Anda di halaman 1dari 6

BAB III

PEMBAHASAN

A. Asesmen di SLB G Dwituna Rawinala


Yayasan Dwituna Rawinala adalah sebuah lembaga yang melayani kebutuhan
pendidikan penyandang tunaganda netra, sebuah kondisi dimana penyandangnya
memiliki dua atau lebih keterbatasan, utamanya pada indra penglihatan. Penyandang
tunaganda netra sulit mendapatkan layanan pendidikan di sekolah luar biasa adapun
layanan yang terdapat meliputi pelayanan dini, pendidikan dasar dan pendidikan
lanjutan yang semua pelayanan saling berkaitan dalam mengembangkan anak.
Penerimaan siswa di SLB Rawinala pada tahun ajaran baru biasanya disesuaikan
kuota yang tersedia, bergantung pada jumlah siswa yang lulus. Jika jumlah pendaftar
melebihi jumlah siswa yang lulus maka pendaftar masuk ke dalam waiting list atau
bisa dibilang menerima kuota yang terbatas, dikarenakan dibutuhkannya asesmen
yang berkesinambungan. Diperkirakan hanya menerima 1 sampai 3 anak dalam setiap
tahunnya.
SLB-G Rawinala mempunyai beberapa program pendidikan, antaralain pelayanan
dini (PELDI) yang setingkat dengan Taman Kanak-kanak (TK), sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama. Pelayanan dini yaitu program pendidikan bagi anak usia
0-6 tahu. Potensi awal anak mulai diamati, digali, dan dikembangkan melalui
program-program yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
Pendidikan dasar merupakan program yang dirancang dari empat area pokok
pendidikan fungsional yaitu to live, to work, to play, dan to love. Anak diarahkan
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan mengeksplorasi kemampuan
lainnya yang dapat menunjang kemandiriannya. Sedangkan pendidikan lanjutan
merupakan program pendidikan lanjutan bagi anak usia 14-18 tahun untuk
mengembangkan keterampilan bekerja sesuai kebutuhan dan kemampuannya.
Tujuannya bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan, melainkan juga agar anak
mampu melakukan berbagai pekerjaan sederhana.
Yayasan Dwituna Rawinala menerima segala jenis hambatan
dalam pelayanan dini, namun setelah dilakukan asesmen dan
diketahui hambatan spesifik anak, maka sekolah akan menerima
siswa tersebut untuk ke jenjang yang lebih tinggi atau
merekomendasikan anak sesuai dengan hambatannya ke sekolah
yang dirasa memang sesuai dengan hambatan dan kebutuhan anak,
bisa berupa rekomendasi ke SLB lain atau ke sekolah inklusif. Begitu
anak masuk sekolah anak memberikan data-data diri seperti data medis, data dari
psikolog, ataupun riwayat lainnya yang semuanya merupakan bagian dari assesmen.
Data- data itu penting agar tahu karakteristik anak yang bersangkutan.
Asesmen di Rawinala terdiri dari dua jenis. Yang pertama asesmen Oregon untuk
anak di bawah usia 7 tahun, dan ceklis perkembangan untuk anak di atas 7 tahun.
Asesmen Oregon merupakan asesmen yang di adaptasi dari Amerika dan disesuaikan
dengan kemampuan anak normal pada usianya dalam kegiatan sehari-hari di
Indonesia. Asesmen Oregon ini termasuk asesmen fungsional yaitu asesmen yang
tidak dilakukan dalam bentuk tertulis, tetapi asesmen dilakukan saat anak melakukan
aktivitas atau kegiatan sehari-hari, dan saat anak melakukan aktivitas guru-pun
menilainya. Aktivitas yang bisa dilakukan anak misalnya mencuci, makan, memasak
dan kegiatan utama. kegiatan utama misalnya berenang, saat kegiatan berenang
tersebut bisa dilihat apakah anak sudah bisa memakai baju sendiri, menggunakan
gayung, melepas baju sendiri dan lain-lain.
Pelayanan dini atau PELDI adalah program pendidikan bagi anak usia 0-7 tahun.
Pada tahap ini potensi awal anak mulai diamati, digali, dan dikembangkan melalui
program-program yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
Layanan ini dilakukan dengan memberikan rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Program ini merupakan proses pengumpulan
data berupa data anak, data medis (klinis), angket orang tua, wawancara dan home
visit yang dilakukan asesor.
Pelayanan Dini ini memakai asesmen oregon. Dalam prosesnya asesmen oregon
disesuaikan dan dilihat berdasarkan kegiatan anak sehari-hari. Seperti asesmen untuk
keterampilan kognitif dan anak dilihat respon terhadap stimulasi gerakan sehari-hari
yang dapat diraba/ dilihat/ didengarnya. Untuk asesmen oregon terdapat beberapa
aspek yang dinilai di antaranya adalah aspek kognitif, bahasa, sosialisasi, penglihatan,
kompensasi, keterampilan bina diri, motorik halus, dan motorik kasar.
Setelah melakukan perekrutan untuk pelayanan dini, selanjutnya dilakukan
identifikasi atau assesmen yang bisa menggunakan wawancara pada orangtua dan
menggunakan instrumen assesmen Oregon yang dilakukan oleh guru kelasnya.
Untuk penilaian instrumen oregon ini dilakukan dengan skor +/-
atau juga dikosongkan apabila aspek tersebut belum diketahui oleh
asesor. Biasanya asesmen ini dilakukan dalam jangka waktu 3-6
bulan. Dan setelah diketahui hambatan dan kebutuhan anak maka
dapat dibuat PPI (program pembelajaran individual) bagi anak.

Selain Oregon terdapat pula asesmen ceklis perkembangan yang digunakan untuk
anak usia 7 tahun ke atas. Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan asesmen Oregon,
hanya saja ceklis perkembangan ini di kembangkan sendiri oleh pihak sekolah, dan
sekolahlah yang membuat instrumen secara menyeluruh. Terdapat beberapa area
dalam ceklis perkembangan ini, diantaranya area kognitif, sosial emosi, sensorik
motor, area belanja, dan area hidup. Selain itu, terdapat pula asesmen khusus yang di
lakukan pada masa transisi anak di usia 14 tahun sebagai upaya memfokuskan minat
dan bakat anak agar dapat di arahkan sesuai dengan kemampuannya.
Idealnya, dalam melaksanakan asesmen diperlukan 3 orang yang bertugas sebagai
asesor, guru yang mengamati, dan guru yang mencatat. Walau dalam kenyataannya
sering kali tidak seperti itu dikarenakan kurangnya sumber daya yang diperlukan.
Asesmen ini di lakukan pada saat anak melakukan kegiatan sehari-hari. Pada saat
pengetesan instrumen fungsional, guru harus menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan.
Perlu waktu mulai dari 2 minggu sampai 2 bulan untuk melakukan proses
asesmen. Bahkan pihak sekolah melakukan asesmen minimal satu tahun sekali pada
setiap anak guna mengetahui sejauh mana perkembangan pada masing-masing anak.
Asesmen ini menjadi hal yang amat penting di lakukan, karena pengajar harus
mengetahui kemampuan anak yang sudah berkembang, yang belum berkembang dan
kebutuhan apa yang anak perlukan guna menyiapkan program pembelajaran
individual (PPI) yang tepat bagi masing-masing anak.
Asesmen Oregon ini mencakup aspek, kognitif, Bahasa, sosialisasi, penglihatan,
kompensasi, bina diri, motorik kasar dan motorik halus. Ketujuh aspek ini telah sesuai
dengan teori taksonomi Bloom (1956). Dalam Taksonomi Bloom terdapat beberapa
domain (ranah, kawasan) yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan
keterampilan berpikir. Bloom juga menjelaskan bagian dari domain kognitif yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Di dalam
instrumen asesmen Oregon terdapat bagian yang berhubungan dengan ranah
kognitif yaitu bagian kognitif dan Bahasa.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian
diri. Dengan bagian domain berupa penerimaan, tanggapan, penghargaan,
pengorganisasian dan karakterisasi berdasarkan nilai-nilai. Di dalam instrumen
asesmen Oregon terdapat bagian yang berhubungan dengan afektif yaitu bagian
sosialisasi, kompensasi dan bina diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan,
mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Bagian dari domain psikomotor
ialah persepsi, kesiapan, respons terpimpin, mekanisme, respons tampak yang
kompleks, penyesuaian dan penciptaan. Di dalam instrumen asesmen Oregon
terdapat bagian yang berhubungan dengan psikomotor yaitu bagian penglihatan,
motorik kasar dan motorik halus.
Asesmen yang dilakukan di unit pelayanan dini SLB-G Rawinala ini diberikan
kepada anak yang berusia 0-7 tahun dikarenakan menurut Aristoteles untuk usia 0-7
tahun merupakan masa anak kecil, pada saat usia ini anak akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik dalam segi fisik, mental dan
sosialnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Witherington (1952) yang mengatakan
bahwa hasil observasinya menunjukkan penonjolan aspek perkembangan psikofisik
yang selaras dengan jenjang praktik pendidikan, ia juga membagi tahap yang lamanya
masing-masing tiga tahun perkembangan individu sampai menjelang dewasa, ialah:
No Tahapan Indikator
1. 0,0 – 3,0 Perkembangan fisik yang pesat
2. 3,0 – 6,0 Perkembangan mental yang pesat
3. 6,0 – 9,0 Perkembangan sosial yang pesat
4. 9,0 – 12, 0 Perkembangan sikap individualistis
5. 12, 0 – 15,0 Awal penyesuaian sosial
6. 15,0 – 18, 0 Awal pilihan kecenderungan pola
hidup yang akan diikuti sampai
dewasa

Instrumen ini dilakukan saat anak memasuki prasekolah atau setara dengan TK.
Sesuai dengan usianya (0-7 tahun) menurut teori Witherington, anak mengalami
perkembangan fisik, mental dan sosial yang pesat, sehingga asesor dapat melihat
dengan jelas di mana bagian anak belum menguasai, apa yang sudah ia kuasai dan apa
yang menjadi kebutuhan bagi anak untuk ke depannya. Sehingga asesor dapat
menetapkan hambatan apa yang anak miliki dan mencari kebutuhan apa saja yang
anak butuhkan untuk mengembangkan minat dan bakat yang terpendam tanpa
memaksa sembari menuntaskan tugas perkembangan yang ada di instrumen oregon
tersebut. Jika anak belum menuntaskan atau belum menguasai suatu hal yang menjadi
tugas perkembangannya, asesor dapat memberi stimulus yang berkesinambungan agar
anak secara perlahan menguasai hal itu.
Instrumen ini juga mengandung aspek yang sejalan dengan pendapat Erikson
(1963), anak yang pada masa bayi (infancy), dilihatnya bagaimana kualitas kehidupan
masa bayi seperti cinta kasih, rasa kepercayaan dan psikososial lainnya yang akan
menjadi kekuatan psikososial yang amat fundamental bagi perkembangan selanjutnya.
Pada usia masa kanak-kanak awal (early childhood) memberikan stimulus kepada
anak berupa kesempatan untuk mengembangkan self-control (apa yang ia kuasai dan
lakukan) tanpa mengurangi self-esteem (harga dirinya) yang akan menumbuhkan rasa
otonomi, mandiri atau bahkan anak akan memiliki rasa kebergantungan, malu dan
ragu-ragu. Dan yang terakhir pada masa kanak-kanak (childhood/preschool age)
yang menjelaskan bahwa anak memungkinkan berprakarsa dan akan menimbulkan
inisiatif.
Setelah asesor dapat menemukan data berupa apa hambatan anak, apa yang telah
ia kuasai, apa yang belum ia kuasai dan apa saja yang menjadi kebutuhan anak.
Maka, asesor akan terus melanjutkan instrumen asesmen oregon sampai anak siap
mengikuti program pembelajaran individual atau program lanjutan. Dan laporan
instrumen tersebut ditulis ke dalam sebuah laporan observasi berupa deskripsi hasil
asesmen yang dilakukan asesor. Setiap 3-6 bulan akan diadakan diskusi bersama
asesor lain dan orang tua untuk memperkuat data dan memastikan langkah apa yang
selanjutnya dibuat. Sehingga saat anak telah menginjak usia 6-7 tahun, asesor beserta
orang tua akan berdiskusi apakah anak ini akan meneruskan program lanjutan
(sekolah) di SLB-G Rawinala atau ke SLB lainnya atau bahkan jika memungkinkan
dapat masuk ke sekolah inklusif.
Instrumen Asesmen Oregon memiliki kelebihan yaitu, 1) membantu asesor untuk
mengetahui hambatan yang dimiliki anak dan apa yang telah dikuasai oleh anak, 2)
memudahkan asesor dalam mengamati perkembangan anak dalam kegiatan sehari-hari
di sekolah, 3) memberikan stimulus kepada anak agar anak dapat menuntaskan tugas
perkembangan sesuai dengan usianya dan 4) membantu asesor untuk mendapatkan
sekolah lanjutan yang tepat sesuai dengan hambatan yang dimiliki anak.
Di samping itu, instrumen asesmen Oregon ini memiliki kekurangan yakni, 1)
waktu yang diperlukan dalam mengasesmen anak cukup lama yaitu sekitar 3-6 bulan,
dan 2) asesmen ini harus dilakukan oleh 3 asesor dan melibatkan orang tua dalam
waktu dan tempat yang berbeda, sehingga dalam penarikan kesimpulan harus
dilakukan diskusi terlebih dahulu antara ketiga asesor dan orang tua agar
mendapatkan kesimpulan yang sama.
Oleh karena itu, asesmen oregon di SLB-G Rawinala telah sesuai dengan teori
perkembangan anak yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Meyakinkan bahwa
asesmen yang dilakukan oleh pihak SLB-G Rawinala sangat baik sampai memiliki
unit pelayanan dini yang mendeteksi hambatan dan kebutuhan anak sejak dini,
sehingga didapatkan data untuk menindaklanjuti/ mengintervensi apa yang telah di
asesmen oleh asesor yang dikemas ke dalam program pembelajaran individual agar
mengoptimalkan seluruh potensi yang ada di dalam diri anak tersebut. Lalu, asesmen
Oregon di SLB-G Rawinala telah sesuai dengan konsep asesmen of, for dan as
learning yaitu proses mengumpulkan dan menginterpretasi bukti penilaian dan
membuat pertimbangan tentang kualitas pembelajaran siswa kelak, kemudian proses
penilaian yang terus menerus dalam mengumpulkan data dan mengembangkan serta
mendukung metakognitif siswa melalui asesmen Oregon ini.
Pada pembahasan asesmen lanjutan atau transisi ini bertujuan untuk mengarahkan
anak pada minat, bakat, dan kemampuannya. Pada asesmen ini anak akan diarahkan
sesuai dengan yang diinginkan atau dikuasai oleh anak. Adapun minat dan bakat anak
diperoleh melalui proses asesmen yang nantinya mampu mengarahkan anak sesuai
yang dikuasainya.
Salah satu contoh yang telah dipaparkan mengenai asesmen lanjutan/transisi ini
yaitu adalah anak diarahkan pada keterampilan keterampilan yang berkaitan dengan
aktivitas sehari hari seperti memasak, mencuci piring dan aktivitas lainnya. Dalam
melakukan asesmen lanjutan ini, ada beberapa pihak yang harus turut serta
mendukung. Pihak pihak tersebut antara lain adalah orang tua, teman dekat, dan tentu
saja guru. Dalam pelaksanaannya, Anak akan diarahkan sesuai jenis aktivitas atau
bidang pekerjaan yang dikuasainya sesuai SOP perusahaan yang terkait. SOP ini akan
menentukan kualitas kinerja anak saat terjun di dunia kerja nanti. Dalam
pelaksanaannya, asesmen transisi ini dilakukan satu kali ketika anak menginjak usia
14 tahun.
Adapun teori yang berkenaan dengan ciri masa transisi ini menurut Charlotte
Bubler usia 14 sampai 19 tahun merupakan masa purbetas, dimana anak merasa
gelisah karena mereka sedang mengalami sturn and drag (ingin memberontak, gemar
mengkritik, suka menentang dan sebagainya). Berdasarkan analisa kami asesmen
lanjutan/transisi ini sangat mempengaruhi sekali dalam menentukan minat dan bakat
anak sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Charlotte Bubler bahwa pada usia 14-
19 tahun anak sedang mencari jati dirinya dalam mengembangkan potensi-potensi
yang anak miliki oleh karena itu kita perlu memberikan dukungan agar anak mampu
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Anda mungkin juga menyukai