Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
ISI
2.1 Kepuasan Kerja
2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang yang relatif. Misalnya, pernyataan
berikut: “Saya senang melakukan tugas yang beraneka” yang berbeda dari pemikiran
objektif; melalui pernyataan “pekerjaan saya rumit” dan keinginan perilaku, seperti
pernyataan “Saya sedang merencanakan untuk tidak lagi melakukan pekerjaan ini dalam tiga
bulan.” Ketiga bagian sikap itu membantu para manajer memahami reaksi pegawai terhadap
pekerjaan mereka dan memperkirakan dampaknya pada perilaku di masa datang. Menurut
Steve M. Jex (2002) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja sebagai tingkat afeksi positif
seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan, kepuasan kerja melulu berkaitan
dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan
aspek perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan
dan situasi pekerjaan.
Berdasarkan berbagai definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya yang dihasilkan oleh usahanya sendiri
(internal) dan yang didukung oleh hal-hal yang dari luar dirinya (eksternal), atas keadaan
kerja, hasil kerja, dan kerja itu sendiri. Apabila pegawai bergabung dalam suatu organisasi, ia
membawa serta seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang
menyatu membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan
seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, jadi kepuasan kerja juga
berkaitan erat dengan teori keadilan, perjanjian psikologis, dan motivasi.

2.1.2 Teori Kepuasan Kerja


1. Teori Nilai (Value Teory)
Teori ini lebih menekankan bahwa kepuasan kerja dapat diperoleh dari banyak faktor, yaitu
dengan cara efektif dalam memuaskan pekerja dengan menemukan apa yang mereka
inginkan dan apabila mungkin memberikannya. Kelemahan teori ini adalah kenyataan bahwa
kepuasan orang juga ditentukan oleh individual differences. Selain itu, tidak liniernya
hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan
dengan kenyataan.
2. Teori Keseimbangan (Equity Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Adam, yang intinya berpendapat bahwa dalam organisasi harus
ada keseimbangan. Komponen dari teori ini adalah input, outcome, comparison person,
equity in equity. Wexley dan Yukl dalam Sinambela (2012) mengemukakan bahwa
1) “Input is anything of value that an employee perceives that he contributed to his job”.
(Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja).
Misalnya, pendidikan, pengalaman, keahlian, dan usaha.
2) Outcome is anything of value the employee perceives he obtains from the job (outcome
adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai). Misalnya, upah, keuntungan
tambahan, status simbol, pengenalan kembali dan lain-lain.
3) Comparison person may be someone in the same organization, someone in a different
organization, or even the person himself in a previous job. (Comparison person adalah
seorang pegawai dalam organisasi yang sama, seseorang pegawai dalam organisasi yang
berbeda atau dirinya sendiri dalam pekerjaan sebelumnya).
3. Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Proter, yang intinya berpendapat bahwa mengukur kepuasan
dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan
kenyataan yang dirasakan oleh pegawai. Locke dalam Sinambela (2012) mengemukakan
bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dengan
apa yang diharapkan oleh pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar
daripada apa yang diharapkan maka mereka akan puas. Sebaliknya, apabila yang diperoleh
pegawai justru lebih rendah daripada yang diharapkan maka akan menyebabkan
ketidakpuasan.
4. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory)
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau tidaknya
kebutuhan pegawai. Pegawai akan merasa puas jika mereka mendapatkan apa yang
dibutuhkannya. Semakin besar kebutuhan pegawai terpenuhi maka semakin puas pula
mereka.
5. Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Group Theory)
Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan
saja, melainkan juga bergantung pada pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap
sebagai kelompok rujukan. Kelompok rujukan tersebut oleh pegawai dijadikan tolok ukur
untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, para pegawai akan merasa puas jika hasil
kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok rujukan.
6. Teori Dua Faktor
Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Hezberg. Ia menggunakan teori Abraham
Maslowsebagai acuannya. Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung
pada pemenuhan kebutuhan saja, melainkan juga bergantung pada persepsi kelompok pekerja
tentang kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja melalui dimensi yang terpisah sebagaimana
dikemukakan oleh Hezberg. Oleh sebab itu, pegawai dalam pekerjaannya dapat masuk ke
dalam berbagai kombinasi hasil yang positif yang akan membayangi kepuasan kerja yang
tinggi atau ketidakpuasan yang rendah. Kepuasan kerja seseorang berhubungan timbal balik
dengan kepuasan hidup.
2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Setidaknya terdapat enam faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja:
(1) Faktor psikologi merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan pegawai yang
meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan.
(2) Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar
sesama pegawai, dengan atasannya, maupun pegawai yang berbeda jenis pekerjaannya.
(3) Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja
dan kondisi fisik pegawai, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, dan waktu
istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi
kesehatan pegawai, umur dan sebagainya.
(4) Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan
pegawai yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan,
fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
(5) Mutu pengawasan. Kepuasan pegawai dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan
yang baik dari pimpinan dengan bawahan sehingga pegawai akan merasa bahwa dirinya
merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.
(6) Faktor hubungan antarpegawai, antara lain (a) hubungan antara manager dengan pegawai,
(b) faktor fisik dan kondisi kerja, (c) hubungan sosial di antara pegawai, (d) sugesti dari
teman sekerja, dan (e) emosi dan situasi kerja.

2.1.4 Penyebab Kepuasan Kerja


Terdapat banyak variabel yang menyebabkan puas tidaknya seseorang dalam pekerjaannya.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001), terdapat lima penyebab kepuasan kerja yaitu
pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment), perbedaan (Discepancies), pencapaian nilai (Value
attaintment), keadilan (Equity), dan komponen genetik (Dispositional/genetic components).
a. Pemenuhan Kebutuhan (Need fulfillment) Dalam hal ini, kepuasan ditentukan oleh
tingkatan karakteristik pekerjaan yang memberikan kesempatan kepada individu untuk
memenuhi kebutuhannya. Hal ini terkait dengan Teori Maslow, yang mengemukakan bahwa
kebutuhan manusia pada dasarnya dapat diklasifikasikan secara berjenjang dalam lima
tingkatan.
b. Perbedaan (Discepancies) Kepuasaan menurut faktor ini merupakan sejauh mana hasil
dapat memenuhi harapan, yang mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan
yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila kenyataan lebih kecil dari yang diharapkan
tentu saja akan mengakibatkan ketidakpuasan. Sebaliknya, yang terjadi maka akan
menimbulkan kepuasan dalam bekerja.
c. Pencapaian Nilai (Value attaintment) Dalam hal ini, pencapaian nilai menunjukkan bahwa
kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja
individual yang penting. Nilai yang diharapkan satu orang dengan orang lain pasti berbeda
baik kuantitas maupun kualitas dari nilai tersebut.
d. Keadilan (Equity) Keadilan berkontribusi signifikan terhadap kepuasan kerja. Kepuasan
merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan ditempat kerja. Sulitnya adalah
menyamakan persepsi satu dengan yang lain tentang kriteria dan urutan keadilan tersebut,
mengingat kadar keadilan dimaksud adalah hal yang persepsional. Setidaknya tercermin
bahwa yang berkontribusi lebih besar adalah wajar memperoleh nilai yang lebih besar pula.
e. Komponen Genetik (Dispositional/genetic components) Kepuasan dalam hal ini didasarkan
pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor
genetik. Indikator yang dijadikan acuan untuk melihat kepuasan kerja ini dihubungkan
dengan lingkungan kerja baik internal (terkait dengan fasilitas, rekan sekerja dan lain-lain)
maupun eksternal.

