TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian lain menjelaskan kepuasan kerja merupakan tingkat kenyamanan yang dirasa
kan seseorang di tempat kerja, dan ini sering memengaruhi kinerja (Pung, Shorey, & Go
h, 2017). Pengertian ini mempertimbangkan faktor mana yang membuat pekerjaan
menjadi memuaskan dan memeriksa aspek-aspek pekerjaan yang menghasilkan
kepuasan atau ketidakpuasan. Pandangan Robbins & Judge (2017) menyatakan bahwa
kepuasan merupakan keseluruhan sikap seseorang terhadap pekerjaan yang
menunjukkan perbedaan persepsi antara harapan dengan jumlah yang seharusnya
diterima.
Kepuasan kerja pada prinsipnya bersifat individual karena setiap orang mempunyai
persepsi masing-masing terhadap tingkat kepuasan kerja sesuai dengan penilaian yang
diberikan. Semakin banyak indikator pekerjaan yang sejalan dengan harapan, maka
semakin meningkat derajat kepuasan yang dipersepsikan. Kepuasan kerja dipengaruhi
emosi, perasaan, pemikiran, dan persepsi seseorang terhadap pekerjaan yang dipandang
dari berbagai perspektif (Munir & Rahman, 2016). Kepuasan kerja mencerminkan
orientasi afektif individu terhadap peran kerja yang ditempati saat ini.
11
12
2.1.2.1 Wexley dan Yulk (1977) dalam As’ad (2004), menjabarkan tiga teori tentang
kepuasan kerja yaitu:
Discrepancy theory (teori ketidaksesuaian) berpendapat bahwa seseorang akan merasa
puas jika antara apa yang dikehendaki dengan persepsinya atas kenyataan yang terjadi
tidak terdapat perbedaan. Porter (1961) mempelopori pendapat ini dengan mengukur
kepuasan kerja dan membandingkan selisih antara kenyataan yang dirasakan dengan apa
yang seharusnya didapat. Locke (1969) dalam (Luthans, 2011) menjelaskan bahwa
kepuasan kerja terkait pada ketidaksesuaian antara yang seharusnya diterima
(expectation, need, and value) dengan apa didapat melalui pekerjaan.
Equity theory (teori keadilan) memiliki prinsip bahwa seseorang merasa puas atau tidak
puas, terkait situasi pekerjaan yang dirasakan orang tersebut. Dasar teori equity dalam A
s’ad (2004) terdiri dari tiga elemen, yaitu input, output, dan comparison persons. Input
merupakan segala hal yang dirasakan berharga sebagai sumbangsih atas pekerjaannya.
Output merupakan segala hal yang dirasakan berharga sebagai hasil dari pekerjaannya.
Sedangkan comparison persons merupakan perbandingan rasio input-output yang dimili
Universitas Indonesia
13
ki seseorang dengan orang lain. Comparison persons dapat berupa seseorang dengan or
ang lain didalam perusahaan, atau dengan orang di tempat yang berbeda, atau dapat
pula membandingkan dengan diri sendiri dimasa lalu. Simpulan dari teori ini adalah ses
eorang akan merasa puas jika perbandingan dinilai adil.
Two factor theory (teori dua faktor) pertama ditampilkan oleh Frederick Herzbergs
(1966), yang menegaskan bahwa faktor kepuasan dan faktor ketidakpuasan merupakan
dua hal yang berlainan. Maksudnya adalah kepuasan dan ketidakpuasan seseorang deng
an pekerjaannya, bukanlah hal yang berkesinambungan. Teori ini mengelompokkan
sikap seseorang terhadap situasi kerja menjadi dua, yaitu kelompok satisfiers dan
kelompok dissatisfiers.
Universitas Indonesia
14
Mujtaba, 2016). Kepuasan kerja dianggap terpenuhi jika pekerjaannya sesuai dengan
minat yang diharapkan oleh kelompok acuan sebagai pembanding. (Mangkunegara,
2005).
Faktor pekerjaan yang memengaruhi kepuasan kerja meliputi imbalan berupa gaji, peng
akuan dari lingkungan kerja, kebijakan administrasi, hubungan dengan rekan kerja dan a
tasan, supervisi yang diterapkan, jaminan pekerjaan, dan karaktersitik serta kondisi peke
rjaan itu sendiri (Al Maqbali, 2015; Sulistyarini, 2013; Wolo et al., 2015). Penelitian lai
n menambahkan bahwa faktor kepemimpinan, pengembangan karir, dan pengembangan
organisasi memiliki korelasi kuat secara parsial dan simultan (p < 0,05) (Djestawana,
2012). Spector (dalam Dilig-Ruiz, 2017) merangkum faktor kepuasan kerja sebagai
berikut:
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
tali persahabatan. Perasaan senang dan rasa persahabatan yang timbul sangat berkaitan
dengan kepuasan kerja seseorang. Penelitian menunjukkan ada pengaruh signifikan anta
ra hubungan interpersonal terhadap kepuasan kerja (p < 0,05) (D. Abdullah, 2014).
Universitas Indonesia
17
bermakna antara persepsi tentang iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat (p <
0,001) (Yayah & Hariyati, 2015).
Universitas Indonesia
18
Pendekatan single global rating (peringkat global tunggal) merupakan sebuah respon
pada satu pertanyaan. Misalnya ketika seseorang ditanya tentang seberapa puas anda
dengan pekerjaan dengan mempertimbangkan semua hal. Responden memilih satu
nomor antara 1- 5 dari sangat tidak puas sampai sangat puas. Pendekatan summation
score (skor penjumlahan) merupakan penilaian tingkat kepuasan kerja dengan teknik
menggabungkan seluruh skor kepuasan atas elemen-elemen kunci (supervisi, sifat
pekerjaan, imbalan, promosi, rekan kerja) sehingga akan didapat nilai total kepuasan
kerja seseorang. Kedua metode tersebut saling melengkapi. Pada metode peringkat
global tunggal waktu yang dgunakan lebih sedikit, dan pada metode skor penjumlahan
dapat melihat aspek-aspek pekerjaan sehingga menjadi solusi lebih akurat.
Universitas Indonesia
19
Variabel
Deskripsi
Kepuasan Kerja
Penggunaan Kesempatan untuk melakukan pekerjaan menggunakan
kemampuan kemampuan, keahlian, dan keterampilan diri sendiri
Aktivitas Tingkat kesibukan melakukan pekerjaan setiap saat
Promosi Kesempatan memperoleh promosi kerja
Prestasi Suatu keberhasilan yang didapatkan selama bekerja
Wewenang Kesempatan untuk mengatur atau memimpin orang lain
Kreativitas Kesempatan untuk melakukan ide dari diri sendiri dalam
melaksanakan pekerjaan
Independensi Kesempatan untuk bebas melakukan pekerjaannya sendiri
Aktivitas sosial Kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain
Universitas Indonesia
20
Variabel
Deskripsi
Kepuasan Kerja
Tanggung jawab Kesempatan untuk mengambil keputusan dan menjalankannya
Variasi Kesempatan untuk melakukan sesuatu pekerjaan yang berbeda
Status sosial Kesempatan mendapatkan pengakuan yang berarti dari orang lain
tentang pekerjaan
Moral Kesempatan untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan hati nurani
Kebijakan Seberapa jauh kebijakan perusahaan ditanggapi positif oleh
perusahaan dan karyawan
praktiknya
Gaji/ upah Tingkat bayaran yang diperoleh sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan
Rekan kerja Seberapa baik hubungan dan interaksi dengan rekan kerja
Penghargaan Seberapa baik penghargaan yang diberikan sesuai dengan hasil
pekerjaan
Kondisi kerja Seberapa baik kenyamanan dalam bekerja
Supervisi Kemampuan atasan berhubungan dengan bawahannya
(operasional)
Supervisi (teknis) Kemampuan atasan dalam mengatur pekerjaan
Keamanan Tingkat jaminan kelangsungan pekerjaan
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
Lebih lanjut Robbins & Judge (2017) membahas dampak yang lebih spesifik dari
kepuasan kerja, yaitu:
Universitas Indonesia
23
Bagi para pekerja lini depan yang memiliki kontak teratur dengan pelanggan seperti
perawat, maka kepuasan kerja berhubungan langsung dengan hasil kepuasan pelanggan
yang positif. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa kepuasan kerja (seacara
langsung dan tidak langsung) berkorelasi positif terhadap kepuasan pelanggan
(Indrawati, 2013). Pengaruh langsung artinya tidak ada perantara yang menghubungkan
kepuasan kerja dan kepuasan pelanggan, sedangkan pengaruh tidak langsung
menunjukkan variabel intervening turut menghubungkan kepuasan kerja dan kepuasan
pelanggan.
