Anda di halaman 1dari 23

Makalah Psikologi Industri dan Organisasi

Positive Employee Attitudes and behaviors


Worker Stress, Negative Employee attitudes and behaviors

Disusun oleh :
Erwin 1971002
Levinska Lisuryono 1971018

FAKULTAS PSIKOLOGI PRODI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
2020
BAB 1
Latar Belakang

Pengaruh positif merupakan sesuatu yang sangat penting dalam dunia kerja, karena
dunia kerja merupakan dunia yang membutuhkan kerja sama antar rekan kerja
sehingga pekerja- pekerja dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik. Dengan
mengetahui pengaruh positif maka kita dapat memberikan pengaruh yang baik
kepada rekan-rekan kerja kita. Seperti dengan pengaruh positif maka kita dapat
meningkatkan produktifitas rekan-rekan kerja kita yang sedang mengalami hambatan.
Pengaruh positif juga sangat berpengaruh terhadapt perkembangan rekan-rekan kerja
kita karena ketika kita memberikan pengaruh positif maka rekan-rekan karyawan
kita juga dapat berkembang kearah yang positif pula.

Stress merupakan sesuatu yang umum terjadi didalam dunia kerja. Banyak hal yang
dapat menyebabkan stress dalam dunia kerja, seperti ketidak cocokan terhadap
pekerja, hubungan individu terhadap anggota organisasi, dan ketika kita tidak
mengetahui pekerjaan dengan sangat baik dapat meyebabkan stres. Selain itu, stres.
Juga dapat membuat seorang pekerja menjadi memiliki efek yang buruk ke
lingkungan kerjanya. Contoh efek negatifnya adalah kekerasan dalam dunia kerja,
menggunakan narkoba dan obat-obatan. Bahkan efek negatifnya dapat berdampak
buruk pada perusahaan. Stress juga dapat diukur dengan berbagai cara yaitu berupa
tindakan fisiologis, penilaian laporan diri, Pengukuran peristiwa kehidupan yang
berpengaruh, dan pengukuran kecocokan orang dan lingkunannya.
Bab 2
Pembahasan

A. Karyawan postif sikap dan perilaku

a. Keterlibatan Karyawan

Keterlibatan karyawan adalah keadaan psikologis yang memiliki ciri ciri dengan
semangat (energi), dedikasi, dan daya serap dalam pekerjaan dan organisasi
seseorang (Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Baker, 2002). Keterlibatan
karyawan sebagai istilah "payung" untuk fokus pada sikap karyawan yang positif,
termasuk konstruksi terkait (dan lebih banyak diteliti secara menyeluruh) tentang
kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
Faktor yang bisa menimbulkan kontribusi terhadap keterlibatan karyawan adalah
menunjukkan bahwa pekerjaan yang memiliki karakteristik pekerjaan yang tinggi
lebih bermakna dan lebih mungkin melibatkan karyawan menurut Saks (2006).
Selain itu, jika karyawan merasa bahwa mereka didukung oleh atasan dan
organisasinya, mereka akan cenderung mengalami tingkat keterlibatan yang tinggi.
Terakhir, diakui dan dihargai atas pencapaiannya, dan bekerja di organisasi yang
memperlakukan orang dengan adil, semuanya berkontribusi pada keterlibatan
karyawan.

b. Kepuasan kerja

Kepuasan kerja terdiri dari perasaan dan sikap yang dimiliki seseorang tentang
pekerjaannya. Ada dua pendekatan untuk membuat konsep kepuasan kerja. Yang
pertama adalah pendekatan global, yang mempertimbangkan kepuasan kerja secara
keseluruhan. Cara memandang kepuasan kerja ini hanya menanyakan apakah
karyawan tersebut puas secara keseluruhan,menggunakan jawaban ya-tidak, skala
penilaian tunggal, atau sekelompok kecil item yang mengukur kepuasan kerja global.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan segi , yang menganggap kepuasan
kerja terdiri dari perasaan dan sikap tentang sejumlah elemen atau aspek pekerjaan
yang berbeda. Misalnya, kepuasan secara keseluruhan mungkin merupakan
gabungan dari banyak faktor: kepuasan dengan gaji, jenis pekerjaan itu sendiri,
kondisi kerja, jenis pengawasan, kebijakan dan prosedur perusahaan, hubungan
dengan rekan kerja, dan peluang untuk promosi dan kemajuan. Pendekatan faset
mempertimbangkan masing-masing aspek ini secara individual, dengan asumsi
bahwa pekerja tertentu mungkin cukup puas dengan beberapa aspek, seperti jumlah
gaji, tetapi tidak puas dengan aspek lain, seperti kualitas pengawasan dan peluang
untuk promosi.

c. Pengukuran Kepuasan Kerja


Sebagian besar instrumen yang dirancang dari pendekatan segi mengukur
kepuasan dengan hal-hal seperti gaji, kondisi kerja, dan hubungan dengan
supervisor dan rekan kerja. Namun, variabel lain seperti ekspektasi pra pekerjaan,
karakteristik kepribadian individu, dan kesesuaian antara organisasi atau pekerjaan
dan karyawan juga dapat mempengaruhi kepuasan pekerja (Ostroff, 1993a).
Kepuasan dengan pilihan karir dan kemajuan karir karyawan juga dapat
berkontribusi terhadap kepuasan kerja (Scarpello & Vandenberg, 1992). Kepuasan
kerja dapat dimoderasi oleh persepsi individu.

Hambatan utama lainnya dalam pengukuran kepuasan kerja adalah hambatan yang
sama yang dihadapi dalam pengukuran sikap apa pun — yang diperlukan
ketergantungan pada laporan diri responden. Strategi untuk mengukur kepuasan
kerja termasuk wawancara, pertemuan kelompok, dan berbagai metode survei
terstruktur, seperti skala peringkat atau kuesioner. Keuntungan yang jelas dari
menggunakan skala penilaian atau kuesioner, daripada pertemuan tatap muka,
adalah berkurangnya waktu yang diinvestasikan dalam administrasi instrumen dan
fakta bahwa anonimitas tanggapan sering dapat dipertahankan (terutama jika
sejumlah besar karyawan sedang disurvei). Anonimitas seperti itu dapat membantu
memastikan bahwa tanggapan pekerja lebih jujur daripada dalam wawancara tatap
muka. Singkatnya, apa pun jenis pengukuran yang dipilih, pemikiran dan
perencanaan yang cermat harus masuk ke dalam pengembangan dan administrasi
ukuran kepuasan kerja.

Baik MSQ dan JDI telah diteliti secara luas, dan keduanya telah menetapkan tingkat
reliabilitas dan validitas yang relatif tinggi (Kinicki, McKee-Ryan, Schriesheim, &
Carson, 2002; Smith et al., 1969, 1987; Weiss et al., 1967). Satu perbedaan nyata
antara kedua ukuran tersebut adalah jumlah aspek kepuasan kerja yang diukur: JDI
mengukur 5 aspek, MSQ menilai 20.
d. Kepuasan pekerjaan dan kinerja pekerjaan

Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa memang ada korelasi sedang antara


kepuasan kerja dan prestasi kerja (Judge, Thoreson, Bono, & Patton, 2001). Tapi
apa hubungan sebab akibatnya? Apakah kepuasan kerja menyebabkan prestasi
kerja? Satu teori awal dari hubungan kepuasan kerja-kinerja menunjukkan bahwa
mungkin sebaliknya: Kinerja kerja yang baik mengarah pada (penyebab) kepuasan
kerja! (Tapi, tentu saja, tidak sesederhana itu, karena faktor-faktor lain menengahi
hubungan tersebut.)

Teori awal ini, yang dikemukakan oleh Porter dan Lawler (1968), menjelaskan
bagaimana proses ini dapat beroperasi. Menurut mereka, kepuasan kerja dan
kinerja tidak berhubungan langsung. Sebaliknya, kinerja pekerjaan yang efektif
mengarah pada penghargaan terkait pekerjaan, seperti kenaikan gaji, promosi, atau
rasa pencapaian. Jika proses untuk menawarkan penghargaan ini dianggap adil,
menerima penghargaan ini mengarah pada kepuasan kerja dan juga kinerja yang
semakin tinggi. Ini menciptakan situasi di mana kepuasan kerja dan prestasi kerja
sebenarnya tidak bergantung satu sama lain, tetapi saling terkait karena keduanya
dipengaruhi oleh penghargaan terkait pekerjaan. Menariknya, file Model Porter-
Lawler, dibangun di atas teori ekuitas motivasi karena gagasan tentang ekuitas —
keadilan dalam masukan dan hasil terkait pekerjaan adalah pusat argumen.

Secara khusus, motivasi untuk melakukan pekerjaan dan kepuasan yang diperoleh
dari pekerjaan keduanya disebabkan oleh hubungan antara apa yang dimasukkan
seseorang ke dalam pekerjaan dan apa yang diterima dari pekerjaan dalam hal
penghargaan. Dengan kata lain, motivasi dan kepuasan kerja berasal dari hubungan
yang dianggap adil antara masukan karyawan terhadap pekerjaan dan hasil
pekerjaan.

Beberapa peneliti menekankan bahwa persepsi keadilan atau keadilan dalam


pembayaran adalah bagian terpenting dari hubungan antara kinerja dan kepuasan
kerja (Miceli, 1993). Artinya, "deprivasi relatif" (perbedaan antara ekspektasi dan
penghargaan pekerja) dan persepsi keadilan gaji dapat memediasi hubungan antara
kinerja dan kepuasan kerja, terlepas dari penghargaan aktual yang diperoleh.
Singkatnya, kepuasan kerja dan prestasi kerja adalah hasil kerja yang penting tetapi
kompleks. Terdapat beberapa bukti bahwa kedua variabel ini saling terkait, tetapi
hubungannya tidak selalu langsung, dipengaruhi oleh berbagai variabel lain, seperti
penghargaan terkait pekerjaan, kompleksitas pekerjaan, perasaan setara dan
keadilan, dan faktor lainnya.
e. Komitmen Organisasional

Komitmen organisasi, juga disebut sebagai loyalitas perusahaan, Komitmen


organisasi mirip dengan kepuasan kerja karena keduanya melibatkan perasaan
tentang situasi kerja (dan keduanya dapat dilihat sebagai komponen konstruksi
"payung" dari keterlibatan karyawan). Namun, karena komitmen organisasi secara
khusus berhubungan dengan sikap pekerja tentang organisasi, hal itu mungkin lebih
terkait langsung dengan variabel kehadiran karyawan seperti ketidakhadiran dan
pergantian daripada kepuasan kerja. Definisi yang bagus tentang Komitmen
Organisasional adalah sikap pekerja terhadap seluruh organisasi kerja.

Ukuran komitmen organisasi yang paling banyak digunakan adalah instrumen


laporan diri 15 item yang disebut Organizational Commitment Questionnaire (OCQ),.
Model lain dari komitmen organisasi melihatnya terdiri dari tiga dimensi: komitmen
afektif, yang merupakan keterikatan emosional karyawan dengan organisasi;
kelanjutan komitmen, yang mengacu pada komitmen untuk melanjutkan organisasi
karena ada biaya terkait dengan keluar; dan komitmen normatif, yang seperti rasa
kewajiban atau kewajiban untuk tetap bersama perusahaan (Meyer & Allen,1997)
Skala terpisah digunakan untuk mengukur masing-masing dari tiga dimensi
komitmen ini (Meyer, Allen, & Smith, 1993). Penelitian telah menunjukkan bahwa
ukuran laporan diri komitmen organisasi seperti ini melakukan pekerjaan dengan
baik mengukur konstruk (Goffin & Gellatly, 2001).

f. Komitmen Organisasi dan kepuasan kerja


Konsep kepuasan kerja dan komitmen organisasi sangat erat kaitannya, meskipun
berbeda. Studi menunjukkan hasil yang beragam mengenai arah pengaruh antara
dua konstruksi ini. Misalnya, O'Driscoll dan rekan (1992) menemukan bahwa
kepuasan kerja dapat secara langsung mempengaruhi komitmen organisasi,
sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa komitmen organisasi mengarah pada
kepuasan kerja (Becker & Billings, 1993; Vandenberg & Lance, 1992).

Komitmen organisasi dan kepuasan kerja kemungkinan besar dipengaruhi oleh


berbagai faktor, termasuk jenis dan variasi pekerjaan, otonomi yang terlibat dalam
pekerjaan, tingkat tanggung jawab yang terkait dengan pekerjaan, kualitas
hubungan sosial di tempat kerja, kompensasi, dan peluang untuk promosi dan
kemajuan di perusahaan. Pada 1990-an dan memasuki "krisis" keuangan beberapa
tahun terakhir, banyak organisasi merasa perlu untuk mengurangi jumlah tenaga
kerja mereka dengan memberhentikan pekerja.Tindakan semacam itu, disebut
perampingan. Bagi banyak karyawan yang tersisa, perasaan komitmen organisasi
dan kepuasan kerja dapat menurun setelah perampingan, terutama jika karyawan
dekat dengan mereka yang di-PHK, atau jika mereka merasa bahwa pekerjaan
mereka sendiri mungkin dalam bahaya. Namun, penelitian menunjukkan bahwa
penjelasan dari manajemen memberikan alasan untuk PHK dan memberikan
karyawan yang tersisa rasa kendali atas situasi kerja masa depan mereka dapat
memiliki efek positif pada tenaga kerja yang tersisa (Brockner et al., 2004).

g. Sikap dan kehadiran karyawan


Variabel kehadiran karyawan seperti absensi dan pergantian karyawan dikaitkan
dengan keterlibatan karyawan, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi. Karyawan
yang terlibat, atau yang memiliki perasaan positif tentang pekerjaan dan organisasi
pekerjaan mereka, lebih kecil kemungkinannya untuk meninggalkan pekerjaan di
tempat lain daripada mereka yang tidak terlibat dan memiliki sikap negatif tentang
pekerjaan mereka. Namun, sebelum mempertimbangkan hubungan ini, kita harus
mempertimbangkan bagaimana variabel kehadiran karyawan didefinisikan dan
diukur.

h. Absensi karyawan
Absensi maupun turnover dapat dikategorikan ke dalam bentuk sukarela dan tidak
sukarela. Ketidakhadiran secara sukarela adalah ketika karyawan tidak masuk kerja
karena ingin melakukan kegiatan lain . Menelepon karena sakit selama tiga hari di
akhir pekan atau mengambil cuti untuk menjalankan tugas atau berbelanja adalah
contoh ketidakhadiran secara sukarela. Ketidak hadiran yang tidak disengaja terjadi
ketika karyawan memiliki alasan yang sah untuk absen dari pekerjaan, biasanya
karena sakit. Karena ketidakhadiran paksa tidak dapat dihindari, organisasi harus
siap menerima jumlah tertentu dari ketidakhadiran tersebut. Namun, ketidakhadiran
secara sukarela itulah yang ingin dihapuskan oleh organisasi.

Sebuah meta-analisis dari sejumlah studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan
ketidakhadiran memang berkorelasi negatif tetapi hubungan antara keduanya tidak
terlalu kuat (Scott & Taylor, 1985). Salah satu alasan mengapa hubungan ini tidak
sekuat yang dipikirkan orang berasal dari masalah dalam mengukur ketidakhadiran
yang menyebabkan ketidakhadiran sukarela dan tidak disengaja disatukan di
sebagian besar penelitian ini. Namun, penelitian ini menyimpulkan bahwa daripada
kepuasan kerja yang menyebabkan ketidakhadiran, itu benar-benar ketidakhadiran
yang menyebabkan kepuasan kerja yang lebih rendah (Tharenou, 1993). Ketidak
hadiran, karyawan mungkin cenderung untuk tidak masuk kerja terlepas dari
seberapa puas atau tidak puas mereka dengan pekerjaan mereka (Haccoun &
Jeanrie, 1995; Harrison & Martocchio, 1998). Akhirnya, meskipun konsep ketidak
hadiran mungkin tampak cukup sederhana, seperti perilaku lainnya, mungkin lebih
rumit daripada yang terlihat di permukaan.

i. Turnover Karyawan
Memecat pekerja yang tidak berkinerja pada tingkat yang diinginkan dapat
dipandang sebagai proses "penyiangan" yang positif (Mobley, 1982). Pemberhentian
sering terjadi karena alasan keuangan dan oleh karena itu kemungkinan besar
berada di luar kendali manajemen. Menariknya, beberapa peneliti mencatat bahwa
ada juga masalah dalam mengkategorikan perputaran sebagai sukarela atau tidak
sukarela karena beberapa pekerja miskin mungkin tidak dipecat tetapi mungkin
secara sukarela memilih untuk keluar dari organisasi, yang kemungkinan besar akan
senang melihat mereka pergi.

Singkatnya, saat memeriksa hubungan antara kepuasan kerja dan variabel hasil
lainnya seperti absensi dan turnover, penting untuk mempertimbangkan jenis
ketidakhadiran dan turnover yang diukur.Selain itu, hubungan sebab-akibat
seringkali tidak dapat diasumsikan. Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa hubungan itu timbal balik, dengan setiap variabel terkadang menjadi
"penyebab" dan di lain waktu menjadi "efek."

Meningkatkan Keterlibatan Karyawan, Kepuasan Kerja, dan Komitmen


Organisasi

j. Perubahan struktur pekerjaan

Tiga teknik telah digunakan untuk mencoba meningkatkan kepuasan karyawan


dengan mengubah struktur pekerjaan. Teknik pertama, rotasi pekerjaan , melibatkan
pemindahan pekerja dari satu pekerjaan khusus ke pekerjaan khusus lainnya.
Bermanfaat juga agar karyawan tidak mudah bosan Penelitian menunjukkan bahwa
rotasi kerja dapat dikaitkan dengan kepuasan kerja, serta berkontribusi pada
peningkatan gaji dan peluang untuk promosi (Campion, Cheraskin, & Stevens,
1994). Teknik berikutnya adalah Pembesaran pekerjaan adalah praktek yang
memperbolehkan pekerja untuk mengambil tugas tambahan yang bervariasi dalam
upaya untuk membuat mereka merasa bahwa mereka adalah anggota organisasi
yang lebih berharga. Teknik yang terakhir adalah Perubahan dalam struktur gaji
Menurut penelitian, persepsi keadilan dalam gaji dikaitkan dengan kepuasan kerja
yang lebih besar (Witt & Nye, 1992). Meskipun sebagian besar program kompensasi
inovatif diperkenalkan terutama dalam upaya meningkatkan kinerja kerja, banyak
perubahan juga meningkatkan tingkat kepuasan kerja.
k. Program tunjangan
Program tunjangan dapat mencakup jam kerja yang fleksibel, berbagai pilihan
perawatan kesehatan, rencana pensiun yang berbeda, pembagian keuntungan,
program pengembangan karir, program promosi kesehatan, dan penitipan anak
yang disponsori karyawan.

Penting untuk diingat bahwa biaya tunjangan karyawan meningkat dengan cepat —
dengan tunjangan yang merugikan pengusaha A.S. 30-40% dari total kompensasi
(U.S. Department of Labor, 2011). Biaya manfaat di beberapa negara Eropa bahkan
lebih tinggi. Akibatnya, organisasi sering kali mengurangi program manfaat sebagai
strategi penghematan biaya selama masa penurunan ekonomi. Namun, organisasi
harus menyadari potensi efek merusak dari pemotongan tunjangan tersebut
terhadap kepuasan kerja dan moral karyawan.

l. Perilaku Karyawan yang Positif

Meskipun pemberi kerja ingin karyawan mereka puas dan berkomitmen terhadap
organisasi, kepuasan kerja dan komitmen organisasi merupakan sikap. Apa yang
benar-benar diperhatikan oleh pemberi kerja adalah bagaimana kepuasan kerja dan
komitmen organisasi diterjemahkan ke dalam perilaku karyawan yang positif. Kami
telah mengeksplorasi hubungan antara kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan
perilaku kerja yang penting dari prestasi kerja, absensi, dan pergantian

m. Perilaku organisasi warga


Bateman dan Organ (1983) dan Brief dan Motowidlo (1986) pertama kali
mendefinisikan perilaku prososial organisasi sebagai perilaku yang
melampaui persyaratan pekerjaan tertentu. Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa pekerja memiliki motif yang berurat berakar untuk
melakukan perilaku pro-sosial (Rioux & Penner, 2001). Perilaku prososial
tidak hanya memiliki pengaruh positif pada kemampuan individu dan tim
untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi juga terdapat bukti hubungan
positif dengan kepuasan kerja (Organ, 1988; Smith, Organ, & Near, 1983).

Podsakoff dan MacKenzie (1997a) mengemukakan sejumlah alasan


mengapa OCB mungkin terkait dengan efektivitas organisasi. Mereka
termasuk yang berikut:
1. Pekerja yang membantu rekan kerja baru "mempelajari seluk-beluk"
membantu mereka untuk mempercepat proses orientasi dan
sosialisasi dan menjadi karyawan yang lebih produktif dengan lebih
cepat.
2. Karyawan yang saling membantu membutuhkan lebih sedikit
pengawasan manajerial, sehingga meluangkan waktu manajer untuk
tugas penting lainnya.
3. Karyawan yang memiliki sikap positif terhadap satu sama lain lebih
kooperatif dan menghindari konflik yang merusak dengan pekerja lain.
4. Para pekerja dengan bebas dan sukarela bertemu di luar waktu kerja
dan secara teratur berhubungan satu sama lain, meningkatkan arus
komunikasi organisasi.
5. OCB mengarah pada lingkungan kerja yang positif dan membantu
dalam perekrutan dan retensi pekerja dengan kualifikasi terbaik.
6. Para pekerja mengambil kekosongan dan "perlindungan" satu sama
lain selama absen atau saat beban kerja individu yang berat.
7. Karyawan lebih bersedia untuk mengambil tanggung jawab baru atau
mempelajari teknologi atau sistem kerja baru.

n. Pengaruh positif dan kesehatan karyawan

Suasana hati seseorang, positif atau negatif, dapat mempengaruhi semua


aspek pekerjaan). Tidak hanya keadaan emosi seseorang yang penting,
tetapi juga ada perbedaan individu yang jelas dalam disposisi terhadap
pengaruh positif atau negatif (Judge & Larsen, 2001). Inilah sebabnya,
seperti yang kita lihat di kotak Di Ujung Tajam, beberapa individu cenderung
lebih puas dalam pekerjaan daripada yang lain.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa pengaruh positif mempengaruhi


perilaku kerja melalui kepuasan kerja. Artinya, kepuasan kerja memediasi
hubungan antara pengaruh keadaan dan sifat (disposisional) dan hasil kerja
yang penting, seperti ketidakhadiran, pergantian, dan kinerja. Manajer yang
positif secara emosional menunjukkan kepuasan kerja yang lebih besar dan
memiliki kinerja kerja yang lebih baik daripada manajer yang secara
emosional negatif yang tidak puas dan cenderung berkinerja lebih buruk.
Demikian pula, pengaruh positif disposisional terkait dengan tingkat stres
yang lebih rendah (Janssen, Lam, & Huang, 2010) dan ketidakhadiran,
sedangkan pengaruh negatif terkait dengan ketidakhadiran yang lebih tinggi
dan pergantian yang lebih tinggi (Pelled & Xin, 1999)

B. Stres Pekerja, sika dan perilaku negatif Karyawan.

a. Defenisi Stres Pekerja


Menurut, Hans Selye pada tahun 1976, stress merupakan reaksi fisiologis terhadap
peristiwa lingkungan yang mengancam. Dari sudut pandang Selye, stress pekerja
hanya mengarah pada stress yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi di
lingkungan kerja.
John French dan rekan-rekannya (French, Caplan, dan harison, 1982; French,
rogers & Cobb,1974) beranggapan bahwa stress pekerja diakibatkan oleh
kurangnya “kesesuaian” antara keterampilan dan kemampuan seseorang terhadapt
tuntutan pekerjaan dalam tempat kerja. Dengan kata lain. Seorang pekerja yang
sama sekali tidak memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan tertentu akan
merasakan stress yang luar biasa, misalnya, bayangkan sesorang pekerja dengan
sedikit pengalaman komputer, dipekerjakan sebagai spesialis komunikasi, hanya
untuk mengetahui bahwa pekerjaan itu membutuhkan pengetahuan yang
menyelluruh tentang berbagai sistem jaringan komputer.
Richard Lazarus (1996; Richard Lazarus Folkman, 1984) dalam pandangan
“transaksional” tentang stress pekerja. Richard Lazarus melihat stress sebagai
akibat dari persepsi pekerja bahwa peristiwa lingkungan tertentu adalah ancaman
atau tantangan
Walaupun banyak orang yang beranggapan bahwa stress itu merupakan keadaan
yang tidak menyenangkan. Tetapi sebenarnya stress itu memiliki aspek negative
dan positif. Contohnya. Anda telah bekerja selama beberapa tahun sebagai asisten
manajer untuk sebuah perusahaan besar dan Anda dipromosikan menjadi manajer
departemen yang sudah anda inginkan dari dulu. Dengan menjadi posisi baru
tersebut muncul perasaan stress. beberapa merupakan stress negatif, seperti
berpikir bahwa harus bekerja lembur tanpa konpensasi tambahan atau diharuskan
untuk membuat presentasi yang formal secara teratur kepada rekan kerja dan
bawahan (lalu presentasi anda dikritik oleh mereka), dan kita sebagai yang
bertanggung jawab harus menerima kritik yang terjadi di setiap masalah yang terjadi
di tempat kerja kita. Tetapi hal positif yang dapat kita dapatkan sejak promosi ada
banyak seperti perasaan pencapaian, antisipasi, kebanggaan dan tantangan.
Stress Negatif ini di sebut sebagai distress dan stress positif ini disebut sebagai
eustress (Golembiewski, Munzenrider, & Stevenson, 1986; Nelson & Simmons,
2011)
Stress Negatif ini seperti saat kita mengalami masalah lalu kita seperti mengalami
tekanan atau sulit berkonsentrasi hal ini merupakan distress
Sedangkan stress positif ini merupakan saat kita mengalami masalah kita malah
menjadikan masalah tersebut menjadi sebuah hal yang bisa memperbaiki diri kita.
Seperti memotivasi diri kita atau meningkatkan performa kita dalam bekerja.

b. Sumber dari stress pekerja


Umumnya, stress dapat muncul baik dari lingkungan (stress situasional) atau dari
karakteristik pribadi individu (stress disposisional). Stress individual ini dapat terjadi
dalam semua aspek kehidupan kita. Kita mengalami stress di berbagai macam
tempat, seperti di rumah, di sekolah, dan dalam hubungan interpersonal kita. Semua
sumber stress ini dapat menumpuk dan dapat mempengaruhi situasi kerja
seseorang dan sebaliknya. Banyak peneliti stress yang menyadari hal ini dan
menekankan ketika mempelajari stress. penting untuk melihat gambaran total luas
stress individu, daripada berfokus secara sempet pada stress yang berasal dari
pekerjaan (Erickson, Nicholas, & Ritter, 2000; Frone, Russell, & Cooper, 1991).

c. Organisasi sumber dari Stress : SITUATIONAL STRESSORS

Banyak Stres pekerja disebabkan oleh stressor di lungkungan organisasi kerja.


Beberapa dari tekanan organisasi ini di sebabkan oleh tugas-tugas pekerjaan itu
sendiri dan tuntutan fisik dan psikologis dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Stres
organisasi juga dapat disebabkan oleh peran kerja dalam organisasi. Karena
organisasi itu membutuhkan sistem social karena kita harus berinteraksi dengan
banyak orang. Karena itu, stress juga dapat terjadi saat kita harus menjalin
hubungan dengan banyak orang dan mempertahankan hubungan tersebut aga
pekerja dalam organisasi dapat berjalan dengan baik.

d. Stresor dalam Tugas kerja

Bekerja berlebihan
Sumber stress tugas pekerjaan yang paling umum adalah bekerja berlebihan. Juga
dikenal sebagai role overload, yang terjadi ketika pekerjaan membutuhkan
kecepatan kerja, output atau konsentrasi yang berlebihan (Brown, Jones, & Leigh,
2005). Kelebihan beban kerja diyakini sebagai salah satu sumber stress kerja yang
paling besar.
Kurang dimanfaatkan (Underutilization)
Beban kerja yang berlebihan dapat menyebabkan stress, tetapi terlalu sedikit yang
harus dilakukan juga bisa membuat stress ( French & Caplan, 1972; Ganster,
Fusulier, & Mayes, 1986). Kurang dimanfaatkan juga dapat terjadi ketika pekerja
merasa bahwa pekerjaan tersebut tidak menggunakan pengetahuan, keterampilan,
atau kemampuan yang dimiliki oleh pekerja, atau ketika pekerjaan membosankan
dan monoton (Melamed, Ben-Avi, Luz & Green, 1995).

e. Stresor Tugas Kerja

Ambiguitas pekerjaan
Ambiguitas pekerjaan terjadi ketika aspek pekerjaan, seperti tugas dan persyaratan,
tidak diuraikan dengan jelas. Ketika pekerja tidak yakin dengan tanggung jawab dan
tugas mereka, stress dapat terjadi (Breaugh & Volihan, 1994 ; Jackson& Schuler,
1985). Penilitian menunjukkan bahwa supervisior dapat memainkan peran pentung
dalam mengurangi ketidak pastian pekerjaan bagi bawahan dengan cara
menjelaskan peran dan tugas kerja (Schaubroeck, Ganster, Slime, & Ditman, 1993).

Kurang Pengaruh ( Lack of Control)


Sumber stress lain berasal dari perasaan pekerja bahwa mereka memiliki sedikit
kendali atas lingkungan kerja dan perilaku kerja mereka sendiri. Stres akibat Kurang
Kontrol ini sangat umum dalam pekerjaan tingkat rendah atau dalam organisasi yang
sangat terstruktur. Pekerjaan yang sangat dibatasi dan digerakkan oleh aturan
sehingga karyawan tidak memiliki masukan apapun dalam keputusan atau prosedur
kerja cenderung menimbulkan stress, terutama bagi pekerja yang ingin memiliki
beberapa masukan (lihay Dwyer & Ganster, 1991 ; karasek, 1979; Theorell,
Westerlund, Alfredsson, & Oxenstierna)

Kondisi fisik pekerja


Kondisi fisik di lingkungan kerja merupakan sumber organisasi lain yang
berkontribusi terhadap stress pekerja (Frese & Zapf, 1988). Pekerjaan yang harus di
lakukan di bawah suhu ekstrim, kebisingan yang keras dan mengganggu, atau
pencahayaan atau ventilasi yang buruk bisa sangat menegangkan.
Stres Interpersonal
Salah satu sumber stress kerja terbesar berasal dari kesulitan dalam hubungan
antar pribadi dalam pekerjaan. Stres interpersonal berasal dari kesulitan dalam
mengembagkan dan memelihara hubungan dengan orang lain di lingkungan kerja.
Contohnya dua karyawan sedang dipertimbangkan untuk mendapatkan promosi
penting. Banyak tekanan yang mungkin timbul jika kedua individu diharuskan untuk
bekerja sama sementara keduanya bersaing untuk mendapatkan kehormatan yang
sama.
Gangguan
Semua bentuk pelecehan, seperti pelecehan seksual, pelecehan karena
keanggotaan grup (seperti jenis kelamin, ras, dan orientasi seksual), dan dan dipilih
oleh supervisor atau kolega yang kasar. Semuanya sangat membuat stress
(Malamut & offermann, 2001; Raver & Nishii, 2010; Tepper, Duffy, & Shaw, 2001)
penelitihan menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual lebih umum ternadj di
tempat kerja, seperti penindasan
Perubahan Organisasi
Sumber Stres organisasi yang umum adalah perubahan (Rafferty & Griffin, 2006).
Orang cenderung menjadi terbiasa dengan prosedur kerja tertentu dan struktur kerja
tertentu, dan mereka menolak perubahan, sebagian besar. Sebagian besar dari kita
suka hal-hal yang tetap stabil dan dapat diprediksi. Stabilitas seperti itu di lingkungan
kerja kita tampaknya nyaman dan meyakinkan. Oleh karena itu perubahan besar
dalam organisasi kerja cenderung menimbulkan stress (Dahl, 2011; Leiter & Harvie,
1998). Beberapa yang menyebabkan stress adalah reorganissi perusahaan, merger
satu perusahaan yang lain dan akuisisi satu organisasi dengan yang lain.

Konflik Pekerjaan - keluarga


Sumber stress yang sangat penting, yang melampaui batas-batas organisasi, adalah
konflik pekerjaan-keluarga, yang dihasilkan dari upaya untuk menyeimbangkan
tuntutan antara peran dan persyaratan kerja dan tuntutan keluarga dan kehidupan
non-kerja. Banyak perhatian yang telah dicurahkan untuk penelitian tentang konflik
pekerjaan-keluarga dan upaya untuk mencapai keseimbangan antara dunia kerja
dan dunia keluarga (Halpern & Murphy, 2005; Kossek & Lambert, 2005)
f. Individu sumber dari stress : Dispositional Stressors
Tipe Pola Perilaku A
Tipe perilaku ini contohnya adalah seseorang yang mengambil terlalu banyak
pekerjaan sehingga terlihat seperti tidak cukup waktu untuk menyelesaikan tugas
tersebut. Pola perilaku ini tandai dengan dorongan berlebihan dan daya saing, rasa
urgensi dan ketidaksabaran, dan permusuhan yang mendasari. Pola perilaku ini
sangat penting karena ada bukti penelitihan bahwa orang yang memiliki kepribadian
Tipe A sedikit lebih rentan untung memiliki penyakit jantung koroner yang
diakibatkan oleh stress. termasuk serangan jantung yang fatal, daripada orang yang
tidak memiliki pola perilaku, yang disebut Tipe Bs. Orang yang memiliki pola perilaku
ini cenderung lebih bekerja keras dari pada tipe B (Byrne & Reinhardt, 1989),
bekerja dengan baik dalam pekerjaan yang bervariasi (Lee, Earley & Hanson, 1988),
dan memiliki posisi dan gaji yang leibih tinggi daripada tipe B (Boyd, 1984) Aspek
perilaku tipe A ini secara konseptual terkait dengan orientasi pencapaian yang kuat
atau “Kecanduan kerja”
Susceptibility/Ketahanan terhadap stress
Konsep ketahanan ini dijelaskan oleh Psikolog Suzanne Kobasa (1982) yang
berpendapat bahwa tipe kepribadian yang kuat, tahan terhadap efek berbahaya dari
stress karena gaya mereka dalam menghadapi peristiwa yang membuat stress.
daripada melihat situasi stress sebagai ancaman, tipe orang yang memiliki
ketahanan malah melihatnya sebagai tantangan dan mendapatkan makna dari
pengalaman makna tersebut (Britt, Adler, & Bartone, 2001).
Efikasi diri
Efikasi diri didefenisikan sebagai keyakinan individu dalam kemampuannya untuk
terlibat dalam tindakan yang akan mengarah pada hasil yang diinginkan (Bandura,
1997). Efikasi diri berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengatasi stress.

g. Pengukuran Stres Karyawan


Tindakan Fisiologis
Salah satu strategi untuk mengukur stress difokuskan pada pengukuran tanda-tanda
fisologis dan ketegangan yang menyertai stress. ini termasuk pemantauan tekanan
darah, elektrokardiogram (EKG) untuk memantau detak jantung, atau tes darah
untuk memantau kadar hormon tertentu, seperti hormon terkait stress, kortisol, dan
kolestrol dalam aliran darah, kekurangan cara ini adalah penggunaan uji stress ini
membutuhkan personel medis yang terlatih, serta biaya untuk peralatan dan
prosedur analisis.
Penilaian Laporan diri
Penilaian dengan cara ini dilakukan dengan cara meminta orang secara langsung
untuk melaporkan stress yang mereka rasakan sendiri melalui berbagai skala
penilaian, kebanyakan penilaian laporan diri termasuk dalam salah satu dari dua
kategori utama: laporan tentang kondisi organisasi atau laporan tentang keadaan
psikologis dan fisik. Laporan tentang kondisi organisasi biasanya berisi item yang
menanyakan tentan aspek pekerjaan seperti umpan balik, identitas tugas,
ambiguitas, signifikansi tugas, variasi keterampilan dan beban kerja. Contoh, jumlah
panggilan telpon dari pengunjung yang anda lakukan sepanjang hari atau jumlah
Proyek/tugas yang anda miliki.
Pengukuran peristiwa kehidupan yang berpengaruh
Mencangkup peristiwa negatif seperti kematian pasangan atau orang yang dicintai,
perceraian, atau perpisahan, penyakit berat, dan masalah keuangan atau hokum,
serta peristiwa positif seperti pernikahan, kelahiran anak, dan liburan. Pengukuran
dengan cara ini mengamsumsikan bahwa peristiwa tersebut dapat menyebabkan
penyakit terkait stress dan dapat mengganggu kinerja pekerjaan.
Pengukuran kecocokan orang dengan lingkungan
Pengukuran ini melibatkan pengukuran beberapa karakteristik pekerja, seperti
keterampilan atau kemampuan pekerja, dan menilai lingkungan kerja serta tuntutan
pekerjaan. Perbedaan antara dua set ukuran ini kemudian dihitung sebagai indeks
kesesuaian.

h. Pengaruh stress Pekerja


Dipercaya bahwa lebih dari separuh penyakit fisik berkaitan dengan stress.
beberapa penyakit yang berhubungan dengan stress yang umum adalah maag,
radang usus besar, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pernapasan,
dan sakit kepala migrain. Stress juga dapat memperlambat penyembuhan flu biasa,
flu, dan infeksi.
Stres pekerja juga dapat berdampak buruk pada kondisi psikologis karyawan.
Tingkat stress yang tinggi dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan kelelahan
kronis. Stres juga dapat berpengaruh pada alkoholisme dan penyalahgunaan
narkoba.
Tingkat stress juga sangat berpengaruh terhadap pekerjaan. Tingkat stress yang
terlalu rendah maka karyawan tidak termotivasi atau tidak tertantang untuk
melakukan pekerjaan dan tingkat stress yang terlalu tinggi menyebabkan turunnya
kinerja karyawan disebabkan karena stress yang berlebihan mengganggu proses
mental pekerja (Ellis, 2006). Jadi tingkat stress yang paling bagus adalah tingkat
stress optimal atau normal ( tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).

i. Job Burnout
Karyawan yang berhubungan dengan hal-hal seperti konflik antarpribadi yang belum
terselesaikan, kurangnya tugas dan tanggung jawab kerja yang jelas, kerja
berlebihan yang ekstrem, kurangnya penghargaan yang sesuati, atau adanya
hukuman yang tidak pantas dapat menjadi korban job burout, sebuah proses dimana
karyawan menjadi kurang berkomitmen pada pekerjaanya dan mulai mengundurkan
diri dari pekerjaan. Proses pengunduran diri dapat mencangkup, reaksi seperti
meningkatknya keterlambatan dan ketidak hadiran serta terjadi penurunan kinerja
dan kualitas kerja (Gaines & Jermier, 1983). Selain itu pekerjaan dapat meluas ke
kehidupan keluarga seseorang.
Kelelahan biasanya terjadi dalam tiga fase. Fase pertama adalah kelelahan
emosional yang disebabkan oleh tuntutan yang berlebihan terhadap pekerja. Fase
kedua adalah depersonalisasi, atau pengembangan sikap sinis dan tidak sensitive
terhadap orang (karyawan lain atau pelanggan) di tempat kerja. Fase ketiga
ditandai dengan perasaan prestasi pribadi yang rendah. Di sini para pekerja yang
kelelahan merasakan frustasi dan ketidakberdayaan. Mereka mulai percaya bahwa
upaya kerja mereka gagal membuahkan hasil yang diinginkan, dan meraka mungkin
berhenti mencoba (Jackson, Schwab, & Schuler, 1986; Lee & Ashforth, 1990)

j. Mengatasi Stres Pekerja


Strategi Coping individu
Strategi Coping individu adalah upaya yang dilakukan individu untuk mengatasi
tuntutan lingkungan dan segal konflik yang muncul, mengurangi ketidaksesuaian
antara tuntutan situasi yang baik dan segala konflik yang muncul. Teknik yang paling
jelas adalah program yang dikembangkan untuk meningkatkan kondisi fisik individu,
seperti olahraga dan rencana diet. Alasan utama di balik program kesehatan
semacam itu adalah agar tubuh lebih tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh
stress. Beberapa orang menyatakan bahwa olahraga itu sendiri dapat secara
langsung mengurangi kecemasan yang terkait dengan stress, atau mungkin memiliki
efek transisi tertentu pada individu yanag stress (Jette, 1984)
Strategi coping individu mencakup berbagai teknik untuk mencoba menahan stress
kerja melalui metode kerja yang lebih baik dan lebih efisien. Kursus dalam
manajemen waktu sering diiklankan sebagai metode mengurangi stress yang
disebabkan oleh kerja berlebeihan dan inefisiensi (Schuler & Sethi, 1984; Wratcher
& Jones, 1986) .
Individu juga dapat mencoba mengatasi stress dengan melepaskan diri, untuk
sementara waktu atau selamanya, dari situasi kerja yang penuh tekanan. Tidak
jarang para pekerja menukar pekerjaan yang menimbulkan stress dengan pekerjaan
yang tidak terlalu menimbulkan stress.
Upaya kognitif untuk mengatasi stress dapat menggunakan cara restrukturisasi
kogntifi, yang memerlukan perubahan cara berpikir seseorang tentang stress
(Lazarus, 1991; Lowe & Bennett, 2003) Misalnya, dengan tidak memikirkan pikiran
negative ketika dihadapkan dengan stressor, individu berlatih untuk berpikir secara
netral atau berpikir positif . Contohnya “Ini tidak penting” menjadi ini benar-benar
sebuah tantangan”

Strategi coping organisasi


Strategi coping organisasi adalah langkah-langkah yang dapat diambil organisasi
untuk mencoba mengurangi tingkat stress dalam organisasi untuk semua, atau
sebagian besar karyawan (Burke, 1993). Karena stress kerja dapat berasal dari
berbagai sumber organisasi, ada banyak hal yang dapat dilakukan organisasi untuk
mengurangi stress situasional di tempat kerja. Strategi tersebut meliputi.
1. Meningkatkan kecocokan karyawan dengan pekerjaannya
Kita sudah sering melihat stress kerja itu ketika pekerja berada dalam pekerjaan
yang tidak mereka sukai atau pekerjaan yang tidak cocok untuk mereka (Prancis &
Caplan, 1972,). Ketidak sesuaian antara minat atau keterampilan pekerja dan
persyaratan pekerjaan bisa sangat membuat stress. Dengan memaksimal kan
kesesuaian orang dengan pekerjaan melalui penyarikan, pemilihan, dan
penempatan karyawan yang cermat, organisasi dapat mengurangi sebagian besar
stress ini
2. Tingkatkan Program pelatihan dan orientasi karyawan
Kelompok pekerja di organisasi manapun pasti akan terdapat karyawan baru.
Meskipun karyawan baru biasanya sangat termotivasi dan ingin memberi kesan
yang baik kepada atasan mereka dengan menunjukkan bahwa mereka pekerja
keras dan kompeten, kurangnya pengetahuan membuat karyawan baru merasa
sangat stress hanya karena mereka berada di lingkungan yang baru dan asing di
mana ada banyak informasi penting yang harus dipelajari. Perusahaan dapat
membantu karyawan baru untuk menghilangkan sebabgian dari stress ini dengan
memastikan bahwa karyawan baru menerima pelatihan kerja yang tepat. Hal ini
akan dapat menghasilkan tenaga kerja baru yang lebih mampu dan produktif
3. Tingkatkan rasa kendali karyawan
Program seperti pengayaan pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, dan
sistem pendelegasian wewenang semuanya membantu untuk meningkatkan rasa
kendali karyawan atas pekerjaan dan lingkungan kerja mereka
4. Hilangkan manajemen hukuman
organisasi mengambil langkah untuk menghapus kebijakan perusahaan yang
dianggap mengancam atau menghukm, maka sumber utama stress kerja juga akan
dihilangkan. Melatih supervisor untuk meminimalkan penggunaan hukuman sebagai
teknik manajerial juga akan membantu mengendalikan sumber stress yang umum ini
5. Hapus kondisi kerja yang penuh resiko atau berbahaya
Beberapa pekerjaan, stress hasil dari paparan kondisi kerja yang berbahaya, seperti
bahaya mekanis kehilangan anggota tubuh atau nyawa, bahan kimia yang
membahayakan kesehatan, kelelahan yang berlebihan, atau suhu yang ekstrim.
Penghapusan atau pengurangan kondisi ini dapat mengatasi stres organisasi
6. Menyediakan lingkungan kerja yang saling mendukung dan berorientasi tim
Ada banyak penelitian bahwa memiliki lingkungan yang suportif, orang dapat
membantu menghadapi situasi kerja yang membuat stress dan dapat membantu
mengurangi stress pekerjaan ( Fenlason & Beehr, 1994; Rumah, 1981; Lim, 1996).
Semakin banyak organisasi yang dapat membina hubungan yang baik antara rekan
dan tim kerja yang terintegrasi dan sangat berfungsi, maka semakin besar
kemungkinan para pekerja akan memberikan dukungan satu sama lain pada saat
stress (Heaney, Price & Rafferty, 1995; Under, 1996)
7. Tingkatkan komunikasi
Banyak stress di tempat kerja yang berasal dari kesulitan dalam hubungan
interpersonal dengan supervisior dan rekan kerja. Semakin baik komunikasi antar
pekerja, semakin rendah pula stress yang ditimbulkan karena kesalahpahaman.
Selain itu. Stress terjadi ketika pekerja tidak memiliki informasi tentang proses dan
operasi organisasi.

k. Sikap dan Perilaku negatif karyawan


counterproductive work behaviors (CWBs), merupakan sebuah perilaku negatif yang
berbaya bagi organisasi dan pekerjaanya menurut (Robinson, 2000; Spector & Fox,
2005) perilaku kerja yang counterproductive mencangkup hal hal seperti mencuri
dari pemberi kerja, vandalism, sabotase, pelecehan terhadap rekan kerja, sengaja
tidak masuk kerja, dan menggunakan narkoba atau alcohol dalam pekerjaan
Penelitian telah menunjukkan bawah CWBs dapat diakibatkan oleh stress, frustasi di
tempat kerja, atau perasaan tidak adil, menyebabkan upaya untuk membalas
dendam terhadap pemberi kerja, atau bahkan karena kecemburuan (Aquino, Tripp,
& Bies, 2001; Fox & Spector, 1997b).
Para peneliti menyarankan bahwa organisasi harus terlibat dalam program untuk
mencoba mengurangi sumber stress dan memberikan strategi untuk memberi
pekerja kendali yang lebih besar atas pekerjaan mereka. Sebagai cara untuk
mengurangi CWBs. Terdapat bukti bahwa CWB tidak hanya dimotivasi secaara
individu, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh norma dan nilai kelompok dan
organisasi. Selain itu , memastikan bahwa karyawan diperlakukan secara adil,
memberikan beban kerja yang wajar, menjelaskan pekerjaan dengan jelas, dan
memiliki supervisor yang dilatih untuk menangani perselisihan antarpribadi di antara
pekerja, adalah strategi untuk mencegah perilaku CWBs (Atwater & Elkins, 2009;
Spector, 2001)

l. Penggunaan obat dan alcohol di tempat kerja


Sebuah studi terhadap pekerja muda menemukan bahwa pekerja yang melaporkan
masalah dengan alcohol dan obat-obatan memiliki ketidakstabilan kerja yang lebih
besar dan mengurangi kepuasan kerja dibandingkan dengan rekan-rekan mereka
yang tidak menyalahgunakan narkoba (Galaif, Newcomb & Cormona, 2001). Selain
itu, studi menunjukkan terdapat siklus, bahwa pekerja yang mengalami stress berat,
seperti tuntutan pekerjaan yang berat atau stress kehilangan pekerjaan, dapat
berarlih ke alcohol dan obat-obatan (Begley, 1998; Frone, 2008; Murphy, Beaton,
Pike & Johnson, 1999).
Dalam upaya memerangi penyalahgunaan zat, banyak perusahaan telah melakukan
employe assistance programs (EAPs) program yang menawarkan konseling untuk
berbagai masalah karyawan, yang menjadi perhatian khusus adalah konseling untuk
penyalagunaan narkoba dan alcohol.
Program bantuan karyawan biasanya mengambil salah satu dari dua bentuk.
Program Eksternal adalah program di mana perusahaan membuat kontrak dengan
agen luar untuk memberikan layanan konseling bagi karyawannya. EAPs
menawarkan layanan di tempat kerja. Keuntungan dari program internal adalah
kemudahannya bagi para karyawan, meskipun biaya perawatannya mahal. Biasanya
hanya organisasi besar yang mampu membeli EAPs internal. Keuntungan utama
dari program eksternal adalah biaya yang lebih rendah dan kerahasiaan karyawan
meningkat.
BAB 3
Penutup

Kesimpulan

Keterlibatan karyawan sebagai istilah "payung" untuk fokus pada sikap karyawan
yang positif, termasuk konstruksi terkait (dan lebih banyak diteliti secara
menyeluruh) tentang kepuasan kerja dan komitmen organisasi.

Ada dua pendekatan untuk membuat konsep kepuasan kerja. Yang pertama adalah
pendeatan global, yang mempertimbangkan kepuasan kerja secara keseluruhan.
Cara memandang kepuasan kerja ini hanya menanyakan apakah karyawan tersebut
puas secara keseluruhan,menggunakan jawaban ya-tidak, skala penilaian tunggal,
atau sekelompok kecil item yang mengukur kepuasan kerja global. Pendekatan yang
kedua adalah pendekatan segi , yang menganggap kepuasan kerja terdiri dari
perasaan dan sikap tentang sejumlah elemen atau aspek pekerjaan yang berbeda.
Misalnya, kepuasan secara keseluruhan mungkin merupakan gabungan dari banyak
faktor: kepuasan dengan gaji, jenis pekerjaan itu sendiri, kondisi kerja, jenis
pengawasan, kebijakan dan prosedur perusahaan, hubungan dengan rekan kerja,
dan peluang untuk promosi dan kemajuan.

Hambatan utama lainnya dalam pengukuran kepuasan kerja adalah hambatan yang
sama yang dihadapi dalam pengukuran sikap apa pun — yang diperlukan
ketergantungan pada laporan diri responden. Strategi untuk mengukur kepuasan
kerja termasuk wawancara, pertemuan kelompok, dan berbagai metode survei
terstruktur, seperti skala peringkat atau kuesioner.

kinerja pekerjaan yang efektif mengarah pada penghargaan terkait pekerjaan,


seperti kenaikan gaji, promosi, atau rasa pencapaian. Jika proses untuk
menawarkan penghargaan ini dianggap adil, menerima penghargaan ini mengarah
pada kepuasan kerja dan juga kinerja yang semakin tinggi.

komitmen organisasi secara khusus berhubungan dengan sikap pekerja tentang


organisasi, hal itu mungkin lebih terkait langsung dengan variabel kehadiran
karyawan seperti ketidakhadiran dan pergantian daripada kepuasan kerja.

mengurangi jumlah tenaga kerja mereka dengan memberhentikan pekerja.Tindakan


semacam itu, disebut perampingan.
Stress pekerja adalah stress yang mengarah pada stress yang disebabkan oleh
peristiwa yang ada di lingkungan kerja. Stress terbagi atas 2, yaitu stress negatif
atau distress dan stress positif atau eustress.

Sumber dari stress dibedakan atas 2 yaitu yang muncul dari lingkungan (stress
situasional) dan Karakteristik pribadi individu (Stress Disposisional). Yang dapat
menyebabkan stress dalam dunia kerja adalah bekerja berlebihan dan kurang nya
pekerjaan. Stresor yang disebabkan oleh tugas kerja adalah Abiguitas pekerjaan,
kurang kontrol atau berpengaruh, Kondisi kerja fisik, Stres interpersonal, Gangguan
atau pelecehan, perubahahan organisasi, dan konflik pekerjaan-keluarga.

Cara mengatasi stres adalah dengan cara memandang sebuah masalah menjadi
sebuah tantangan sehingga kita dapat termotivasi untuk melakukan sesuatu.selain
itu kita juga dapat menggunakan strategi coping individu maupun organisasi.

Cara pengukuran stress pekerja dibagi menjadi Tindakan fisiologis, penilaian


laporan diri, pengukuran peristiwa kehidupan yang berpengaruhl dan pengukuran
kecocokan orang-lingkungan

Pengaruh yang disebabkan oleh karyawan yang mengalami stress adalah maag,
radang usus besar, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pernapasan,
dan sakit kepala migrain. Stress juga dapat memperlambat penyembuhan flu biasa,
flu, dan infeksi.

Program bantuan karyawan dibedakan menjadi dua bentuk eksternal yang berupa
penyewaan konseli dan internal yang berupa penyediaan fasilitas di dalam
lingkungan pekerjaan.
Daftar Pustaka

riggio.ronald.e. (n.d.). introduction to industrial/organizational psychology. pearson


education.

Anda mungkin juga menyukai