2.1.5 Dampak Kepuasan Kerja Pada Kinerja Pegawai


1. Kepuasan Kerja dan Kinerja
Pegawai yang tidak puas boleh jadi adalah pegawai yang berproduksi tinggi, sedang, atau
rendah dan mereka akan terus cenderung meneruskan tingkat prestasi yang menimbulkan
kepuasan bagi mereka. Hubungan kepuasan dengan kinerja pegawai lebih rumit ketimbang
pernyataan sederhana bahwa “kepuasan menimbulkan kinerja”. Pendapat di atas
menunjukkan bahwa tidaklah dapat digeneralisasi jika pegawai puas dalam pekerjaannya,
sudah pasti akan berkinerja tinggi. Dalam kasus tertentu ada kemungkinan sekalipun pegawai
puas, tetapi kinerjanya kurang memenuhi standar yang ditetapkan. Hal itu menandakan
bahwa kinerja pegawai tidaklah hanya dipengaruhi variabel tunggal kepuasan kerja, tetapi
kinerja pegawai dipengaruhi variabel yang sangat variatif.
Dalam hal apa pun, tingkat kepuasan kerja pegawai dapat menimbulkan komitmen lebih
besar, tetapi dapat juga hal tersebut akan menimbulkan komitmen yang lebih kecil yang
kemudian mempengaruhi upaya dan akhirnya berpengaruh pada kinerjanya. Akibatnya,
terdapatnya garis hubungan yang jelas dan berlangsung terus-menerus antara kinerja pegawai
dengan kepuasan dan upaya yang akan dilakukan oleh pegawai terkait.
2. Kepuasan Kerja dan Kemangkiran
Stephen Robbins (2003), mengemukakan bahwa dijumpai suatu hubungan yang secara
konsisten positif antara kepuasan dan kemangkiran, tetapi korelasi itu sedang saja, biasanya
koefisien korelasinya kurang dari 0,40. Sementara tentu masuk akal bahwa pegawai yang
tidak puas lebih besar kemungkinan tidak kerja, faktor-faktor lain mempunyai dampak pada
hubungan itu dan mengurangi koefisien korelasi. Organisasi yang memberikan tunjangan cuti
sakit yang longgar mendorong semua pegawai mereka, termasuk yang sangat puas untuk cuti
sakit. Misalkan, seseorang mempunyai sejumlah kepetingan yang berlainan, orang tersebut
mendapatkan bahwa kerja itu memuaskan dan masih juga membolos untuk menikmati akhir
pekan tiga hari, dan akan berlibur ke Pantai menikmati ombak jika hari-hari itu dapat dilewati
tanpa denda. Koefisien korelasi kurang dari 0,40, menunjukkan bahwa hubungan pekerja
yang tidak puas dengan kehilangan pekerjaan, pada umumnya hanya pada gradasi lemah saja.
Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan pegawai tidak terlalu mempengaruhi keluarnya
pegawai. Ketidakpuasan pegawai juga akan berakibat pada kemangkiran.
3. Kepuasan Kerja dan Keluar Masuknya Pegawai
Kepuasan juga dihubungkan secara negatif dengan keluarnya masuknya pegawai. Dalam
berbagai penelitian dijelaskan bahwa korelasi keluar masuknya (turn over) pegawai dari suatu
organisasi berkorelasi lebih kuat karena ketidakpuasan dibandingkan dengan kemangkiran.
Meskipun demikian, masih saja faktor-faktor lain, seperti kondisi pasar kerja, pengharapan
mengenai, kesempatan kerja alternatif, dan panjangnya masa kerja dalam organisasi itu
merupakan kendala yang penting pada keputusan untuk meninggalkan pekerjaan sekarang.
Pergantian pegawai cukup merugikan, terutama apabila tingkat pergantian itu dalam beberapa
bidang industri terutama elektronika mencapai 35% per tahun (Sinambela, 2012). Di samping
kerugian yang langsung dan tidak langsung bagi organisasi untuk mengganti pegawai, para
pegawai yang tetap tinggal mungkin akan merasa tidak puas karena harus berpisah dengan
rekan mereka yang bernilai dan menimbulkan gangguan terhadap pola sosial yang telah
dibina selama ini. Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan adalah
maslahat yang mungkin timbul dari keadaan itu, seperti terbukanya kesempatan yang lebih
besar untuk melakukan promosi internal dan tambahan keahlian dari pegawai yang baru
diangkat.
4. Kepuasan Kerja dan Pencurian
Selanjutnya, dampak dari ketidakpuasan yang tidak kalah pentingnya untuk memperoleh
perhatian dari pimpinan adalah “pencurian”. Terjadinya gejala pencurian memang tidaklah
hanya dipengaruhi oleh ketidakpuasan pegawai, tetapi oleh banyak faktor lain yang akan
mendorong pegawai melakukan hal tersebut. Beberapa pegawai mencuri karena mereka putus
asa atas perlakuan organisasi yang dipandang tidak adil. Menurut pegawai, tindakan itu dapat
dibenarkan sebagai cara membalas perlakuan yang tidak adil yang mereka terima dari
pengawas atau pimpinan organisasi. Kerugian langsung sebagai akibat pencurian yang
dilakukan pegawai diperkirakan cukup besar jika mereka tidak puas, dan hampir separuh
pegawai dari yang tidak puas terlibat dalam perbuatan itu. Pengendalian yang lebih ketat dan
ancaman hukuman tidak selamanya dapat menanggulangi masalah ini karena hanya
diarahkan pada gejalanya dan bukan pada sebab yang mendasar seperti besarnya
ketidakpuasan.
5. Kepuasan Kerja dan hubungannya dengan Variabel Lain
a. Motivasi. Peningkatan motivasi memiliki potensi dalam peningkatan kepuasan kerja.
Dalam hal ini terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan
kerja. Oleh sebab itu, apabila ingin meningkatkan kepuasan kerja, salah satu yang perlu
diperhatikan adalah membangun motivasi kerja yang tinggi.
b. Pelibatan kerja. Adanya keterlibatan peran pekerja secara pribadi dalam peran kerjanya,
akan memposisikan pegawai sebagaimana seharusnya. Artinya, pegawai perlu dilibatkan
dalam berbagai aktivitas organisasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian kinerja
hingga pada evaluasi bersama. Pelibatan pegawai seperti ini, akan meningkatkan komitmen
dan partisipasi mereka pada organisasi, mengingat sejak dari perencanaan hingga evaluasi
mereka dilibatkan dan akan meningkatkan tanggung jawab mereka pada organisasi.
c. Perilaku anggota organisasi. Perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya lebih
ditentukan oleh kepemimpinan dan karakteristik lingkungan kerja daripada oleh kepribadian
pekerja. Perilaku angota di luar organisasi merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang
menjadi tugasnya.
d. Komitmen organisasional. Komitmen pegawai pada organisasi sangatlah menentukan
keberhasilan kinerja organisasi. Oleh karenanya, komitmen antara individu dengan
oraganisasi harus dikondisikan setidaknya dalam gradasi kuat dan dapat diarahkan pada
pencapaian tujuan organisasi.
e Perasaan stres. Stres akan sangat berpengaruh negatif terhadap perilaku organisasi dan
kesehatan individu. Stres berhubungan dengan kemangkiran, perputaran, dan berbagai
penyakit. Penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif yang kuat antara perasaan stres
dengan kepuasan kerja. Hal itu menunjukkan semakin stres pegawai maka akan semakin
tidak puas mereka dalam pekerjaannya.
f. Prestasi kerja. Hubungan antara kepuasan dan prestasi kerja atau kinerja masih menjadi
kontroversi, di mana ada yang menyatakan bahwa kepuasan mempengaruhi kinerja yang
lebih tinggi, sedangkan lainnya berpendapat bahwa kinerjalah yang mempengaruhi kepuasan
kerja. Hal ini menunjukkan bahwa di antara kedua variabel tersebut (kinerja dan kepuasan
kerja) diduga terdapat hubungan yang bersifat timbal balik.

2.1.6 Cara Pegawai Mengungkapkan Ketidakpuasan


Ketidakpuasan pegawai dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Misalnya, daripada berhenti,
pegawai dapat mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi, atau mengelakkan sebagian
dari tanggung jawab kerja mereka. Menurut Robbins (2003), respons didefinisikan sebagai
berikut.
1. Exit: perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu
posisi baru maupun meminta berhenti.
2. Suara (Voice): dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup
saran perbaikan, membahas problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat
buruh.
3. Kesetiaan (loyalty): pasif, tetapi optimisme menunggu membaiknya kondisi. Mencakup
berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan
manajernya untuk “melakukan hal yang tepat”.
4. Pengabaian (neglect): secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran
atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang
meningkat.
5. Kesehatan. Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan,
hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari
fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tingkat dari
kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang
satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat
yang negatif.
2.2 Disiplin Kerja
2.2.1 Pengertian Disiplin Kerja
Disiplin kerja adalah kesadaran dan kesediaan pegawai menaati semua peraturan organisasi dan
norma-norma sosial yang berlaku. Dengan demikian, disiplin kerja merupakan suatu alat yang
digunakan pimpinan untuk berkomunikasi dengan pegawai agar mereka bersedia untuk mengubah
perilaku mereka mengikuti aturan main yang ditetapkan. Kedisiplinan harus ditegakkan dalam suatu
organisasi. Artinya, tanpa dukungan disiplin kerja pegawai yang baik, sulit bagi organisasi tersebut
untuk mewujudkan tujuannya. Jadi, kedisiplinan adalah kunci keberhasilan suatu organisasi dalam
mencapai tujuannya.

Disiplin kerja adalah kemampuan kerja seseorang untuk secara teratur, tekun secara terus-menerus
dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah
ditetapkan. Pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawai suatu
organisasi diantaranya ialah (1) tujuan dan kemampuan, (2) teladan pimpinan, (3) balas jasa/gaji dan
kesejahteraan, (4) keadilan, (5) waskat (pengawasan melekat), (6) sanksi hukuman, (7) ketegasan, (8)
dan hubungan kemanusiaan.

Terdapat dua jenis bentuk disiplin kerja, yaitu disiplin preventif dan disiplin korektif.

a. Disiplin preventif
Disiplin preventif adalah suatu upaya untuk menggerakkan pegawai untuk mengikuti dan
mematuhi pedoman dan aturan kerja yang ditetapkan oleh organisasi. Disiplin preventif
bertujuan untuk menggerakkan dan mengarahkan agar pegawai bekerja berdisiplin. Cara
preventif dimaksudkan untuk pegawai dapat memelihara dirinya terhadap peraturan-
peraturan organisasi. Pimpinan organisasi bertanggung jawab untuk membangun iklim
organisasi yang mengarah pada penerapan disiplin yang preventif.
Untuk efektifnya disiplin preventif ini, manajer perlu memperhatikan.
1) Penyelarasan pegawai dengan pekerjaannya melalui seleksi, pengujian, dan prosedur-
prosedur penempatan yang efektif.
2) Mengorientasikan pegawai secara benar pada pekerjaan, dan memberikan pelatihan
yang diperlukan.
3) Menjelaskan perilaku pegawai yang tepat.
4) Memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif kepada para pegawai tentang
kinerja.
5) Mengondisikan para pegawai dapat mengutarakan masalah-masalah mereka pada
manajemen melalui teknik-teknik seperti kebijakan pintu terbuka dan pertemuan-
pertemuan kelompok antara manajemen dengan pegawai.

b. Disiplin korektif
Disiplin Korektif adalah suatu upaya penggerakan pegawai dalam menyatukan suatu
peraturan dan mengarahkannya agar tetap mematuhi berbagai peraturan sesuai dengan
pedoman yang berlaku pada organisasi. Dalam disiplin korektif, pegawai yang melanggar
disiplin akan diberikan sanksi yang bertujuan agar pegawai tersebut dapat memperbaiki diri
dan mematuhi aturan yang ditetapkan. Kita dapat membagi langkahlangkah disiplin progresif
ke dalam tiga tahapan.
1) Tahap pertama serupa dengan proses manajemen kinerja yang telah kita paparkan.
2) Tahap kedua melibatkan tindakan mengomunikasikan dan menjatuhkan konsekuensi-
konsekuensi yang ringan sifatnya.
3) Tahap ketiga menggunakan kekuasaan manajemen sepihak yang amat besar. Penerapan
disiplin dalam organisasi mengandung konsekuensi, yaitu penegakan aturan. Bagi yang
melanggar pedoman atau aturan yang ada akan memperoleh ganjaran. Konsekuensi
adalah apa pun yang terjadi sebagai akibat langsung suatu tindakan.

2.2.2 Tujuan dan Manfaat Disiplin Kerja dalam Organisasi


Tujuan utama tindakan pendisiplinan adalah memastikan bahwa perilakuperilaku pegawai konsisten
dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh organisasi. Berbagai aturan yang disusun oleh organisasi
adalah tuntunan untuk mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan. Ketika suatu aturan dilanggar,
efektivitas organisasi berkurang sampai dengan tingkat tertentu, tergantung pada kerasnya
pelanggaran. Maksud dan sasaran dari displin kerja adalah terpenuhinya beberapa tujuan seperti :

a. Tujuan umum disiplin kerja. Tujuan umum disiplin kerja adalah demi kelangsungan
perusahaan sesuai dengan motif organisasi bagi yang bersangkutan baik hari ini, maupun
hari esok.
b. Tujuan khusus disiplin kerja. Tujuan khusus antara lain:
1) untuk para pegawai menepati segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan maupun
peraturan, serta kebijakan perusahaan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, serta melaksanakan perintah manajemen;
2) dapat melaksanakan pekerjaan sebaik-baiknya, serta mampu memberikan servis yang
maksimum pada pihak tertentu yang berkepentingan dengan perusahaan sesuai dengan
bidang pekerjaan yang diberikan kepadanya;
3) dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana barang dan jasa perusahaan
dengan sebaik-baiknya;
4) dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada
perusahaan;
5) tenaga kerja mampu memperoleh tingkat produktivitas yang tinggi sesuai dengan
harapan perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai