Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan
kesehatan yang membutuhkan obat. Padahal obat tersebut dapat memberikan efek yang tidak
dikehendaki pada bayi yang disusui. Pada proses menyusui, pemberian beberapa obat
(misalnya ergotamin) untuk perawatan si ibu dapat membahayakan bayi yang baru lahir,
sedangkan pemberian digoxin sedikit pengaruhnya. Beberapa obat yang dapat menghalangi
proses pengeluaran ASI antara lain misalnya estrogen.
Obat dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama masa
menyusui. Selama menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan
kesehatan yang membutuhkan obat. Banyak ibu yang sedang menyusui menggunakan obat-
obatan yang dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui.
Keracunan pada bayi yang baru lahir dapat terjadi jika obat bercampur dengan ASI
secara farmakologi dalam jumlah yang signifikan. Konsentransi obat pada ASI (misalnya
iodida) dapat melebihi yang ada di plasenta sehingga dosis terapeutik pada ibu dapat
menyebabkan bayi keracunan. Beberapa jenis obat menghambat proses menyusui bayi
(misalnya phenobarbital). Obat pada ASI secara teoritis dapat menyebabkan hipersensitifitas
pada bayi walaupun dalam konsentrasi yang sangat kecil pada efek farmakologi.
Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif
tidak aman sehingga harus dihindari selama menyusui agar tidak merugikan bayinya.

1.2 Rumusan Masalah


- Bagaimana proses farmakokinetik dan farmakodinamik obat pada ibu menyusui
- Bagaimana obat tereksresi melalui ASI
- Obat-obat apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh ibu menyusui
- Masalah apa saja yang sering timbul pada ibu menyusui

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


- Untuk mengetahui proses farmakokinetik dan farmakodinamik pada ibu menyesui 2
- Untuk mengetahui proses eksresi obat melalui asi.
- Untuk mengetahui daftar obat yang dipertimbangkan kontraindikasi selama menyusui
1
dan daftar pemilihan obat secara umum untuk ibu menyusui.
- Untuk mengetahui masalah yang sering terjadi pada ibu menyusui.

1.4 Manfaat Makalah


- Sebagai tambahan informasi dan pembelajaran mata kuliah farmakoterapi sub bab terapi
obat pada ibu menyusui

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Farmakokinetika Pada Ibu Menyusui
Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi didalam ASI ,
akan tetapi konsentrasi obat di ASI umumnya rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu
adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor
fisiko-kimia obat. Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada
kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu pemberian obat
secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis.
Obat yang larut dalam lemak, yang non-polar dan yang tidak terion akan mudah
melewati membran sel alveoli dan kapiler susu. Obat yang ukurannya kecil (< 200 Dalton)
akan mudah melewati pori membran epitel susu. Obat yang terikat dengan protein plasma
tidak dapat melewati membran, hanya obat yang tidak terikat yang dapat melewatinya.
Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu obat yang bersifat basa lemah di
plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan mudah menembus membran
alveoli dan kapiler susu. Sesampainya di ASI obat yang bersifat basa tersebut akan mudah
terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke plasma. Fenomena
tersebut dikenal sebagai ion trapping.
Rasio M:P adalah perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di plasma ibu.
Rasio M:P yang >1 menunjukkan bahwa obat banyak berpindah ke ASI , sebaliknya rasio
M:P < 1 menunjukkan bahwa obat sedikit berpindah ke ASI. Pada umumnya kadar puncak
obat di ASI adalah sekitar 1- 3 jam sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat
membantu mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu
menyusui tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk
sementara ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di pompa. ASI dapat diberikan kembali
setelah dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah 5 kali
waktu paruh obat. Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat dinilai
dengan mempertimbangkan :
1. Farmakologi obat: reaksi yang tidak dikehendaki
2. Adanya metabolit aktif
3. Multi obat : adisi efek samping
4. Dosis dan lamanya terapi
4
5. Umur bayi.
6. Pengalaman/bukti klinik 3
7. Farmakoepidemiologi data.
2.2 Farmakodinamika Pada Ibu Menyusui
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.
Obat Yang Digunakan Pada Wanita Menyusui
- Penggunaan obat yang tidak diperlukan harus dihindari. Jika pengobatan memang
diperlukan, perbandingan manfaat/risiko harus dipertimbangkan pada ibu maupun
bayinya.
- Obat yang diberi ijin untuk digunakan pada bayi umumnya tidak membahayakan
- Neonatus (dan khususnya bayi yang lahir prematur) mempunyai risiko lebih besar
terhadap paparan obat melalui ASI. Hal ini disebabkan oleh fungsi ginjal dan hati yang
belum berkembang, sehingga berisiko terjadi penimbunan obat
- Harus dipilih rute pemberian dan pembagian obat yang menghasilkan jumlah kadar obat
terkecil yang sampai pada bayi
- Hindari atau hentikan sementara menyusui
- Jika suatu obat digunakan selama menyusui, maka bayi harus dipantau secara cermat
terhadap efek samping yang mungkin terjadi
- Sebaiknya dihindari obat baru, yang hanya memiliki sedikit data

2.3 Ekskresi Obat Ke Dalam ASI


Ada 4 mekanisme penting obat dapat sampai (permeasi) ke dalam ASI, yaitu :
a. Difusi Pasif
Berlangsung berdasarkan perbedaan konsentrasi pada kedua sisi barier, berupa cairan
atau lemak. Difusi terjadi melalui pori-pori kecil pada membran sel, menyebabkan
hanya dapat dilalui oleh molekul-molekul kecil saja, seperti metanol. Kecuali pada
pembuluh darah kapiler dan limfe yang memiliki pori-pori cukup besar sehingga
dapat dilalui oleh molekul yang cukup besar. Obat larut dalam air melewati barier
cairan, sedangkan obat larut lemak melewati membran yang terdiri dari lipid. 5
b. Difusi dengan bantuan karier khusus
Yang bertindak sebagai pembawa adalah enzim – enzim atau protein tertentu. Terjadi
melalui perbedaan konsentrasi atau konsentrasi yang sama pada kedua sisi barier.
Lebih menentukan perbedaan aktifitas kimia suatu bahan pada kedua sisi barier.
Bahan yang berdifusi dengan cairan ini umumnya mudah larut dalam air, tetapi terlalu
besar untuk melalui pori – pori dari membran.
c. Difusi aktif
Memerlukan energi untuk transpor, karena menuju daerah dengan konsentrasi tinggi.
Menggunakan energi untuk pasasi dari glukosa, asam amino, kalsium, magnesium,
dan natrium.
d. Pinositosis atau kebalikannya
Pada pinositosis, obat melekat pada dinding sel, kemudian mengalami invaginasi atau
evaginasi. Dinding sel & obat memisahkan diri, sehingga obat dapat masuk atau
keluar sel. Pinositosis menggunakan molekul yang sangat besar & protein tidak
berdifusi secara pasif, aktif, atau dengan bantuan karier. pH lingkungan & derajat
ionisasi obat, sifat obat basa atau lemah, tingkat kelarutan, menentukan kesanggupan
difusi yang berbeda.

2.4 Proses Farmakokinetik Pada Bayi


Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang
dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi fenobarbital,
fenitoin, asetaminofen dan distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya protein
plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat juga
rendah karena aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan masih
rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan. Selain banyaknya obat yang diminum
oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada bayi menentukan akibat yang ditimbulkan
oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila efek yang tidak diinginkan tidak bergantung
dari banyaknya obat yang diminum, misalnya reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI
yang diminum bayi menjadi tidak penting, tetapi apakah si bayi meminum atau tidak
meminum ASI menjadi lebih penting.
 
2.5 Pemberian Obat Dalam Masa Laktasi
Secara umum, sebagian besar obat dapat disekresikan melalui air susu ibu, tetapi
dalam jumlah kecil hingga jumlah yang diterima bayi dalam sehari umumnya masih lebih
rendah dosis terapeutiknya. Walaupun demikian, obat yang diberikan kepada ibu hendaknya
dipilih yang relatif aman, serta diberikan paling lambat 30-60 menit setelah menyusui atau 3-
4 jam sebelum ibu menyusui yang berikutnya, agar diperoleh ekskresi dalam air susu yang
terendah.
6

2.6 Obat yang Boleh Digunakan Selama Menyusui


Berikut adalah obat-obat yang boleh digunakan selama masa menyusui, yakni:
- Antikoagulan – warfarin
- Sulfonamide, kecuali pada bayi dengan defisiensi G-6-PADA.
- Antimalaria ; pirimetamin, dapson, sulfadoksin.
- Metronidazol
- Antiinflamasi
- Aspirin dosis rendah
- Antikonvulsan ; natrium valproat, karbamazepin, etosuksimid.
- Labelatol, verapamil, hidralazin.
- Antibiotika.
 
2.7 Obat yang Tidak Boleh Digunakan Selama Menyusui
Berikut adalah obat-obat yang tidak boleh digunakan selama masa menyusui, yakni:
- Antikoagulan ; fenindion & etilbiskumasetat, menyebabkan kekurangan protrombin
pada bayi.
- Tetrasiklin & aminoglikosida, menyebabkan pewarnaan gigi, gangguan pertumbuhan
tulang, flora usus bayi.
- Kloramfenikol, toksisitas pada bayi.
- Penisilin, menyebabkan anafilaksis.
- Ampisilin, menyebabkan diare & kandidiasis pada bayi.
- Antituberkulosis ; INH, menyebabkan defisiensi piridoksin pada bayi.
- Siklofosfamid, metotreksat, & obat antineoplastik/imunosupresif,  kontraindikasi
dalam masa menyusui.
- Aspirin dosis tinggi, mempengaruhi trombosit bayi.
- Barbiturat, diazepam, antihistaminika menimbulkan gejala depresi pada bayi.
- Primidon, menimbulkan depresi susunan saraf pusat pada bayi.
- Heroin dosis tinggi, menyebabkan koma pada bayi.
- Petidin, mengganggu susunan saraf pusat. 7
- Amitriptilin & nortriptilin, efek farmakologik pada bayi.
- Klorpromazin, menyebabkan pusing & letargi pada bayi.
- Alkohol, menyebabkan depresi susunan saraf pusat.
- Teofilin, menyebabkan iritabilitas pada bayi.
- Estrogen dosis tinggi, menyebabkan penurunan produksi air susu, poliferasi dan
epitel   vagina pada bayi perempuan & ginekomastia pada bayi laki-laki.
- Antiaritmia & amiodaron, menyebabkan brakardia pada bayi.
- Alkaloid ergot, menimbulkan gejala intoksikasi ergot.
- Derivat antrakinon & fenoltalein, menyebabkan diare pada bayi.

2.8 Masalah Yang Sering Terjadi Pada Ibu Menyusui


2.8.1 Mastitis
Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi.
Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau
mastitis puerperalis. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam payudara,
merupakan komplikasi berat dari mastitis. Dua penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan
infeksi. Patogen yang paling sering diidentifikasi adalah Staphilokokus aureus. Pada mastitis
infeksius, ASI dapat terasa asin akibat kadar natrium dan klorida yang tinggi dan merangsang
penurunan aliran ASI. Ibu harus tetap menyusui. Antibiotik (resisten-penisilin) diberikan bila
ibu mengalami mastitis infeksius.
Gejala mastitis non – infeksius
- Ibu memperhatikan adanya “bercak panas”, atau area nyeri tekan yang akut
- Ibu dapat merasakan bercak kecil yang keras di daerah nyeri tekan tersebut
- Ibu tidak mengalami demam dan merasa baik-baik saja
Gejala mastitis infeksius
- Ibu mengeluh lemah dan sakit-sakit pada otot seperti flu
- Ibu dapat mengeluh sakit kepala
- Ibu demam dengan suhu diatas 34oC
- Terdapat area luka yang terbatas atau lebih luas pada payudara
- Kulit pada payudara dapat tampak kemerahan atau bercahaya (tanda-tanda akhir)
- Kedua payudara mungkin terasa keras dan tegang “pembengkakan”
Pengobatan :
- Lanjutkan menyusui
- Berikan kompres panas pada area yang sakit
8
- Tirah baring (bersama bayi) sebanyak mungkin
- Jika bersifat infeksius, berikan analgesik non narkotik, antipiretik (Ibuprofen,
asetaminofen) untuk mangurangi demam dan nyeri
- Pantau suhu tubuh akan adanya demam. Jika ibu demam tinggi (<39oC), periksa
kultur susu terhadap kemungkinan adanya infeksi streptokokal
- Pertimbangkan pemberian antibiotik antistafilokokus kecuali jika demam dan gejala
berkurang.

Tabel 2.1 Obat yang diberikan pada penderita masitis

2.8.2 Kandida/Sariawan
Merupakan hal yang biasa terjadi pada ibu yang menyusui dan bayi setelah
pengobatan antibiotik. Manifestasinya seperti area merah muda yang menyolok menyebar
dari area puting, kulit mengkilat, nyeri akut selama dan setelah menyusui; pada keadaan yang
parah, dapat melepuh. Ibu mengeluh nyeri tekan yang berat dan rasa tidak nyaman,
khususnya selama dan segera setelah menyusui Bayi dapat menderita ruam popok, dengan
pustula yang menonjol, merah, tampak luka dan/atau seperti luka terbakar yang kemerahan.
Pada kasus-kasus yang berat, bintik-bintik atau bercak-bercak putih mungkin terlihat
merasakan nyeri dan menolak untuk mengisap.
Pengobatan :
- Obati ibu dan bayinya
- Oleskan krim atau losion topikal antijamur ke puting dan payudara setiap kali sehabis
menyusui, dan seka mulut, lidah dan gusi bayi setiap kali sehabis menyusui
- Anjurkan ibu untuk mengkompreskan es pada puting sebelum menyusui untuk
mengurangi nyeri
9

Tabel 2.2 Obat yang diberikan pada ibu yang menderita kandida/sariawan

2.8.3 Cacar Air (Virus Varisela Zoster)


Periode infeksius dapat bermula 1-5 hari sebelum erupsi vesikel. Lesi bermula dari
leher atau tenggorokan dan menyebar ke wajah, kulit kepala, membran mukosa dan
akstremitas. Kebanyakan ibu dan pekerja rumah sakit pernah menderita cacar air dan tidak
berisiko. Ketika ibu mengidap cacar air beberapa hari sebelum kelahiran bayi, bayi menjadi
berisiko karena antibodi ibu yang memberikan kekebalan pada bayi belum mempunyai
kesempatan untuk berkembang.
Perawatan :
- Jika ibu sudah pernah mengalami cacar, menyusui akan memberikan antibodi kepada
bayi. Menyusui tidak perlu dihentikan
- Jika ibu belum pernah mengidap cacar air, ibu dan bayinya harus menerima vaksin
varisela jika mereka sudah terpapar
- Jika ibu mengidap cacar beberapa hari sebelum melahirkan :
o Ibu dan bayi harus diisolasi secara terpisah jika neonatus tidak mengalami lesi.
Hanya sekitar 50 % bayi yang terpapar akan berkembang menjadi penyakit
o Keluarkan asi jika bayi ditempatkan pada tempat lain
o Jika bayi menderita lesi, isolasi bayi dengan ibu; menyusui tidak dihentikan.

2.8.4 Cytomegalovirus (CMV)


CMV adalah hal yang umum; 50-80 % populasi memiliki antibodi CMV di dalam
darahnya. Organisme tersebut dapat dijumpai dalam saliva, urin dan ASI. Janin mungkin
sudah terinfeksi sejak di dalam uterus. Masalah kongenital yang paling serius terjadi pada
10

bayi yang lahir dari ibu yang memiliki CMV primer selama kehamilan Menyusui merupakan
alat yang penting untuk memberikan imunitas pasif CMV pada bayi. Anak yang disusui, yang
diimunisasi CMV melalui ASI akan terlindungi dari gejala infeksi nantinya dan dari infeksi
primer selama kehamilan.
Perawatan :
- Bayi cukup bulan
Anjurkan supaya bayi cukup bulan disusui jika ibu telah terbukti seropositif selama
kehamilan. Mengkonsumsi ASI yang terinfeksi akan mengarah pada infeksi CMV dan
sero-konversi dari bayi tanpa akibat yang merugikan.
- Bayi preterm
Pertimbangkan dengan hati-hati faktor risiko pemberian ASI dari ibu yang terinfeksi
CMV pada bayi prematur khususnya jika bayi seronegatif. Segera ke neonatolog
untuk evaluasi dan pembuatan keputusan

2.8.5 Hepatitis B (HBV)


HBV dapat menyebabkan penyakit sistemik (demam, kelemahan) dan ditularkan
melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, sekresi tubuh atau transfusi darah. Bayi yang
lahir dari ibu dengan HBV + langsung tertular, kebanyakan terinfeksi di dalam rahim.
Perawatan :
- Semua bayi harus mendapatkan vaksin hepatitis B setelah lahir. Selain itu, bayi harus
menerima imunoglobulin hepatitis B (HBIG)
- Menyusui tidak meningkatkan risiko bayi terinfeksi HBV

2.8.6 HIV/AIDS
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi dapat terjadi selama kehamilan (5-10%), persalinan
(10-20%) dan menyusui (10-15%). Meskipun secara umum prevalensi HIV di Indonesia
tergolong rendah (kurang dari 0,1 %), tetapi sejak tahun 2000 Indonesia telah dikategorikan
sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung
dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada beberapa populasi tertentu (pada pengguna
narkoba suntikan, PSK, waria, dan narapidana).
Karena mayoritas pengguna narkoba suntukan yang terinfeksi HIV berusia
reprodukasi aktif (15-24 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif
akan meningkat. Dengan intervensi yang tepat maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 25-45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun
11

terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada
intervensi sekitar 3.000 bayi diperkirakan akan lahir HIV positif setiap tahunnya di Indonesia.
Perawatan :
- Ibu hamil dengan perilaku berisiko atau mendapat paparan risiko terinfeksi HIV, segera
melakukan VCT (Voluntary Counseling & Testing) untuk mengetahui status serologis
secepatnya.
- Bila status serologisnya negatif, dianjurkan untuk mempertahankannya dengan
menghindari paparan menggunakan kondom setiap sanggama, melakukan perilaku hidup
sehat, dan melakukan evaluasi ulang serologis sesuai anjuran (memastikan hasil
pemeriksaan di luar “masa jendela”).
- Bila status serologisnya positif, dianjurkan untuk melaksanakan profilaksis
Antiretrovirus (ARV Profilaksis), bersalin dengan seksio sesarea, dan tidak
menyusui/menghentikan menyusui sedini mungkin/menggunakan susu formula
(Exclusive Formula Feeding)
- Pemakaian susu formula harus memenuhi syarat AFASS dari WHO : Affordable
(Terjangkau), Feasible (Layak), Acceptable (Dapat diterima), Safe (Aman), dan
Sustainable (Berkelanjutan). Apabila kelima syarat AFASS tidak dapat terpenuhi, maka
ASI tetap diberikan setelah melalui proses konseling mengenai kemungkinan penularan
infeksi.
- Setelah persalinan, ibu dengan HIV positif dianjurkan melanjutkan pengobatan ARV
(ARV Terapi) sesuai Pedoman Nasional Pengobatan ARV
- Bayi dari ibu HIV positif perlu dijaga kesehatan dengan pemberian nutrisi yang sesuai,
dan diperikasa status serologisnya pada usia 18 bulan
- Pasangan seksual dari ibu HIV positif dianjurkan untuk melakukan VCT dan anjuran
yang sesuai.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu
ibu (ASI) dari payudara ibu. Selama menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai
keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Padahal obat tersebut dapat
memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui. Konsentrasi obat dalam
darah ibu adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari
faktor-faktor fisiko-kimia obat. Pertimbangan mengenai daftar pemilihan obat yang
kontraindikasi selama menyusui juga perlu diketahui. Masalah-masalah yang sering terjadi
pada masa menyusui misalnya mastitis, kandida/sariawan, CMV, dan lain sebagainya.
Penyakit-penyakit tersebut tentunya memerlukan penanganan (pengobatan) yang harus aman
bagi ibu maupun bayinya. Oleh karena itu hanya obat yang sangat diperlukan saja yang boleh
diberikan pada ibu menyusui.

3.2 Saran
            Dalam rangka peningkatan pengetahuan mengenai penggunaan obat pada ibu
menyusui, diperlukan pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman
sehingga harus dihindari selama menyusui agar tidak merugikan ibu dan bayinya.

DAFTAR PUSTAKA
Riordan, Jan, EdD, RN, IBCLC, FAAN, 1996, Buku Saku Menyusui & Laktasi, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Anonim. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Departemen
Kesehatan R I.

Anonim, 2008, Daftar Obat Indonesia, Jakarta

Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta

Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall International Ltd.

D.C.Knoppert, Safety of drug in pregnancy and lactation in Pharmacotherapy Self-


Assessment Programm, 3rd ed, module Women’s health, American College of Clinical
Pharmacy: Kansas 1999:1-24.

Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health Perspect 102(Suppl
11):000-000 (1994)

Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk Penggunaan Obat
dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan Praktek Kerja Profesi Apoteker di
Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta

Anonim, 1995, Modul Manajemen Laktasi, Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta

Anonim, 2001, Mastitis Penyebab & Penatalaksanaan, World Health Organization, Penerbit
Widya Medika, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai