Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Psychological Climate

2.1.1 Definisi Psychological Climate

Istilah Psychological Climate sering digunakan untuk menunjukkan

persepsi tentang keadaan pekerjaan dalam psikologi organisasi, yaitu sikap,

kepribadian, perilaku, motivasi, pola pikir dan nilai-nilai inti dari individu dalam

mempengaruhi kinerja organisasi. Psychological Climate menurut Jones dan James

(Seniati, 2006) merupakan rangkuman deskriptif karyawan terhadap pengalaman

mereka dalam organisasi. Psychological Climate terbentuk sebagai bentuk

pengalaman seseorang atas lingkungan kerjanya.

Psychological Climate dapat didefinisikan sebagai bagaimana karyawan

menginterpretasikan dan memahami lingkungan organisasi mereka (Hassan,

Akram, dan Naz, 2012). Persepsi ini didasarkan pada pengalaman karyawan selama

berada di organisasi. Hal ini dapat dikaitkan dengan kondisi emosional individu,

ciri-ciri kepribadian dan persepsi kognitif. Persepsi ini relatif konsisten, homogen

dan stabil dari waktu ke waktu.

Psychological Climate menggambarkan iklim yang ada di perusahaan

menyebabkan karyawan menyukai pekerjaan mereka dengan sepenuh hati atau

justru dapat menimbulkan hambatan secara psikologis dengan pekerjaan mereka

Kahn (1990).

12
13

Psychological Climate menangkap makna representasi psikologis yang

dibuat oleh individu secara relatif terhadap struktur, proses, dan peristiwa yang

terjadi dalam organisasi (O'Neill dan Arend, 2008). Brown dan Leigh (1996)

mengembangkan Psychological Climate yang didasarkan pada bagaimana

karyawan memandang aspek lingkungan organisasi dan mempersepsikan

lingkungan tersebut berkaitan dengan kesejahteran individu.

Psychological Climate berdasarkan penelitian etnografi oleh Kahn (1990)

menggambarkan iklim yang ada di perusahaan yang menyebabkan karyawan

dengan sepenuh hati menyukai pekerjaan mereka atau justru pekerjaan menjadi

hambatan secara psikologis bagi mereka. Selanjutnya Brown dan Leigh, (1996)

mengatakan bahwa Psychological Climate mempengaruhi keterlibatan karyawan,

usaha karyawan dan performansi. Psychological Climate yang terbentuk di

organisasi akan mempengaruhi bagaimana karyawan menerima lingkungan kerja

sebagai sesuatu hal yang menyenangkan dan nyaman secara psikologis.

Psychological Climate akan dipersepsikan positif pada karyawan, ketika karyawan

merasa yakin bahwa kontribusi yang mereka berikan pada organisasi bermanfaat

untuk pencapaian sasaran organisasi, akan membuat karyawan lebih terlibat dalam

pekerjaannya.

Dalam penelitian ini lebih didasari pada indikator Psychological Climate

yang dikategorikan dalam enam dimensi Psychological Climate yaitu 1) adanya

dukungan dari manajemen (supportive management) apakah dianggap mendukung

dan bersifat fleksibel; 2) adanya kejelasan peran (role clarity); 3) kebebasan

mengekspresikan diri (self-expression), 4) pengakuan organisasi (recognition); 5)


14

kontribusi yang diberikan karyawan sejalan dengan sasaran perusahaan, dan 6)

pekerjaan yang menantang (challenge). Masing-masing dimensi tersebut sebagai

indikator apakah karyawan menerima lingkungan organisasi sebagai sesuatu yang

menyenangkan dan nyaman (Kahn, 1990; Brown dan Leigh,1996).

Dapat disimpulkan dari definisi yang dipaparkan di atas, psychological

climate adalah bagaimana karyawan menginterpretasikan dan memahami

lingkungan organisasi mereka terhadap pekerjaannya. Mulai dari sikap,

kepribadian, perilaku, motivasi, pola pikir dan nilai-nilai inti dari individu dalam

mempengaruhi kinerja organisasi itu sendiri, bukan hanya karena bekerja untuk

mencari uang dan dapat memotivasi para karyawan walaupun tidak diminta dapat

dengan senang hati memberikan hasil yang terbaik untuk pekerjaannya yang

tentunya hal seperti ini sangatlah berdampak positif terhadap perusahaan dimana

dengan memiliki karyawan-karyawan yang memiliki psychological climate yang

baik dengan pekerjaannya maka target target yang di tetapkan akan dengan baik

bisa dicapai.

2.1.2 Dimensi Psychological Climate

Menurut Brown dan Leigh (1996) mengemukakan bahwa Psychological

Climate terdiri dari enam dimensi, yaitu:

1. Management support (dukungan dari manajemen), yaitu dukungan yang

diberikan oleh manajemen terhadap pegawai. Dukungan manajemen

memungkinkan bawahan untuk berani mencoba metode baru tanpa takut akan

kegagalan maupun sanksi untuk mencapai tujuan. Manajemen juga


15

menumbuhkan kreativitas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

dalam pekerjaan.

2. Role clarity (kejelasan peran), yaitu kejelasan peran / tugas pegawai di tempat

kerja. Kejelasan peran merupakan ekspektasi yang jelas dan konsisten serta

norma kerja yang dapat diprediksi.

3. Contribution (kontribusi), yaitu persepsi pegawai membuat kontribusi di

tempat kerja. Kontribusi merupakan pandangan bahwa individu telah

memberikan kontribusi yang berarti, sejalan dengan organisasi.

4. Recognition (pengakuan), yaitu kebermaknaan yang dirasakan mengenai

lingkungan kerja akan meningkat jika karyawan merasa bahwa kontribusi dan

usahanya diakui dan dihargai dengan baik.

5. Self-Expression (Ekspresi diri), yaitu kebebasan pegawai dalam

mengekspresikan diri di tempat kerja. Rasa aman dalam mengekspresikan diri

secara unik melalui kreatifitas sehingga mampu menampilkan konsep diri

yang sebenarnya (Brown dan Leigh, 1996).

6. Challenge (tantangan), yaitu pegawai merasa pekerjaannya menantang.

Pekerjaan yang menantang diyakini akan mendorong anggota organisasi

untuk kontribusi lebih besar atas sumber daya fisik, kognitif maupun

emosional.

Pada penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa peneliti menggunakan

dimensi Psychological Climate yang dikemukakan oleh Brown dan Leigh (1996),

6 (enam) dimensi memiliki tindakan positif dalam bekerja. Management support

(dukungan dari manajemen), menunjukan dukungan yang diberikan oleh


16

manajemen terhadap pegawai. Role clarity (kejelasan peran), menunjukan

kejelasan peran / tugas pegawai di tempat kerja. Contribution (kontribusi),

menunjukan persepsi pegawai membuat kontribusi di tempat kerja. Recognition

(pengakuan), menunjukan kebermaknaan yang dirasakan mengenai lingkungan

kerja akan meningkat jika karyawan merasa bahwa kontribusi dan usahanya diakui

dan dihargai dengan baik. Self-Expression (Ekspresi diri), menunjukan kebebasan

pegawai dalam mengekspresikan diri di tempat kerja. Challenge (tantangan),

menunjukan bahwa pegawai merasa pekerjaannya menantang dari masing-masing

dimensi tersebut sebagai indikator apakah karyawan menerima lingkungan

organisasi sebagai sesuatu yang menyenangkan dan nyaman.

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Climate

Beberapa faktor yang mempengaruhi Psychological Climate dalam

organisasi adalah sebagai berikut :

a. Perbedaan individu. Persepsi dan penilaian pada Psychological Climate

menurut James, Luthans, Ronda, Smith, and Noel, Palmer (1990) dipengaruhi

adanya perbedaan individu pada karyawan, selain itu juga dipengaruhi adanya

perbedaan situasi (misalnya ciri-ciri lingkungan organisasi) dan adanya

pengaruh antara orang dan situasi. Adanya bias pada persepsi dan adanya

pengaruh faktor lain pada individu, sehingga pada lingkungan yang sama tetapi

pada individu yang berbeda persepsinya akan berbeda. Misalnya berdasarkan

hasil penelitian mengenai pengaruh hubungan timbal balik antara pimpinan dan

anggota menunjukkan bahwa persepsi karyawan pada organisasi bervariasi,

demikian juga pada penilaian masing - masing karyawan pada manajer yang
17

sama. Hal ini kemungkinan karena cara manajer memperlakukan bawahan

yang berbeda akan berbeda pula, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan

pada tingkat kemampuan dan kemauan bawahan dalam berkontribusi pada

organisasi, sehingga variasi pada Psychological Climate merupakan hasil dari

perbedaan gaya kepemimpinan dalam organisasi dan dari perbedaan budaya

pada organisasi (Brown dan Leigh, 1996).

b. Persepsi adanya dukungan organisasi. yaitu gambaran kesiapan organisasi

dalam memberikan penghargaan untuk meningkatkan upaya dalam bekerja,

mendapatkan kebutuhan diterima dan dipuji, dan mengembangkan keyakinan

karyawan secara global mengenai penilaian organisasi terhadap kontribusi

mereka dan perhatian pada kesejahteraan mereka. Penghargaan yang diberikan

berupa gaji, pangkat, job enrinchment, dan pengaruh kebijakan organisasi yang

akan mempengaruhi perceive support pada tingkat evaluasi karyawan pada

organisasi secara positif (Brinberg dan Castell dalam Einsenberger dan

Hutington, 1986). Berdasarkan teori organizational support ada tiga bentuk

penerimaan perlakuan yang menyenangkan yang diterima dari organisasi

(keadilan, dukungan supervisor, dan penghargaan organisasi dan kondisi

pekerjaan) akan meningkatkan persepsi adanya dukungan organisasi.

Dampak dari persepsi adanya dukungan organisasi (a) akan

meningkatkan komitmen pada organisasi, (b) mempengaruhi perasaan

karyawan dalam bereaksi terhadap pekerjaan mereka, seperti kepuasan kerja

dan suasana hati yang positif yaitu suatu kondisi perasaan yang dipengaruhi

oleh lingkungan; (c) keterlibatan dalam bekerja; (d) performansi; (e)


18

mengurangi reaksi psikosomatis dan stress terhadap adanya stressor karena ada

bantuan jika menghadapi tuntutan pekerjaan yang tinggi (f) berkurangnya

perilaku terlambat, bolos dan intensi keluar masuknya pada karyawan

(Rhoades dan Eisenberg, 2002).

c. Komunikasi dalam organisasi. Muchinsky (Oden dan Sias, 2003)

membuktikan adanya hubungan yang positif antara kepuasan komunikasi

dengan dimensi iklim yang berkaitan dengan lingkungan pergaulan antar

pribadi, aturan dan prosedur, tanggung jawab, dan identifikasi organisasi.

Maka ada hubungan yang signifikan pada responden yang mempunyai

perasaan positif mengenai komunikasi dalam organisasi juga mempunyai

perasaan positif terhadap lingkungan psikologis dalam organisasi.

Dari pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa Psychological Climate yang

baik atau postif dalam suatu perusahaan juga memiliki dampak positif kepada

aspek-aspek lainnya dalam kinerja. Faktor dari psychological climate akan

memperngaruhi kinerja kerja dari karyawan itu sendiri, adanya perbedaan individu,

persepsi terhadap dukungan organisasi, adanya faktor komunikasi dalam

organisasi. Jika dari semua faktor tersebut terpenuhi maka akan membuat karyawan

memiliki perasaan positif dalam bekerja karena telah terpenuhi kebutuhan yang

diinginkan, sedangkan perusahaan akan menerima hasil positif yaitu berupa

produktifitas karyawan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

2.1.4 Pengukuran Psychological Climate

Pada penelitian ini akan menggunakan alat ukur Psychological Climate

Quisionaire, berisi dengan 21 item pernyataan yang diambil dari model yang
19

dikembangan oleh Brown dan Leigh, (1996) yang terdiri dari Supportive

Management (5 item), Role Clarity (3 item), Contribution (4 item), Recognition (3

item), Self-Expression (4 item), Challenge (2 item) dengan skala likert 5 poin. Skala

yang digunakan adalah skala likert dari nilai 1 sampai dengan 5 (Sangat Tidak

Setuju = 1 , Tidak Setuju = 2, Ragu-Ragu = 3, Setuju = 4, Sangat Setuju = 5).

2.1.5 Implikasi Psychological Climate

Psychological Climate menurut Jones dan James (1979) ialah persepsi

yang memungkinkan seorang individu untuk menafsirkan peristiwa, memprediksi

kemungkinan hasil, dan mengukur ketepatan mereka dalam tindakan berikutnya.

Artinya, karyawan mampu memaknai seperti apa kondisi lingkungan kerjanya,

kemudian memberikan penilaian mengenai lingkungan kerjanya. Individu yang

memberi, penilaian positif terhadap lingkungan organisasi akan

mengidentifikasikan tujuan personal dengan tujuan organisasi serta berupaya lebih

keras untuk mewujudkannya, didukung Elloy (1995) atasan yang dinilai dapat

mempercayai karyawan, inovatif, adil dan dapat berperan sebagai pemersatu,

serta memberi dukungan yang positif bagi karyawan yang melakukan pekerjaan

dengan baik, berperan dalam membangun iklim yang akan meningkatkan

keterlibatan kerja (Yekty, 2006).

Penelitian Brown dan Leigh (1996) membuktikan bahwa ketika

manajemen dinilai suportif, peran kerja jelas, karyawan dalam mengekspresikan

diri secara bebas, karyawan merasa telah memberikan kontribusi yang

bermakna, dan mempersepsikan pekerjaan sebagai sesuatu yang menantang, maka


20

karyawan akan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dan mengerahkan upaya

yang lebih besar.

2.2 Psychological Capital

2.2.1 Definisi Psychological Capital

Psychological Capital berbeda dengan economic capital yang menyatakan

“apa yang kita punya, human capital yang menyatakan “apa yang kita ketahui”, dan

social capital yang menyatakan “siapa yang kita kenal” Psychological Capital

adalah suatu konsep yang melampaui konsep konsep tadi, Psychological Capital

menyatakan siapa kita dan apa yang kita bisa dalam penegertian suatu

perkembangan (Luthans, 2004; Luthans, Youssef dan Avolio, 2007).

Luthan, Youssef, dan Avolio (2007) mendefinisikan psychological capital

sebagai berikut:“an individual’s positive psychological state of development and is

characterized by: (1) having confidence (self-efficacy) to take on and put in the

necessary effort to succeed at challenging tasks, (2) making a positive attribution

(optimism) about succeeding now and in the futur, (3) persevering toward goals

and, when necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to succeed and (4)

when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even

beyond (resiliency) to attain success”. (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007: 3)

Definisi tersebut berarti suatu perkembangan psikologis yang positif pada

individu yang memiliki karakteristik: (1) memiliki kepercayaan diri untuk memilih

dan mengerahkan upaya yang diperlukan agar berhasil dalam menghadapi tugas-

tugas yang menantang (self efficacy), (2) membuat atribusi positif tentang

keberhasilan di masa kini dan mendatang (optimism), (3) tekun dalam mencapai
21

tujuan dan bila diperlukan, mengalihkan cara untuk mencapai tujuan dalam rangka

meraih keberhasilan (hope) dan (4) ketika dilanda masalah dan kesulitan, individu

dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan melampaui keadaan semula untuk

mencapai keberhasilan (resiliency). Psychological capital merupakan suatu

kapasitas positif individu yang terbarukan, saling melengkapi dan dapat saling

bersinergis. Individu dengan psychological capital yang tinggi akan menjadi

individu yang fleksibel dan adaptif untuk bertidak dengan kapasitas yang berbeda

untuk memenuhi tuntunan secara dinamis.

Menurut Luthan dan Youssef (2004) Psychological Capital adalah suatu

struktur yang terdiri dari kombinasi konsep self-efficacy, harapan, optimisme dan

resilience yang paling memenuhi kriteria perilaku organisasi positif, yang

merupakan dimensi organisasi psikologi positif, semua komponen yang merupakan

modal psikologis terbaik memenuhi kriteria perilaku organisasi positif yang positif,

unik, terukur, dapat dikembangkan dan terkait kinerja (Yildiz, 2018).

Psychological Capital akan menekankan sifat positif dan kekuatan pada

individu dan mengekspresikan sumber daya psikologis positif yang dimiliki

individu, secara positif mempengaruhi perkembangan dan kinerja individu, di sisi

lain, itu juga memberikan kontribusi kepada organisasi untuk dapat mengenali

pentingnya manusia faktor yang lebih baik dan untuk mengatasi tantangan besar

yang mungkin mereka hadapi sekarang dan di masa depan (Luthans, 2004; Simons

dan Buitendach, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological capital

merupakan psikologi positif pada individu yang memiliki karakteristik seperti


22

memiliki kepercayaan diri untuk memilih dan mengerahkan upaya yang diperlukan

agar berhasil dalam menghadapi tugas-tugas yang menantang (self efficacy),

membuat atribusi positif tentang keberhasilan di masa kini dan mendatang

(optimism), tekun dalam mencapai tujuan dan bila diperlukan, mengalihkan cara

untuk mencapai tujuan dalam rangka meraih keberhasilan (hope) dan ketika dilanda

masalah dan kesulitan, individu dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan

melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan (resiliency).

2.2.2 Dimensi Psychological Capital

Menurut Luthans, Youssef, dan Avolio (2007), dalam bukunya yang berjudul

“Psychological Capital : Developing the Human Competitive Edge” menyatakan

Psychological Capital memiliki empat dimensi yaitu self-efficacy, hope, optimism,

dan resiliency.

a. Self efficacy

Self efficacy didefinisikan sebagai keyakinan mengenai kemampuan seseorang

untuk melaksanakan tugas tertentu dalam yang diberikan (Bandura, 1997).

Misalnya, karyawan yang puas di lingkungan kerja yang beralasan (di hotel)

telah menemukan keyakinan diri untuk dapat fokus berorientasi pada tujuan

dan tugas (Karatepe dan Karadas, 2015).

b. Resilience

Resilience adalah kapasitas untuk menghadapi tekanan dengan cepat, adaptif,

dan efektif. Hal ini akan sangat dihargai di tempat kerja, karena resilience

mengacu pada kemampuan karyawan untuk menjadi fleksibel dan

berimprovisasi ketika tantangan muncul, untuk menggunakan penilaian,


23

kebijaksanaan, kontrol, dan mengambil keputusan, dan untuk mengembangkan

diri lebih lanjut melalui pelatihan, keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan

untuk meresponsituasi yang menantang (Coutu, 2002; Graham, 2013; Sutcliffe

dan Vogus, 2003).

c. Optimism

Optimism sering dikaitkan dengan pemrosesan kognitif harapan dengan

membuat atribusi positif tentang berhasil sekarang dan di masa depan (Luthans

dan Youssef, 2007). Sebuah studi tentang penjual asuransi menemukan

setengah bagian atas agen penjualan yang optimis menjual asuransi 37% lebih

banyak dari pada bagian bawah dan memiliki tingkat retensi lebih tinggi, lebih

banyak puas, dan memiliki lebih sedikit stres daripada rekan-rekan mereka

yang lebih pesimis (Schulman, 1999).

d. Hope

Hope adalah harapan akan hasil yang positif dan serangkaian kognisi yang

didasarkan pada keberhasilan: (a) agen (diarahkan oleh tekad) dan (b)

pemikiran jalur (perencanaan cara untuk mencapai tujuan) (Snyder et al.,

1991).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang memilki

Psychological Capital yang baik adalah individu yang memiliki keyakinan akan

kemampuan dirinya sendiri, ketahanan mental dalam mengahadapi masalah yang

ada, selalu optimis dan penuh harapan akan apa yang sedang terjadi dan akan

datang, sehingga invidu seperti ini akan lebih sehat secara mental dan tidak

gampang untuk stress ataupun depresi.


24

2.2.3 Pengukuran Psychological Capital

Pada awalnya tahun 2007 dibuat oleh Luthan, Youssef dan Avolio yaitu

alat ukur PCQ24, memiliki 24 item yang terdiri dari 4 komponen (HERO) yaitu

Hope, Efficacy, Resilience dan Optimism setiap komponen diwakili oleh 6 item.

Tetapi Luthan, Youssef dan Avolio (2011) merubanya menjadi PCQ12 yang

memiliki 12 item yang terdiri dari 4 komponen (HERO) setiap komponen diwakili

oleh 3 item dan telah banyak digunakan untuk penelitian.

Kemudian akhirnya pada tahun 2012 Luthan, Youssef dan Avolio merevisi

kembali alat ukur Psychological Capital menjadi Implisit Psychological Capital

Quisionaire (I-PCQ) dan masih dengan komponen (HERO) yaitu masing – masing

komponen terdiri dari 3 item. Pada I-PCQ ini total item adalah 24 tetapi 12 item

dijadikan sebagai pengecoh, dengan total 24 item dibagi menjadi 3 kondisi cerita

dan masing-masing cerita terdiri dari 8 pertanyaan dimana 4 di antaranya adalah

pertanyaan inti dan 4 lainnya adalah pertanyaan pengisi. Kelebihan I-PCQ ini, para

penulis instrumen berpendapat bahwa 12 skenario cukup untuk mencakup kedua

dimensi PsyCap dan sejauh mana situasi mungkin terjadi lebih atau kurang sulit

untuk mempertahankan perspektif positif, sementara memastikan bahwa instrumen

tidak menjadi terlalu lama, praktis untuk dikelola dalam penelitian dan praktik

(Bahaya dan Luthans, 2012; Harms dan Luthans,, 2017).

Sesuai penjabaran diatas, penelitian ini menggunakan Implisit

Psychological Capital Quisionaire, I-PCQ diadaptasi dari Luthans IPCQ berisi

dengan 3 cerita dengan 8 pertanyaan di setiap cerita terkait dengan empat

dimensinya yaitu Self Efficacy, Optimism, Resiliency and Hope. Dimana respon
25

dari jawaban ini memiliki range -3 (kebalikan dari karakter) dan +3 (sangat

mendekati karakter) dan 0 (untuk pemikiran yang tidak relevan dari karakter)

(Harms, Krasikova, dan Luthans, 2018).

2.2.4 Implikasi Psychological Capital

Beberapa penelitian empiris menunjukan bahwa adanya dampak postif dari

kehidupan pribadi seseorang diluar pekerjaannya, hal itu akan berdampak pada

kesejahteraan karyawan secara keseluruhan (Luthans, Youssef, Sweetman, dan

Harms, 2010). Penelitian lain juga membuktikan adanya hubungan yang positif

antara Psychological Capital dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan

kinerjadari para karyawan, Psychological Capital juga dianggap sebagai variabel

yang dapat mengurangi dan mencegah tingginya angka turnover, dan stress

ditempat kerja (Avey, Reichard, Luthans, dan Mhatre, 2011).

Dari beberapa pembuktian diatas dapat dilihat bahwa Psychological Capital

adalah hal yang sangat positif bagi seorang individu terutama karyawan untuk

memiliki rasa kesejahteraan yang baik didalam diri sehingga dapat meningkatkan

hal-hal yang positif terhadap perusahaan.

2.3 Employee Well-being

2.3.1 Definisi Employee Well-being

Employee well-being adalah istilah untuk “semua orang mengerti maknanya

namun tidak ada yang bisa memberikan definisi secara tepat” (Lyubomirs, 2001).

Terdapat dua perspektif filosofis utama tentang kesejahteraan, yang pertama adalah

kebahagiaan berorientasi misalnya hedonisme, pengalaman subjektif dari


26

kebahagiaan. Persepektif yang lain menyadari kekuatan potensial manusia

misalnya eudaimonism hasil dari prestasi pribadi, aktualisasi diri, atau posisi diri.

Kebanyakan penelitian terkini kesejahteraan menerima dua persprektif yang

berbeda tersebut (Zheng, Zhu, Zhao, dan Zhang, 2015).

Pada bagian ini, fokusnya adalah pada dua perspektif yang berbeda pada

well-being. Perspektif hedonis mendefinisikan well-being dalam hal kehadiran

pengaruh positif (misalnya, kebahagiaan dan kepuasan) dan adanya pengaruh

negatif (misalnya, kesedihan). Perspektif eudaimonic menyamakan well-being

dengan hidup yang baik atau bermakna. Diskusi dari perspektif hedonis berfokus

pada pendidikan dan kepuasan kerja serta hubungan kepuasan akademik dan

pekerjaan untuk kepuasan hidup. Employee well-being dapat didefinisikan sebagai

kualitas kehidupan karyawan dan status psikologis di tempat dan kesejahteraan

secara keseluruhan, kepuasan kerja, dan kelelahan emosional (Zheng, Zhu, Zhao,

dan Zhang, 2015). Employee well-being di tempat kerja dapat secara luas

digambarkan sebagai kualitas keseluruhan dari pengalaman karyawan dan fungsi di

tempat kerja (Voorde, Paauwe dan Veldhoven, 2012). Sejak teori dan studi empiris

tentang hubungan antara Human Resource Management (HRM), Employee Well-

Being, dan kinerja organisasi telah disertakan dimensi kesejahteraan karyawan yang

terkait dengan kebahagiaan, kesehatan dan hubungan (Voorde, Paauwe dan

Veldhoven, 2012).

Studi tentang asosiasi antara praktek sumber daya manusia, kesejahteraan

karyawan dan kinerja, kesejahteraan telah di konsepkan dalam berbagai cara

(Kooji, Guest, Cliton, Knight, Jansen, Dikkers, 2013). Employee well-being


27

menggunakan karyawan menjadi pertimbangan. Demikian pula, (Kooji, Guest,

Cliton, Knight, Jansen, Dikkers, 2013) mendefinisikan kesejahteraan sebagai

kualitas dari pengalaman karyawan dan berfungsi di tempat kerja yang

berhubungan dengan pekerjaan. Oleh karena itu, kesejahteraan karyawan mengacu

pada pengalaman keseluruhan karyawan atau mempengaruhi terhadap kedua

pekerjaan dan organisasi.

Baru-baru ini, dikenali kesejahteraan sosial sebagai jenis penting ketiga dari

Employee Well-Being. Perlu dicatat bahwa jenis ini sedikit berbeda dari

kebahagiaan dan kesehatan. Sedangkan dua jenis asli difokuskan pada individu,

kesejahteraan sosial difokuskan pada interaksi dan kualitas hubungan antara

karyawan atau antara karyawan dan atasan mereka atau organisasi mereka bekerja.

Sebuah perbedaan dibuat antara indeks yang mencerminkan interaksi dan hubungan

antara karyawan (misalnya kerjasama) dan indeks yang mengacu pada interaksi dan

hubungan antara karyawan dan atasan mereka atau organisasi, misalnya dukungan

organisasi, pertukaran sosial dalam suatu organisasi, dan kepercayaan organisasi

(Voorde, Paauwe dan Veldhoven, 2012).

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Employee well-

being sebagai kualitas kehidupan karyawan dan status psikologis di tempat kerja

serta kesejahteraan secara keseluruhan, kepuasan kerja, dan kelelahan emosional.

Secara historis, banyak peneliti telah menilai dari kepuasan kerja karyawan, baik

secara global maupun sebagai penjumlahan kepuasan dengan berbagai domain

pekerjaan.
28

2.3.2 Dimensi Employee Well-being

Dimensi Employee well-being menurut Zheng, Zhu, Zhao, dan Zhang (2015) :

1. Life Well-being (LWB) : Kesejahteraan hidup

Life Well-Being memiliki makna yang serupa dengan subjective well-

being. Namun Zheng, Zhu, Zhao, dan Zhang (2015) menggunakan istilah life

well-being pada penelitiannya untuk menggambarkan lebih jelas mengenai

kesejahteraan yang dimaksudkan. Life well-being dapat diartikan sebagai

persepsi individu terhadap pengalaman yang dialami semasa hidupnya (Ariati,

2010).

2. Workplace Well-being (WWB) : Kesejahteraan di tempat kerja

Banyak penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kesejahteraan secara

keseluruhan bukanlah represesntasi yang memadai tentang kesejahteraan di

tempat kerja (Zheng, Zhu, Zhao, dan Zhang, 2015). Workplace well-being

didefinisikan sebagai rasa sejahtera yang diraih oleh karyawan dari pekerjaan

yang dilakukan. Model kesejahteraan afektif oleh Warr dan Daniels (Zheng,

Zhu, Zhao, dan Zhang, 2015) membuktikan bahwa pengaruh yang terkait

dengan pekerjaan juga dapat membantu dalam memprediksi kesejahteraan

karyawan. Ditambahkan oleh Page dan Vella-Bodrick (Zheng, Zhu, Zhao, dan

Zhang, 2015) menyatakan bahwa menambahkan subjective wellbeing dan

kepuasan kerja akan melengkapi dalam mengembangkan model kesejahteraan

karyawan. Sehingga kepuasan kerja dan pengaruh yang terkait dengan

pekerjaan dapat membentuk kesejahteraan di tempat kerja / workplace well-

being. Sehingga disimpulkan bahwa workplace well-being tidak hanya


29

mencakup kepuasan kerja, namun juga turut mencakup emosi positif yang

dialami oleh individu mengenai pekerjaannya (Zheng, Zhu, Zhao, dan Zhang,

2015).

Hal tersebut dikonsepkan sebagai core affect dan juga rasa puas atas

pekerjaan (work value) baik intrinsik dan ekstrinsik (Page, 2005). Core affect

didefinisikan sebagai suatu keadaan rasa nyaman dan tidak nyaman bercampur

serta gairah (passion) yang mempengaruhi aktivitas manusia, sehingga dapat

pula diartikan sebagai perasaan individu secara umum. Russel (2003)

menambahkan core affect emosi, suasana hati, dan keadaan emosi yang dialami

seseorang yag dapat berpengaruh pada refleks, persepsi, kognisi dan perilaku

individu yang berkaitan dengan penyebab internal maupun eksternal. Dahulu

kesejahteraan di tempat kerja mengacu pada ketiadaan penyakit, sehingga

sebagian besar literature mengacu pada kesehatan fisik. Namun saat ini istilah

tersebut telah memperoleh makna yang lebih luas yang melibatkan aspek fisik,

emosional, mental, dan sosial (Simone, 2014).

Menurut Danna dan Griffin (Simone, 2014) berpendapat bahwa

kesejahteraan di tempat kerja menjadi masalah yang penting untuk beberapa

alasan. Pertama, pengalaman individu di tempat kerja, emosi pribadi atau

emosi di lingkungan sosial jelas mempengaruhi individu tersebut ketika

bekerja. Konsep kesejahteraan kerja meliputi berbagai kepuasan hidup (non-

kerja) yang dinikmati oleh individu, kepuasan kerja dengan pekerjaan yang

terkait, dan kesehatan umum. Dilanjutkan oleh Price dan Hoojberg (Simone,

2014) karyawan menghabiskan sekitar sepertiga waktunya di tempat kerja,


30

bahkan turut serta membawa pekerjaannya ketika meninggalkan tempat kerja.

Kedua, kesejahteraan dapat berpotensi memberikan pengaruh negative baik

pekerja dan organisasi. Pekerja dengan kesejahteraan yang buruk

dimungkinkan untuk kurang produktif, membuat keputusan yang berkualitas

rendah, dan secara konsisten mengurangi kontribusi keseluruhan untuk

organisasi. Ince, Jelley, dan MacKinnon (2016) manambahkan kesejahteraan

ini dapat dimisalkan seperti kesehatan yang dirasakan. Sampai saat ini, banyak

ahli mengungkapkan bahwa kelelahan, komitmen organisasi, kualitas

kehidupan kerja, stress kerja, perasaan positif seseorang terhadap diri sendiri

dalam lingkungan kerja, rendahnya tingkat depresi dan kecemasan serta

suasana hati yang positif merupakan konseptualisasi dari kesejahteraan di

tempat kerja.

3. Psychological Well Being (PWB) : Kesejahteraan psikologis

Menurut Tanujaya (2014), kesejahteraan psikologis yaitu kondisi

individu yang sejahtera dengan mengisi kehidupannya secara bermakna,

bertujuan sehingga berfungsi secara optimal dan memiliki penilaian yang

positif atas kehidupannya. Menurut Snyder (Ramadhani, Djunaedi, Sismiati

2016), seseorang dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik

bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental yang negatif saja namun

memiliki keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidupnya

dan memiliki hubungan baik dengan obyek maupun orang lain. Schultz

mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai fungsi positif individu.

Fungsi ini merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh
31

individu yang sehat. Hal terpenting untuk diperhatikan menurut Ryff

(Ramadhani, Djunaedi, Sismiati, 2016) yaitu memiliki penerimaan diri,

hubungan positif dengan orang lain, otonomi, adanya kemampuan untuk

menguasai lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup dan memiliki raas

pertumbuhan serta pengembangan diri secara berkelanjutan. Ryff (Ramadhani,

Djunaedi, Sismiati, 2016) mengoperasionalkan kesejahteraan psikologis dalam

enam dimensi, yaitu :

• Otonomi (Autonomy)

Kemampuan individu untuk menjadi unik dan berbeda. Memiliki

kemandirian serta dapat membuat keputusannya sendiri dan mampu

menghindari tekanan sosial. Dapat mengatur perilaku, melakukan

evaluasi sesuai dengan standar pribadi.

• Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Kemampuan individu untuk memilih atau membentuk lingkungan sesuai

dengan kondisi dirinya. Memiliki rasa penguasaan dan kompetensi dalam

mengatur lingkungan, mengontrol aturan-atauran kompleks dalam

aktivitas-aktivitas eksternal. Memanfaatkan kesempatan-kesempatan

yang ada di sekeliling dengan efektif serta mampu memilih atau

menciptakan hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.

• Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Menyadari potensi-potensi pribadi, terbuka terhadap pengalaman-

pengalaman baru, berubah dengna cara-cara yang merefleksikan

pengetahuan untuk pengembangan diri secara berkesinambungan.


32

• Hubungan Positif Dengan Orang Lain (Positive Relation With Others).

Memiliki hubungan yang hangat, saling mempercayai antara sesama.

Individu memiliki kemampuan untuk berempati, merasakan dan

berhubungan akrab dengan orang lain. Menunjukkan afeksi dan mampu

terlibat dalam hubungan pertemanan yang mendalam.

• Tujuan Hidup (Purpose In Life)

Individu memiliki tujuan yang spesifik dalam hidupnya. Memiliki

control atas diri pribadi, merasakan makna dari kehidupan masa lalu dan

sekarang, memegang keyakinan-keyakinan yang mengarahkan pada

tujuan dan sudut pandang dalam hidup.

• Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Sikap positif terhadap diri individu dengan mengetahui dan menerima

aspek-aspek dari diri, termasuk kualitas yang baik maupun yang buruk,

serta pandangan positif tentang kehidupan di masa lampau.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa employee well-being

memiliki tiga dimensi yaitu kepuasan atas life well-being, workplace well-being dan

psychological well-being. Life well-being merupakan persepsi individu terhadap

pengalaman yang dialami semasa hidupnya. Workplace well-being diartikan

sebagai rasa sejahtera yang diraih oleh karyawan dari pekerjaan yang dilakukan.

Sementara psychological well-being merupakan fungsi psikologis dirasakan oleh

individu mengenai penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,

adanya kemampuan untuk menguasai lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup

dan memiliki raas pertumbuhan serta pengembangan diri secara berkelanjutan.


33

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Employee Well-being

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan karyawan

menurut Ananda (2010) yaitu :

a. Gaji

Individu yang bekerja pada satu organisai tertentu di latarbelakangi oleh

berbagai macam alasan atau motif. Salah satu yang paling dominan yaitu

menjaring atau menerima imbalan. Imbalan yang diperoleh tersebut yang

akan digunakan untuk memuaskan aneka kebutuhan individu. Gaji

merupakan suatu bentuk imbalan yang penerimaannya bersifat rutin dan tetap

setiap bulan baik karyawan masuk kerja atau tidak (Ardana, Komang dan

Sriathi, 2008)

b. Insentif

Merupakan bentuk sarana motivasi, berupa sesuatu yang bersifat merangsang

atau pendorong yang sengaja diberikan kepada pekerja dengan maksud

menimbulkan semangat untuk berprestasi.

c. Bonus

Imbalan lain yang bersifat ekstrinsik berupa bonus yang berkaitan dengan

prestasi karyawan terbaru. Pemberian bonus diberikan pada prestasi-prestasi

tertentu yang mampu diraih oleh karyawan.

d. Layanan kesehatan

Bentuk lain dari imbalan yaitu adanya program layanan kesehatan terhadap

karyawan yang bekerja dalam perusahaan tersebut. Program layanan tersebut

dapat meliputi jaminan hari tua, asuransi tenaga kerja, biaya opname rumah
34

sakit, dan sebagainya. Layanan kesehatan ini dapat memberikan rasa aman

bagi karyawan.

Selain faktor-faktor tersebut, menurut Achour, Boerhannoeddin, Khan,

(2015) terdapat beberapa indikator lain di dalam kesejahteraan karyawan, yaitu :

a. Kepuasan kerja

Merupakan suatu perasaan atau emosi senang yang dihasilkan oleh

pengalaman yang dilalui dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan.

b. Konflik pekerjaan-keluarga

Didefinisikan sebagai suatu konflik yang dirasakan oleh karyawan, dimana

peran yang harus dijalani terbagi menjadi peran untuk menjalankan tugas

pekerjaan dan peran yang lakukan di dalam keluarga sehingga menimbulkan

ketimpangan.

c. Religiusitas

Merupakan sesuatu yang menghubungkan kembali antara Tuhan dengan

manusia (Indrawati, Masliha, Wulandari, 2010). Bentuk penghubungan yang

dilakukan bukan hanya dengan aktivitas yang nampak dan nyata namun juga

yang terjadi di dalam hati. Bersyukur merupakan suatu aktivitas yang

termasuk dalam aktivitas tersebut.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Employee Well-being yang

baik atau postif pada karyawan maka akan memiliki dampak positif kepada

aspek-aspek lainnya dalam kinerja. Faktor dari Employee Well-being akan

memperngaruhi kualitas kerja dari karyawan itu sendiri, seperti faktor gaji, insentif,

bonus, dan layanan kesehatan.


35

2.3.4 Pengukuran Employee Well-being

Dalam penelitian ini pengukuran kesejahteraan karyawan (employee well-

being) menggunakan skala berdasarkan konsep menurut Zheng, Zhu, Zhao, dan

Zhang (2015). Alat ukur ini mencakup 3 dimensi, yaitu : Life Well-being,

Workplace Well-being dan Psychological Well-being. Alat ukur ini terdiri dari dari

18 item yang diukur dengan menggunakan skala Likert (Sangat Tidak Setuju = 1 ,

Tidak Setuju = 2, Ragu-Ragu = 3, Setuju = 4, Sangat Setuju = 5).

2.3.5 Implikasi Employee Well-being

Tujuan dari employee well-being tidak hanya untuk kepentingan karyawan

saja, namun juga untuk kepentingan perusahaan. Kebijakan perusahaan dalam

menetapkan dan memberikan kesejahteraan kepada karyawan harus dilakukan

berdasarkan asa keadilan dan kelayakan sesuai dengan peraturan dan undang-

undang ketenagakerjaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Hasibuan

(2007), tujuan dari pemberian program yaitu : memotivasi gairah kerja, disiplin dan

produktifitas karyawan, menurunkan tingkat absensi dan turn over karyawan, untuk

meningkatkan kesetiaan dan keterikatan karyawan pada perusahaan, memberikan

ketenangan dan pemenuhan kebutuhan bagi karyawan beserta keluarganya,

meningkatkan status sosial karyawan, mengurangi kecelakaan kerja dan kerusakan

peralatan perusahaan, membantu pelaksanaan program pemerintah dalam

meningkatkan kualitas karyawan, mengefektifkan pengadaan pegawai, memelihara

kesehatan dan meningkatkan kualitas karyawan, menciptakan lingkngan dan susana

kerja yang baik serta nyaman dan membantu lancarnya pelaksanaan pekerjaan

untuk mencapai tujuan.


36

2.4 Demografi

Responden dikategorisasikan ke dalam beberapa kelompok yaitu usia, jenis

kelamin, status pernikahan, pendidikan, dan masa bekerja dengan penjelasan

sebagai berikut :

2.4.1 Usia

Dalam menentukan pengelompokan usia responden, penelitian ini

menggunakan teori perkembangan Robert J. Havighurst, dengan penjelasan

sebagai berikut:

1. Dewasa Awal (19-30 tahun)

Manusia di masa ini harus memilih pasangan, belajar untuk hidup

berdampingan dengan pasangan hidup, membangun keluarga, mengasuh

anak, mengurus rumah, memulai pekerjaan, memiliki tanggung jawab

sosial secara luas, serta menemukan social group yang menyenangkan.

Mereka yang berada pada usia 19-30 tahun memiliki ciri -ciri antara lain

seperti mulai berkeluarga, mulai bekerja, mendapat tanggungjawab

sebagai warga negara dan menemukan kelompok sosial yang cocok.

2. Dewasa Lanjut (30-60 tahun)

Manusia pada masa ini sudah mulai mendampingi remaja dan anak-anak

agar menjadi pribadi yang lebih bahagia dan bertanggung jawab,

menggapai inluensi sosial dan tanggung jawab yang lebih luas dalam

masyarakat, mencapai dan memelihara performansi yang memuaskan

dalam pekerjaan, membangun aktivitas adult leisure time, menerima dan

menyesuaikan perubahan-perubahan psikologis pada masa paruh baya,


37

dan menyesuaikan diri menjadi orangtua lanjut. Dengan ciri-ciri seperti

mendapat tanggung jawab sosial dan sebagai warga negara, membimbing

anak dan remaja untuk menjadi dewasa yang bertanggungjawab dan

menyenangkan, mengalami dan menyesuaikan diri dengan beberapa

perubahan fisik, serta menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai

orang tua yang bertambah tua.

3. Usia Lanjut (diatas 60 tahun)

Pada masa ini manusia biasanya menyesuaikan penurunan kekuatan fisik

dan kesehatan, menyesuaikan terhadap penurunan pendapatan dan

pensiun, menyiapkan kematian pasangan, membangun afiliasi yang

eksplisit terhadap salah satu kelompok manula, mengadopsi dan

mengadaptasi peranan sosial dalam cara-cara yang fleksibel, serta

membangun kepuasan fisik terhadap hidupnya. Dengan ciri-ciri seperti

menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan,

menyesuaikan diri dengan situasi pensiun dan penghasilan yang semakin

berkurang, membina hubungan dengan teman sesama usia lanjut,

melakukan pertemuan-pertemuan sosial, membangun kepuasan

kehidupan dan kesiapan menghadapi kematian

2.4.2 Jenis Kelamin

Menurut Santrock (2003), mengemukakan bahwa istilah gender dan seks

memiliki perbedaan dari segi dimensi. Istilah seks (jenis kelamin) mengacu

pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender

mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.


38

Responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 387 responden,

dimana terdiri 170 responden perempuan dan 208 responden laki-laki.

2.4.4 Status Pernikahan

Pernikahan merupakan bentuk interaksi antara manusia, ditambahkan bahwa

menikah juga didenfinisikan sebagai hubungan pria da wanita yang diakui

dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan

dan hak mengasuh anak, saling mengetahui tugas masing-masing sebagai

suami dan istri dan sebagai upacara pengakuan dan pernyataan menerima

kewajiban baru dalam tata susunan masyarakat (Hanum, 2000).

2.4.4 Pendidikan

Pendidikan adalah usaha manusiauntuk menumbuhkan dan mengembangkan

potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-

nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang

dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta

mewariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup

dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan sebagai usaha

manusia untuk melestarikan hidupnya (H. Fuad Ihsan, 2005).

2.4.5 Masa Bekerja

Dalam menentukan masa bekerja responden, peneliti menggunakan teori M.

A. Tulus (1992) yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

1. Masa kerja baru : < 6 tahun

2. Masa kerja sedang : 6-10 tahun

3. Masa kerja lama : > 10 tahun


39

Masa tersebut dihitung sejak terjadinya perjanjian kerja antara pihak

pengusaha dengan buruh/pekerja. Hal tersebut dapat disesuaikan dengan

bunyi pasal 50 UU nomor 3 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa

“hubungan terjadi karena adanya perjanjian antara pengusaha dan

pekerja/buruh”.

2.5 Penelitian Sebelumnya

Julie Menard, Luc Brunet (2010) dalam penelitiannya terdahulu yang

mengenai Employee Well-being sebagai mediator sudah pernah dilakukan,

penelitian ini dilakukan dengan judul “Authenticity and well-being in the

workplace: a mediation model”, dan pada penelitian tersebut variable yang akan

diteliti adalah Well-being in the working place, dimana didapati hasil penelitian

menunjukan bahwa kesejahteraan karyawan sangat berpengaruh terhadap

kenyamanan pada dunia kerja, ditunjukan dengan koefisien korelasi sebesar 0.601

(p < 0.05). Hal ini menunjukan bahwa semakin positif kesejahteraan karyawan

maka semakin tinggi kualitas kehidupan kerja pada karyawan.

Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang menyelidiki hubungan antara

Employee Well-Being, Psychological Capital, dan Psychological Climate sebagai

contoh penelitian Merlo and Sarros (2009) dengan judul “Leadership, climate,

psychological capital, commitment, and wellbeing in a non-profit organization”

didapati dalam penelitian tersebut memiliki korelasi yang signifikan dan positif

antara Employee Well-being dan Organization Cllimate, Psychological Capital.

Dengan nilai Employee Well-Being cukup tinggi.


40

Selanjutnya penelitian untuk Psychological Climate dan Employee Well-

being pernah dilakukan oleh Imam Aryansah dan Erika Setyanti Kusumaputri

(2014) yang berjudul “Iklim Organisasi Dan Kualitas Kehidupan Kerja Karyawan”

didapati hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang

sangat signifikan antara iklim organisasi dengan kualitas kehidupan kerja

karyawan. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini diterima, ditunjukan dengan

koefisien korelasi (Rxy) sebesar 0.696 (p < 0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa

semakin positif iklim organisasi maka semakin tinggi kualitas kehidupan kerja pada

karyawan.

Hubungan antara psychological capital dan psychological climate juga

pernah diteliti pada penelitian dengan judul “Mediation of Psychological Capital

between Organizational Climate and Organizational Citizenship Behavior”

dengan variabel penelitian adalah Psychological Capital, Organizational Climate

dan Organizational Citizenship Behavior, dengan mengikuti metode Baron dan

Kenny (dalam penelitian faisal qadeer 2014) pada penelitian ini didapati korelasi

signifikan antara psychological capital dan organizational climate (koefisien =

0,190, p <0,05). Psychological capital, merupakan konsep penting yang perlu

dibenahi. Upaya harus dilakukan pada bagian perekrut untuk merekrut kandidat

yang memiliki Psychological capital yang tinggi. Selain itu, organisasi harus

mengembangkan intervensi dan metode pelatihan lainnya untuk mengembangkan

dan memperkuat psychological capital pada karyawan. Perilaku kewarganegaraan

meskipun tidak menguntungkan organisasi, masih penting untuk kesejahteraannya

karena keberadaan perilaku kewarganegaraan itu sendiri membantu menciptakan


41

iklim yang mendukung dan yang mendorong karyawan untuk bekerja menuju masa

depan yang lebih baik. (Luthans, Norman, Avolio, Avey, 2008) menyimpulkan

bahwa psychological capital memediasi hubungan antara iklim yang mendukung

dan kinerja karyawan. Maka dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi antara

psychological capital dan psychological climate.

Kemudian pada penelitian yang berjudul “Impact of service climate and

psychological capital on employee engagement: The role of organizational

hierarchy” oleh Kang dan Busser (2018) mendapati bahwa test yang dilakukan

kepada 290 sample adanya hubungan positif dengan dua variabel lainnya yaitu

Psychological Capital dan Psychological Climate.

Penelitian Psychological Capital dan Employee Well-being diteliti oleh

Fred Luthans, Ronda M. Smith, and Noel F. Palmer (2010) dengan penelitian yang

berjudul “Impact of Positive Psychological Capital on Employee Well-Being Over

Time” dengan variabel penelitian adalah Psychological Capital dan Employee

Well-Being mendapati bahwa hubungan positif antara konstruk baik sebelum dan

sesudah intervensi. Adanya hubungan yang signifikan antara Psychological Capital

dan Employee Well-Being.

Selanjutnya penelitian terdahulu pernah di lakukan denga judul “The

antecedents and consequences of positive organizational behavior : The role of The

antecedents psychological capital for promoting employee well-being in sport

organizations”, dan pada penelitian itu variabel yang akan diteliti adalah Positive

organizational behavior in sport, Supportive organizational climate, Psychological

capital, Employee well-being, dimana didapati dari hasil penelitian menunjukkan


42

bahwa pekerjaan yang bermakna dan iklim organisasi yang mendukung

memengaruhi kesejahteraan karyawan (Employee well-being) hanya melalui

Psychological Capital individu tersebut terutama pada dimensi self efficacy dan

resilience sehingga karyawan tersebut akan lebih baik dalam menghandle

pekerjaanya sendiri. Psychological Capital sepenuhnya memediasi antara dua

prediktor dan Employee well-being. Menurut Arnold, Turner, Barling, Kelloway,

dan McKee (dalam jurnal sport management review 22, 2019). Adanya hubungan

peran Psychological Capital yang menjembatani secara substansial menjelaskan

proses di mana pekerjaan bermakna memengaruhi Psychological well-being.

Sebagai mediator penuh, Psychological Capital karyawan menghubungkan

pengaruh iklim organisasi dengan kesejahteraan psikologis.

Dengan kata lain, Psychological Capital mengisi kesenjangan dalam

kaulitas antara iklim organisasi yang mendukung dan kesejahteraan psikologis

karyawan. Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang menyelidiki hubungan antara

Psychological Capital, Psychological Climate dan Employee Well-Being.

2.6 Dinamika Penelitian

Psychological Climate dapat didefinisikan sebagai bagaimana karyawan

menginterpretasikan dan memahami lingkungan organisasi mereka (Hassan,

Akram, dan Naz, 2012). Maka dari itu perusahaan yang baik adalah perusahaan

yang memikirkan iklim atau lingkungan psikologis (Psychological Climate)

karyawannya, serta dimana para karyawannya memiliki rasa kesejahteraan yang

tinggi baik secara lingkungan atau psikologis mereka terhadap pekerjaannya atau

dalam dunia psikologi disebut dengan Psychological Climate, dimana dari beberapa
43

penelitian dapat didapati bahwa karayawan dengan lingkungan yang baik serta

kesejahteraan yang tinggi dalam pekerjaannya dapat memberikan hasil yang

maksimal terhadap perusahaan tempat karyawan itu bekerja, hal tersebut dapat

terjadi jika faktor - faktor pendukung dari Psychological climate itu tercapai,

terutama faktor pendukung Psychological climate yang berasal dari diri karyawan

itu sendiri, seperti faktor perbedaan individu dimana persepsi dan penilaian pada

Psychological Climate menurut James, Luthans, Ronda, Smith, dan Noel, Palmer

(1990) dipengaruhi adanya perbedaan individu pada karyawan, selain itu juga

dipengaruhi adanya perbedaan situasi (misalnya ciri-ciri lingkungan organisasi) dan

adanya pengaruh antara orang dan situasi.

Kemudian faktor persepsi adanya dukungan organisasi. yaitu gambaran

kesiapan organisasi dalam memberikan penghargaan untuk meningkatkan upaya

dalam bekerja, penghargaan yang diberikan berupa gaji, pangkat, job enrinchment,

dan pengaruh kebijakan organisasi yang akan mempengaruhi perceive support pada

tingkat evaluasi karyawan pada organisasi secara positif dan faktor komunikasi

dalam organisasi. Muchinsky (Oden dan Sias, 2003) membuktikan adanya

hubungan yang positif antara kepuasan komunikasi dengan dimensi iklim yang

berkaitan dengan lingkungan pergaulan antar pribadi, aturan dan prosedur,

tanggung jawab, dan identifikasi organisasi.

Seperti pada penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukan hubungan

positif dimana Employee Well-being yang menjadi mediator, pada penelitian itu

menunjukan bukti yang signifikan bahwa sumber daya pribadi dalam bentuk

Employee Well-being dapat secara positif berhubungan dengan tingkat


44

Psychological capital dan workplace well-being seseorang menurut Julie Menard,

Luc Brunet (2010).

Hal lain yang juga menarik adalah tingkat Psychological Capital seseorang

akan memiliki pengaruh terhadap Psychological Climate individu tersebut

sebagaimana menurut Luthans et al., (2008) mengemukakan bahwa psychological

capital memediasi hubungan antara iklim yang mendukung dan kinerja karyawan

sebagaiman menurut Luthan dan Youssef (2004) Psychological Capital adalah

suatu struktur yang terdiri dari kombinasi konsep self-efficacy, harapan, optimisme

dan resilience yang paling memenuhi kriteria perilaku organisasi positif, yang

merupakan dimensi organisasi psikologi positif, semua komponen yang merupakan

modal psikologis terbaik memenuhi kriteria perilaku organisasi positif yang positif,

unik, terukur, dapat dikembangkan dan terkait kinerja (Yildiz, 2018).

Dilihat dari dimensi-dimensi Psychological Capital itu sendiri adalah hal

yang sangat penting bagi seorang karyawan dimana mereka dengan terpeuhi semua

dimensi yang ada maka karyawan tersebut bisa merasa pekerjaannya akan lebih

bermakna dan berharga bagi dirinya, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh

Mayestika Karanzia (2010). Mendapati hasil yaitu pentingnya peningkatan

Psychological Capital. Danna dan Griffin (Simone, 2014) berpendapat bahwa

kesejahteraan di tempat kerja atau Employee Well-being menjadi masalah yang

penting untuk beberapa alasan. Pertama, pengalaman individu di tempat kerja,

emosi pribadi atau emosi di lingkungan sosial jelas mempengaruhi individu tersebut

ketika bekerja. Konsep kesejahteraan kerja meliputi berbagai kepuasan hidup (non-

kerja) yang dinikmati oleh individu, kepuasan kerja dengan pekerjaan yang terkait,
45

dan kesehatan umum. Serta palmer (2010) mengemukakan bahwa adanya faktor

Psychological Capital dari para karyawannya karena hal tersebut akan memberikan

dampak yang sangat positif terhadap Psychological Climate karyawan itu sendiri.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah Psychological Climate adalah hal

yang sangat penting untuk dijaga oleh perusahaan, agar para karyawan terus dapat

memberikan hasil yang maksimal sesuai atau bahkan melebihi target yang

ditetapkan oleh perusahaan, dan dalama usaha untuk menjaga atau meningkatkan

Psychological Climate para karyawan adalah dengan meningkatkan faktor-faktor

lain dari Psychological Climate tersebut yaitu Employee Well-being dan

Psychological Capital dari para karyawan dimana hal yang diharapkan jika dua

variabel itu sudah dimiliki oleh para karyawan dengan kualitas yang baik maka

akan meningkatkan pula Psychological Climate para karyawan pada perusahaan.

2.7 Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir merupakan dasar pemikiran dalam melakukan analisis

dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian diatas, variabel penelitian ini adalah

Employee Well-being, Psychological Capital dan Psychological Climate. Dalam

peranan Psychological Climate dengan Psychological Capital seseorang perlu

memiliki kepercayaan diri yang tinggi, kepercayaan diri tersebut membuat

seseorang mampu mencapai suatu keberhasilan. Motivasi membuatnya yakin

akan kemampuan yang dimilikinya serta keadaan psikologis yang positif membuat

seseorang dapat menyelesaikan setiap masalahnya dengan tenang. Dalam hal ini

kaitannya dengan kepuasan dan kesejahteraan para pegawai.


46

Penelitian yang dilakukan oleh Yekty (2006) menyatakan bahwa

Psychological Climate berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti

apabila perusahaan mampu menciptakan Psychological Climate yang baik maka

kepuasan kerja karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya akan semakin baik

pula. Setiap individu pasti menginginkan kualitas kehidupan yang layak bahkan

sangat baik. Bagaimana cara mendapatkannya bisa dengan bekerja dalam suatu

perusahaan atau membangun usaha itu sendiri. Jabatan yang tinggi juga

membuat seseorang memiliki kemampuan untuk memperbaiki hidupnya serta lebih

di pandang oleh orang lain. Perlu adanya kerjasama antara pegawai dan

pemimpinnya dalam menciptakan kepuasan tersebut. Hubungan timbal balik sangat

diperlukan dalam hal ini suatu organisasi membutuhkan karyawan yang dapat

membantunya mewujudkan harapan-harapannya dan karyawan juga

membutuhkan suatu organisasi yang dapat mendukungnya baik secara psikologis

maupun finansial.

Kemudian dalam penelitian sebelumnya yang menyelidiki hubungan antara

Employee Well-Being, Psychological Capital, dan Psychological Climate sebagai

contoh penelitian Merlo dan Sarros (2009) dengan judul “Leadership, climate,

psychological capital, commitment, and wellbeing in a non-profit organization”

didapati dalam penelitian tersebut memiliki korelasi yang signifikan dan positif

antara Employee Well-being dan Organization Cllimate, Psychological Capital.

Dengan nilai Employee Well-Being cukup tinggi

Dengan begitu adanya nilai Employee Well-Being yamg cukup tinggi

maka kinerja kerja karyawan itu sendiri akan tinggi. Pemimpin membutuhkan
47

orang-orang yang dapat mendukung keinginan serta mengembangkan

potensinya, dan begitu juga karyawan yang membutuhkan kehidupan yang layak

dan prestasi-prestasi yang baik yang ingin didapatkannya. Tetapi sikap dari

pemimpin itu harus dapat dijadikan contoh oleh para karyawannya dengan begitu

karyawan juga memiliki keyakinan bahwa ia bisa seperti figur yang dicontohnya.

Individu yang mencontoh sikap pemimpin yang baik merupakan individu yang

ingin maju, dengan begitu diperlukan ketekunan yang tinggi juga dalam bekerja,

sikap menyukai tantangan dan hal-hal baru, serta mau terlibat dalam pekerjaan yang

belum pernah dilakukan. Jadi keyakinan dan ketekunan serta kemauan dan sikap

antusias itu adalah hal utama yang dapat mempengaruhi kesejahteraan karyawan.

Jadi penting untuk seseorang memiliki keyakinan terhadap dirinya, kemauan yang

tinggi, sikap yang tekun dan antusias, jangan mengandalkan orang lain tetapi bisa

mengandalkan diri sendiri.

Psychological capital suatu keadaan dimana seseorang memiliki

kepercayaan diri untuk mencapai suatu keberhasilan. Efikasi diri yang tinggi

juga diperlukan dalam mencapai sebuah kesuksesan. Efikasi tersebut dapat

bersumber dari pengalaman dan juga keadaan emosi seseorang atau iklim

psikologis seseorang. Semakin sulit tugasnya maka keberhasilan akan membuat

efikasi semakin tinggi.

Dari dinamika penelitian yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa

dalam meningkatkan Psychological Climate pada karyawan dengan meningkatkan

salah satu faktor-faktor lain yang dipengaruhi oleh Employee Well-being dan
48

Psychological Capital. Maka dapat diajukan kerangka berfikir pada gambar 2.1

sebagai berikut :

EMPLOYEE WELL-BEING
▪ Life Well-Being
▪ Workplace Well-Being
▪ Psychological Well-Being
By Zheng, Zhu, Zao, Zhang (2015)

PSYCHOLOGICAL CAPITAL PSYCHOLOGICAL CLIMATE

▪ Self-efficacy ▪ Management Support


▪ Hope Direct ▪ Role Clarity
▪ Optimism ▪ Contribution
▪ Resilience ▪ Recognition
▪ Self-Expression
By Luthan, Youssef & Avolio (2012) ▪ Challenge
By Brown dan Leigh (1996)
Gambar 2.1 Model kerangka berpikir

2.8 Hipotesa Penelitian

H.1 Terdapat hubungan positif antara Psychological Climate dan

Employee Well-being

H.2 Terdapat hubungan positif antara Psychological Capital dan

Psychological Climate

H.3 Terdapat hubungan positif antara Psychological Capital dan

Employee Well-being.

H.4 Terdapat peran Employee Well-being sebagai mediator pada

hubungan Psychological Capital dan Psychological Climate.

Anda mungkin juga menyukai