Anda di halaman 1dari 6

Nama : Maulida Zulfa Aini

NIM : 1808056055
Kelas : PM 4B

PENILAIAN SIKAP

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aspek penilaian pada umumnya meliputi ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotorik. Namun, selama ini sebagian besar para pendidik mengabaikan ranah afektif dan
hanya melihat ranah kognitif dan psikomotorik. Kemampuan afektif berhubungan dengan
minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen,
percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri.
Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan
dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat. Dengan adanya perkembangan afektif
tersebut, maka mampu mempengaruhi hasil pembelajaran matematika siswa di dalam kelas.
Berdasarkan masalah tersebut diharapakan para pendidik tidak mengkesampingkan lagi dan
memperhatikan perkembangan afektif siswa dan membenahinya agar terwujud tujuan
pedidikan indonesia dan menghasilkan putra-putri bangsa yang berguna bagi nusa dan bangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penilaian sikap?
2. Apa saja tingkatan/taksonomi sikap?
3. Bagaimana implementasi taksonomi sikap pada pembelajaran matematika?

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Penilaian Sikap
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam
alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta
didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian
menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.
Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai
kuantitatif (berupa angka). Jadi, penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk
mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik,
dan sebagainya. 
1
Popham (1995) mengatakan bahwa penilaian sikap menentukan keberhasilan
belajar seseorang. Seorang peserta didik yang tidak memiliki minat/karakter terhadap
mata pelajaran tertentu, maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan belajar secara
maksimal. Sedangkan peserta didik yang memiliki minat/karakter terhadap mata
pelajaran, maka akan sangat membantu untuk mencapai ketuntasan pembelajaran secara
maksimal.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara-cara tersebut antara
lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala
sikap. Uraian dari masing-masing cara dikemukakan sebagai berikut:
1. Observasi perilaku
Perilaku seseorang pada umumnya menunjukkan kecendurungan seseorang dalam
sesuatu hal. Misalnya, orang yang biasa minum kopi dapat dipahami sebagai
kecendurungan yang senang kepada kopi. Oleh karena itu, guru dapat melakukan
observasi terhadap siswa yang dibinanya. Hasil observasi dapat dilakukan sebagai
umpan balik dalam pembinaan.
2. Pertanyaan langsung.
Kita juga dapat menanyakan secara langsung tentang sikap seseorang berkaitan
dengan sesuatu hal. Misalnya, bagaimana tanggapan siswa tentang kebijakan yang
baru di sekolah tentang “peningkatan Ketertiban”
3. Laporan pribadi
Penggunaan teknik ini disekolah, misalnya siswa diminta membuat usulan yang
berisi pandangan atau tanggapan tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang
menjadi objek sikap.
4. Skala sikap
Ada beberapa model skala yang dikembangkan oleh pakar untuk mengukur sikap.
Dalam buku ini akan diuraikan dua model saja, yaitu skala diferensiasi semantik
(scematic differential techniques) dan skala Likert (Likert scales). Skala diferensiasi
semantik memiliki dua kelebihan dibandingkan dengan berbagai teknik yang lain.
Pertama, teknik ini dapat digunakan dalam berbagai bidang. Kedua, teknik ini
sederhana dan mudah diimplementasikan dalam pengukuran dan penilaian sikap
siswa di kelas.

Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah
afektif kemampuan yang diukur adalah:
a. Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala, kesadaran,
kerelaan, mengarahkan perhatian.
2
b. Merespon, meliputi merespon secara diam-diam, bersedia merespon, merasa puas
dalam merespon, mematuhi peraturan.
c. Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen
terhadap nilai.
d. Mengorganisasi, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan
abstrak, mengorganisasi sistem suatu nilai
e. Karakteristik suatu nilai, meliputi falsafah hidup dan sistem nilai yang dianutnya.
Contohnya mengamati tingkah laku siswa selama mengikuti proses belajar mengajar
berlangsung.

B. Taksonomi Sikap
Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan Krathwohl, dkk. Pada
dasarnya Krathwohl berusaha mengenbangkan taksonomi ini ke dalam lima tingkat
perilaku. Dalam perumusan tujuan afektif dapat terjadi ketidak jelasan tingkat mana yang
dimaksudkan, sebab pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi batas perilaku menjadi tidak
begitu tegas dan terjadi tumpang tindih.
Krathwohl, Bloom, dan Masia pada tahun 1964 mengembangkan taksonomi tujuan
yang berorientasi kepada perasaan afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses
seseorang di dalam mengenali dang mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang
menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan
afektif ke dalam lima kelompok, yaitu:
1. Receiving (Menerima/pengenalan)
Ranah ini berkaitan dengan keinginan pebelajar untuk terbuka (peka) pada perangsang
atau pesan-pesan yang berasal dari lingkungannya. Pada tingkat ini muncul keinginan
menerima perangsang atau paling tidak menyadari bahwa perangsang itu ada. Dalam
hal ini pebelajar masih bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan
saja. Melihat perbedaan penggunaan warna dalam desain pakaian atau cara pandang
seorang terhadap suatu masalah termasuk dalam tujuan kelompok. Contoh kata kerja
operasional: mendengarkan, mengahadiri, melihat, dan memperhatikan.
2. Responding (Merespon)
Pada tingkat ini muncul keinginan untuk melakukan tindakan sebagai respon pada
perangsang. Tindakan-tindakan ini dapat disertai dengan perasaan puas dan nikmat.
Dalam hal ini pebelajar diharapkan untuk menunjukkan perilaku yang diminta.
Misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila
diminta. Kesediaan untuk mendiskusikan perbedaan antara garis dengan sudut

3
menunjukkan perilaku afektif pemberian respon. Kata kerja operasionalnya:
mengikuti, mendiskusikan, berlatih, berpartisipasi, mematuhi.
3. Valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat
internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai,
misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen.
Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik.
Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil
agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini
diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
4. Organization (Mengorganisasi)
Seorang pebelajar mempunyai anggapan bahwa pengetahuan tentang IPTEK sangat
penting sekali. Dia juga beranggapan bahwa pengetahuan IPTEK sangat penting tetapi
tidak lebih penting dari pada pengetahuan tentang kemanusiaan. Sebab seharusnya
pengetahuan kemanusiaan akan memberi pedoman dan kontrol terhadap
pengembangan IPTEK.
5. Characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta
didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu
hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan
pribadi, emosi, dan sosial.

Pengelompokkan ini juga bersifat hirarkhis dengan menerima/pengenalan sebagai


tingkat yang paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi.
Makin tinggi tingkat tujuan dalam hirarki semakin besar pula ketertiban dan komitmen
seseorang terhadap tujuan tersebut.

C. Implementasi Taksonomi Sikap Pada Pembelajaran Matematika


Implementasi pembelajaran melalui aspek afektif: penilaian pada aspek afektif
dapat dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner, inventori dan pengamatan
(observasi). Prosedurnya dimulai dengan penentuan definisi konseptual kemudian
dijabarkan menjadi sejumlah indikator. Indikator ini menjadi isi pedoman kuesioner,
inventori dan pengamatan.
Kompetensi siswa dalam aspek afektif yang perlu dinilai utamanya menyangkut
sikap dan minat siswa dalam belajar. Secara tektis penilaian ranah afektif dilakukan
melalui dua hal yaitu laporan diri oleh siswa yang biasanya dilakukan dengan pengisian
4
angket anonim, pengamatan sistematis oleh guru terhadap afektif siswa dan lembar
pengamatan.
Indikator dari sikap terhadap pembelajaran matematika yaitu :
a. Kegiatan siswa saat proses pembelajaran matematika
Kegiatannya antara lain meliputi; ketika guru sedang menjelaskan materi dan
kegiatan siswa setelah usai pelajaran. Ketika guru sedang menjelaskan di harapakan
“siswa memperhatikan dengan seksama, memperhatikan dengan baik, setelah
pulang sekolah di pelajari lagi”.
b. Mempelajari/mengerjakan soal matematika
Mempelajari/mengerjakan soal matematika meliputi; memahami matematika dan
penggunaan buku coret-coret untuk mencoba-coba mencari cara menyelesaikannya
dan menghitung.
c. Interaksi dengan guru matematika
Interaksi dengan guru matematika ini meliputi; “bertanya kepada guru apabila ada
materi yang belum jelas misal pada materi Bangun Ruang siswa menanyakan
tentang menemukan rumus volume tabung”.
d. Tindakan siswa jika ada tugas matematika
Tindakan siswa jika ada tugas matematika meliputi; “bagaimana jika siswa
mendapatkan tugas matematika dan alasan siswa berusaha mengerjakan soal”.
Harapannya alasan siswa mengerjakan adalah “ya karena saya ingin bisa
matematika” walaupun jawaban siswa pastinya bermacam-macam.
e. Melakukan diskusi tentang matematika
Untuk melakukan diskusi tentang matematika siswa harus mempunyai minat terlebih
dahulu. Indikator minat terhadap mata pelajaaran matematika yaitu :
1) Memiliki catatan matematika
Tentunya untuk berdiskusi siswa harus mempunyai catatan matematika dimana
terdapat materi atau soal pelajaran mtematika dan permasalahan yang akan di
diskusikan.
2) Usaha siswa memahami matematika
Di harapkan siswa mempunyai usaha pemahaman materi matematika bukan
hanya pada saat di sekolah atau jam pelajaran matematika, tetapi siswa juga
mempunya usaha untuk memahami pelajaran matematika ketika pulang sekolah
atau di rumah. Saat di rumah mengerjakan tugas yang di berikan guru bukan
mencotoh temannya mengenai tugas yang di berikan guru.
3) Memiliki buku matematika

5
Tentunya siswa harus mempunyai buku matematika yaitu buku siswa (paket)
atau LKS agar mempermudah dalam proses pembelajaran matematika.
4) Kesukaan siswa terhadap matematika
Diharapakan siswa mencintai atau menyukai mapel matematika agar mudah
menyerap materi. Apabila siswa dari awal sudah tidak menyukai matematika
maka siswa akan sukar untuk mengikuti pembelajaran matematika.

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan
Perkembangan afektif siswa berbeda-beda tergantung dari masing-masing latar belakang
siswa dan lingkungan siswa, hal ini dikarenakan perkembangan afektif siswa dipengaruhi
oleh 4 faktor yang mempengaruhi yaitu emosi, sikap, moral dan nilai. Siswa yang
perkembangan afektifnya bagus dan terus meningkat sesuai indikator yang dijelaskan
maka akan berdampak positif terhadap pembelajaran matematika. Sebaliknya, siswa yang
perkembangan afektifnya kurang baik maka akan berdampak negatif terhadap
pembelajara matematika, contohnya siswa tidak mempunyai keinginan belajar
matematika, tidak memperhatikan guru bahkan lebih ekstrim lagi siswa bisa tidak
menghormati guru sehingga menimbulkan perlakuan yang tidak baik atau tidak sopan
bagi siswa terhadap guru.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut diharapakan para pendidik tidak mengkesampingkan
lagi dan memperhatikan perkembangan afektif siswa dan membenahinya agar terwujud
tujuan pedidikan indonesia dan menghasilkan putra-putri bangsa yang berguna bagi nusa
dan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai