PENDAHULUAN
keduanya. (King., 2007). Infeksi peritonitis dibagi menjadi primer, sekunder, dan
2004).
terbanyak severe sepsis pada intensive care unit (ICU). Penelitian terbaru
yang signifikan. (Lopez, et al., 2011). Tingkat mortalitasnya dapat hanya 1% saja
pada pasien dengan apendisitis perforasi, namun bisa mencapai 20% atau lebih
pada pasien dengan perforasi colon atau trauma tajam pada abdomen, bahkan
dapat mencapai 81% pada pasien yang mendapatkan infeksi intra abdominal pasca
akhir pada pasien dengan peritonitis perforasi, akan tetapi belum ada sistem
skoring yang lebih superior. Saat ini skor ASA, APACHE II, skor Boey, skor
PULP dan skor MPI (Mannheim Peritonitis Index). Skor Boey dan skor PULP
merupakan sistem skoring prognostik yang spesifik digunakan pada pasien dengan
perforasi ulkus peptik. Skor ASA merupakan skor risiko pembedahan secara
umum dan tidak khusus pada pasien peritonitis perforasi. (Soreide, et al., 2014).
(komorbid), syok preoperatif, dan perforasi lebih dari 24 jam. (Thorsen, et al.,
2013).
Pada tahun 1983 di Jerman, Wach dan Linder membuat skor MPI untuk
retrospektif dari medikal record, terdapat 8 variabel yang dinilai yaitu usia, jenis
kelamin, gagal organ, keganasan, durasi pre operasi, origin sepsis, diffuse
generalized peritonitis dan eksudat. (Batra, et al., 2013). Skor MPI tidak spesifik
untuk memprediksi kematian pada pasien dengan ulkus peptik. (Thorsen, et al.,
terjadinya morbiditas cukup rendah. (Thorsen, et al., 2013). Validasi statistik dari
sensitivitas 85%, spesifisitas 61%. Seri 4 tahun 1994 sensitifitas 69%, spesifisitas
dengan sensitifitas 24% dan spesifisitas 35%. (Dani, et al., 2015). Dengan hasil
skoring tersebut tidak dapat dipakai untuk menentukan terapeutik. (Krishna, et al.,
2016). Kerugian dari skor MPI ini juga tidak dapat digunakan pada pasien dengan
penyakit kronis dan penyakit sistemik mayor karena banyaknya faktor risiko yang
Variasi dari hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan demograpis pasien,
Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik.
(Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai risiko
et al., 2012).
al., 2012).
sampai dilakukan operasi lebih dari 24 jam berisiko terjadi mortalitas sebesar
(75%). (Krishna, et al., 2016). Studi lain juga menyebutkan bahwa kontaminasi
cairan peritoneal merupakan prediktor yang sangat signifikan terjadinya
dua kegagalan fungsi organ mengakibatkan 60% kematian dan bila terdapat 3
kegagalan fungsi organ maka resiko terjadinya kematian sebesar 90%. (Murray &
Coursin.,1994). Kriteria MODS menurut Knaus dkk meliputi enam organ yaitu
keputusan klinis dan sebagai dasar pemberian inform consent yang realistis bagi
melihat data awal saat masuk rumah sakit merupakan faktor penting dalam
membuat sistem skor klinis dari faktor-faktor tersebut. Model prognostik ini
keputusan klinis segera dan memberikan inform consent yang realistis tentang
sebagai berikut:
1. Apakah usia lebih dari 60 tahun merupakan faktor risiko terjadinya kematian
3. Apakah onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai dilakukannya
4. Apakah lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada pasien
peritonitis perforasi?
peritonitis perforasi?
6. Apakah diameter perforasi > 0,5cm merupakan faktor risiko kematian pada
perforasi?
peritonitis perforasi?
perforasi.
3. Mengetahui apakah onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai
peritonitis perforasi?
4. Mengetahui apakah lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada
peritonitis perforasi?
1.4 Manfaat
keputusan klinis rasional, alokasi sumber daya yang tepat dan sebagai dasar
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2009)
dalam abdomen, yang biasanya dideskripsikan sebagai peritonitis atau abses intra-
complicated merupakan infeksi yang meluas dari organ sumber ke dalam rongga
peritonitis lokal dan difus. Peritonitis lokal sering bermanifestasi sebagai abses
dengan jaringan debris, bakteri, neutrofil, makrofag, dan cairan eksudat yang
2.2 Epidemiologi
Peritonitis primer pada anak-anak jarang terjadi, kurang dari 1% dari seluruh
kasus dan lebih sering terjadi pada anak perempuan usia di bawah 10 tahun. Pada
pasien anak perempuan, kondisi lingkungan yang alkali dari traktus genitalis dapat
anak dengan sindroma nefotik adalah rendah dan tidak sampai melebihi 5% kasus.
Bacterial Peritonitis (SBP). Walaupun etiologi dan insiden gagal hepar pada anak-
anak dan dewasa berbeda, insiden terjadinya SBP pada pasien dengan asites pada
puncak usia pada anak-anak, yaitu periode neonatal dan 5 tahun. (Daley, et al.,
2013).
perforasi ulkus peptikum (64%), diikuti oleh perforasi usus kecil (24%), dan
tahun (32%), diikuti oleh 31 sampai 40 tahun (26%). Insiden puncak di kalangan
kelompok usia ini di negara berkembang sering disebabkan oleh ulkus peptikum.
Pria yang paling sering terkena, dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 9:1,
yang sedikit lebih tinggi daripada apa yang telah dilaporkan dalam literatur
patogenik yang rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. Tipe
peritonitis ini yang paling banyak menyebabkan mortaliitas dalam kasus infeksi
2.3 Etiologi
abdomen dalam hal aktivasi kaskade mediator lokal dengan stimulus yang
berbeda. Oleh karena itu, agen infeksius (bakteri, virus) dan non-infeksius (bahan
yang steril melalui perforasi usus, misalnya ruptur dari apendiks dan divertikel
kolon. Bahan kimia yang dapat mengiritasi peritoneum, misalnya asam lambung
dari perforasi gaster atau empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi
pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. (Akujobi, et al., 2006)
Etiologi peritonitis juga tergantung pada jenis peritonitis. (Daley., 2013).
Peritonitis primer pada pasien dewasa disebabkan oleh penyakit sirosis hepatis
dan asites, sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh sindroma nefrotik dan
penyebab lain, sepreti gagal jantung, keganasan, penyakit autoimun, juga berisiko
primer juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan kateter peritoneum, seperti
(ischemic colitis). Trauma pada abdomen dapat berupa trauma tajam, tumpul, atau
imunitas pasien yang tidak adekuat. Gangguan sistem imun yang signifikan pada
yang rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. (King, 2007;
peritoneum lokal dengan hilangnya sel-sel mesotel di daerah itu. Defek pada
lapisan mesotel diperbaiki oleh “metastasis” dari sel-sel mesotel yang ada di
peritoneum yang luas memerlukan waktu yang sama dengan defek yang kecil
untuk sembuh, biasanya antara 3 sampai 5 hari. Proses ini cepat dan biasanya
(Wittmann, 2010)
tergantung dari ukuran luka peritoneum. Dalam 3 hari setelah injury, luka ditutupi
oleh sel jaringan penghubung, dan pada hari kelima sel-sel baru ini menyerupai
mesotel normal. Sumber dari sel ini masih belum jelas. Berbagai kemungkinan
diferensiasi monosit dan makrofag dalam cairan peritoneum ke dalam sel mesotel,
proliferasi sel mesotel yang intak dari cairan peritoneum atau tepi luka. Injury
pada peritoneum yang disebabkan oleh karena infeksi dan inflamasi akan
kembalinya aktivitas fibrinolitik normal sebagai regenerasi sel mesotel, dan adesi
fibrin didegradasi dan dihilangkan. Namun pada keadaan injury peritoneum yang
berat atau infeksi yang persisten, adhesi fibrin akan bertransformasi menjadi
adhesi fibrosa oleh fibroblast yang tumbuh ke dalam, kapiler, dan deposisi
diinisiasi oleh sel makrofag peritoneum setempat (PM) dan sel mesotel yang
pengerahan sel PMN dan monosit ke dalam rongga peritoneum. Monosit akan
2007)
1. Sel mast
Dalam peritoneum normal, sel mast hadir dan jumlahnya meningkat pada
2009). Sel mast berespon terhadap terjadinya infeksi peritoneum dengan cara
vasodilatsi dan kontraktur endotel, sehingga terjadi influks cairan dan protein
yang kaya akan faktor komplemen dan immunoglobulin ke dalam rongga
2. Makrofag peritoneum
secara aktif berperan dalam fagositosis. (Norton, et al., 2001). Aktivasi makrofag
abses, yang merupakan proses yang berfungsi untuk membentuk dinding dari
species. PMN juga memproduksi mediator dalam jumlah besar yang mengarah
Sel ini merupakan sel yang membentuk membran peritoneum. (Norton, et al.,
2001). Paparan episode peritonitis yang kronis merusak sel-sel mesotel, yang
mesotel yang tersisa menjadi aktif dan menghasilkan faktor angiogenik dan
growth factor - beta ( TGF - β ) , dan asam hyaluronic (HA). Regenerasi daerah
kehilangan sel mesotel ini terjadi dengan proliferasi dan migrasi sel-sel mesotel
Sel mesotel juga merupakan sumber penting dari aktivator plasminogen yang
peritoneum normal. Deposisi fibrin yang luas terjadi dalam rongga peritoneum
activator inhibitor 1. Untuk itu pada proses inflamasi, PMC menurunkan regulasi
neutrofil tertarik ke rongga peritoneum, dan dalam pengaturan ini, mikrovili dari
molekul adhesi sel vaskular-1 (VCAM-1, atau CD 106). (Feldman, et al., 2010)
Sel-sel lain yang berperan dalam inflamasi pada peritoneum meliputi sel
endotel. Produk sel makrofag, neutrofil, dan mesotel juga meng-injury lapisan sel
endotel yang berdekatan dan dengan ini dapat meningkatkan pergerakan dari
mediator ke ruang vaskuler. Hal ini hanya terjadi pada aktivasi atau injury,
dimediasi oleh TNF- , IL-1, atau radikal oksigen, di mana sel endotel
dan migrasi leukosit melalui sel endotel. Jadi aktivasi dari endotel vaskuler adalah
kunci dari mekanisme inflamasi. Perubahan menonjol dalam aktivasi sel endotel
dapat diamati pada dyalisis peritoneal. Misalnya, paparan sel endotel untuk
(ROS). (Zinner, et al., 1997; Norton, et al., 2001; Schilte, et al., 2009).
mekanis dari bakteri melalui jaringan limfatik, (2) pembunuhan bakteri dengan
melalui stomata yang terletak pada saluran limfe besar pada permukaan
kiri. Bakteri (1-2 m) dan sel darah merah (7-8 m) dengan mudah melewati stomata
tersebut (8-12 m) ke dalam duktus torasikus dan kemudian ke aliran darah vena
Tujuan utama dari akumulasi lokal dan interaksi dari mediator humoral
tempat inflamasi dilengkapi dengan perubahan aliran darah lokal begitu juga
activating factors (PAF), TNF, dan IL-1 muncul untuk membantu terjadinya efek-
efek tersebut. Beberapa substansi juga membantu migrasi neutrofil dan makrofag
melokalisasi dan membatasi kontaminasi bakteri. Terjadi aktivasi sel imun yang
mesotel dan makrofag yang dimediasi oleh aktivitas prokoagulan yang bekerja
fibrin yang berfungsi untuk wall-off dan merangkap bakteri (Abses). (Zinner, et
al., 1997)
1997). E.coli merupakan bakteri pathogen yang paling sering ditemukan, diikuti
2,14,31
termasuk enterococci, dan bakteri Haemophillus. (King, 2007; William, et
terhitung 2-4% kasus terutama pada pasien dengan erosi pada hernia umbilicus.
berasal dati saluran cerna dan selalu bersifat infeksi polimikrobial. Peritonitis
yang disebabkan oleh perforasi saluran cerna bagian atas biasanya menunjukkan
awal bakteri peritonitis. Pada inflamasi supuratif sebagian besar adalah flora
translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam rongga peritoneum. Spesies bakteri
yang berbeda bekerja secara sinergis pada peritonitis. Oleh karena itu disebutkan
bahwa, peritonitis ini tidak disebabkan oleh satu organism saja. (Johnson, et al.,
1997)
patogen obligat. Bakteri ini mengandung beberapa struktur elemen kostitutif yang
semuanya ini berperan dalam merusak pertahanan host. (Hau, 2003). PAMPs
dikenali oleh sel imun innate setempat yang kemudian mengekpresikan Toll-Like
Receptors (TLR). Sinyal TLR melalui Nuclear Factor (NF)-kB signaling cascade,
menyebabkan ekpresi dari Nitric oxide (NO), yang kemudian dapat menginduksi
Sinyal TLR juga menyebabkan produksi dari sitokin inflamasi (TNF, IL-1β, IL-6)
protein (MIP)-1α], yang merekrut monosit dan neutrofil pada tempat infeksi.
Gangguan sistem imun yang signifikan pada pasien dengan peritonitis teriser
atau dengan translokasi flora usus. Translokasi dapat disebabkan oleh iskemia
usus, endotoksemia, malnutrisi, atau proliferasi flora usus yang resisten terhadap
Meskipun tingkat virulensi dari organisme ini rendah, mortalitas pada peritonitis
tersier tinggi, sekitar lebih dari 50%. (Marshall, 2004; Lamme, 2005)
Tabel 2.1: Organisme yang ditemukan dalam peritonitis. (Lopez, et al., 2011)
2.7 Patofisiologi
(SBP) yang disebabkan oleh penyakit sirosis hepatic. (Daley, 2013). Mekanisme
bakteri merupakan proses dimana bakteri yang hidup dan mati serta produk
bakteri (DNA bakteri atau endotoksin) menyeberangi lumen usus dan masuk ke
dari barier mukosa usus, dan defisiensi respon imun lokal. Pada sirosis, oleh
karena terjadi defisiensi imun lokal dan sistemik, maka proses taranslokasi bakteri
diikuti oleh bakteremia dan inokulasi cairan asites. Jika komplemen cairan
asitesnya rendah, maka aktivitas bakterisidalnya juga rendah dan menjadi risiko
yang bertindak secara lokal membatasi infeksi, tetapi dalam kontaminasi yang luar
menstimulasi degranulasi sel mast. Dreganulasi sel mast melepaskan sel histamin,
Proses seluler ini juga dapat menyebabkan efek sistemik, sebagaimana produk
dari degranulasi sel mast pada tempat injury berpindah ke sistem sirkulasi. Di
juga menyebabkan relaksasi otot polos dan dapat menyebabkan kolaps pembuluh
komplemen chemotactic C3a dan C5a , melepaskan ro-inflamasi sitokin fase akut
seperti IL-1, IL-6, TNF-α, IFN-γ. Sitokin ini dilepaskan ke dalam sirkulasi perifer,
perlepasan kortisol, sintesis protein fase akut, leukositosis, dan diferensiasi dan
aktivasi limfosit. Keadaan fisiologis yang dihasilkan secara klinis ini dikenal
neutrofil dan monosit dari peredaran darah menuju ke tempat infeksi. Makrofag
dan neutrofil membentuk garis pertahanan pertama dari sistem imun innate.
Neutrofil dan makrofag mengeleminasi pathogen dengan cara fagositosis. (Veen,
2006)
plasminogen jaringan (t-PA). Ketika terjadi cedera sel mesotel dan inflamasi aktif,
al., 2007). Dengan fibrinogen konsentrasi tinggi, deposisi fibrin terjadi melalui
tromboplastin (factor III) dari sel mesotel yang cedera, dan aktivitas permukaan
Deposisi fibrin tampak bereperan dalam respon inflamasi lokal. Aksi dari
sistem koagulator memiliki dua efek, baik efek menguntungkan dan merugikan
dalam peritonitis. Pada suatu tingkat, bakteri dapat terperangkap dalam matriks
fibrin. Pada tingkat yang lebih besar, adesi fibrin menyebabkan perlekatan usus
dan omentum satu dengan yang lainnya, begitu juga dengan permukaan
neutrofil, konsentrasi bakteri dan exoenzimnya yang tinggi. (Olivier, et al., 2007;
(Hau, 2003). Di sisi lain, fibrin mungkin juga memiliki fungsi dalam perbaikan
dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi, sebagian besar disebabkan
karena kegagalan pertahanan imun host. (Olivier, et al., 2007). Jumlah deposisi
fibrin yang melebihi degradasi fibrin diproduksi oleh enzim bakteri, fibrinolisis,
dan fagositosis. Dalam massa yang melekat dari visera, fibrin, dan bakteri,
pencairan berkembang dari pelepasan enzim proteolitik dari leukosit yang telah
mati dan aksi dari exoenzim bakteri. Osmolaritas dari cairan abses yang
dalam rongga peritoneum. Kapsul abses, mengandung fibrin dan perlekatan visera
yang berdekatan, memperlambat difusi oksigen dan nutrisi ke dalam abses dan
dari produk bakteri, seperti komponen dinding sel, dan enzim menggangu fungsi
lingkungan asam anaerobik, kondisi pertumbuhan yang ideal bagi bakteri anaerob.
(Wittmann, 2010)
2.7.3 Respon Tubuh Terhadap Infeksi
infeksi harus dibatasi untuk mencegah sepsis sistemik dan kerusakan jaringan
2005)
oleh transudasi cairan dari ruang vaskular dan ruang interstitial ke dalam rongga
(Mieny & Mennen, 2013). Terjadi juga peningkatan aktivitas regulasi sel
dari produksi sitokin dan kemokin. (Marshall, 2004). Fagositosis bakteri dan
material asing adalah mekanisme utama pertahanan lokal peritoneum dan eksudat
Peningkatan aliran darah lokal dan influx cairan ke dalam focus inflamasi
perubahan ini adalah histamin yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil.
yang mirip dalam proses inflamasi yang terjadi belakangan. Pelepasan histamine
pembuluh darah kecil peritoneum. Produksi dari bahan vasoaktif lain, seperti
transudasi ini segera akan diikuti oleh banyak cairan yang kaya akan
infeksi, beberapa efek yang berlawanan juga terjadi. (Zinner, et al., 1997)
fagositosis bakteri dengan cara melemahkan opsonin dan mobilitas serta migrasi
(c) Ileus
dan penekanan terhadap peristaltik usus, atau terjadi ileus. Peristaltik usus yang
mesenterika, atau melalui pembebasan mediator tersebut dari sel Kupffer hepar.
Pengalihan aliran darah usus jauh dari sirkulasi splanknikus dalam respon
Akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen usus yang adinamik berlanjut
sampai distensi cukup untuk menghambat aliran kapiler dan berhentinya sekresi.
2. Cardiovaskular
volume sirkulasi darah dan elevasi hematokrit. Kehilangan cairan dan elektrolit
akan terjadi lebih lanjut oleh adanya demam, muntah, dan diare. Dengan
al., 2009). Hipotensi sistemik disebabkan oleh karena sekresi TNF, IL-1, PAF,
dan nitric oxide, yang semuanya memiliki efek vasodilator dan dapat menurunkan
resistensi sistemik vascular. (Zinner, et al., 1997). Biasanya ada bukti aktivitas
dapat dipertahankan di atas normal. Curah jantung dari dua atau tiga kali nilai
oliguria, hipotensi, dan akhirnya berujung kematian jika infeksi tidak dapat
dikontrol. (Mandel, et al., 2009; Schwart, et al., 2000; Mieny & Mennen, 2013)
3. Respirasi
diafragma, nyeri saat respirasi dan menurunkan volume ventilasi, yang pada
et al., 2009; Schwart, et al., 2000) Kompensasi yang adekuat hanya mungkin
(Zinner, et al., 1997) Pada beberapa pasien akan mengalami edema paru, bukan
bakteri. (Mandel, et al., 2009). Dengan semakin memburuknya edema paru dan
kolapsnya alveoli, maka akan terjadi hipoksemia berat, yang akan menyebabkan
4. Renal
blood Flow dan GFR sehingga terjadi peningkatan sekresi ADH (anti diuretic
urine. Reabsorbsi garam dan air meningkat dan sekresi kalium akan meningkat.
Jadi ginjal mengkompensasi hipovolemi dengan cara retensi cairan dan elektroliy,
namun produk buangan juga ikut menumpuk. Perfusi ginjal yang rendah dapat
diikuti oleh nekrosis tubular akut dan azotemia yang progresif. (Zinner, et al.,
5. Endokrin
respon yang kuat dari pusat hipofisis-adrenal. Sekresi katekolamin medula adrenal
terjadinya konservasi air di ginjal yang dapat melebihi retensi natrium dengan
keecaptan lipolisis tubuh juga meningkat, pemanfaatan asam lemak bebas sebagai
sumber energi tidak efisisen pada awal periode syok septic. Kehilangan massa
tubuh yang berat dapat terjadi karena katabolisme protein terjadi secara cepat dan
hanya sebagian diperbaiki dengan dukungan nutrisi. (Zinner, et al., 1997). Infeksi
Produksi panas akhirnya akan gagal, dan kemudian suhu tubuh akan menurun.
inflamasi lokal jaringan. Ketika infeksi dan infamasi peritoneum tidak terkandung
menyebabkan imunosit lokal menjadi aktif dengan cara difusi atau menginduksi
ini diperkuat oleh respon inflamasi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi dan
septic shock dan multiple organ failure (MOF). Khususnya paru-paru, terjadi
risiko gagal paru pada lebih dari 75% pasien dengan peritonitis. Bagaiamanapun
Gagal paru dan MOF berhubungan dengan ventilasi berkepanjangan, ICU, dan
lamanya perawatan di Rumah Sakit, dan kematian. Kombinasi sepsis dan MOF
2.8 Klasifikasi
tersier. Menurut lokasinya dapat dibagi menjadi peritonitis lokal dan difus.
utama kasus peritonitis primer ini adalah oleh karena infeksi bakteri. (Marshall,
2004; Debas, 2004; Malangoni & Inui, 2006). Peritonitis ini sering ditemukan
pada pasien sirosis hepatic oleh karena stadium akhir dari penyakit hepar yang
dari darah, dan penelitian pada binantang memberi kesan bahwa penghancuran
sirosis hepatis dan penyakit hepar oleh karena alkoholik, dimana terjadi
penurunan aktivitas fagositik. (Marshall, 2004; Mazuski & Solomkin, 2009;
infeksi bakteri, hal ini terutama disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh
yang inadekuat. Ada beberapa faktor predisposisi untuk SBP, yaitu : tingkat
Peritonitis primer juga dapat terjadi pada sindrom nefrotik dan systemic lupus
yang memiliki asites berisiko tinggi terhadap terjadinya peritonitis ini. (Daley,
2013). Peritonitis primer juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan kateter
masuknya benda asing ke dalam rongga peritoneum. Tipe peritonitis ini kadang
dipisahkan dari peritonitis primer. (Mazuski & Solomkin, 2009). Rute infeksi
hematogen, limfogen, dan migrasi transmural melewati dinding usus yang berasal
dari lumen intestinal, atau pada wanita, berasal dari vagina melalui tuba falopi.
Pasien ditemukan dengan gejala demam, myeri abdomen, nyeri tekan, dan
dengan mikroskop dengan pewarnaan Gram dan dkultur. Cairan tersebut bersifat
asam (pH 7,3 atau kurang) dan mengandung lebih dari 500 sel darah putih/ml,
dimana lebih dari 25% adalah sel polimorfonuklear. Terapinya adalah non-
mencapai lebih dari 50% dan kebanyakan kasus disebabkan oleh karena gagal
2. Peritonitis Sekunder
ronnga peritoneum melaui defek dinding intestinal atau organ abdomen lain
tajam, atau iatrogenic) pada organ abdomen dan/ atau dinding organ. Peritonitis
sekunder juga dapat terjadi oleh karena komplikasi pasca operasi (misalnya,
Beberapa kondisi yang paling sering menyebabkan peritonitis sekunder antara lain
Pada kenyataannya, abses intra-abdominal adalah hasil akhir dari respon host
infeksi. Bakteri dan partikel lainnya dengan cepat dihilangkan dari rongga
dalam sistem limfatik melalui stomata khusus pada permukaan bawah diafragma.
pembersihan mekanis tadi, reaksi inflamasi dengan cepat dihasilkan dalam rongga
Solomkin, 2009)
pola pengenalan pada makrofag di dalam rongga peritoneum, dan memicu sinyal
Sebaliknya, pertahanan lokal yang buruk, maka infeksi akan menyebar, terjadi
3. Peritonitis Tersier
peritonitis, ketika tanda-tanda klinis peritonitis dan sistemik dari sepsis (misalnya,
Peritonitis ini terjadi ketika manajemen source control, terapi antibiotik, atau
imunitas pasien tidak adekuat, sehingga disfungsi organ menetap atau memburuk.
Hal ini dibedakan dari peritonitis primer atau sekunder karena flora mikroba
sangat yang berbeda, hubungannya dengan disfungsi organ, dan kematian yang
peritonitis ini tinggi, yaitu lebih dari 50%.(King, 2007). Evaluasi radiografi pasien
antibiotik sistemik rendah, dan prosedur drainase perkutan yang berulang atau
upaya agresif pada operasi abdomen tidak memiliki dampak yang signifikan pada
isolasi Candida atau Enterococcus dari pasien dengan peritonitis yang mungkin
mencerminkan gejala sisa dari disfungsi organ lebih lanjut pada pasien yang kritis.
(Marshall, 2004)
(Marshall, 2004)
1. Peritonitis Lokal
Terjadi jika inflamasi masih dalam area yang terbatas. Peritonitis lokal sering
dan cairan eksudat yang terkandung dalam kapsul fibrosa. Apendisitis dan
Peritonitis ini disebut juga peritonitis generalisata dan terjadi ketika inflamasi
menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Perforasi usus kecil dan perforasi gaster
adalah penyebab paling umum dari peritonitis ini. (Marshall, 2004; Holzheimer &
2.9 Diagnosis
Pasien dengan peritonitis menunjukkan gejala dan tanda lokal dan sistemik.
Gejala dan tanda lokal dari abdomen meliputi nyeri perut, nyeri tekan, kekakuan,
distensi, udara bebas peritoneum, dan menurunnya bising usus, tanda yang
subfrenik pada foto rongten thorax atau abdomen. (Lopez, et al., 2011)
2.9.1 Anamnesis
berapa lama pasien sakit, adakah demam, adakah nyeri perut dan di mana
yang penting. (Lange & Lederman, 2010; Awori, et al., 1999). Riwayat penyakit
penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan sindroma nefrotik pada anak-
sendiri (misalnya kebocoran dari anastomosis usus). Mekanisme injury yang tidak
Nyeri pada peritonitis bersifat konstan dan akan bertambah berat saat menarik
nafas dalam, batuk, maupun bergerak, sehingga pasien lebih memilih dalam posisi
berbaring. Pasien juga mengeluh anoreksia, mual dan muntah. (Mandel, et al.,
2009; Hau, 2003; Awori, et al., 1999). Hampir selalu ditemukan gejala anoreksia.
Gejala mual sering ditemukan dan jarang disertai dengan muntah. Pasien juga
kecil yang sedikit, ketidakmampuan untuk buang air besar atau flatus, dan perut
Pada pasien dengan asites, tanda dan gejala peritonitis mungkin tidak begitu
ascites, gejala yang ditemukan seperti nyeri abdomen, mual, muntah, dan
perubahan status mental mungkin tidak spesifik. Oleh karena itu, pasien asites
dengan demam harus dilakukan parasintesis, kecuali ada penjelasan lain terhadap
demam yang terjadi. Inokulasi dari cairan asites ke dalam botol kultur darah harus
telentang, dengan lutut tertekuk dan sering dengan pernapasan interkostal yang
terbatas karena gerakan apapun akan memperberat nyeri abdomen Keadaan umum
Suhu tubuh berkisar antara 38 ͦC - 40 ͦC, bahkan bisa mencapai 42°C. Suhu
subnormal 35°C merupakan klinis pasien dengan sepsis intraabdomen atau syok
septik. (Mandel, et al., 2009). Demam adalah mekanisme endogen dasar untuk
dipertahankan dalam batas normal pada awal proses penyakit, kemudian seiring
semakin cepat dan dangkal untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan dan untuk
menyisihkan ada tidaknya gagal jantung kongestif atau penyakit katup jantung,
meskipun terapi cairan yang agresif diperlukan dan gagal jantung kongestif yang
dan jejas. Perut akan tampak distensi, seiring dengan perkembangan ileus atau
asites. (Feldman, et al., 2010; Awori, et al., 1999). Pasien diminta untuk
menunjukkan titik yang paling nyeri pada perutnya dengan satu jari. Auskultasi
dimulai dari kuadran yang berlawanan dari titik tersebut. Auskultasi dilakukan
untuk menentukan apakah bising usus hilang, normal, atau meningkat. Bising usus
sebagai bagian dari proses inflamasi lokal. Sering kali sebuah fokus inflamasi
sebagian ditutup oleh usus kecil. Ileus lokal muncul sebagai hasil dari obstruksi
fungsional. Pada peritonitis bising usus akan menurun dan hampir tidak terdengar.
Palpasi dan Perkusi. Palpasi pada abdomen dilakukan pada tahap terakhir dari
pemerikaan, adalah untuk mengetahui apakah nyeri yang dihasilkan oleh proses
paling nyeri. Kegunaan dari palpasi abdomen adalah untuk mengkonfirmasi lokasi
yang paling nyeri dan tekanan dari berbagai bagian dari dinding abdomen
anterior. Untuk melakukan hal ini, pemeriksa mulai dari bagian perut yang tidak
menunjukkan gejala dan menekan sampai daerah yang paling nyeri. Pada pasien
dengan peritonitis akut akan ditemukan kekakuan pada otot dinding abdomen
dengan tanpa perbedaan yang berarti dari satu kuadran dengan kuadran yang lain.
Pasien dengan nyeri lokal dan peningkatan tonus dinding abdomen yang
juga refleks spasme otot. Refleks spasme otot dapat menjadi sangat kuat sehingga
perut dapat kaku seperti papan, seperti yang biasa tampak pada peritonitis yang
disebabkan oleh perforasi dari ulkus peptikum. (Mandel, et al., 2009). Pertahanan
volunter pada penemuan nyeri tekan sedang dapat salah diinterpretasikan sebagai
kekakuan jika pasien tampak begitu gelisah dan palpasi terlalu kuat. Biasanya
tidak perlu terburu-buru untuk memeriksa rebound tenderness pada saat palpasi,
jika sudah dapat ditemukan pada saat dilakukan auskultasi dan perkusi. Palpasi
yang terlalu kuat dapat menyebabkan pasien kesakitan sehingga mereka kemudian
tidak mau bekerja sama untuk pemeriksaan selanjutnya. (Lange & Lederman,
2010)
Hiperesonan disebabkan oleh gas yang terakumulasi pada usus yang distensi,
biasanya terdengar pada perkusi. (Wittmann, 2010). Tidak adanya pekak hati pada
perkusi menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga peritoneum.
Pemeriksaan Rektum dan Vagina. Pemeriksaan rektum dan vagina penting untuk
melokalisasi nyeri yang luas dan mengetahui apakah terdapat massa di pelvis atau
abses di cavum Douglass. Pemeriksaan vagina atau serviks dapat menjadi kunci
iliopsoas dan oburator sign dapat membantu untuk mendeteksi inflamasi pada
2.9.3.1 Laboratorium
Leukositosis adalah hal yang biasa terjadi pada infeksi intraabdomen, tetapi
total leukosit saja tanpa hitung jenis dapat menyesatkan. Jumlah leukosit di atas
3 3
25.000/mm atau leukopenia dengan leukosit kurang dari 4.000/mm
darah, elektrolit, albumin, urea dan kreatinin, amilase dan fungsi hati.
respirasi dinilai dengan penentuan gas darah arteri yang berulang, sedangkan pada
pasien sakit kritis, arteri radial menyediakan akses sampel arteri untuk analisa gas
darah dan catatan konstan untuk MAP (mean arterial pressure). (Mieny &
Mennen, 2013)
2.9.3.2 X-ray
bebas dapat dilihat pada foto abdomen posisi setengah duduk atau dekubitus
lateral bila terdapat ruptur organ berongga yang menyebabkan peritonitis. Udara
di bawah diafragma dapat ditemukan pada foto dada bila pasien berdiri tegak
selama 5 menit atau lebih sebelum dilakukan pengambilan gambar. Penemuan lain
Pneumatosis jarang terjadi. Penemuan yang lebih dramatis tetapi tidak umum
adalah gambaran udara pada vena porta atau ektraluminal, indikasi dari adanya
abses, tanda radiografi ini cukup spesifik untuk menentukan perlunya intervensi
tanda radiologi dari pneumonia dan atelektasis basal oleh karena terjadi
intraabdomen yang lain adalah gambaran ileus paralitik. Eksudat inflamasi dan
edema dari dinding usus menyebabkan gambaran usus dengan jarak yang melebar.
Bayangan garis lemak peritoneal dan psoas retroperitoneal di film terhambat oleh
interferensi gas usus. Pemeriksaan CT Scan abdomen dan pelvis tetap menjadi
jika pasien stabil. CT Scan dapat mendeteksi cairan dengan jumlah yang sedikit,
yang sangat tinggi. (Sartelli, 2010). Adanya iskemia usus dapat ditunjukkan
dengan tidak adanya aliran, adanya bekuan darah dalam pembuluh darah besar
dalam rongga peritoneum, gas dalam dinding usus (Pneumatosis) atau dalam vena
2.9.3.4 Paracintesis
merupakan punksi surgical untuk aspirasi rongga peritoneum. Setelah injeksi obat
anastesi lokal, sebuah jarum atau trocar dan kanul dimasukkan melalui dinding
Gram dan dkultur. Cairan tersebut bersifat asam (pH 7,3 atau kurang) dan
mengandung lebih dari 500 sel darah putih/ml, dimana lebih dari 25% adalah sel
2.10.1 Perioperatif
syok, serta menjaga oksigenasi jaringan yang adekuat, membunuh bakteri dengan
a. Pasien dipuasakan
sampai terjadinya ileus paralitik, sehingga seluruh kebutuhan cairan, elektrolit dan
dan sering cukup besar, oleh karena kehilangan cairan ke ruang ketiga dan ke
kuat dari superioritas satu jenis cairan di atas yang lain. Resusitasi harus dipandu
oleh seringnya penilaian denyut jantung dan tekanan darah. Volume plasma harus
sebagai akibat inflamasi peritoneum sehingga banyak protein yang bocor juga
perlu dikoreksi. Jika penyembuhan pasien terhambat lebih dari 7 sampai 10 hari,
dapat membantu. Pemberian produk darah diperlukan pada kasus anemia berat
atau koagulopati, dengan maksud untuk mencapai mean arterial pressure (MAP) >
65 mmHg dan tekanan vena sentral 12-15 mmHg dalam 6 jam pertama. Jika tidak
dicapai MAP > 65 mmHg dengan resusitasi cairan saja, maka dapat digunakan
melalui pipa lambung (NGT), cairan yang hilang sebelumnya termasuk dehidrasi
dari muntah yang berkepanjangan, dan hilangnya cairan ke ruang ketiga ke dalam
rongga peritoneum dan lumen usus. Penggantian cairan secara cepat meliputi
menggunakan cairan kristaloid yang ditambah dengan cairan koloid dan dimonitor
secara kontinyu dengan perbedaan antara tekanan vena central dan tekanan artery
sebagai pengganti cairan dan koreksi dari anemia. (Mieny & Mennen, 2013)
dengan aspirasi lambung dan urine dapat diketahui. Kehilangan lain dari paru-
paru, kulit dan dalam tinja juga dinilai, sehingga persyaratan asupan dapat
Pemasangan kateter perlu dilakukan untuk dapat mengukur output urine, yang
dan fungsi organ, dan juga untuk memonitor apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi dan memantau perfusi jaringan. Produksi urine dianggap cukup bila
yang berguna dari untuk menilai tingkat dehidrasi dan kehilangan ke ruang ketiga
pemeliharaan tekanan darah normal dan pembentukan urin output yang mendekati
30 mL per jam. Output urin 30-50 30– 50 ml/kg per jamnya minimal harus
c. Dekompresi Gastrointestinal
lebih lanjut. (Mieny & Mennen, 2013). Nasogastric tube (NGT) dimasukkan
sampai ke lambung dan diaspirasi.. Pemasangan pipa lambung ini penting untuk
sejumlah kecil yang teraspirasi. Jika abdomen tidak kaku dan sudah terdengar
bising usus, maka pemberian nutrisi lewat oral dapat segera dilakukan. Penting
untuk tidak memperpanjang ileus dengan melewati pemberian nutrisi secara oral.
pemulihan, elektrolit dan hematokrit serum dan urea harus diperiksa secara
menilai respon dengan analisis gas darah secara reguler. Intubasi endotrakeal dan
e. Obat-obatan
1. Antibiotik
aerob dan anaerob. (Mieny & Mennen, 2013; William, et al., 2008).
Hasil terbaik saat ini diperoleh dengan terapi awal terapi antibiotik
individu dan kebutuhan dosis harus berdasarkan melalui dan puncak untuk
jika tanda klinis infeksi telah hilang. Jika terjadi rekuren dengan beberapa
2. Obat-obatan lain
harus dibebaskan dari rasa sakit sebelum dan sesudah operasi. Infus
peritonitis dengan tanda- tanda sepsis dapat diberikan obat vasoaktif dan
5
steroid. Pasien dengan demam diatas 38 C dapat menyulitkan anastesi
saat operasi, sehingga perlu diberikan obat salisilat yang efektif untuk
vasopresor wajib diberikan pada pasien dengan curah jantung rendah yang
terapi untuk pasien sepsi yang mendapat perawatan di ICU, terdiri dari
paru dan ginjal, terutama jika pasien mengalami syok septic. (William, et al.,
2008). Pasien yang mengalami severe sepsis atau syok septic harus mendapatkan
vital dan status volume. (Lopez, et al., 2011). Pasien yang memiliki faktor
mengontrol sumber infeksi dan dilakukan dalam hitungan jam. (Wittmann, 2010;
William, et al., 2008). Operasi merupakan langkah terapeutik yang paling penting
tergantung pada sumber anatomi infeksi, pada tingkat inflamasi peritoneum, dan
dengan pencucian, debridement jaringan nekrotik, reseksi usus yang iskemik dan
dari cairan peritoneum harus diambil untuk kultur aerob dan anaerob. Semua
materi purulen dan darah harus dievakuasi dari rongga peritoneum setelah sumber
abdominal, karena operasi yang terlambat dan tidak adekuat dapat memberikan
efek yang negative pada hasil. (Mieny & Mennen, 2013; Wittmann, 2010; Sartelli,
2010)
Alternatif lain adalah dengan debridemen radikal peritoneum yang merupakan
metode utama pada peritonitis generalisata yang berat, di mana seluruh rongga
peritoneum didebridemen secara cermat dari fibrin, membran, bekuan darah, dan
membrane yang purulen, yang diikuti dengan irigasi menggunakan saline sampai
(William, et al., 2008). Irigasi ini dapat mengurangi jumlah bakteri yang hadir,
dapat tingkatkan oleh adanya bahan asing adjuvant, sehingga semua bahan asing
termasuk jaringan nekrotik, feses, darah, atau empedu harus tersedot keluar
Biasanya digunakan lebih dari 3 L cairan fisiologis Saline atau Ringer Laktat
hangat sehingga cairan tersebut dapat mencapai seluruh bagian dalam abdomen,
untuk membersihkan pus, feces, bahan nekrotik, dan kemudian cairan tersebut
dibuang. Prosedur ini diulang sampai cairan yang dibuang bena-benar bersih dari
rongga abdomen. (William, et al., 2008). Pada orang dewasa biasnya digunakan
cairan total sebanyak lebih dari 10L. Suatu grup penelitan menunjukkan
et al., 2011)
Masih sedikit bukti pada literaratur mengenai lavage peritoneum dengan atau
garam (1-2 liter) yang mengandung antibiotik terlarut (misalnya tetrasiklin) telah
menurunkan angka kematian, atau dengan kata lain irigasi peritoneum dengan
irigasi umumya tidak bermanfaat atau bahkan berbahaya oleh karena dapat
tambahan jika diberikan saat irigasi. (Doherty & Thompson, 2010). Sisa saline
yang tersisa di rongga peritoneum setelah irigasi mencairkan opsonins bakteri dan
terjadinya proliferasi bakteri. Oleh karena itu semua cairan yang tersisa harus
dikeluarkan setelah irigasi dan sebelum menutup abdomen. (Mieny & Mennen,
2013)
b. Drainage
Drainage dari rongga peritoneum jarang efektif karena drain cepat terisolasi
dan ditutup oleh omentum, eksudat dan lengkung usus. Drain juga dapat bersifat
hanya efektif jika digunakan untuk mengevakuasi rongga abses yang sulit
dibersihkan atau terdapat perdarahan yang merembes setelah operasi luas. (Mieny
Abses tidak dapat diterapi dengan antibiotik saja, oleh karena efek antibiotik
dihambat oleh kondisi hipoksia, pH yang rendah, dan tingginya konsentrasi toksin
dalam abses. Drainase merupakan terapi pilihan untuk abses dan bertujuan unutk
mengevakuasi abses tersebut. Drainage dapat dilakukan dengan bedah atau secara
2013).
abdomen, telah dianjurkan sebagai sebuah teknik pada beberapa pasien dengan
kontaminasi yang sangat berat dan adanya cacat pada dinding perut. Pada situasi
tersebut, mesh polipropilen ( marlex ) ini digunakan untuk melindungi usus dan
mencegah eviserasi pada usus. Penutupan luka perut setelah operasi untuk
nilon atau prolene, atau suatu diserap polyglycolic asam ( dexon ) suture. Dengan
adanya kontaminasi berat kulit dan jaringan subkutan harus dibiarkan terbuka dan
dilapisi dengan kain kasa steril yang diberi cairan saline. Dressing kasa diganti
setiap hari dan, ketika luka bersih telah bersih dan dengan adanya jaringan
granulasi jelas, biasanya dalam waktu empat sampai lima hari, luka ditutup
dengan steril perekat. Dalam beberapa kasus, penggunaan jahitan retensi mungkin
cocok untuk menghindari dehisens luka dan eviserasi luka operasi. (Mieny &
Mennen, 2013)
nadi, dan saturasi oksigen dipantau secara teratur dan dicatat dalam grafik. Dalam
grafik ini dapat dipastikan bahwa pasien proses penyembuhannya baik atau malah
jatuh dalam komplikasi. (William, et al., 2008). Perawatan di ruang intensif dan
pemakaian ventilator adalah wajib untuk pasien dengan kondisi yang tidak stabil
dan lemah. Tujuan yang harus segera dicapai adalah hemodinamik yang stabil
untuk perfusi yang baik ke organ-organ mayor, dan mungkin diperlukan terapi
dengan agent inotropik jantung selain cairan dan tambahan darah. (Doherty &
Thompson, 2010)
Perawatan pasca bedah, meliputi pemberian cairan dan elektrolit secara
parenteral, nutrisi (total atau parsial parenteral nutrisi) selama fungsi usus masih
factor sistemik (misalnya demam), kebutuhan akibat hilangnya cairan lewat drain,
dan kebutuhan akibat hilangnya cairan ke dalam ruang ketiga (ileus). Kebutuhan
untuk pemeliharaan cairan untuk kehilangan yang dapat dihitung maupun tidak,
tergantung pada usia, jenis kelamin, berat badan, dan luas permukaan tubuh. Pada
pasien dewasa biasanya diberikan 1500-2500 ml. kebutuhan untuk maintanace ini
akan meningkat oleh keadaan seperti demam, hiperventilasi, dan keadaan lain
kurang dari 500 ml/hari dan dapat digantikan dengan infuse cairan dengan jumlah
menuerun sementara. Peristaltis usus kecil akan kembali normal dalam 24 jam,
tetapi peristaltis gaster lebih lambat. Fungsi colon kanan kembali normal dalam 48
jam, sedangkan colon kiri 72 jam. Setelah operasi mungkin pipa lambung masih
terpasang untuk dekompresi dan baru akan dilepas 2-3 hari berikutnya atau
sampai ada bukti bahwa peristaltik telah kembali normal. Setelah pipa lambung
dilepas, biasanya puasa masih dilanjutkan 24 jam berikutnya, dan kemudian mulai
pasien kekurangan intake secara enteral untuk beberapa waktu pada saat
preoperative. Pemberian makan secara oral harus ditunda sampai adanya bukti
ditandai dengan flatus dan kembalinya nafsu makan. (Doherty & Thompson,
2010)
diberikan amtibiotika yang sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitasnya.
mobilisasi dini dan fisioterapi yang adekuat pada periode pasca operasi, yang
membantu untuk mencegah kolapsnya paru basal, deep vein thrombosis dan
emboli paru. (William, et al., 2008). Mobilisasi dini dimulai dengan mirng kanan-
kiri setiap 30 menit. Pasca operasi mungkin pasien masih menggunakan ventiasi
mekanik atau dengan masker oksigen atau nasal kanul. Latihan pernapasan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan perfusi yang membaik
dengan output urine yang cukup, menurunnya demam dan leukositosis, dan
adanya abses intra abdominal, infeksi luka operasi, kebocoran anastomose atau
drainase dilepas pada hari 3 dan 4 pasca-operasi dan aspirasi lambung dihentikan
begitu pasien flatus. Melepas selang (kateter, pipa lambung) menurunkan risiko
terjadinya infeksi dari luar. (Doherty & Thompson, 2010; Ramachandra, et al.,
2007)
2.12.1 Usia
penyebab mayor dari peritonitis perforasi, dimana prevalensi pada usia tersebut
Perforasi appendik lebih sering terjadi pada usia 20-30 tahun. Perforasi ileum
lebih banyak terjadi pada usia 10-30 tahun dimana faktor etiologinya disebabkan
Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik.
(Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai risiko
beberapa pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai hubungan yang
signifikan terjadinya komplikasi urologi, hal ini biasanya berhubungan dengan
terjadinya benign prostat hyperplasia. Namun pada beberapa analisis, usia bukan
diikuti hipertesi dan diabetes mellitus. (Noguiera, et al., 2003). Beberapa studi
yang lain melaporkan hipertensi merupakan faktor komorbid yang paling banyak
dengan oxygen delivery. (Kim, et al., 2012). Studi lain menyebutkan bahwa
terhadap terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi. Hal ini juga telah
dibuktikan dari beberapa studi yang pernah ada. (Unver, et al., 2015)
a. Hipertensi
adalah 71,2 tahun, sedangkan rata-rata pasien dengan normotensi pada peritonitis
perforasi adalah 50,9 tahun. (Kim, et al., 2012). Sebanyak 13 pasien (92,9%)
adalah hipertensi yang berkaitan erat dengan terjadinya penyakit jantung iskemik.
kerusakan mukosa gastric yang dapat berakibat gastritis dan terjadinya ulkus
gastric. Hal ini akan berkembang menjadi intestinal metaplasia dan mengalami
bahwa secara umum akan terjadi kerusakan pada mukosa diantaranya mukosa
(Sonnenberg., 1994)
b. Diabetes Mellitus
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B
badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah lelah, dan
kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Peningkatan
Kejadian Diabetes Melitus di timbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes
menegakkan diagnosis Diabetes Melitus yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang
khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah
karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain
glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi
kecepatan lipolisis tubuh juga meningkat, pemanfaatan asam lemak bebas sebagai
sumber energi tidak efisisen pada awal periode syok septic. Peritonitis dapat
menyebabkan sel-sel (seperti, endotel, PMN, sel fagositik mononuclear, dan sel T)
c. Pneumonia
Delapan puluh persen kematian pada pasien peritonitis yang terjadi pada 3 hari
pneumonia merupakan infeksi yang sering terjadi pada pasien dengan perawatan
mekanik dalam jangka waktu lama, dan penggunaan nutrisi enteral secara
pneumonia awitan dini adalah koloni bakteri di saluran nafas bagian atas, aspirasi,
dan pemberian thiopental. Late onset pneumonia terbentuk setelah 5 hari pasca
pneumonia adalah organisme gram negatif dan bakteri yang multiresisten (Croce
memiliki durasi penggunaan ventilator yang lebih lama, perawatan ICU yang
panjang dan terjadinya insiden multi organ failure yang lebih tinggi. Angka
mortalitas secara keseluruhan pada pasien dengan VAP yang dirawat di ICU
2.12.3 Onset Lebih Dari 24 Jam Mulai Timbulnya Gejala Sampai Dilakukan
Operasi
Definisi dari Onset lebih dari 24 jam pre operasi disini adalah waktu interval
dari dimulainya gejala akut sampai datang ke Instalasi gawat darurat dan
dilakukan operasi lebih dari 24 jam. (Gona, et al., 2015). Onset >24 jam pre
operasi juga digunakan pada skor PULP dan skor Boey untuk memprediksi
menyebutkan bahwa pasien yang datang ke IGD dengan onset kurang dari 24 jam
sebanyak 49,42% dan onset lebih dari 24 jam sebanyak 54,48%. Sedangkan
menurut Correia MM, onset < 24jam pre operasi sebanyak 34,5% dan onset
RS seperti CT Scan, jarak yang jauh dari RS rujukan, dan hemodinamik yang
tidak stabil. (Dani, et al., 2015), (Telkar, et al., 2010). Beberapa studi literatur
menunjukkan bahwa onset lebih dari 24 jam pre operasi merupakan faktor yang
2015). Mortalitas yang disebabkan karena onset >24 jam pre operasi berhubungan
2.12.4 Eksudat
eksudat, 62% dengan eksudat purulent dan 18% dengan faecal eksudat. Penelitian
dari Rodolfo menunjukkan 69,5 clear eksudat dan 21,8% eksudat purulent. Studi
dari jhobta 15% clear eksdat, 71% purulent dan 13% faecal eksudat. Purulent dan
faecal eksudat behubungan dengan onset pre opeasi, diameter perforasi dan
menjadi endotoxaemia dan syok sepsis. (Dani, et al., 2015). Dari beberapa studi
et al., 2014).
peritonitis perforasi hal ini berhubungan juga terhadap eksudat yang dihasilkan.
Semakin besar diameter perforasi maka dapat menghasilkan eksudat yang purulen
sepsis. Selain itu diameter perforasi juga dapat mempengaruhi besarnya tindakan
MODS memiliki angka kematian yang tinggi, dan pada sebagian besar pasien
dan menghabiskan biaya perawatan di ruang ICU (Fry, 1988). Sejak tahun 1973,
MODS digambarkan sebagai jalur akhir dari suatu proses penyakit. Deskripsi pertama
kali digambarakan di tahun 1940 saat perang dunia II dimana diamati pada setiap
pasien dengan shock hipovolemik akibat dari perdarahan masif pada umumnya
menyebabkan penurunan dari fungsi paru, yang dikenal dengan shock lung. Pada
awal dan pertengahan tahun 1970an, peneliti mengenali adanya hubungan antara
shock hemoragik atau infeksi dan multiorgan failure. Sejak saat itu kegagalan
multiple organ pada waktu yang bersamaan atau dengan sekuens yang sama
melahirkan hipotesa bahwa ada suatu mekanisme yang sama yang mendasari proses
27%-100%. (Menyar, et al., 2012). Multiple organ dysfunction tidak hanya pada
pasien sepsis tetapi dapat juga berhubungan dengan kondisi klinis yang lain
termasuk luka bakar berat, akut nekrotizing pancreatitis, trauma yang berat dan
syok hemoragik. (Balk. R. A & Goyette. R. E., 2001). Adapun kriteria MODS
menurut Knaus dkk terdiri dari enam organ yaitu; cardiovascular, respiratori,
renal, hematologi, neurologi, dan hepatik. Kegagalan satu sistem organ lebih dari
sistem organ lebih dari 3 hari beresiko mengalami kematian sebesar 60% dan bila
terjadi tiga kegagalan sistem organ lebih dari 3 hari beresiko terjadi kematian
lebih dahulu sebelum didapatkan disfungsi dari organ yang lain. Sistem organ lain
yang tampak mengalami MODS lebih dini termasuk liver, intestinal, dan ginjal.
a. Mekanisme MODS
Disfungsi progresif dari sistem organ yang menjadi karakteristik dari MODS
pada umumnya mengikuti urutan yang dijabarkan pada SOFA yang dirumuskan pada
Fase pertama : peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis respiratorik ringan yang
Fase ketiga : pasien jatuh ke dalam kondisi shock dengan azotemia dan gangguan
Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria atau anuria,
Fase tersebut dapat dijelaskan dengan bebrapa hipotesis yang menginisiasi MODS
antara lain :
Gut Hypothesis saat ini adalah teori paling populer untuk menjelaskan
seringkali dijumpai pada pasien multiple trauma, sepsis, shock sepsis, atau luka
bakar. Endotoksin menyebabkan pengurangan yang dose dependant terhadap
diameter arteriole sentral villus. Organ usus sangat rentan untuk kehilangan perfusi
jaringan dan oksigenasi karena cadangan oksigen yang dimiliki sangat minimal
dibandingkan dengan organ lain dan organ vital. Iskemia pada organ usus
menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan penurunan fungsi selular. Di sisi lain
mukosa usus meningkatkan permeabilitas usus, menurunkan fungsi imum usus, dan
meningkatkan translokasi bakteri. Karena disfungsi hepar, toksin bakteri dapat masuk
cedera dan disfungsi organ (Swank, 1996). Hipotesa ini didukung dengan serangkaian
pH gaster intramukosa dengan kejadian MODS (Marik, 1993., Mythen, 1994., Kirton,
1998).
Gambar 2.4 Gut Hipotesis
dijumpai, sehingga endotoksin dianggap sebagai mediator kunci pada sindrom ini.
trauma), MODS muncul sebagai akibat dari produksi dan lepasnya sitokin dan
mediator lain oleh makrofag yang diaktifasi oleh endotoksin. Tumor Necrosis
prostacyclin, platelet activating factor, dan nitric oxide (NO) adalah mediator
tersebut pada akhirnya akan memicu terjadinya inflamasi sistemik yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial yang menyebabkan kebocoran pada
rusak yang akan memicu hipoperfusi pada end organ dan gangguan koagulasi.
Pasokan oksigen yang tidak adekuat dapat terjadi akibat dari perubahan vaskular
baik mikro maupun makro. Hipovolemia, anemia, hipoksemia gagal jantung akan
Pada sebagian besar pasien dengan MODS, terjadinya sindrom ini tidak dapat
dikatakan hanya berasal dari satu penyebab saja melainkan adalah hasil akhir dari
Chemokine Ligand (CXCL), High Mobility Group Protein B-1(HMGB-1). (Adib, 2007)
Respiratory PO2 > 50mmHg, SO2 <0,80, pH<7,30, FiO2 < 200mmHg,
atau dengan penggunaan ventilator
Renal Produksi urin <0,5ml/Kg per jam atau level creatinin >
1,2mg/dl
Tabel 2.3 Kriteria diagnosis MODS (Li, et al., 2008; Desai & Lakhani, 2013)
BAB III
peritonitis perforasi diantaranya adalah: usia, adanya faktor komorbid, onset lebih
dari 24 jam, eksudat, diameter perforasi >0,5cm, adanya MODS. Deteksi dini
faktor risiko dan penanganan yang tepat, akurat, dan sistematis sangat penting
untuk dilakukan.
perforasi di evaluasi untuk melihat apakah pasien meninggal atau masih hidup
suatu sistem skoring yang tervalidasi dalam menilai terjadinya kematian pada
Bertolak dari kerangka pikir di atas, dapat dibuat konsep penelitian seperti
bagan berikut:
Usia
Faktor komorbid
Onset Kematian pada
Lokasi non kolon pasien peritonitis
Eksudat perforasi
Diameter
perforasi
Keganasan
MODS
3.3.1 Pasien umur lebih dari 60 tahun merupakan faktor risiko terjadinya kematian
3.3.2 Pasien dengan adanya faktor komorbid merupakan faktor risiko kematian
3.3.3 Pasien dengan onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai
peritonitis perforasi.
3.3.4 Pasien dengan lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada
3.3.5 Pasien dengan eksudat purulent merupakan faktor risiko kematian pada
3.3.7 Pasien dengan keganasan merupakan faktor risiko kematian pada pasien
peritonitis perforasi.
3.3.8 Pasien dengan adanya MODS merupakan faktor risiko kematian pada pasien
peritonitis perforasi.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
peritonitis perforasi. Disain kasus kontrol adalah studi analitik yang menganalisis
risiko) riwayat paparan dari penelitian ini dapat diketahui dari register medis.
Penelitian ini ingin melihat adanya pengaruh faktor risiko yang dimiliki pasien
maka peneliti menganggap bahwa disain studi kasus kontrol merupakan disain
Maret 2018
Denpasar.
4.3.3 Sampel
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari rekam medis
sistematis adalah suatu metode yang hanya unsur pertama dari sampel yang dipilih
terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Nilai proporsi dapat diambil dari penelitian sebelumnya. Dari
sebesar 25%, dengan risiko relatif 2 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau α=0,05 dan tingkat
2
( 1‒ 2)
RR=2
P1 = RR x P2 = 2 x 0,25 = 0,5
Zα = 1,96; Zβ = 0,84
Q=1–P=1–0,375=0,625;Q1=1–P1=1–0,5=0,5;Q2=1–P2=1–0,25 = 0,75
2
1= 2=
( 2 )+ ( 1 1+22)
2
( 1‒ 2)
2
(1,96 2(0,375 0,625) + 0,84( ((0,5 0,5) + (0,25 0,75))
1= 2=
2
(0,5 ‒ 0,25)
n1 = n2 = 58
Berdasarkan rumus diatas didapatkan jumlah sampel 58 (n1 = n2), sehingga total
Yang termasuk dalam variabel bebas adalah usia, faktor komorbiditas, onset,
perforasi.
4.8.2 Usia adalah selisih antara tanggal saat pasien masuk rumah sakit dan
tanggal lahir pasien. Usia didasarkan pada usia yang tercantum pada rekam
medis. Usia dibagi kedalam kelompok usia yaitu lebih dari 60 tahun dan
primer. Dikatakan terdapat faktor komorbid bila terdapat satu atau lebih
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja
dan atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes
kesemutan. Batasan dari diabetes mellitus adalah Gula darah acak ≥ 200
(Fatimah, 2015)
Hipertensi, adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan
et al., 2015)
Pneumonia, adalah infeksi pada satu atau kedua paru-paru yang dibuktikan
dengan temuan klinis, laboratorium, dan pada foto ronsen thorax yang
mengindikasikan pneumonia
4.8.4 Onset, adalah selisih waktu dari mulainya gejala sampai dilakukan tindakan
operasi.
4.8.5 Eksudat, adalah cairan peritoneum yang dilihat pada saat dilakukan
tindakan operasi, terbagi dalam dua kategori yaitu clear eksudat dan
purulen eksudat
pada hollow organ, bila terdapat lebih dari 1 perforasi maka yang dicari
9 3 9
PaCO2 < 32 mmHg dan jumlah lekosit > 12x10 sel/mm atau < 4x10
3
sel/mm ) dengan sumber infeksi yang jelas.
4.8.8 MODS adalah didapatkannya satu atau lebih disfungsi organ dari kriteria
ventilator; iii) Renal: Produksi urin <0,5ml/Kg per jam atau level creatinin
> 1,2mg/dl; iv) Liver: Bilirubin level >1,2mg/dl atau albumin level <
4.8.9 Keganasan adalah kanker, neoplasma, atau tumor yang ditandai dengan
ditegakkan berdasarkan hasil PA yang sudah ada dan tercatat dalam rekam
medis.
4.8.10 Lokasi perforasi adalah lokasi terjadinya perforasi yang ditemukan saat
dilakukan operasi.
faktor risiko yang memprediksi terjadinya kematian, seperti: usia, jenis, faktor
komorbid, onset, lokasi non kolon, eksudat, diameter perforasi, keganasan dan
mengetahui apakah terjadi kematian atau tidak. Data-data yang telah diperoleh
Populasi Target
Kriteria Inklusi
Populasi Terjangkau
Sistematik
Sampling
Sampel Yang Dikehendaki
Kriteria Eksklusi
(Eligible Subject)
Peritonitis Generalisata
Meninggal Hidup
Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-)
Rencana analisis statistik dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat,
bivariat, dan multivariat. Data diolah dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis data
variabel dari penelitian ini. Variabel dengan skala data numerik akan ditampilkan
dalam bentuk rerata dan standar deviasi (SD). Sedangkan variabel dengan skala
sebagai berikut:
dan MODS.
berikut:
Tabel 4.1 Tabulasi silang 2 x 2
Meninggal Hidup
Faktor Risiko (+) A B A+B
Faktor Risiko(-) C D C+D
A+C B+ D
OR =
Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat ini adalah chi-square test
bebas sebagai faktor risiko terjadinya kematian pada pasien dengan peritonitis
Ukuran asosiasi yang didapat dari uji ini adalah hazard ratio yang nilainya setara
dengan adjusted Ods Ratio (adjusted OR). Nilai Adjusted OR yang didapat
pembuatan skor. Kemaknaan secara statistik dinilai dengan 95% CI dan nilai P.
Setelah dilakukan analisis multivariat maka akan didapatkan faktor risiko apa
saja yang berperan sebagai prediktor terjadinya kematian. Kemudian bisa dibuat
skoring untuk memprediksi kematian dini pada pasien peritonitis perforasi. Untuk
menilai validitas masing-masing faktor risiko dan validitas skor yang telah dibuat
maka dillakukan uji validitas yang terdiri dari dua tahap, yaitu:
1. analisis ROC
Analisis ROC bertujuan untuk menilai kemampuan skor yang telah dibuat
disebut baik jika nilai area under curve (AUC ≥ 0,7). Selain menilai kemampuan
dari skoring menggunakan AUC, ROC analisis juga berguna untuk menentukan
titik potong terbaik dari skor untuk memprediksi terjadinya kematian. Penilaian
HASIL PENELITIAN
Tabel 5.1
Karakteristik responden penelitian
Variabel Outcome n = 116
Meninggal Hidup
Jenis kelamin
Laki-laki 40 (34,4%) 46(39,6%) 86 (74.1%)
Perempuan 19 (16,3%) 11(9,4%) 30 (25.9%)
Umur
≥ 60 tahun 41(35,3%) 8(6,8%) 49 (42.2%)
< 60 tahun 18(15,5%) 49(42,2%) 67 (57.8%)
Faktor Komorbid
Ada 32(27,5%) ) 3(2,5) 35 (30.2%)
Tidak 27(23,2% ) 54(46,5%) 81 (69.8%)
Onset
≥24 jam 44(37,9%) 22(18,9%) 66 (56.9%)
< 24 jam 15 (12,9%) 35(30,1%) 50 (43.1%)
Eksudat
Purulen 59 (50,8%) 47(40,5%) 106 (91.4%)
Clear 0 (0%) 10(8,6%) 10 (8.6%)
Diameter
≥0,5 cm 53(45,6%) 28(24,1%) 81 (69.8%)
< 0,5 cm 6(5,1%) 29(25%) 35 (30.2%)
MODS
Ada 55(47,4%) 4(3,4%) 64 (55.2%)
Tidak 9(7,7%) 48(41,3%) 52 (44.8%)
Lokasi
Ileum 6(5,2%) 0(0%) 6(5,2%)
Apendik 8(13,6%) 39(33,6%) 47(40,5%)
Gaster 42(36,2%) 15(12,9%) 57(49,1%)
Colon 1(0,9%) 1(0,9%) 2(1,8%)
Duodenum 1(0,9%) 1(0,9%) 2(1,8%)
Sigmoid 0(0%) 1(0,9%) 1(0,9%)
Jejunum 1(0,9%) 0(0%) 1(0,9%)
Penyebab perforasi
Thypoid 5(4,3%) 0(0%) 5(4,3%)
Appendisitis 8(6,8%) 39(33,6%) 47(40,5%)
Ulkus peptikum 38(32,7%) 15(12,9%) 53(45,7%)
Trauma 6(5,1%) 1(0,9%) 7(6%)
Malignancy 2(1,7%) 2(1,7%) 4(3,4%)
faktor komorbid sebanyak 32 responden (27,5%) dan tanpa ada faktor komorbid
Perforasi
Table 5.2
Hubungan usia, faktor komorbid, lokasi, onset, eksudat, diameter perforasi,
etiologi dan MODS
Pada table 5.2 diatas didapatkan data faktor risiko umur ≥ 60 tahun
peritonitis perforasi dengan p-value 0,000 < 0,05 dengan OR 13, 951 > 1 maka
sebanyak 13,951.
Berdasarkan letak dari perforasi didapatkan data tidak ada hubungan yang
sigifikan antara letak perforasi dengan kematian pada peritonitis perforasi dengan
p-value 0,093 > 0,05. Pada tabel didapatkan lokasi non colon terdapat angka
dengan kematian pada peritonitis perforasi dengan p-value 0,127 > 0,05. Jumlah
kematian pada kasus infeksi lebih banyak daripada kasus non infeksi.
peritonitis perforasi dengan p-value 0,000 < 0,05dan OR 21,333 > 1 yang berarti
perforasi dengan p-value 0,001 tetapi OR 0,443 <1 yang berarti jenis eksudat
kematian pada pasien peritonitis perforasi dengan p-value 0,000 < 0,05dan OR
9,149 > 1 yang berarti diameter perforasi ≥ 0,5 cm menjadi faktor risiko yang
Begitu pula adanya MODS pada pasien peritonitis perforasi berhubungan secara
signifikan dengan kematian pada pasien peritonitis perforasi dengan p-value 0,000
< 0,05 dan OR 73,333 > 1 yang berarti MODS menjadi faktor risiko yang
kematian pada pasien peritonitis perforasi. Uji regresi logistic dengan metode
uji dapat dilakukan. Pada table Omnibus Tests of Model Coefficients didapatkan
nilai p-value pada model setiap step uji 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa variable
step> 0,05 yang berarti menerima Ho menunjukkan bahwa model uji dapat
observasinya (lampiran).
Tabel 5.3
Faktor risiko usia, faktor komorbid, onset, eksudat, diameter perforasi dan
MODS terhadap outcome
Pada table 5.3 step 1 didapatkan data umur, factor komorbid dan MODS
pada pasien peritonitis perforasi dengan p-value < 0,05 sedangkan onset kejadian,
dan step 3 setelah diujikan bersama-sama umur dengan p-value 0,029, komorbid
dengan p-value 0,029 dan MODS dengan p-value 0,000 < 0,05 yang berarti umur,
komorbid dan MODS mempunyai pengaruh murni terhadap kematian pada pasien
dengan peritonitis perforasi dengan nilai Exp (B) > 1 yang berarti faktor umur,
kematian pada pasien peritonitis perforasi. Dari hasil regresi logistik didapatkan:
Variabel Skor
Umur > 60 tahun 1,5
≤ 60 tahun 0
Faktor komorbid Ya 2
Tidak 0
MODS Ya 3,5
Tidak 0
Model ini memiliki hasil tes Hosmer and Lemeshow p=0.6 yang mana lebih besar
dari 0.05 yang menunjukkan bahwa model ini valid sebagai suatu persamaan
probabilitas. Dari persamaan tersebut, didapatkan suatu kurva ROC dengan AUC
didapatkan bahwa cut off point untuk skoring ini adalah 4,25 atau dibulatkan
menjadi 5. Skor mortalitas di atas atau sama dengan 5 diprediksi akan meninggal,
Total 57 59 116
Probabilitas skoring dan meninggal
97%
96%
96%
95%
95%
94%
94%
93%
93%
92%
92%
91%
91%
90%
7.5 7 6.5 6 5.5 5
terbanyak severe sepsis pada intensive care unit (ICU). Penelitian terbaru
pada pasien dengan apendisitis perforasi, namun bisa mencapai 20% atau lebih
pada pasien dengan perforasi colon atau trauma tajam pada abdomen, bahkan
dapat mencapai 81% pada pasien yang mendapatkan infeksi intra abdominal pasca
bedah yang berimplikasi jelek terhadap prognosis apabila tidak ditangani secara
agresif dan adekuat (Behrman, 2006; Lohsiriwat, dkk., 2009; Møller, dkk., 2012).
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan suatu upaya untuk memprediksi outcome
pasien peritonitis perforasi dengan lebih akurat, tepat dan memiliki tingkat
klinis yang tepat, penatalaksaan perioperatif secara adekuat dan pada akhirnya
kepada pihak keluarga terutama kasus yang mempunyai prognosis jelek dapat
Faktor prognostik yang dipilih untuk diteliti pada penelitian ini, didasarkan
beberapa variable yang diteliti dapat menjadi faktor prognostik terhadap outcome,
yaitu: usia, faktor komorbid, lokasi non colon onset lebih dari 24 jam, eksudat
purulen, diameter perforasi lebih dari 0,5cm, keganasan dan adanya MODS.
Diantara variable yang bermakna tersebut didapatkan tiga faktor prognostik yang
yaituusia, faktor komorbid, dan adanya MODS. Dengan adanya variabel yang
lebih spesifik, diharapkan sistem skor ini dapat lebih akurat dapat memprediksi
mortalitas pasca operasi. Penggunaan skor baru ini sangat sederhana karena tidak
Usia lebih dari 60 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya
kematian pada pasien peritonitis perforasi. Padapenelitian ini dimana usia yang
lebih dari 60 tahun merupakan salah satu faktor resiko yang mempengaruhi
mengalami kematian pasca operasi. Sebaliknya, dari 67 pasien berusia < 60 tahun
didapatkan hanya 18 pasien yang meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan temuan
al., 2003; dani, et al., 2015; Kocer, et al., 2007; Lohsiriwat, et al., 2009; Thorsen,
penderita dengan usia lebih tua memiliki prognosis atau outcome yang lebih
buruk, terutama pada umur diatas 60 tahun. Hal ini terjadi karena banyaknya Co-
morbid yang dimiliki oleh penderita sejalan dengan meningkatnya usia yang
disebabkan karena faktor risiko etiologi seperti merokok, alkoholisme, dan
yang mengalami kematian paling banyak terjadi pada gaster perforasi. Hal ini
sesuai dengan beberapa literatur yang ada serta sesuai menurut skor MPI bahwa
lokasi pada daerah non kolon beresiko terjadinya kematian lebih tinggi dari daerah
kolon. Tetapi bila dilihat dari hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa lokasi
p-value 0,093 > 0,05.Dari beberapa literatur yang ada, hal ini dapat disebabkan
oleh karena dipengaruhi oleh adanya faktor komorbid, usia dan penanganan
operasi yang lebih maju dan lebih baik dari tahun ke tahun. (Banu., 2015; Paryani,
karena berhubungan dengan faktor bakteriologi dan imunologi seperti halnya pada
keganasan. (Kocer, et al., 2007; Lohsiriwat, et al., 2009; Thorsen, et al., 2013).
Sedangkan pada penelitian ini etiologi dari keganasan hanya didapatkan 3,4%.
dan dari 81 pasien tanpa adanya faktor komorbid hanya 27 yang mengalami
mortalitas. Hal ini sejalan dengan beberapa literatur yang ada. (Ko, et al., 2004;
Noguiera, et al., 2003; Unver, et al., 2015). Faktor komorbid yang dilaporkan
komorbid tersebut berkaitan erat teradap respon inflamasi lokal jaringan. Ketika
menyebabkan sel-sel (seperti, endotel, PMN, sel fagositik mononuclear, dan sel T)
perforasi sampai tiba di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan > 24 jam
Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh karena penanganan pasca operasi pasien
yang jauh dari RS rujukan, dan hemodinamik yang tidak stabil sering
memperlama proses penanganan pasien dan atau memberikan suport yang tidak
pasien. Mortalitas yang disebabkan karena onset >24 jam pre operasi berhubungan
dengan terjadinya sepsis dan kegagalan fungsi organ. (Telkar, et al.,2010). Pada
analisa bivariate didapatkan hubungan signifikan antara onset lebih dari 24 jam
dengan kematian pada pasien dengan peritonitis perforasi. Hal ini sejalan dengan
antara onset lebih dari 24 jam dengan outcome yang buruk pada pasien dengan
peritonitis perforasi. (Dani, et al., 2015; Telkar, et al., 2010;Tas, et al., 2015)
onset lebih dari 24 jam dengan kematian pada pasien peritonitis perforasi.
Penelitian sebelumnya ada yang menyebutkan bahwa dari 150 pasien dimana 65
pasien dengan onset < 24 jam tidak mengalami mortalitas dan morbiditas, onset
morbiditas berupa infeksi luka operasi sebanyak 2 orang dan waktu rawat inap
lebih lama. Sedangkan onset > 48 jam didapatkan mortalitas sebanyak 15 orang
dari 58 pasien dan 22 pasien mengalami infeksi luka operasi serta abses pelvis.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh pemberian antibiotika yang adekuat serta
Krishna, et al., 2016). Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Tas menemukan
penelitian ini eksudat purulen serta diameter perforasi lebih dari 0,5 cm bukan
perforasi. Menurut peneliti ini dapat disebabkan karena penanganan awal pre
Pada studi ini didapatkan hubungan yang bermakna antara MODS dengan
berkembang menjadi syok, gangguan asam basa, dan abnormalitas koagulasi yang
signifikan yang sehingga jatuh dalam keadaan iskemik dan asidosis laktat.
kematian. (Dorinsky, 1990; Swank, 1996; Marik, 1993., Mythen, 1994., Kirton,
adanya faktor komorbid dan adanya MODS dapat menjadi faktor prognostik yang
prognostik yang disusun memiliki kemampuan prediktif yang baik karena nilai
area under curve pada analisa ROC lebih atau sama dengan (AUC 0,930), dengan
bisa membantu memberikan inform consent yang lebih realistis pada keluarga
negara berkembang yang sistem dan fasilitas kesehatannya masih kurang. Skor ini
tentu saja masih perlu diuji kemampuannya, terutama dengan karakteristik subyek
6.1 Simpulan
Dari penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Umur lebih dari 60 tahun, adanya faktor komorbid, adanya MODS
merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya kematian pada
pasien peritonitis perforasi.
2. Skor prognostik yang dibuat menunjukkan kemampuan prediktif yang baik
dengan AUC pada analisa ROC sebesar 0,930, tingkat sensitifitas 93,2%
dan spesifisitas 84,2%.
6.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah :
Roy, S., 2016. Clinical study of peptic ulcer disease. Asian Journal of Biomedical
and Pharmaceutical Sciences, 6(53), pp. 41-43
Ruigomez, A. et al., 2000. Overall mortality among patients surviving an episode
of peptic ulcer bleeding. J Epidemiol Community Health, (5)4, pp. 130-133
Ruigomez, A. et al.,2000. Overall mortality among patients surviving an episode
of peptic ulcer bleeding. J Epidemiol Community Health,Volume 54, pp.130-133
Ruler, O. V. et al., 2011. Failure of available scoring systems to predict ongoing
infection in patients with abdominal sepsis after their initial emergency
laparotomy. BMC Surgey, 11(38), pp. 1-9
Saber, A., 2011. Perforated duodenal ulcer in high risk patients. Intechopen,
Volume 15, pp. 271-285
Sahu, S. et al., 2007. Outcome of secondary peritonitis based on apache II score.
International Journal of Surgery, Volume 14(2), pp. 1-7
Saidi, W. B., 2014. Stratified outcome evaluation of peritonitis. The An of Afric
Surg, Volume 11(2), pp. 29-34
Sarteli, M., 2010. A focus on intra-abdominal infections. WJES, 5(9), pp. 1-20
Thorsen, K. et al., 2013. Scoring systems for outcome prediction in patients with
perforated peptic ulcer. Scandinavian Journal of Trauma Resuscitation and
Emergency Medicine, pp. 21-25
Till, J. W. et al., 2007. The innate immune response to secondary peritonitis.
Shock, 28(5), pp. 504-517
Tukka, V. N. & Rahul, N., 2016. Effectiveness of mannheim peritonitis index
scoring system in predicting the morbidity and mortality in peritonitis due to
hollow viscous perforation. Int Surg J, Volume 3(2), pp. 714-717
Udwadia, F. E., 2003. Multiple organ dysfunction syndrome due to tropical
infections. Indian J Crit Care Med, 7(4), pp. 23-236
Unver, M. et al., 2015. Prognostic factor in peptic ulcer perforations: A
retrospective 14-year study. Int Surg, Volume 100, pp. 942-948
Veen, s. q., 2006. Clinical and experimental interventions in intra-abdominal
infections. UvA, pp. 1-200
Vijayakumar, A. et al., 2013. Non operative management of perforated peptic
ulcer an algorithm approach. IJBAR, 04(02), pp. 67-72
Vijian, K. et al., 2016. Comparison of features and outcomes of erforated peptic
ulcer between malaysians and foreigners. Med J Malaysia, Volume 71(1), pp. 12-
16
Vishwani, A. et al., 2014. Efficacy of possum scoring system in predicting
mortality and morbidity in patients of peritonitis undergoing laparotomy.
International Journal of Scientific Study, 2(4), pp. 29-39
Weledji, E. P. & Ngowe, M. N., 2013. The challenge of intra-abdominal sepsis.
International Journal of Surgery, Volume XXX, pp. 1-6
Wittmann, D. H. et al., 1996. Review article: Management of secondary
peritonitis. Annals of surgery, 224(1), pp. 10-18
Wittmann, D. H., 2010. Intra-abdominal infections. Alvailable from URL :
http://antibioticsfor.com/pdf/Intra-Abdominal-Infection.pdf diakses pada tanggal :
10 Maret 2017
Yung, S. & Chan, T. M., 2012. Pathophysiological changes to the peritoneal
membrane during PD-Related peritonitis: The role of mesothelial cells. Hindawi
Publishing Corporation Mediators of Inflamation, Volume 2012, pp. 1-21
LAMPIRAN
Identitas
: ..................................................................................................
Alamat : ..................................................................................................
No Telp : ..................................................................................................
Pekerjaan : ..................................................................................................
TB/BB
Riwayat
Alkohol + -
Merokok Berapa lama + -
Brp btg/hari
NSAID + -
Antikoagulan ( obat jantung) + -
Obat tradisional/jamu + -
Malignancy + -
Steroid + -
AIDS + -
Riwayat Penyakit Dahulu
Pneumonia + -
Lama Ya / Tidak
Terapi
DM + -
Lama Ya / Tidak
Terapi
CKD Lama + -
.....................................Ya/Tidak
Terapi
HD Ya / Tidak
Heart Disease + -
Lama
.....................................Ya/Tidak
Terapi
Hipertensi + -
Lama
.....................................Ya/Tidak
Terapi
Keterangan:............................................................................................................................
Pre-Operative
Onset (nyeri awal sampai datang ke RS)
Vital Sign
TD
Nadi
RR
Temperatur
D/L
WBC/Hb/Ht/Plt
Kimia Darah
BUN/SC
SGOT/SGPT
Albumin
Glukosa Darah
Faal Hemostasis
PT/(k)PT/APTT/(k)APTT/INR
Analisa Gas Darah
pH
pO2/pCO2
HCO3
SaO2
BE
Natrium (Na)/Kalium (K)
ASA Score
Durante Op
Tanggal Operasi/Jam Mulai/Jam Selesai
Perforasi
Diameter
Lokasi
Single/Multipel
Massa
Tehnik Operasi
Eksudat
Post-Operative
LOS (Lama Rawat Inap)
Complication*
Hasil & Interpretasi PA (Tgl/No. PA)
Mortalitas
*: Perdarahan/Wound Dehiscence/ILO/Peritonitis/Pneumonia/Sepsis
Lampiran 4. Perkiraan Biaya Penelitian
Perkiraan Pengeluaran
Total
Rp. 2.705.000,00
Lampiran
Statistics
jeniskelami Umurrespon faktorkomor onset tipeeksud diameter MODS mortali
nresponde den bid at perforasi tas
n
Valid 116 116 116 116 116 116 116 116
N 0 0 0 0 0 0 0 0
Missing
jeniskelaminresponden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
laki-laki 86 74.1 74.1 74.1
Valid perempuan 30 25.9 25.9 100.0
Total 116 100.0 100.0
umurresponden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
>/ 60 tahun 49 42.2 42.2 42.2
Valid < 60 tahun 67 57.8 57.8 100.0
Total 116 100.0 100.0
faktorkomorbid
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
adafaktorkomorbid 35 30.2 30.2 30.2
Valid tidakadafaktorkomorbid 81 69.8 69.8 100.0
Total 116 100.0 100.0
onset
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
>/ 24 jam 66 56.9 56.9 56.9
Valid < 24 jam 50 43.1 43.1 100.0
Total 116 100.0 100.0
tipeeksudat
Analisis bivariate
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jeniskelaminresponden * 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
mortalitas
umurresponden * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
faktorkomorbid * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
onset * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
diameter perforasi * 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
mortalitas
tipeeksudat * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
MODS * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
jeniskelaminresponden laki-laki 40 46 86
perempuan 19 11 30
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .113
2.518
b 1.890 1 .169
Continuity Correction
Likelihood Ratio 2.544 1 .111
Fisher's Exact Test .139 .084
Linear-by-Linear Association 2.496 1 .114
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.74.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
>/ 60 tahun 41 8 49
umurresponden 18 49 67
< 60 tahun
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
36.544
b 34.307 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 39.184 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 36.229 1 .000
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.08.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper
Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
Adafaktorkomorbid 32 3 35
faktorkomorbid 27 54 81
Tidakadafaktorkomorbid
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
33.004
b 30.720 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 37.185 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 32.719 1 .000
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.20.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
faktorkomorbid
(adafaktorkomorbid /
tidakadafaktorkomorbid)
For cohort mortalitas = 2.743 1.983 3.793
meninggal
For cohort mortalitas = .129 .043 .384
hidup
N of Valid Cases 116
Crosstab
Count
Mortalitas Total
meninggal Hidup
>/ 24 jam 44 22 66
onset 15 35 50
< 24 jam
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
15.303
b 13.871 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 15.669 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 15.171 1 .000
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.57.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
>/ 0,5 cm 53 28 81
diameter perforasi 6 29 35
< 0,5 cm
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
22.803
b 20.911 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 24.259 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 22.606 1 .000
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.20.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Crosstab
Count
Mortalitas Total
meninggal hidup
purulen 59 47 106
tipeeksudat 0 10 10
clear
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .001
11.327
b 9.210 1 .002
Continuity Correction
Likelihood Ratio 15.190 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 11.230 1 .001
N of Valid Cases 116
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.91.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
hidup
N of Valid Cases 116
Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
ada 55 9 64
MODS 4 48 52
tidak
Total 59 57 116
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
70.280
b 67.184 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 80.592 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 69.674 1 .000
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.55.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Analisis multivariate
meninggal 0
hidup 1
Iteration History
a,b,c
Iteration -2 Log likelihood Coefficients
Constant
1 160.776 -.034
Step 0 160.776 -.034
2
a. Constant is included in the model.
b. Initial -2 Log Likelihood: 160.776
c. Estimation terminated at iteration number 2
because parameter estimates changed by less than
.001.
a,b
Classification Table
Observed Predicted
mortalitas Percentage
meninggal hidup Correct
meninggal 59 0 100.0
Step 0 mortalitas 57 0 .0
hidup
Overall Percentage 50.9
Iteration History
a,b,c,d
Iteration -2 Log Coefficients
likelihood Constant age komorbid onset eksudat diameter MOD
S
1 72.823 -6.625 .676 .721 .175 .429 .243 2.256
2 62.316 -10.548 1.153 1.364 .334 1.078 .463 2.862
3 60.134 -13.512 1.420 1.838 .414 2.035 .564 3.199
4 59.774 -15.291 1.507 2.041 .418 3.134 .556 3.319
5 59.686 -16.419 1.518 2.073 .414 4.182 .546 3.334
6 59.655 -17.435 1.519 2.075 .413 5.194 .545 3.335
7 59.644 -18.439 1.519 2.075 .413 6.198 .545 3.335
8 59.640 -19.440 1.519 2.075 .413 7.200 .545 3.335
9 59.638 -20.441 1.519 2.075 .413 8.200 .545 3.335
Step 1 59.638 -21.441 1.519 2.075 .413 9.200 .545 3.335
10
11 59.637 -22.441 1.519 2.075 .413 10.200 .545 3.335
12 59.637 -23.441 1.519 2.075 .413 11.200 .545 3.335
13 59.637 -24.441 1.519 2.075 .413 12.200 .545 3.335
14 59.637 -25.441 1.519 2.075 .413 13.200 .545 3.335
15 59.637 -26.441 1.519 2.075 .413 14.200 .545 3.335
16 59.637 -27.441 1.519 2.075 .413 15.200 .545 3.335
17 59.637 -28.441 1.519 2.075 .413 16.200 .545 3.335
18 59.637 -29.441 1.519 2.075 .413 17.200 .545 3.335
19 59.637 -30.441 1.519 2.075 .413 18.200 .545 3.335
20 59.637 -31.441 1.519 2.075 .413 19.200 .545 3.335
1 73.065 -6.515 .666 .755 .419 .282 2.296
2 62.694 -10.332 1.134 1.431 1.079 .525 2.933
3 60.509 -13.269 1.397 1.928 2.091 .618 3.278
4 60.132 -15.093 1.486 2.141 3.234 .597 3.398
5 60.040 -16.240 1.498 2.175 4.292 .585 3.413
6 60.008 -17.258 1.498 2.177 5.306 .584 3.414
7 59.996 -18.263 1.498 2.177 6.311 .584 3.414
8 59.992 -19.265 1.498 2.177 7.313 .584 3.414
9 59.991 -20.266 1.498 2.177 8.314 .584 3.414
10 59.990 -21.266 1.498 2.177 9.314 .584 3.414
Step 2 59.990 -22.266 1.498 2.177 10.314 .584 3.414
11
12 59.990 -23.266 1.498 2.177 11.314 .584 3.414
13 59.990 -24.266 1.498 2.177 12.314 .584 3.414
14 59.990 -25.266 1.498 2.177 13.314 .584 3.414
15 59.990 -26.266 1.498 2.177 14.314 .584 3.414
16 59.990 -27.266 1.498 2.177 15.314 .584 3.414
17 59.990 -28.266 1.498 2.177 16.314 .584 3.414
18 59.990 -29.266 1.498 2.177 17.314 .584 3.414
19 59.990 -30.266 1.498 2.177 18.314 .584 3.414
20 59.990 -31.266 1.498 2.177 19.314 .584 3.414
1 73.559 -6.383 .700 .764 .443 2.392
2 63.321 -10.159 1.205 1.460 1.207 3.071
3 61.019 -13.237 1.490 1.986 2.380 3.408
4 60.598 -15.198 1.579 2.225 3.587 3.523
5 60.500 -16.373 1.589 2.264 4.654 3.537
6 60.466 -17.395 1.590 2.265 5.671 3.538
7 60.454 -18.401 1.590 2.265 6.677 3.538
8 60.449 -19.403 1.590 2.265 7.680 3.538
9 60.448 -20.404 1.590 2.265 8.680 3.538
Step 3 60.447 -21.404 1.590 2.265 9.681 3.538
10
11 60.447 -22.405 1.590 2.265 10.681 3.538
12 60.447 -23.405 1.590 2.265 11.681 3.538
13 60.447 -24.405 1.590 2.265 12.681 3.538
14 60.447 -25.405 1.590 2.265 13.681 3.538
15 60.447 -26.405 1.590 2.265 14.681 3.538
16 60.447 -27.405 1.590 2.265 15.681 3.538
17 60.447 -28.405 1.590 2.265 16.681 3.538
18 60.447 -29.405 1.590 2.265 17.681 3.538
19 60.447 -30.405 1.590 2.265 18.681 3.538
20 60.447 -31.405 1.590 2.265 19.681 3.538
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R
Square Square
1 a .582 .776
59.637
2 a .581 .774
59.990
a
3 60.447 .579 .772
1 4.864 7 .677
2 7.231 6 .300
3 6.365 5 .272
Classification Table
a
Observed Predicted
mortalitas Percentage
meninggal hidup Correct
meninggal 56 3 94.9
Step 1 Mortalitas 9 48 84.2
hidup
Overall Percentage 89.7
meninggal 57 2 96.6
Step 2 Mortalitas 9 48 84.2
hidup
Overall Percentage 90.5
meninggal 57 2 96.6
Step 3 Mortalitas 9 48 84.2
hidup
Overall Percentage 90.5
EXP(B)
Lower Upper
Confidence Interval
Std. Asymptotic Lower Upper
a b
Area Error Sig. Bound Bound
.930 .025 .000 .881 .980
The test result variable(s): VAR00002 has at least one tie
between the positive actual state group and the negative
actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5