Anda di halaman 1dari 13

PANDANGAN ISLAM TERHADAP HUKUM DAN KEHIDUPAN PERNIKAHAN

TUNAGRAHITA

MINI RISET

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam
yang diampu oleh Prof. Dr. H. Endis Firdaus M.Ag, dan Hilman Taufiq A., M.Pd.

oleh:
Kelompok 8
Dewi Nurmalsari (1706275)
Fajar Faturochman (1700879)
Witri Alifia Nur Hikmah (1701100)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
PANDANGAN ISLAM TERHADAP HUKUM DAN KEHIDUPAN PERNIKAHAN
TUNAGRAHITA

Dewi Nurmalasari, Fajar Faturochman, Witri Alifia Nur Hikmah.


Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung, 2020.
Abstrak:
Tunagrahita merupakan salah satu hambatan yang terjadi pada manusia yang mengalami
gangguan dalam fungsi intelektual dan sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Tetapi secara naluriah tunagrahita merupakan manusia yang memiliki nafsu, memiliki hak
untuk dicintai dan mencintai seseorang. Pernikahan merupakan suatu proses pengikatan
hubungan silaturahmi antara lelaki dan perempuan untuk berkeluarga dan melakukan
hubungan intim secara sah. Terdapat beberapa kasus tunagrahita yang melakukan pernikahan,
tentunya hal ini perlu memperhatikan beberapa syarat dan rukun pernikahan sehingga dapat
dikatakan sah. Dalam pernikahan akan selalu ada permasalahan yang dihadapi, tak terkecuali
bagi pernikahan tunagrahita yang tentu memerlukan penanganan khusus agar dampak dari
ketunagrahitaannya berkurang. Pernikahan bagi tunagrahita memang akan menjadi suatu hal
cukup bermasalah jika tidak ada yang membimbing. Terdapat peran baik dari pasangannya
bahkan keluarga dalam proses pembinaan keluarga tersebut.
Kata kunci: tunagrahita, pernikahan, hukum.

A. Pendahuluan
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan merupakan salah satu ketentuan Allah SWT yang umum berlaku pada
semua makhluk baik pada manusia, hewan dan tumbuhan. Allah SWT tidak mau
menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki dengan tidak
adanya aturan sama sekali (Wibisana, 2016).
Perkawinan dilakukan dengan maksud agar nafsu seksual tersalurkan
sebagaimana mestinya, perasaan kasih dan sayang antara jenis kelamin dapat
tersalurkan dengan sehat, kebutuhan laki-laki dan perempuan akan rasa aman,
memberi dan memperoleh perlindungan dan kedamaian, pembentukan generasi
mendatang, mewujudkan ketenangan jiwa, menjalankan kerjasama harmonis diantara
suami dan istri dalam membangun rumah tangga ideal dan mendidik anak, naluri
keibuan seorang perempuan dan seorang laki-laki dapat tersalurkan dengan sehat.
Tunagrahita merupakan kondisi yang ditandai oleh kemampuan intelegensi
yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan
beradaptasi terhadap tuntutan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal.
Namun terlepas dari bagaimana kondisi yang dialami oleh setiap manusia atau
individu, pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk memperoleh kebahagiaan
dalam hidupnya. Berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam yang kondusif dan
suportif serta berhak untuk melangsungkan sebuah perkawinan karena perkawinan
merupakan suatu wadah untuk menyalurkan bentuk kasih dan sayang, untuk
mendapatkan dan keturunan hidup serta untuk mencapai dari tujuan perkawinan itu
sendiri. Termasuk bagi mereka yang mengalami cacat mental.
Perkawinan yang terjadi biasanya berbagai macam diantaranya sesama
keterbelakang mental maupun yang normal dengan keterbelakangan mental yaitu laki-
laki normal menikah dengan perempuan keterbelakangan mental, kemudian laki-laki
keterbelakang mental dengan perempuan keterbalakang mental, dan juga laki-laki
keterbelakangan mental dengan perempuan yang berketerbelakangan mental juga.
Dalam kehidupan seharinya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya masih
bergantung dengan keluarga yang lainnya karena mereka rata-rata masih serumah
dengan keluarga lainnya. Berbeda dengan yang normal karena sudah mampu untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.
Dalam hal ini yang menjadi pembahasan penelitian kami yaitu mengenai
pandangan islam terhadap hukum dan kehidupan pernikahan tunagrahita dengan
berlandaskan hasil wawancara lapangan.
B. Kajian Pustaka
1. Pengertian Tunagrahita
Menurut Wardani, I.G.A.K (2007) mengemukakan bahwa tunagrahita apabila
memiliki tiga hal, yaitu hambatan fungsi kecerdasaran secara umum di bawah
rata-rata, disertai ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dan terjadi selama
periode perkembangan (sampai usia 18 tahun).
Menurut Amin, M (1995, hlm. 11) anak tunagrahita adalah mereka yang
kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata. Di samping itu mereka mengalami
keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang
cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit dan yang berbelit-belit.
Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari
atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, bukan hanya dalam satu dua
hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti mengarang,
menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung dan dalam
semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah
individu yang mempunyai kecerdasan di bawah rata-rata, mengalami kesulitan
dalam komunikasi dan sosial, terjadi pada masa perkembangan, mengalami
keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, kurang cakap
dalam hal-hal yang abstrak, serta memerlukan layanan pendidikan khusus.
2. Pengertian Pernikahan
Menurut Wibisana, W (2016, hlm. 186) istilah nikah berasal dari bahasa Arab,
ُ ‫) ن‬, ada pula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqih
yaitu ( ‫ك ح‬
dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah
Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap dibedakan antara pernikahan dan
perkawinan, akan tetapi pada dasarnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda
dalam menarik akar katanya saja
Menurut istilah ilmu fiqih. Nikah berarti suatu akad perjanjian yang
mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh
nikah atau tazwij.
Nikah menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti mazaji atau
arti hukum adalah akad yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami
istri antara seorang pria dan seorang wanita. Menurut Ramulyo, M. Idris (1996,
hlm.1) nikah artinya perkawinan, sedangkan akad artinya perjanjian. Jadi akad
nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawin antara
seorang wanita dan seorang pria membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Para Ulama Mazhab juga sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang
dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya
seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan
suka sama suka tanpa adanya akad.
3. Pandangan Islam Terhadap Hukum dan Kehidupan Pernikahan
Tunagrahita
Dalam suatu perkawinan hal yang perlu diperhatikan adalah akadnya atau ijab
qabulnya. Oleh karenanya yang menentukan sah tidaknya adalah akad. Berkenaan
dengan status hukum perkawinan tunagrahita dalam fikih munakahat mengatur
berbagai macam syarat maupun rukun dalam perkawinan.
Bagi orang yang memiliki keterbelakangan mental, perkawinan bukan semata
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja, melainkan juga merupakan untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi. Mereka pun juga memiliki hak untuk mencintai
dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, diperhatikan, dihargai
dan lain sebagainya. Sedangkan kubutuhan materi bukan menjadi landasan untuk
mencapai kebahagiaan.
Menurut Beni, A.S (200, hlm. 12) pada hakikatnya akad nikah adalah pertalian
yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami
istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Baiknya pergaulan antara
istri dan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindah kepada semua keluarga
kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi integral dalam segala urusan
sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain
itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari godaan hawa nafsunya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu serta
berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu dapat merundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak
halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Lalu, barang
siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah dia puasa, karena dengan puasa,
hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.” (Muttafaq’alih)
Mugniyah, M.J (2002, hlm. 309) para Ulama Mazhab juga sepakat bahwa
pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab
dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah
hanya sematamata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.
Secara umum agama Islam tidak pernah melarang perkawinan yang terjadi
antar penyandang cacat mental hal ini mengingat pada tujuan dasar perkawinan
yaitu sebagai sarana menyalurkan hasrat seksual dengan baik dan benar serta
sebagai lembaga preventif terjadinya kefasikan dan perzinaan. Meski demikian,
demi tercapainya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, Islam menganjurkan
adanya kematangan mental bagi mereka yang hendak menikah.
Dengan demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara
terhormat dan saling meridhai dengan Ijab Kabul. Para ulama telah sepakat bahwa
menikah itu diperintahkan Kemudian pendapat dari Jumhur Ulama memahami
perintah nikah itu adalah sunnah, yang terdapat dalam al-Quran dan sunnah
kepada hukum sunnah bukan wajib. Firman Allah yang terdapat dalam surat an-
Nisa ayat 3, berbunyi:
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, dan empat”
Ayat di atas menurut pendapat kedua ini bukanlah menunjukkan wajib, karena
dalam ayat diatas Allah mengaitkan nikah dengan kemampuan, Artinya barang
siapa yang sudah mampu menikah maka menikahlah. Sedangkan yang belum
mampu menikah, maka tidak mengapa ia tidak menikah. Oleh karena itu menikah
bukanlah wajib, melainkan sunnah.
Dalam hukum Islam disebutkan bahwa akad yang dilakukan oleh orang cacat
mental haruslah memenuhi syarat adanya ijin dari wali. Hal ini juga berarti segala
sesuatu yang nantinya terjadi dibelakang hari, menjadi tanggung jawab wali.
Dalam fikih munakahat perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan
rukunnya. Rukun nikah merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam
perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak terpenuhi pada saat berlangsung,
perkawinan tersebut dianggap batal.
Diantaranya terdapat rukun-rukun nikah yaitu adanya mempelai laki-laki
maupun perempuan. Dalam perkawinan ini mempelai laki-laki ada berbagai
bentuk perkawinan antara sama-sama yang keterbelakangan mental, kemudian
yang normal dengan berketerbelakang mental, dan sebaliknya yang
berketerbelakang mental dengan yang normal. Manusiawi ketika mereka
menginginkan suatu perkawinan.
Kemudian rukun selanjutnya adalah adanya wali, karena jika tidak ada wali
maka rukun dalam perkawinan tidak terpenuhi. Wali bertindak paling penting
karena bertanggung jawab atas mempelai yang akan dinikahkan. Apalagi dalam
kasus ini ada mempelai yang mengalami keterbelakangan mental.
Rukun selanjutnya adalah adanya saksi nikah. Saksi juga harus memahami
komunikasi maupun maksud dari calon mempelai. Karena calon mempelai
berketerbelakang mental maka saksi wajib mengetahui maksud dari ucapan
tersebut ketika ijab qabulnya.
Kemudian rukun selanjutnya sighat ijab qabul. Proses Ijab Qabul dalam
perkawinan tunagrahita memiliki perbedaan dengan perkawinan umumnya. Pada
umumnya menggunakan bahasa formal biasa yang dapat dipahami oleh semua
orang dengan kalimat kata yang lebih panjang, jika dibandingkan dengan yang
memiliki keterbelakangan hanya menggunakan isyarat.
Untuk sahnya suatu akad di syaratkan agar tidak ada larangan-larangan pada
diri wanita tersebut untuk dikawini. Artinya, boleh dilakukan akad nikah terhadap
wanita tersebut. Secara umum agama Islam tidak pernah melarang perkawinan
yang terjadi antar penyandang cacat mental hal ini mengingat pada tujuan dasar
perkawinan yaitu sebagai sarana menyalurkan hasrat seksual dengan baik dan
benar. Meski demikian, demi tercapainya keluarga sakinah, mawaddah dan
warahmah, Islam menganjurkan adanya kematangan mental bagi mereka yang
hendak menikah.
Dengan adanya kematangan mental diharapkan tidak akan timbul kemadaratan
sebagaimana tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya. Melihat karakteristik
dari tipe-tipe penyandang cacat mental, maka yang diperbolehkan untuk menikah
hanyalah penyandang tipe ringan, sementara penyandang dengan tingkatan sedang
mereka tidak mampu di didik secara akademik, namun dapat dilatih seperti halnya
belajar mengurus diri sendiri makan, memakai pakaian atau mandi sendiri, belajar
menyesuaikan diri di lingkungan rumah atau tempat sekitar, mempelajari
kegunaan ekonomi dirumah, ditempat kerja atau di lembaga khusus.
Jadi menurut kasus perkawinan tunagrahita dengan tunagrahita maupun
dengan yang normal yang ditinjau menggunakan fikih munakahat status hukum
mereka terpenuhi berdasarkan syarat maupun rukun dalam perkawinan. Walaupun
dalam segi keterbelakangan tersebut yang membedakan dengan orang pada
umumnya yang statusnya adalah normal.
Dengan adanya kontrak perjanjian ataupun akad, perkawinan adalah sah.
Namun tidak hanya berhenti dalam hal akad saja, akan tetapi setelah menikah
adalah hal yang harus dijalani. Seperti masalah mencukupi kebutuhan sehari-hari,
suami berkewajiban untuk memenuhi nafkah untuk anak dan istrinya. Baik itu
mereka yang statusnya norml maupun berketerbelakangan mental. Perlu digaris
bawahi mereka yang berketerbelakangan hanya bermasalah dalam daya tangkap
otak yang berkurang ataupun minim, sehingga berbeda dengan orang pada
umumnya. Oleh karenanya perlu bimbingan khusus bagi penyandang tunagrahita
atau yang berketerbelakang mental.
Akibat dari pernikahan berketerbelakang mental tersebut kurangnya
pemahaman mengenai tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka yang
berketerbelakangan masih perlu pelatihan untuk memperoleh penghasilan dalam
memenuhi rumah tangganya. Berbeda dengan yang pencari nafkah itu normal atau
suami tidak berketerbelakangan, mampu dan tahu atas tanggung jawab kebutuhan
rumah tangganya.
Terkait pemenuhan kebutuhan pasangan tunagrahita baik untuk menyiapkan
keperluan dan atau mengelola keuangan di serahkan kepada suami atau istri yang
berstatus normal. Sedangkan pasangan yang keduanya berstatus tunagrahita
diserahkan kepada pihak keluarga.
Jadi untuk memenuhi kebutuhan, pengelolaan keuangan dan kepengurusan
anak hasil dari perkawinan tersebut diserahkan kepada suami atau istri yang
berstatus normal serta peran dari pihak keluarga.
C. Metodologi Penelitian
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penyusun yaitu wawancara
dengan mengajukan beberapa pertanyaan - pertanyaan yang sebelumnya telah disusun
oleh penulis kepada responden. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini metode analisis deskriptif kualitatif atau lapangan, yaitu proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan dan hasil dokumentasi dalam pelaksaan pernikahan tunagrahita dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan dalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun kedalam pola, memilih yang penting dan mana yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami untuk diri sendiri
maupun orang lain (Sugiyono, 2015 hlm. 240)
D. Hasil Wawancara
1. Hukum Pernikahan Tunagrahita
Ibu Melly sebagai salah satu guru di SLB swasta di Kabupaten Sumedang ini
mengatakan bahwa pernikahan merupakan salah satu sunnah rasul yang banyak di
dambakan oleh setiap insan untuk hidup saling berpasangan, baik untuk orang
normal maupun untuk orang yang memiliki hambatan salah satunya hambatan
intelektual atau kecerdasan. Pelaksanaan perkawinan dapat dikatakan “sah”
apabila memenuhi rukun dan syarat pernikahan yaitu adanya kedua mempelai,
mahar, saksi, wali, dan ijab kabul.
Dalam penelitian ini telah di lakukan riset wawancara kepada ibu melly
terhadap subjek “E”, ia memiliki hambatan kecerdasan rendah yang berasal dari
salah satu SLB swasta di kabupaten sumedang. Subjek ini melakukan pernikahan
dengan seorang laki laki normal 5 tahun lalu. Ketika mereka bersepakat untuk
melangsungkan pernikahan, ijab kabul pun berlangsung lancar dan pernikahan
juga di katakan “sah” karena sang calon suami dapat melakukan ijab kabul dengan
baik.
Untuk kasus lain yang terjadi di SLB dikota bandung telah dilakukan
wawancara juga kepada salah satu guru di SLB dikota bandung, ibu nuri namanya
ia mengatakan bahwa telah terjadi pernikahan untuk calon penggantin istri dan
suami yang memiliki hambatan yang sama yaitu hambatan intelektual atau
kecerdasan rendah , hal ini pun sangat menjadi perhatian warga setempat. Proses
ijab kabul pun di berikan terlebih dahulu pemahaman oleh pihak KUA dan
dilakukan dulu simulasi dengan memberikan contoh terlebih dahulu kepada sang
calon laki-laki agar sang calon dapat memahami proses ijab kabul.
Dari pemaparan penelitian tentang pernikahan tunagrahita yang berasal dari
salah satu SLB swasta di Kabupaten Sumedang bahwa menurut pandangan islam,
pernikahan yang dilakukan dapat dikatakan sah karena dapat terlihat jelas bahwa
sang calon laki-laki dapat melakukan ijab kabul dengan baik, telah di jelaskan
dalam hadist bahwa yang menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan adalah
akad. Namun untuk kasus yang kedua yang terjadi di SLB dikota bandung yang
melakukan pernikahan calon suami istri yang memiliki hambatan kecerdasan
dapat dikatakan sah juga namun, mungkin dalam ijab kabulnya yang lebih
membutuhkan bantuan dan bimbingan serta lebih disederhanakan kepada kedua
calon bahwa penjelasan ijab kabul dalam pernikahan seperti apa agar kedua calon
dapat memahaminya.
Para ulama Mazhab juga sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qobul antara wanita yang dilamar
dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti
wakil dan wali dan dianggap tidak sah apabila hanya berdasarkan suka sama suka
tanpa adanya akad.
Pernikahan dalam islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah, sebagaimana dalam komplikasi
Hukum Islam ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat
untuk menaati perintah Allah dan pelaksanannya merupakan ibadah sesuai dengan
pasal 2 komplikasi Hukum Islam. Pernikahan adalah salah satu akad untuk
menghalalkan hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan, menghindarkan
dari hal-hal yang dilarang dalam agama yaitu perbuatan perizinan. Dengan
pernikahan fitrah manusia bisa terpelihara dengan baik.
Berdasarkan hasil dilapangan, mereka yang memiliki hambatan kecerdasan
juga memiliki hak untuk melangsungkan pernikahan, hak untuk merasa dicintai
dan mencintai. Seperti halnya yang dikatakan oleh salah satu ilmuwan medis
bahwa orang yang memiliki hambatan kecerdasan sama-sama mempunya nafsu
yang sama seperti orang pada umunya. Secara umum agama islam tidak pernah
melarang pernikahan yang terjadi antara orang yang memiliki hambatan
kecerdasan hal mengingat pada tujuan dasar pernikahan yaitu sarana menyalurkan
hasrat seksual dengan baik dan benar serta sebagai lembaga preventif terjadinya
kefasikan dan perzinaan. Meski demikian, demi tercapainya keluarga sakinah,
mawadah dan rahmah islam mengajurkan adanya kematangan mental bagi mereka
yang hendak menikah.
Dalam hukum islam disebutkan bahwa akad yang dilakukan oleh pasangan
yang memiliki hambatan kecerdasan haruslah memenuhi syarat adanya ijin dari
wali. Hal ini juga berarti segala sesuatu yang nantinya terjadi dibelakang hari,
menjadi tanggung jawab wali misalnya orang tua dari kedua pasangan calon
suami istri. Dalam hukum islam pula dijelaskan bahwa yang dianggap pernikahan
sah itu terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Rukun nikah merupakan bagian dari
segala hal yang terdapat dalalm pernikahan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak
terpenuhi pada saat berlangsung pernikahan dianggap batal.
Diantaranya terdapat rukun nikah yaitu adanya mempelai laki-laki maupun
perempuan. Dalam pernikahan ini mempelai laki-laki ada berbagai yang normal
dan ada yang memiliki hambatan dan ada yang memilik hambatan dengan yang
memiliki hambatan. Manusiawi ketika mereka menginginkan suatu pernikahan.
Namun berbeda cara mereka melakukan ijab kabul mungkin dibimbing dengan
kalimat sederhana agar sama-sama paham antara pelaku dengan yang
menikahkannya.
Jadi menurut kasus pernikahan yang terjadi pada calon suami istri yang salah
satu mengalami hambatan kecerdasan ataupun keduanya yang mengalami
hambatan kecerdasan dapat dikatakan sah karena sudah terpenuhi berdasarkan
syarat dan rukun dalam pernikahan.
2. Kehidupan Pernikahan Tunagrahita
Ketika tunagrahita melangsungkan sebuah pernikahan, baik dengan
tunagrahita juga ataupun dengan orang normal akan memberikan problematika
kehidupan sebagai contoh dengan diadakannya salah satu penelitian yang kami
laksanakan dengan salah satu subjek tunagrahita dengan inisial “E” di kabupaten
sumedang.
Bahwa ia sudah melangsungkan pernikahan selama 5 tahun, ia menikah
dengan salah satu laki-laki normal di kabupaten indramayu dan kini mereka
tinggal disana.
Dari awal pernikahan sampai saat ini keuangan dalam kehidupan sehari-hari diatur
oleh suami dari mulai untuk keperluan memasak hingga keperluan yang lain. Sang
istri hanya diberikan kewajiban untuk melayani suami seperti memasak, bersih-
bersih rumah dan keseharian rumah lainnya. Kegiatan istri ini mulanya dibimbing
terlebih dahulu oleh sang ibu, ibu dari wanita ini. Untuk dapat melakukan kegiatan
sehari-harinya sang ibu selalu mencontohkan kepada wanita ini untuk dapat
melakukan tugasnya sebagai seorang istri, wanita ini juga tidak sendirian dalam
melakukan tugasnya ia juga dibantu orang tuanya sampai saat ini.
Dalam hal hasrat bihari atau disebut juga dengan kewajiban istri, istri ini
selalu melakukan kewajiban dimalam harinya dengan baik, yang dikatakan oleh
suami. Karena di tuntut oleh suami untuk melakukannya, namun untuk
mendapatkan keturunan wanita ini tidak bisa, karena ia menggunakan program
untuk tidak dapat keturunan yaitu dengan program steril. Hal ini dilakukan untuk
menghindari keturunan yang memiliki hambatan kecerdasan pula, bahasan ini
sejalan dengan DSM-5 bahwa faktor penyebab tunagrahita adalah karena faktor
gentik atau fisiologis, ketika masih berada dalam kandungan, bayi dapat
mengalami gangguan kromoson atau penyakit bawaan dari ibu atau adanya
pengaruh ekternal seperti alkohol, obat-obatan dan racun yang mempengaruhi
pertumbuhan otak janin.
Apabila dilihat dari keseharian keluarganya, keluarga ini terbilang biasa saja
tanpa masalah yang mendalam. Karena permasalahan keluarga dapat diselesaikan
dengan baik meski suami dan istri tidak dapat menghasilkan keturunan namun ini
sudah menjadi persepakatan antara dua pihak, dan mungkin sudah ada persetujuan
antara dua kelua Namun pada kasus yang kedua pada keadaan suami istri yang
sama-sama mengalami hambatan kecerdasan terdapat problematika yang sangat
perlu di perhatikan, karena pada hubungan keluarga ini semua keperluan keluarga
baik materi yang sederhana dan materi yang besar diserahkan kepada orang ketiga
yaitu orang tua dari salah satu pihak baik istri maupun suami, hal ini dapat
keluarga berikan untuk membantu suami istri dapat bertahan lama dalam atap
yang telah mereka bangun dari jenjang pernikahan.
Untuk hal mencari nafkah suami ini diajak untuk membantu orang tuanya
bertani dan untuk istri membantu ibunya membersihkan rumahnya. Untuk
masalah hal bihari istri ini dan suami belum melakukan sama sekali hal ini,
mungkin karena mereka belum paham apa yang harus mereka lakukan, hal ini
menjadi problematika saat ini di kalangan era modern seperti ini karena
seharunsnya hal ini menjadi peristiwa yang harus di selesaikan secepatnya.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada problematika kehidupan
pernikahan tunagrahita diantaranya terjadi masalah dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga, mengenai kewajiban mencari nafkah, kewajiban membersihkan rumah
dan masak serta pada kewajiban hubungan suami istri.
E. Kesimpulan
Tunagrahita merupakan salah satu kondisi dimana seseorang mengalami
hambatan kecerdasan jauh di bawah rata-rata serta mengalami hambatan perilaku
adaptif. Secara biologis Tunagrahita juga memiliki nafsu atau syahwat yang harus
dipenuhi, terlebih lagi karena hambatan yang dimiliki maka Tunagrahita akan sulit
mengontrol dan memahami syahwat tersebut. Terdapat beberapa cara untuk
menghindari perzinahan dan salah satunya melalui pernikahan. Secara umum Islam
tidak melarang para penyandang disabilitas untuk melakukan pernikahan, akan tetapi
perlu memperhatikan syarat dan rukun yang berlaku. Karena ketunagrahitaannya
maka akan mengalami beberapa hambatan dalam pernikahan jika tidak ditangani
secara tepat.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para pasangan dengan
hambatan kecerdasan tidak semata-mata hanya dalam beberapa hal tetapi secara
keseluruhan memerlukan layanan khusu yang mampu membantu agar pernikahan
yang terjadi dapat sakinah mawadah warahmah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain adalah kemampuan untuk memiliki anak, merawat anak, mandiri,
mengurus rumah tangga, dan yang lainnya. Tentu dalam pernikahan ini akan menjadi
tanggung jawab lebih untuk keluarga agar dapat membimbing dan membina
hubungan mereka agar lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Bandung: Depdikbud

Ramulyo, Moh Idris. (1996). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Wardani, I.G.A.K. (2007). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.

Wibisana W. (2016). Pernikahan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 14 (2)

Anda mungkin juga menyukai