2.2 Motivasi
Universitas Indonesia
24
Pada kebanyakan kasus, motivasi berasal dari kebutuhan yang harus dipenuhi, dan pada
gilirannya mengarah ke perilaku tertentu. Luthans (2011) mendefinisikan motivasi
sebagai proses atau kegiatan didalam diri seseorang sehingga memunculkan perilaku
untuk mecapai tujuan karena memiliki kebutuhan psikologis dan fisiologis. Motivasi
merupakan elemen perilaku yang sangat penting, motivasi berinteraksi dan bertindak
berdasarkan proses kognitif. Luthans (2011) menegaskan bahwa motivasi seharusnya
tidak dianggap sebagai satu-satunya penjelasan tentang perilaku, karena ia berhubungan
dan bekerja bersama proses lain dan dengan lingkungan.
Luthan menekankan bahwa, seperti proses kognitif lainnya, motivasi tidak dapat dilihat.
Motivasi merupakan konsep yang sangat sulit dipelajari secara langsung, sebab motivasi
merupakan bangunan duganaan. Tingkah laku merupakan simpulan dari motivasi
seseorang, namun motivasi dan perilaku semata kadang tidak sinonim. Semua itu bisa
terjadi yang terlihat adalah perilaku, dan ini seharusnya tidak disamakan dengan
penyebab perilaku (Harrigan & Commons, 2015).
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
Pada teori Maslow menunjukkan bahwa seseorang akan memenuhi kebutuhannya mulai
dari yang paling dasar hingga kebutuhan tertinggi. Kebutuhan yang telah terpenuhi tidak
lagi memotivasi, sehingga kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Penting bagi
manajer untuk menyelami pada tingkat mana seseorang berada, dan berikan perhatian
pada pemenuhan kebutuhan di tingkat tersebut maupun diatasnya (Robbins & Judge,
2017).
Manajer teori X dan Y akan terlibat dalam berbagai jenis perilaku manajerial. Manajer
teori X akan lebih mengarahkan dan menerapkan pengawasan ketat pada karyawan,
mengandalkan faktor ekstrinsik dan pemaksaan sebagai alat motivasi. Manajer teori Y
akan mencari ide dan masukan dari bawahan dengan menyediakan sumber daya dan
membantu memfasilitasi pekerjaan dengan mengandalkan faktor intrinsik sebagai alat
motivasi. Teori X / Y juga mengusulkan bahwa perilaku manajer mengubah perilaku
bawahan sesuai dengan keyakinan manajer (Prottas & Nummelin, 2018).
Universitas Indonesia
27
Kepuasan tergantung pada motivator, sedangkan ketidakpuasan adalah hasil dari faktor
hygiene. Dalam teori motivator mengarah pada intrinsik untuk pekerjaan, seperti
pekerjaan yang menantang atau merangsang, pengakuan, pencapaian pribadi, peluang
untuk maju, dan pertumbuhan pribadi. Faktor kebersihan bersifat ekstrinsik terhadap
pekerjaan, seperti gaji dan tunjangan, kebijakan dan administrasi perusahaan, hubungan
interpersonal yang baik, dan status yang dipersepsikan (Alshmemri et al., 2017; Atefi et
al., 2014).
Kebutuhan afiliasi mencerminkan keinginan untuk memiliki hubungan yang ramah dan
akrab dengan orang lain dalam lingkungan organisasi. Seseorang yang tinggi dalam
dimensi afiliasi cenderung menyediakan waktu yang cukup untuk mencari interaksi
dengan orang lain. Kebutuhan afiliasi yang kuat akan melalakukan aktivitas tim di mana
interdependensi dan kerjasama dengan orang lain adalah yang terpenting. Tingkat
Universitas Indonesia
28
afiliasi yang tinggi memotivasi seseorang untuk bersimpati dan mengakomodasi kebutu
han lainnya (Smith et al., 1992).
Universitas Indonesia
29
Pengakuan terhadap usaha yang dilakukan pegawai merupakan bagian dari motivasi
yang tidak diketahui bawahan. Pemimpin memberikan pujian atas pencapain yang
dilakukan pegawai sehingga pegawai lebih bersemangat dalam bekerja.
2.2.4.4 Prinsip pendelegasian wewenang
Pemberian wewenang kepada pegawai sesuai dengan otonomi dan otoritasnya
merupakan bagian dari pengakuan atas kemampuan pegawai. Pegawai yang diberi
kebebasan pengambilan keputusan sesuai dengan wewenangnya akan lebih termotivasi
untuk mengambil keputusan terbaik dan bekerja lebih keras.
2.2.4.5 Prinsip memberi perhatian.
Perhatian yang diberikan pemimpin merupakan bentuk kepedulian dan rasa simpati
kepada pegawai. Pegawai yang merasa diperhatikan tentunya akan lebih termotivasi
memberikan kualitas pekerjaan terbaik untuk kemajuan organisasi.
2.3 Supervisi
2.3.1 Pengertian Supervisi
Supervisi mempunyai pengertian yang sangat luas. Supervisi berupaya memfasilitasi
kemampuan seseorang melalui upaya pembinaan dan peningkatan kompetensi agar
dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien (Nursalam, 2011). Supervisi keper
awatan merupakan proses dukungan dan pembelajaran profesional di mana perawat
dibantu dalam mengembangkan praktik melalui waktu diskusi yang teratur dengan
rekan-rekan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan. Selama psroses supervisi,
perawat menggunakan proses refleksi untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan
akan pengembangan professional (Brunero & Stein-Parbury, 2008). Proses kognitif
utama dari supervisi adalah refleksi, yaitu memikirkan kembali pengalaman klinis untuk
menceritakan dan memperdalam pemahaman dan mengidentifikasi area perbaikan lebih
lanjut.
Universitas Indonesia
30
Kegiatan supervisi yang baik memposisikan perawat sebagai rekan kerja yang
mempunyai otononomi, kemandirian, pengalaman dan pendapat yang harus dihargai. Su
pervisi difokuskan untuk memperluas pengetahuan praktisi profesional, terbuka terhada
p pembelajaran baru, membantu meningkatkan keterampilan klinis, membantu
mengembangkan otonomi dan aktualisasi diri sebagai seorang professional (Cruz, Carva
lho, et al., 2015; Sílvia et al., 2011; Thompson, Kirkman, Watson, & Stewart, 2005).
Supervisi merupakan fungsi manajemen pada tahap pengendalian yang dilakukan untuk
mengarahkan perawat agar bekerja secara efektif, efisien dan menurunkan potensi
masalah pekerjaan (Hariyati, 2014). Supervisi merupakan aktivitas pembinaan secara
terencana untuk membantu tenaga keperawatan dalam melakukan pekerjaannnya secara
efektif. Supervisi dalam keperawatan bukan hanya sekedar mengontrol dan melihat
apakah semua kegiatan sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau program, akan
tetapi lebih dari itu kegiatan supervisi mencakup penentuan kondisi-kondisi atau syarat-
syarat personal maupun material yang diperlukan untuk tercapainya suatu tujuan asuhan
keperawatan secara efektif dan efisien (Marquis & Huston, 2015).
Dari penjelasan tentang supervisi, ada beberapa persamaan yaitu sebagian besar definisi
mencakup aspek-aspek terkait pengembangan profesional dan dukungan, pertumbuhan
dan pembelajaran, serta dukungan pribadi (Sílvia et al., 2011). Vaňková & Bártlová
(2015) merangkum konsep supervisi, secara umum meliputi: supervisi merupakan
kerangka kerja yang melibatkan pengembangan dan dukungan pembelajaran dari
supervisee melalui penekanan pada refleksi dan evaluasi diri menggunakan pendekatan
kegiatan refleksi; Hubungan antara supervisor dan supervisee adalah kunci keberhasilan
Universitas Indonesia
31
yang memengaruhi hasil dan efektivitas pelaksanaan supervisi; Supervisi harus bersifat
sukarela dan semua pihak yang terlibat harus proaktif, terbuka dan jujur.
Supervisi bermanfaat sebagai alat untuk mendukung manajemen dalam melakukan tata
kelola klinis, manajemen risiko dan manajemen kinerja, system akuntabilitas, dan
tanggung jawab. Manfaat supervisi dibuktikan oleh Sihotang, Santosa, & Salbiah
(2016); Hastuti (2014); Zahara et al., (2011) terhadap peningkatan produktifitas kerja.
Irawan, Yulia, & Muliyadi (2017); Rivai, Sidin, & Kartika, 2016; Pratiwi (2015);
Rasdini, Wedri, & Mega (2014); Nur et al., 2013; dan Cruz et al., (2015) terhadap pelak
sanaan program penerapan keselamatan pasien. Penelitian lain membuktikan manfaat su
pervisi terhadap peningkatan kepuasan kerja perawat (Lutfiyah et al., 2014; Mua,
Hariyati, & Afifah, 2011; Sigit, Keliat, & Hariyati, 2011; Sulistyarini, 2013; Tampilang
et al., 2013)
Universitas Indonesia
32
efektif atau sesuai dengan kebutuhan. Lyth (2000) menyarankan pembagian model keda
lam tiga jenis: model yang berfokus pada hubungan supervisor dan supervisee, model y
ang menggambarkan fungsi dan peran supervisor, dan pengembangan model yang
berfokus pada proses supervisi. Supratman & Sudaryanto (2008) melalui kajiannya
telah membandingkan berbagai model supervisi. Berikut disampaikan model supervisi
Tabel 2.2
Perbandingan berbagai model supervisi keperawatan
Model Proses Tujuan
Developmental Change agent, Improve job performance
(Dixon, 1998) Counselor,
Training/ Teaching
Academic Educative, Nurse performance
(Farington, Supportive,
1995) Managerial
Experiential Training, Nurse performance
(Milne & James, Mentoring
2005
4S (Page & Structure, Skills, Quality of care
Wosket, 1995) Support, Sustainability
Sumber: Supratman & Sudaryanto (2008)
Universitas Indonesia
33
berfokus pada penggalian aspek emosi saat bekerja. Kegiatan managerial bertujuan agar
perawat memahami standar keperawatan yang harus dipertahankan.
Model tiga fungsi interaktif supervisi keperawatan juga dikemukakan oleh Proctor
(1987) dalam Sloan & Watson (2002), Brunero & Stein-Parbury (2008), Vaňková &
Bártlová (2015), Circenis, Jeremejeva, Millere, & Deklava (2015). Model interaktif tiga
fungsi Proctor (1987) telah mendapatkan popularitas yang meningkat dalam
keperawatan dan model ini yang paling sering dikutip di Inggris (Sloan & Watson, 200
2). Penggunaannya telah dianjurkan untuk keragaman area keperawatan, misalnya
keperawatan kesehatan mental, praktik keperawatan, praktisi keperawatan dan medis,
dan keperawatan bedah. Model Proctor berasal dari kegiatan konseling, dapat fokus
pada semua atau salah satu dari tiga area.
Model tiga fungsi Proctor terdiri dari fungsi formatif, fungsi normatif, dan fungsi restor
atif. Pada fungsi formatif, baik perawat supervisor maupun perawat yang disupervisi
sama-sama memiliki tanggung jawab dalam pengembangan pekerja. Fungsi formatif
erat kaitannya dengan pengembangan keterampilan dan peningkatan pengetahuan
perawat yang disupervisi.
Universitas Indonesia
34
Fungsi normatif, baik perawat supervisor maupun perawat yang disupervisi sama-sama
memiliki tanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi terhadap pekerja pada waktu
tertentu, tanggung jawab tersebut berguna untuk penilaian. Fungsi normatif
berkonsentrasi pada masalah-masalah manajerial termasuk di dalamnya pemeliharaan
standar profesional keperawatan. Fungsi normatif juga menjawab pertanyaan bagaimana
cara mengontrol kualitas pelayanan dan bagaimana memastikan bahwa kinerja perawat
telah mencapai standar yang telah ditentukan.
Universitas Indonesia
35
kemampuan intelektual berdasarkan bukti empiris dan berpikir logis, dan hubungan
interpersonal yang baik.
Struktur organisasi ruang rawat memberikan arahan tentang kejelasan pembagian tugas
perawat. Pada umunya metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan di ruang
rawat menggunakan metode tim. Setiap tim terdiri dari 3-5 perawat yang dikoordinir
oleh ketua tim. Penjenjangan ini dapat memfasilitasi pelaksanaan supervisi berjenjang.
Supervisi dapat dilakukan berjenjang (Rohayani & Banuwati, 2015) yaitu kepala ruanga
n melakukan supervisi kepada ketua tim, ketua tim melakukan supervisi kepada perawat
pelaksana dalam kelompoknya tentang asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien.
Hastuti (2014) menyarankan agar rumah sakit menetapkan kebijakan penerapan dan
pelaksanaan supervisi berjenjang secara berkesinambungan sehingga kinerja perawat
pelaksana sesuai dengan visi, misi dan tujuan rumah sakit.
Universitas Indonesia
36
Sebagian besar penelitian tentang supervisi biasanya terfokus pada program individual.
Supervisi berjenjang dirancang untuk memfasilitasi fungsi peer-educative. Bukti
menunjukkan bahwa perawat memperoleh manfaat dari dukungan sebaya melalui kegiat
an supervisi kelompok tanpa ada efek yang merugikan (Mikkonen et al., 2017; Thomps
on et al., 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa supervisi kelompok (berjenjang) m
erupakan strategi yang efektif untuk mendukung proses belajar (Baker, Cluett, Ireland,
Reading, & Rourke, 2014).
Universitas Indonesia
37
ampilan yang telah dipelajari. Asumsinya bahwa seseorang yang lebih tua, seharusnya b
erpengalaman dalam melakukan pekerjaannya dan merasa lebih puas bekerja.
Penelitian Curtis (2008) menyelidiki efek variabel demografi pada kepuasan kerja
perawat di Dublin dengan hasil terdapat perbedaan signifikan (p < 0,05) dalam
kelompok usia. Kepuasan kerja tertinggi di antara usia 36- 45 dan 46-55, dan terendah a
ntara 18- 25 dan 26-35; diatas usia 55, tingkat kepuasan mulai menurun. Nabirye,
Brown, Pryor, & Maples (2011) menemukan tingkat kepuasan kerja yang berbeda (p =
0,001) diantara kelompok usia. Kelompok usia 20-29 tahun memiliki tingkat kepuasan
kerja yang lebih tinggi daripada usia 30-39 atau 40-49 tahun. Klaus, Ekerdt, & Gajewsk
i (2012) menemukan bahwa perawat usia 40-49 tahun memiliki tingkat kepuasan kerja t
erendah.
Prediktor usia ditemukan berkorelasi dengan kepuasan kerja, (Pung et al., 2017; Sigit et
al., 2011). Kepuasan kerja dilaporkan lebih tinggi di tempat kerja di mana rata-rata usia
pekerja lebih tua (Tumen & Zeydanli, 2016). Ini mungkin disebabkan ketika usia
individu dan pengalaman kerja terakumulasi dan status kepuasan kerja akan
diasumsikan meningkat. Penelitian lain menyebutkan terdapat hubungan signifikan anta
ra usia perawat dengan motivasi kerja (p < 0,05) (Aswat, 2010; Cahyani et al., 2016; Sig
it et al., 2011). Sementara hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Tahsinia (2013) yang m
enyimpulkan tidak ada hubungan antara usia dengan kepuasan kerja perawat di RS. Ru
mah Sehat Terpadu (p = 0,270). Sulistyarini (2013) menyatakan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara usia dengan kepuasan kerja pegawai tetap di Rumah
Sakit Haji Jakarta (p = 0,783).
Universitas Indonesia
38
Petterson et al, (1995) dalam (Curtis, 2008) melakukan penelitian untuk memeriksa
hubungan antara kepuasan kerja dengan sejumlah variabel pada perawat Swedia. Hasil
menunjukkan bahwa perawat wanita secara signifikan lebih puas daripada perawat laki-
laki. Sampel dalam penelitian melibatkan 3.500 perawat, terdiri dari 85% wanita dan
15% laki-laki. Sedangkan penelitian (Curtis, 2008) sendiri menunjukkan tidak ada perbe
daan signifikan dalam angka statistik tentang kepuasan kerja antara perawat laki-laki da
n perempuan.
Penelitian lain menunjukkan hasil yang kontras antara kepuasan kerja dengan
pengalaman. Perawat dengan pengalaman praktik keperawatan yang lebih sedikit,
Universitas Indonesia
39
memiliki kepuasan kerja yang lebih daripada perawat yang memiliki lebih banyak
pengalaman (p < 0,01) (Nabirye et al., 2011). Hal ini dimungkinkan karena perawat den
gan pengalaman lebih sedikit munjukkan ketertarikan pada dunia kerja yang baru ditek
uni sehingga berdampak pada kepuasan. Erdiyanto & Wahjoedi (2016) menyimpulkan
tidak ada pengaruh kuat antara masa kerja terhadap motivasi kerja.
Seseorang dengan efikasi yang rendah akan cenderung malas berusaha dan menghindari
pekerjaan. Efikasi diri yang rendah akan membawa seseorang pada situasi dan kondisi
yang tidak kondusif seperti bekerja tidak optimal, kepuasan kerja tidak pernah
terpenuhi, kematangan psikologis yang tidak tercapai, motivasi kerja yang rendah,
mengeluh bosan tanpa ide kreatif, cenderung emosional menghadapi perburukan situasi.
Pengaruh yang signifikan dari efikasi diri terhadap kepuasan kerja perawat (Indrawati,
2014), Supriyadi & Faraz (2015) menyatakan seseorang yang memiliki efikasi diri yang
tinggi akan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sedangkan yang
memiliki efikasi diri yang rendah hanya bekerja seadanya yang membuat kerja menjadi
tidak maksimal.
Efikasi diri pertama kali diperkenalkan oleh Bandura Alber, seorang psikolog yang
berpengaruh dalam sejarah psikologi. Bandura menggunakan teori belajar sosial, yang
selanjutnya disebut teori kognitif sosial. Teori kognitif sosial digunakan sebagai dasar
untuk menganalisis konstruksi efikasi diri (Kadir et al., 2017). Efikasi diri menurut
Bandura (1997) dalam Indrawati (2014) dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui 4
Universitas Indonesia
40
sumber yaitu kinerja atau pengalaman masa lalu, model perilaku (mengamati orang lain
yang melakukan tindakan yang sama), persuasi dari orang lain dan keadaan fisilogis dan
emosional.
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia