Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan limpahan rahmat-Nya maka kami menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.

Karena atas ridho dan bantuan – Nya lah kami mampu menyelesaikan makalah yang
berjudul “Layanan Pendidikan bagi Anak dengan Hambatan Kecerdasan” dengan sebaik
-baiknya, untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah pendidikan anak dengan hambatan
kecerdasan.

Proses penyusunan makalah ini tentunya tak lepas dari bimbingan dan bantuan berbagai
pihak, maka dari pada itu dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih sebanyak -
banyaknya kepada Dr. Oom Sitti Homdijah, M.Pd., dan Een Ratnengsih, S.Pd., M.Pd.selaku
dosen mata kuliah pendidikan anak dengan hambatan kecerdasan dan semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, maka
dari itu kami harapkan kritikan dan masukan dari semua pihak yang mampu mendorong dan
membangun untuk memperbaikinya

Bandung, 17 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR................................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................................2
BAB II ISI..................................................................................................................................................3
A. Pendidikan Segregasi.....................................................................................................................3
B. Pendidikan Integrasi.....................................................................................................................4
C. Pendidikan Inklusif.......................................................................................................................7
D. Homeschooling.............................................................................................................................10
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................................................15
B. Saran.............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................16

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia yang ingin belajar dengan
sungguh-sungguh sehingga siapapun berhak mendapatkan layanan pendidikan yang
bermutu dan menghindari diskriminasi baik secara sosial, eknomi, atau fisik. Seperti yang
telah tertera dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
12 dan 60.
Pasal 12: “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya,
untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas
hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak
mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”.
Pasal 60: “Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya”. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (18): “Wajib belajar adalah program pendidikan
minimal yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah”.
Hak pendidikan tersebut berlaku bagi semua warga Negara Indonesia tidak
terkecuali bagi anak-anak berkebutuhan khusus salah satunya bagi anak dengan hambatan
kecerdasan.
Anak dengan hambatan kecerdasan lahir dengan keadaan kecerdasan dibawah
rata-rata yakni kurang dari 70. Akan tetapi, pendidikan sangat mereka perlukan demi
keberlangsungan hidup di masa depan. Program pembelajaran yang tentunya perlu
disesuaikan dengan kemampuan, ketidakmampuan, dan kebutuhan sehingga anak mampu
berkembang dan mandiri dalam kehidupan sehari-harinya. Berbagai pelaksanaan program
pembelajaran bagi anak dengan hambatan kecerdasan terdapat dalam layanan-layanan
pendidikan yang dikhususkan bagi mereka. Seperti pendidikan segregasi, integrasi,
inklusif, dan homeschooling,
Pembahasan materi kali ini akan menyoroti perihal berbagai layanan pendidikan
bagi anak dengan hambatan kecerdasan, dimana mereka bisa belajar dan
1
mengembangkan potensi secara optimal serta dapat hidup mandiri dalam melakukan
beberapa hal.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dapat diketahui rumusan masalah terkait layanan pendidikan bagi
anak dengan hambatan kecerdasan sebagai berikut.
1. Apa itu layanan pendidikan segregasi?
2. Apa itu layananan pendidikan integrasi?
3. Apa itu layanan pendidikan inklusif dan implementasi terhadap anak dengan
hambatan kecerdasan?
4. Apa itu layanan pendidikan homeschooling dan implementasi terhadap anak
dengan hambatan kecerdasan?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas dapat diketahui manfaat dari
layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan kecerdasan yakni mengetahui.
1. Layanan pendidikan segregasi
2. Layanan pendidikan integrasi
3. Layanan pendidikan inklusif
4. Layanan pendidikan homeschooling

2
BAB II
ISI

A. Pendidikan Segregasi
Sekolah-sekolah ini sering disebut sebagai “sekolah luar biasa” atau “sekolah
normal”. Dalam system Pendidikan Segregasi, kebanyakan anak penyandang disabilitas
dan anak-anak dengan kesulitan social-emosional ditempatkan di “sekolah luar biasa”
dengan “guru khusus” dan sering kali dengann “kurikulum khusus”, sementara anak-anak
lain bersekolah di “sekolah normal”, watterdal (2009, hal. 12)
Berangkat dari anggapan-anggapan individu yang berbeda itu tidak normal, serta
anggapan indvidi-individu itu lemah, penolakan-penolakan masyarakat, sering
disingkirkan, bahkan tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Peradaban manusia
terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia
bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan inilah yang berhasil
menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Anak-anak penyandang cacat
mulai diakui keberadaannya dan secara khusus masyarakat mulai mendidik dan
merawatnya. Mereka yang menyandang kecacatan diangggp memiliki karakteristik yang
khusus dan berbeda dari orang kebanyakan (normal), sehingga dalam pendidikannya
mereka memerlukan pendekatan dan metode yang sangat khusus sesuai dengan
karakteristiknya. Berdasarkan alasan seperti itu munculah sekolah-sekolah khusus sesuai

3
dengan label kecacatan, seperti sekolah khusus bagi anak-anak yang mengalami
gangguan pengelihatan, pendengaran, kecerdasan, dan bagi anak-anak yang mengalami
gangguan gerak/ motoric, zaenal (2013, hal.5)
Perkembangan berdirinya sekolah-sekolah yang terpisah didasarkan oleh adanya
anggapan (konsep) bahwa seorang anak yang mengalami kecacatan tertentu akan
memperoleh banyak keuntungan dari Pendidikan yang terpisah dari anak normal karena
sangat memungkinkan mereka belajar dalam kelas dengan jumlah murid yang sedikit,
belajar bersama guru yang sangat spesialis dengan menggunakan pendekatan, metoda,
program dan alat-alat yang sangat khusus. Konsep Pendidikan khusus seperti ini yang
disebut dengan system Pendidikan segregasi, yaitu Pendidikan khusus yang terpisah dari
Pendidikan anak-anak pada umumnya, zaenal (2013, hal.6)
Di dalam konsep Pendidikan khusus dan dalam system Pendidikan segregasi,
anak penyandang cacat dilihat dari aspek karaktertistik kecacatannya (labeling) sebagai
dasar dalam memberikan layanan Pendidikan, sehingga setiap setiap kecacatan harus
diberikan layanan Pendidikan khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya. dengan kata
lain focus utama dari Pendidikan khusus/ PLB adalah label kecacatan bukan anak sebagai
indivisu yang unik. Layanan Pendidikan segregasi yaitu layanan Pendidikan yang
diberikan pada satu jenis kecacatan tertentu dalam bentuk sekolah khusus seperti sekolah
khusus untuk anak tunanetra, sekolah khusus untuk anak tunarungu, dst. zaenal (2013,
hal.4)
Di Indonesia system Pendidikan segregasi sudah berlangsung lebih dari satu abad,
sejak dimulainya Pendidikan bagi anak tunanetra pada tahun 1901di Bandung. Sistem
Pendidikan segregasi yang eksistensinya masih sangat kuat, mengandung kelemahan-
kelemahan baik bagi peserta didik maupun bagi orang tua dan masyarakat pada
umumnya. Secara pedagogis, system Pendidikan ini mengabaikan eksistensi anak sebagai
individu yang unik dan holistic, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara
psikologis, system ini kurang memperhatikan hambatan belajar, perbedaan individual dan
kebutuhan anak. Ada kesan penyeragaman layanan Pendidikan berdasarkan kecacatan
yang disandangnya. Secara filosofis Pendidikan segregasi menciptakan dikotomi
masyarakat ekslusif normal dan tidak normal, zaenal (2013, hal.6)

4
B. Pendidikan Integrasi
Berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud No.002/U/1986 tentang Pendidikan
integrasi bagi anak cacat, Bab I pasal 1 poin (a) mengemukakan: “pedidikan integrasi
adalah model penyelenggaraan program Pendidikan bagi anak cacat yang
diselenggarakan bersama anak normal di lembaga Pendidikan umum dengan
menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan”.
Istilah “pendidikan integrasi” atau “Pendidikan terpadu” digunakan unuk
menggambarkan proses memasukkan anak penyandang disanilitas ke sekolah regular
(juga disebut mainstreaming). Pendidikan integrasi berbeda dengan Pendidikan inklusif.
Dalam Pendidikan integrasi, yang sering dipandang sebagai masalah adalah anak, bukan
system. Satu bentuk lain integrase adalahkelas khusus untuk anak-anak penyandang
disabilitas yang terletak di dalam Gedung sekolah regular. Namun, ada juga banyak
contoh program Pendidikan terpadu yang direncanakan dan dilaksanakan secara holistic,
dengan focus pada semua aspek perkembangan anak. Program-program ini dapat
membantu individu, sekolah dan masyarakat untuk menjadi lebih inklusif dan ramah
anak, watterdal (2009, hal.11)
Pendidikan integrase di Indonesia muncul atas dasar pemikiran bahwa: pertama,
pada saat itu ABK masih menyebar di daerah-daerah sampai di pedesaan seluruh pelosok
tanah air, sedangkan SLB yang ada hanya di kota-kota tertentu dan hanya dapat
menampung sebagian kecil ABK. Kedua, sarana dan prasarana yang masih terbatas,
belum memungkinkan penyediaan SLB yang dapat menampung dan menangani seluruh
ABK. Ketiga, melalui system Pendidikan integrase, diperkirakan akan mampu
memberikan pelayanan Pendidikan terhadap ABK dengan biaya yang relative tidak
terlalu mahal. Keempat, melalui system integrase, ABK dengan anak-anak pada
umumnya, sehingga dapat menghilangkan rasa rendah dirinya dan sikap pesimistisnya.
Kelima, melalui Pendidikan integrase, pengertian masyarakat terhadap ABK tidak
menimbulkan perkiraan yang salah bahwa ABK tidak mungkin berproduksi, sehingga
hanya menjadi beban masyarakat. Diharapkan pula agar orang tua ABK akan senantiasa
optimis terhadap pelayanan pendidikannya, astati (2013, hal.247)
“Pendidikan Intergrasi” ini merupakan istilah yang paling banyak dipergunakan
masyarakat untuk menggambarkan proses memasukkan anak penyandang cacat ke

5
dalam sekolah regular (juga disebut mainstreaming, terutama di Amerika serikat).
Pendidikan Integrasi berbeda dengan Pendidikan Inklusif dalam hal:
1. Fokusnya masih pada individu anak, bukan pada system. Anak dipandang
sebagai masalah dan harus ‘disiapkan’ untuk integrase, bukan sekolahnya
yang disiapkan.
2. Integrasi sering hanya mengacu pada proses geografis- memindahkan anak
secara fisik ke sekolah regular. Integrasi mengabaikan masalah-masalah
seperti apakah anak benar-benar belajar, diterima atau dilibatkan dalam
kegiatan kelasnya.
3. Sebagian besar sumberdaya dan metode difokuskan pada individu anak,
bukan pada keterampilan guru atau sistemnya.
4. Anak yang ‘diintegrasikan’ akan dibiarkan untuk mengatasi sendiri system
sekolah regular yang kaku tanpa dukungan atau akan memperoleh
perhatian khusus yang memisahkannya dari teman-teman sekelasnya.
5. Jika anak putus sekolah, tinggal kelas bertahun-tahun, atau terasing, maka
ini semua dianggap sebagai kesalahan anak itu sendiri; ‘dia tidak dapat
mengikuti kurikulum, tidak dapat berjalan sendiri ke sekolah, tidak
tahan terhadap komentar anak-anak lain’. Sue Stubbs (2002, hal.44)

Menurut Lucas dalam (zaenal, 2013) istilah Integrasi digunakan sebagai kata
benda dalam menggambarkan usaha-usaha untuk menghindari pemisahan dan isolasi
Pendidikan anak-anak penyandang cacat. Di dalam deskripsi dari usaha-usaha integrase
tercermin makna organisasi yang terstuktur dan mempunyai karakteristik yang khas,
dijelaskan sebagai berikut:

1. Sekolah regular dan kelas regular tanpa dukungan


2. Kelas regular ada dukungan untuk guru dan siswa
3. Kelas regular full out support
4. Kelas regular sebagai basis, kelas khusus paruh waktu
5. Kelas khusus sebagai basis, kelas regular paruh waktu
6. Kelas khusus penuh
7. Sekolah khusus paruh waktu, sekolah regular paruh waktu

6
8. Sekolah khusus penuh

Menurut Mulyono Abdurahman dalam Astati (2013) mengemukakan bahwa


“Pendidikan integrase paling sedikit harus memenuhi 4 kriteria, yaitu: (1)
mengintegrasikan peserta didik luar biasa dengan peserta didik normal dalam suatu
lingkungan belajar; (2) mengintegrasikan dan mengoptimalkan pengembangan potensi
yang mencakup kognitif, afektif, psikomotor dan interaktif; (3) mengintegrasikan hakikat
manusia sebagai makhluk social ke dalam suau bentuk strategi pembelajaran; (4)
mengintegrasikan apa yang dipelajari peserta didik saat ini dengan tugas yang harus
diemban di masa yang akan datang.

C. Pendidikan Inklusif
1. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di Dunia pada mulanya diprakarsai
dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di
Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy, mengirimkan pakar-
pakar pendidikan khusus ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan least
restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.
Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep
pendidikan Inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan Inklusif di Dunia semakin nyata terutama
sejak diadakannya konvensi Dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
Dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi
education for all. Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua anggota
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanan pe ndidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut Deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi Pendidikan di Salamanca, Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan
Inklusif yang selanjutnya dikenal dengan the Salamanca statement on inclusive
education. Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang

7
pendidikan inklusif, di Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi
nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitment Indonesia
menuju Pendidikan Inklusif.
Perjuangan untuk memenuhi hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun
2005 diadakan Simposium Internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan
Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus
dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa
semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas
dan layak.
Seiring dengan perkembangan pendidikan inklusif di berbagai belahan dunia
tersebut, Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2002 mengembangkan
program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan dari program terpadu
yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi
kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2002 dimunculkan kembali
dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan Inklusif.
2. Definisi Pendidikan Inklusif
Menurut Direktorat Pembinaan SLB (2007), pendidikan Inklusif adalah sistem
layanan pendidikan yang memberikan kesempatan pada semua anak belajar bersama-
sama di sekolah umum dengan memperhatikan keragaman dan kebutuhan individual,
sehingga potensi anak dapat berkembang secara optimal.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Direktorat Pembinaan SLB (2007),
sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna
yaitu:
a. Pendidikan inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya
menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak
b. Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-
hambatan anak dalam belajar.
c. Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan untuk
hadir (di sekolah), berpartisipasi, dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna
dalam hidunya.

8
d. Pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal,
eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
3. Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak
berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
kebutuhannya.
b. Membantu memercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
c. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekankan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
d. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak
diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
e. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 32 ayat 1 yang
berbunyi, “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ayat 2 yang
berbunyi, “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
khususnya Pasal 51 yang berbunyi, “anak yang menyandang cacat fisik dan/ atau
mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan biasa dan luar biasa.”
4. Manfaat Pendidikan Inklusif
a. Manfaat bagi peserta didik (Siswa)
1) Anak-anak mempelajari bagaimana harus bersikap toleran terhadap oranglain
2) Melatih dan mebiasakan untuk menghargai dan merangkul perbedaan dengan
menghilangkan budaya labeling atau mencari cap negatif orang lain.
3) Anak-anak dengan kebutuhan khususmemiliki kesempatan untuk belajar
keterampilan baru dengan mengamati dan meniru anak-anak lain
b. Manfaat bagi guru
1) Guru berkembang secara professional dengan mengembangkan keterampilan
baru dan memperluas perspektif mereka tentang perkembangan anak
2) Guru tertantang untuk terus belajar melalui perbedaan yang dihadapi di kelas.

9
3) Guru terlatih dan terbiasa untuk memiliki budaya kerja yang positif, kreatif,
inovatif, fleksibel dan akomodatif terhadap semua anak didiknya dengan
segala perbedaan.
c. Manfaat bagi orangtua dan keluarga
1) Memperkuat tanggung jawab pendidikan anak di sekolah dan di rumah
2) Mengetahui dan mengikuti perkembangan belajar anak
3) Semua keluarga memiliki kesempatan untuk mengajar anak-anak mereka
tentang perbedaan-perbedaan individual dan keberagaman
d. Manfaat bagi masyarakat
1) Mengontrol terlaksananya sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di
lingkungannya
2) Meningkatkan tanggungjawab terhadap pendidikan anak di sekolah dan di
masyarakat
3) Ikut menjadi sumber belajar dan semakin terbuka dan ramah bermitra dengan
sekolah
e. Manfaat bagi pemerintah
Manfaat bagi pemerintah dengan diadakannya pendidikan inklusif yaitu anak
berekebutuhan juga dapat mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun pendidikan terlaksana berlandaskan azas demokrasi, berkeadilan,
dan tanpa diskriminasi.
5. Implementasi Pendidikan Inklusif pada Anak dengan Hambatan Kecerdasan
(ADHK)
Anak dengan Hambatan Kecerdasan atau Anak Tunagrahita membutuhkan
layanan pendidikan yang khusus supaya dapat mengembangkan potensinya secara
optimal. Kurikulum dan proses pembelajaran perlu dirancang khusus supaya cocok
dengan kebutuhan mereka.
Pendidikan inklusif adalah suatu filosofi dan juga strategi dalam pendidikan, di
mana anak-anak dengan berbagai kondisi (termasuk anak berkebutuhan khusus) dapat
mengikuti pendidikan secara bersama-sama di sekolah reguler (sekolah umum).
Pendidikan inklusif sudah berjalan, tetapi ada sejumlah permasalahan mendasar
yang ditemukan di lapangan. Hasil studi kasus yang dilakukan oleh penulis terhadap

10
pelaksanaan pendidikan inklusif untuk siswa tunagrahita (Supena, 2008), menemukan
adanya beberapa permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di antaranya
adalah menyangkut kebijakan yang belum kokoh, persepsi dan komitmen masyarakat
yang belum merata, ketersediaan SDM yang belum memadai, serta sistem kurikulum
dan pembelajaran yang belum kondusif terhadap pendidikan inklusif.
D. Homeschooling
1. Pengertian Homeschooling
Homeschooling atau homeschooling merupakan alternatif pendidikan yang
diberikan kepada anak-anak dibangku sekolah selain sekolah regular.
Homeschooling disebut juga sebagai sekolah mandiri. Menurut Martin dalam
Padmonodewo (Sadid, 2012 hal 163) pengertian homeschooling sebagai
kedudukan pembelajaran dan/atau pengajaran yang dilaksanakan di lingkungan
rumah menggantikan penyelenggaraan pembelajaran di sekolah konvensional.
Sedangkan menurut Berger dalam Suntrock (Sadid, 2012 hal 163)
mendefinisikan homeschooling sebagai proses belajar dan mengajar secara
terencana yang menjadikan rumah sebagai pusat utama pembelajaran dengan
posisi orang tua dan guru sebagai pengawas anak. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa homeschooling atau homeschooling merupakan pendidikan yang
menerapkan kebebasan dalam menentukan pembelajaran yang akandipilih yang
sesuai dengan potensi, minat dan kebutuhan anak dengan pengawas utama dan
pengajar sebagai sumber insiprasi bagi anak didik sehingga keaktifan dalam
menggali ilmu pengetahuan akan lebih bermakna hal ini dikarenakan pengakitan
dengan dunia nyata anak sehingga anakpun dapat memahami dengan baik.
Setiap orang tua berhak memberikan pilihan kepada anak perihal jalur
pendidikan yang akan ditempuhnya, disesuaikan dengan potensi, minat dan
kebutuhan sehingga anak dapat berkembang dengan optimal. Anak akan fokus
pada apa yang dipelajarinya dan mampu menguasai dan memahami apa yang
dipelajari sehingga anak memiliki sikap dan berkepribadian profesioanl
Dalam konsep model homeschooling pengajar atau tutor bertindak sebagai
inspirator bagi peserta didik dan bukan bertindak sebagai transfer of knowldge.

11
Diiringi dengan suasana belajar yang nyaman yang tidak membuat anak merasa
tertekan
Pelaksanaan homeschooling dilaksanakan secara mandiri di rumah maupun
didalam komunitas dengan tutor yang membelajarkan materi akademik atau
sesuai minat dan bakat yang diinginkan anak.
1. Tujuan Homeschooling
Tujuan homeschooling menurut (…..) diantaranya sebagai berikut:
a. mencintai anak-anak
b. kreatif
c. sabar dan bersahabat dengan anak
d. memahami kebutuhan dan keinginan anak
e. mengetahui kemampuan dan ketertarikan anak

Adapun menurut Mulyadi (2006:40) tujuan dari homeschooling adalah


sebagai berikut.

a. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, menyenangkan dan


menantang bagi anak sesuai dengan gaya dan kepribadian anak dalam
belajar
b. Mempelajari materi pendidikan secara langsung dalam konteks
kehidupan nyata sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan
berguna bagi anak
c. Mengembangkan kreativitas, kemampuan berpikir, dan sikap dalam
membentuk kepribadian anak
d. Membina dan mengembangkan hubungan baik antara orang tua
dengan anak
e. Mengatasi keterbatasan, kelemahan, dan hambatan emosional
sehingga anak mampu belajar secara optimal
f. Mengembangkan potensi minat dan bakat anak dan kebiasaan-
kebiasaan belajar secara alamiah

12
g. Mempersiapkan kemampuan peserta didik dalam penguasaan
pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi
2. Jenis-Jenis Homeschooling
Menurut Suryadi (2006: 15-19)) menjelaskan bahwa homeschooling atau
Homeschooling terbagi menjadi tiga jenis. Diantaranya a) homeschooling
tunggal; b) homeschooling majemuk; c) homeschooling komunitas.
a. Homeschooling Tunggal
Merupakan kondisi pembelajaran yang diarahkan oleh orang tua
terhadap anak itu sendiri, dan tidak bergabung dengan homeschooling
atau homeschooling lainnya
Kelebihan dari homeschooling tunggal adalah waktu, tempat tidak
menjadi masalah dalam melakukan pembelajaran yang sebelumnya
telah disepakati bersama antara anak dengan pengajar. Selain itu, anak
akan fokus terhadap materi yang akan disampaikan serta dapat optimal
dalam pengembangan minat dan potensi yang dimiliki anak.
Kelemahan dari homeschooling tunggal ini adalah anak tidak bisa
berinteraksi dengan teman-teman seusianya saat pembelajaran. Orang
tua harus menyelenggarakan sendiri penilaian terhadap hasil
pendidikan atau mengusahakan sendiri kesetaraan dengan standar
pendidilkam yang telah diterapkan oleh homeschooling komunitas
yang ada.
b. Homeschooling Majemuk
Merupakan homeschooling yang dilakukan oleh orang tua dua atau
lebih keluarga untuk kegiatan tertentu yang disesuaikan dengan
kebutuhan, kegiatan, dan kepentingan. Kegiatan inti/pokok
dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.
Kelebihan dari homeschooling majemuk adalah adanya kompromi atau
kesepakatan yang dilakukan oleh dua keluarga atau lebih secara
bersama dalam hal kebutuhan-kebutuhan yang akan diajarkan kepada
anak demi mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Seperti

13
dalam pengambilan kurikulum baik mengambil dari pendidikan
nasional, internasional, konsosrium, asosiasi, atau lokal.
Selain kelebihan terdapat kelemahan dalam pelaksanaan
homeschooling majemuk diantaranya dalam kompromi dan
fleksibilitas dalam menentukan jadwal, suasana dan fasilitas
pembelajaran serta perlu mendapat pengawasan dari seorang ahli
dalam bidang tertentu.
c. Homeschooling Komunitas
Merupakan gabungan dari beberapa homeschooling majemuk yang
menyusun dan menentukan silabus dan bahan ajar termasuk dalam
menentukan aktivitas dasar (Seni, music, bahasa) serta fasilitas tempat
proses pembelajaran dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.
Kelebihan dari homeschooling komunitas ini adalah dalam proses
pembelajaran lebih terstruktur dan terencana baik dalam pendidikan
akademik, membangun akhlak mulia serta pencapaian hasil belajar
yang sesuai dengan tujuan awal.
Kelemahan dari homeschooling adalah perlu pengawas oleh
professional dan anak-anak harus menerima perbedaan yang ada serta
menyesuaikan dengan lingkungannya.

3. Implementasi Homeschooling pada Anak dengan Hambatan Kecerdasan


(ADHK)
Pendidikan formal bukan menjadi satu-satunya pilihan bagi orang tua
yang menginginkan anaknya untuk belajar tidak terkecuali bagi anak dengan
hambatan kecerdasan/ADHK. Salah satu dari alternative pilihan yakni
homeschooling bagi anak dengan hambatan kecerdasan yang tidak mampu
mengikuti pendidikan di SLB atau pilihan dari orang tua yang menginginkan
anaknya belajar sendiri agar dapat berkembang secara optimal. Manfaat dari
homeschooling bagi anak dengan hambatan kecerdasan meliputi.
 Penyesuaian tempat dan waktu belajar yang bisa disesuaikan dan
disepakati bersama pengajar dan orang tua anak

14
 Pengoptimalan potensi, kekurangan, dan kebutuhan pada anak dapat
ditindak maupun ditangani oleh pengajar/guru pendamping khusus
atau terapis.
 Perkembangan anak dapat terlihat dari program pembelajaran yang
rutin dan intens
 Gangguan yang muncul lebih sedikit. Tidak jarang gangguan saat
pembelajaran dilakukan oleh beberapa teman yang ada di kelas anak
tersebut yang tidak bisa diam atau bahkan mengganggu dengan
kebisingan suara dan kekerasan fisik seperti mencubit.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus perlu disesuaikan dengan
kebutuhan anak serta memperhatikan juga kemampuan dan ketidakmampuan anak
sehingga anak dapat berkembang secara optimal.
Salah satunya berbagai layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan
kecerdasan yang memiliki IQ dibawah rata-rata sehingga dalam pembelajaran lebih di
sederhanakan dengan berlnadaskan asesmen. Orangtua berhak memilih layanan
pendidikan bagi anak yang dianggap mampu mengembangkan potensinya dengan baik.
Karena setiap layanan pendidikan tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-
masing.
Layanan pendidikan bagi anak dengan hambatan kecerdasan itu sendiri
diantaranaya terdapat pendidikan segregasi, pendidikan intehrasi, pendidikan, inklusif,
dan homeschooling. Berbagai pilihan tersebut sebagai bukti dijalankannya Undang-

15
Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 12 dan 60 dan Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (18).
Kehidupan anak akan terus berlanjut dan pengoptimalan potensi anak dapat
membantu anak mandiri dalam melakukan beberapa hal. Seperti dalam kehidupan sehari-
harinya. Tanpa adanya diskriminasi antar sesama manusia dalam menyelenggarakan
pendidikan karena itu dapat melanggar Hak Asasi Manusia yang setiap orang berhak
untuk melaksanakannya dan mengakuinya.
B. Saran
Besar harapan penyusun bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang
pada umumnya dan khususnya bagi penyusun itu sendiri. Keterbatasan sumber dan
referensi membuat makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga penyusun
berharap kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat disusun dengan lebih
baik lagi di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Astati, dkk. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Jurusan PLB UPI

Direktorat Pembinaan SLB. (2007). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta

Garnida, D. (2018). Pengantar Pendidikan Inklusif. Bandung: PT Refika Aditama.

Mulyadi, Seto. 2006. Perkembangan Homeschooling di Indonesia. Makalah Seminar Jakarta

Sadid, A. (2012). Homeschooling: Pilihan Di Tengah Kegagalan Sekolah Formal.Vol.7 , No.2.


(online).  https://media.neliti.com/media/publications/259964-homeschooling-pilihan-di-tengah-
kegagala-23da4cc1.pdf.

Stubbs, Sue. 2009. Inclusive Education: Where There Are Few Resources. Schweigaardsgt 12 :
The Atlas-Alliance associate with The Norwegian Association of the Disabled. Alih Bahasa:
Susi Septaviana R.

16
Supena, A. (2008). Jurnal: Model Pendidikan Inklusif untuk Siswa Tunagrahita di Sekolah
Dasar. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Suryadi. 2006. Kiat Jitu dalam Mendidik Anak: Berbagai Masalah Pendidikan dan Psikologi,
Jakarta: Edsa Mahkota

Watterdal, Terje Magnussonn. 2009. List of concepts and terminologies Education for all,
inclusive education, child-friendly education, Disabilities, Disabling Helath Conditions. Alih
Bahasa : Didi Tarsidi (2010)

17

Anda mungkin juga menyukai