PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Farmakokinetika Pada Ibu Menyusui
Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi didalam ASI ,
akan tetapi konsentrasi obat di ASI umumnya rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu
adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor
fisiko-kimia obat. Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada
kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu pemberian obat
secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis.
Obat yang larut dalam lemak, yang non-polar dan yang tidak terion akan mudah
melewati membran sel alveoli dan kapiler susu. Obat yang ukurannya kecil (< 200 Dalton)
akan mudah melewati pori membran epitel susu. Obat yang terikat dengan protein plasma
tidak dapat melewati membran, hanya obat yang tidak terikat yang dapat melewatinya.
Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu obat yang bersifat basa lemah di
plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan mudah menembus membran
alveoli dan kapiler susu. Sesampainya di ASI obat yang bersifat basa tersebut akan mudah
terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke plasma. Fenomena
tersebut dikenal sebagai ion trapping.
Rasio M:P adalah perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di plasma ibu.
Rasio M:P yang >1 menunjukkan bahwa obat banyak berpindah ke ASI , sebaliknya rasio
M:P < 1 menunjukkan bahwa obat sedikit berpindah ke ASI. Pada umumnya kadar puncak
obat di ASI adalah sekitar 1- 3 jam sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat
membantu mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu
menyusui tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk
sementara ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di pompa. ASI dapat diberikan kembali
setelah dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah 5 kali
waktu paruh obat. Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat dinilai
dengan mempertimbangkan :
1. Farmakologi obat: reaksi yang tidak dikehendaki
2. Adanya metabolit aktif
3. Multi obat : adisi efek samping
4. Dosis dan lamanya terapi
4
5. Umur bayi.
6. Pengalaman/bukti klinik 3
7. Farmakoepidemiologi data.
2.2 Farmakodinamika Pada Ibu Menyusui
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan
farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas
reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-
tubokurarin meningkat pada bayi.
Obat Yang Digunakan Pada Wanita Menyusui
- Penggunaan obat yang tidak diperlukan harus dihindari. Jika pengobatan memang
diperlukan, perbandingan manfaat/risiko harus dipertimbangkan pada ibu maupun
bayinya.
- Obat yang diberi ijin untuk digunakan pada bayi umumnya tidak membahayakan
- Neonatus (dan khususnya bayi yang lahir prematur) mempunyai risiko lebih besar
terhadap paparan obat melalui ASI. Hal ini disebabkan oleh fungsi ginjal dan hati yang
belum berkembang, sehingga berisiko terjadi penimbunan obat
- Harus dipilih rute pemberian dan pembagian obat yang menghasilkan jumlah kadar obat
terkecil yang sampai pada bayi
- Hindari atau hentikan sementara menyusui
- Jika suatu obat digunakan selama menyusui, maka bayi harus dipantau secara cermat
terhadap efek samping yang mungkin terjadi
- Sebaiknya dihindari obat baru, yang hanya memiliki sedikit data
2.8.2 Kandida/Sariawan
Merupakan hal yang biasa terjadi pada ibu yang menyusui dan bayi setelah
pengobatan antibiotik. Manifestasinya seperti area merah muda yang menyolok menyebar
dari area puting, kulit mengkilat, nyeri akut selama dan setelah menyusui; pada keadaan yang
parah, dapat melepuh. Ibu mengeluh nyeri tekan yang berat dan rasa tidak nyaman,
khususnya selama dan segera setelah menyusui Bayi dapat menderita ruam popok, dengan
pustula yang menonjol, merah, tampak luka dan/atau seperti luka terbakar yang kemerahan.
Pada kasus-kasus yang berat, bintik-bintik atau bercak-bercak putih mungkin terlihat
merasakan nyeri dan menolak untuk mengisap.
Pengobatan :
- Obati ibu dan bayinya
- Oleskan krim atau losion topikal antijamur ke puting dan payudara setiap kali sehabis
menyusui, dan seka mulut, lidah dan gusi bayi setiap kali sehabis menyusui
- Anjurkan ibu untuk mengkompreskan es pada puting sebelum menyusui untuk
mengurangi nyeri
9
Tabel 2.2 Obat yang diberikan pada ibu yang menderita kandida/sariawan
bayi yang lahir dari ibu yang memiliki CMV primer selama kehamilan Menyusui merupakan
alat yang penting untuk memberikan imunitas pasif CMV pada bayi. Anak yang disusui, yang
diimunisasi CMV melalui ASI akan terlindungi dari gejala infeksi nantinya dan dari infeksi
primer selama kehamilan.
Perawatan :
- Bayi cukup bulan
Anjurkan supaya bayi cukup bulan disusui jika ibu telah terbukti seropositif selama
kehamilan. Mengkonsumsi ASI yang terinfeksi akan mengarah pada infeksi CMV dan
sero-konversi dari bayi tanpa akibat yang merugikan.
- Bayi preterm
Pertimbangkan dengan hati-hati faktor risiko pemberian ASI dari ibu yang terinfeksi
CMV pada bayi prematur khususnya jika bayi seronegatif. Segera ke neonatolog
untuk evaluasi dan pembuatan keputusan
2.8.6 HIV/AIDS
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi dapat terjadi selama kehamilan (5-10%), persalinan
(10-20%) dan menyusui (10-15%). Meskipun secara umum prevalensi HIV di Indonesia
tergolong rendah (kurang dari 0,1 %), tetapi sejak tahun 2000 Indonesia telah dikategorikan
sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung
dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada beberapa populasi tertentu (pada pengguna
narkoba suntikan, PSK, waria, dan narapidana).
Karena mayoritas pengguna narkoba suntukan yang terinfeksi HIV berusia
reprodukasi aktif (15-24 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif
akan meningkat. Dengan intervensi yang tepat maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 25-45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun
11
terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada
intervensi sekitar 3.000 bayi diperkirakan akan lahir HIV positif setiap tahunnya di Indonesia.
Perawatan :
- Ibu hamil dengan perilaku berisiko atau mendapat paparan risiko terinfeksi HIV, segera
melakukan VCT (Voluntary Counseling & Testing) untuk mengetahui status serologis
secepatnya.
- Bila status serologisnya negatif, dianjurkan untuk mempertahankannya dengan
menghindari paparan menggunakan kondom setiap sanggama, melakukan perilaku hidup
sehat, dan melakukan evaluasi ulang serologis sesuai anjuran (memastikan hasil
pemeriksaan di luar “masa jendela”).
- Bila status serologisnya positif, dianjurkan untuk melaksanakan profilaksis
Antiretrovirus (ARV Profilaksis), bersalin dengan seksio sesarea, dan tidak
menyusui/menghentikan menyusui sedini mungkin/menggunakan susu formula
(Exclusive Formula Feeding)
- Pemakaian susu formula harus memenuhi syarat AFASS dari WHO : Affordable
(Terjangkau), Feasible (Layak), Acceptable (Dapat diterima), Safe (Aman), dan
Sustainable (Berkelanjutan). Apabila kelima syarat AFASS tidak dapat terpenuhi, maka
ASI tetap diberikan setelah melalui proses konseling mengenai kemungkinan penularan
infeksi.
- Setelah persalinan, ibu dengan HIV positif dianjurkan melanjutkan pengobatan ARV
(ARV Terapi) sesuai Pedoman Nasional Pengobatan ARV
- Bayi dari ibu HIV positif perlu dijaga kesehatan dengan pemberian nutrisi yang sesuai,
dan diperikasa status serologisnya pada usia 18 bulan
- Pasangan seksual dari ibu HIV positif dianjurkan untuk melakukan VCT dan anjuran
yang sesuai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu
ibu (ASI) dari payudara ibu. Selama menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai
keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Padahal obat tersebut dapat
memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui. Konsentrasi obat dalam
darah ibu adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari
faktor-faktor fisiko-kimia obat. Pertimbangan mengenai daftar pemilihan obat yang
kontraindikasi selama menyusui juga perlu diketahui. Masalah-masalah yang sering terjadi
pada masa menyusui misalnya mastitis, kandida/sariawan, CMV, dan lain sebagainya.
Penyakit-penyakit tersebut tentunya memerlukan penanganan (pengobatan) yang harus aman
bagi ibu maupun bayinya. Oleh karena itu hanya obat yang sangat diperlukan saja yang boleh
diberikan pada ibu menyusui.
3.2 Saran
Dalam rangka peningkatan pengetahuan mengenai penggunaan obat pada ibu
menyusui, diperlukan pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman
sehingga harus dihindari selama menyusui agar tidak merugikan ibu dan bayinya.
DAFTAR PUSTAKA
Riordan, Jan, EdD, RN, IBCLC, FAAN, 1996, Buku Saku Menyusui & Laktasi, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Anonim. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Departemen
Kesehatan R I.
Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall International Ltd.
Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health Perspect 102(Suppl
11):000-000 (1994)
Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk Penggunaan Obat
dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan Praktek Kerja Profesi Apoteker di
Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta
Anonim, 1995, Modul Manajemen Laktasi, Ditjen Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta
Anonim, 2001, Mastitis Penyebab & Penatalaksanaan, World Health Organization, Penerbit
Widya Medika, Jakarta