kemampuan pegawai. Pegawai yang diberi
kebebasan pengambilan keputusan sesuai dengan wewenangnya akan lebih termotivasi
untuk mengambil keputusan terbaik dan bekerja lebih keras.
2.2.4.5 Prinsip memberi perhatian.
Perhatian yang diberikan pemimpin merupakan bentuk kepedulian dan rasa simpati
kepada pegawai. Pegawai yang merasa diperhatikan tentunya akan lebih termotivasi
memberikan kualitas pekerjaan terbaik untuk kemajuan organisasi.

2.3 Supervisi
2.3.1 Pengertian Supervisi
Supervisi mempunyai pengertian yang sangat luas. Supervisi berupaya memfasilitasi
kemampuan seseorang melalui upaya pembinaan dan peningkatan kompetensi agar
dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien (Nursalam, 2011). Supervisi keper
awatan merupakan proses dukungan dan pembelajaran profesional di mana perawat
dibantu dalam mengembangkan praktik melalui waktu diskusi yang teratur dengan
rekan-rekan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan. Selama psroses supervisi,
perawat menggunakan proses refleksi untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan
akan pengembangan professional (Brunero & Stein-Parbury, 2008). Proses kognitif
utama dari supervisi adalah refleksi, yaitu memikirkan kembali pengalaman klinis untuk
menceritakan dan memperdalam pemahaman dan mengidentifikasi area perbaikan lebih
lanjut.

Supervisi memfasilitasi perawat untuk mendiskusikan perawatan pasien dalam


lingkungan yang aman dan mendukung. Supervisi memungkinkan pengelola
keperawatan menemukan berbagai permasalahan tentang pemberian asuhan
keperawatan dan bersama dengan staf keperawatan mencari solusinya (Australia Health
Worforce, 2014). Melalui partisipasi perawat, supervisi mampu memberikan umpan
balik dan masukan kepada rekan-rekan dalam upaya meningkatkan pemahaman tentang

Universitas Indonesia
30

masalah klinis. Supervisi dirancang untuk memfasilitasi fungsi peer-educative.


Kesempatan untuk membahas masalah perawatan pasien akan membuka peluang untuk
mengembangkan pendekatan yang konsisten terhadap pasien dan keluarga. Supervisi
menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kualitas perawatan yang diberikan seacar
a khusus, dan kaitannya dengan mempertahankan standar perawatan. Selain itu, supervi
si menyediakan jalan bagi perawat untuk menunjukkan dukungan aktif satu sama lain
sebagai rekan professional (Brunero & Stein-Parbury, 2008). Melalui berbagi dan
memahami satu sama lain, perawat menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam kom
pleksitas pemberian asuhan keperawatan.

Kegiatan supervisi yang baik memposisikan perawat sebagai rekan kerja yang
mempunyai otononomi, kemandirian, pengalaman dan pendapat yang harus dihargai. Su
pervisi difokuskan untuk memperluas pengetahuan praktisi profesional, terbuka terhada
p pembelajaran baru, membantu meningkatkan keterampilan klinis, membantu
mengembangkan otonomi dan aktualisasi diri sebagai seorang professional (Cruz, Carva
lho, et al., 2015; Sílvia et al., 2011; Thompson, Kirkman, Watson, & Stewart, 2005).

Supervisi merupakan fungsi manajemen pada tahap pengendalian yang dilakukan untuk
mengarahkan perawat agar bekerja secara efektif, efisien dan menurunkan potensi
masalah pekerjaan (Hariyati, 2014). Supervisi merupakan aktivitas pembinaan secara
terencana untuk membantu tenaga keperawatan dalam melakukan pekerjaannnya secara
efektif. Supervisi dalam keperawatan bukan hanya sekedar mengontrol dan melihat
apakah semua kegiatan sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau program, akan
tetapi lebih dari itu kegiatan supervisi mencakup penentuan kondisi-kondisi atau syarat-
syarat personal maupun material yang diperlukan untuk tercapainya suatu tujuan asuhan
keperawatan secara efektif dan efisien (Marquis & Huston, 2015).

Dari penjelasan tentang supervisi, ada beberapa persamaan yaitu sebagian besar definisi
mencakup aspek-aspek terkait pengembangan profesional dan dukungan, pertumbuhan
dan pembelajaran, serta dukungan pribadi (Sílvia et al., 2011). Vaňková & Bártlová
(2015) merangkum konsep supervisi, secara umum meliputi: supervisi merupakan
kerangka kerja yang melibatkan pengembangan dan dukungan pembelajaran dari
supervisee melalui penekanan pada refleksi dan evaluasi diri menggunakan pendekatan
kegiatan refleksi; Hubungan antara supervisor dan supervisee adalah kunci keberhasilan

Universitas Indonesia
31

yang memengaruhi hasil dan efektivitas pelaksanaan supervisi; Supervisi harus bersifat
sukarela dan semua pihak yang terlibat harus proaktif, terbuka dan jujur.

2.3.2 Tujuan dan Manfaat Supervisi


Tujuan supervisi untuk menjaga dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan oleh karena itu perlu
difokuskan pada interaksi perawat-pasien (Thompson et al., 2005). Supervisi hadir
untuk memastikan perawatan pasien yang aman, tepat dan berkualitas tinggi (Australia
Health Worforce, 2014). Supervisi keperawatan dilakukan untuk memfasilitasi perawat
terhadap pengakuan dan lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kemandirian,
kerja sama dan kepercayaan diri yang tinggi (Mikkonen, Elo, Miettunen, Saarikoski, &
Kääriäinen, 2017)

Manfaat supervisi keperawatan yaitu menyediakan dukungan bagi perawat, sebagai


forum diskusi isu-isu klinis, memelihara keterampilan klinis, pencapaian keterampilan
yang lebih kompleks, peningkatan komunikasi, retensi kerja, mengurangi biaya
pengembangan professional dan biaya administrasi, serta meningkatkan kepuasan kerja
(Skinner dalam Hariyati, 2014). Cruz, Carvalho, & Sousa (2015) menyarankan
penelitian lebih lanjut mengenai manfaat supervisi terhadap penghematan biaya, pening
katan kualitas, dan penjaminan keamanan kerja.

Supervisi bermanfaat sebagai alat untuk mendukung manajemen dalam melakukan tata
kelola klinis, manajemen risiko dan manajemen kinerja, system akuntabilitas, dan
tanggung jawab. Manfaat supervisi dibuktikan oleh Sihotang, Santosa, & Salbiah
(2016); Hastuti (2014); Zahara et al., (2011) terhadap peningkatan produktifitas kerja.
Irawan, Yulia, & Muliyadi (2017); Rivai, Sidin, & Kartika, 2016; Pratiwi (2015);
Rasdini, Wedri, & Mega (2014); Nur et al., 2013; dan Cruz et al., (2015) terhadap pelak
sanaan program penerapan keselamatan pasien. Penelitian lain membuktikan manfaat su
pervisi terhadap peningkatan kepuasan kerja perawat (Lutfiyah et al., 2014; Mua,
Hariyati, & Afifah, 2011; Sigit, Keliat, & Hariyati, 2011; Sulistyarini, 2013; Tampilang
et al., 2013)

2.3.3 Model Supervisi


Beberapa model supervisi telah diidentifikasi dalam literatur. Model yang digunakan
umumnya tidak memiliki penelitian bukti empiris yang menunjukkan bahwa mereka

Universitas Indonesia
32

efektif atau sesuai dengan kebutuhan. Lyth (2000) menyarankan pembagian model keda
lam tiga jenis: model yang berfokus pada hubungan supervisor dan supervisee, model y
ang menggambarkan fungsi dan peran supervisor, dan pengembangan model yang
berfokus pada proses supervisi. Supratman & Sudaryanto (2008) melalui kajiannya
telah membandingkan berbagai model supervisi. Berikut disampaikan model supervisi
Tabel 2.2
Perbandingan berbagai model supervisi keperawatan
Model Proses Tujuan
Developmental Change agent, Improve job performance
(Dixon, 1998) Counselor,
Training/ Teaching
Academic Educative, Nurse performance
(Farington, Supportive,
1995) Managerial
Experiential Training, Nurse performance
(Milne & James, Mentoring
2005
4S (Page & Structure, Skills, Quality of care
Wosket, 1995) Support, Sustainability
Sumber: Supratman & Sudaryanto (2008)

2.3.3.1 Model Developmental


Perawat dibimbing oleh supervisor yang memiliki kewenangan. Model developmental
menyarankan proses bimbingan melalui tiga cara, yaitu change agent, counselor, dan
teacher. Pada change agent perawat dituntut untuk menjadi agen perubahan. Perawat
nantinya memberikan pemahaman kepada pasien tentang masalah kesehatan. Pada
aktivitas counselor perawat dilakukan pembinaan, bimbingan, dan proses pengajaran
tentang kompetensi dan tugas keperawatan. Pada aktivitas teaching bertujuan
mengedukasi perawat tentang praktik keperawatan sesuai dengan peran, fungsi dan
wewenang perawat.

2.3.3.2 Model Academic


Model akademik menjelaskan bahwa supervisi dilakukan untuk menunjang proses
pengembangan kemampuan professional yang berkelanjutan (continuing professional
development). Pada model akademik proses supervisi dilakukan melalui tiga kegiatan;
educative, supportive, dan managerial. Kegiatan educative bertujuan memberikan
pemahaman, kemampuan dan keterampilan tindakan keperawatan. Kegiatan supportive

Universitas Indonesia
33

berfokus pada penggalian aspek emosi saat bekerja. Kegiatan managerial bertujuan agar
perawat memahami standar keperawatan yang harus dipertahankan.

2.3.3.3 Model Experiental


Pada model experiental kegiatan supervisi terdiri dari training dan mentoring. Pada
aktivitas training, supervisor memberikan pengajaran tentang prosedur tindakan
keperawatan yang belum dimengerti oleh perawat. Pada aktivitas mentoring, supervisor
memberikan nasihat dan masukan kepada perawat tentang kegiatan rutin keperawatan.

2.3.3.4 Model 4S (Structure, Skills, Support and Sustainability)


Pada model 4S, aktivitas structure dikerjakan oleh perawat terdaftar (RN) sebagai ketua
tim yang melakukan pengkajian dan perencanaan asuhan. Ketua tim membawahi 6-8
perawat pelaksana dalam pemberian asuhan keperawatan. Aktivitas skills dikerjakan
untuk memfasilitasi kemampuan praktik/ keterampilan. Aktivitas support bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan pelatihan terahdap pengetahuan terbaru yang berkembang
dalam keperawatan. Aktivitas sustainability dilakukan untuk menjaga kompetensi,
keterampilan, dan pengalaman, serta nilai-nilai dalam keperawatan. Aktivitas ini
dikerjakan secara berkesinambungan untuk mempertahankan kualitas pelayanan
keperawatan yang diberikan.

Model tiga fungsi interaktif supervisi keperawatan juga dikemukakan oleh Proctor
(1987) dalam Sloan & Watson (2002), Brunero & Stein-Parbury (2008), Vaňková &
Bártlová (2015), Circenis, Jeremejeva, Millere, & Deklava (2015). Model interaktif tiga
fungsi Proctor (1987) telah mendapatkan popularitas yang meningkat dalam
keperawatan dan model ini yang paling sering dikutip di Inggris (Sloan & Watson, 200
2). Penggunaannya telah dianjurkan untuk keragaman area keperawatan, misalnya
keperawatan kesehatan mental, praktik keperawatan, praktisi keperawatan dan medis,
dan keperawatan bedah. Model Proctor berasal dari kegiatan konseling, dapat fokus
pada semua atau salah satu dari tiga area.

Model tiga fungsi Proctor terdiri dari fungsi formatif, fungsi normatif, dan fungsi restor
atif. Pada fungsi formatif, baik perawat supervisor maupun perawat yang disupervisi
sama-sama memiliki tanggung jawab dalam pengembangan pekerja. Fungsi formatif
erat kaitannya dengan pengembangan keterampilan dan peningkatan pengetahuan
perawat yang disupervisi.

Universitas Indonesia
34

Fungsi normatif, baik perawat supervisor maupun perawat yang disupervisi sama-sama
memiliki tanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi terhadap pekerja pada waktu
tertentu, tanggung jawab tersebut berguna untuk penilaian. Fungsi normatif
berkonsentrasi pada masalah-masalah manajerial termasuk di dalamnya pemeliharaan
standar profesional keperawatan. Fungsi normatif juga menjawab pertanyaan bagaimana
cara mengontrol kualitas pelayanan dan bagaimana memastikan bahwa kinerja perawat
telah mencapai standar yang telah ditentukan.

Fungsi restoratif, masing-masing perawat, memiliki tanggung jawab untuk memastikan


bahwa pekerja berada dalam kondisi yang prima dan kreatif dalam melakukan
pekerjaannya. Fungsi restoratif difokuskan pada penyediaan dukungan dalam upaya
mengurangi stres yang ditimbulkan dalam melakukan pekerjaan keperawatan. Fungsi
restorative juga digunakan dalam mengeksplorasi reaksi emosional terhadap kelelahan,
konflik, dan perasaan lainnya yang dialami selama melakukan proses keperawatan
untuk mengurangi kejenuhan.

2.3.4 Kompetensi Supervisor


Kualifikasi dan kompetensi supervisor mutlak diperlukan untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan supervisi. Studi menunjukkan bahwa pengelola keperawatan
perlu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan tentang implementasi supervisi agar
dapat bekerja sama. (Cruz, Carvalho, et al., 2015). Supervisi merupakan bagian dari pro
ses pembelajaran klinis untuk meningkatkan kualitas pemberian asuhan keperawatan. Pe
ngalaman belajar klinis yang berkualitas harus difasilitasi oleh supervisor yang memiliki
komitmen dan kompeten (Australia Health Worforce, 2014). Kualifikasi dan
kompetensi supervisor merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang pencapaian
tujuan pelaksanaan supervisi keperawatan (Ahaddyah, 2012).

Penelitian lain menunjukkan bahwa kompetensi kepala ruangan perlu mendapat


penguatan. Analisis menunjukkan terjadi peningkatan 58,03% supervisi yang dilakukan
oleh kepala ruangan setelah mendapatkan intervensi pelatihan tentang supervisi (Mua et
al., 2011). Untuk menjadi supervisor yang baik diperlukan kompetensi yang harus
dimiliki dalam melaksanakan supervisi. Bittel (1987), dikutip oleh Simanjuntak (2010);
Ahaddyah (2012); Hastuti (2014), mengemukakan kompetensi yang harus dimiliki yaitu
pengetahuan yang luas, entrepreneurial untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas,

Universitas Indonesia
35

kemampuan intelektual berdasarkan bukti empiris dan berpikir logis, dan hubungan
interpersonal yang baik.

2.3.5 Supervisi Berjenjang


Konsep tentang supervisi berjenjang masih terbatas. Beberapa penelitian tidak
menyebutkan secara langsung bahwa kegiatan supervisi dilakukan secara berjenjang,
namun dari analisis menyiratkan bahwa beberapa pelaksanaan supervisi dilakukan
secara berjenjang (Lutfiyah et al., 2014; Pratiwi, 2015; Sigit et al., 2011; Sugiarto,
2016; Wahyuni, 2007). Kegiatan supervisi umumnya dibebankan pada kepala ruangan
sebagai supervisor lini pertama dan penanggung jawab pelayanan di ruang rawat.
Kondisi ini tentulah menjadi beban berat yang harus ditanggung kepala ruangan
sendirian.

Berdasarkan asumsi perawat pelaksana, penelitian menunjukkan kepala ruangan dalam


melakukan kegiatan supervisi pada kategori baik 46,9% (Pratiwi, 2015), 16,9% (K.
Abdullah et al., 2012), 76,5% (Hastuti, 2014), 48,8% (Purnamasari et al., 2014). Putra
(2013) menemukan 54,7% perawat pelaksana menyatakan kurang mendapat
pengarahan, 52,7% kurang mendapat motivasi, 53,7% kurang mendapat bimbingan, dan
54,7% kurang mendapat evaluasi ketika kegiatan supervisi berlangsung. Kondisi ini
mencerminkan kepala ruangan belum optimal dalam menjalankan perannya sebagai
supervisor (Lutfiyah et al., 2014). Faktor beban pekerjaan ganda menjadi penyebab
supervisi belum dilakukan secara optimal (Harmatiwi et al., 2017).

Struktur organisasi ruang rawat memberikan arahan tentang kejelasan pembagian tugas
perawat. Pada umunya metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan di ruang
rawat menggunakan metode tim. Setiap tim terdiri dari 3-5 perawat yang dikoordinir
oleh ketua tim. Penjenjangan ini dapat memfasilitasi pelaksanaan supervisi berjenjang.
Supervisi dapat dilakukan berjenjang (Rohayani & Banuwati, 2015) yaitu kepala ruanga
n melakukan supervisi kepada ketua tim, ketua tim melakukan supervisi kepada perawat
pelaksana dalam kelompoknya tentang asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien.
Hastuti (2014) menyarankan agar rumah sakit menetapkan kebijakan penerapan dan
pelaksanaan supervisi berjenjang secara berkesinambungan sehingga kinerja perawat
pelaksana sesuai dengan visi, misi dan tujuan rumah sakit.

Universitas Indonesia
36

Adanya pengembangan jenjang karir profesional yang dikembangkan oleh Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia dan diadopsi oleh berbagai rumah sakit dapat
memberikan arahan teknis pelaksanaan supervisi berjenjang. Pada pedoman jenjang
karir profesional perawat, diatur tentang tingkatan karir profesionalisme perawat
berdasarkan pendidikan formal dan berkelanjutan berbasis pada kompetensi serta
pengalaman kerja di sarana kesehatan (Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan, 2006).
Pedoman jenjang karir mengklasifikasikan perawat klinik kedalam 5 tingkatan yaitu
perawat klinik I sampai V, dimana perawat klinik I merupakan tingkatan pemula
(novice) dan perawat klinik V merupakan ahli (expert).

Supervisi berjenjang dapat dilakukan berdasarkan jenjang karir profesional. Perawat


pada jenjang karir profesional yang lebih tinggi dapat melakukan supervisi kepada
perawat dengan jenjang dibawahnya sesuai area kekhususan serta persyaratan
kompetensi yang telah ditentukan. Adanya kejelasan pembagian ini akan memberikan
implikasi baik terhadap permasalahan tidak optimalnya supervisi yang selama ini
dikeluhkan. Kekurangan tenaga, ketiadaan waktu, dan kurang kompetennnya supervisor
akan terjawab jika supervisi berjenjang berdasarkan pedoman jenjang karir profesional
diterapkan.

Sebagian besar penelitian tentang supervisi biasanya terfokus pada program individual.
Supervisi berjenjang dirancang untuk memfasilitasi fungsi peer-educative. Bukti
menunjukkan bahwa perawat memperoleh manfaat dari dukungan sebaya melalui kegiat
an supervisi kelompok tanpa ada efek yang merugikan (Mikkonen et al., 2017; Thomps
on et al., 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa supervisi kelompok (berjenjang) m
erupakan strategi yang efektif untuk mendukung proses belajar (Baker, Cluett, Ireland,
Reading, & Rourke, 2014).

2.4 Karakteristik Individu Perawat


2.4.1 Usia
Usia menggambarkan perkembangan seseorang sehingga dapat dilihat bertambahnya ke
mampuan seseorang dalam melakukan sesuatu. Penambahan usia bisa dihubungkan den
gan pola pikir yang makin dewasa dan daya tangkap yang lebih serius, motivasi mempel
ajari pengetahuan baru, kemampuan intelektual, luas pengalaman, serta banyaknya keter

Universitas Indonesia
37

ampilan yang telah dipelajari. Asumsinya bahwa seseorang yang lebih tua, seharusnya b
erpengalaman dalam melakukan pekerjaannya dan merasa lebih puas bekerja.

Penelitian Curtis (2008) menyelidiki efek variabel demografi pada kepuasan kerja
perawat di Dublin dengan hasil terdapat perbedaan signifikan (p < 0,05) dalam
kelompok usia. Kepuasan kerja tertinggi di antara usia 36- 45 dan 46-55, dan terendah a
ntara 18- 25 dan 26-35; diatas usia 55, tingkat kepuasan mulai menurun. Nabirye,
Brown, Pryor, & Maples (2011) menemukan tingkat kepuasan kerja yang berbeda (p =
0,001) diantara kelompok usia. Kelompok usia 20-29 tahun memiliki tingkat kepuasan
kerja yang lebih tinggi daripada usia 30-39 atau 40-49 tahun. Klaus, Ekerdt, & Gajewsk
i (2012) menemukan bahwa perawat usia 40-49 tahun memiliki tingkat kepuasan kerja t
erendah.

Prediktor usia ditemukan berkorelasi dengan kepuasan kerja, (Pung et al., 2017; Sigit et
al., 2011). Kepuasan kerja dilaporkan lebih tinggi di tempat kerja di mana rata-rata usia
pekerja lebih tua (Tumen & Zeydanli, 2016). Ini mungkin disebabkan ketika usia
individu dan pengalaman kerja terakumulasi dan status kepuasan kerja akan
diasumsikan meningkat. Penelitian lain menyebutkan terdapat hubungan signifikan anta
ra usia perawat dengan motivasi kerja (p < 0,05) (Aswat, 2010; Cahyani et al., 2016; Sig
it et al., 2011). Sementara hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Tahsinia (2013) yang m
enyimpulkan tidak ada hubungan antara usia dengan kepuasan kerja perawat di RS. Ru
mah Sehat Terpadu (p = 0,270). Sulistyarini (2013) menyatakan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara usia dengan kepuasan kerja pegawai tetap di Rumah
Sakit Haji Jakarta (p = 0,783).

2.4.2 Jenis Kelamin


Fakta menunjukkan bahwa profesi keperawatan biasanya dikategorikan sebagai profesi
yang didominasi perempuan. Bukti menunjukkan tidak terdapat korelasi konsisten antar
a perempuan dan laki-laki berdasarkan kemampuan solutif, kemampuan analisis, doron
gan kompetisi, motivasi, sosiabilitas dan kemampuan belajar. Beberapa studi menunjuk
kan bahwa perempuan cenderung mematuhi peraturan organisasi yang mendorong pere
mpuan untuk berperilaku lebih puas tetapi perbedaan ini sangat kecil (Robbins & Judge,
2017). Hasil kajian literatur melaporkan tidak ada korelasi antara jenis kelamin dan
tingkat kepuasan perawat (Al Maqbali, 2015).

Universitas Indonesia
38

Petterson et al, (1995) dalam (Curtis, 2008) melakukan penelitian untuk memeriksa
hubungan antara kepuasan kerja dengan sejumlah variabel pada perawat Swedia. Hasil
menunjukkan bahwa perawat wanita secara signifikan lebih puas daripada perawat laki-
laki. Sampel dalam penelitian melibatkan 3.500 perawat, terdiri dari 85% wanita dan
15% laki-laki. Sedangkan penelitian (Curtis, 2008) sendiri menunjukkan tidak ada perbe
daan signifikan dalam angka statistik tentang kepuasan kerja antara perawat laki-laki da
n perempuan.

2.4.3 Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan merupakan variabel yang paling sering diperiksa dalam penelitian,
meskipun hanya untuk tujuan deskripsi saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan kepuasan kerja menurut tingkat pendidikan berpengaruh signifikan (p < 0,05)
(Hidayat, 2013; Nabirye et al., 2011). Perawat dengan jenjang pendidikan lebih tinggi m
emiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Perawat dengan gelar diploma dalam
keperawatan merasa kurang puas dibandingkan perawat yang memiliki kualifikasi pendi
dikan yang lebih tinggi (Curtis, 2008; Klaus et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan ti
ngkat pendidikan berpengaruh terhadap motivasi kerja (Dewi, Suwendra, & Yulianthini,
2016).

2.4.4 Masa Kerja


Masa kerja seseorang berhubungan dengan pengalaman kerja. Pengalaman kerja merupa
kan jumlah pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah
diakumulasikan seseorang selama karirnya(Kooij, Lange, Jansen, Kanfer, & Dikkers,
2011; Ng & Feldman, 2009). Pengalaman kerja perawat dapat berkontribusi dengan
tingkat kepuasan kerja. Penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi, namun perawat
yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun lebih mungkin merasa puas daripada
yang kurang (Al Maqbali, 2015). Perawat dengan masa kerja yang lebih lama akan
memiliki kecenderungan merasa betah dikarenakan telah menyesuaikan dengan
lingkunga kerja.

Penelitian lain menunjukkan hasil yang kontras antara kepuasan kerja dengan
pengalaman. Perawat dengan pengalaman praktik keperawatan yang lebih sedikit,

Universitas Indonesia
39

memiliki kepuasan kerja yang lebih daripada perawat yang memiliki lebih banyak
pengalaman (p < 0,01) (Nabirye et al., 2011). Hal ini dimungkinkan karena perawat den
gan pengalaman lebih sedikit munjukkan ketertarikan pada dunia kerja yang baru ditek
uni sehingga berdampak pada kepuasan. Erdiyanto & Wahjoedi (2016) menyimpulkan
tidak ada pengaruh kuat antara masa kerja terhadap motivasi kerja.

2.4.5 Efikasi Diri


Efikasi diri mengacu pada keyakinan diri terhadap kemampuan atau kompetensi yang
dimiliki untuk melakukan tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan pekerjaan
yang lebih baik. Efikasi diri merupakan kepercayaan pada kemampuan seseorang untuk
melakukan tugasnya dalam organisasi (Kadir, Kamariah, Saleh, & Ratnawati, 2017).
Seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan semakin percaya diri pada
kemampuan untuk berhasil (Robbins & Judge, 2017). Analisis menunjukkan terdapat
hubungan antara motivasi intrinsik dan efikasi diri dengan keterlibatan kerja (p=
0,00<0,05) (Rahmi, Yusuf, & Priyatama, 2014). Efikasi diri akan mendorong seseorang
lebih bersemangat mencapai hasil optimal dalam kinerjanya. Srihandayani (2016)
membuktikan pengaruh yang signifikan antara efikasi diri dengan kinerja perawat.

Seseorang dengan efikasi yang rendah akan cenderung malas berusaha dan menghindari
pekerjaan. Efikasi diri yang rendah akan membawa seseorang pada situasi dan kondisi
yang tidak kondusif seperti bekerja tidak optimal, kepuasan kerja tidak pernah
terpenuhi, kematangan psikologis yang tidak tercapai, motivasi kerja yang rendah,
mengeluh bosan tanpa ide kreatif, cenderung emosional menghadapi perburukan situasi.
Pengaruh yang signifikan dari efikasi diri terhadap kepuasan kerja perawat (Indrawati,
2014), Supriyadi & Faraz (2015) menyatakan seseorang yang memiliki efikasi diri yang
tinggi akan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sedangkan yang
memiliki efikasi diri yang rendah hanya bekerja seadanya yang membuat kerja menjadi
tidak maksimal.

Efikasi diri pertama kali diperkenalkan oleh Bandura Alber, seorang psikolog yang
berpengaruh dalam sejarah psikologi. Bandura menggunakan teori belajar sosial, yang
selanjutnya disebut teori kognitif sosial. Teori kognitif sosial digunakan sebagai dasar
untuk menganalisis konstruksi efikasi diri (Kadir et al., 2017). Efikasi diri menurut
Bandura (1997) dalam Indrawati (2014) dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui 4

Universitas Indonesia
40

sumber yaitu kinerja atau pengalaman masa lalu, model perilaku (mengamati orang lain
yang melakukan tindakan yang sama), persuasi dari orang lain dan keadaan fisilogis dan
emosional.

Universitas Indonesia
41

2.5 Kerangka Teori


Skema 2.1
Kerangka Teori Penelitian

Supervisi berjenjang: Karakteristik perawat;


- Dirancang untuk memfasilitasi fungsi peer-educative. - Personal
- Memfasilitasi diskusi perawatan pasien dalam lingkungan yang - Usia
aman dan mendukung. - Jenis kelamin
- Membantu pembinaan dan peningkatan kemampuan agar dapat - Tingkat pendidikan
melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien. - Masa kerja
- Menggunakan proses refleksi untuk mengidentifikasi dan - Efikasi diri
memenuhi kebutuhan akan pengembangan professional (Rahmi et al., 2014)
- Memposisikan perawat sebagai partner kerja yang memiliki Srihandayani (2016)
otononomi, kemandirian, pendapat dan pengalaman yang harus (Indrawati, 2014),
dihargai (Australia Health Worforce, 2014; Brunero & Stein- Supriyadi & Faraz (2015)
Parbury, 2008; Circenis et al., 2015; Cruz, Carvalho, et al., 2015;
Lyth, 2000; Nursalam, 2011; Sílvia et al., 2011; Thompson et al.,
2005) Teori Motivasi:
- Teori hierarki kebutuhan
- Teori X dan Y
Teori Kepuasan Kerja: - Teori dua faktor
- Teori ketidaksesuaian
Ke M - Teori kebutuhan McClelland
- Teori keadilan p (Mangkunegara, 2005;
o
u Luthans, 2011; Robbins &
- Teori dua factor t Judge, 2017).
a
- Teori kebutuhan s iv
a
- Teori keloftxgjdytjkdtympok a
n
Faktor motivasi;
- Teori pengharapan s Usia, pengembangan potensi,
Ke
r i gaji, hubungan interpersonal,
supervisi, masa kerja, prestasi
Faktor-faktor yang memengaruhi: j
kerja, pengakuan, kondisi
- Pengakuan & penghargaan; a
kerja,, kebijakan administrasi,
- Kompenasi gaji & imbalan pelatihan dan pengembangan,
- Komunikasi kepuasan kerja, dan budaya
- Kepemimpian dan supervisi organisasi.
- Sifat & kondisi pekerjaan (Aswat, 2010; Zahara, Sitorus,
- Kebijakan organisasi Dampak Kepuasan Kerja: & Sabri, 2011; Makatiho,
- Promosi - Active –destructive Tilaar, & Ratag , 2014;
- Jaminan keamanan - Active-constructive Cahyani, Wahyuni, &
- Passive-destructive Kurniawan, 2016).
(Aiken et al., 2013).
- Passive-constructive
- Kinerja, OCB, Kepuasan pelanggan, kehadiran, pengunduran
diri, penyimpangan kerja (Robbins & Judge, 2017, Berlian,
2016; Fanani, Djati, & Silvanita, 2017; Fitrianasari, Nimran,
& Utami, 2013; Aiken et al., 2013; Biegger, Geest, Schubert,
& Ausserhofer, 2016; Zhang et al., 2014).

Universitas Indonesia
42

Halaman ini sengaja dikosongkan

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai