Anda di halaman 1dari 144

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena

kontaminasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau

keduanya. (King., 2007). Infeksi peritonitis dibagi menjadi primer, sekunder, dan

tersier. Peritonitis perforasi disebut juga peritonitis sekunder, terjadi karena

adanya proses dalam intra-abdomen, seperti apendiks yang ruptur, perforasi

gastrointestinal, ataupun perforasi pada organ kolon dan rectum. (Marshall.,

2004).

Infeksi intra-abdominal diidentifikasikan sebagai penyebab kedua

terbanyak severe sepsis pada intensive care unit (ICU). Penelitian terbaru

menunjukkan hubungan antara infeksi intra-abdominal dengan tingkat mortalitas

yang signifikan. (Lopez, et al., 2011). Tingkat mortalitasnya dapat hanya 1% saja

pada pasien dengan apendisitis perforasi, namun bisa mencapai 20% atau lebih

pada pasien dengan perforasi colon atau trauma tajam pada abdomen, bahkan

dapat mencapai 81% pada pasien yang mendapatkan infeksi intra abdominal pasca

operasi. (Marshall., 2004).

Telah banyak dilaporkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi hasil

akhir pada pasien dengan peritonitis perforasi, akan tetapi belum ada sistem

skoring yang lebih superior. Saat ini skor ASA, APACHE II, skor Boey, skor

PULP dan skor MPI (Mannheim Peritonitis Index). Skor Boey dan skor PULP
merupakan sistem skoring prognostik yang spesifik digunakan pada pasien dengan

perforasi ulkus peptik. Skor ASA merupakan skor risiko pembedahan secara

umum dan tidak khusus pada pasien peritonitis perforasi. (Soreide, et al., 2014).

Skor Boey memprediksi mortalitas berdasarkan adanya penyakit penyerta

(komorbid), syok preoperatif, dan perforasi lebih dari 24 jam. (Thorsen, et al.,

2013).

Pada tahun 1983 di Jerman, Wach dan Linder membuat skor MPI untuk

memprediksi kematian pada pasien peritonitis yang diambil berdasarkan analisa

retrospektif dari medikal record, terdapat 8 variabel yang dinilai yaitu usia, jenis

kelamin, gagal organ, keganasan, durasi pre operasi, origin sepsis, diffuse

generalized peritonitis dan eksudat. (Batra, et al., 2013). Skor MPI tidak spesifik

untuk memprediksi kematian pada pasien dengan ulkus peptik. (Thorsen, et al.,

2013; Nichakankitti & Athigakunagorn., 2016). Akurasi MPI dalam memprediksi

terjadinya morbiditas cukup rendah. (Thorsen, et al., 2013). Validasi statistik dari

Mannheims Peritonitis Index cukup bervariasi, Billing et al seri 1 tahun 1994

menunjukkan sensitivitas 70% dan spesifisitas 67%. Seri 3 tahun 1994,

sensitivitas 85%, spesifisitas 61%. Seri 4 tahun 1994 sensitifitas 69%, spesifisitas

97%. Lambordoand et al tahun 1998 menunjukkan sensitifitas skor MPI 87%,

spesifisitas 88%. Sedangkan penelitian dari Van-Laarhosen et al tahun 1988

dengan sensitifitas 24% dan spesifisitas 35%. (Dani, et al., 2015). Dengan hasil

yang tidak konsisten itu menyebabkan terjadinya perdebatan bahwa sistem

skoring tersebut tidak dapat dipakai untuk menentukan terapeutik. (Krishna, et al.,

2016). Kerugian dari skor MPI ini juga tidak dapat digunakan pada pasien dengan
penyakit kronis dan penyakit sistemik mayor karena banyaknya faktor risiko yang

menyebabkan kematian dan komplikasi yang serius. (Budzynski, et al., 2015).

Variasi dari hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan demograpis pasien,

sumber sepsis, dan faktor komorbiditas. (Wabwire & Saidi., 2014).

Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik.

(Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai risiko

signifikan terjadinya mortalitas setelah pembedahan pada peritonitis perforasi

daripada pasien muda dikarenakan mempunyai banyak faktor komorbiditas. (Kim,

et al., 2012).

11,5-40% pasien dengan penyakit peritonitis perforasi mempunyai faktor

komorbid. (Ko, et al., 2004). Faktor-faktor yang signifikan menyebabkan

morbiditas pasca operasi adalah Hipertensi (P=0,01), diabetes mellitus (P=0,04),

dan pneumonia (P=0,04). Pasien dengan komorbiditas mempunyai risiko yang

signifikan terhadap terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca operasi. (Kim, et

al., 2012).

Penelitian oleh Ali Yaghoobi memperlihatkan bahwa onset mulai gejala

sampai dilakukan operasi lebih dari 24 jam berisiko terjadi mortalitas sebesar

25%, sedangkan penelitian oleh Rodolfo menunjukkan semua pasien meninggal

bila onset lebih dari 24 jam. (Dani, et al., 2015).

Dari beberapa studi mengatakan bahwa mortalitas berhubungan dengan tipe

eksudat. Eksudat jernih berhubungan dengan rendahnya tingkat mortalitas

(7,94%), eksudat purulent berhubungan dengan tingginya tingkat mortalitas

(75%). (Krishna, et al., 2016). Studi lain juga menyebutkan bahwa kontaminasi
cairan peritoneal merupakan prediktor yang sangat signifikan terjadinya

mortalitas, 81 % (p<0,0005). (Noman, et al., 2014).

Ukuran perforasi lebih dari 0,5 cm merupakan faktor signifikan terjadinya

mortalitas (p=0,01). (Nomani, et al., 2014).

Multi Organ Dysfuction Syndrome juga dapat menentukan tingginya kejadian

mortalitas. Satu kegagalan sistem organ berhubungan dengan 30-40% kematian,

dua kegagalan fungsi organ mengakibatkan 60% kematian dan bila terdapat 3

kegagalan fungsi organ maka resiko terjadinya kematian sebesar 90%. (Murray &

Coursin.,1994). Kriteria MODS menurut Knaus dkk meliputi enam organ yaitu

cardiovascular, renal, respiratory, neurologi, hematologi dan hepatik

Prognosis merupakan bahan pertimbangan yang penting dalam membuat

keputusan klinis dan sebagai dasar pemberian inform consent yang realistis bagi

keluarga pasien. Dari sudut pandang sosioekonomi, model prognostik dengan

melihat data awal saat masuk rumah sakit merupakan faktor penting dalam

mendukung keputusan klinis yang cost effective.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas kami tertarik untuk

mengembangkan sistem skoring yang tervalidasi mengenai faktor-faktor yang

berperan dalam memprediksi mortalitas pada pasien peritonitis perforasi dan

membuat sistem skor klinis dari faktor-faktor tersebut. Model prognostik ini

diharapkan bisa membantu dalam mengalokasikan sumber daya, pembuatan

keputusan klinis segera dan memberikan inform consent yang realistis tentang

outcome kepada keluarga pasien.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut:

1. Apakah usia lebih dari 60 tahun merupakan faktor risiko terjadinya kematian

pada peritonitis perforasi?

2. Apakah adanya faktor komorbiditas merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

3. Apakah onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai dilakukannya

operasi merupakan faktor risiko kematian pada pasien peritonitis perforasi?

4. Apakah lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

5. Apakah eksudat purulent merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

6. Apakah diameter perforasi > 0,5cm merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

7. Apakah keganasan merupakan faktor risiko kematian pada pasien peritonitis

perforasi?

8. Apakah adanya MODS merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum


Untuk mengetahui faktor risiko terjadinya kematian pada pasien peritonitis

perforasi dan membuat suatu prognostik skoring mortalitas penderita peritonitis

perforasi.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui apakah usia lebih dari 60 tahun merupakan faktor risiko

terjadinya kematian pada peritonitis perforasi?

2. Mengetahui apakah adanya faktor komorbiditas merupakan faktor risiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

3. Mengetahui apakah onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai

dilakukannya operasi merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

4. Mengetahui apakah lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

5. Mengetahui apakah eksudat purulent merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

6. Mengetahui apakah diameter perforasi > 0,5cm merupakan faktor risiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

7. Mengetahui apakah keganasan merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

8. Mengetahui apakah adanya MODS merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Ilmiah


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang faktor-faktor

risiko terjadinya kematian pada peritonitis perforasi yang tervalidasi, sehingga

dapat digunakan sebagai instrumen prognostik dari peritonitis perforasi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapakan dapat menghasilkan suatu sistem skoring

prognostik yang dapat memprediksi terjadinya kematian pada pasien peritonitis

perforasi. Sistem prognostik ini diharapkan dapat membantu dalam membuat

keputusan klinis rasional, alokasi sumber daya yang tepat dan sebagai dasar

inform consent yang lebih realistis kepada keluarga pasien.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum dalam rongga abdomen yang

dapat terjadi baik karena faktor pathogen, seperti kontaminasi mikroorganisme

dalam rongga peritoneum dan non-patogen (bahan kimiawi). (Mazuski, et al.,

2009)

Infeksi intra-abdominal merupakan istilah yang digunakan untuk infeksi

dalam abdomen, yang biasanya dideskripsikan sebagai peritonitis atau abses intra-

abdominal. (Mazuski, et al., 2009). Infeksi intra-abdominal dideskripsikan sebagai

respon inflamasi peritoneum terhadap mikroorganisme dan diklasifikasikan

berdasarkan luasnya infeksi menjadi uncomplicated dan complicated. Infeksi

intra-abdominal yang uncomplicated meliputi inflamasi intramural dari saluran

gastrointestinal tanpa adanya gangguan anatomi. Terapinya mudah, namun jika

terapinya terlambat atau tidak adekuat, maka infeksinya dapat berkembang

menjadi infeksi intra-abdominal yang complicated. Infeksi intra-abdominal yang

complicated merupakan infeksi yang meluas dari organ sumber ke dalam rongga

peritoneum dan menyebabkan inflamasi peritoneum, serta berhubungan dengan

peritonitis lokal dan difus. Peritonitis lokal sering bermanifestasi sebagai abses

dengan jaringan debris, bakteri, neutrofil, makrofag, dan cairan eksudat yang

terkandung dalam kapsul fibrosa. Sedangkan peritonis difus ini merupakan


peritonitis yang dikategorikan sebagai peritonitis primer, sekunder, dan tersier.

(Lopez, et al., 2011)

2.2 Epidemiologi

Peritonitis primer pada anak-anak jarang terjadi, kurang dari 1% dari seluruh

kasus dan lebih sering terjadi pada anak perempuan usia di bawah 10 tahun. Pada

pasien anak perempuan, kondisi lingkungan yang alkali dari traktus genitalis dapat

mendukung terjadinya infeksi ascendens. Kejadian peritonitis primer pada anak-

anak dengan sindroma nefotik adalah rendah dan tidak sampai melebihi 5% kasus.

Sekitar seperempat pasien sirosis hepatis dengan asites menderita Spontanueous

Bacterial Peritonitis (SBP). Walaupun etiologi dan insiden gagal hepar pada anak-

anak dan dewasa berbeda, insiden terjadinya SBP pada pasien dengan asites pada

kelompok anak-anak dan dewasa secara kasar sama, dengan 2 karakteristik

puncak usia pada anak-anak, yaitu periode neonatal dan 5 tahun. (Daley, et al.,

2013).

Peritonitis sekunder yang disebabkan oleh perforasi organ berongga masih

menyebabkan mortalitas yang tinggi dan memerlukan tindakan pembedahan.

Dalam sebuah studi, penyebab paling sering peritonitis sekunder, diantaranya

perforasi ulkus peptikum (64%), diikuti oleh perforasi usus kecil (24%), dan

perforasi appendicitis (12%). (Ramachandra, et al., 2007). Insiden tertinggi

peritonitis sekunder didapatkan pada diamati pada kelompok usia 21 sampai 30

tahun (32%), diikuti oleh 31 sampai 40 tahun (26%). Insiden puncak di kalangan

kelompok usia ini di negara berkembang sering disebabkan oleh ulkus peptikum.
Pria yang paling sering terkena, dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 9:1,

yang sedikit lebih tinggi daripada apa yang telah dilaporkan dalam literatur

sebelumnya, 3:01 atau 4:01 atau 5:01 laki-laki terhadap perempuan.

(Ramachandra, et al., 2007).

Kebanyakan pasien dengan peritonitis tersier mengalami gangguan

pertahanan tubuh yang signifikan, yang menyebabkan mikroorganisme dengan

patogenik yang rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. Tipe

peritonitis ini yang paling banyak menyebabkan mortaliitas dalam kasus infeksi

intra-abdominal. (Marshall., 2004)

2.3 Etiologi

Peritonitis berarti suatu respon inflamasi dari peritoneum dalam rongga

abdomen dalam hal aktivasi kaskade mediator lokal dengan stimulus yang

berbeda. Oleh karena itu, agen infeksius (bakteri, virus) dan non-infeksius (bahan

kimia : empedu) dapat menyebabkan peradangan pada lapisan peritoneum.

Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi ke dalam lingkungan rongga peritoneum

yang steril melalui perforasi usus, misalnya ruptur dari apendiks dan divertikel

kolon. Bahan kimia yang dapat mengiritasi peritoneum, misalnya asam lambung

dari perforasi gaster atau empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi

hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga

pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. (Akujobi, et al., 2006)
Etiologi peritonitis juga tergantung pada jenis peritonitis. (Daley., 2013).

Peritonitis primer pada pasien dewasa disebabkan oleh penyakit sirosis hepatis

dan asites, sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh sindroma nefrotik dan

Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Pasien asites yang disebabkan oleh

penyebab lain, sepreti gagal jantung, keganasan, penyakit autoimun, juga berisiko

tinggi untuk berkembangnya peritonitis ini. (Zinner, et al., 1997) Peritonitis

primer juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan kateter peritoneum, seperti

pada kateter dialisis peritoneum. (Mazuski & Solomkin, 2009).

Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyakit pada organ abdomen, trauma

pada abdomen, dan operasi intra-abdominal sebelumnya. Penyakit pada organ

abdomen, contohnya inflamasi usus (appendicitis dan divertikulitis), strangulasi

obstruksi (volvulus dengan strangulasi, closed-loop adhesive obstruction),

perforasi (gaster, neoplasma (karsinoma kolon), duodenum), dan vascular

(ischemic colitis). Trauma pada abdomen dapat berupa trauma tajam, tumpul, atau

iatrogenik. Peritonitis sekunder akibat komplikasi operasi, contohnya kebocoran

anastomosis usus. (Mieny & Mennen, 2013).

Peritonitis tersier timbul akibat gagalnya terapi peritonitis atau karena

imunitas pasien yang tidak adekuat. Gangguan sistem imun yang signifikan pada

pasien dengan peritonitis teriser menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik

yang rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. (King, 2007;

Marshall, 2004; Lopez, et al., 2011).


2.4 Cidera Peritoneum dan Penyembuhannya

Peristiwa inflamasi dalam rongga peritoneum menyebabkan iritasi

peritoneum lokal dengan hilangnya sel-sel mesotel di daerah itu. Defek pada

lapisan mesotel diperbaiki oleh “metastasis” dari sel-sel mesotel yang ada di

dekatnya. Defek peritoneum di mana pun sembuh secara bersamaan. Defek

peritoneum yang luas memerlukan waktu yang sama dengan defek yang kecil

untuk sembuh, biasanya antara 3 sampai 5 hari. Proses ini cepat dan biasanya

penyusunan kembali kontinuitas peritoneum tidak disertai perlengketan.

(Wittmann, 2010)

Peritoneum tampaknya secara cepat dapat sembuh setelah injury. Observasi

pada percobaan hewan mengindikasikan bahwa penggantian mesotel yang cedera

terjadi sekaligus pada seluruh luka. Kemudian penyembuhan tersebut tidak

tergantung dari ukuran luka peritoneum. Dalam 3 hari setelah injury, luka ditutupi

oleh sel jaringan penghubung, dan pada hari kelima sel-sel baru ini menyerupai

mesotel normal. Sumber dari sel ini masih belum jelas. Berbagai kemungkinan

penyebabnya adalah sel stem submesotel menyebabkan penggantian sel mesotel,

diferensiasi monosit dan makrofag dalam cairan peritoneum ke dalam sel mesotel,

proliferasi sel mesotel yang intak dari cairan peritoneum atau tepi luka. Injury

pada peritoneum yang disebabkan oleh karena infeksi dan inflamasi akan

menyebabkan terbentuknya adhesi. Resolusi berikutnya dari inflamasi,

kembalinya aktivitas fibrinolitik normal sebagai regenerasi sel mesotel, dan adesi

fibrin didegradasi dan dihilangkan. Namun pada keadaan injury peritoneum yang

berat atau infeksi yang persisten, adhesi fibrin akan bertransformasi menjadi
adhesi fibrosa oleh fibroblast yang tumbuh ke dalam, kapiler, dan deposisi

kolagen. Resolusi dari peritoneum pada akhirnya menyebabkan pembersihan

adhesi fibrosa ini melalui fagositosis dan remodeling (pembentukan ulang).

(Zinner, et al., 1997)

2.5 Pertahanan Host terhadap Infeksi Intra-abdomen

Empat sel yang berperan penting dalam respon inflamasi di peritoneum

sehingga menyebabkan terjadinya destruksi bakteri adalah : sel mast, makrofag

peritoneum, sel polimorfonuklear (PMN), dan sel mesotel peritoneum (PMC).

(Norton, et al., 2001). Respon imun primer untuk membunuh mikroorganisme

diinisiasi oleh sel makrofag peritoneum setempat (PM) dan sel mesotel yang

bertanggung jawab untuk terjadinya fagositosis primer dan aktivasi serta

pengerahan sel PMN dan monosit ke dalam rongga peritoneum. Monosit akan

dengan cepat berdiferensiasi, meningkatkan populasi makrofag. (Olivier, et al.,

2007)

1. Sel mast

Dalam peritoneum normal, sel mast hadir dan jumlahnya meningkat pada

keadaan inflamasi. Fungsi biologis sel mast termasuk peran dalam

immunomodulation, perbaikan jaringan, fibrosis, dan angiogenesis. (Schilte, et al.,

2009). Sel mast berespon terhadap terjadinya infeksi peritoneum dengan cara

degranulasi dengan melepaskan histamin yang menyebabkan terjadinya

vasodilatsi dan kontraktur endotel, sehingga terjadi influks cairan dan protein
yang kaya akan faktor komplemen dan immunoglobulin ke dalam rongga

peritoneum. (Norton, et al., 2001).

2. Makrofag peritoneum

Makrofag peritoneum memiliki reseptor Fc dan C3 pada membran selnya dan

secara aktif berperan dalam fagositosis. (Norton, et al., 2001). Aktivasi makrofag

akan melepaskan prostaglandin-E2 (PGE-2), IL-1, IL-6, IL-8, monosit

chemoattractant protein-1 (MCP-1), dan TNF-α dan dengan demikian

berpartisipasi dalam inflamasi intra-peritoneum. Selain itu, makrofag dapat

menghasilkan faktor pertumbuhan yang meningkatkan proliferasi sel dan produksi

ECM, yang menyebabkan fibrosis. (Schilte, et al., 2009).

Sel makrofag juga mensekresi Leucotrine B4, yang merupakan kemotaksin

kuat. Ekspresi faktor jaringan pada permukaan makrofag peritoneum yang

kemudian memicu terjadinya aktivasi lokal dari kaskade koagulasi,

mengakibatkan deposisi fibrin di sekitar fokus inflamasi, dan membentuk dinding

abses, yang merupakan proses yang berfungsi untuk membentuk dinding dari

infeksi. (Marshall, 2004; Schilte, et al., 2009)

3. Sel Polimorfonuklear Neutrofil (PMN)

Sel ini masuk ke dalam rongga peritoneum melalui kemotaksis kemudian

mengahancurkan bakteri setelah fagositosis. (Norton, et al., 2001) Perekrutan dan

aktivasi masuknya polymorphonuclear neutrofil (PMN) yang berperan penting

dalam mengeliminasi pathogen dengan enzim proteolitik dan reactive oxygen

species. PMN juga memproduksi mediator dalam jumlah besar yang mengarah

pada respon inflamasi. (Veen, 2006).


4. Sel Mesotel Peritoneum (PMC)

Sel ini merupakan sel yang membentuk membran peritoneum. (Norton, et al.,

2001). Paparan episode peritonitis yang kronis merusak sel-sel mesotel, yang

menyebabkan hilangnya sebagian sel ini dari membran peritoneum. Sel-sel

mesotel yang tersisa menjadi aktif dan menghasilkan faktor angiogenik dan

fibrotik seperti VEGF, basic fibroblast growth factor ( FGF - 2 ), transforming

growth factor - beta ( TGF - β ) , dan asam hyaluronic (HA). Regenerasi daerah

kehilangan sel mesotel ini terjadi dengan proliferasi dan migrasi sel-sel mesotel

yang tersisa. (Schilte, et al., 2009).

Sel mesotel juga merupakan sumber penting dari aktivator plasminogen yang

mengaktifkan sistem fibrinolitik dan mencegah pembentukan klot dalam rongga

peritoneum normal. Deposisi fibrin yang luas terjadi dalam rongga peritoneum

setelah terjadinya aktivasi sistem pembekuan oleh trompoplastin jaringan. Pada

peritoneum yang terinfeksi, aktivitas fibrinolisis ditekan oleh plasmingen

activator inhibitor 1. Untuk itu pada proses inflamasi, PMC menurunkan regulasi

fibrinolisis, membantu dalam memerangkap dan mengisolasi bakteri dalam

matriks fibrin. (Norton, et al., 2001)

Dengan mensekresi prostaglandin, kemokin, dan sitokin, sel mesotel

berkontribusi terhadap perekrutan leukosit. (Schilte, et al., 2009). Makrofag dan

neutrofil tertarik ke rongga peritoneum, dan dalam pengaturan ini, mikrovili dari

sel-sel mesothelium memainkan peran penting dalam migrasi leukosit ke dalam

rongga peritoneum dengan menyediakan substrat yang diperlukan untuk adhesi


mereka, yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1 , atau CD 54), dan

molekul adhesi sel vaskular-1 (VCAM-1, atau CD 106). (Feldman, et al., 2010)

Sel-sel lain yang berperan dalam inflamasi pada peritoneum meliputi sel

endotel. Produk sel makrofag, neutrofil, dan mesotel juga meng-injury lapisan sel

endotel yang berdekatan dan dengan ini dapat meningkatkan pergerakan dari

mediator ke ruang vaskuler. Hal ini hanya terjadi pada aktivasi atau injury,

dimediasi oleh TNF- , IL-1, atau radikal oksigen, di mana sel endotel

mensekresikan molekul infamasi yang meningkatkan perlekatan leukosit-endotel

dan migrasi leukosit melalui sel endotel. Jadi aktivasi dari endotel vaskuler adalah

kunci dari mekanisme inflamasi. Perubahan menonjol dalam aktivasi sel endotel

dapat diamati pada dyalisis peritoneal. Misalnya, paparan sel endotel untuk

konsentrasi glukosa yang tinggi menginduksi ekspresi reactive oxygen species

(ROS). (Zinner, et al., 1997; Norton, et al., 2001; Schilte, et al., 2009).

Tiga mekanisme utama pertahanan intraperitoneum adalah (1) pembersihan

mekanis dari bakteri melalui jaringan limfatik, (2) pembunuhan bakteri dengan

cara fagositosis oleh sel imun, dan (3) mechanical sequestration.

(1). Pembersihan Bakteri melalui jaringan Limfatik

Dalam suatu percobaan, pembersihan bakteri terjadi secara cepat, sebelum

masuknya sel-sel fagosit. Materi partikel di dalam rongga peritoneum dibersihkan

melalui stomata yang terletak pada saluran limfe besar pada permukaan

subdiafragma. Pergerakan diafragma bersama dengan respirasi menyebabkan

masuknya cairan ke dalam lakuna selama ekspirasi dan kontraksi respirasi


mengosongkan lakuna ke dalam duktus torasikus dan kemudian ke vena subklavia

kiri. Bakteri (1-2 m) dan sel darah merah (7-8 m) dengan mudah melewati stomata

tersebut (8-12 m) ke dalam duktus torasikus dan kemudian ke aliran darah vena

sentral. (Wittmann, 2010)

Pembersihan bakteri diperlambat oleh adanya bahan adjuvant (seperti fibrin,

bahan nekrotik, mucus, empedu, hemoglobin) yang dapat menyebabkan

proliferasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum dengan cara mengganggu

proses fagositosis dan kemotaksis. (Veen, 2006).

(2) Fagositois bakteri

Tujuan utama dari akumulasi lokal dan interaksi dari mediator humoral

adalah untuk inisiasi dan peningkatan fagositosis bakteri. Walaupun Membrane

Attack Complex (MAC) diproduksi oleh sistem komplemen dan mampu

membunuh langsung bakteri tanpa keterlibatan leukosit, mediator humoral lain

terlibat dalam mengaktivsi makrofag dan nutrofil. Memodulasi aktivitas metabolik

lukosit, kemotaksis, dan opsonisasi bakteri. Perekrutan dan akumulasi leukosit ke

tempat inflamasi dilengkapi dengan perubahan aliran darah lokal begitu juga

dengan peningkatan marginasi dan perlekatan leukosit ke permukaan seperti ke

permukaan sel endotel atau sel mesotel. Bradikinin, anafilatoksin, platelet-

activating factors (PAF), TNF, dan IL-1 muncul untuk membantu terjadinya efek-

efek tersebut. Beberapa substansi juga membantu migrasi neutrofil dan makrofag

ke tempat invasi mikroba. (Zinner, et al., 1997)

(3) Lokalisasi dan Penahanan: Mechanical sequestration


Bagian akhir dari sistem pertahanan peritoneum host adalah untuk

melokalisasi dan membatasi kontaminasi bakteri. Terjadi aktivasi sel imun yang

diikuti dengan hiperemi dan eksudasi cairan dan pengelupasan mesotel

peritoneum. Histamin dan zat permeabilitas lain meningkat untuk memediasi

respon ini. Beberapa peristiwa mendukung pengendapan fibrin, termasuk aktivasi

mesotel dan makrofag yang dimediasi oleh aktivitas prokoagulan yang bekerja

pada fibrinogen dalam cairan peritoneum, ditambah dengan hilangnya aktivator

plasminogen dari sel mesotel. Efek gabungannya adalah pengendapan eksudat

fibrin yang berfungsi untuk wall-off dan merangkap bakteri (Abses). (Zinner, et

al., 1997)

2.6 Bakteriologi Pada Peritonitis

Peritonitis primer merupakan infeksi monomikrobial, yaitu infeksi yang

disebabkan satu organisme. Kebalikannya dengan peritonitis sekunder yang selalu

polimikrobial. (Mazuski & Solomkin, 2009; Debas, 2004; Hau, 2003)

Contohnya, pasien perempuan muda yang sehat sering terinfeksi oleh

organisme streptococcus, pasien sirosis oleh organisme gram negative atau

enterococcus, dan pasien dialysis peritoneal oleh Staphylococcus aureus.

(Mazuski & Solomkin, 2009)

Beberapa dekade lalu, organisme yang dilaporkan sebagai penyebab

peritonitis primer pada anak-anak adalah Streptococcus pneumonia dan grup A

Streptococci. Saat ini, jumlah anak dengan nefrotik dengan peritonitis

streptokokus telah jarang ditemukan, dan frekuensi peritonitis yang disebabkan


oleh gram negatif enteric bacilli dan staphylococci meningkat. (Johnson, et al.,

1997). E.coli merupakan bakteri pathogen yang paling sering ditemukan, diikuti

oleh Streptococcus, Klebsiella Pneumonia, dan spesies Streptococcus lainnya,

2,14,31
termasuk enterococci, dan bakteri Haemophillus. (King, 2007; William, et

al., 2008; Johnson, et al., 1997)

Staphylococcus Aureus jarang menyebabkan peritonitis primer, hanya

terhitung 2-4% kasus terutama pada pasien dengan erosi pada hernia umbilicus.

Organisme anaerob dan microaerophillic juga jarang sebagai penyebab. Kadang-

kadang peritonitis primer dapat disebabkan oleh Neiseria Gonorrhoeae,

Chlamydia Trachomatis, Mycobacterium Tubercolosis, atau Coccidioides Immitis.

(Johnson, et al., 1997)

Bakteriologi pada peritonitis sekunder lebih kompleks. Bakteri penyebab

berasal dati saluran cerna dan selalu bersifat infeksi polimikrobial. Peritonitis

yang disebabkan oleh perforasi saluran cerna bagian atas biasanya menunjukkan

beberapa mikroorganisme, biasanya organisme aerob gram positif, sedangkan

perforasi colon yang menyebabkan peritonis ditemukan gabungan flora

aerob/anaerob. Sifat alami penyakit yang mendasari juga mempengaruhi flora

awal bakteri peritonitis. Pada inflamasi supuratif sebagian besar adalah flora

aerob, sedangkan pada inflamasi gangrene didapatkan gabungan flora

aerob/anaerob, setelah beberapa waktu berlalu, bagaimanapun, bakteriologi pada

infeksi intra-peritoneum menjadi seragam. Hal ini menyebabkan selalu

ditemukannya ileus, terjadinya pembentukan bakteri yang berlebih, dan

translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam rongga peritoneum. Spesies bakteri
yang berbeda bekerja secara sinergis pada peritonitis. Oleh karena itu disebutkan

bahwa, peritonitis ini tidak disebabkan oleh satu organism saja. (Johnson, et al.,

1997)

Bakteri yang ditemukan di peritonitis sekunder adalah fakultatif, bukan

patogen obligat. Bakteri ini mengandung beberapa struktur elemen kostitutif yang

dikenal dengan nama pathogen associated molecular patterns (PAMPs), seperti

lipopolisakarida, peptidoglikan, lipoteichoic acid, dan double-stranded RNA, yang

semuanya ini berperan dalam merusak pertahanan host. (Hau, 2003). PAMPs

dikenali oleh sel imun innate setempat yang kemudian mengekpresikan Toll-Like

Receptors (TLR). Sinyal TLR melalui Nuclear Factor (NF)-kB signaling cascade,

menyebabkan ekpresi dari Nitric oxide (NO), yang kemudian dapat menginduksi

terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke tempat terjadinya infeksi.

Sinyal TLR juga menyebabkan produksi dari sitokin inflamasi (TNF, IL-1β, IL-6)

and kemokin [monocyte chemotactic protein (MCP)-1, macrophage inflammatory

protein (MIP)-1α], yang merekrut monosit dan neutrofil pada tempat infeksi.

(Seely, et al., 2012)

Gangguan sistem imun yang signifikan pada pasien dengan peritonitis teriser

menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik yang rendah untuk proliferasi

dan menyebabkan penyakit ini, seperti Enterococcus, Candida, Staphylococcus

epidermidis, dan Enterobacter. (Lopez, et al., 2011). Organisme ini dapat

memperoleh akses ke rongga peritoneum melalui kontaminasi selama intervensi

operasi, seleksi awal inokulum polimikrobial peritoneum dengan terapi antibiotik,

atau dengan translokasi flora usus. Translokasi dapat disebabkan oleh iskemia
usus, endotoksemia, malnutrisi, atau proliferasi flora usus yang resisten terhadap

antibiotik. (Johnson, et al., 1997). Selain itu, sepsis dapat menyebabkan

imunosupresi dan keadaan di mana bakteri patogen rendah dapat timbul.

Meskipun tingkat virulensi dari organisme ini rendah, mortalitas pada peritonitis

tersier tinggi, sekitar lebih dari 50%. (Marshall, 2004; Lamme, 2005)

Tabel 2.1: Organisme yang ditemukan dalam peritonitis. (Lopez, et al., 2011)

2.7 Patofisiologi

Peritonitis primer yang paling sering adalah spontaneous bacterial peritonitis

(SBP) yang disebabkan oleh penyakit sirosis hepatic. (Daley, 2013). Mekanisme

patofisiologi yang terpenting dari SBP adalah translokasi bakteri. Translokasi

bakteri merupakan proses dimana bakteri yang hidup dan mati serta produk

bakteri (DNA bakteri atau endotoksin) menyeberangi lumen usus dan masuk ke

dalam kelenjar limfe mesenterika atau ekstraintestinal. Translokasi bakteri adalah

gangguan dari keseimbangan antara flora normal usus dan organisme,


menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang akhirnya menghasilkan infeksi.

Translokasi bakteri juga terlibat dalam meningkatkan keadaan hiperdinamik

sirosis dan gangguan hemostasis. (Caruntu & Benea, 2006)

Pada sirosis hepatik, terdapat 3 melakanisme dalam berkembangnya SBP,

yaitu : pertumbuhan bakteri yang berlebih, perubahan structural dan fungsional

dari barier mukosa usus, dan defisiensi respon imun lokal. Pada sirosis, oleh

karena terjadi defisiensi imun lokal dan sistemik, maka proses taranslokasi bakteri

diikuti oleh bakteremia dan inokulasi cairan asites. Jika komplemen cairan

asitesnya rendah, maka aktivitas bakterisidalnya juga rendah dan menjadi risiko

tinggi SBP. (Caruntu & Benea, 2006)

Perforasi dan inokulasi bakteri yang terjadi menyebabkan respon inflamasi

yang bertindak secara lokal membatasi infeksi, tetapi dalam kontaminasi yang luar

biasa, dapat menyebar dan menyebabkan inflamasi sistemik. Beberapa mekanisme

bertindak lokal untuk membatasi atau menghancurkan infeksi. Cedera jaringan

menstimulasi degranulasi sel mast. Dreganulasi sel mast melepaskan sel histamin,

kinin, leukotrien, prostacyclins, dan radikal bebas. Faktor-faktor ini akan

meningkatkan permeabilitas vaskular dan permeabilitas peritoneum

memungkinkan untuk masuknya factor komplemen lokal dan faktor koagulasi

kaskade. (Lopez, et al., 2011)

Masuknya komplemen pada tempat yang terkontaminasi memungkinkan

untuk terjadinya opsonisasi bakteri melalui C3b. Gerak diafragma kemudian

menyebabkan aborbsi cairan peritoneum yang mengandung bakteri ke dalam

sistem limfatik. Organisme yang teropsonisasi di limfatik dibawa ke sistem


retikuloendotelium, di mana organisme ini dihancurkan. Selain destruksi bakteri

melalui opsonisasi, komplemen juga menarik neutrofil ke tempat injury melalui

faktor chemotactic C3a dan C5a. (Lopez, et al., 2011)

Proses seluler ini juga dapat menyebabkan efek sistemik, sebagaimana produk

dari degranulasi sel mast pada tempat injury berpindah ke sistem sirkulasi. Di

dalam sirkulasi, di samping terjadi peningkatan permeabilitas vaskular, sel mast

juga menyebabkan relaksasi otot polos dan dapat menyebabkan kolaps pembuluh

darah perifer. Radikal bebas yang dilepas dengan degranulasi menyebabkan

peroksidasi lipid membran sel yang selanjutnya meneyebabkan pelepasan produk

granulasi toksik. (Lopez, et al., 2011)

Granulosit dan makrofag, tertarik ke tempat injury oleh faktor-faktor

komplemen chemotactic C3a dan C5a , melepaskan ro-inflamasi sitokin fase akut

seperti IL-1, IL-6, TNF-α, IFN-γ. Sitokin ini dilepaskan ke dalam sirkulasi perifer,

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan cairan dan protein

ditransportasikan masuk ke dalam jaringan, dan akhirnya menyebabkan demam,

perlepasan kortisol, sintesis protein fase akut, leukositosis, dan diferensiasi dan

aktivasi limfosit. Keadaan fisiologis yang dihasilkan secara klinis ini dikenal

sebagai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). (Lopez, et al., 2011).

Sitokin anti-inflamsi, seperti IL-10 secara simultan diproduksi untuk

mengimbangi respon inflamasi. Kemokin (IL-8, monocyte chemo-attractant

protein (MCP-1) merupakan chemoattractants yang diproduksi untuk migrasi

neutrofil dan monosit dari peredaran darah menuju ke tempat infeksi. Makrofag

dan neutrofil membentuk garis pertahanan pertama dari sistem imun innate.
Neutrofil dan makrofag mengeleminasi pathogen dengan cara fagositosis. (Veen,

2006)

2.7.1 Deposisi Fibrin

Dalam keadaan normal, sel mesotel yang intak memelihara aktivitas

fibrinolitik dalam rongga peritoneum dengan cara mensekresi activator

plasminogen jaringan (t-PA). Ketika terjadi cedera sel mesotel dan inflamasi aktif,

aktivitas fibrinolitik ditekan oleh karena hilangnya activator plasminogen.

(Zinner, et al., 1997). Dalam penilitian peritonitis dengan E. coli, di mana

fibrinolisis telah rusak oleh defisiensi tissuetype plasminogen activator (tPA),

terjadi peningkatan jumlah bakteri di abdomen, hepar, dan paru-paru. (Olivier, et

al., 2007). Dengan fibrinogen konsentrasi tinggi, deposisi fibrin terjadi melalui

aktivasi jalur intrinsik. Koagulasi intraperitoneum ditingkatkan oleh pelepasan

tromboplastin (factor III) dari sel mesotel yang cedera, dan aktivitas permukaan

pro-koagulan dari stimulasi makrofarg peritoneum. (Zinner, et al., 1997)

Deposisi fibrin tampak bereperan dalam respon inflamasi lokal. Aksi dari

sistem koagulator memiliki dua efek, baik efek menguntungkan dan merugikan

dalam peritonitis. Pada suatu tingkat, bakteri dapat terperangkap dalam matriks

fibrin. Pada tingkat yang lebih besar, adesi fibrin menyebabkan perlekatan usus

dan omentum satu dengan yang lainnya, begitu juga dengan permukaan

peritoneum, sehingga membentuk barier fisik dalam melawan penyebaran

kontaminasi bakteri. Bagaimanapun juga, pembungkusan bakteri oleh fibrin ini

juga mengahambat fagositosis dengan cara memisahkan mikroba dari neutrofil.

(Zinner, et al., 1997)


Bakteri yang berada dalam klot fibrin dan yang berada di sekitar sel fagositik

melepaskan exoenzim dan kandungan oksigen aktif yang tinggi, sehingga

menyebabkan kerusakan jaringan. Ketika fibrin bertahan dan pasien gagal

memusnahkan bakteri, maka ini merupakan dasar berkembangnya abses, dengan

lingkungan internal yang dikarakteristikkan sebagai pH yang rendah, oksidasi /

potensial reduksi yang rendah, berkurangnya bakteri yang dimusnahkan oleh

neutrofil, konsentrasi bakteri dan exoenzimnya yang tinggi. (Olivier, et al., 2007;

(Hau, 2003). Di sisi lain, fibrin mungkin juga memiliki fungsi dalam perbaikan

jaringan dan menutup atau membatasi kerusakan intra-abdominal.(Daley, 2013;

Olivier, et al., 2007; Hau, 2003)

2.7.2 Pembentukan abses

Perkembangan abses intraperitoneal merupakan puncak dari proses

sekuestrasi yang dtelah disebutkan di atas. Terbentuknya abses, yang berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi, sebagian besar disebabkan

karena kegagalan pertahanan imun host. (Olivier, et al., 2007). Jumlah deposisi

fibrin yang melebihi degradasi fibrin diproduksi oleh enzim bakteri, fibrinolisis,

dan fagositosis. Dalam massa yang melekat dari visera, fibrin, dan bakteri,

pencairan berkembang dari pelepasan enzim proteolitik dari leukosit yang telah

mati dan aksi dari exoenzim bakteri. Osmolaritas dari cairan abses yang

berkembang tinggi, menyebabkan influx air dan peningkatan tekanan hidrostatik

dalam rongga peritoneum. Kapsul abses, mengandung fibrin dan perlekatan visera

yang berdekatan, memperlambat difusi oksigen dan nutrisi ke dalam abses dan

kemudian membantu glikolisis anaerob. Lingkungan hipokisa, hiperkarbia, dan


asam yang terbentuk menganggu fungsi neutrofil dan fagosit. Konsentrasi tinggi

dari produk bakteri, seperti komponen dinding sel, dan enzim menggangu fungsi

fagosit, mengganggu suplai lokal komplemen, dan meningkatkan kerusakan

jaringan lokal. Terdapatnya debris nekrotik, juga mengganggu komplemen dan

berkontribusi dalam deaktivasi neutrofil. Hipoksia dan asidosis mengganggu

migrasi neutrofil. Hiperosmolaritas menghambat pelepasan neutrofil dai granula

lisosom dan hiperkarbia menyebabkan disfungsi leukosit dengan menurunkan pH

sitoplasma. (Zinner, et al., 1997)

Gambar 2.1 Lingkungan abses. (Wittmann, 2010)

Gambar di atas memberikan skema sederhana tentang peristiwa-peristiwa di

lingkungan abses. Sementara kerusakan jaringan dari bakteri dan toksinnya

meningkatkan permeabilitas, protein dan fibrin menghasilkan membran abses

piogenik. Peristiwa dalam abses menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan dan

lingkungan asam anaerobik, kondisi pertumbuhan yang ideal bagi bakteri anaerob.

(Wittmann, 2010)
2.7.3 Respon Tubuh Terhadap Infeksi

Saat terjadi peritonitis, tubuh breaksi terhadap infeksi peritoneum dengan

mengaktivasi sistem pertahanan untuk memberantas mikroorganisme dan untuk

mengembalikan hemostatis metabolik. Respon inflamasi ini berfungsi untuk

membersihkan rongga peritoneum. Penyebab infeksi harus dihilangkan, serta

infeksi harus dibatasi untuk mencegah sepsis sistemik dan kerusakan jaringan

harus diminimalisir dan kemudian diperbaiki. Ketika pertahanan tubuh gagal,

keseimbangan inflamasi dan koagulasi akan terganggu.(Debas, 2004; Lamme,

2005)

2.7.3.1 Respon Lokal

Respon lokal awal peritoneum terhadap kontaminasi atau injury adalah

dilatasi vaskular, hiperemi dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang diikuti

oleh transudasi cairan dari ruang vaskular dan ruang interstitial ke dalam rongga

peritoneum. Cairan yang mengandung opsonins, leukosit polimorfonuklear dan

makrofag terakumulasi dalam jaringan yang terlibat dan ruang peritoneum.

(Mieny & Mennen, 2013). Terjadi juga peningkatan aktivitas regulasi sel

mesotelium dan pelepasan faktor chemoattractant dari sel makrofag peritoneum

setempat yang mengakibatkan perekrutan neutrofil dan monosit, terjadi stimulasi

dari produksi sitokin dan kemokin. (Marshall, 2004). Fagositosis bakteri dan

material asing adalah mekanisme utama pertahanan lokal peritoneum dan eksudat

peritoneum mengandung antibodi dan komplemen yang meningkatkan agregasi

dan pemusnahan mikrorganisme, selain meningkatkan kemotaksis dan diapedesis

sel darah putih.(Mieny & Mennen, 2013)


(a) Perubahan aliran darah dan permeabilitas vascular

Peningkatan aliran darah lokal dan influx cairan ke dalam focus inflamasi

merupakan 2 perubahan fisiologis yang terjadi paling awal. Mediator dalam

perubahan ini adalah histamin yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil.

Bradikinin, merupakan produk dalam kontak system aktivasi, menngunakan efek

yang mirip dalam proses inflamasi yang terjadi belakangan. Pelepasan histamine

dicetuskan oleh cedera pada sel mesotelium, walaupun nantinya kompleks

antigen-antibodi, complement derived C3a-C5a, dan platelet-activating factors

juga akan menstimulasi pelepasan histamine. Baik histamine dan bradikinin

menyebabkan terjadinya nyeri, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas dari

pembuluh darah kecil peritoneum. Produksi dari bahan vasoaktif lain, seperti

prostaglandin E2α (PGE2α) dan Leucotrine C4 (LTC4) dipengaruhi oleh

bradikinin dan menyebabkan perubahan vascular. Setelah terjadi perubahan pada

mikrovaskular, cairan yang awalnya terakumulasi adalah transudat dengan

kandungan protein yang rendah. Dengan meningkatnya permeabilitas vascular,

transudasi ini segera akan diikuti oleh banyak cairan yang kaya akan

immunoglobulin, factor komplemen, factor koagulasi, autocoids, dan sitokin.

Meskipun proses ini dapat mengantarkan mediator inflamasi humoral ke focus

infeksi, beberapa efek yang berlawanan juga terjadi. (Zinner, et al., 1997)

(b) Pergeseran Cairan

Pergeseran masif cairan ke ruang ketiga dan hilangnya protein plasma ke

dalam pertitoneum dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik. Sebagai


tambahan, akumulasi cairan yang berlanjut pada akhirnya akan mengganggu

fagositosis bakteri dengan cara melemahkan opsonin dan mobilitas serta migrasi

neutrofil.(Zinner, et al., 1997; Olivier, et al., 2007)

(c) Ileus

Proses inflamasi akut dalam abdomen juga menyebabkan aktivasi simpatik,

dan penekanan terhadap peristaltik usus, atau terjadi ileus. Peristaltik usus yang

berkurang akan mendorong terjadinya pertumbuhan berlebih dari mikroba,

menyebabkan translokasi bakteri dan produk-produknya dari lumen usus ke dalan

kelenjar regional, rongga peritoneum, dan sirkulasi portal. Mediator yang

diturunkan disebarluaskan dari rongga peritoneum melalui pembuluh limfe

mesenterika, atau melalui pembebasan mediator tersebut dari sel Kupffer hepar.

Pengalihan aliran darah usus jauh dari sirkulasi splanknikus dalam respon

terhadap kombinasi dari hipovolemia relatif, penyerapan cairan ke ruang ketiga,

dan vasodilatasi perifer dalam respon terhadap stimulus inflamasi, akan

membahayakan fungsi barier usus dan mendorong terjadinya translokasi bakteri

dan penyerapan endotoksin dari lumen usus.(King, 2007; Marshall, 2004)

2.7.3.2 Respon Sistemik

Peritonitis tidak hanya menyebabkan perubahan dalam rongga peritoneum,

tetapi juga seluruh tubuh


1. Gastrointestinal

Peritonitis dimulai dengan hipermotilitas dan diikuti oleh kelumpuhan usus.

Akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen usus yang adinamik berlanjut

sampai distensi cukup untuk menghambat aliran kapiler dan berhentinya sekresi.

(Mandel, et al., 2009)

2. Cardiovaskular

Terjadinya hipovolemia merupakan fenomena utama terhadap respon

sistemik dan kemungkinan disebabkan karena influx cairan ke dalam rongga

peritoneum. Karena luasnya area permukaan peritoneum, pergeseran cairan ke

dalam rongga peritoneum, dikombinasikan dengan pergeseran cairan ke dalam

lumen usus, dapat menyebabkan terjadinya penurunan yang bermakna pada

volume sirkulasi darah dan elevasi hematokrit. Kehilangan cairan dan elektrolit

akan terjadi lebih lanjut oleh adanya demam, muntah, dan diare. Dengan

berlanjutnya proses, penurunan aliran balik vena ke sisi kanan jantung

menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga terjadi hipotensi. (Mandel, et

al., 2009). Hipotensi sistemik disebabkan oleh karena sekresi TNF, IL-1, PAF,

dan nitric oxide, yang semuanya memiliki efek vasodilator dan dapat menurunkan

resistensi sistemik vascular. (Zinner, et al., 1997). Biasanya ada bukti aktivitas

adrenergik yang meningkat, seperti berkeringat, takikardia, dan vasokonstriksi

kulit (misalnya, dingin, kulit lembab dan berbintik-bintik, sianosis pada

ekstremitas). (Mandel, et al., 2009)


Dengan mengganti kehilangan volume darah yang adekuat, curah jantung

dapat dipertahankan di atas normal. Curah jantung dari dua atau tiga kali nilai

normal mungkin diperlukan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolisme

tubuh dengan adanya infeksi. Kegagalan untuk mempertahankan peningkatan

hasil curah jantung menyebabkan terjadinya asidosis laktat yang progresif,

oliguria, hipotensi, dan akhirnya berujung kematian jika infeksi tidak dapat

dikontrol. (Mandel, et al., 2009; Schwart, et al., 2000; Mieny & Mennen, 2013)

3. Respirasi

Inflamasi intraperitoneum dan terjadinya distensi abdomen oleh karena

terakumulasinya cairan dalam rongga peritoneum dan usus menyebabkan

terjadinya penimgkatan tekanan intraabdomen, restriksi mekanik dari mobilitas

diafragma, nyeri saat respirasi dan menurunkan volume ventilasi, yang pada

akhirnya akan menyebabkan terjadinya ateletaksis. (Zinner, et al., 1997; Mandel,

et al., 2009; Schwart, et al., 2000) Kompensasi yang adekuat hanya mungkin

terjadi jika peningkatan kebutuhan energi tidak melebihi cadangan pernapasan.

Perokok berat, bronkitis kronis, emfisema, dan obesitas memperberat masalah.

Peningkatan permeabilitas vascular dapat terjadi akibat sejumlah mediator

inflamasi. Akumulasi cairan dalam interistial paru dan alveoli menurunkan

pengembangan paru dan meningkatkan usaha untuk bernafas. Manifetasi awal

dari perubahan ini meliputi, hiperventilasi dan terbentuknya alkalosis respiratorik.

(Zinner, et al., 1997) Pada beberapa pasien akan mengalami edema paru, bukan

karena kegagalan ventrikel kiri, tapi mungkin karena meningkatnya kebocoran


kapiler paru sebagai akibat dari hipoalbuminemia atau efek langsung dari toksin

bakteri. (Mandel, et al., 2009). Dengan semakin memburuknya edema paru dan

kolapsnya alveoli, maka akan terjadi hipoksemia berat, yang akan menyebabkan

terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). (Zinner, et al., 1997)

4. Renal

Hipovolemi, penurunan curah jantung akan menyebabkan penurunan Renal

blood Flow dan GFR sehingga terjadi peningkatan sekresi ADH (anti diuretic

hormone) dan Aldosteron, yang kemudian menyebabkan berkurangnya aliran

urine. Reabsorbsi garam dan air meningkat dan sekresi kalium akan meningkat.

Jadi ginjal mengkompensasi hipovolemi dengan cara retensi cairan dan elektroliy,

namun produk buangan juga ikut menumpuk. Perfusi ginjal yang rendah dapat

diikuti oleh nekrosis tubular akut dan azotemia yang progresif. (Zinner, et al.,

1997; Mandel, et al., 2009; Schwart, et al., 2000)

5. Endokrin

Peritonitis menyebabkan terjadinya stres mayor sistemik yang menghasilkan

respon yang kuat dari pusat hipofisis-adrenal. Sekresi katekolamin medula adrenal

sebagian besar bertanggung jawab atas terjadinya vasokonstriksi, takikardia dan

berkeringat yang menyertai respon awal peritonitis. Sekresi aldosteron meningkat

sebagai respon terhadap hipovolemia dan selanjutnya memperburuk hilangnya

kalium dan terjadi retensi natrium. Pelepasan hormon antidiuretik menyebabkan

terjadinya konservasi air di ginjal yang dapat melebihi retensi natrium dengan

akibat pengenceran hipotonisitas natrium plasma. (Mieny & Mennen, 2013)


6. Metabolisme

Metabolisme jaringan akan berubah selama respon terhadap peritonitis.

Kecepatan metabolisme akan meningkat disebabkan karena peningkatan sekresi

katekolamin dan kortisol. Bagaimanapun juga hipovolemia akan menurunkan

curah jantung. Hipoksia jaringan sebagai akibat berkurangnya suplai oksigen,

menyebabkan menurunnya perfusi. Peningkatan glikolisis anaerob akan

menghasilkan penumpukan asam laktat. Clearance ginjal dan paru terhadap

peningkatan asam laktat ini meneyebabkan terjadinya asidosis metabolic.

Cadangan glikogen hepar digunakan, kemudian katabolisme protein pada otot

skeletal ditingkatkan untuk melepaskan rantai cabang asam amino untuk

digunakan miosit sebagai sumber energy. Asam amino lainnya dilepaskan ke

dalam sirkulasi untuk dimanfaatkan dalam glukoneogenesis hepar. Meskipun

keecaptan lipolisis tubuh juga meningkat, pemanfaatan asam lemak bebas sebagai

sumber energi tidak efisisen pada awal periode syok septic. Kehilangan massa

tubuh yang berat dapat terjadi karena katabolisme protein terjadi secara cepat dan

hanya sebagian diperbaiki dengan dukungan nutrisi. (Zinner, et al., 1997). Infeksi

intra-abdomen berkepanjangan dikaitkan dengan kelemahan yang ekstrim.

Produksi panas akhirnya akan gagal, dan kemudian suhu tubuh akan menurun.

Kelelahan dan kematian mungkin dapat terjadi. (Mandel, et al., 2009)

Peritonitis dapat menyebabkan kompartemen peritoneum terhadap respon

inflamasi lokal jaringan. Ketika infeksi dan infamasi peritoneum tidak terkandung

dalam kompartemen mediator inflamasi abdomen, drainase limfatik dan

peningkatan permeabilitas dari peritoneum yang terinflamasi akan menyebabkan


bakteri dan endotoksinnya ditransfer ke dalam kompartemen sistemik. Dalam

sirkulasi, faktor sistemik menyebabkan sel-sel (seperti, endotel, PMN, sel

fagositik mononuclear, dan sel T) menjadi aktif sehingga menyebabkan terjadinya

aktivasi sistemik. Organ jauh juga dipengaruhi ketika mediator sirkulasi

menyebabkan imunosit lokal menjadi aktif dengan cara difusi atau menginduksi

produksi dari mediator lokal. Akibatnya yang terjadi adalah meningkatnya

permeabilitas organ, menurunnya oksigenasi, dan terjadi kegagalan organ. Respon

ini diperkuat oleh respon inflamasi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi dan

keterlibatan yang berkelanjutan dari respon general dalam sirkulasi. Sementara

respon general berkembang, keseimbangan berbagai system hilang, menyebabkan

terjadinya respon fenotip pro-inflamasi (peningkatan level sitokin/kemokin sel

PMN dan monoklear) atau respon fenotip anti-inflamasi (imunoparalisis,

menurunnya pembersihan bakteri, superinfeksi), dan ketidakseimbangan

koagulasi/fibrinolysis (stadium pro-koagulasi: thrombosis/perdarahan, DIC).

(Olivier, et al., 2007). Mediator inflamasi dalam sistemik akhirnya bertenggung

jawab terhadap terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS),

septic shock dan multiple organ failure (MOF). Khususnya paru-paru, terjadi

risiko gagal paru pada lebih dari 75% pasien dengan peritonitis. Bagaiamanapun

juga ginjal, hepar, gastrointestinal, dan system hematologi juga terpengrauh.

Gagal paru dan MOF berhubungan dengan ventilasi berkepanjangan, ICU, dan

lamanya perawatan di Rumah Sakit, dan kematian. Kombinasi sepsis dan MOF

berhubungan dengan tingginya mortalistas (> 60%).


Gambar 2.2 Respon terhadap peritonitis.

2.8 Klasifikasi

Infeksi dalam rongga peritoneum menginduksi peradangan peritoneum, dan

dibagi berdasarkan proses inflamasinya menjadi peritonitis primer, sekunder, atau

tersier. Menurut lokasinya dapat dibagi menjadi peritonitis lokal dan difus.

(Marshall, 2004; Ramachandra, et al., 2007)


Tabel 2.2 Klasifikasi Peritonitis. (Mazuski & Solomkin, 2009)

1. Peritonitis Primer (Spontan Peritonitis)

Merupakan infeksi pada peritoneum yang tidak berhubungan dengan

abnormalitas organ intra-abdominal dan terjadi secara spontan dan penyebab

utama kasus peritonitis primer ini adalah oleh karena infeksi bakteri. (Marshall,

2004; Debas, 2004; Malangoni & Inui, 2006). Peritonitis ini sering ditemukan

pada pasien sirosis hepatic oleh karena stadium akhir dari penyakit hepar yang

lebih dikenal sebagai Spontaneuous Bacterial Peritonitis (SBP). Sistem

retikuloendotelium hepar dikenal sebagai bagian utama untuk pemindahan bakteri

dari darah, dan penelitian pada binantang memberi kesan bahwa penghancuran

bakteri oleh sistem retikuloendotelium terganggu pada pasien dengan penyakit

sirosis hepatis dan penyakit hepar oleh karena alkoholik, dimana terjadi
penurunan aktivitas fagositik. (Marshall, 2004; Mazuski & Solomkin, 2009;

Johnson, et al., 1997)

Pasien sirosis dengan asites menunjukkan timgginya kerentanan terhadap

infeksi bakteri, hal ini terutama disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh

yang inadekuat. Ada beberapa faktor predisposisi untuk SBP, yaitu : tingkat

keparahan penyakit hepar, menurunnya protein dan tingkat C3 dalam cairan

asites, perdarahan akut gastrointestinal, infeksi saluran kemih, factor iatrogenic,

dan episode SBP sebelumnya. (Caruntu & Benea, 2006).

Peritonitis primer juga dapat terjadi pada sindrom nefrotik dan systemic lupus

erythematosus (SLE). (Debas, 2004). Anak-anak dengan sindrom nefrotik atau

yang memiliki asites berisiko tinggi terhadap terjadinya peritonitis ini. (Daley,

2013). Peritonitis primer juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan kateter

peritoneum, seperti pada kateter dialysis peritoneum, dimana terdapat akses

masuknya benda asing ke dalam rongga peritoneum. Tipe peritonitis ini kadang

dianggap menyebabkan peritonitis primer, atau mungkin diuraikan tersendiri atau

dipisahkan dari peritonitis primer. (Mazuski & Solomkin, 2009). Rute infeksi

dalam peritonitis primer biasanya tidak jelas, tapi diperkirakan melalui

hematogen, limfogen, dan migrasi transmural melewati dinding usus yang berasal

dari lumen intestinal, atau pada wanita, berasal dari vagina melalui tuba falopi.

(Marshall, 2004; Johnson, et al., 1997)

Pasien ditemukan dengan gejala demam, myeri abdomen, nyeri tekan, dan

sering ditemukan tanda dekompensasi hepatic. Diagnosis ditegakkan dengan


parasintesis, yang menunjukkan infeksi monomikrobial (Escherichia coli,

Klebsiella, atau streptococcus). Cairan yang diperoleh dari parasintesis diperiksa

dengan mikroskop dengan pewarnaan Gram dan dkultur. Cairan tersebut bersifat

asam (pH 7,3 atau kurang) dan mengandung lebih dari 500 sel darah putih/ml,

dimana lebih dari 25% adalah sel polimorfonuklear. Terapinya adalah non-

operatif, menggunakan antibiotik intravena yang tepat. Angka mortalitas dapat

mencapai lebih dari 50% dan kebanyakan kasus disebabkan oleh karena gagal

hepar atau gagal ginjal. (King, 2007; Debas, 2004)

2. Peritonitis Sekunder

Peritonitis sekunder terjadi oleh karena masuknya mikroorganisme ke dalam

ronnga peritoneum melaui defek dinding intestinal atau organ abdomen lain

sebagai akibat terjadinya perforasi, inflamasi, iskemia, atau trauma (tumpul,

tajam, atau iatrogenic) pada organ abdomen dan/ atau dinding organ. Peritonitis

sekunder juga dapat terjadi oleh karena komplikasi pasca operasi (misalnya,

kebocoran pada anastomosis usus). (Veen, 2006)

Peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan.

Beberapa kondisi yang paling sering menyebabkan peritonitis sekunder antara lain

appendicitis, diverticulitis, kolesistitits, trauma tajam yang mengenai usus, dan

perforasi gaster atau ulkus duodenum. (King, 2007; Hau, 2003)

Abses intra-abdominal mungkin berkembang mengikuti peritonitis sekunder.

Pada kenyataannya, abses intra-abdominal adalah hasil akhir dari respon host

untuk peritonitis sekunder. Dengan demikian, setelah kontaminasi rongga


peritoneum akibat perforasi dari organ berongga maka akan memicu mekanisme

pertahanan host, yang berfungsi untuk membatasi pengembangan dan penyebaran

infeksi. Bakteri dan partikel lainnya dengan cepat dihilangkan dari rongga

peritoneum melalui proses pembersihan mekanis, di mana cairan peritoneum

beredar di dalam rongga peritoneum akibat kontraksi diafragma dan diserap ke

dalam sistem limfatik melalui stomata khusus pada permukaan bawah diafragma.

Proses ini mengakibatkan penghapusan sebagian besar inokulum bakteri. Selain

pembersihan mekanis tadi, reaksi inflamasi dengan cepat dihasilkan dalam rongga

peritoneum untuk membantu dalam penghapusan materi infeksius. (Mazuski &

Solomkin, 2009)

Reaksi ini melibatkan pengenalan molekul mikroba patologis oleh reseptor

pola pengenalan pada makrofag di dalam rongga peritoneum, dan memicu sinyal

yang mempromosikan masuknya leukosit PMN dan kemudian sel mononuklear ke

dalam rongga peritoneum dengan cepat. Sel-sel fagositik ini kemudian

menghilangkan organisme patogen dari rongga peritoneum. Akhirnya, proses

sekuestrasi menyebabkan terjadinya pembatasan infeksi. Penyerapan mikroskopis

dihasilkan dari generasi fibrin dan makromolekul lain yang memerangkap

mikroorganisme dan mungkin juga menutup perforasi saluran gastrointestinal.

(Mazuski & Solomkin, 2009)

Molekul perekat juga mendorong perekatan dari omentum, mesenterium, dan

dinding abdomen satu sama lain, yang menyebabkan terjadinya pembatasan

makroskopik dari proses infeksi. Secara keseluruhan, mekanisme ini

menghasilkan pembersihan yang komplit atau pembentukan infeksi yang


terlokalisir, yang dikenal sebagai abses intra-abdominal. Dalam pengertian ini,

maka, abses intra-abdominal merupakan keberhasilan mekanisme pertahanan host.

Sebaliknya, pertahanan lokal yang buruk, maka infeksi akan menyebar, terjadi

peritonitis tersier yang merupakan kegagalan dari pertahanan normal host.

(Mazuski & Solomkin, 2009)

3. Peritonitis Tersier

Merupakan infeksi yang persisten atau berulang dari rongga peritoneum

setelah dilakukannya terapi peritonitis sekunder. Peritonitis tersier timbul

setidaknya dalam 48 jam setelah pengobatan yang tampaknya berhasil pada

peritonitis. (Lamme, 2005). Peritonitis tersier merupakan tahap lanjut dalam

peritonitis, ketika tanda-tanda klinis peritonitis dan sistemik dari sepsis (misalnya,

demam, takikardia, takipnea, hipotensi, indeks jantung meningkat, resistensi

vaskuler sistemik yang rendah, leukopenia atau leukositosis, dan kegagalan

multiorgan) bertahan setelah pengobatan untuk peritonitis sekunder dan tidak

ditemukannya organisme atau adanya organiseme dengan virulensi yang rendah.

(Johnson, et al., 1997)

Peritonitis ini terjadi ketika manajemen source control, terapi antibiotik, atau

imunitas pasien tidak adekuat, sehingga disfungsi organ menetap atau memburuk.

Hal ini dibedakan dari peritonitis primer atau sekunder karena flora mikroba

sangat yang berbeda, hubungannya dengan disfungsi organ, dan kematian yang

signifikan. (King, 2007; Marshall, 2004)


Beberapa pasien menunjukkan gejala abdominal yang signifikan. Untuk itu,

pemeriksaan radiologi, terutama CT Scan berperan penting dalam mendeteksi.

Kebanyakan pasien memerlukan intervensi surgikal, tetapi angka mortalitas untuk

peritonitis ini tinggi, yaitu lebih dari 50%.(King, 2007). Evaluasi radiografi pasien

dengan peritonitis yang rekuren sering menunjukkan adanya beberapa,

pengumpulan cairan intra-peritoneal. Pengobatannya sulit, respon terhadap

antibiotik sistemik rendah, dan prosedur drainase perkutan yang berulang atau

upaya agresif pada operasi abdomen tidak memiliki dampak yang signifikan pada

klinis pasien. Sebuah penelitian melaporkan besarnya kematian terkait dengan

isolasi Candida atau Enterococcus dari pasien dengan peritonitis yang mungkin

mencerminkan gejala sisa dari disfungsi organ lebih lanjut pada pasien yang kritis.

(Marshall, 2004)

Tergantung pada tingkat lokalisasi proses infeksi, peritonitis biasanya

diklasifikasikan menjadi peritonitis lokal (intra-peritoneal abses) atau difus.

Risiko kematian secara langsung berkaitan dengan tingkat disfungsi organ.

(Marshall, 2004)

1. Peritonitis Lokal

Terjadi jika inflamasi masih dalam area yang terbatas. Peritonitis lokal sering

bermanifestasi sebagai abses dengan jaringan debris, bakteri, neutrofil, makrofag,

dan cairan eksudat yang terkandung dalam kapsul fibrosa. Apendisitis dan

divertikulitis adalah penyebab paling umum dari abses intra-peritoneal lokal.

(Marshall, 2004; Lopez, et al., 2011; Thomas, 2012)


2. Peritonitis Difus

Peritonitis ini disebut juga peritonitis generalisata dan terjadi ketika inflamasi

menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Perforasi usus kecil dan perforasi gaster

adalah penyebab paling umum dari peritonitis ini. (Marshall, 2004; Holzheimer &

Mannick, 2001; Thomas, 2012)

2.9 Diagnosis

Pasien dengan peritonitis menunjukkan gejala dan tanda lokal dan sistemik.

Gejala dan tanda lokal dari abdomen meliputi nyeri perut, nyeri tekan, kekakuan,

distensi, udara bebas peritoneum, dan menurunnya bising usus, tanda yang

merupakan reflex dari iritasi peritoneum parietal dan menyebabkan ileus.

Sedangkan gejala dan tanda sistemik, meliputi demam. mengigigil, takikardi,

berkeringat, takipnea, oliguria, disorientasi, dan syok. Syok disebabkan oleh

karena efek kombinasi hipovolemia dan septicemia dengan disfungsi organ.

(Doherty & Thompson, 2010)

Diagnosis peritonitis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan klinis, dan

penunjang, yang sering ditunjukkan dengan adanya gambaran udara bebas di

subfrenik pada foto rongten thorax atau abdomen. (Lopez, et al., 2011)

2.9.1 Anamnesis

Anamnesa dilakukan secara hati-hati. Riwayat penyakit harus menjelaskan

berapa lama pasien sakit, adakah demam, adakah nyeri perut dan di mana

lokasinya, bagaimana gambaran nyeri tersebut (kram, tumpul, seperti terbakar,

dsb), apakah lokasinya berpindah, intensitasnya, dan apakah berhubungan dengan


anoreksia, muntah, atau ileus. Riwayat penyakit yang lalu, riwayat masuk rumah

sakit, pengobatan, penyakit kronik, dan operasi sebelumnya merupakan informasi

yang penting. (Lange & Lederman, 2010; Awori, et al., 1999). Riwayat penyakit

penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan sindroma nefrotik pada anak-

anak yang berpotensi menjadi peritonitis primer. Riwayat operasi sebelumnya

harus menimbulkan kecurigaan terhadap komplikasi oleh karena prosedur itu

sendiri (misalnya kebocoran dari anastomosis usus). Mekanisme injury yang tidak

diketahui pada pasien trauma juga dapat menimbulkan infeksi intra-abdominal.

Adanya tanda hipotensi menunjukkan kemungkinan terjadinya iskemia atau infark

usus. (Marshall, 2004)

Pasien dengan peritonitis umumnya mengeluh nyeri abdomen yang difus.

Nyeri pada peritonitis bersifat konstan dan akan bertambah berat saat menarik

nafas dalam, batuk, maupun bergerak, sehingga pasien lebih memilih dalam posisi

berbaring. Pasien juga mengeluh anoreksia, mual dan muntah. (Mandel, et al.,

2009; Hau, 2003; Awori, et al., 1999). Hampir selalu ditemukan gejala anoreksia.

Gejala mual sering ditemukan dan jarang disertai dengan muntah. Pasien juga

mungkin mengeluh demam, kadang-kadang dengan menggigil, haus, buang air

kecil yang sedikit, ketidakmampuan untuk buang air besar atau flatus, dan perut

yang makin distensi. (Wittmann, 2010; Hau, 2003)

Pada pasien dengan asites, tanda dan gejala peritonitis mungkin tidak begitu

jelas, dengan demam sebagai satu-satunya manifestasi infeksi. Pasien dengan

ascites, gejala yang ditemukan seperti nyeri abdomen, mual, muntah, dan

perubahan status mental mungkin tidak spesifik. Oleh karena itu, pasien asites
dengan demam harus dilakukan parasintesis, kecuali ada penjelasan lain terhadap

demam yang terjadi. Inokulasi dari cairan asites ke dalam botol kultur darah harus

dilakukan di tempat tidur pasien. (Lange & Lederman, 2010)

2.9.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring tenang di tempat tidur,

telentang, dengan lutut tertekuk dan sering dengan pernapasan interkostal yang

terbatas karena gerakan apapun akan memperberat nyeri abdomen Keadaan umum

pasien tampak lemah. (Lange & Lederman, 2010)

Suhu tubuh berkisar antara 38 ͦC - 40 ͦC, bahkan bisa mencapai 42°C. Suhu

subnormal 35°C merupakan klinis pasien dengan sepsis intraabdomen atau syok

septik. (Mandel, et al., 2009). Demam adalah mekanisme endogen dasar untuk

membantu melawan infeksi. Bahkan, peningkatan suhu tubuh yang biasanya

ditemukan selama infeksi bakteri, termasuk peritonitis, tampaknya menjadi penting

untuk mengoptimalkan pertahanan host terhadap bakteri. (Feldman, et al., 2010).

Pemeriksaan denyut nadi menunjukkan takikardia yang lemah. and a diminished

palpable peripheral pulse volume are indicative of hypovolemia. Tekanan darah

dipertahankan dalam batas normal pada awal proses penyakit, kemudian seiring

berlanjutnya proses peritonitis tekanan darah turun ke tingkat shock. Respirasi

semakin cepat dan dangkal untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan dan untuk

mengoreksi asidosis yang timbul. (Wittmann, 2010; Mandel, et al., 2009)


Sklera dan konjungtiva dapat terlihat ikterus atau pucat. Dada diperkusi dan

diauskultasi untuk menyisihkan pneumonia, khususnya pada lobus bawah, yang

dapat mengakibatkan temuan abdominal. Pemeriksaan jantung harus dapat

menyisihkan ada tidaknya gagal jantung kongestif atau penyakit katup jantung,

meskipun terapi cairan yang agresif diperlukan dan gagal jantung kongestif yang

akut dengan pembesaran hepar dan peregangan kapselnya dapat menyebabkan

nyeri perut. Pada pemeriksaan abdomen biasanya ditemukan tanda-tanda

inflamasi peritoneum. (Feldman, et al., 2010; Lange & Lederman, 2010)

Inspeksi dan Auskultasi. Abdomen diinspeksi untuk mencari tanda-tanda distensi

dan jejas. Perut akan tampak distensi, seiring dengan perkembangan ileus atau

asites. (Feldman, et al., 2010; Awori, et al., 1999). Pasien diminta untuk

menunjukkan titik yang paling nyeri pada perutnya dengan satu jari. Auskultasi

dimulai dari kuadran yang berlawanan dari titik tersebut. Auskultasi dilakukan

untuk menentukan apakah bising usus hilang, normal, atau meningkat. Bising usus

yang meningkat menandakan obstruksi sebagai proses primer penyakit atau

sebagai bagian dari proses inflamasi lokal. Sering kali sebuah fokus inflamasi

sebagian ditutup oleh usus kecil. Ileus lokal muncul sebagai hasil dari obstruksi

fungsional. Pada peritonitis bising usus akan menurun dan hampir tidak terdengar.

(Feldman, et al., 2010; Lange & Lederman, 2010)

Palpasi dan Perkusi. Palpasi pada abdomen dilakukan pada tahap terakhir dari

pemerikaan, adalah untuk mengetahui apakah nyeri yang dihasilkan oleh proses

intraabdomen menyebabkan inflamasi peritoneum parietal. (Feldman, et al.,

2010). Pemeriksaan abdomen pada pasien dengan asites menunjukkan adanya


tanda shifting dullness. Palpasi dimulai dari kuadran paling jauh dari titik yang

paling nyeri. Kegunaan dari palpasi abdomen adalah untuk mengkonfirmasi lokasi

yang paling nyeri dan tekanan dari berbagai bagian dari dinding abdomen

anterior. Untuk melakukan hal ini, pemeriksa mulai dari bagian perut yang tidak

menunjukkan gejala dan menekan sampai daerah yang paling nyeri. Pada pasien

dengan peritonitis akut akan ditemukan kekakuan pada otot dinding abdomen

dengan tanpa perbedaan yang berarti dari satu kuadran dengan kuadran yang lain.

Pasien dengan nyeri lokal dan peningkatan tonus dinding abdomen yang

terlokalisasi, pertahanan volunter dan involunter harus dibedakan. (Mieny &

Mennen, 2013; Wittmann, 2010)

Kekakuan dari otot-otot abdomen dihasilkan oleh pertahanan volunter dan

juga refleks spasme otot. Refleks spasme otot dapat menjadi sangat kuat sehingga

perut dapat kaku seperti papan, seperti yang biasa tampak pada peritonitis yang

disebabkan oleh perforasi dari ulkus peptikum. (Mandel, et al., 2009). Pertahanan

volunter pada penemuan nyeri tekan sedang dapat salah diinterpretasikan sebagai

kekakuan jika pasien tampak begitu gelisah dan palpasi terlalu kuat. Biasanya

tidak perlu terburu-buru untuk memeriksa rebound tenderness pada saat palpasi,

jika sudah dapat ditemukan pada saat dilakukan auskultasi dan perkusi. Palpasi

yang terlalu kuat dapat menyebabkan pasien kesakitan sehingga mereka kemudian

tidak mau bekerja sama untuk pemeriksaan selanjutnya. (Lange & Lederman,

2010)

Hiperesonan disebabkan oleh gas yang terakumulasi pada usus yang distensi,

biasanya terdengar pada perkusi. (Wittmann, 2010). Tidak adanya pekak hati pada
perkusi menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga peritoneum.

Pneumoperitoneum akibat ruptur organ berongga dapat menyebabkan

menurunnya pekak hati pada perkusi. (Mandel, et al., 2009)

Pemeriksaan Rektum dan Vagina. Pemeriksaan rektum dan vagina penting untuk

melokalisasi nyeri yang luas dan mengetahui apakah terdapat massa di pelvis atau

abses di cavum Douglass. Pemeriksaan vagina atau serviks dapat menjadi kunci

untuk mengetahui sumber dari proses inflamasi. (Wittmann, 2010). Pemeriksaan

rectum secara hati-hati dapat mendeteksi adanya peritonitis pelvis. Ditemukannya

iliopsoas dan oburator sign dapat membantu untuk mendeteksi inflamasi pada

retroperitoneal atau pelvis dan abses. (Feldman, et al., 2010)

2.9.3 Pemeriksaan Penunjang

2.9.3.1 Laboratorium

Leukositosis adalah hal yang biasa terjadi pada infeksi intraabdomen, tetapi

total leukosit saja tanpa hitung jenis dapat menyesatkan. Jumlah leukosit di atas

3 3
25.000/mm atau leukopenia dengan leukosit kurang dari 4.000/mm

dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi. Hitung jenis menunjukkan

inflamasi akut dengan menunjukkan limfopenia relatif dan sedikit pergeseran ke

kiri, meskipun jumlah leukosit normat atau subnormal. (Wittmann, 2010)

Tes laboratorium lain yang diperlukan diantaranya haematocrit, hitung sel

darah, elektrolit, albumin, urea dan kreatinin, amilase dan fungsi hati.

Albuminuria berat ditemukan pada pasien dengan sindroma nefrotik. Fungsi

respirasi dinilai dengan penentuan gas darah arteri yang berulang, sedangkan pada
pasien sakit kritis, arteri radial menyediakan akses sampel arteri untuk analisa gas

darah dan catatan konstan untuk MAP (mean arterial pressure). (Mieny &

Mennen, 2013)

2.9.3.2 X-ray

Foto polos abdomen dapat menunjukkan gambaran udara bebas, yang

merupakan indikator terjadinya perforasi visceral yang belum ditangani. Udara

bebas dapat dilihat pada foto abdomen posisi setengah duduk atau dekubitus

lateral bila terdapat ruptur organ berongga yang menyebabkan peritonitis. Udara

di bawah diafragma dapat ditemukan pada foto dada bila pasien berdiri tegak

selama 5 menit atau lebih sebelum dilakukan pengambilan gambar. Penemuan lain

pada gambaran radiografi yang mendukung diagnosis infeksi intraabdomen

termasuk pneumatosis intestinal, obstruksi usus, dan gambaran massa.

Pneumatosis jarang terjadi. Penemuan yang lebih dramatis tetapi tidak umum

adalah gambaran udara pada vena porta atau ektraluminal, indikasi dari adanya

abses, tanda radiografi ini cukup spesifik untuk menentukan perlunya intervensi

yang segera. (Wittmann, 2010)


Gambar 2.3 Pneumoperitoneum. Tampak gambaran udara di bawah

hemidiafragma kanan. (Padua, 2004)

Cukup sering, jauh sebelum peritonitis ditegakkan, pada pasien ditemukan

tanda radiologi dari pneumonia dan atelektasis basal oleh karena terjadi

peningkatan tekanan intra-abdominal. Gambaran radiologis dari infeksi

intraabdomen yang lain adalah gambaran ileus paralitik. Eksudat inflamasi dan

edema dari dinding usus menyebabkan gambaran usus dengan jarak yang melebar.

Bayangan garis lemak peritoneal dan psoas retroperitoneal di film terhambat oleh

edema. Bayangan garis lemak di pelvis dapat terhambat menunjukkan terdapatnya

cairan di rongga pelvis. (Wittmann, 2010)

2.9.3.3 USG dan CT Scan

Pemeriksaan dengan USG dan CT Scan dapat dilakukan untuk mencari

penyebab peritonitis. (William, et al., 2008). Pemeriksaan abdomen dengan USG


dapat membantu untuk mengevaluasi patologi dari kuadran kanan atas (contohnya

kolesistitis, pancreatitis), kuadran kanan bawah, dan pelvis (appendicitis, abses

tuba-ovarium, abses cavum douglas). Namun pemeriksaan dengan USG ini

kadang terbatas oleh karena ketidaknyamanan pasien, distensi abdomen, dan

interferensi gas usus. Pemeriksaan CT Scan abdomen dan pelvis tetap menjadi

pilihan pemeriksaan diagnostic untuk infeksi intra-abdominal dan dapat dilakukan

jika pasien stabil. CT Scan dapat mendeteksi cairan dengan jumlah yang sedikit,

area terjadinya inflamasi, dan patologi gastrointestinal lainnya dengan sensitivitas

yang sangat tinggi. (Sartelli, 2010). Adanya iskemia usus dapat ditunjukkan

dengan tidak adanya aliran, adanya bekuan darah dalam pembuluh darah besar

dalam rongga peritoneum, gas dalam dinding usus (Pneumatosis) atau dalam vena

porta yang menunjukkan kemungkinan terjadinya iskemia usus. Pemeriksaan MRI

digunakan sebagai alternatif modilatas diagnostic, tapi bukan pemeriksaan yang

superior dibandingkan CT Scan. (Marshall, 2004)

2.9.3.4 Paracintesis

Pemeriksan untuk menegakkan diagnosis peritonitis primer. Paracintesis

merupakan punksi surgical untuk aspirasi rongga peritoneum. Setelah injeksi obat

anastesi lokal, sebuah jarum atau trocar dan kanul dimasukkan melalui dinding

anterolateral abdomen ke dalam rongga peritoneum. (Daley, et al., 2010). Cairan

yang diperoleh dari parasintesis diperiksa dengan mikroskop dengan pewarnaan

Gram dan dkultur. Cairan tersebut bersifat asam (pH 7,3 atau kurang) dan

mengandung lebih dari 500 sel darah putih/ml, dimana lebih dari 25% adalah sel

polimorfonuklear. (Debas, 2004)


2.10 Terapi

2.10.1 Perioperatif

Perawatan keadaan umum pasien adalah untuk mengatasi hipovolemia dan

syok, serta menjaga oksigenasi jaringan yang adekuat, membunuh bakteri dengan

pemberian antibiotika, menopang system organ, dan pemberian nutrisi yang

adekuat yang dilakukan dengan: (Wittmann, 2010; William, et al., 2008)

a. Pasien dipuasakan

Pasien dipuasakan karena pada peritonitis terjadi gangguan fungsi usus

sampai terjadinya ileus paralitik, sehingga seluruh kebutuhan cairan, elektrolit dan

kalori harus melalui parenteral.

b. Koreksi volume sirkulasi dan ketidakseimbangan elektrolit

Pasien biasanya mengalami hipovolemik dengan gangguan elektrolit. Jumlah

cairan yang dibutuhkan untuk mencapai stabilitas hemodinamik adalah variabel,

dan sering cukup besar, oleh karena kehilangan cairan ke ruang ketiga dan ke

dalam saluran pencernaan akibat ileus. Dilakukan resusitasi dengan pemberian

sejumlah cairan yang adekuat untuk mengembalikan volume intravaskular,

sehingga dapat mengoptimalkan pengiriman oksigen ke jaringan. Tidak ada bukti

kuat dari superioritas satu jenis cairan di atas yang lain. Resusitasi harus dipandu

oleh seringnya penilaian denyut jantung dan tekanan darah. Volume plasma harus

digantikan dan konstrasi elektrolit harus dikoreksi. Menurunnya protein plasma

sebagai akibat inflamasi peritoneum sehingga banyak protein yang bocor juga
perlu dikoreksi. Jika penyembuhan pasien terhambat lebih dari 7 sampai 10 hari,

maka diperlukan pemberian nutrisi melalui intravena.

Begitu ditemukan tanda hipotensi atau untuk mengantisipasinya perlu

dilakukan resusitasi volume dengan EGDT. Pemasangan dan pemantauan CVP

dapat membantu. Pemberian produk darah diperlukan pada kasus anemia berat

atau koagulopati, dengan maksud untuk mencapai mean arterial pressure (MAP) >

65 mmHg dan tekanan vena sentral 12-15 mmHg dalam 6 jam pertama. Jika tidak

dicapai MAP > 65 mmHg dengan resusitasi cairan saja, maka dapat digunakan

vasopresor, dengan pilihan norepinefrin atau dopamine. Pada kasus terjadinya

curah jantung yang rendah atau peningkatan tekanan pengisisan yang

mengindikasikan terjainya disfungsi miokard yang berat, maka dapat digunakan

agen inotropik, seperti dobutamin untuk memeperoleh MAP yang adekuat.

(Lopez, et al., 2011)

Penting untuk tidak mengabaikan hilangnya cairan sebelumnya. Penggantian

cairan yang hilang tersebut dengan kristaloid harus memperhitungkan kebutuhan

untuk pemeliharaan (maintenance) cairan, hilangnya cairan yang terus menerus

melalui pipa lambung (NGT), cairan yang hilang sebelumnya termasuk dehidrasi

dari muntah yang berkepanjangan, dan hilangnya cairan ke ruang ketiga ke dalam

rongga peritoneum dan lumen usus. Penggantian cairan secara cepat meliputi

menggunakan cairan kristaloid yang ditambah dengan cairan koloid dan dimonitor

secara kontinyu dengan perbedaan antara tekanan vena central dan tekanan artery

pulmonal. Apabila didapatkan hematokrit yang rendah pada pasien


sepsis, transfuse darah merupakan penambahan yang tepat terhadap kristaloid,

sebagai pengganti cairan dan koreksi dari anemia. (Mieny & Mennen, 2013)

Sebuah grafik keseimbangan cairan harus dimulai sehingga output harian

dengan aspirasi lambung dan urine dapat diketahui. Kehilangan lain dari paru-

paru, kulit dan dalam tinja juga dinilai, sehingga persyaratan asupan dapat

dihitung. (William, et al., 2008)

Pemasangan kateter perlu dilakukan untuk dapat mengukur output urine, yang

merupakan pengukuran sederhana dan sensitive terhadap pegisian intravskular

dan fungsi organ, dan juga untuk memonitor apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi dan memantau perfusi jaringan. Produksi urine dianggap cukup bila

mencapai 1 cc/KgBB/jam. (Marshall, 2004; Magdan, et al., 2013)

Peningkatan serum haematokrit dan urea dalam darah merupakan indikator

yang berguna dari untuk menilai tingkat dehidrasi dan kehilangan ke ruang ketiga

(third-space loss). Tujuan utama dari manajemen cairan adalah untuk

pemeliharaan tekanan darah normal dan pembentukan urin output yang mendekati

30 mL per jam. Output urin 30-50 30– 50 ml/kg per jamnya minimal harus

menjadi target terapi. (Marshall, 2004; Mieny & Mennen, 2013)

c. Dekompresi Gastrointestinal

Dilakukan pemasangan pipa lambung (nasogastric tube) yang bertujuan

untuk dekompresi, mencegah terjadinya muntah, dan perkembangan distensi usus

lebih lanjut. (Mieny & Mennen, 2013). Nasogastric tube (NGT) dimasukkan

sampai ke lambung dan diaspirasi.. Pemasangan pipa lambung ini penting untuk

pengosongan lambung. Aspirasi yang intermiten adalah untuk menjaga sampai


ileus paralitik hilang. Mengukur volume air lewat oral diperbolehkan jika hanya

sejumlah kecil yang teraspirasi. Jika abdomen tidak kaku dan sudah terdengar

bising usus, maka pemberian nutrisi lewat oral dapat segera dilakukan. Penting

untuk tidak memperpanjang ileus dengan melewati pemberian nutrisi secara oral.

(William, et al., 2008)

d. Pemantauan Hemodinamik, pemberian oksigen

Pemantaun tanda-tanda vital pasien dilakukan secara kontinu. Evaluasi

biokimia sebelum operasi harus meliputi pemeriksaan elektrolit serum, glukosa,

kreatinin, bilirubin, dan alkalin fosfatase, dan urinalisis. Sepanjang proses

pemulihan, elektrolit dan hematokrit serum dan urea harus diperiksa secara

teratur. (Mieny & Mennen, 2013; William, et al., 2008)

Hypoxaemia sering menjadi komplikasi dalam peritonitis generalisata yang

disebabkan karena peningkatan permeabilitas vascular paru-paru dengan

transudasi cairan ke alveoli dan menurunya pertukaran oksigen. Kondisi ini

ditangani dengan meningkatkan oksigen menggunakan 40 % ventimask dan

menilai respon dengan analisis gas darah secara reguler. Intubasi endotrakeal dan

tekanan positif respirasi dengan tekanan volume respirasi yang dikontrol

diindikasikan jika pasien tetap hipoksia. (Mieny & Mennen, 2013)

e. Obat-obatan

1. Antibiotik

Pemberian antibiotik dapat mencegah multiplikasi dari bakteri dan

pelepasan endotoksin, dan untuk meurunkan komplikasi infeksi peritonitis


baik lokal maupun sistemik. Terapi awal adalah dengan pemberian

antibiotik broad spectrum secara parenteral, yang dapat melawan bakteri

aerob dan anaerob. (Mieny & Mennen, 2013; William, et al., 2008).

Antibiotik mulai diberikan sebelum operasi dan setelah didapatkan hasil

kultur dan uji sensitivitas, rejimen antimikroba harus disesuaikan untuk

mempersempit spektrum pada spesies yang menginfeksi. (Marshall, 2004;

Ramachandra, et al., 2007)

Hasil terbaik saat ini diperoleh dengan terapi awal terapi antibiotik

empiris tiga kali lipat untuk mengeleminasi 3 kelompok bakteri utama

yang biasanya terisolasi, meliputi coliform, enterococci, dan anaerob.

Aminoglikosida bersifat bakterisidal untuk organism gram negative

fakultatif dan indikasikan untuk peritonitis yang disebabkan oleh bakteri

ini. Aminoglikosida di ekskresikan di urine dan pasien dengan gangguan

fungsi ginjal perlu untuk menurunkan dosisnya untuk mencegah kerusakan

ginjal. Volume distribusi dan tingkat ekskresi bervariasi pada setiap

individu dan kebutuhan dosis harus berdasarkan melalui dan puncak untuk

meminimalisir tingkat komplikasi setelah pemberian melalui intravena.

(Mieny & Mennen, 2013)

Pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan, generasi ketiga

sefalosporin menyediakan pengganti yang efektif untuk aminoglikosida.

Kebanyakan anaerobes, termasuk spesies Bacteroides, resisten terhadap

aminoglikosida. Metronidazol merupakan agen anti-anaerob pilihan. Pada

eksperimental peritonitis, Enterococcus sering ditemukan dan merupakan


mitra sinergis yang penting dengan anaerobes. Enterococcus biasanya

sensitif terhadap ampicillin dan dianjurkan untuk pengobatan pasien

dengan peritonitis bakteri sekunder. (Mieny & Mennen, 2013)

Lamanya penggunaan antibiotik yang optimal harus berdasarkan

patologi yang mendasari, beratnya infeksi, keefektifan source control, dan

respon pasien terhadap terapi yang diberikan. Antibiotik dapat dihentikan

jika tanda klinis infeksi telah hilang. Jika terjadi rekuren dengan beberapa

infeksi, seperti infeksi dari Candida dan Staphylococcus aureus, maka

terapi dilanjutkan sselama 2-3 minggu. (Daley, 2013). Untuk pasien

dengan peritonitis tersier, peran terapi antimikroba sistemik adalah buruk.

Ada sedikit bukti bahwa antibiotik secara signifikan mengubah perjalanan

klinis, selain itu organisme yang menginfeksi cenderung resisten terhadap

penggunanan antibiotik empiris. Beberapa peneliti mendukung

penggunaan antibiotik spektrum sempit, yang dipilih berdasarkan hasil

kultur dan sensitivitas dan menghindari antibiotik dengan aktivitas anti-

anaerobik. (Marshal & Innes, 2003)

2. Obat-obatan lain

Analgesik baru dapat diberikan jika diagnosis peritonitis sudah

ditegakkan atau setidaknya tindakan operasi sudah diputuskan. Pasien

harus dibebaskan dari rasa sakit sebelum dan sesudah operasi. Infus

epidural dapat memberikan efek analgesik yang sangat baik. Pasien

peritonitis dengan tanda- tanda sepsis dapat diberikan obat vasoaktif dan

5
steroid. Pasien dengan demam diatas 38 C dapat menyulitkan anastesi
saat operasi, sehingga perlu diberikan obat salisilat yang efektif untuk

menurunkan demam. (William, et al., 2008; Doherty & Thompson, 2010;

Marshal & Innes, 2003)

Untuk menunjang hemodinamik pada resusuitasi pasien sepsis, dapat

digunakan obat-obatan seperti vasopressor dan inotropik. Terapi

vasopressor (norepinefrin atau dopamin) harus dimulai ketika penggantian

cairan yang adekuat tidak mengembalikan tekanan darah menjadi normal

atau perfusi organ. Terapi inotropik (dobutamin) dalam kombinasi dengan

vasopresor wajib diberikan pada pasien dengan curah jantung rendah yang

persisten meskipun penggantian cairan telah dianggap adekuat. Tambahan

terapi untuk pasien sepsi yang mendapat perawatan di ICU, terdiri dari

profilaksis deep-veinn trombosis (heparin, stoking kompresi), stres

profilaksis ulkus (H, inhibitor reseptor). (Lamme, 2005)

f. Support Sistem Vital

Langkah-langkah khusus mungkin diperlukan untuk mendukung jantung,

paru dan ginjal, terutama jika pasien mengalami syok septic. (William, et al.,

2008). Pasien yang mengalami severe sepsis atau syok septic harus mendapatkan

perawatan di ICU untuk mendapatkan pengawasan yang ketaat dari tanda-tanda

vital dan status volume. (Lopez, et al., 2011). Pasien yang memiliki faktor

komorbiditas, yang hadir dengan ketidakstabilan hemodinamik, atau yang gagal

untuk merespon dengan cepat penggantian cairan harus mendapatkan perawatan

di ICU. (Marshall, 2004)


2.10.2 Operatif

Manajemen peritonitis primer pada dasarnya adalah "non-surgical”, yaitu

dengan pemberian antibiotik. Management untuk peritonitis sekunder adalah

dengan melakukan operasi untuk menghilangkan sumber penyebab infeksi dan

mengontrol sumber infeksi dan dilakukan dalam hitungan jam. (Wittmann, 2010;

William, et al., 2008). Operasi merupakan langkah terapeutik yang paling penting

untuk mengendalikan infeksi intra-abdominal. Umumnya, pilihan prosedur

tergantung pada sumber anatomi infeksi, pada tingkat inflamasi peritoneum, dan

keadaan umum pasien. (Sartelli, 2010).

Manajemen operasi peritonitis atau Bedah “source control” diarahkan pada

pengendalian sumber kontaminasi dengan prosedur yang simpel (misalnya

appendektomi) atau penutupan daerah perforasi, penghapusan inokulum bakteri

dengan pencucian, debridement jaringan nekrotik, reseksi usus yang iskemik dan

pencegahan kambuhnya sepsis. Dilakukan laparotomi dengan insisi midline yang

menyediakan akses yang optimal terhadap seluruh kuadran di abdomen. Spesimen

dari cairan peritoneum harus diambil untuk kultur aerob dan anaerob. Semua

materi purulen dan darah harus dievakuasi dari rongga peritoneum setelah sumber

kontaminasi telah dikendalikan. Waktu dan kecukupan dari “source control”

merupakan masalah yang paling penting dalam pengelolaan infeksi intra-

abdominal, karena operasi yang terlambat dan tidak adekuat dapat memberikan

efek yang negative pada hasil. (Mieny & Mennen, 2013; Wittmann, 2010; Sartelli,

2010)
Alternatif lain adalah dengan debridemen radikal peritoneum yang merupakan

metode utama pada peritonitis generalisata yang berat, di mana seluruh rongga

peritoneum didebridemen secara cermat dari fibrin, membran, bekuan darah, dan

membrane yang purulen, yang diikuti dengan irigasi menggunakan saline sampai

bersih. (Mieny & Mennen, 2013)

a. Irigasi atau Pencucian

Pada operasi peritonitis adalah penting bahwa, setelah penyebab peritonitis

ditangani, seluruh rongga peritoneum dieksplorasi dengan pencucian atau irigasi.

(William, et al., 2008). Irigasi ini dapat mengurangi jumlah bakteri yang hadir,

serta mengurangi konsentrasi bahan adjuvan. Virulensi infeksi peritoneum juga

dapat tingkatkan oleh adanya bahan asing adjuvant, sehingga semua bahan asing

termasuk jaringan nekrotik, feses, darah, atau empedu harus tersedot keluar

setelah irigasi. (Mieny & Mennen, 2013)

Tiga jenis cairan atau tambahannya untuk pencucian peritoneum yang

digunakan, yaitu cairan fisiologis, antibiotik, atau antiseptic. (Lamme, 2005).

Biasanya digunakan lebih dari 3 L cairan fisiologis Saline atau Ringer Laktat

hangat sehingga cairan tersebut dapat mencapai seluruh bagian dalam abdomen,

untuk membersihkan pus, feces, bahan nekrotik, dan kemudian cairan tersebut

dibuang. Prosedur ini diulang sampai cairan yang dibuang bena-benar bersih dari

rongga abdomen. (William, et al., 2008). Pada orang dewasa biasnya digunakan

cairan total sebanyak lebih dari 10L. Suatu grup penelitan menunjukkan

penggunaan sekitar 20 liter cairan untuk lavage peritoneum dapat menurunkan


komplikasi infeksi pada pasien perforasi usus kecil akibat trauma tumpul. (Lopez,

et al., 2011)

Masih sedikit bukti pada literaratur mengenai lavage peritoneum dengan atau

tanpa antibiotik pada peritonitis. Menurut Matheson, penggunaan volume besar

garam (1-2 liter) yang mengandung antibiotik terlarut (misalnya tetrasiklin) telah

terbukti efektif, dengan penambahan antibiotik dapat secara spesisfik membunun

bakteri pathogen. (William, et al., 2008). Tetapi dalam penelitian lain,

penggunaan antibiotik saat irigasi dapat mengurangi komplikasi tanpa

menurunkan angka kematian, atau dengan kata lain irigasi peritoneum dengan

antibiotik tidak menguntungkan. (Mieny & Mennen, 2013; Wittmann, 2010).

Sebuah penelitian berikutnya menunjukkan bahwa penamban susbtansi pada

pencucian dengan antiseptic, seperti providone iodine atau chloorhexidine tidak

memberikan efek yang menguntungkan atau bahkan memberikan efek toksik.

(Wittmann, 2010; Lamme, 2005). Penggunaan antibiotik atau antiseptic unutk

irigasi umumya tidak bermanfaat atau bahkan berbahaya oleh karena dapat

menyebabkan adesi. Antibiotik yang diberikan secara parenteral akan mencapai

tingkat bakterisidal dalam cairan peritoneum dan tidak memberikan manfaat

tambahan jika diberikan saat irigasi. (Doherty & Thompson, 2010). Sisa saline

yang tersisa di rongga peritoneum setelah irigasi mencairkan opsonins bakteri dan

menahan bakteri dalam media cairan, menurunkan fagositosis dan menyebabkan

terjadinya proliferasi bakteri. Oleh karena itu semua cairan yang tersisa harus

dikeluarkan setelah irigasi dan sebelum menutup abdomen. (Mieny & Mennen,

2013)
b. Drainage

Drainage dari rongga peritoneum jarang efektif karena drain cepat terisolasi

dan ditutup oleh omentum, eksudat dan lengkung usus. Drain juga dapat bersifat

sebagai benda asing yang berpotensi menyebabkan infeksi intraperitoneum dan

memungkinkan bakteri eksternal untuk masuk ke dalam rongga peritoneum. Drain

hanya efektif jika digunakan untuk mengevakuasi rongga abses yang sulit

dibersihkan atau terdapat perdarahan yang merembes setelah operasi luas. (Mieny

& Mennen, 2013; Doherty & Thompson, 2010)

Abses tidak dapat diterapi dengan antibiotik saja, oleh karena efek antibiotik

dihambat oleh kondisi hipoksia, pH yang rendah, dan tingginya konsentrasi toksin

dalam abses. Drainase merupakan terapi pilihan untuk abses dan bertujuan unutk

mengevakuasi abses tersebut. Drainage dapat dilakukan dengan bedah atau secara

perkutaneus (percutaneous drainage) dengan panduan USG atau CT Scan.

(Lamme, 2005). Teknik perkutaneus dipilih bila abses dapat sepenuhnya

dikeringkan, dan debridement dan perbaikan struktur anatomi tidak diperlukan.

Faktor-faktor yang dapat mencegah kontrol sumber sukses dengan drainase

perkutan termasuk peritonitis difus, kurangnya lokalisasi proses infeksi, abses

multipel, tidak terjangkaunya anatomi, atau kebutuhan untuk debridement. (Daley,

2013).

Drainage dengan meninggalkan peritoneum terbuka, tanpa menutup dinding

abdomen, telah dianjurkan sebagai sebuah teknik pada beberapa pasien dengan

kontaminasi yang sangat berat dan adanya cacat pada dinding perut. Pada situasi
tersebut, mesh polipropilen ( marlex ) ini digunakan untuk melindungi usus dan

mencegah eviserasi pada usus. Penutupan luka perut setelah operasi untuk

peritonitis terbaik dicapai dengan hanya approksimasi fasia sebagai lapisan

tunggal penutupan dengan menggunakan baik monofilament suture sintetis seperti

nilon atau prolene, atau suatu diserap polyglycolic asam ( dexon ) suture. Dengan

adanya kontaminasi berat kulit dan jaringan subkutan harus dibiarkan terbuka dan

dilapisi dengan kain kasa steril yang diberi cairan saline. Dressing kasa diganti

setiap hari dan, ketika luka bersih telah bersih dan dengan adanya jaringan

granulasi jelas, biasanya dalam waktu empat sampai lima hari, luka ditutup

dengan steril perekat. Dalam beberapa kasus, penggunaan jahitan retensi mungkin

cocok untuk menghindari dehisens luka dan eviserasi luka operasi. (Mieny &

Mennen, 2013)

2.11 Perawatan Pasca Operasi

Perawatan pasien selama proses pemulihan harus memastikan bahwa perfusi

jaringan (airway, breathing and circulation) kembali adekuat. Tekanan darah,

nadi, dan saturasi oksigen dipantau secara teratur dan dicatat dalam grafik. Dalam

grafik ini dapat dipastikan bahwa pasien proses penyembuhannya baik atau malah

jatuh dalam komplikasi. (William, et al., 2008). Perawatan di ruang intensif dan

pemakaian ventilator adalah wajib untuk pasien dengan kondisi yang tidak stabil

dan lemah. Tujuan yang harus segera dicapai adalah hemodinamik yang stabil

untuk perfusi yang baik ke organ-organ mayor, dan mungkin diperlukan terapi

dengan agent inotropik jantung selain cairan dan tambahan darah. (Doherty &

Thompson, 2010)
Perawatan pasca bedah, meliputi pemberian cairan dan elektrolit secara

parenteral, nutrisi (total atau parsial parenteral nutrisi) selama fungsi usus masih

belum kembali normal, pemberian obat-obatan (seperti antibiotika dan anlgesik).

Pemberian cairan pasca operasi harus berdasarkan pada beberapa kebutuhan

berikut : kebutuhan untuk pemeliharaan (maintenance), kebutuhan ekstra dari

factor sistemik (misalnya demam), kebutuhan akibat hilangnya cairan lewat drain,

dan kebutuhan akibat hilangnya cairan ke dalam ruang ketiga (ileus). Kebutuhan

untuk pemeliharaan cairan untuk kehilangan yang dapat dihitung maupun tidak,

tergantung pada usia, jenis kelamin, berat badan, dan luas permukaan tubuh. Pada

pasien dewasa biasanya diberikan 1500-2500 ml. kebutuhan untuk maintanace ini

akan meningkat oleh keadaan seperti demam, hiperventilasi, dan keadaan lain

yang meningkatkan katabolisme. Hilangnya cairan dari pipa lambung biasanya

kurang dari 500 ml/hari dan dapat digantikan dengan infuse cairan dengan jumlah

yang sama. (Doherty & Thompson, 2010)

Secara umum pasien dengan peritonitis mengalami disfungsi saluran cerna

(ileus) setelah menjalani operasi dan setelah laparotomi peristaltic gastrointestinal

menuerun sementara. Peristaltis usus kecil akan kembali normal dalam 24 jam,

tetapi peristaltis gaster lebih lambat. Fungsi colon kanan kembali normal dalam 48

jam, sedangkan colon kiri 72 jam. Setelah operasi mungkin pipa lambung masih

terpasang untuk dekompresi dan baru akan dilepas 2-3 hari berikutnya atau

sampai ada bukti bahwa peristaltik telah kembali normal. Setelah pipa lambung

dilepas, biasanya puasa masih dilanjutkan 24 jam berikutnya, dan kemudian mulai

diberikan diet cair. (Doherty & Thompson, 2010)


Pemberian nutrisi pasca operasi begitu penting, dikarenakan kebanyakan

pasien kekurangan intake secara enteral untuk beberapa waktu pada saat

preoperative. Pemberian makan secara oral harus ditunda sampai adanya bukti

motilitas gastrointestinal kembali normal, sehingga diperlukan pemberian nutrisi

(total atau parsial parenteral nutrisi). Kembalinya peristaltis usus biasanya

ditandai dengan flatus dan kembalinya nafsu makan. (Doherty & Thompson,

2010)

Pemberian antibiotika diteruskan sampai kurang lebih 7-10 hari. Sebaiknya

diberikan amtibiotika yang sesuai dengan hasil kultur dan tes sensitivitasnya.

(Doherty & Thompson, 2010). Pemberian analgesic diperlukan untuk

menghilangkan nyeri pasca operasi. Kebebasan dari rasa nyeri memungkinkan

mobilisasi dini dan fisioterapi yang adekuat pada periode pasca operasi, yang

membantu untuk mencegah kolapsnya paru basal, deep vein thrombosis dan

emboli paru. (William, et al., 2008). Mobilisasi dini dimulai dengan mirng kanan-

kiri setiap 30 menit. Pasca operasi mungkin pasien masih menggunakan ventiasi

mekanik atau dengan masker oksigen atau nasal kanul. Latihan pernapasan

diperlukan pasien setelah di intubasi, tujuannya adalah untuk mencegah

ateletaksis. Tingkat pemulihan bervariasi tergantung dari lama dan beratnya

peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan perfusi yang membaik

dengan output urine yang cukup, menurunnya demam dan leukositosis, dan

perbaikan ileus . (Doherty & Thompson, 2010)

Selain itu juga diperlukan penberian terapi suportif berupa vitamin-vitamin

untuk membantu proses penyembuhan, pemeriksaan berkala untuk mendeteksi


apakah timbul penyulit-penyulit yang perlu segera dilakukan tindakan antara lain

adanya abses intra abdominal, infeksi luka operasi, kebocoran anastomose atau

fistula, dan melakukan fisioterapi pernafasan, mobilisasi anggota gerak. Selang

drainase dilepas pada hari 3 dan 4 pasca-operasi dan aspirasi lambung dihentikan

begitu pasien flatus. Melepas selang (kateter, pipa lambung) menurunkan risiko

terjadinya infeksi dari luar. (Doherty & Thompson, 2010; Ramachandra, et al.,

2007)

2.12 Faktor yang Mempengaruhi Kematian pada Peritonitis Perforasi

2.12.1 Usia

Prevalensi terjadinya perforasi meningkat terutama pada usia 31-60 tahun,

pada beberapa studi mengatakan bahwa perforasi gastroduodenal merupakan

penyebab mayor dari peritonitis perforasi, dimana prevalensi pada usia tersebut

meningkat disebabkan karena faktor risiko etiologi seperti merokok, alkoholisme,

dan penggunaan NSAID. (Thomas, et al., 2000).

Perforasi appendik lebih sering terjadi pada usia 20-30 tahun. Perforasi ileum

lebih banyak terjadi pada usia 10-30 tahun dimana faktor etiologinya disebabkan

karena typhoid. (dani, et al., 2015).

Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik.

(Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai risiko

signifikan terjadinya mortalitas setelah pembedahan pada peritonitis perforasi

daripada pasien muda dikarenakan mempunyai banyak faktor komorbiditas. Pada

beberapa pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai hubungan yang
signifikan terjadinya komplikasi urologi, hal ini biasanya berhubungan dengan

terjadinya benign prostat hyperplasia. Namun pada beberapa analisis, usia bukan

merupakan faktor prognostik independen terjadinya morbiditas pasca operasi.

(Kim, et al., 2012).

2.12.2 Faktor Komorbiditas

11,5-40% pasien dengan penyakit peritonitis perforasi mempunyai faktor

komorbid. (Ko, et al., 2004). Penyakit pulmonary merupakan frekuensi terbanyak,

diikuti hipertesi dan diabetes mellitus. (Noguiera, et al., 2003). Beberapa studi

yang lain melaporkan hipertensi merupakan faktor komorbid yang paling banyak

(27%) dan diabetes mellitus (9,7%). Faktor-faktor yang signifikan menyebabkan

morbiditas pasca operasi adalah Hipertensi (P=0,01), diabetes melllitus (P=0,04),

dan pneumonia (P=0,04). Pasien dengan komorbiditas mempunyai risiko yang

signifikan terhadap terjadinya mortalitas pasca operasi. Hal ini diasosiasikan

dengan oxygen delivery. (Kim, et al., 2012). Studi lain menyebutkan bahwa

hipertensi, diabettes mellitus dan pneumonia bukan merupakan faktor signifikan

terjadinya mortalitas (P>0,05). (Saber, 2011).

Adanya faktor komorbiditas mempunyai peranan yang sangat signifikan

terhadap terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi. Hal ini juga telah

dibuktikan dari beberapa studi yang pernah ada. (Unver, et al., 2015)

a. Hipertensi

Analisis univariat menemukan bahwa hipertensi mempunyai faktor yang

signifikan terhadap terjadinya morbiditas. Hipertensi juga berhubungan dengan


usia, dimana rata-rata usia pasien dengan hipertensi pada peritonitis perforasi

adalah 71,2 tahun, sedangkan rata-rata pasien dengan normotensi pada peritonitis

perforasi adalah 50,9 tahun. (Kim, et al., 2012). Sebanyak 13 pasien (92,9%)

meninggal yang mempunyai faktor komorbid, dimana salah satu penyebabnya

adalah hipertensi yang berkaitan erat dengan terjadinya penyakit jantung iskemik.

(P, 0,05). (Unver, et al., 2015; Sonnenberg., 1994).

Pada pasien dengan hipertensi, secara epidemiologi berhubungan dengan pola

diet, dimana pada orang hipertensi terjadi peningkatan konsumsi garam.

Peningkatan konsumsi garam yang berlangsung lama maka akan menyebabkan

kerusakan mukosa gastric yang dapat berakibat gastritis dan terjadinya ulkus

gastric. Hal ini akan berkembang menjadi intestinal metaplasia dan mengalami

transformasi menjadi keganasan. Gastritis sendiri akan menyebabkan mukosa

mengalami korosi oleh karena asam hydrochloric. Sehingga dapat di hipotesa

bahwa secara umum akan terjadi kerusakan pada mukosa diantaranya mukosa

gastric mengalami ulkus gastric dan myocardium mengalami iskemik.

(Sonnenberg., 1994)

b. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh

kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan

atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B

pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll), penurunan reseptor

glukosa pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan


perifer. Penderita diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti

poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak

kencing/sering kencing di malam hari) nafsu makan bertambah namun berat

badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah lelah, dan

kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab wanita

memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Peningkatan

Kejadian Diabetes Melitus di timbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes

melitus dalam keluarga, umur, Obesitas, tekanan darah tinggi, dyslipidemia,

toleransi glukosa terganggu, kurang aktivitas, riwayat DM pada kehamilan. Untuk

menegakkan diagnosis Diabetes Melitus yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang

khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah

puasa >126 mg/dl. (Fatimah., 2015)

Pengobatan utama pada pasien dengan diabetes mellitus adalah dengan

pemberian insulin. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme

karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain

menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan,

menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan

glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi

pembentukan protein dan lemak dari glukosa. (Fatimah., 2015)

Pada pasien dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol menyebabkan

cadangan glikogen hepar digunakan, kemudian katabolisme protein pada otot

skeletal ditingkatkan untuk melepaskan rantai cabang asam amino untuk

digunakan miosit sebagai sumber energi. Asam amino lainnya dilepaskan ke


dalam sirkulasi untuk dimanfaatkan dalam glukoneogenesis hepar. Meskipun

kecepatan lipolisis tubuh juga meningkat, pemanfaatan asam lemak bebas sebagai

sumber energi tidak efisisen pada awal periode syok septic. Peritonitis dapat

menyebabkan kompartemen peritoneum terhadap respon inflamasi lokal jaringan.

Ketika infeksi dan infamasi peritoneum tidak terkandung dalam kompartemen

mediator inflamasi abdomen, drainase limfatik dan peningkatan permeabilitas dari

peritoneum yang terinflamasi akan menyebabkan bakteri dan endotoksinnya

ditransfer ke dalam kompartemen sistemik. Dalam sirkulasi, faktor sistemik

menyebabkan sel-sel (seperti, endotel, PMN, sel fagositik mononuclear, dan sel T)

menjadi aktif sehingga menyebabkan terjadinya aktivasi sistemik. Akibatnya yang

terjadi adalah meningkatnya permeabilitas organ, menurunnya oksigenasi, dan

terjadi kegagalan organ. (Zinner, et al., 1997)

c. Pneumonia

Infeksi merupakan salah satu penyebab penting kematian pasien peritonitis.

Delapan puluh persen kematian pada pasien peritonitis yang terjadi pada 3 hari

sampai 3 minggu setelah operasi berhubungan dengan infeksi. Nasokomial

pneumonia merupakan infeksi yang sering terjadi pada pasien dengan perawatan

yang lama. Pneumonia menjadi penyebab mayor kematian pasien peritonitis

perforasi, sehingga identifikasi awal pasien dengan risiko tinggi dapat

menurunkan morbiditas, mortalitas, serta biaya perawatan. Faktor risiko

pneumonia nasokomial pada pasien peritonitis antara lain: penggunaan ventilator

mekanik dalam jangka waktu lama, dan penggunaan nutrisi enteral secara

kontinyu. (Kim, et al., 2012).


Pneumonia menyebabkan demam, hipotensi, dan hipoksia yang

mengakibatkan peningkatkan efek buruk terhadap outcome. Kuman penyebab

tersering adalah Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan

Streptococcus pneumonia (Zygun D et al, 2005). Faktor risiko terjadinya

pneumonia awitan dini adalah koloni bakteri di saluran nafas bagian atas, aspirasi,

dan pemberian thiopental. Late onset pneumonia terbentuk setelah 5 hari pasca

operasi yang biasanya berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator

acquired pneumonia). Tipe kuman yang mengakibatkan ventilator acquired

pneumonia adalah organisme gram negatif dan bakteri yang multiresisten (Croce

et al, 1998). Pasien peritonitis perforasi yang mendapatkan perawatan ICU

memiliki durasi penggunaan ventilator yang lebih lama, perawatan ICU yang

panjang dan terjadinya insiden multi organ failure yang lebih tinggi. Angka

mortalitas secara keseluruhan pada pasien dengan VAP yang dirawat di ICU

secara umum adalah 24-75%.

2.12.3 Onset Lebih Dari 24 Jam Mulai Timbulnya Gejala Sampai Dilakukan

Operasi

Definisi dari Onset lebih dari 24 jam pre operasi disini adalah waktu interval

dari dimulainya gejala akut sampai datang ke Instalasi gawat darurat dan

dilakukan operasi lebih dari 24 jam. (Gona, et al., 2015). Onset >24 jam pre

operasi juga digunakan pada skor PULP dan skor Boey untuk memprediksi

mortalitas. (Manekse, et al., 2015). Studi yang dilakukan oleh Rodolfo L

menyebutkan bahwa pasien yang datang ke IGD dengan onset kurang dari 24 jam

sebanyak 49,42% dan onset lebih dari 24 jam sebanyak 54,48%. Sedangkan
menurut Correia MM, onset < 24jam pre operasi sebanyak 34,5% dan onset

>24jam sebanyak 65,5%. Penyebab dari lamanya onset tersebut berhubungan

dengan kurangnya populasi penelitian, layanan rujukan yang tidak tepat,

keterlambatan diagnostik yang disebabkan karena kurangnya alat yang tersedia di

RS seperti CT Scan, jarak yang jauh dari RS rujukan, dan hemodinamik yang

tidak stabil. (Dani, et al., 2015), (Telkar, et al., 2010). Beberapa studi literatur

menunjukkan bahwa onset lebih dari 24 jam pre operasi merupakan faktor yang

signifikan terjadinya mortalitas pada pasien peritonitis perforasi. (Tas, et al.,

2015). Mortalitas yang disebabkan karena onset >24 jam pre operasi berhubungan

dengan terjadinya sepsis dan kegagalan fungsi organ. (Telkar, et al.,2010).

2.12.4 Eksudat

Pada beberapa studi melaporkan sebanyak 20% pasien didapatkan clear

eksudat, 62% dengan eksudat purulent dan 18% dengan faecal eksudat. Penelitian

dari Rodolfo menunjukkan 69,5 clear eksudat dan 21,8% eksudat purulent. Studi

dari jhobta 15% clear eksdat, 71% purulent dan 13% faecal eksudat. Purulent dan

faecal eksudat behubungan dengan onset pre opeasi, diameter perforasi dan

banyaknya jumlah mikroorganisnme anaerob gram negatif yang berkembang

menjadi endotoxaemia dan syok sepsis. (Dani, et al., 2015). Dari beberapa studi

mengatakan bahwa mortalitas berhubungan dengan tipe eksudat. Clear eksudat

berhubungan dengan rendahnya tingkat mortalitas (7,94%), eksudat purulent

berhubungan dengan tingginya tingkat mortaltas (75%). (Krishna, et al., 2016).

Studi lain juga menyebutkan bahwa kontaminasi cairan peritoneal merupakan


prediktor yang sangat signifikan terjadinya mortalitas, 81 % (p<0,0005). (Noman,

et al., 2014).

2.12.5 Diameter Perfoasi

Ukuran perforasi lebih dari 0,5 cm merupakan faktor signifikan terjadinya

mortalitas (p=0,01). (Nomani et al 2014). Diameter perforasi >0,5cm juga

berhubungan erat terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas pada pasien

peritonitis perforasi hal ini berhubungan juga terhadap eksudat yang dihasilkan.

Semakin besar diameter perforasi maka dapat menghasilkan eksudat yang purulen

bahkan fecal eksudat yang dapat berkembang menjadi mikroorganisme penyebab

sepsis. Selain itu diameter perforasi juga dapat mempengaruhi besarnya tindakan

operasi yang akan dilakukan. Sedangkan lokasi daripada perforasi bukan

merupakan suatu prediktor terhadap terjadinya mortalitas. (Tas, et al., 2015).

2.12.6 Multi Organ Dysfuction Sindrome (MODS)

MODS memiliki angka kematian yang tinggi, dan pada sebagian besar pasien

tidak akan meningkatkan harapan hidup melainkan memperpanjang proses kematian

dan menghabiskan biaya perawatan di ruang ICU (Fry, 1988). Sejak tahun 1973,

MODS digambarkan sebagai jalur akhir dari suatu proses penyakit. Deskripsi pertama

kali digambarakan di tahun 1940 saat perang dunia II dimana diamati pada setiap

pasien dengan shock hipovolemik akibat dari perdarahan masif pada umumnya

meninggal 10 hari kemudian dengan insufisiensi ginjal (Varon, 2008). Setahun

kemudian, di perang Vietnam, penggunaan cairan kristaloid dengan jumlah besar

menyebabkan penurunan dari fungsi paru, yang dikenal dengan shock lung. Pada
awal dan pertengahan tahun 1970an, peneliti mengenali adanya hubungan antara

shock hemoragik atau infeksi dan multiorgan failure. Sejak saat itu kegagalan

multiple organ pada waktu yang bersamaan atau dengan sekuens yang sama

melahirkan hipotesa bahwa ada suatu mekanisme yang sama yang mendasari proses

tersebut (Varon, 2008).

Multiple organ dysfunction syndrome adalah sistemik, respon disfungsi

inflamatory yang memerlukan perawatan ICU dengan tingkat mortalitas antara

27%-100%. (Menyar, et al., 2012). Multiple organ dysfunction tidak hanya pada

pasien sepsis tetapi dapat juga berhubungan dengan kondisi klinis yang lain

termasuk luka bakar berat, akut nekrotizing pancreatitis, trauma yang berat dan

syok hemoragik. (Balk. R. A & Goyette. R. E., 2001). Adapun kriteria MODS

menurut Knaus dkk terdiri dari enam organ yaitu; cardiovascular, respiratori,

renal, hematologi, neurologi, dan hepatik. Kegagalan satu sistem organ lebih dari

3 hari berhubungan dengan tingkat kematian sebesar 30-40%, kegagalan dua

sistem organ lebih dari 3 hari beresiko mengalami kematian sebesar 60% dan bila

terjadi tiga kegagalan sistem organ lebih dari 3 hari beresiko terjadi kematian

sebesar 90% (Murray & Cousin, 1993)

Paru-paru merupakan organ primer yang paling sering mengalami

kegagalan, dimanifestasikan sebagai disfungsi pulmonary dimana biasanya terjadi

lebih dahulu sebelum didapatkan disfungsi dari organ yang lain. Sistem organ lain

yang tampak mengalami MODS lebih dini termasuk liver, intestinal, dan ginjal.

Hematologi dan disfungsi myocard merupakan manifestasi lanjut dari MODS.


Sequel neurologi, biasanya encephalopathy dapat terjadi di awal ataupun lanjut.

(Murray & Cousin, 1993)

a. Mekanisme MODS

Disfungsi progresif dari sistem organ yang menjadi karakteristik dari MODS

pada umumnya mengikuti urutan yang dijabarkan pada SOFA yang dirumuskan pada

pertemuan konsensus The European Society of Intensive Care Medicine (EISCM)

menjadi 4 fase sebagai berikut:

Fase pertama : peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis respiratorik ringan yang

diikuti dengan oliguria, hiperglikemia, dan peningkatan kebutuhan insuliln.

Fase kedua : pasien menjadi takipnea, hipokapnia, dan hipoksemia, kemudian

berkembang menjadi disfungsi hati dan abnormalitas hematologi

Fase ketiga : pasien jatuh ke dalam kondisi shock dengan azotemia dan gangguan

asam basa, dengan abnormalitas koagulasi yang signifikan

Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria atau anuria,

kemudian berkembang menjadi ischemic colitis dan asidosis laktat

Fase tersebut dapat dijelaskan dengan bebrapa hipotesis yang menginisiasi MODS

antara lain :

a.1 Gut Hypothesis

Gut Hypothesis saat ini adalah teori paling populer untuk menjelaskan

berkembangnya MODS pada pasien kritis (Dorinsky, 1990). Hipoperfusi splanchnic

seringkali dijumpai pada pasien multiple trauma, sepsis, shock sepsis, atau luka
bakar. Endotoksin menyebabkan pengurangan yang dose dependant terhadap

diameter arteriole sentral villus. Organ usus sangat rentan untuk kehilangan perfusi

jaringan dan oksigenasi karena cadangan oksigen yang dimiliki sangat minimal

dibandingkan dengan organ lain dan organ vital. Iskemia pada organ usus

menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan penurunan fungsi selular. Di sisi lain

endotoksin menyebabkan cedera mukosa dengan menghasilkan Reactive Oxygen

Species (ROS) dan menghambat respirasi mitokondria di enterocyte. Cedera pada

mukosa usus meningkatkan permeabilitas usus, menurunkan fungsi imum usus, dan

meningkatkan translokasi bakteri. Karena disfungsi hepar, toksin bakteri dapat masuk

ke sirkulasi sistemik dan mengaktifasi respon inflamasi, yang memicu terjadinya

cedera dan disfungsi organ (Swank, 1996). Hipotesa ini didukung dengan serangkaian

penelitian yang menemukan adanya hubungan antara translokasi bakteri, penurunan

pH gaster intramukosa dengan kejadian MODS (Marik, 1993., Mythen, 1994., Kirton,

1998).
Gambar 2.4 Gut Hipotesis

a.2 Endotoxin-Macrophage Hypothesis

Pada pasien dengan MODS, infeksi mikroorganisme gram negatif seringkali

dijumpai, sehingga endotoksin dianggap sebagai mediator kunci pada sindrom ini.

Setelah terjadinya kejadian awal sebagai pemicu (contoh: sepsis, pankreatitis,

trauma), MODS muncul sebagai akibat dari produksi dan lepasnya sitokin dan

mediator lain oleh makrofag yang diaktifasi oleh endotoksin. Tumor Necrosis

Alpha (TNF-alpha), Interleukin 1 (IL-1), Interleukin 6 (IL-6), Thromboxane а2,

prostacyclin, platelet activating factor, dan nitric oxide (NO) adalah mediator

proinflamasi yang terlibat pada proses terjadinya MODS. Mediator inflamasi

tersebut pada akhirnya akan memicu terjadinya inflamasi sistemik yang akan
menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial yang menyebabkan kebocoran pada

kapiler pembuluh darah dan terbentuknya trombus di sepanjang endotel yang

rusak yang akan memicu hipoperfusi pada end organ dan gangguan koagulasi.

Gambar 2.5 Skema aktifasi mediator proinflamasi (Niels., 2003)

a.3 Tissue Hypoxia-Microvascular Hypothesis

Pasokan oksigen yang tidak adekuat dapat terjadi akibat dari perubahan vaskular

baik mikro maupun makro. Hipovolemia, anemia, hipoksemia gagal jantung akan

menyebabkan penurunan oxygen delivery. Pada pasien sepsis juga terjadi

gangguan homeostasis yang menyebabkan terjadinya trombus mikrovaskular yang

akan memperburuk hantaran oksigen ke jaringan.


a.4 Integrated Hypothesis

Pada sebagian besar pasien dengan MODS, terjadinya sindrom ini tidak dapat

dikatakan hanya berasal dari satu penyebab saja melainkan adalah hasil akhir dari

berbagai mekanisme yang ada.

Gambar 2.6 Skema Integrated Hypothesis ; Migration Inhibitory Factorv(MIF),

Interleukin 1 (IL-1), Interleukin 6 (IL-6), Interleukin 18(IL-18) , Interleukin 12 (IL-12)

Chemokine Ligand (CXCL), High Mobility Group Protein B-1(HMGB-1). (Adib, 2007)

Kriteria diagnosis daripada disfungsi organ adalah didapatkan satu atau

lebih dari organ berikut

Cardiovaskular Tekanan darah sistolik <90mmHg atau mean arterial


pressure (MAP) <70mmHg

Respiratory PO2 > 50mmHg, SO2 <0,80, pH<7,30, FiO2 < 200mmHg,
atau dengan penggunaan ventilator

Renal Produksi urin <0,5ml/Kg per jam atau level creatinin >
1,2mg/dl

Liver Bilirubin level >1,2mg/dl atau albumin level < 2,7g/dl.

Hematologi Platelet <150.000/ul atau INR >1,2

Neurological Skor glasgow coma scale (GCS) < 15

Tabel 2.3 Kriteria diagnosis MODS (Li, et al., 2008; Desai & Lakhani, 2013)
BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Faktor-faktor risiko yang dikenal berperan terhadap terjadinya kematian pada

peritonitis perforasi diantaranya adalah: usia, adanya faktor komorbid, onset lebih

dari 24 jam, eksudat, diameter perforasi >0,5cm, adanya MODS. Deteksi dini

faktor risiko dan penanganan yang tepat, akurat, dan sistematis sangat penting

untuk dilakukan.

Faktor-faktor tersebut diatas dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya

kematian pada pasien dengan peritonitis perforasi. Pasien dengan peritonitis

perforasi di evaluasi untuk melihat apakah pasien meninggal atau masih hidup

selama perawatan. Faktor-faktor tersebut selanjutnya dinilai validitasnya dalam

memprediksi kematian pada pasien peritonitis perforasi. Selanjutnya dibangun

suatu sistem skoring yang tervalidasi dalam menilai terjadinya kematian pada

pasien peritonitis perforasi.

3.2 Konsep Penelitian

Bertolak dari kerangka pikir di atas, dapat dibuat konsep penelitian seperti

bagan berikut:
Usia
Faktor komorbid
Onset Kematian pada
Lokasi non kolon pasien peritonitis
Eksudat perforasi

Diameter
perforasi
Keganasan
MODS

Gambar 3.1 Konsep penelitian

3.3. Hipotesa Penelitian

Adapun hipotesa penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Pasien umur lebih dari 60 tahun merupakan faktor risiko terjadinya kematian

pada pasien peritonitis perforasi

3.3.2 Pasien dengan adanya faktor komorbid merupakan faktor risiko kematian

pada pasien peritonitis perforasi.

3.3.3 Pasien dengan onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai

dilakukannya operasi merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi.

3.3.4 Pasien dengan lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi.

3.3.5 Pasien dengan eksudat purulent merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi.


3.3.6 Pasien dengan diameter perforasi > 0,5cm merupakan faktor risiko kematian

pada pasien peritonitis perforasi.

3.3.7 Pasien dengan keganasan merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi.

3.3.8 Pasien dengan adanya MODS merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi.
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk

mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya kematian pada pasien dengan

peritonitis perforasi. Disain kasus kontrol adalah studi analitik yang menganalisis

hubungan kausal dengan menggunakan logika terbalik, yaitu menentukan logika

terbalik (outcome) terlebih dahulu kemudian mengidentifikasi penyebab (faktor

risiko) riwayat paparan dari penelitian ini dapat diketahui dari register medis.

Penelitian ini ingin melihat adanya pengaruh faktor risiko yang dimiliki pasien

peritonitis perforasi (exposure) dengan hasil luaran (outcome) berupa kematian,

maka peneliti menganggap bahwa disain studi kasus kontrol merupakan disain

studi yang paling tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini.

Faktor Risiko (+)


Peritonitis Meninggal Perforasi
Faktor Risiko (−)

Faktor Risiko (+)


Peritonitis Hidup
Perforasi
Faktor Risiko (−)

Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian


4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RS Sanglah Denpasar-Bali selama bulan Januari-

Maret 2018

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Target

Semua penderita dengan Peritonitis perforasi yaitu infeksi peritoneum yang

disebabkan karena perforasi hollow organ.

4.3.2 Populasi Terjangkau

Semua Penderita peritonitis perforasi yang datang ke RSUP Sanglah

Denpasar.

4.3.3 Sampel

Sampel adalah penderita dengan peritonitis perforasi yang datang di RSUP

Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4 Cara Pemilihan Sampel

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari rekam medis

penderita yang didiagnosa peritonitis perforasi selama periode Januari 2015-

Februari 2018. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara sistematik sampling

(pengambilan sampel dengan cara sistematis). Pengambilan sampel dengan cara

sistematis adalah suatu metode yang hanya unsur pertama dari sampel yang dipilih

secara acak sedang unsur-unsur selanjutnya dipilih secara sistematis.


4.5 Kriteria Subyek Penelitian

4.5.1 Kriteria Inklusi

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

Seluruh penderita yang telah menjalani tindakan pembedahan di RSUP

Sanglah dengan diagnosis peritonitis perforasi

4.5.2 Kriteria Eksklusi

Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Rekam medik tidak lengkap

b. Rekam medik hilang

c. Pasien menolak untuk dilakukan tindakan pembedahan.

d. Pasien meninggal sebelum dilakukan tindakan pembedahan.

4.6 Besar Sampel

Dalam perhitungan besar sampel, perlu untuk diketahui besar proporsi

terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi yang akan digunakan dalam

penelitian ini. Nilai proporsi dapat diambil dari penelitian sebelumnya. Dari

penelitian sebelumnya, kematian pada pasien-pasien dengan peritonitis perforasi

sebesar 25%, dengan risiko relatif 2 kali dibandingkan dengan populasi umum.

Peneliti menggunakan besar proporsi 30% dan RR = 2.

Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau α=0,05 dan tingkat

kuasa/power(β) sebesar 80%. Perhitungan jumlah sampel untuk masing-masing


kelompok pengamatan (pasien peritonitis perforasi dengan faktor risiko dan tanpa
faktor risiko) dapat dilakukan dengan persamaan di bawah ini: (Sudigdo, 2007)
2
1= 2=
( 2 )+ ( 1 1+22)

2
( 1‒ 2)

RR=2

Prevalensi kematian pada pasien peritonitis perforasi (P2) = 25% = 0,25

P1 = RR x P2 = 2 x 0,25 = 0,5

P = (P1+P2)/2 = (0,25+0,5)/2 = 0,375

Zα = 1,96; Zβ = 0,84

Q=1–P=1–0,375=0,625;Q1=1–P1=1–0,5=0,5;Q2=1–P2=1–0,25 = 0,75
2
1= 2=
( 2 )+ ( 1 1+22)

2
( 1‒ 2)
2
(1,96 2(0,375 0,625) + 0,84( ((0,5 0,5) + (0,25 0,75))
1= 2=

2
(0,5 ‒ 0,25)

n1 = n2 = 58

Berdasarkan rumus diatas didapatkan jumlah sampel 58 (n1 = n2), sehingga total

n = 58 x 2 = 116 sampel. Sehingga jumlah sampel secara keseluruhan (baik faktor

risiko positif maupun negatif) adalah 116 sampel.


4.7 Variabel Penelitian

4.7.1 Variabel bebas

Yang termasuk dalam variabel bebas adalah usia, faktor komorbiditas, onset,

eksudat, diameter perforasi, dan MODS.

4.7.2 Variabel tergantung

Yang termasuk variabel tergantung adalah kematian pada pasien peritonitis

perforasi.

4.8 Definisi Operasional Variabel

4.8.1 Kematian adalah berhentinya fungsi sistem sirkulasi jantung dan

pernafasan yang ditandai dengan tidak dapat diukurnya tanda vital.

Kematian yang dimaksud disini adalah meninggal setelah tindakan

pembedahan yang terjadi selama perawatan di rumah sakit.

4.8.2 Usia adalah selisih antara tanggal saat pasien masuk rumah sakit dan

tanggal lahir pasien. Usia didasarkan pada usia yang tercantum pada rekam

medis. Usia dibagi kedalam kelompok usia yaitu lebih dari 60 tahun dan

kurang atau sama dengan 60 tahun.

4.8.3 Faktor Komorbiditas merupakan penyakit lain yang menyertai penyakit

primer. Dikatakan terdapat faktor komorbid bila terdapat satu atau lebih

dari penyakit diabetes mellitus, hipertensi dan pneumonia.


Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya

hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja

dan atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita Diabetes

Melitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan dan

kesemutan. Batasan dari diabetes mellitus adalah Gula darah acak ≥ 200

mg/dl ( 11,1 mmol/L), Gula darah puasa ≥ 126 m g/dl (7 mmol/L)

(Fatimah, 2015)

Hipertensi, adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan

darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. (Soenarta,

et al., 2015)

Pneumonia, adalah infeksi pada satu atau kedua paru-paru yang dibuktikan

dengan temuan klinis, laboratorium, dan pada foto ronsen thorax yang

mengindikasikan pneumonia

4.8.4 Onset, adalah selisih waktu dari mulainya gejala sampai dilakukan tindakan

operasi.

4.8.5 Eksudat, adalah cairan peritoneum yang dilihat pada saat dilakukan

tindakan operasi, terbagi dalam dua kategori yaitu clear eksudat dan

purulen eksudat

4.8.6 Diameter perforasi, adalah ukuran diameter yang mengalami perforasi

pada hollow organ, bila terdapat lebih dari 1 perforasi maka yang dicari

adalah diameter terbesar.


4.8.7 Sepsis ditegakkan berdasarkan adanya dua atau lebih kriteria SIRS (suhu
tubuh > 38°C atau < 35°C, nadi > 90 x/menit, respirasi > 20 x/menit atau

9 3 9
PaCO2 < 32 mmHg dan jumlah lekosit > 12x10 sel/mm atau < 4x10

3
sel/mm ) dengan sumber infeksi yang jelas.

4.8.8 MODS adalah didapatkannya satu atau lebih disfungsi organ dari kriteria

berikut : i) Cardiovaskular: Tekanan darah sistolik <90mmHg atau mean

arterial pressure (MAP) <70mmHg; ii) Respiratory : PO2 > 50mmHg,

SO2 <0,80, pH<7,30, FiO2 < 200mmHg, atau dengan penggunaan

ventilator; iii) Renal: Produksi urin <0,5ml/Kg per jam atau level creatinin

> 1,2mg/dl; iv) Liver: Bilirubin level >1,2mg/dl atau albumin level <

2,7g/dl; v) Hematologi: Platelet <150.000/ul atau INR >1,2; vi) Neurologi:

Skor glasgow coma scale (GCS) < 15.

4.8.9 Keganasan adalah kanker, neoplasma, atau tumor yang ditandai dengan

pertumbuhan dan penyebaran jaringan yang abnormal. Keganasan

ditegakkan berdasarkan hasil PA yang sudah ada dan tercatat dalam rekam

medis.

4.8.10 Lokasi perforasi adalah lokasi terjadinya perforasi yang ditemukan saat

dilakukan operasi.

4.9 Alur Penelitian

Penderita peritonitis perforasi yang datang ke Unit Rawat Darurat RSUP

Sanglah Denpasar dijadikan sampel setelah memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. Setelah layak menjadi sampel, penderita peritonitis perforasi dinilai

faktor risiko yang memprediksi terjadinya kematian, seperti: usia, jenis, faktor
komorbid, onset, lokasi non kolon, eksudat, diameter perforasi, keganasan dan

MODS. Selama dirawat di RS Sanglah penderita mendapat perawatan yang sesuai

dengan protokol terapi. Pasien kemudian di evaluasi selama perawatan untuk

mengetahui apakah terjadi kematian atau tidak. Data-data yang telah diperoleh

kemudian dianalisis dan hasilnya disajikan dalam laporan.

Populasi Target

Kriteria Inklusi

Populasi Terjangkau
Sistematik
Sampling
Sampel Yang Dikehendaki

Kriteria Eksklusi

Sampel Yang Diteliti

(Eligible Subject)

Peritonitis Generalisata

Meninggal Hidup

Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-)

Analisa Data: Tabulasi silang 2


x2, Relatif Risk, Uji Regresi,
Skoring, Uji Validitas Skoring
Hasil Penelitian

Gambar 4.2 Skema alur penelitian

4.10 Rencana Analisis Statistik

Rencana analisis statistik dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat,

bivariat, dan multivariat. Data diolah dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis data

bersifat kuantitatif dan deskriptif.

Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subyek dan

variabel dari penelitian ini. Variabel dengan skala data numerik akan ditampilkan

dalam bentuk rerata dan standar deviasi (SD). Sedangkan variabel dengan skala

data kategorikal digambarkan dengan frekuensi relatif (jumlah dan persentase).

Hasil analisis univariat akan disajikan dengan tabel distribusi tunggal.

Berdasarkan analisis univariat maka akan dapat dinilai kerepresentatifan dari

sampel penelitian. Dalam analisis univariat, variabel yang dianalisis adalah

sebagai berikut:

a. Distribusi proporsi usia, faktor komorbid, onset, eksudat, diameter perforasi,

dan MODS.

b. Kejadian pasien peritonitis perforasi yang meninggal

Analisis bivariat bertujuan untuk menilai pengaruh suatu variabel bebas

sebagai faktor risiko terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi.

Dilakukan dengan cara membuat tabulasi silang 2 x 2, dengan contoh sebagai

berikut:
Tabel 4.1 Tabulasi silang 2 x 2

Meninggal Hidup
Faktor Risiko (+) A B A+B
Faktor Risiko(-) C D C+D
A+C B+ D

Setelah membuat tabulasi silang 2 x 2 , kemudian dihitung ukurun asosiasi yaitu

Ods Ratio (OR) dengan rumus sebagai berikut:

OR =

Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariat ini adalah chi-square test

pada batas kemaknaan (p=0,05).

Analisis multivariat bertujuan untuk menilai pengaruh murni suatu variabel

bebas sebagai faktor risiko terjadinya kematian pada pasien dengan peritonitis

perforasi dengan memperhitungkan variabel bebas lainnya. Analisis multivariat

dilakukan dengan melakukan uji logistic dengan metode backward conditional.

Ukuran asosiasi yang didapat dari uji ini adalah hazard ratio yang nilainya setara

dengan adjusted Ods Ratio (adjusted OR). Nilai Adjusted OR yang didapat

berdasarkan hasil analisis multivariabel merupakan dasar pembobotan dalam

pembuatan skor. Kemaknaan secara statistik dinilai dengan 95% CI dan nilai P.

Setelah dilakukan analisis multivariat maka akan didapatkan faktor risiko apa

saja yang berperan sebagai prediktor terjadinya kematian. Kemudian bisa dibuat

skoring untuk memprediksi kematian dini pada pasien peritonitis perforasi. Untuk
menilai validitas masing-masing faktor risiko dan validitas skor yang telah dibuat

maka dillakukan uji validitas yang terdiri dari dua tahap, yaitu:

1. analisis ROC

2. Penilaian sensitifitas dan spesifisitas.

Analisis ROC bertujuan untuk menilai kemampuan skor yang telah dibuat

untuk memprediksi kematian pasien peritonitis perforasi. Kemampuan skor

disebut baik jika nilai area under curve (AUC ≥ 0,7). Selain menilai kemampuan

dari skoring menggunakan AUC, ROC analisis juga berguna untuk menentukan

titik potong terbaik dari skor untuk memprediksi terjadinya kematian. Penilaian

sensitifitas dan spesifisitas dibuat dengan memasukkan data melalui program

SPSS statistik v23.


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Deskritif Data

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk


mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya kematian pada pasien dengan
peritonitis perforasi. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 116 responden.
Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subyek dan
variabel dari penelitian ini (tabel 5.1).

Tabel 5.1
Karakteristik responden penelitian
Variabel Outcome n = 116
Meninggal Hidup
Jenis kelamin
Laki-laki 40 (34,4%) 46(39,6%) 86 (74.1%)
Perempuan 19 (16,3%) 11(9,4%) 30 (25.9%)
Umur
≥ 60 tahun 41(35,3%) 8(6,8%) 49 (42.2%)
< 60 tahun 18(15,5%) 49(42,2%) 67 (57.8%)
Faktor Komorbid
Ada 32(27,5%) ) 3(2,5) 35 (30.2%)
Tidak 27(23,2% ) 54(46,5%) 81 (69.8%)
Onset
≥24 jam 44(37,9%) 22(18,9%) 66 (56.9%)
< 24 jam 15 (12,9%) 35(30,1%) 50 (43.1%)
Eksudat
Purulen 59 (50,8%) 47(40,5%) 106 (91.4%)
Clear 0 (0%) 10(8,6%) 10 (8.6%)
Diameter
≥0,5 cm 53(45,6%) 28(24,1%) 81 (69.8%)
< 0,5 cm 6(5,1%) 29(25%) 35 (30.2%)
MODS
Ada 55(47,4%) 4(3,4%) 64 (55.2%)
Tidak 9(7,7%) 48(41,3%) 52 (44.8%)
Lokasi
Ileum 6(5,2%) 0(0%) 6(5,2%)
Apendik 8(13,6%) 39(33,6%) 47(40,5%)
Gaster 42(36,2%) 15(12,9%) 57(49,1%)
Colon 1(0,9%) 1(0,9%) 2(1,8%)
Duodenum 1(0,9%) 1(0,9%) 2(1,8%)
Sigmoid 0(0%) 1(0,9%) 1(0,9%)
Jejunum 1(0,9%) 0(0%) 1(0,9%)
Penyebab perforasi
Thypoid 5(4,3%) 0(0%) 5(4,3%)
Appendisitis 8(6,8%) 39(33,6%) 47(40,5%)
Ulkus peptikum 38(32,7%) 15(12,9%) 53(45,7%)
Trauma 6(5,1%) 1(0,9%) 7(6%)
Malignancy 2(1,7%) 2(1,7%) 4(3,4%)

Pada table 5.1.karakteristik dapat dideskripsikan karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu 86 responden (74,1%).

Berdasarkan kategori umur terbanyak pada umur < 60 tahun sebanyak 67

responden (57,8%). Kategori faktor komorbid yang menyertai didapatkan ada

faktor komorbid sebanyak 32 responden (27,5%) dan tanpa ada faktor komorbid

sebanyak 54 reponden (46, 5%).

Berdasarkan lokasi perforasi didapakan lokasi terbanyak pada gaster yang

berjumlah 57(49,1%) diikuti lokasi perforasi pada appendik 47(40,5%).Kategori

berdasarkan etiologi dari terjadinya peritonitis perforasi terbanyak adalah

disebabkan oleh ulkus peptikum 53(45,7%), sedangkan etiologi berdasarkan non

infeksi (trauma dan malignansi) hanya 4(3,4%).

Kategori berdasarkan onset kejadian dapat dideskripsikan bahwa onset ≥

24 jam berjumlah 66 responden (56.9%). Kategori berdasarkan jenis eksudat

didapatkan data eksudat purulent sebanyak 106 responden (91,4%). Kategori

berdasarkan diameter perforasi terbanyak didapatkan data 53 responden (45,6%)


tidak survive. Kategori berdasarkan MODS didapatkan data pasien dengan

peritonitis perforasi yang didapatkan dengan adanya MODS tidak survive

sebanyak 55 responden (47,4%).

5.2. Hubungan Faktor Risiko dengan Mortalitas Pada Pasien Peritonitis

Perforasi

Analisis bivariat bertujuan untuk menilai pengaruh suatu variabel bebas

sebagai faktor risiko terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi.

Dilakukan dengan cara membuat tabulasi silang 2 x 2 (tabel 5.2).

Table 5.2
Hubungan usia, faktor komorbid, lokasi, onset, eksudat, diameter perforasi,
etiologi dan MODS

Variable Mortalitas OR p-value


Meninggal Hidup
Usia
≥ 60 tahun 41(35,3%) 8(6,8%) 13,951 0,000
< 60 tahun 18(15,5%) 49(42,2%)
Komorbid
Ada 32(27,5%) 3(2,5) 21,333 0.000
Tidak 27(23,2% ) 54(46,5%)
Onset
≥ 24 jam 44(37,9%) 22(18,9%) 4,667 0,000
< 24 jam 15 (12,9%) 35(30,1%)
Eksudat
Purulent 59 (50,8%) 47(40,5%) 0,443 0,001
Clear 0 (0%) 10(8,6%)
Diameter
≥ 0,5 cm 53(45,6%) 28(24,1%) 9, 149 0,000
< 0,5 cm 6(5,1%) 29(25%)
MODS
Ada 55(47,4%) 4(3,4%) 73,333 0,000
Tidak 9(7,7%) 48(41,3%)
Lokasi
Colon 7(6%) 2(1,7%) 3,702 0,093
Non colon 52(44,8%) 55(47,4%)
Penyebab
Infeksi 51(43,9%) 54(46,5%) 0,354 0,127
Non infeksi 8(6,8%) 3(2,5%)

Pada table 5.2 diatas didapatkan data faktor risiko umur ≥ 60 tahun

sebanyak 35,3% meninggal berhubungan signifikan dengan kematian pada

peritonitis perforasi dengan p-value 0,000 < 0,05 dengan OR 13, 951 > 1 maka

umur menjadi faktor risiko meningkatkan terjadinya kematian pada peritonitis

perforasi. Umur ≥ 60 tahun berpeluang terjadi kematian pada peritonitis perforasi

sebanyak 13,951.

Berdasarkan letak dari perforasi didapatkan data tidak ada hubungan yang

sigifikan antara letak perforasi dengan kematian pada peritonitis perforasi dengan

p-value 0,093 > 0,05. Pada tabel didapatkan lokasi non colon terdapat angka

kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi dicolon. Berdasarkan

etiologinya didapatkan data tidak berhubungan yang signifikan antara etiologi

dengan kematian pada peritonitis perforasi dengan p-value 0,127 > 0,05. Jumlah

kematian pada kasus infeksi lebih banyak daripada kasus non infeksi.

Adanya faktor komorbid juga berhubungan signifikan dengan kematian

peritonitis perforasi dengan p-value 0,000 < 0,05dan OR 21,333 > 1 yang berarti

adanya komorbid pada peritonitis menjadi factor risiko yang meningkatkan

terjadinya kematian pada peritonitis perforasi sebanyak 21,333 kali.

Onset dari keluhan sampai diambil tindakan ≥ 24 jam didapatkan ada

hubungan yang signifikan dengan kematian pada pasien peritonitis perforasi


dengan p-value 0,000 dan OR 4,667 > 1 yang berarti onset ≥ 24 jam menjadi

faktor risiko yang meningkatkan terjadinya kematian pada peritonitis perforasi.

Jenis eksudat didapatkan hubungan yang signifikan dengan kematian peritonitis

perforasi dengan p-value 0,001 tetapi OR 0,443 <1 yang berarti jenis eksudat

menjadi faktor preventif terhadap terjadinya kematian pada peritonitis perforasi.

Diameter perforasi didapatkan data berhubungan signifikan dengan

kematian pada pasien peritonitis perforasi dengan p-value 0,000 < 0,05dan OR

9,149 > 1 yang berarti diameter perforasi ≥ 0,5 cm menjadi faktor risiko yang

meningkatkan kematian pada pasien peritonitis perforasi sebanyak 9,149 kali.

Begitu pula adanya MODS pada pasien peritonitis perforasi berhubungan secara

signifikan dengan kematian pada pasien peritonitis perforasi dengan p-value 0,000

< 0,05 dan OR 73,333 > 1 yang berarti MODS menjadi faktor risiko yang

meningkatkan terjadinya kematian pada pasien dengan peritonitis perforasi

sebanyak 73,333 kali.

5.3. Pengaruh Murni Faktor Risiko Terhadap Mortalitas Terjadinya


Kematian pada Pasien Peritonitis Perforasi

Analisis multivariate dilakukan dengan uji regresi logistic dengan metode

backward conditional untuk mengetahui pengaruh murni yang menyebabkan

kematian pada pasien peritonitis perforasi. Uji regresi logistic dengan metode

backward conditional melalui beberapa tahapan untuk menyatakan bahwa model

uji dapat dilakukan. Pada table Omnibus Tests of Model Coefficients didapatkan

nilai p-value pada model setiap step uji 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa variable

bebas dapat memberikan pengaruh nyata pada variable terikat (lampiran).


Selanjutnya pada uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai p-value padasetiap

step> 0,05 yang berarti menerima Ho menunjukkan bahwa model uji dapat

dilakukan karena ada perbedaan yang signifikan antara model dengan

observasinya (lampiran).

Tabel 5.3
Faktor risiko usia, faktor komorbid, onset, eksudat, diameter perforasi dan
MODS terhadap outcome

Variable B p-value OR IK 95%


Step1
usia 1.519 .040 4.566 1.070-19.487
komorbid 2.075 .033 7.964 1.177-53.898
onset .413 .550 1.511 .389-5.866
eksudat 19.200 .999 218100644.381 .000 .
diameter .545 .527 1.725 .319-9.324
MODS 3.335 .000 28.070 6.356-123.968
Constant -31.441 .998 .000
Step2
usia 1.498 .042 4.475 1.059-18.915
komorbid 2.177 .024 8.818 1.327-58.585
eksudat 19.314 .999 244318251.181 .000 .
diameter .584 .497 1.793 .332-9.686
MODS 3.414 .000 30.374 6.956-132.628
Constant -31.266 .998 .000
Step3
usia 1.590 .029 4.902 1.179-20.384
komorbid 2.265 .021 9.633 1.406-65.981
eksudat 19.681 .999 352629887.560 0.000- .
MODS 3.538 .000 34.391 8.152-145.097

Pada table 5.3 step 1 didapatkan data umur, factor komorbid dan MODS

merupakan faktor yang mempunyai pengaruh murni terhadap kejadian kematian

pada pasien peritonitis perforasi dengan p-value < 0,05 sedangkan onset kejadian,

eksudat dan diameter perforasi tidak mempunyai pengaruh murni terhadap


kematian pada pasien dengan peritonitis perforasi. Hal ini dapat dilihat pada step 2

dan step 3 setelah diujikan bersama-sama umur dengan p-value 0,029, komorbid

dengan p-value 0,029 dan MODS dengan p-value 0,000 < 0,05 yang berarti umur,

komorbid dan MODS mempunyai pengaruh murni terhadap kematian pada pasien

dengan peritonitis perforasi dengan nilai Exp (B) > 1 yang berarti faktor umur,

komorbid dan MODS menjadi faktor risiko yang meningkatkan terjadinya

kematian pada pasien peritonitis perforasi. Dari hasil regresi logistik didapatkan:

Skor mortalitas = (1,5x Usia) + (2 x Faktor Komorbid) + (3,5 x MODS)

Tabel Skor prognostik pasien dengan peritonitis

Variabel Skor
Umur > 60 tahun 1,5
≤ 60 tahun 0
Faktor komorbid Ya 2
Tidak 0
MODS Ya 3,5
Tidak 0

Model ini memiliki hasil tes Hosmer and Lemeshow p=0.6 yang mana lebih besar

dari 0.05 yang menunjukkan bahwa model ini valid sebagai suatu persamaan

probabilitas. Dari persamaan tersebut, didapatkan suatu kurva ROC dengan AUC

0,930 (p<0,001) yang menandakan bahwa persamaan signifikan secara statistik

dalam memprediksi mortalitas.


Dari hasil plot grafik sensitivitas dan spesifisitas serta perhitungan indeks Youden,

didapatkan bahwa cut off point untuk skoring ini adalah 4,25 atau dibulatkan

menjadi 5. Skor mortalitas di atas atau sama dengan 5 diprediksi akan meninggal,

sedangkan skor dibawah 5 diprediksi akan tetap bertahan hidup.


1
0.9
Sensitivitas/S
pesifisitas 0.8
0.7
0.6
0.5
Sensitivitas
0.4
Spesifisitas
0.3
0.2
0.1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cut off point

Penilaian sensitifitas dan spesifisitas skor prognostik dibuat dengan tabulasi


silang, seperti tabel dibawah. Sensitifitas skor prognostik ini adalah 93,2%,
spesifisitas 84,2%.

Skor Meninggal Hidup Jumlah


>5 48 4 52
=<5 9 55 64

Total 57 59 116
Probabilitas skoring dan meninggal

97%
96%
96%
95%
95%
94%
94%
93%
93%
92%
92%
91%
91%
90%
7.5 7 6.5 6 5.5 5

Usia Skor Faktor Skor MODS Skor Total Prediksi Probabilitas


komorbid
<60 0 Ada 2 Ada 3,5 5,5 Meninggal 93,5%
tahun
<60 0 Ada 2 Tidak 0 2 Hidup -
tahun ada
<60 0 Tidak 0 Ada 3,5 3,5 Hidup -
tahun ada
<60 0 Tidak 0 Tidak 0 0 Hidup -
tahun ada ada
>60 1,5 Ada 2 Ada 3,5 7 Meninggal 96%
tahun
>60 1,5 Ada 2 Tidak 0 3,5 Hidup -
tahun ada
>60 1,5 Tidak 0 Ada 3,5 5 Meninggal 91,5%
tahun ada
>60 1,5 Tidak 0 Tidak 0 1,5 Hidup -
tahun ada ada
5.4. Pembahasan

Infeksi intra-abdominal diidentifikasikan sebagai penyebab kedua

terbanyak severe sepsis pada intensive care unit (ICU). Penelitian terbaru

menunujukkan hubungan antara infeksi intra-abdominal dengan tingkat mortalitas

yang signifikan. (Lopez, et al., 2011).Tingkat mortalitasnya dapat hanya 1% saja

pada pasien dengan apendisitis perforasi, namun bisa mencapai 20% atau lebih

pada pasien dengan perforasi colon atau trauma tajam pada abdomen, bahkan

dapat mencapai 81% pada pasien yang mendapatkan infeksi intra abdominal pasca

operasi. (Marshall., 2004). Perforasi juga merupakan suatu kegawat daruratan

bedah yang berimplikasi jelek terhadap prognosis apabila tidak ditangani secara

agresif dan adekuat (Behrman, 2006; Lohsiriwat, dkk., 2009; Møller, dkk., 2012).

Oleh karena itu perlu dipertimbangkan suatu upaya untuk memprediksi outcome

pasien peritonitis perforasi dengan lebih akurat, tepat dan memiliki tingkat

akurasis cukup tinggi dalam identifikasi awal, menstratifikasi pasien yang

beresiko tinggi yang berdampak pada alokasi pembiayaan, pembuatan keputusan

klinis yang tepat, penatalaksaan perioperatif secara adekuat dan pada akhirnya

dapat menurunkan mortalitas akibat peritonitis perforasi. Pemberian edukasi

kepada pihak keluarga terutama kasus yang mempunyai prognosis jelek dapat

diberikan sejak dini melalui upaya ini.

Faktor prognostik yang dipilih untuk diteliti pada penelitian ini, didasarkan

pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Peneliti mendapatkan

beberapa variable yang diteliti dapat menjadi faktor prognostik terhadap outcome,
yaitu: usia, faktor komorbid, lokasi non colon onset lebih dari 24 jam, eksudat

purulen, diameter perforasi lebih dari 0,5cm, keganasan dan adanya MODS.

Diantara variable yang bermakna tersebut didapatkan tiga faktor prognostik yang

paling berpengaruh terhadap terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi,

yaituusia, faktor komorbid, dan adanya MODS. Dengan adanya variabel yang

lebih spesifik, diharapkan sistem skor ini dapat lebih akurat dapat memprediksi

mortalitas pasca operasi. Penggunaan skor baru ini sangat sederhana karena tidak

melibatkan pemeriksaan penunjang yang canggih, hanya anamnesa dan

pemeriksaan laboratorium sederhana.

Usia lebih dari 60 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya

kematian pada pasien peritonitis perforasi. Padapenelitian ini dimana usia yang

lebih dari 60 tahun merupakan salah satu faktor resiko yang mempengaruhi

terjadinya mortalitas. Dari 49 pasien yang berusia ≥ 60 tahun, sebanyak 41 pasien

mengalami kematian pasca operasi. Sebaliknya, dari 67 pasien berusia < 60 tahun

didapatkan hanya 18 pasien yang meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan temuan

dari beberapa penelitian yang menyebutkan umur merupakan prediktor

independen dari outcome pasien peritonitis perforasi.(Kim, et al., 2012; Testini, et

al., 2003; dani, et al., 2015; Kocer, et al., 2007; Lohsiriwat, et al., 2009; Thorsen,

et al., 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas,didapatkan bahwa

penderita dengan usia lebih tua memiliki prognosis atau outcome yang lebih

buruk, terutama pada umur diatas 60 tahun. Hal ini terjadi karena banyaknya Co-

morbid yang dimiliki oleh penderita sejalan dengan meningkatnya usia yang
disebabkan karena faktor risiko etiologi seperti merokok, alkoholisme, dan

penggunaan NSAID. (Thomas, et al., 2000).

Dilihat dari tabel bivariat berdasarkan lokasi perforasi didapatkan pasien

yang mengalami kematian paling banyak terjadi pada gaster perforasi. Hal ini

sesuai dengan beberapa literatur yang ada serta sesuai menurut skor MPI bahwa

lokasi pada daerah non kolon beresiko terjadinya kematian lebih tinggi dari daerah

kolon. Tetapi bila dilihat dari hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa lokasi

terjadinya peritonitis bukan merupakan faktor risiko penyebab kematian. dengan

p-value 0,093 > 0,05.Dari beberapa literatur yang ada, hal ini dapat disebabkan

oleh karena dipengaruhi oleh adanya faktor komorbid, usia dan penanganan

operasi yang lebih maju dan lebih baik dari tahun ke tahun. (Banu., 2015; Paryani,

et al.,2013; Dani, et al., 2015).

Berdasarkan etiologinya dapat dilihat bahwa etiologi terbanyak disebabkan

oleh ulkus peptikum, sedangkan malignancy/keganasan hanya 4 (3,4%). Pada skor

MPI keganasan digunakan dalam skor untuk memprediksi terjadinya kematian.

Beberapa peneliti menghubungkan bahwa etiologi beresiko terjadinya mortalitas

karena berhubungan dengan faktor bakteriologi dan imunologi seperti halnya pada

keganasan. (Kocer, et al., 2007; Lohsiriwat, et al., 2009; Thorsen, et al., 2013).

Sedangkan pada penelitian ini etiologi dari keganasan hanya didapatkan 3,4%.

menurut peneliti kurangnya sample penelitian pada keganasan mempengaruhi

outcome terjadinya kematian.

Dari 35 pasien dengan faktor komorbid didapatkan 32 pasien meninggal

dan dari 81 pasien tanpa adanya faktor komorbid hanya 27 yang mengalami
mortalitas. Hal ini sejalan dengan beberapa literatur yang ada. (Ko, et al., 2004;

Noguiera, et al., 2003; Unver, et al., 2015). Faktor komorbid yang dilaporkan

berperan terhadap terjadinya kematian adalah hipertensi, diabetes mellitus, dan

pneumonia. (Kim, et al., 2012). Pasien dengan komorbiditas mempunyai

risikoyang signifikan terhadap terjadinya mortalitas pasca operasi. Hal ini

diasosiasikan dengan oxygen delivery. (Kim, et al., 2012). Beberapa faktor

komorbid tersebut berkaitan erat teradap respon inflamasi lokal jaringan. Ketika

infeksi dan inflamasi peritoneum tidak terkandung dalam kompartemen mediator

inflamasi abdomen, drainase limfatik dan peningkatan permeabilitas dari

peritoneum yang terinflamasi akan menyebabkan bakteri dan endotoksinnya

ditransfer ke dalam kompartemen sistemik. Dalam sirkulasi, faktor sistemik

menyebabkan sel-sel (seperti, endotel, PMN, sel fagositik mononuclear, dan sel T)

menjadi aktif sehingga menyebabkan terjadinya aktivasi sistemik. Akibatnya yang

terjadi adalah meningkatnya permeabilitas organ, menurunnya oksigenasi, dan

terjadi kegagalan organ. (Zinner, et al., 1997)

Sebanyak 56,9% pasien yang mendapatkan penanganan operasi lebih dari 24

jam mulai timbulnya gejala peritonitis. Penulis berpendapat bahwa perbedaan

karakteristik sampel terutama yang berhubungan dengan tingkat pendidikan dan

pengetahuan yang rendah, seperti waktu yang dibutuhkan antara terjadinya

perforasi sampai tiba di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan > 24 jam

mempengaruhi identifikasi awal serta penanganan dini terhadap penyakit ini.

Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh karena penanganan pasca operasi pasien

dengan peritonitis perforasi yang kurang adekuat di tempat peneliti, keterbatasan


perawatan ruang intensif pasca operasi, layanan rujukan yang tidak tepat, jarak

yang jauh dari RS rujukan, dan hemodinamik yang tidak stabil sering

memperlama proses penanganan pasien dan atau memberikan suport yang tidak

maksimal pasca operasi, yang berakibat meningkatnya mortalitas dan morbiditas

pasien. Mortalitas yang disebabkan karena onset >24 jam pre operasi berhubungan

dengan terjadinya sepsis dan kegagalan fungsi organ. (Telkar, et al.,2010). Pada

analisa bivariate didapatkan hubungan signifikan antara onset lebih dari 24 jam

dengan kematian pada pasien dengan peritonitis perforasi. Hal ini sejalan dengan

beberapa penelitian sebelumnya yang mendapatkan hubungan yang signifikan

antara onset lebih dari 24 jam dengan outcome yang buruk pada pasien dengan

peritonitis perforasi. (Dani, et al., 2015; Telkar, et al., 2010;Tas, et al., 2015)

Pada analisa multivariate tidak didapatkan hubungan bermakna antara

onset lebih dari 24 jam dengan kematian pada pasien peritonitis perforasi.

Penelitian sebelumnya ada yang menyebutkan bahwa dari 150 pasien dimana 65

pasien dengan onset < 24 jam tidak mengalami mortalitas dan morbiditas, onset

24-48 jam sebanyak 27 pasien tidak terdapat mortalitas tetapi didapatkan

morbiditas berupa infeksi luka operasi sebanyak 2 orang dan waktu rawat inap

lebih lama. Sedangkan onset > 48 jam didapatkan mortalitas sebanyak 15 orang

dari 58 pasien dan 22 pasien mengalami infeksi luka operasi serta abses pelvis.

Hal ini dapat dipengaruhi oleh pemberian antibiotika yang adekuat serta

penanganan sepsis yang baik. (Surapaneni, et al., 2013).


Beberapa penelitian sebelumnya mengatakan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara eksudat purulen terhadap kematian.(Dani, et al., 2015;

Krishna, et al., 2016). Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Tas menemukan

bahwa diameter perforasi berkaitan erat terhadap terjadinya kematian. Pada

penelitian ini eksudat purulen serta diameter perforasi lebih dari 0,5 cm bukan

merupakan faktor yang signifikan terjadinya kematian pada pasien peritonitis

perforasi. Menurut peneliti ini dapat disebabkan karena penanganan awal pre

operatif di rumah sakit juga membantu menurunkan angka mortalitas pasca

operasi, seperti rehidrasi, dekompresi dan pemberian antibiotika dosis tinggi.

Pada studi ini didapatkan hubungan yang bermakna antara MODS dengan

terjadinya kematian pada pasien peritonitis perforasi. Penelitian terdahulu

konsisten dengan studi ini menyimpulkan bahwa MODS terbukti sebagai

prediktor kematian pada pasien peritonitis perforasi. (Murray & Coursin.,1994).

Telah dijelaskan sebelumnya pada pertemuan konsensus The European Society of

Intensive Care Medicine (EISCM) bahwa terjadinya MODS akan mempengaruhi

peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis respiratorik dimana akan

berkembang menjadi syok, gangguan asam basa, dan abnormalitas koagulasi yang

signifikan yang sehingga jatuh dalam keadaan iskemik dan asidosis laktat.

Beberapa hipotesis yang menginisiasi MODS seperti gut hypothesis, Endotoxin-

Macrophage Hypothesis, Tissue Hypoxia-Microvascular Hypothesis,

danIntegrated Hypothesis. Dimana semua hipotesis tersebut akan mengarah pada

kematian. (Dorinsky, 1990; Swank, 1996; Marik, 1993., Mythen, 1994., Kirton,

1998; Niels., 2003; Adib, 2007).


Penelitian ini mempunyai satu titik akhir, di mana umur > 60 tahun,

adanya faktor komorbid dan adanya MODS dapat menjadi faktor prognostik yang

kuat terhadap kejadian kematian pada pasien peritonitis perforasi. Skoring

prognostik yang disusun memiliki kemampuan prediktif yang baik karena nilai

area under curve pada analisa ROC lebih atau sama dengan (AUC 0,930), dengan

tingkat sensitifitas 93,2%, dan spesifisitas 84,2%.Skor prognostik ini diharapkan

bisa membantu memberikan inform consent yang lebih realistis pada keluarga

pasien, pembuatan keputusan klinis dan alokasi pembiayaan terutama di negara-

negara berkembang yang sistem dan fasilitas kesehatannya masih kurang. Skor ini

tentu saja masih perlu diuji kemampuannya, terutama dengan karakteristik subyek

penelitian yang berbeda.


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Dari penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Umur lebih dari 60 tahun, adanya faktor komorbid, adanya MODS
merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya kematian pada
pasien peritonitis perforasi.
2. Skor prognostik yang dibuat menunjukkan kemampuan prediktif yang baik
dengan AUC pada analisa ROC sebesar 0,930, tingkat sensitifitas 93,2%
dan spesifisitas 84,2%.

6.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah :

1. Skor prognostik yang dibuat bisa dimanfaatkan untuk pemberian inform


consent yang realistis, pembuatan keputusan klinis, dan alokasi sumber
daya dalam penanganan pasien-pasien peritonitis perforasi.
2. Untuk mendapatkan Skor yang valid maka diperlukan penelitian multi-
senter dengan jumlah sampel yang lebih besar, karakteristik pasien yang
lebih beragam, serta durasi penelitian yang lama.
3. Perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk menguji validitas dan
relevansi skor di Unit Gawat Darurat sehingga dapat digunakan secara luas
dan berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A. et al., 2015. Validation of boeys score in predicting morbidity and


mortality in peptic perforation peritonitis in northwestern india. Tropical
Gastroenterology, 36(4), pp. 256-260
Agarwal, S. et al., 2015. Prediction of outcome using the mannheim peritonitis
index in cases of peritonitis. J of Evidence Based Med & Hlthcare, Volume 2(35),
pp. 5387-5397
Ahmad, M. et al., 2013. Frequency of high boey score and its one month mortality
after surgery for perforated peptic ulcer disease. KJMS, 6(2), pp. 253-257
Akujobi, C. N. et al., 2006. Bacterial pathogens associated with secondary
peritonitis in lagos university teaching hospital (LUTH). Nigerian Journal of
Clinical Practice, 9(2), pp. 169-176
Arif, S. et al., 2016. Prognostic predictive value of mannheim peritonitis index in
secondary peritonitis: a prospective study. PJMHS, Volume 10(3), pp. 1024-1027
Balk, R. A. & Goyette, R. E., 2001. Multiple organ dysfunction syndrome in
patients with severe sepsis: more than just inflamation. International Congress and
Symposium, Series 249, pp. 37-58
Balzan, S. et al., 2006. Bacterial translocation: overview of mechanisms and
clinical impact. J Gastro and Hepatol, Volume 22, pp. 464-471
Banu, K. J., 2015. Non-malignant perforation: a study of various risk factors. Int
Surg J, 2(1), pp. 64-69
Baroni, G. et al., 2012. Inflamation and the peritoneal membrane: causes and
impact on structure and function during peritoneal dialysis. Mediator of
Inflamations, Volume 2012, pp.1-5
Basnet, R. B. & Sharma, V. K., 2010. Evaluation of predictive power of
mannheim peritonitis index. Postgraduate Medical Journal of NAMS, Volume
10(2), pp. 10-13
Batra, P. et al., 2013. Mannheim peritonitis index as an evaluative tool in
predicting mortality in patients of perforation peritonitis. CIB Tech Journal of
Surgery, 2(3), p. 30-36
Baue, A. E., 1993. The role of the gut in the development of multiple organ
dysfunction in cardiothoracic patients. Ann Thorac Surg, (55), pp. 822-829
Bertleff, M. J. & Lange, J. F., 2010. Perforated peptic ulcer disease: a review of
history and treatment. Dig Surg, Volume 27, pp. 161-169
Brealy, D. & Singer, M., 2000. Multi-organ dysfunction in the critically ill:
epidemiology, pathophysiology and management. Journal of te Royal College of
Physicians of London, 34(5), pp. 422-427
Buck, D. L. et al., 2012. Accuracy of clinical prediction rules in peptic ulcer
perforation: an observational study. Scandinavian Journal of Gastroenterology,
Volume 47, pp. 28-35
Budzynski, P. et al., 2015. The usefulness of the mannheim peritonitis index score
in assessing the condition of patients treated for peritonitis. Polski Przeglad
Chirurgiczny, 87(6), pp. 301-306
Butt, I. & Shrestha, B. M., 2008. Two-hit hypothesis and multiple organ
dysfunction syndrome. J Nepal Med Assoc, 47(170), pp. 82-85
Caruntu, F. A. & Benea, L., 2006. Spontaneous bacterial peritonitis: pathogenesis,
diagnosis, treatment. J Gastrointest Liver Dis, 15(1), pp. 51-56
Cavallaro, A. et al., 2008. Management of secondary peritonitis our experience.
Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol, Volume 303, pp. L355–L363
Chakma, S. et al.,2013. Spectrum of perforation peritonitis. Journal of Clinical
and Diagnostic Research, Volume 7(11), pp. 2518-2520
Chalya, P. L. et al., 2011. Clinical profile and outcome of surgical treatment of
perforated peptic ulcer in northwestern tanzania: a tertiary hospital experience.
WJES, 6(31), pp. 1-10
Chandra, S. S. & Kumar, S. S., 2009. Definitive or conservative surgery for
perforated gastric ulcer? – an unresolved problem. International Journal of
Surgery, Volume 7, pp. 136-139
Cheadle, W. G. & Spain, D. A., 2003. The continuing challenge of intra-
abdominal infection. Am J Surg, 186(5A), pp. 155-225
Cheong, Y. C. et al., 2001. Peritoneal healing and adhesion
formation/reformation. Human Reproductive Update, Volume 7, pp. 556-566
Christensen, S. et al., 2007. Short-term mortality after perforated or bleeding
peptic ulcer among elderly patients: a opulation-based cohort study. BMC
Geriatrics, 7(8), pp. 1-8
Christopher, J. et al., 1998. Increased intestinal permeability is associated with the
development of multiple organ dysfunction syndrome in critically ill ICU patients.
Am J Respir Crit Care Med, Volume 158, pp. 444-451
Correia, M. M. et al., 2001. Prediction of death using the mannheim peritonitis
index in oncologic patients. Revista Brasileira de Cancerologia, 47(1), pp. 63-68
Dani, T. et al., 2015. Evaluation of prognosis in patients with perforation
peritonitis using mannheim peritonitis index. International Journal of Scientific
and research publications, Volume 5(5), pp. 1-35
Dordevic, I. Et al., 2011. Treatment of perforative peptic ulcer. Scientific Journal
of the Faculty of Medicine in Nis, 28(2), pp. 95-107
Doyle, J. et al., 2011. Best practice in general surgery guideline #4: management
of intra-abdominal infections. TASC, pp. 1-26
Eckmann, C. et al., 2011. Antimicrobial treatment of complicated intra-abdominal
infection and the new IDSA guidelines- a commentary and an alternative
european approach according to clinical definitions. Eur J Med Res, Volume 16,
pp. 115-126
Fatimah, R. N., 2015. Diabetes mellitus tipe 2. J Majority, Volume 4(5), pp. 93-
101
Fendrick, A. M. et al., 2005. Guidelines for clinical care: peptic ulcer disease.
UMHS peptic ulcer guideline, pp. 1-7
Gharehbaghy, M. M. & Rafeey, M., 2001. Acute gastric perforation in neonatal
period. Medical Journal of Islamic Academy of Sciences, 14(2), pp. 67-69
Gona, S. K. et al., 2015. Postoperative morbidity and mortality of perforated
peptic ulcer: retrospective cohort study of risk factors among black africans in
cote d’ivoire. Gastroenterology Research and Practice, Volume 2016, pp. 1-7
Goudar, B. et al., 2010. Perforated peptic ulcer disease: factors predicting the
mortality and morbidity in a tertiary care centre in southern india. The Internet
Journal of Surgery, Volume 27(2), pp. 1-5
Gulzar, J. S. et al., 2016. Improving outcome in perforated peptic ulcer emergency
surgery by boey scoring. Int Surg J, (4), pp. 2120-2128
Hau, T., 2003. Peritoneal defense mechanisms. Turk J Med Sci, Volume 33, pp.
131-134
Inamdar, M. F. & Naresh, K. L., Effectiveness of mannheim peritonitis index
scoring system in predicting the morbidity and mortality in peritonitis due to
hollow viscous perforation. International Journal of Biomedical Research, 05(12),
pp. 765-770
Johnson, C. C. et al., 1997. Peritonitis: update on pathophysiology, clinical
manifestations, and management. Clinical Infection Diseases, Volume 24, pp.
1035-1047
Khan, P. S. et al., 201. Predictors of mortality and morbidity in peritonitis in a
developing country. Ulusal Cer Derg, Volume 29, pp. 124-130
Kim, J. M. et al., 2012. Analysis of risk factors for postoperative morbidity in
perforated peptic ulcer. J Gastric Cancer, 12(1), pp. 26-35
King, M., 1990. Peritonitis and intra-abdominal abcess-pelvic and sub-phrenic.
Primary Surgery, Volume 1, pp. 1-16
Krishna, V. M. et al., 2016. Evaluation of Mannheim peritonitis index in
predicting the prognosis of hollow viscus perforation. International Journal of
Medical Science and Public Health, Volume 6(2), pp. 250-256
Lamme, B., 2005. Current concepts in secondary peritonitis. Surgical treatment
strategies in intra-abdominal infection. Amsterdam: UvA, pp. 1-47
Lee, F. Y. Et al., 2001. Predicting mortality and morbidity of patients operated on
for perforated peptic ulcers. Arch Surg, Volume 136, pp. 90-93
Lee, J. Y. Et al., 2015. Perioperative risk factors for in-hospital mortality after
emergency gastrointestinal surgery. Medicine, 95(5), pp. 1-5
Leeman, M. F. et al., 2013. The management of perforated gastric ulcers.
International Journal of Surgery, Volume 11, pp. 322-324
Lopez, N. et al., 2011. A comprehensive review of abdominal infections. WJES,
6(7), pp. 1-10
Malangoi, M. A. & Inui, T.,2006. Peritonitis-the western experience. World J
Emerg Surg. Volume 1, pp.1-5
Marshall, J. C & Innes, M., 2003. Intensive care unit management of intra-
abdominal infection. Crit Care Med, 31(8), pp. 2228-2237
Marshall, J. C., 2004. Current focus. Intra-abdominal infections. Elsevier, Volume
6, pp. 1015-1025
Mazuski, J. E. & Solomkin, J. S., 2009. Intra-abdominal infections. J suc, pp. 421-
437
Menekse, E. et al., 2015. A practical scoring system to predict mortality in patient
with perforated peptic ulcer. WJES, 10(7), pp. 1-6
Menyar, A. E., 2012. Multiple organ dysfunction Syndrome (MODS): Is it
preventable or inevitable. International Journal of Clinical Medicine, (3), pp. 722-
730
Mieny, C. J. & Mennen, U., 2013. Principles of surgical patient care. Volume II,
pp. 1-96
Moller, M. H. et al., 2011. The peptic ulcer perforation (PULP) score: a predictor
mortality following peptic ulcer perforation. A cohort study. Acta Anaesthesiol
Scand, pp. 1-8
Moore, K. L. & Agur, A. M., 2007. Essential clinical anatomy, 3rd ed. Canada:
Toronto University

Muralidhari, V. A. et al., 2014. Efficacy of mannheim peritonitis index (MPI)


score in patients with secondary peritonitis. Journal of Clinical and Diagnosis
Research, Volume 8(12), pp. NC01-NC03
Mustafa, M. et al., 2015. Risk factors, diagnosis, and management of eptic ulcer
disease. IOSRJournals, 14(7), pp. 40-46
Nachiappan, M. & Litake, M. M., 2016. Scoring systems for outcome prediction
of patients with perforation peritonitis. Journal of Clinical and Diagnosis
Research, Volume 10(3), pp. P001-P005
Nag, D. S., 2015. Assesing the risk: scoring systems for outcome prediction in
emergency laparotomies. BioMedicine, 5(4), pp. 7-16
Nakano, A. et al., 2008. 30-days mortality in patients with perforated peptic ulcer:
A national audit. Risk Management and Healthcare, Volume 1, pp. 31-38

Nazha, B. et al., 2015. Hypoalbuminemia in colorectal cancer prognosis:


nutritional marker or inflamatory surrogate?. World J Gastrointest Surg, 7(12), pp.
370-77
Nichakankitti, N. & Athigakunagorn, J., 2016. The accuracy of prognostic scoring
systems for post-operatvie morbidity and mortality in patients with perforated
peptic ulcer. International Surgery Journal, 3(1), pp. 286-290
Nomani, A. Z. et al., 2014. A new prognostic scoring system for perforation
peritonitis secondary to duodenal ulcers. JPMA, Volume 64, pp. 53-59
Notash, A. Y. et al., 2005. Evaluation of mannheim peritonitis index and multiple
organ failure score in patients with peritonitis. Indian Journal of Gastroenterology,
Volume 24, pp. 197-200
Nystrom, P. O., 1998. The systemic inflammatory response syndrome: definitions
and aetiology. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, Volume 44, pp. 1-7
Ordonez, C. A. & Puyana, J. C., 2006. Management of peritonitis in the critically
ill patient. Surg Clin North Am, 86(6), pp. 1323-1349
Paryani, J. J. et al., 2013. Etiology of peritonitis and factors predicting the
mortality in peritonitis. NJCM, Volume 4(1), pp. 145-148
Patel, R. Et al., 2011. Applied Peritoneal anatomy-a pictorial review. Europ
Sosciety of Radiol, pp. 1-54
Patil, V. A. et al., 2017. Effectiveness of mannheim peritonitis index in predicting
the morbidity and mortality of patients with hollow viscous perforation.
International Journal of Research in Medical Sciences, 5(2), pp. 533-536
Pisanu, A. et al., 2011. Factors predicting in-hospital mortality of patients with
diffuse peritonitis from perforated colonic diverticulitis. Ann Ital Chir, pp. 1-6
Plas, H. V. D., 2012. Microbiological evaluation and antimicrobial treatment of
complicated intra-abdominal infections. South Afr J Epidemiol Infect, 27(2), pp.
53-57
Prabhu, V. V. Et al., 2015. Does resuscitation in perforation-operation interval
modify the mortality in duodenal perforations?. International Journal of Medicine
and Public Health, 5(1), pp. 110-114
Ramachandra, M. L. et al., 2007. Clinical study and management of secondary
peritonitis due to perforated hollow viscous. Arch Med Sci, 3(1), pp. 61-68
Ramakrishnan, K. & Salinas, R. C., 2007. Peptic ulcer diseases, American Family
Physician, Volume 76(7), pp. 1005-1012
Rendy, L. et al., 2017. Multiplr organ dysfunction syndrome (MODS) prediction
score in multi-trauma patients. International Journal of Surgery, Volume 8, pp. 1-6

Roy, S., 2016. Clinical study of peptic ulcer disease. Asian Journal of Biomedical
and Pharmaceutical Sciences, 6(53), pp. 41-43
Ruigomez, A. et al., 2000. Overall mortality among patients surviving an episode
of peptic ulcer bleeding. J Epidemiol Community Health, (5)4, pp. 130-133
Ruigomez, A. et al.,2000. Overall mortality among patients surviving an episode
of peptic ulcer bleeding. J Epidemiol Community Health,Volume 54, pp.130-133
Ruler, O. V. et al., 2011. Failure of available scoring systems to predict ongoing
infection in patients with abdominal sepsis after their initial emergency
laparotomy. BMC Surgey, 11(38), pp. 1-9
Saber, A., 2011. Perforated duodenal ulcer in high risk patients. Intechopen,
Volume 15, pp. 271-285
Sahu, S. et al., 2007. Outcome of secondary peritonitis based on apache II score.
International Journal of Surgery, Volume 14(2), pp. 1-7
Saidi, W. B., 2014. Stratified outcome evaluation of peritonitis. The An of Afric
Surg, Volume 11(2), pp. 29-34
Sarteli, M., 2010. A focus on intra-abdominal infections. WJES, 5(9), pp. 1-20

Sartelli, M. et al., 2011. WSES consensus conference: guidelines for first-line


management of intra-abdominal infections. WJES, 6(2), pp. 1-29
Sartelli, M. et al., 2013. 2013 WSES guidelines for management of intra-
abdominal infections. WJES, 8(3), pp. 1-29
Schilte, M. N. et al., 2009. Factor contributing to peritoneal tissue remodeling in
peritoneal dialysis. Peritoneal Dialysis International, Volume 29, pp. 605-617
Seeley, J. E. et al., 2012. Inflection points in sepsis biology: from local defense to
systemic organ injury. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol, Volume 303, pp.
L355–L363
Sharma, R. et al., 2017. A prospective study evaluating utility of mannheim
peritonitis index in predicting prognosis of perforation peritonitis. Journal of
Natural Science Biology and Medicine, 6(1), pp. 549-552
Singh, A. et al., 2017. Study of spectrum of perforation peritonitis and its
management: A cross sectional study at tertiary care institute. SJAMS, 5(2B), pp.
379-384
Sivaprahasam, N. et al., 201. Predictive value of mannheim peritonitis index
(MPI) for mortality in perforated peptic ulcer. International Journal of Recent
Trends in Science and Technology, 12(3), pp. 566-568
Solomkin, J. S. et al., 2010. Diagnosis and management of complicated intra-
abdominal infection in adults and children: guidelines by the surgical infection
society and the infectious diseases society of america. CID, Volume 50, pp. 133-
164
Sonenberg, A., 1994. Peptic Ulcer. Digestive disease in the United States:
Epidemiology and impact. Public Health Services, Volume 12, pp. 359-407

Song, W. C. et al., 2000. Complement and innate immunity.


Immunopharmacology, Elsevier, Volume 49, pp. 187-198
Soreide, K. et al., 2014. Predicting outcomes in patients with perforated
gastroduodenal ulcer: artificial neural network modelling indicates a highly
comlex disease. Eur J Trauma Emer Surg, pp. 1-8
Suhas, K. R., 2012. Effectiveness of mannheim peritonitis index in predicting the
morbidity and mortality of patients with hollow viscous perforation. Bangalore:
Rajiv Gandhi University of Health Sciences
Suriya, C. Et al., 2014. Prognostic factor and complications in patients with
operational eptic ulcer perforation in northern thailand. Gastroenterology research,
7(1), pp.5-11
Tan, K. K. et al., 2009. Surgery for small bowel perforation in an asian
population: predictors of morbidity and mortality. J Gastrointest Surg, pp. 1-7
Tan, K. K. et al., 2011. Emergency surgery for perforated gastric malignancy: an
institutions experience and review of the literature. Journal of Gastrointestinal
Oncology, 2(1), pp. 13-18
Tas, I. Et al., 2015. Risk factors influencing morbidity and mortality in perforated
peptic ulcer disease. Ulusal Cer Derg, Volume 31, pp. 20-25
Telkar, B. G. Et al., 2010. Perforated peptic ulcer disease: factors predicting the
mortality and morbidity in a tertiary care centre in southern india. The Internet
Journal of Surgery, Volume 27(2), pp. 1-5
Thompson, A. E. et al., 2005. Intraabdominal infections in infants and children:
Descriptions and definitions. Pediatr Crit Care Med, Volume 6(3), pp. 530-535

Thorsen, K. et al., 2013. Scoring systems for outcome prediction in patients with
perforated peptic ulcer. Scandinavian Journal of Trauma Resuscitation and
Emergency Medicine, pp. 21-25
Till, J. W. et al., 2007. The innate immune response to secondary peritonitis.
Shock, 28(5), pp. 504-517
Tukka, V. N. & Rahul, N., 2016. Effectiveness of mannheim peritonitis index
scoring system in predicting the morbidity and mortality in peritonitis due to
hollow viscous perforation. Int Surg J, Volume 3(2), pp. 714-717
Udwadia, F. E., 2003. Multiple organ dysfunction syndrome due to tropical
infections. Indian J Crit Care Med, 7(4), pp. 23-236
Unver, M. et al., 2015. Prognostic factor in peptic ulcer perforations: A
retrospective 14-year study. Int Surg, Volume 100, pp. 942-948
Veen, s. q., 2006. Clinical and experimental interventions in intra-abdominal
infections. UvA, pp. 1-200
Vijayakumar, A. et al., 2013. Non operative management of perforated peptic
ulcer an algorithm approach. IJBAR, 04(02), pp. 67-72
Vijian, K. et al., 2016. Comparison of features and outcomes of erforated peptic
ulcer between malaysians and foreigners. Med J Malaysia, Volume 71(1), pp. 12-
16
Vishwani, A. et al., 2014. Efficacy of possum scoring system in predicting
mortality and morbidity in patients of peritonitis undergoing laparotomy.
International Journal of Scientific Study, 2(4), pp. 29-39
Weledji, E. P. & Ngowe, M. N., 2013. The challenge of intra-abdominal sepsis.
International Journal of Surgery, Volume XXX, pp. 1-6
Wittmann, D. H. et al., 1996. Review article: Management of secondary
peritonitis. Annals of surgery, 224(1), pp. 10-18
Wittmann, D. H., 2010. Intra-abdominal infections. Alvailable from URL :
http://antibioticsfor.com/pdf/Intra-Abdominal-Infection.pdf diakses pada tanggal :
10 Maret 2017
Yung, S. & Chan, T. M., 2012. Pathophysiological changes to the peritoneal
membrane during PD-Related peritonitis: The role of mesothelial cells. Hindawi
Publishing Corporation Mediators of Inflamation, Volume 2012, pp. 1-21
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan kelaikan etik penelitian


Lampiran 2. Surat ijin penelitian
Lampiran 3. Lembar Penelitian

LPD PERITONITIS PERFORASI


: ...........................................
No. Kasus

Identitas
: ..................................................................................................

Nama Pasien/No. CM : ..................................................................................................

Usia/Jenis Kelamin : ..................................................................................................

Alamat : ..................................................................................................

No Telp : ..................................................................................................

Pekerjaan : ..................................................................................................

TB/BB
Riwayat

Alkohol + -
Merokok Berapa lama + -

Brp btg/hari
NSAID + -
Antikoagulan ( obat jantung) + -
Obat tradisional/jamu + -
Malignancy + -
Steroid + -
AIDS + -
Riwayat Penyakit Dahulu

Pneumonia + -
Lama Ya / Tidak
Terapi
DM + -
Lama Ya / Tidak
Terapi
CKD Lama + -
.....................................Ya/Tidak
Terapi
HD Ya / Tidak
Heart Disease + -
Lama
.....................................Ya/Tidak
Terapi
Hipertensi + -
Lama
.....................................Ya/Tidak
Terapi

Keterangan:............................................................................................................................

Pre-Operative
Onset (nyeri awal sampai datang ke RS)
Vital Sign
TD
Nadi
RR
Temperatur
D/L
WBC/Hb/Ht/Plt
Kimia Darah
BUN/SC
SGOT/SGPT
Albumin
Glukosa Darah
Faal Hemostasis
PT/(k)PT/APTT/(k)APTT/INR
Analisa Gas Darah
pH
pO2/pCO2
HCO3
SaO2
BE
Natrium (Na)/Kalium (K)
ASA Score

Durante Op
Tanggal Operasi/Jam Mulai/Jam Selesai
Perforasi
Diameter
Lokasi
Single/Multipel
Massa
Tehnik Operasi
Eksudat

Post-Operative
LOS (Lama Rawat Inap)
Complication*
Hasil & Interpretasi PA (Tgl/No. PA)
Mortalitas

*: Perdarahan/Wound Dehiscence/ILO/Peritonitis/Pneumonia/Sepsis
Lampiran 4. Perkiraan Biaya Penelitian
Perkiraan Pengeluaran

Kertas A4 70 gram 3 rim @ Rp. 35.000,00 Rp. 105.000,00

Fotocopy + Jilid proposal penelitian 14 rangkap Rp. 250.000,00

Fotocopy lembaran pengumpulan data Rp. 10.000,00

Biaya presentasi proposal penelitian Rp. 820.000,00

Biaya peminjaman status rekam medik Rp. 200.000,00

Biaya presentasi hasil penelitian Rp. 820.000,00

Biaya fotocopy + jilid hasil penelitian Rp. 500.000,00

Total

Rp. 2.705.000,00
Lampiran
Statistics
jeniskelami Umurrespon faktorkomor onset tipeeksud diameter MODS mortali
nresponde den bid at perforasi tas
n
Valid 116 116 116 116 116 116 116 116
N 0 0 0 0 0 0 0 0
Missing

jeniskelaminresponden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
laki-laki 86 74.1 74.1 74.1
Valid perempuan 30 25.9 25.9 100.0
Total 116 100.0 100.0

umurresponden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
>/ 60 tahun 49 42.2 42.2 42.2
Valid < 60 tahun 67 57.8 57.8 100.0
Total 116 100.0 100.0

faktorkomorbid
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
adafaktorkomorbid 35 30.2 30.2 30.2
Valid tidakadafaktorkomorbid 81 69.8 69.8 100.0
Total 116 100.0 100.0

onset
Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent
>/ 24 jam 66 56.9 56.9 56.9
Valid < 24 jam 50 43.1 43.1 100.0
Total 116 100.0 100.0
tipeeksudat

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent
purulen 106 91.4 91.4 91.4
Valid clear 10 8.6 8.6 100.0
Total 116 100.0 100.0
diameter perforasi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent
>/ 0,5 cm 81 69.8 69.8 69.8
Valid < 0,5 cm 35 30.2 30.2 100.0
Total 116 100.0 100.0
MODS

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent
ada 64 55.2 55.2 55.2
Valid tidak 52 44.8 44.8 100.0
Total 116 100.0 100.0
mortalitas

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent
meninggal 59 50.9 50.9 50.9
Valid hidup 57 49.1 49.1 100.0
Total 116 100.0 100.0

Analisis bivariate
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jeniskelaminresponden * 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
mortalitas
umurresponden * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
faktorkomorbid * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
onset * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
diameter perforasi * 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
mortalitas
tipeeksudat * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
MODS * mortalitas 116 100.0% 0 0.0% 116 100.0%
Crosstab

Count
mortalitas Total
meninggal hidup
jeniskelaminresponden laki-laki 40 46 86
perempuan 19 11 30
Total 59 57 116
Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .113
2.518
b 1.890 1 .169
Continuity Correction
Likelihood Ratio 2.544 1 .111
Fisher's Exact Test .139 .084
Linear-by-Linear Association 2.496 1 .114
N of Valid Cases 116

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.74.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper

Odds Ratio for .503 .214 1.184


jeniskelaminresponden (laki-
laki / perempuan)
For cohort mortalitas = .734 .515 1.047
meninggal
For cohort mortalitas = 1.459 .876 2.429
hidup
N of Valid Cases 116

Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
>/ 60 tahun 41 8 49
umurresponden 18 49 67
< 60 tahun
Total 59 57 116

Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
36.544
b 34.307 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 39.184 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 36.229 1 .000
N of Valid Cases 116

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.08.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper

Odds Ratio for 13.951 5.502 35.375


umurresponden (>/ 60 tahun
/ < 60 tahun)
For cohort mortalitas = 3.115 2.059 4.712
meninggal
For cohort mortalitas = .223 .117 .428
hidup
N of Valid Cases 116

Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
Adafaktorkomorbid 32 3 35
faktorkomorbid 27 54 81
Tidakadafaktorkomorbid
Total 59 57 116

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
33.004
b 30.720 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 37.185 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 32.719 1 .000
N of Valid Cases 116

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.20.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval


Lower Upper
Odds Ratio for 21.333 5.989 75.996

faktorkomorbid
(adafaktorkomorbid /
tidakadafaktorkomorbid)
For cohort mortalitas = 2.743 1.983 3.793
meninggal
For cohort mortalitas = .129 .043 .384
hidup
N of Valid Cases 116

Crosstab
Count
Mortalitas Total
meninggal Hidup
>/ 24 jam 44 22 66
onset 15 35 50
< 24 jam
Total 59 57 116

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
15.303
b 13.871 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 15.669 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 15.171 1 .000
N of Valid Cases 116

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.57.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval


Lower Upper
Odds Ratio for onset (>/ 24 4.667 2.113 10.306

jam / < 24 jam)


For cohort mortalitas = 2.222 1.408 3.508
meninggal
For cohort mortalitas = .476 .324 .701
hidup
N of Valid Cases 116

Crosstab
Count
mortalitas Total
meninggal hidup
>/ 0,5 cm 53 28 81
diameter perforasi 6 29 35
< 0,5 cm
Total 59 57 116

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
22.803
b 20.911 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 24.259 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 22.606 1 .000
N of Valid Cases 116

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.20.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval


Lower Upper
Odds Ratio for diameter 9.149 3.396 24.650

perforasi (>/ 0,5 cm / < 0,5


cm)
For cohort mortalitas = 3.817 1.811 8.043
meninggal
For cohort mortalitas = .417 .298 .583
hidup
N of Valid Cases 116

Crosstab
Count
Mortalitas Total
meninggal hidup
purulen 59 47 106
tipeeksudat 0 10 10
clear
Total 59 57 116

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .001
11.327
b 9.210 1 .002
Continuity Correction
Likelihood Ratio 15.190 1 .000
Fisher's Exact Test .001 .001
Linear-by-Linear Association 11.230 1 .001
N of Valid Cases 116

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.91.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval


Lower Upper
For cohort mortalitas = .443 .358 .549

hidup
N of Valid Cases 116
Crosstab

Count
mortalitas Total
meninggal hidup
ada 55 9 64
MODS 4 48 52
tidak
Total 59 57 116

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square a 1 .000
70.280
b 67.184 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 80.592 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 69.674 1 .000
N of Valid Cases 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.55.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval


Lower Upper
Odds Ratio for MODS (ada / 73.333 21.226 253.357
tidak)
For cohort mortalitas = 11.172 4.335 28.793
meninggal
For cohort mortalitas = .152 .083 .281
hidup
N of Valid Cases 116

Analisis multivariate

Case Processing Summary


a N Percent
Unweighted Cases
Included in Analysis 116 100.0
Selected Cases Missing Cases 0 .0
Total 116 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 116 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of


cases.

Dependent Variable Encoding


Original Value Internal Value

meninggal 0
hidup 1

Iteration History
a,b,c
Iteration -2 Log likelihood Coefficients
Constant
1 160.776 -.034
Step 0 160.776 -.034
2
a. Constant is included in the model.
b. Initial -2 Log Likelihood: 160.776
c. Estimation terminated at iteration number 2
because parameter estimates changed by less than
.001.

a,b
Classification Table
Observed Predicted
mortalitas Percentage
meninggal hidup Correct
meninggal 59 0 100.0
Step 0 mortalitas 57 0 .0
hidup
Overall Percentage 50.9

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -.034 .186 .034 1 .853 .966

Variables not in the Equation


Score df Sig.

Age 36.544 1 .000


komorbid 33.004 1 .000
onset 15.303 1 .000
Step 0 Variables 11.327 1 .001
eksudat
diameter 22.803 1 .000
MODS 70.280 1 .000
Overall Statistics 78.637 6 .000

Iteration History
a,b,c,d
Iteration -2 Log Coefficients
likelihood Constant age komorbid onset eksudat diameter MOD
S
1 72.823 -6.625 .676 .721 .175 .429 .243 2.256
2 62.316 -10.548 1.153 1.364 .334 1.078 .463 2.862
3 60.134 -13.512 1.420 1.838 .414 2.035 .564 3.199
4 59.774 -15.291 1.507 2.041 .418 3.134 .556 3.319
5 59.686 -16.419 1.518 2.073 .414 4.182 .546 3.334
6 59.655 -17.435 1.519 2.075 .413 5.194 .545 3.335
7 59.644 -18.439 1.519 2.075 .413 6.198 .545 3.335
8 59.640 -19.440 1.519 2.075 .413 7.200 .545 3.335
9 59.638 -20.441 1.519 2.075 .413 8.200 .545 3.335
Step 1 59.638 -21.441 1.519 2.075 .413 9.200 .545 3.335
10
11 59.637 -22.441 1.519 2.075 .413 10.200 .545 3.335
12 59.637 -23.441 1.519 2.075 .413 11.200 .545 3.335
13 59.637 -24.441 1.519 2.075 .413 12.200 .545 3.335
14 59.637 -25.441 1.519 2.075 .413 13.200 .545 3.335
15 59.637 -26.441 1.519 2.075 .413 14.200 .545 3.335
16 59.637 -27.441 1.519 2.075 .413 15.200 .545 3.335
17 59.637 -28.441 1.519 2.075 .413 16.200 .545 3.335
18 59.637 -29.441 1.519 2.075 .413 17.200 .545 3.335
19 59.637 -30.441 1.519 2.075 .413 18.200 .545 3.335
20 59.637 -31.441 1.519 2.075 .413 19.200 .545 3.335
1 73.065 -6.515 .666 .755 .419 .282 2.296
2 62.694 -10.332 1.134 1.431 1.079 .525 2.933
3 60.509 -13.269 1.397 1.928 2.091 .618 3.278
4 60.132 -15.093 1.486 2.141 3.234 .597 3.398
5 60.040 -16.240 1.498 2.175 4.292 .585 3.413
6 60.008 -17.258 1.498 2.177 5.306 .584 3.414
7 59.996 -18.263 1.498 2.177 6.311 .584 3.414
8 59.992 -19.265 1.498 2.177 7.313 .584 3.414
9 59.991 -20.266 1.498 2.177 8.314 .584 3.414
10 59.990 -21.266 1.498 2.177 9.314 .584 3.414
Step 2 59.990 -22.266 1.498 2.177 10.314 .584 3.414
11
12 59.990 -23.266 1.498 2.177 11.314 .584 3.414
13 59.990 -24.266 1.498 2.177 12.314 .584 3.414
14 59.990 -25.266 1.498 2.177 13.314 .584 3.414
15 59.990 -26.266 1.498 2.177 14.314 .584 3.414
16 59.990 -27.266 1.498 2.177 15.314 .584 3.414
17 59.990 -28.266 1.498 2.177 16.314 .584 3.414
18 59.990 -29.266 1.498 2.177 17.314 .584 3.414
19 59.990 -30.266 1.498 2.177 18.314 .584 3.414
20 59.990 -31.266 1.498 2.177 19.314 .584 3.414
1 73.559 -6.383 .700 .764 .443 2.392
2 63.321 -10.159 1.205 1.460 1.207 3.071
3 61.019 -13.237 1.490 1.986 2.380 3.408
4 60.598 -15.198 1.579 2.225 3.587 3.523
5 60.500 -16.373 1.589 2.264 4.654 3.537
6 60.466 -17.395 1.590 2.265 5.671 3.538
7 60.454 -18.401 1.590 2.265 6.677 3.538
8 60.449 -19.403 1.590 2.265 7.680 3.538
9 60.448 -20.404 1.590 2.265 8.680 3.538
Step 3 60.447 -21.404 1.590 2.265 9.681 3.538
10
11 60.447 -22.405 1.590 2.265 10.681 3.538
12 60.447 -23.405 1.590 2.265 11.681 3.538
13 60.447 -24.405 1.590 2.265 12.681 3.538
14 60.447 -25.405 1.590 2.265 13.681 3.538
15 60.447 -26.405 1.590 2.265 14.681 3.538
16 60.447 -27.405 1.590 2.265 15.681 3.538
17 60.447 -28.405 1.590 2.265 16.681 3.538
18 60.447 -29.405 1.590 2.265 17.681 3.538
19 60.447 -30.405 1.590 2.265 18.681 3.538
20 60.447 -31.405 1.590 2.265 19.681 3.538

a. Method: Backward Stepwise (Conditional)


b. Constant is included in the model.
c. Initial -2 Log Likelihood: 160.776
d. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final
solution cannot be found.

Omnibus Tests of Model Coefficients


Chi-square df Sig.

Step 101.138 6 .000


Step 1 Block 101.138 6 .000
Model 101.138 6 .000
Step -.352 1 .553
a Block 100.786 5 .000
Step 2
Model 100.786 5 .000
Step -.457 1 .499
a Block 100.329 4 .000
Step 3
Model 100.329 4 .000

a. A negative Chi-squares value indicates that the Chi-


squares value has decreased from the previous step.

Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R
Square Square
1 a .582 .776
59.637
2 a .581 .774
59.990
a
3 60.447 .579 .772

a. Estimation terminated at iteration number 20 because


maximum iterations has been reached. Final solution cannot be
found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.

1 4.864 7 .677
2 7.231 6 .300
3 6.365 5 .272

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test


mortalitas = meninggal mortalitas = hidup Total
Observed Expected Observed Expected
1 19 19.746 1 .254 20
2 10 10.494 1 .506 11
3 10 9.979 1 1.021 11
4 11 10.441 3 3.559 14
Step 1 5 8 6.358 4 5.642 12
6 1 .917 8 8.083 9
7 0 .638 14 13.362 14
8 0 .426 15 14.574 15
9 0 .000 10 10.000 10
1 22 22.686 1 .314 23
2 7 7.560 1 .440 8
3 13 13.367 2 1.633 15
Step 2 4 12 11.280 5 5.720 17
5 5 2.630 3 5.370 8
6 0 .795 14 13.205 14
7 0 .682 21 20.318 21
8 0 .000 10 10.000 10
1 24 24.675 1 .325 25
2 5 5.637 1 .363 6
3 14 14.201 2 1.799 16
Step 3 4 14 11.864 5 7.136 19
5 2 1.057 3 3.943 5
6 0 1.565 35 33.435 35
7 0 .000 10 10.000 10

Classification Table
a
Observed Predicted
mortalitas Percentage
meninggal hidup Correct
meninggal 56 3 94.9
Step 1 Mortalitas 9 48 84.2
hidup
Overall Percentage 89.7
meninggal 57 2 96.6
Step 2 Mortalitas 9 48 84.2
hidup
Overall Percentage 90.5
meninggal 57 2 96.6
Step 3 Mortalitas 9 48 84.2
hidup
Overall Percentage 90.5

a. The cut value is .500

Variables in the Equation


B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for

EXP(B)
Lower Upper

Age 1.519 .740 4.206 1 .040 4.566 1.070 19.487

Komorbid 2.075 .976 4.524 1 .033 7.964 1.177 53.898


Onset .413 .692 .356 1 .550 1.511 .389 5.866
a Eksudat 19.200 11645.101 .000 1 .999 218100644.381 .000 .
Step 1
Diameter .545 .861 .401 1 .527 1.725 .319 9.324
MODS 3.335 .758 19.363 1 .000 28.070 6.356 123.968
Constant -31.441 11645.101 .000 1 .998 .000
Age 1.498 .735 4.151 1 .042 4.475 1.059 18.915
Komorbid 2.177 .966 5.076 1 .024 8.818 1.327 58.585
a Eksudat 19.314 11488.693 .000 1 .999 244318251.181 .000 .
Step 2
Diameter .584 .861 .460 1 .497 1.793 .332 9.686
MODS 3.414 .752 20.603 1 .000 30.374 6.956 132.628
Constant -31.266 11488.693 .000 1 .998 .000
Age 1.590 .727 4.779 1 .029 4.902 1.179 20.384
Komorbid 2.265 .982 5.324 1 .021 9.633 1.406 65.981
a Eksudat 19.681 11192.629 .000 1 .999 352629887.560 .000 .
Step 3
MODS 3.538 .735 23.200 1 .000 34.391 8.152 145.097
Constant -31.405 11192.629 .000 1 .998 .000

a. Variable(s) entered on step 1: age, komorbid, onset, eksudat, diameter, MODS.


Variables in the Equation
95% C
EXP
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower
a
Step 1 usia 1.477 .715 4.265 1 .039 4.380 1.078
komorbid 2.040 .903 5.105 1 .024 7.690 1.310
mods 3.874 .725 28.552 1 .000 48.151 11.626
Constant -3.337 .689 23.453 1 .000 .036
a. Variable(s) entered on step 1: usia, komorbid, mods.

Hosmer and Lemeshow


Test
Chi-
Step square df Sig.
1 5.497 7 .600

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow


Test
mortalitas =
mortalitas = Hidup Meninggal
Observe Expecte Observe
d d d Expected Total
Step 1 1 10 10.000 0 .000 10
2 15 14.574 0 .426 15
3 14 13.362 0 .638 14
4 9 9.996 3 2.004 12
5 3 3.729 6 5.271 9
6 3 3.559 11 10.441 14
7 2 1.113 10 10.887 12
8 0 .414 10 9.586 10
9 1 .254 19 19.746 20
Area Under the Curve
Test Result Variable(s): VAR00002 Asymptotic 95%

Confidence Interval
Std. Asymptotic Lower Upper
a b
Area Error Sig. Bound Bound
.930 .025 .000 .881 .980
The test result variable(s): VAR00002 has at least one tie
between the positive actual state group and the negative
actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5

Coordinates of the Curve


Test Result Variable(s): VAR00002
Positive if
Greater
Than or Sensitivit 1-
a
Equal To y Specificity
.500 1.000 1.000
2.500 .983 .175
4.250 .932 .158
6.000 .492 .035
8.000 .000 .000
The test result variable(s): VAR00002
has at least one tie between the
positive actual state group and the
negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the
minimum observed test value minus
1, and the largest cutoff value is the
maximum observed test value plus 1.
All the other cutoff values are the
averages of two consecutive ordered
observed test values.

kategori * mortalitas Crosstabulation


mortalitas
Meningg
Hidup al Total
kategori Prediksi bertahan Count 48 4 52
hidup Expected Count 25.6 26.4 52.0
% within 92.3% 7.7% 100.0%
kategori
% within 84.2% 6.8% 44.8%
mortalitas
% of Total 41.4% 3.4% 44.8%
Risiko meninggal Count 9 55 64
Expected Count 31.4 32.6 64.0
% within 14.1% 85.9% 100.0%
kategori
% within 15.8% 93.2% 55.2%
mortalitas
% of Total 7.8% 47.4% 55.2%
Total Count 57 59 116
Expected Count 57.0 59.0 116.0
% within 49.1% 50.9% 100.0%
kategori
% within 100.0% 100.0% 100.0%
mortalitas
% of Total 49.1% 50.9% 100.0%

Anda mungkin juga menyukai