Anda di halaman 1dari 53

PALSU| 1

PALSU| 2

PALSU

Penulis Bunga Rosania Indah

1.

Darma, mahasiswa teknik mesin semester akhir yang sedang mengajukan skripsinya
itu keluar dari ruang administrasi dengan wajah murung. Berjalan menuju barat
kampus dan duduk di taman yang berarsitektur minimalis dengan beberapa bangku
di pinggirnya. Kepalanya menunduk, mengamati angka-angka tertera, angka biaya
yang harus dikeluarkannya.

Memikirkan bagaimana harus ia membayar biaya kuliahnya itu sedangkan


orangtuanya baru saja kena PHK karena pengurangan besar-besaran setelah
kebijakan bahan bakar yang melangit.

Sebelumnya ia kerja paruh waktu di rumah makan cepat saji milik asing namun
kuliahnya jadi keteteran. Lalu ia mempertimbangkan satu cara lagi, cara yang
ditawarkan teman se kosnya padanya. Bisa di bilang cara licik ala pria matre. Saran
itu muncul dari ide Aris, teman se kosnya, yang menyarankan Darma mengikuti
caranya mendapatkan uang tanpa harus bekerja.

"Darma! Napa Lu bengong?" Suara berat menegurnya.

Darma mendongak. Dan saat tahu siapa yang menegurnya, Darma semakin lesu,
malas jika bertemu dengannya, Aliandra Lesmana, si tukang komen tanpa otak.

"Kamu nggak ngajuain skripsi lagi semester ini?"

Darma malas menimpali, ia melengos, lebih memilih memerhatikan air mancur di


tengah kolam di area taman itu.

Aliandra tertawa dengan nada mengejek, "Nggak punya duit buat bayar kuliah, ya?"
Ujarnya, salah satu kakinya naik di atas bangku, ia pura-pura melap sepatu barunya
yang terlihat mewah itu yang sebenarnya sengaja untuk pamer. "Makanya Darma,
kamu sih jual mahal! Nggak mau aku ajak kerja, apa sih nggak enaknya jadi gigolo?
Uang banyak, puas iya."
PALSU| 3

Darma berdiri, meninggalkan Aliandra dengan wajah menekuk. "Dasar sinting!"


Umpatnya dan ia segera pergi meninggalkan Aliandra yang geleng-geleng menatap
kepergian Darma.

**

"1... 2... 3..." Klik. Aris menatap layar ponselnya.

"Ok, dah bagus foto yang ini Dar, tinggal di upload."

Darma merenggangkan tubuhnya, agak tegang berpose-pose sedari tadi. Ia melepas


baju atas seragam PDH milik TNI AU yang lengkap dengan atributnya serta pangkat
Sersan Dua.

Kini lelaki berpostur tinggi itu mengenakan kaos dalam, lalu duduk di sebelah Aris
yang sedang berkutat di depan laptop, laptop yang katanya hasil kerjanya sebagai
tentara gadungan.

Darma mengikuti mata Aris yang fokus di layar, Aris membuatkan sebuah akun
facebook untuk Darma.

"Dar, ni entar akun fb kamu."

Darma membaca nama akun facebook yang nanti di jalankannya, 'Rangga Tentara
Langit'.

"Ingat nama kamu Rangga!"

Darma melirik nama di seragam PDH yang tadi ia pakai berpose, ada nama Rangga.

"Beruntung kamu punya body oke, wajah tampan, pasti banyak korban yang klepek-
klepek."

Darma menoleh ke Aris, risih mendengar kata korban sebenarnya.

"Kamu nggak usah khawatir, ikuti saja permainanku, aku sudah satu setengah tahun
menjalani ini dan kamu lihat sendiri kan hasilnya."

Aris membuka lebar tangannya seolah memamerkan semua barang-barang dalam


kamarnya.
PALSU| 4

"Sudah jadi!" Aris lalu menyodorkan laptopnya pada Darma yang masih terbengong-
bengong.

"Besok kamu foto lagi, kita berpose di ruang terbuka."

Laptop Aris telah ditangan Darma.

"Aku harus bagaimana dengan facebook ini."

"Kamu gabung di grup-grup yang berhubungan dengan tentara, biasanya banyak


cewek-cewek yang tergabung disitu."

Darma mengikuti semua saran Aris.

"Sudah gabung, Ris, beberapa admin juga sudah ada yang mengkonfirmasi
permintaan gabungku."

"Sip, sekarang upload foto di grup itu, foto yang pakai seragam. Tulis keterangan
diatasnya_ ada yang mau jadi pendampingku nggak ya? Inbox ya untuk kenal lebih
jauh_ tulis seperti itu, ingat kalau ada yang komen jangan di jawab di komen itu ya
karena akan di baca orang banyak malah nanti kamu terjebak, arahin dia untuk inbox
dan add fb kamu, Dar."

Meski Aris ngomong panjang lebar namun Darma merekam semua perkataan Aris di
memorinya.

**

Seminggu berlalu, di kos Aris. "Ris, tante janda itu semakin melunjak."

"Udah berapa kali kamu di kirimi uang?"

"Dua kali."

"Ya udah blokir aja, bro. Tante-tante emang begitu. Tapi mereka sasaran empuk
sebagai target operasi, gampang dikeretin, hahaha."

Darma tersenyum.

"Trus sekarang kamu instens komunikasi sama siapa?"

Darma menunjukkan hp nya. "Sama Bella, Ayunda, dan Aina."


PALSU| 5

"Coba aku lihat profil mereka."

Hp Darma berpindah tangan.

"Bella ini cantik, jangan, biasanya cewek cantik suka jual mahal, kamu nggak akan
dapat apa-apa darinya. Kalo Ayunda ini juga jangan."

"Kenapa?"

"Lihat tuh wall nya, dia nih anak tentara, dari keluarga tentara, pengetahuannya pasti
lebih banyak, kamu bisa ketahuan kalo kamu gadungan. Cari cewek yang dari orang
sipil biasa aja, Dar. Biasanya dia awam, nggak tahu apa-apa jadi mudah dikibulin.
Trus mending wajahnya yang standar-standar aja atau di bawah standar atau wajah
desa. Biasanya cewek seperti itu merasa tersanjung di deketin tentara apalagi yang
wajahnya tampan sepertimu dan model cewek begitu cenderung rela melakukan apa
saja."

Keterangan Aris ditelinga Darma seperti dikte dosen yang menerangkan perihal
hubungan satu jenis ke jenis lainnya. Darma manggut-manggut. Ia menarik
kesimpulan, Aina yang cocok jadi korban berikutnya.

**

2.

Wajah Aina berseri, jatuh cinta membuat sesorang merasa hidup menjadi lebih indah,
menjalani tiap jam dalam kehidupan itu sendiri pun terasa lebih bersemangat dari hari-
hari sebelumnya.

"Kamu berseri-seri sekali, Aina?"

Fitri, rekan sekaligus teman terkedekatnya ikut tersenyum ketika sikap Aina lebih
bersemangat hari itu.

"Kamu sudah jadian, ya, Mas itu, siapa namanya?"

"Rangga," jawab Aina cepat.

"Aku kapan, ya, dapat pacar tentara," harap Fitri, boneka flanel yang barusan saja di
bikinnya, boneka berseragam PDH TNI AL itu ia peluk.
PALSU| 6

"Selama ini kita bikin boneka flanel tentara buat konsumen, akhirnya kamu jadi juga
bagian mereka, Aina."

Aina tertawa kecil.

"Pasti suatu saat kamu pun juga dapat pacar tentara, Fit."

Aina menggunting kerdus yang baru di belinya di warung. "Enggak ah. Oya, mahal
sekarang kardus, seribu cuman dapat tiga," selanya.

Ia lalu membentuk kerdus itu menjadi kerdus yang lebih kecil dan memasukkan frame
hias yang sudah diisi dengan sepasang boneka flanel profesi tentara dan bidan,
dengan hati-hati ia memasukkan frame itu ke kardus. Selintas boneka yang dibuatnya
ia perhatikan lebih, ada perasaan tidak menyangka, bagaimana seorang gadis biasa
seperti dia bisa mendapatkan pacar tentara, dia bukanlah seorang bidan, perawat,
guru ataupun PNS seperti pemikirannya sendiri jika profesi itu identik dengan
pasangan tentara, namun dia hanya seorang gadis biasa yang merintis lebih dari dua
tahun usaha handmade pembuatan boneka flanel bersama Fitri, teman karibnya.
Rasanya seperti mimpi bisa mendapatkan pacar tentara, apalagi Rangga, dimata
gadis itu adalah sosok tampan dan mapan, Aina benar-benar merasa sebagai gadis
paling beruntung.

Fitri menyodorkan boneka flanel yang sudah jadi ia hias. "Aina, ini tinggal di masukkin
frame aja, sama kasih nama. Namanya ada di disitu. Nanti aku yang kirim ke
ekspedisi."

Aina mengangguk, ia mengambil sepasang boneka di depan Fitri. Mempersiapkan


frame, lalu meletakkan sepasang boneka itu, memberikan lem yang sudah
dipanaskan dengan alat lem tembak.

Aina sangat telaten dengan kerajinan tangan, ia melakukan semua pekerjaan dengan
rapih dan hati-hati. Kemudian meletakkan nama di bagian bawah kaki boneka, Bagus
dan Lia.

Aina tersenyum, ia tak sabar membuat bonekanya sendiri dan Rangga, di angan-
angannya ia ingin membuat boneka berseragam PDU TNI AU dan boneka perempuan
berpakaian gaun putih dan memberinya nama Rangga dan Aina. Aina tersenyum,
besar pengharapannya.
PALSU| 7

"Aina, kamu jadian dengan Mas Rangga via telepon atau ketemu langsung?"

Aina meletakkan frame boneka flanel, menoleh pada Fitri yang memandanginya
penasaran.

"Via telepon."

Fitri menarik garis bibir. "Kenapa kamu jadian via telepon, bagaimana kalau tidak
sesuai dengan kenyataannya?"

Aina memasang kaca di frame hias. Dengan tangan yang masih terampil merapikan
sisa-sisa lem, Aina berujar, "Minggu besok dia mau datang kok kemari, aku akan
menjemputnya di terminal."

Fitri memerhatikan Aina, ada sedikit ke khawatiran jadinya.

**

Lalu lalang manusia di terminal di ujung kota, bus silih berganti datang dan pergi.
Pengamen dan pengemis silih berganti menghampiri.

Aina cemas, sudah pukul dua lebih tapi laki-laki yang ditunggunya dengan hati
berdebar tak kunjung datang. Aina berusaha tampil lebih baik dari hari-hari biasanya
meski tetap saja masih terkesan sederhana. Namun parfum lembut ia kenakan
merasa membuatnya lebih fresh.

Turun dari bus, pria tinggi berhidung mancung mengenakan celana jeans dan kaos
motif loreng, topi pet dengan bordir logo TNI AU serta rantai kalung dengan bandul
lempengan yang terukir nama, rantai kalung yang biasanya dipakai oleh tentara.

Aina berdebar, ia sudah tahu laki-laki itu pasti Rangga karena di foto dan aslinya nyaris
sama. Gadis manis itu menjadi salah tingkah, muncul juga perasaan tidak percaya
diri.

'Apa Mas Rangga mengenaliku, ya?' Gumamnya harap-harap cemas.

Rangga berjalan ke arahnya lalu tersenyum dan melambai. Aina senang tak keruan
namun rasa senang itu ia sembunyikan, karena ia tidak mau terlalu kelihatan begitu
menggilai Rangga.
PALSU| 8

"Aina kan?"

Aina tersipu lalu membalas. "Iya."

Mereka bersalaman, Aina dengan sedikit rasa tak percaya diri agak malu berhadapan
langsung dengan laki-laki yang baru jadian dengannya di dunia maya.

"Mas Rangga, kok, siang banget datangnya? Bukannya kemarin bilangnya pagi."

"Iya, maaf, ya Aina, saya nggak punya pulsa pas mau ngabarin kalau saya datangnya
agak siang."

"Oh begitu. Trus ini Mas Rangga udah beli pulsa belum."

"Belum."

"Ya udah, aku transfer pulsa dari hp ku aja, ya."

Rangga alias Darma tersenyum. Semua sudah ia aturnya. Sudah setengah jam
mereka nongkrong di sebuah cafe. Karena masih siang, cafe agak sepi pengunjung,
hanya tiga empat orang yang juga berpasangan.

Alunan musik yang sedang hits diputar dan terdengar tak terlalu nyaring dari speaker
yang tergantung di sudut-sudut cafe dengan rak buatan yang terdiri dari papan dan
penahannya.

Aina meminum es kelapa hijau dan cemilan tahu mayunase, ia tak begitu berselera
untuk makanan berat.

Rangga menggigit daging ayam yang telah dipanggang dengan madu hingga pinggir
bibirnya terdapat lelehan madu. Aina mengambil tisu dan membersihkannya. Aina
tersenyum.

Rangga menatapnya singkat dan segera mengambil tisu di tangan Aina, "biar aku
sendiri."

"Ah, ya, maaf."

Dan akhirnya kecanggungan terjadi lagi diantara mereka berdua. Aina kembali
menyedot es kelapa dari sedotan bengkok berwarna hitam, bola matanya menoleh ke
kanan.
PALSU| 9

Rangga menyadari suasana menjadi canggung, ia berusaha tertawa kecil, "Maaf,


Aina, lama menjomblo membuatku canggung jika mendapatkan perhatian dari
seorang gadis."

Dan akhirnya Aina menoleh padanya dengan tawa kecil. Dan tawa kecil itu berlanjut
ke obrolan ringan untuk beberapa lama.

"Minta bill nya!" Teriak Rangga. Dan pelayan cafe datang sekaligus menyerahkan
nota. Rangga merogoh kantong jeans nya, jaketnya, dan tas nya, ia mempertontonkan
raut kebingungan yang sengaja ia buat-buat.

"Ada apa, Mas?" Aina ikut cemas mendapati Rangga yang kebingungan.

"Maaf, Aina, aku sedang mencari dompetku."

"Tadi narok dimana, Mas?" Tanya cemas Aina.

"Aku tarok di kantong jeans belakang, aduh, apa terjatuh, ya."

Rangga bereksperimen dengan aktingnya. Pelayan cafe berdiri menunggu dan


membuat Aina jadi tak enak hati.

"Biar aku saja yang bayar."

'Yes! Berhasil trikku!' Seru Rangga dalam hati. Aina mengambil nota dan membayar
memakai duit pas, Rp. 142.000,-

"Maaf, ya, Aina, aku jadi merepotkan."

"Nggak apa-apa, Mas."

"Nanti gajian aku ganti, ya."

"Nggak usah, Mas," Aina masih menolak.

"Ya udah udah kalau gitu terima kasih, ya." Rangga kembali memasang raut cemas.
"Tapi, hmm,..." Kembali Rangga memainkan akting cemas.

"Ada apa, Mas?"

"Begini, hmm, aku jadi tak enak sama kamu."


PALSU| 10

"Nggak apa-apa, bilang aja Mas."

"Begini Aina, jika dompetku hilang aku bingung dengan ongkos pulang."

Aina yang polos membenarkannya, "Ah, iya, ya Mas. Hmm, Aina ada uang kok Mas
kalau cuman buat ongkos pulang." Aina buru-buru mengeluarkan uang Rp.150.000,-
dari dompetnya dan menyodorkannya pada Rangga.

Rangga mengambilnya, dengan ekspresi yang sungkan di buat-buat, "Duh maaf, ya,
Aina sayang, baru bertemu juga aku sudah merepotkanmu begini."

Aina tersenyum, "Nggak apa-apa kok, Mas."

***

"Baru pulang Dar?" Aris keluar dari kamar mandi berbalut handuk dari pinggak hingga
ke lutut. Ia menggosok-gosok rambutnya yang model cepak dengan handuk kedua
yang berukuran lebih kecil.

"Sudah," jawab Darma yang duduk di sofa kamar kos Aris. "Bagaimana korban
kedua? Kamu jadi ketemuan ama dia kan hari ini?"

"Iya."

Aris melemparkan handuk kecil di tangannya ke kepala Darma.

"Kenapa kamu Dar, lesu-lesu gitu?"

Darma menghela, pinggungnya bersandar lebih santai dari posisi duduk sebelumnya.

"Kayaknya jangan sama yang ini, Ris."

"Aina? Kenapa?"

"Nggak tega, dia terlalu polos, orang baik-baik." Aris tertawa sembari mengambil
celana pendek dan kaos oblong berwarna cokelat betulis 'My Trip'

"Dasar kamu, Darma! Anggap aja Aina ini batu loncatan, kalau kamu berhasil di misi
kedua mu ini maka kamu akan naik kelas di misi selanjutnya, cari yang lebih lagi.
Jangan mundur Dar! Kalau kamu begini terus, kamu nggak akan mendapat apa-apa!
PALSU| 11

Perbanyak pengalaman dulu Darma, lagipula kita kan tidak mencuri tapi mereka yang
sukarela memberikan kita uang."

Darma melengos. Ia tak mau berpikir panjang yang membuatnya tambah pusing.

"Ingat Darma, teruskan permainan dan nikmati."

**

3.

Aina memutar berkali-kali lagu yang sama, lagu cinta yang pernah ia dengar di
senandungkan kecil oleh Darma, pria yang ia kenal dengan panggilan Rangga-tentara
gadungan yang sebenarnya adalah mahasiswa akhir fakultas teknik.

"Pasti memutar lagu yang sama?" Tebak Fitri. Kedua tengannya cekatan
membungkus paket-paket yang hendak diantarnya ke ekspedisi. Sesekali ia
menggurutu pada kenaikan tiap tahun tarif ongkos kirim yang di rasanya mengurangi
pemasukan pebisnis online.

Aina tersenyum, Fitri juga bisa menebak apapun yang berbau Rangga sangat
diperhatikan lebih spesial oleh Aina, entah warna biru favorit Rangga atau pun
makanan kesukaan Rangga yang mulai Aina pelajari cara membuatnya.

"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Mas Rangga?"

Aina melirik lesu. "Gimana, ya. Ya begitu-begitu aja."

"Begitu-begitu aja gimana?"

"Ya begitu." Jawaban semacam ini dianggap srbagai jawaban ketidak pastian oleh
Fitri, gantung. Untuk pasangan yang baru bertemu kali ketiga dan pacaran baru
menginjak bulan ketiga, dianggap 'datar' oleh Fitri. Pasangan yang baru berjalan 3
bulan biasanya masih demikian mesranya tapi di mata Fitri hubungan Aina dan
Rangga terkesan semakin renggang. Fitri takut jika sahabatnya-Aina hanyalah korban
PHP. Tapi di mata Aina tidak demikian, menurutnya, sikap Rangga yang agak cuek
akhir-akhir ini memanglah karena Rangga sedang sibuk di kedinasannya. Aina
mempercayai itu.

***
PALSU| 12

Di kampus....

Darma memarkir motor yang belum berplat diparkiran kampusnya.

"Weee motor baru!" Seru seseorang dari belakangnya.

Darma melengos saat tahu siapa yang bersuara itu, pria sebayanya dengan gaya
rambut gondrong di sisir kebelakang.

'Huh, dia lagi'

Tak mau lama-lama, Darma ancang-ancang akan segera pergi tapi terlambat, tangan
pria muda itu berpangku di bahunya. "Santai man! Mau kemana sih buru-buru."

Dengan sigap Darma melemparkan tangan pria itu dari bahunya. "Sory, aku ada
urusan. Dan kamu, urus dirimu sendiri!"

Aliandra terkekeh. "Whats, hahha. Santai bro." Ia lantas memerhatikan motor tanpa
plat milik Darma. "Tante mana yang membekikanmu ini?"

Darma mengacungkan tangannya. 'Fuck' lalu pergi begitu saja.

Aliandra Lesmana tersenyum sinis. 'Awas aja kamu.'

Dua jam kemudian, Darma keluar dari ruangan. Ia berjalan ke kantin, Aris
menunggunya di kantin pojok, tampat biasanya. Dan setibanya di sana, tampak Aris
sedang menelepon seseorang. Mau tidak mau Darma ikut mendengarkan percakapan
mereka.

"Ya sayang, tenang aja, abang pasti tanggung jawab kok," ucap Aris dengan wajah
kecut tapi nada suaranya datar, dan semua wanita di sekelilingnya ia panggil dengan
sebutan 'sayang' sebagai kamuflase, Aris takut kalau-kalau ia salah panggil nama
diantara begitu banyak wanita yang jadi korbannya, dengan nama yang beragam,
memanggil dengan kata 'sayang' lah cara teraman, menghindari keceplosan salah
panggil nama.

Kening Darma berkerut mendengar kalimat terakhir Aris. Perasaannya tak enak,
sudah terjadi hal di luar batas.

Aris menutup teleponnya.


PALSU| 13

"Apa yang terjadi?" Tanya Darma beberapa saat kemudian.

"Ah, biasa, perempuan mah begitu." Aris jongkok setelah menyelipkan sebatang rokok
menyala di bibirnya. Asapnya mengepul. Sebelum ia mengisap batang rokoknya
kembali, Aris menoleh pada Darma. "Siapa lagi korbanmu?"

"Baru, TKW."

Aris tersenyum tipis, "tipe begitu paling gampang di 'keretin' kasih aja perhatian lebih,
panggilan sayang, janji-janji palsu."

"Ya, seperti yang kamu ajarkan," sela Darma.

Pandangan Aris kembali ke depan, mengingat hal yang beberapa tahun lalu ia lakukan
pada seorang wanita tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Taiwan. Namanya Sri
Afida, wanita kurus yang sudah sangat PD dan yakin akan dipersunting oleh seorang
tentara. Malang perempuan itu, setelah habis tabungannya di keruk oleh Aris dengan
alih-alih Aris yang beralasan ingin membangun rumah untuk mereka berdua kelak
tinggali setelah menikah, Afida yang rutin tiap bulan mengiriminya uang yang diyakini
akan dipakai mencicil membangun rumah oleh Aris ternyata sia-sia. Afida di tipu
mentah-mentah yang total kerugiannya mencapai angka mungkin sekitar delapan
puluh juta lebih.

"Tapi apa nggak apa-apa korbanku kali ini TKW, Ris?"

"Nggak pa-pa lah, mereka kan jauh, nggak mungkin tiba-tiba langsung datang
mengecek ke Indonesia."

Asap terkepul kembali dari helaan Aris, ia lalu membuang batang rokok yang belum
habis itu lalu berdiri dan duduk di bangku.

"Entar deh aku bantu. Nanti kita sewa ibu-ibu yang akan mengaku sebagai ibumu, pas
dia telepon kamu bilang aja ke... siapa nama TKW mu?"

"Fera."

"Ya, ya, Fera itu. Bilang aja kalau ibumu mau telepon dan bicara ama calon
menantunya, hahahaha pasti dia melayangnya selangit. Nah, kita sewa aja kenalanku
PALSU| 14

yang akan berperan sebagai ibu di telepon, Yuti, Bu Yuti, dia biasa sih ku sewa
sebagai ibuku di telepon, dia sudah tahu aturan mainnya."

Darma setelah menggeleng, heran saja pada otak-otak kriminal Aris, ada saja
akalnya.

"Oh ya dan satu lagi, nanti kita sewa juga si Nia, untuk jadi adik kamu di telepon.
Bilang aja kalo adik kamu juga mau kenalan dengannya. Yakin! Dia pasti semakin
percaya kalo kamu benar-benar serius padanya, uang pun mengalir deras, hahaha."
Tawa Aris melengking namun Darma merasa itu sudah kelewat batas.

***

4.

Fitri membuka jaket jeansnya setelah turun dari motor. Terik siang membuat wajahnya
memerah seperti udang rebus, sabun pemutih yang akhir-akhir ini rutin dipakainya
membuat wajahnya memerah di beberapa bagian terutama sela antara hidung dan
pipi. Aina beberapa kali menegur wajahnya yang merah-merah demikian tapi Fitri
yakin itu efek samping sementara.

"Loh cepet amat pulangnya?"

"Tadi pinjem motor kakakku makanya cepat pulangnya." Fitri mengeluarkan beberapa
lembar kertas resi dari tas selempangnya. "Ini yang sudah aku kirim, satu lagi
alamatnya nggak jelas kata bapaknya (pegawai ekspedisi), satu lagi nggak aku kirim,
gak jauh alamatnya, di universitas kota D kan? Kebetulan aku mau kesana, mau
ngambil uang kue. Dosen kampus itu pesan kue ke mamaku dan aku mau ambil
uangnya."

"Oh gitu, yaudah terserah kamu aja, Fit. Yang penting ati-ati di jalan."

Fitri mengangguk pelan. "Ya udah, aku cabut sekarang ya!" Fitri membawa kembali 1
paket bingkisan yang di gantungkan di kaitan motornya. Lalu ia melesat
meninggalkan Aina, menuju sebuah universitas alamat si pemesan boneka, dimana
alamat kampus itu juga merupakan alamat kampus Darma-Rangga si tentara
gadungan.
PALSU| 15

“Besar amat kampusnya!” Fitri memarkir motornya. Berjalan keluar area parkir sambil
menenteng bungkusan. “Kapan, ya, aku bisa kuliah?” lalu ia teringat pula pada Aina.
“Fiuh, Aina juga kasihan tak bisa lanjut kuliah.”

Fitri melongok kanan kiri, gedung-gedung kampus yang berbeda-beda dan


pekarangan kampus yang luas, ia mulai kebingungan.

“Permisi.”

“Ya?”

Fitri memerhatikan pemuda yang ia hentikan langkahnya. Dan pemuda itu adalah
Darma.

“Maaf, Mas kuliah di sini?”

“Iya. Ada apa, ya?”

“Mau tanya Mas. Gedung D yang mana, ya?”

“Oh, gedung D. Mbaknya jalan aja lurus, nanti ketemu taman, belok kiri terus jalan aja
lurus sampai ketemu perpustakaan kampus, nah belakang perpus tepat adalah
gedung D.”

“Oh, oke Mas, makasih, ya.”

Darma mengangguk, berlalu.

Fitri melangkah sesuai arahan Darma dan termenung sambil mengingat sesuatu.
“Rasa-rasanya wajahnya nggak asing…. Hmm, sudahlah, aku harus segera
menyelesaikan urusanku di sini.”

***

5.

Darma menghentikan motornya di pinggir jalan, ia terheran mengapa jalan gang


menuju kosnya sangat ramai berkerumun orang, mobil polisi juga ambulans berjejer
di jalan sebelum masuk gang. “Ada apa, ya?”
PALSU| 16

Darma memarkir motornya di depan warteg. Ia memilih jalan kaki masuk ke gangnya.
Pelan-pelan ia menerobos kerumunan sembari bertanya-tanya.

“Ada apa, Pak, rame-rame?”

“Itu Mas, ada pembunuhan.”

Darma tercekat, “Hah? Pembunuhan?”

“Iya, Mas. Anak kampus.”

“Anak kampus di bunuh, Pak?”

“Bukan, Mas. Tapi yang bunuh anak kampus.”

Darma kembali terkejut, mendadak perasaannya nggak enak. Daerah kosan Darma
memang terkenal sebagai kampungnya anak kos kampus, karena daerah itu dekat
dengan beberapa kampus termasuk kampusnya Darma, menjadikan mata pencarian
bagi warga-warga disekitar situ untuk membuka kos-kosan, laundry dan catering
untuk anak kampus.

Darma memutuskan untuk melihat lebih dekat dimana lokasi pembunuhan terjadi,
jalan yang mulai penuh sesak orang-orang yang juga penasaran ingin mengetahui
apa yang terjadi di lalui Darma dan perasaannya semakin tak enak karena ternyata
keramaian itu semakin dekat dengan kosannya. ‘Apakah di kosanku ya? Tapi siapa?’
Darma sedikit bergidik. Dan semakin ia mendekati tempat kejadian perkara yang
ternyata memanglah kosannya, ia semakin bergidik.

“Ada apa ini, Pak?” tanya Darma ke salah seorang bapak paruh baya yang ikut
menyaksikan penangkapan tersangka di tempat itu.

“Itu, Mas. Ada anak kosan yang bunuh perempuan.”

Polisi mengamankan lokasi dan meminta orang-orang untuk tidak terlalu dekat.
“Mundur-mundur!” Teriak polwan yang mengacung-ngacung.

Darma semakin gusar tatkala melihat garis polisi sudah menyegel sebuah kamar, dan
itu kamar Aris. ‘Aris? Ada apa?’
PALSU| 17

Tak lama munculah Aris dengan tangan di borgol dan di apit oleh beberapa petugas
kepolisian.

“Minggir! Minggir! Beri jalan!” teriak polisi yang mengawal Aris.

Darma semakin gusar dan pucat saat Aris yang di kawal petugas kepolisian itu
melewatinya. Aris dan Darma sempat bertatapan mata.

‘Aris kamu kenapa?’ gumam Darma dalam hati.

Segala barang bukti dan beberapa barang milik Aris di bawa petugas kepolisian. Dan
yang semakin membuat Darma resah juga air wajahnya langsung pucat saat tim
medis keluar dari kamar Aris membawa jenazah dalam kantong jenazah berwarna
kuning. Darma menatapnya terkesima sekaligus bergidik luar biasa pada kantong
jenazah yang resleting penutup kantongnya mungkin di tutup buru-buru hingga masih
ditemukan helai-helai rambut panjang korban yang menyembul dari resleting kantong
jenazah.

Darma terpukul atas kejadian hari ini. Dan beberapa minggu kemudian teman-teman
kampus Aris boleh menengok Aris di tahanan termasuk Darma. Aris tertunduk saat
teman-temannya datang, hingga terakhir sebelum kunjungan itu diakhiri, Darma
meminta waktu untuk berbicara berdua dengan Aris.

Meski Aris banyak menunduk tapi ia jujur yang dikatakannya ke Darma.

“Ris, kenapa kamu bunuh perempuan itu?” Darma tipe yang tak terlalu suka basa-basi
memberanikan bertanya. Lalu Aris mulai menitikan air mata.

Darma akhirnya tahu siapa korban yang dibunuh Aris beberapa hari setelah
penangkapan kawannya kala itu, dia bernama Yepi, salah satu gadis korban Aris,
seorang TKW. Darma juga tak tahu bagaimana Yepi akhirnya bisa menemukan
tempat tinggal Aris.

Aris menggeleng pelan. “Dia menemukan tempat tinggalku, ternyata ia menyuap Bu


Yuti dan Bu Yuti membeberkan tentangku juga dimana aku tinggal. Dia datang dua
kali, dan yang terakhir aku gelap mata saat ia mengancam akan melaporkaku ke
polisi, aku…” terdiam sesaat. “Aku gelap mata menusuknya dengan pisau buah.”
PALSU| 18

Darma menghela napas panjang, bersamaan suara geluduk diluar tahanan


menggelegar kencang.

Sepulangnya Darma dari tahanan, ia terlihat gusar, di sepanjang jalan ia banyak


melamun, merenung. Hatinya bergejolak atara rasa takut, bimbang dan penyesalan.
Darma tersadar, mengerjakan hal yang tidak baik membuat akal sehatnya di gerogoti
keburukan. Darma terpikir Aris, kawannya itu, yang sudah banyak melukai, menipu,
dan membuat oranglain merana kini di balas oleh sesuatu yang berkali-kali lipat
sangat mengerikan. Darma yakin Aris tak pernah terpikir jika akhirnya Aris tega
membunuh nyawa seorang manusia. Aris tak pernah menyangka akan mendekap di
sel tahanan sebagai pembunuh, bukan hanya penipu. “Ini kah karmanya?” Darma
bergetar, ketakutan, ia biarkan hujan deras mengguyur tubuhnya. “Lalu aku? Apa
yang harus kubayar atas kesalahanku?” lambat laun cairan bening mengalir di sudut
mata Darma. Kejadian yang menimpa Aris seperti tamparan keras pula untuk Darma.

Dan hari-hari selanjutnya, Darma mengambil langkah berani mengakui kesalahanya,


mengembalikan segala yang ia peroleh dari beberapa perempuan yang pernah ia
lukai. Cacian, makian, hinaan, tentu Darma terima dari mereka.

6.

“Selamat datang di Maxiso!” slogan selamat datang diucapkan serempak pramuniaga


toko termasuk Darma yang sudah seminggu menekuni pekerjaan barunya sebagai
pelayan toko dan terpaksa meninggalkan kuliahnya karena ia tak sanggup membayar
biaya kuliahnya sementara waktu, ia memilih cuti dan berjanji akan melanjutkan
kuliahnya kembali setelah cukup uang terkumpul.

“Mas ada alat pembersih wajah.”

“Peralatan facial, kak?”

“Iya, betul, Mas.”

“Oke Kak, mari saya antar.”

Darma berjalan melewati jejeran rak yang tertata rapi, senyum terus mengembang
sebagai bentuk sikap ramah seorang penjual.
PALSU| 19

Dan pergantian shift sore, Darma bermaksud mendatangi Aina, tinggal Aina seorang
yang Darma belum meminta maaf pada gadis polos itu. Dan ia berencana sepulang
kerja akan mengunjungi Aina. Darma tahu gadis itu pasti luar biasa kecewa dan
Darma harus menerima kekecewaan itu.

***

“Fit, facebook dan nomer hpnya Mas Rangga kok sudah nggak aktif lagi, ya?”

Fitri melirik Aina yang menatap hampa layar handphonenya, lalu ia mengusap
punggung Aina. “Aina…”

Aina tak menghiraukan, ia terus menatap layar hp-nya, Fitri melanjutkan menjahit
tangan dan kaki boneka flanel. Namun sesekali ia melirik apa yang dilakukan
sahabatnya itu, Aina membuka profil teman-teman facebooknya sendiri, yang rata-
rata dari dunia KBT (keluarga besar tentara) entah itu suami, kakak, adik atau
pacarnya ada yang tentara, biasanya tergabung dalah grup itu.

“Ih, ada yang mau nikah!” ucap pelan Aina, matanya berbinar-binar menatap foto
prewedding seorang tentara berpangkat Sertu dengan seorang gadis berseragam
pramugari kereta api. “Seperti lukisan, indahnya,” decak kagum Aina lagi. Ujung
jarinya mengelus foto itu. “Mungkin aku nggak akan sempat sampai tahap ini, ya, Fit?”

Fitri tersentak, ia menggigit bibir dan lalu menepuk pelan lengan Aina. “Kamu
ngomong apa, sih, Aina!”

Aina tertawa kecil. “Kenapa kamu yang baper, Fit, sampai menepuk segala.”

Fitri tak tertawa, ia terpaku menatap Aina.

“Jangankan sampai tahap itu, ya, Fit, kenyataannya Mas Rangga saja sudah tak
pernah menghubungiku lagi, mungkin dia sudah….”

“Mungkin dia sedang tugas luar pulau, kamu jangan pikir yang enggak-enggak!”
potong Fitri, padahal biasanya Fitri yang agak tak setuju dengan hubungan Aina dan
Rangga karena Fitri merasa Rangga hanya mempermainkan sahabatnya itu. Namun
sejak tak sengaja dengar percakapan dokter ke orangtua Aina, bahwa kanker hati
yang di derita Aina semakin parah, kankernya telah menyebar, itu membuat Fitri tak
tega dengan apapun yang akan menyakit Aina.
PALSU| 20

Aina menatap layar ponselnya lagi. Mengamati foto-foto prajurit bersenjata yang
sedang latihan dengan samaran wajah, “Keren banget, ya,” gumamnya lagi. Fitri
berdiri dan mengambil ponsel Aina.

“Jangan main hp terus, kamu harus istirahat.” Fitri memasukkan hp Aina ke laci
sebelah ranjang dorong Aina. Lalu Fitri berdiri menatap Aina, ia sesungguhnya luar
biasa sedih tapi Fitri gadis tegar yang tak mudah menangis. Hanya menatap Aina
berbaring di ranjang dorong rumah sakit dengan infus di tangannya.

“Fit kamu kenapa?”

Fitri tersentak. Ia duduk lalu merapikan tangan-kaki boneka juga peralatan jahitnya
yang di bawa ke rumah sakit dengan maksud mengerjakan boneka pesanan itu sambil
menunggui Aina yang sudah 4 hari di rawat di rumah sakit kanker.

“Aina, aku pulang dulu, ya, nanti malam aku datang lagi.”

“Nggak usah datang nggak apa-apa, Fit. Kamu juga harus istirahat. Sejujurnya aku
jadi nggak enak, kamu ngerjain pesenan konsumen sendirian.”

Sesaat menggigit bibir, lalu agak bergetar Fitri berujar. “Kan kamu bisa membantuku
nanti, setelah se__”

“Sembuh?” potong Aina dan tertawa kecil. “Sepertinya aku nggak mungkin sembuh,
ya, Fit?”

“Kamu ngomong apa, sih, Aina! Aku pernah baca, ada kok penderita yang berhasil
sembuh dari kanker hati!” nada bicara Fitri agak tinggi.

Aina tersenyum. “Fit, aku juga pernah baca artikel itu, tapi si penderita itu berobat di
luar negri, rumah sakit khusus yang aku yakin biayanya sangat mahal. Keluargaku
mana sanggup, Fit.” Terlihat senyuman Aina begitu kaku, senyuman untuk
menyembunyikan keputusasaan. “Lagipula Fit, kankerku sudah menyebar, akan
terlambat untuk pengobatan apapun.”

Fitri menggenggam erat ujung kemejanya. Dan memaksa tawanya. “Hahaha, Aina,
Aina, kamu pasti terlalu banyak nonton drama sedih jadi baper gitu kan. Udah, ah, aku
pulang dulu, ya.”
PALSU| 21

Sekeluarnya Fitri dari ruangan itu, ia tak langsung berlalu, Fitri duduk di bangku
sebuah lorong rumah sakit. “Ya Tuhan, apa Aina akan sembuh?” ia mengingat kembali
perjumpaannya dengan Aina, perjumpaan di rumah sakit yang sama dengan
sekarang. Kala itu Fitri kecelakaan tunggal karena baru belajar naik motor, dan harus
menerima jahitan di sela-sela ibu jari dan jari telunjuknya. Di UGD rumah sakit itu, saat
sedang dijahit luka, sebuah ambulans tiba, mengantar seorang gadis yang kesakitan
dan memegangi perutnya sambil berbaring di ranjang dorong, dia Aina. Dan saat
kontrol luka, Fitri bertemu kembali dengan Aina yang sedang berjalan-jalan dengan
infus di tangannya. Di saat itulah mereka berkenalan hingga akrab seperti sekarang
ini. Menurut Fitri, Aina meski terlihat lemah, ia adalah sosok gadis yang kuat. Aina
masih bisa bersikap biasa saja meski ia sedang menderita sakit yang kronis, tak mau
terlihat sakit di depan siapa saja.

“Kok aku jadi nangis?” Fitri mengusap air matanya lalu pergi.

Sebelum pulang ke rumahnya, ia mampir di kios kecil dekat rumah Aina yang juga
merupakan kios bengkel pembuatan boneka flanel mereka. Fitri merapikan kios itu,
menggulung pita dan menumpuk kerdus-kerdus pembungkus juga meletakkan
beberapa tangan-kaki yang tadi dijahitnya selama menunggui Aina di rumah sakit.

Jendela kios itu sengaja Fitri tutup hingga penerangannya tak begitu terang. Fitri
duduk di tempat biasanya ia duduk, membelakangi pintu, dan Aina biasanya duduk di
depannya sambil menghias seragam boneka flanel juga box-nya, Aina telaten saat
menghias. Fitri duduk mematung sambil menatap tak ada siapa-siapa di depannya, ia
jadi takut kalau suatu saat Aina tak lagi ada, “Aku sendirian jika kamu nggak ada
Aina…” air mata Fitri kembali mengalir.

7.

“Permisi.”

Fitri menoleh. “Maaf, kios kami sedang tutup,” ujar Fitri sambil mengusap air mata
yang menggenang di pipi.

“Oh, iya, maaf, tadi saya lihat pintu kiosnya terbuka jadi saya pikir buka.”
PALSU| 22

Fitri berdiri, menoleh ke pintu. “Iya, Mas. Kami sedang tutup.” Dan Fitri mengamati
pengunjung kiosnya, seorang pemuda. ‘Rasa-rasanya pernah bertemu sebelumnya?’

“Maaf, Mbak. Apa benar di sini kios Aina?”

Fitri berjalan mendekat. “Iya betul. Saya dan Aina pemilik kios ini. Hmm, Mas ini siapa,
ya?”

“Saya…” Darma bingung memperkenalkan namanyasebagai siapa.

“Oh, ya, saya ingat! Mas ini yang dikampus waktu itu kan? Ingat nggak sama saya?”

Darma menahan napas. Terkejut.

“Saya yang dulu nanya gedung D.”

Darma berdehem. Ia bingung harus memulai dari mana untuk memperkenalkan


dirinya sementara kawannya Aina sudah tahu Darma kuliah di kampus itu dan bukan
seorang tentara.

Darma melepaskan senyum saja. “Maaf, apa Aina ada? Bisa saya bertemu?”

Kening Fitri berkerut, “Apa kamu kenal Aina?”

Darma mengangguk.

“Kenal dimana? Karena setahuku Aina tak punya banyak teman, apalagi cowok.”

Darma terdiam, ia berpikir apakah ia harus jujur pula pada teman Aina itu yang
notabene tak ada hubungan apapun dengan permasalahnnya pada Aina.

“Saya….”

“Rangga?” potong Fitri.

Raut wajah Darma sedikit resah, harusnya ia lebih siap tapi tak tahu kenapa lain
dilapangan, ia masih sedikit gugup.

“Maaf…”

“Tapi, tapi…. Aku bertemumu di kampus itu, kan? Apa kamu orang yang sama?”

Darma mengangguk.
PALSU| 23

“Aku ingin menjelaskan hal ini pada Aina sendiri.”

Fitri menggeleng. “Tidak! Aku sahabat Aina, ia sudah seperti saudara bagiku. Sama
saja jika kamu menjelaskan padaku.”

Darma terdiam, menunduk.

Fitri berfirasat tak enak, hatinya semakin sedih. “Apakah kamu menipu Aina?”

Darma terdiam, ternyata ia menag tak terlalu siap untuk mengakui.

Fitri menarik kerah Darma, matanya berkaca-kaca sambil terucap. “Apakah kamu
menipunya?” tanyanya sekali lagi.

Darma menunduk, sedikit mengangguk. “Maaf, aku harus menjelaskannya langsung


pada Aina.”

Fitri setengah menarik lalu menghempaskan cengkramannya dari kerah baju Darma.
“Kenapa kamu tega berbuat seperti itu pada orang sebaik Aina…” jatuh sudah air mata
Fitri, tak terbendung. Lantas Fitri teringat Aina yang putus asa pada penakitnya.

“Aku minta maaf juga padamu, maaf telah menyakiti sahabatmu.”

Fitri menghapus air matanya sendiri. “Kamu tahu…. Betapa bahagianya Aina saat
impian kecilnya terwujud. Kamu tahu…. Ia sangat ingin punya kekasih tentara. Kamu
tidak hanya menipunya tapi juga menghancurkan harapannya…”

“Iya, maaf,” jawab Darma dengan perasaan menyesal terdalam.

Fitri mulai terisak. “Maafmu sudah tak ada artinya. Berhari-hari Aina setia menunggu
kabar darimu, berhari-hari ia menunggumu….”

“Aku bisa bertemu Aina?” ulang Darma lagi.

Fitri mencoba menenangkan dirinya dan terulang lagi ingatannya akan kalimat dokter
bahwa kanker Aina sudah menyebar, parah.

“Baiklah, aku akan memberitahukanmu dimana Aina berada. Tapi bisa kah kamu
berjanji satu hal padaku sebelum kuberitahu dimana Aina?”

“Janji? Apa?”
PALSU| 24

Fitri menarik napas dan mengembuskannya perlahan. “Kamu harus menemui Aina
dengan memakai seragam tentara.”

Darma terkejut. “Tapi aku…”

“Aku akan memaafkanmu sebagai sahabat Aina jika kamu mau berjaji akan hal ini,
dan akan kuberitahukan dimana Aina.”

“Baiklah, aku…. Berjanji.”

Fitri menunduk sebentar kemudian menatap mata Darma. Darma mencoba membaca
tatapan Fitri yang terasa sangat sedih.

“Aina di rumah sakit kanker.”

Darma tertegun.

8.

Sore hari di hari yang berbeda, Darma mendatangi sebuah rumah sakit kanker. Sesuai
janjinya pada Fitri, ia datang mengunjungi Aina dengan seragam tentara meski Darma
tidak terang-terangan memamrkn seragam itu karena ia tutupi dengan jaket.
Langkahnya yang gundah berjalan di tiap koridor, tertunduk diam dan fokus pada
langkahnya, sesekali ia bertanya pada hatinya bagaimana perasaannya terhadap
Aina dan Darma mengakui ia tak memiliki perasaan cinta pada Aina, ia hanya
menyesal telah menyakit Aina dan tak tahu kalau ternyata selama ini Aina sedang
sakit. Dalam langkahnya, sesekali Darma teringat akan kata-kata Fitri bahwa mungkin
Aina akan lebih bersemangat mempertahankan hidupnya apabila Darma datang
sebagai Rangga. Dan Fitri juga bercerita, kenapa Aina begitu menyukai tentara, tak
lain ada ikatan masa kecilnya Aina kala itu. Saat Aina masih kecil, ia yang pernah
hidup di kaki gunung mengalami musibah longsor. Aina kecil dua hari terjebak dalam
reruntuhan longsor, penduduk selamat dan tim penanggulangan bencana yang
termasuk di dalamnya para anggota TNI mencari-cari keberadaan korban yang masih
dapat di selamatkan. Aina kecil yang ketakutan juga kelaparan selama dua hari
terjebak di reruntuhan longsor yang untung saja masih ada bisa bernapas karena ada
celah-celah dari tumpukan batu yang tak sepenuhnya menutup lalu ditemukan oleh
PALSU| 25

prajurit TNI, di mata Aina prajurit itu terlihat seperti malaikat yang menolongnya dari
rasa takut setakut-takutnya.

Kini Darma berdiri di depan pintu kamar Aina berada. Ia menarik napas panjang,
mengembuskannya sebelum ia memberanikan diri mengetuk pelan.

“Permisi.”

Pelan Darma membuka pintu, “Hai…” Darma mencoba tersenyum untuk tak terlalu
kaku.

Aina terkejut. “Mas Rangga?”

Darma melangkah masuk, menuju dekat ranjang Aina, senyum ramah tetap
tersungging.

“Tahu dari mana aku di sini?” Aina terlihat salah tingkah. Ia meraba-raba kaca di laci.
“Aduh aku kelihatan jelek sekali sekarang.”

Darma tersenyum kembali, “Tidak, kamu masih cantik kok,” ungkapnya sambil
menatap Aina yang terlihat semakin kurus, Darma prihatin dan merasa tak enak hati.

Aina buru-buru mengoleskan lip gloss ke bibirnya yang sangat pucat. “Aduh, aku malu
kalau Mas Rangga melihatku seperti ini.”

Darma meletakkan seikat bunga di atas meja di samping ranjang Aina. “Bagaimana
keadaanmu?”

“Sudah membaik,” jawab singkat Aina. Ia terlihat lebih bersemangat sesuai dugaan
Fitri.

“Syukurlah.” Darma menunduk sesaat dan menatap kembali Aina. “Oh, ya, maaf, ya
Aina, aku lama nggak ada kabar, karena….”

“Iya, Mas. Nggak apa-apa, aku tahu kamu sibuk. Semangat ya Mas,” ujar Aina dengan
wajah berseri dan membuat Darma semakin tak tega untuk jujur.

“Aku latihan terjun payung,” bohong kembali Darma akhirnya, ia tak tega untuk berkata
jujur.

“Wah, latihan terjun payung? Keren banget! Pasti mengasikkan, ya, Mas.”
PALSU| 26

Darma mengangguk dengan tetap tersenyum.

“Apakah kamu menyentuh awan, Mas?”

Darma mengangguk. “Ya, aku menyentuh awan. Rasanya seperti menyentuh asap.”
Darma sendiri tak tahu rasanya naik pesawat seperti apa, ia hanya mengarangnya
untuk membuat Aina lebih bersemangat.

“Menyentuh asap? Wah seperti apa itu, ya. Aku ingin sekali naik pesawat tapi belum
kesampaian.”

“Kamu belum pernah naik pesawat, Aina?”

Aina menggeleng. “Sepertinya belum.”

“Oke baiklah, suatu saat aku akan mengajakmu naik di pesawatku, ya, tapi kamu
harus sembuh.”

Mata Aina sedetik kosong, ‘Mana mungkin aku sembuh…’

Dan entah mengapa Darma seolah mengetahui kata hati Aina. Ia pun turut bersedih.

“Aina, maaf aku nggak tahu kalau kamu sedang sakit.”

Aina tertawa. “Ah, ini sakit perut biasa, kok, Mas. Kata dokter kalau aku rajin minum
obat, nanti juga akan sembuh.”

“Oh, gitu, ya.” Darma ikut tertawa kecil bersama Aina meski sebenarnya ia tahu
keadaan Aina dari Fitri dan sebelum mendatangi Aina, Darma sempat browsing-
browsing tentang penyakit kanker hati.

“Oh, ya, bagaimana usaha flanelmu, Aina? Kulihat sangat laris.”

Dan Aina mulai bercerita tentang bisnis flanelnya bersama Fitri, Darma memerhatikan
cara Aina berbicara, begitu ceria, ‘Apakah karena kehadiran Rangga?’ lirih Darma
merasa terharu dan jadi tak tega.

Dan sejak itu Darma kerap datang, menjenguk Aina, menemani gadis malang itu.
Keluarga Aina ikut senang atas kehadiran Darma yang ia tahu sebagai Rangga,
terutama orangtua Aina, merasa ada sebuah semangat di hati putrinya meski dokter
sudah memberitahu kemungkinan Aina takkan bertahan lama karena kankernya
PALSU| 27

sudah menjalar kemana-mana, bila di kemo pun kasihan. Di sisa waktu ini, mereka
ingin membahagiakan Aina.

Suatu hari Darma merenung, menyesali kebohongannya namun jika itu terbongkar,
Darma takut menghadapi resikonya, hanya berdoa dan berdoa agar semua baik-baik
saja meski jauh di lubuk hatinya takkan pernah tenang.

“Darma!”

Darma tersentak dari lamunannya.

“Aldo, ada apa?”

“Enggak, hanya saja kulihat akhir akhir ini kamu sering melamun.”

Darma tersenyum tipis. “Nggak tahu, Do.”

“Kamu kepikiran Aina?”

Darma menoleh ke Aldo yang akhir-akhir ini menjadi tempat curhat Darma, Aldo
adalah kawan barunya di tempat kerja paruh waktunya itu, meski pertemanan mereka
tergolong baru, Darma bisa percaya pada Aldo karena pemuda itu paling alim dan
rajin ibadah diantara kawan-kawan kerjanya.

“Kenapa nggak jujur saja kalau kamu Darma, bukan Rangga.”

“Nggak semudah itu. Aku…. Takut. Baru kali ini aku merasa takut yang luar biasa.”

Aldo menepuk pundak Darma yang masih duduk di bangku panjang ruang belakang
toko. “Takutnya waktu sisa sedikit.”

Deg. Seperti ada tekanan di hati Darma.

“Kamu mencintainya?”

Menatap sebentar dengan ekspresi ragu lantas Darma menjawab, “Aku nggak tahu.”

“Kok bisa terus berada di sisinya?”

“Mungkin perasaan bersalah.”

Aldo tersenyum selepas menghela pendek.


PALSU| 28

“Dan, aku hanya ingin melihatnya menerima kebahagiaan di sisa hidupnya. Tapi aku
malah menyakitinya dengan kebohongan.”

Aldo menatap Darma, ia tahu Darma juga tersakiti oleh kebohongan itu, ingin melepas
tapi ia pun takut jika semua berakhir menyedihkan, ia takut melukai Aina sekali lagi
dan meski menyakitkan, Darma tetap bertahan pada kebohongannya.

“Darma, aku hanya bisa berdoa untukmu.”

Darma termenung lagi, kali ini ia memikirkan berita yang di dapatnya dari kawan-
kawan kampusnya kalau Aliandra Lesmana yang kerap mengusiknya di kampus.
Sekarang tak pernah lagi datang ke kampus, dikabarkan ia terkena penyakit menular
yang parah. Darma mendengus, “Pasti ada yang harus dibayar untuk sebuah dosa.”

***

Dua hari setelah keluar dari rumah sakit, selama dua minggu Aina istirahat di rumah
meski lama kelamaan ia merasa jenuh. Beberapa kali ia meminta Fitri mengantarnya
untuk berjalan-jalan tapi Fitri terlalu khawatir dengan kesehatan Aina. Seperti halnya
hari ini, Aina kembali meminta Fitri untuk mengantarnya berjalan-jalan dan nggak tahu
mengapa hari ini ia bersedia, mungkin lama kelamaan kasihan juga ke sahabat paling
di sayangnya itu.

Di sebual mall.

“Beneran mau nonton?”

“Bener Fit, aku pengen banget nonton film.”

Fitri memerhatikan Aina dan jaket parka yang melindungi tubuh kurus Aina. “Kalau
nonton, di dalam dingin lho. Aku takut kamu kedinginan.”

“Maksudnya di dalam bioskop dingin?”

“Iyalah, emang kamu nggak pernah nonton?”

“Pernah, sih, tapi udah lama dan udah lupa rasanya.” Aina nyengir.

“Yaudah, yuk. Tapi kalau perasaanmu nggak enak, kasih tahu ya, kita segera pulang
aja.”
PALSU| 29

“Siap, hehehe. Oh, ya, Fit, kamu udah bikinkan boneka requestku?”

Fitri tertegun, ia masih ingat permintan Aina untuk membuatkan boneka flanel
sepasang, dengan seragam PDH AU dan gadis berseragam jas putih, bertuliskan
Rangga dan Aina. Fitri tak merasa heran karena ia tahu Aina pernah bercerita kalau
cita-citanya menjadi seorang dokter. Tapi itu dulu sekali.

“Ya, masih dalam proses,” jawab singkat Fitri, ia jadi sedih mengetahui ia terlibat
dalam sebuah kebohongan.

Pintu lift terbuka. Fitri menggandeng sahabatnya, masuk ke dalam lift. Keduanya
masuk kedalam ruang kecil lift. Aina memilih berdiri di pojok. Ruang lift itu sedikit mirip
tabung, dimana sisi pojoknya merupakan kaca bening berlapis kaca tebal, jadi
pengunjung lift bisa melihat-lihat suasana luar lift seperti melihat pemandangan dari
jendela kaca. Mata Aina bermain diantara pemandangan tiap lantai ketika lift mulai
naik perlahan. Lalu degub jantungnya berirama tak selaras, tiba-tiba terasa sesak saat
pandangan matanya mendapati seorang pria tak asing baginya, pria itu sedang
menunduk di depan gerbang pertokoan saat pengunjung toko berdatangan seolah
mengucapkan selamat datang. ‘Rangga!’ pekiknya dalam hati. Ingin rasanya tidak
mengakui penglihatan itu namun pemandangan itu terlihat jelas dan iya yakin betul
sosok itu adalah pria yang ia kenal sebagai Rangga.

“Duh, meski beberapa kali naik lift rasanya tetap mual,” ujar pelan Fitri, tapi tak adanya
tanggapan dari Aina membuat Fitri berpikir ada sesuatu yang terjadi dan ia menoleh
kebelakang, terkejut karena mendapati Aina sudah lemas dengan wajah pucat.

“Aina kamu kenapa!” pekiknya, dan tersadar akan terjadi hal yang lebih buruk, Fitri
meminta bantuan dari orang-orang sekitarnya untuk menggotong tubuh Aina yang
telah lemah. Aina dilarikan ke rumah sakit.

***

9.

“Jadi, kamu tahu yang sesungguhnya, Fit?” tanya Aina selepas beberapa jam siuman.

Lelehan air mata tumpah dari sudut mata Fitri, ia menatap penuh penyesalan ke Aina
yang masih terduduk lemas di ranjang rumah sakit.
PALSU| 30

Fitri tak mampu berkata apapun selain memperlihatkan tangisan. Air mata Aina pun
tumpah membasahi pipinya pada akhirnya.

“Ma, aku tak ingin melihat Fitri di sini,” ujarnya dingin pada Mamanya yang sudah sejak
tadi mendampingi Aina di rumah sakit sejak Fitri menelepon memberikan kabar
kondisi Aina yang di larikan ke rumah sakit.

Fitri tersentak, “Aina, maaf….”

Mama Aina merangkul pundak Fitri. “Fit, biarkan Aina sendiri dulu, bagaimana pun ini
tak mudah bagi Aina.” Mamanya Aina lebih memahami keadaan setelah Fitri
menceritakan yang sebenarnya.

Fitri keluar ruangan dengan tersedu, dan memilih bangku yang sepi di area rumah
sakit untuk melepaskan tangisnya yang sedih. Ia sadar betul keputusannya untuk
membohongi Aina membuat keadaan lebih menyedihkan, diluar rencana, semua yang
ia lakukan semata-mata ingin membuat Aina bahagia meski pada akhirnya realitanya
seperti ini, Fitri tak sanggup berkata apa-apa selain tangisan yang mewakili
segalanya. Lama-kelamaan ia tak sanggup menanggung kesedihan ini sendiri, Fitri
menghubungi Darma dan menceritakan apa yang terjadi meski Fitri yakin Darma akan
sangat terkejut mendengar kabar ini hingga pemuda itu segera datang ke rumah sakit.
Sayangnya, Aina pun menolak untuk bertemu Darma.

Berkali-kali Darma mencoba menemui Aina di kamarnya tapi Aina yang di wakili
mamanya menolak, sampai-sampai perawat rumah sakit angkat suara untuk
menyarankan agar Darma datang saja lain kali. Darma menyerah, tapi dalam
perjalanan menuju parkiran motor ia berhenti, mencoba menelepon Aina dan tersadar
nomer hp nya di blokir Aina. Terakhir yang terlintas dalam pikirannya, ia menulis di
sebuah surat lalu menitipkannya pada seorang perawat di bangsal dimana Aina di
rawat.

***

6 tahun berlalu.

Bunga di taburkan diatas pusara, wanginya semerbak. Pelataran pemakaman pagi itu
cukup sepi.
PALSU| 31

“Sudah 6 tahun sejak kepergian Aina, cukup lama tapi bagiku seolah baru terjadi
kemarin,” ucap Darma sembari menaburkan ragam bunga diatas makam.

Fitri menghela, meski tatapannya sedih, bibirnya segera merekah sebuah senyuman.
“Aku yakin Aina sudah bahagia di sana, nggak merasakan sakit lagi.” Fitri terngiang
saat terakhir Aina, ibu Aina menelepon dan meminta Fitri datang atas permintaan
Aina, saat itu Fitri bahagia sekaligus sedih. Bahagia bisa bertemu dan melihat
sahabatnya lagi, sekaligus bersedih karena hari itu ia melihat Aina untuk yang terakhir
kali.

Sejak kejadian enam tahun lalu itu, Darma dan Fitri menjalin persahabatan.

“Fit, kenapa ya masih ada yang mengganjal di hati?”

“Itu karena kamu baru menyadari kalau kamu mencintai Aina, kan, Mas?”

Darma terdiam. Rasa-rasanya ucapan Fitri benar, Darma menyadari perasaannya


pada Aina sangat terlambat, ia mengakui rasa cintanya tumbuh pada sosok Aina
setelah gadis itu tiada. “Perjuangan hidup Aina yang membuatku jatuh hati pada
akhirnya.”

Fitri memerhatikan Darma dengan ulas senyum.

“Kenapa kamu tersenyum, Fit?”

Dengan masih tersenyum, “Enggak apa-apa, hmm, seandainya saja Aina melihatmu
sekarang, pasti ia bahagia,” ucapnya sambil menunjuk seragam TNI AU di tubuh
Darma.

Darma tersenyum tipis. “Aku nggak tahu kenapa akhirnya selulus kuliah aku
mendaftar TNI AU.”

“Kalau pangkat strip dua gini namanya apa, Mas?”

“Letnan satu.”

“Kok aneh, ya. Letnan satu malah stripnya dua. Jangan bilang yang pangkat letnan
dua stripnya satu?”

“Yups, betul.”
PALSU| 32

“Sungguh? Kok aneh, ya.”

Darma tertawa kecil. “Aku sebenarnya nggak ada niat mau jadi tentara. Tapi dulu aku
ingat pernah dapat selebaran jika ada penerimaan tentara dari sarjana dan entah jadi
ingat lagi sama Aina. Hmm, meski dulu sebuah kebohongan tapi aku ingin ini bukan
kebohongan lagi, aku ingin jadi tentara yang sebenarnya, meski Aina telah tiada. Aku
hanya ingin mewujudkannya.”

“Ya Mas. Aina pasti bangga kalau melihatmu sekarang.”

Darma menatap pusara Aina, membersihkan tanah-tananhnya dari dedunan yang


telah mengering dengan tangannya.

“Mas Darma, apa kamu belum bisa move on dari Aina?”

Darma menoleh dengan tawa kecil. “Apa maksudmu, Fit?”

“Yah, kulihat kamu masih sendiri. Jangan bilang kamu trauma?”

“Nggak tahu, Fit. Penyesalan masih….”

“Mas Darma! Aina akan sedih ngeliat kamu begini.”

Seorang pria muncul dengan menggendong seorang anak balita berusia dua tahun.

“Makanya bunda doakan Darma dapat jodoh segera.”

Darma terkekeh pelan. “Ah, kamu, Do!”

Fitri tertawa kecil pula. “Udah dapat, Yah, yang jual airnya?”

“Udah, Bun.” Aldo menyerahkan tiga botol air mineral ke Fitri, istrinya. Fitri menuang
rata air itu keatas tanah makam Aina.

“Yang jelas aku senang sudah berhasil nyomblangin kalian,” ungkap Darma sembari
mengusap putra Fitri dan Aldo.

Aldo membalas tawa. “Tak ada sesuatu yang kebetulan, ya, Darma, termasuk
pertemanan kita yang akhirnya aku menemukan jodohku,” ucapnya sambil merangkul
Fitri.

“Ih, Ayah. Ngapain rangkul-rangkulan segala.”


PALSU| 33

Ketiganya tersenyum dan dalam senyuman itu terlintas kembali kenangan akan Aina,
bahkan Fitri berandai-andai, seandainya Aina masih ada.

“Oh, ya, Darma. Tumben kamu pakai seragam gini ke makam?”

“Aku nanti langsungan berangkat tugas.”

“Lho kemana?”

“Ke Palu. Ngirim bantuan ke sana.”

“Oh, hmm, turut prihatin, ya dengan kondisi Palu,” ucap Aldo.

“Iya, Yah, kasihan, ya, banyak korban jiwa.”

***

10.

Beberapa jam kemudian di Palu.

“Semua sudah diturunkan?”

“Siap, sudah!” jawab Darma.

Dan beberapa prajurit datang melapor. “Izin komandan, banyak warga yang memaksa
ikut naik ke pesawat, mereka cemas karena gempa susulan.”

Darma melihat warga yang berusaha menerobos, jumlah mereka sangat banyak, tidak
mungkin membiarkan mereka semua ikut. Darma mengiba, ia bisa merasakan mereka
pasti amat ketakutan.

“Perbolehkan anak-anak, lansia dan perempuan yang terluka saja.”

Setibanya pesawat di Lanud, semua korban yang sempat ditampung dan diangkut
oleh pesawat segera di bawa ke RSPAU Dr. S. Hardjolukito. Darma membantu
mengantarkan mereka. Petugas medis mendata korban satu persatu lalu berhenti
pada seorang gadis dengan luka di kepalanya, gadis itu terlihat penuh dengan
lamunan yang membuatnya terkesan sedih berat.

“Mbak namanya siapa?” tanya petugas medis.


PALSU| 34

Gadis itu tak segera menjawab, tatapan matanya kosong.

Darma menoleh padanya, sedikit heran lantas ia memaklumi keadaan gadis itu, masih
trauma. Darma memalingkan wajah, berniat berjalan mendahului untuk menolong
yang lainnya.

“Mbak, kami harus mendata. Nama Mbak siapa?” ulang petugas medis, ia berusaha
lebih sabar.

“Aina….”

Darma terkejut, ia menoleh pada gadis yang sedang duduk dengan ekspresi datar
sambil mendekap tubuh itu. Darma terkejut saat gadis itu mengungkapkan namanya,
meski Darma tahu betul bahwa gadis itu bukan Aina yang ia kenal, wajahnya pun
berbeda, karena kesamaan nama saja hingga membuat Darma menoleh pada gadis
berbadan tinggi itu.

“Maaf, nama saya Salma,” ucap gadis itu lagi, meralat namanya.

Darma kini terheran, mengapa gadis itu sekarang mengatakan bahwa namana adalah
Salma.

Beberapa saat setelahnya, para korban telah mendapat pertolongan pertama. Meski
ada kejadian tak terduga lainnnya ketika Darma dan prajuritnya hendak meninggalkan
RSPAU. Gadis bernama Salma tadi berlari mengejar.

“Pak, Pak Tentara tunggu!”

Darma menoleh. ‘Gadis ini, gadis yang tadi….’

“Pak! Apa bapak akan kembali mengirim bantuan ke Palu?”

“Iya, tapi tidak hari ini, bergantian dengan pesawat lain yang juga mengangkut relawan
bencana.”

“Pak tolong saya, saya ingin kembali ke Palu.”

Darma tersentak, kenapa gadis itu terkesan memaksa kembali, Darma berpikir cepat,
mungkin gadis itu ingin mencari keluarganya yang terpisah.

“Tapi, Anda sedang terluka.”


PALSU| 35

“Tidak, ini luka ringan saja.”

Gadis itu sepertinya menyadari jika ia bakal kesulitan untuk bisa kembali ke Palu.

“Saya ingin bergabung jadi relawan, Pak. Tolongah saya.”

Darma mendengus.

Gadis itu mengulurkan tangannya. “Saya dokter. Dokter Salma.”

***

Di dalam pesawat.

“Pak.”

Darma sedikit kaget, seseorang mendekat padanya, ia menoleh.

“Bapak di pesawat ini juga?” tanya dokter Salma.

Darma mengangguk. “Iya, karena masih ada tugas untuk pendistribusian bantuan.
Hmm, sekaligus mengantar tim relawan.”

Dokter Salma tersenyum. “Terima kasih sudah menolong saya. Juga terima kasih
sudah memberi bantuan saya untuk bergabung dengan tim relawan.”

“Karena Anda dokter,” jawab cepat Darma. “Juga, hmm, aku rasa Anda ingin
memastikan keadaan seseorang di sana.”

Dokter Salma tertawa kecil. “Anda bisa membaca pikiran saya.”

Keduanya saling berpamitan lalu Salma kembali ke tempat duduknya. Darma


memerhatikan dokter muda itu banyak merenung, ia menebak mungkin dokter Salma
sangat memikirkan sesuatu, keselamatan seseorang.

***

11.

Salma memerhatikan awan yang menggumpal di sepanjang penglihatannya dari kaca


jendela pesawat. Dan tiba-tiba pesawat berguncang, tubuh Salma bergetar, ia
PALSU| 36

seketika menggigil, guncangan pesawat membuat ingatannya kembali pada tragedi


gempa bumi yang baru saja menimpanya.

“Dokter Salma.”

Salma melirik pelan ke sisi kirinya.

“Anda tak apa-apa? Anda tampak pucat.” Darma mendekatinya, tentara berpangkat
Letnan Satu itu sekilas melihat Salma yang tiba-tiba berajah amat pucat.

Salma menarik napas dalam-dalam. “Ti-tidak apa-apa, hanya saja guncangan di


pesawat ini membuatku teringat akan gempa.”

“Pasti membuat Anda trauma.”

Dokter Salma mengangguk pelan.

Dan setelah kondisi pesawat normal, Salma sedikit rileks dan meregangkan
cengkraman tangannya dari kursi.

“Sudah berapa lama Anda menjadi dokter?”

Salma menoleh dan menatap mata Darma, kemudian pandangannya kembali


menunduk.

“Oh ya maaf belum berkenalan.” Darma mengulurkan tangannya. “Letnan Darma.”

Salma membalas uluran tangannya.

“Salma, Anda sudah tahu namaku.”

Darma mengangguk tersenyum. Darma bukannya ingin mendekati Salma untuk


berniat macam-macam, ia hanya penasaran mengapa Salma menyebut nama Aina.

“Oh, ya, aku belum lama menjadi dokter.” Dan mereka berdua melanjutkan obrolan
ringan.

Kapten pilot menginformasikan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat. Salma
melihat pemandangan kota Palu dari atas, ia merinding, mendapati kota yang selama
ini membesarkan menjadi porak poranda, air mata tiba-tiba meleleh.
PALSU| 37

Darma mendengus memandangi Dokter Salma, pasti tak mudah bagi dokter muda
berambut lurus itu.

***

Pertama kali menginjakkan kembali kakinya di Palu, pemandangan Palu yang porak
poranda membuat hatinya pilu. Dari satu posko pengungsian ke posko pengungsian
lainnya Salma mencari seseorang, hingga malam menjelang.

“Dokter, anak saya panas tinggi!” teriak seorang ibu yang tiba-tiba menarik tangannya.
Salma dan ibu itu berlari masuk ke tenda pengungsian, memberinya penanganan
medis.

Udara malam dingin, Salma menutup res jaketnya. Dari kejauhan, ia melihat beberapa
orang tentara sedang mendirikan tenda-tenda.

“Letnan Darma masih di sini rupanya,” gumam Salma, mengetahui salah seorang
diantara tentara-tentara itu adalah Darma.

Salma merebahkan tubuhnya diatas rerumputan yang masih tersisa, kedua


tangannya menjadi bantal penopang kepalanya lalu pandangan matanya menembus
langit malam, menyaksikan bintang-bintang yang berkerlip dan tampak sedang
tenang-tenang saja tak peduli ada banyak kesedihan di daratan kecil ini.

“Rasanya baru kemarin aku berada ditengah-tengah keluarga yang hangat itu….”

Salma memejamkan mata, air matanya meleleh. “Kebohongan ini menyiksaku


sepanjang waktu.”

“Dokter Salma, Anda tak apa-apa?”

Salma buru-buru duduk dan menghapus air matanya.

“Anda, Let. Mengagetkanku saja.”

“Maaf kalau bukan saat yang tepat.”

Dokter Salma menggeleng.

“Dok, sepertinya Anda sedang mencari seseorang, kulihat Anda sibuk bertanya-
tanya.”
PALSU| 38

Dokter Salma mendengus. “Aku sedang mencari keluargaku.”

“Apakah Anda tidak bersama mereka ketika bencana itu terjadi?”

Salma menggeleng.

“Sudah lama aku keluar dari rumah.”

“Anda pergi dari rumah?”

Salma menoleh, menatap Darma.

“Ah, maaf, Dok, kalau lancang.”

“Nggak. Nggak apa-apa, Let. Hmm, banyak hal yang terjadi.”

“Pasti Anda sangat sedih.”

“Ya, meskipun keluarga yang sedang kucari ini adalah bukan keluarga kandungku?”

“Anda anak angkat?” darma merasa Dokter Salma merupakan sosok yang penuh
tanda tanya.

“Bisa dikatakan begitu. Bisa dikatan bukan.”

Darma tak mengerti.

Sebenarnya Darma sempat mendengar Dokter Salma mengatakan kalimat tadi,


‘Kebohongan ini menyiksaku sepanjang waktu.’ Dan mendengar kalimat Dokter
Salma itu membuatnya teringat akan diri sendiri hingga Darma sedang berkesimpulan
bahwa Dokter Salma juga tak jauh beda dengan apa yang dialaminya dulu.

“Maaf, Dok, apakah Anda pernah berbohong?”

Dokter Salma tersentak. “Apa maksud Anda?!” balas Salma agak ketus.

Darma tersenyum. “Tenang Dok, aku tak berbicara tentang Anda. Tapi diriku sendiri.”

Kening Salma mengernyit.

Dalam sikap duduk dengan kaki menekuk kedepan, mata Darma menatap jauh di
hamparan padang reruntuhan bangunan.
PALSU| 39

“Sebelum saya menjadi tentara, aku pernah membohongi beberapa orang sebagai
tentara gadungan.”

Dokter Salam tertegun.

“Ada seorang gadis baik hati yang menjadi korbanku kala itu.”

Salma menyimak ucapan Darma. “Dan lama kelamaan aku tak tega membohonginya
terus, suau hari aku berniat minta maaf dan jujur bahwa aku hanya membohonginya
saja, aku tentara gadungan.” Darma menghentikan kalimatnya.

“Lalu?”

“Lalu, niatku untuk jujur itu tak kesampaian saat kutahu dia menderita kanker hati dan
hidupnya tak lama lagi karena kanker telah menjalar kemana-mana.”

Ekspresi Salma berubah sedih. “Anda memutuskan untuk terus berbohong, Let?”

Darma mengangguk. “Dan yang namanya kebenaran akhirnya terbongkar, dia


melihatku di mall sebagai pelayan sebuah pertokoan.”

Napas Salma tertahan. “Akhirnya ia tahu Anda tentara gadungan, Let?”

“Iya Dok. Dan tiba-tiba kondisinya memburuk…. Karena aku.”

Salma diam, ia merenungi nasibnya yang menurutnya hampir sama dengan yang
dialami Darma.

“Anda tahu Dok, sebenarnya seseorang yang berbohong juga sangat menderita. Ingin
sekali melepaskan itu tapi sangat takut, takut menyakiti orang-orang yang mereka
sayangi.”

Air mata Salma seketika meleleh.

Darma panik. “Anda kenapa Dok?”

“Nggak apa-apa,” ucap Salma sambil menyeka air matanya.

“Maaf jika kata-kataku sudah menyinggung Anda.”

Salma menggeleng. “Sejujurnya apa yang kualami tak jauh dari pengalaman Letnan
Darma.”
PALSU| 40

Sedikit terkejut. “Anda bukan dokter sungguhan?”

Salma tertawa kecil meski di sudut matanya masih ada sisa air mata. “Saya beneran
dokter, kok, Let.”

“Ah, maaf.” Darma tersenyum sungkan. “Kalau Anda tak keberatan menceritakannya,
aku bisa menjadi pendengar yang baik. Anda seorang dokter, pasti tahu jika lebih baik
untuk psikis Anda bila menceritan setiap beban di hati agar lebih ringan.”

“Yah, Anda benar, Let.”

Dan gadis mulai bercerita bahwa dulu ia mempunyai seorang teman di sebuah rumah
penampungan anak terlantar. Rumah penampungan itu sangat memprihatikan karena
jarang mendapat bantuan hingga para anak-anak terkadang kelaparan. Suatu hari ia
mengetahui bahwa ada sebuah keluarga yang mencari putrinya yang hilang saat
bencana longsor bernama Salma Helmia, ia mengetahui kabar itu dari kawan-kawan
jalanannya, lalu karena ia sudah tak ingin lagi hidup menderita seperti itu, ia mencari
orang yang mencari Salma sebelum orang itu sampai di rumah penampungan dan
mengakui bernama Salma Helmia, ia mengakui identitas teman serumah
penampungannya itu.

“Aku jahat banget, ya, Let.”

Keduaya terdiam sambil menatap lurus ke depan, terutama Salma yang nama
sebenarnya bukan Salma, ia menatap dengan tatapan kosong.

“Berarti nama Anda bukan Salma?”

Salma menggeleng pelan. “Itu nama temanku di rumah penampungan dulu. Aku
berkata padanya bahwa ada seorang nenek yang nampak jahat datang mencari untuk
mengambilnya, dan dia, Salma yang asli ketakutan. Kukatan padanya untuk bertukar
nama, dia memakai namaku dan aku memakai namanya, agar dia aman, ucapku saat
itu.”

“Apa keluarga teman Anda tak mengenali Salma yang sebenarnya?”

“Untungnya tidak Let, Mama Papa asli Salma tewas saat terjadi bencana longsor
sedangkan keluarga yang mencari Salma itu adalah neneknya yang tak pernah tahu
bagaimana rupa cucunya karena papa pama Salma itu menikah tak direstui dan lari.”
PALSU| 41

Dokter Salma mendengus. “Aku benar-benar jahat sebagai seorang teman.” Air mata
Salma meleleh. “Andai waktu bisa di putar.”

“Dok, karena waktu tak bisa di putar, kita hanya bisa berusaha memperbaikinya.”

Dokter Salma menatap Darma. “Aku takut Let. Takut sekali.”

Darma tersenyum prihatin, ia pun pernah berada di posisi itu.

“Dokter Salma, apakah orang yang Anda cari-cari itu adalah nenek Anda?”

Salma mengangguk dan air matanya keluar lagi.

“Let, sebenarnya aku sudah mengakui kebohonganku dengan selembar surat, lantas
aku tak berani lagi bertemu nenek. Selulus kuliah aku pergi dari rumah. Sejujurnya
aku mencari-cari keberadaan temanku, ingin kukembalikan posisinya ini. Aku ingin
menemukannya dan mengakui semua kesalahanku dan aku sungguh menyesal.”

“Dan Anda sudah menemukannya?”

Dokter Salma menggeleng. Air matanya tumpah. “Kuharap dia bahagia dan di sayangi
keluarga barunya seperti keluarganya menyayangiku. Kuharap ia bahagia lebih
dariku…”

“Anda datang lagi kemari setelah pergi dari rumah pasti ada alasannya Dok?”

Salma menyeka air matanya meski terus menetes, ia berusaha tersenyum. “Aku
kangen nenek, ingin melihatnya sebentar saja. Hmm, sejujurnya aku mimpi buruk,
terjadi hal buruk pada nenek, dengan pesawat sore aku datang ke Palu, dan bencana
itu terjadi sebelum aku sempat bertemu nenek.”

“Dok, menurutku Anda orang yang baik.”

Salma tertawa kecil meski beban tak bisa lepas dari hatinya, tapi ucapan Darma
sedikit menghiburnya. Dokter Salma menyeka air matanya.

“Lalu, siapa nama asli Anda?”

Dokter Salma melirik, mereka bertatapan. “Nama asliku….”


PALSU| 42

“Dokter! Dokter! Ada yang muntah darah!” seorang warga di tempat penampungan
berteriak sambil berlari.

12.

Pagi harinya. Suasana penampungan masih terasa asing bagi Darma. Aroma-aroma
menyeruak dari tanah. Pagi-pagi sekali setelah sarapan, ia membantu tim evakuasi.
Demikian pula Dokter Salma, pagi-pagi sekali ia sudah bergiat, membagi-bagikan obat
dan memeriksa korban yang baru saja ditemukan dan masih dapat tertolong. Hingga
siang hari Dokter Salma masih sibuk sembari mencari-cari keberadaan neneknya.
Sempat putus asa karena dari info yang ia dapat jika warga sebuah keluarahan Palu
Selatan banyak menelan korban jiwa dan itu daerah tempat tinggal neneknya.

Sampai siang Salma membagi-bagikan obat, antrian pun bertambah panjang. “Ya,
selanjutnya,” ucap Salma.

Lantas seorang gadis remaja menyentuh tangannya. “Kak Salma!”

Salma terkejut, sembari memerhatikan wajah gadis remaja di depannya.

“Saya Neni, Kak!”

Ramha tersentak, ia kenal dekat gadis itu, gadis belia yang tinggal disebelah rumah
neneknya. Salma memeluk erat gadis itu. “Kamu selamat!”

Neni seketika menangis didalam dekapan Salma.

“Iya, Kak. Tapi Bapak sama Mamak nggak ada.”

Air mata Salma ikut meniti, terngiang orangtua Neni yang juga sangat dikenalnya baik.

“Yang penting sekarang kamu selamat.”

“Kak Salma, Nenek Mina selamat.”

“Dimana?! Nenek sekarang dimana?”

“Di posko atas, Kak.”


PALSU| 43

Melewati reruntuhan bangunan, Dokter Salma berjalan kaki dengan terburu-buru. Di


satu sisi ia amat bahagia nenek yang selama ini mengasuhnya selamat, di sisi lain ia
takut melihat wajah Nenek Mina menatapnya dengan penuh kebencian.

Ditengah perjalanan Dokter Salma mengehentikan langkah, ia ragu-ragu, ia takut


bertemu neneknya.

***

“Pak, ini masih bernapas!”

Darma buru-buru berlari menghampiri. Tercengang mendapati seorang bapak tua


kurus yang di temukan di balik reruntuhan bangunan masih bernapas meski
kondisinya amat lemah. Darma dan lainny buru-buru menggotong tubuh bapak tua ke
tenda medis untuk segera di tangani dan Darma sedikit lega melihat bapak itu
tertolong. Di tenda medis, Darma terheran tak melihat keberadaan Dokter Salma.

“Nyari Dokter Salma, ya, Pak?” tanya seorang relawan yang mulai berpikir kalau
Darma ada hubungan dengan Dokter Salma karena selama ini sering melihat mereka
berdua mengobrol bersama.

“Ah, enggak juga,” ujar Darma ngeles, tak enak jika orang-orang sekitar mereka jadi
berpikiran lain.

Relawan pria itu terkekeh. “Dokter Salma ke posko atas Pak, tadi dia kesana dengan
sangat terburu-buru sekali.”

“Oh begitu.” Darma menebak mungkin Dokter Salma akhirnya menemukan informasi
keberadaan Nenek Mina. “Makasih infonya, ya, Mas.”

Darma menuju jalan yang sama dengan langkah Dokter Salma, ke posko atas. Ia
khawatir, seandainya apa yang dicemaskan Dokter Salma bahwa Nenek Mina akan
marah dan tak menerimanya, Darma yakin Dokter Salma akan sangat sedih,
setidaknya Darma ingin berada di dekat Dokter Salma jika kemungkinan buruk itu
terjadi. Karena Darma merasa yang dialami Dokter Salma tak jauh beda dengan apa
yang pernah dialaminya dulu. Ia bisa merasakan kegelisahan dan kesedihan jadi satu
dan sungguh menekan batin. Namun ditengah perjalanan, Darma merasakan ada
yang tak beres. ‘Gempa susulan!’
PALSU| 44

Pijakan tanah terasa bergoyang. “Dokter Salma!” Darma buru-buru berlari, ia berharap
tak terjadi sesuatu yang buruk pada Salma. Dalam pengejarannya, akhirnya ia
mendapati Dokter Salma yang tengah panik diantara bangunan yang sudah sebagian
besar runtuh temboknya.

“Dokter Salma!” teriaknya.

Salma yang dilanda kebingungan dan trauma akan gempa segera berlari. Darma pun
berlari, meraih tangannya dan mengajak dokter Salma menjauhi bangunan-bangunan
yang terlihat akan rubuh.

Dokter Salma mendekap Darma, tubuhnya gemetar sambil berucap, “Aku takut
sekali.”

“Nggak apa-apa, sudah aman, Dok. Ini gempa susulan.” Darma berusaha
menenangkan meski ia sendiri pun sebenarnya gugup karena pelukan Dokter Salma
yang tiba-tiba.

Dokter Salma masih merinding jika mengingat kejadian itu. Setelah keadaan amat
beberapa menit kemudian, Dokter Salma melepas pelukannya. Rasa canggung dari
keduanya muncul tanpa sadar. Wajah Darma memerah.

“Maaf, ya, Let. Saya masih takut jika gempa masih terjadi.”

“Nggak apa-apa, Dok. Oh, ya, Anda akan kemana Dokter Salma?”

“Ke posko atas… hmm, tadinya.”

“Lho, kenapa nggak jadi?”

Dokter Salma diam saja.

“Kalau Dokter Salma takut terjadi gempa kembali, aku akan mengantar Anda kesana.”

“Aku memang takut jika ada gempa lagi, Let. Tapi bukan itu alasannya.”

Darma kini mengerti alasanya tanpa Salma utarakan.

“Dokter Salma takut kalau Nenek…”

Dokter Salma mengangguk.


PALSU| 45

“Let, boleh tanya sesuatu?”

“Ya silakan.”

“Setelah gadis itu tahu kebohongan Letnan Darma saat itu, apa gadis itu membenci
Anda dan tidak memaafkan Anda?”

Darma tersenyum. “Kita duduk di bebatuan sana, Dokter. Nggak enak bicara sambil
berdiri.”

“Baiklah.”

Dan mereka berdua duduk di bebatuan bekas reruntuhan.

“Gempa susulan sering sekali terjadi,” gumam Dokter Salma.

“Hmm, ya, pasti masih meninggalkan sisa ketakutan bagi warga.”

Darma memerhatikan Salma yang duduk dengan tatapan lesu.

“Dokter Salma… mengenai pertanyaan Anda tadi?”

“Hmm?” Salma mendongakkan kepalanya.

“Setelah ia tahu kebohonganku, tentu saja dia marah, Dok. Aku hampir putus asa,
apalagi kondisi kesehatannya bertambah parah. Kucoba mengirimkannya sebuah
surat, surat permohonan maafku, dan kutulis segalanya dari awal hingga akhir.”

Dokter Salma menyimak cerita Darma, ekspresinya serius.

“Dan sebelum kepergiannya, ia meneleponku dan berkata, ‘Aku memaafkanmu’. Di


situ tangisku pecah, aku bingung dan tak sanggup berkata apa-apa lagi. Aina gadis
yang baik bak malaikat.”

Tiba-tiba ekspresi Dokter Salma berubah lebih tegang. “Namanya A-Aina?”

Darma mengangguk.

“D-Dia meninggal?”

Darma mengangguk lemah. “Ya, Dok.”

“Apakah Letnan Darma punya fotonya?”


PALSU| 46

Darma terdiam sejenak lau merogoh hp di sakunya. “Ada. Aku masih menyimpan
fotonya di hp. Sebenarnya ingin kuhapus karena mengingatnya membuatku terlalu
sedih. Tapi entah mengapa aku tak bisa rasanya untuk menghapusnya.”

Dokter Salma terdiam. Darma menunjukkan sebuah foto dari galeri hp nya.

DEG! Aliran darah Dokter Salma terasa cepat, jantungnya berdebar dan tubuhnya
gemetar. ‘Salma!’

Shock, Dokter Salma berdiri lunglai seolah tak punya tulang dan tenaga.

Rasanya semua gelap, berputar-putar.

“Dokter Salma, Anda mau kemana?”

Dokter Salma tak menjawab. Ia melangkah menjauh. ‘Kalau Letnan Darma tahu
bahwa aku….. Dia pasti menganggapku orang paling jahat.’ Dokter Salma berlari
menjauh.

Gempa susulan terjadi, Darma segera mengejar dokter muda berlesung pipi itu. Dan
seperti perkiraan Darma, Dokter Salma tengah di landa panik. Darma segera berlari
menolongnya.

“Dokter Salma!”

Salma menoleh, air matanya berlinang. “Jangan! Aku tidak…”

“Anda kenapa Dok?” Darma berteriak setengah khawatir dan gempa semakin
mengguncang bumi. “Dok, bukannya Anda ingin menemui nenek Anda?”

Dalam guncangan itu, Dokter Salma berusaha meraih sesuatu. Kepalanya


menggeleng. “Tidak! Aku… orang yang jahat!”

“Anda kenapa Dok?!”

Air mata Dokter Salma semakin deras berlinang, penyesalan dan penderitaan
menguasai hatinya. “Selama ini orang-orang mengatakan aku adalah orang yang baik
tapi jauh di lubuk hatiku selalu menolak itu, karena aku tak sebaik yang mereka
sangka. Aku, aku… sudah menukar hidup temanku sendiri dan membuatnya
menderita,” teriak Dokter Salma. “Aku ingin sekali menjadi orang yang sungguh-
PALSU| 47

sungguh baik tapi bila mengingat apa yang sudah kulakukan, itu membuatku frustasi.
Aku menderita dengan masa laluku…”

Darma mendekat, menyentuh lengan Salma. “Dok, tenanglah. Dok, Anda adalah
orang yang sungguh-sungguh baik.”

Dokter Salma melepas sentuhan tangan Darma. Dengan linangan air mata yang
semakin deras meski guncangan gempa mulai mereda, Dokter Salma berujar, “Kamu
tahu Let, hidup siapa yang aku tukar?”

Mereka saling menatap.

“Aina…. Nama asliku Aina…”

Darma terkejut.

“Gadis yang Anda kenal sebagai Aina, dialah Salma yang asli.”

Darma tertegun.

***

13.

“Ada prajurit yang terluka!!”

Tenaga medis segera berlari menghapiri. Para prajurit gabungan TNI-Polri yang
mengevakuasi korban di reruntuhan mengalami hal yang tak terduga saat berusaha
mengeluarkan jenazah dari gedung bangunan hotel, tiba-tiba tembok sebelah kiri
bangunan runtuh dan mengenai beberapa relawan dan prajurit. Salah satunya Darma.

Dokter Salma mebersihkan luka di lengan Darma. Tidak seperti sebelumnya, kali ini
keduanya saling diam.

“Auw!” Darma bersuara pelan, meringis menahan sakit dan perihnya luka dilengannya
yang kekar.

“Padahal tentara, kenapa tak bisa menahan sakit.”

Darma melirik. Dokter Salma menunduk.

“Kenapa Anda bisa cedera seperti ini?”


PALSU| 48

“Yah, aku kurang hati-hati saja.”

“Anda harus minum antibiotik setelah ini biar nggak infeksi.”

“Siap, Dokter.”

Dokter Salma ingin tertawa tapi nggak jadi.

“Sipp. Sudah beres.” Dokter Salma memerhatikan perban yang baru saja ia lilitkan
dan ikat sempurna di lengan Darma. “Lain kali Anda harus hati-hati.” Salma berdiri,
beranjak, meninggalkan Darma.

“Dokter Salma, terima kasih.”

Tanpa menoleh, Dokter Salma mengucapkan. “Oke. Sudah tugasku.”

Darma terus menerus memerhatikannya, ia merasa memiliki nasib seperti Dokter


muda itu. ‘Sekian tahun pasti ia menderita menahan semuanya.’

Dan sore harinya Darma berusaha mencari dan menemui Nenek Mina, Nenek yang
selama ini membesarkan Salma.

***

“Itu Dokter Salma, Bu.” Tunjuk Darma. “Beliau menjadi relawan medis sejak kejadian
gempa itu. Sebenarnya Dokter Salma sudah sempat di bawa ke Jawa, tapi ia memilih
kembali ke Palu.” Darma melirik Nenek Mina yang tak berkedip menatap Dokter
Salma. “Dokter Salma kembali lagi ke Palu karena ia mengkhawatirkan Anda.”

Darma bisa melihat air mata terjauh dari suduk mata Nenek Mina.

“Salma…”

Darma ikut menatap Dokter Salma dari kejauhan, wanita muda itu tanpa lelah
mengobati berbagai korban, tak hanya itu, Dokter Salma sangat sabar meski ia
mendapat cacian dari beberapa orang.

“Dokter! Kenapa anak saya belum di tangani!”

“Iya, Bapak, sebentar, saya sedang menjahit luka kakek ini. Tunggu,sabar, ya, Pak.
Tenaga medis kami jumlahnya masih terbatas,” jawab sabar Dokter Salma.
PALSU| 49

Dan wanita muda itu di beberapa saat telah berlari ke tenda lain, dan tak lama keluar
dengan wajah lesu. “Ibu, ikhlaskan ananda, ya Bu, anak Ibu sudah tak bisa tertolong,”
ungkap lirih Dokter Salma pada seorang ibu yang tadi menggendong seorang anak
dengan luka yang telah infeksi dan membusuk karena telat mendapat pertolongan
medis di daerah bencana kecamatan lain.

Ibu itu histeris sambil mencengkram lengan Dokter Salma. “Anda kan Dokter! Anda
harus menolong anak saya sampai sembuh!” jerit ibu itu sambil terus menggoyangkan
lengan Dokter Salma.

“Maaf, ya, Bu,” ungkap lirih Dokter Salma. Dan Ibu itu semakin histeris sambil
memukul lengan Dokter Salma hingga dilerai oleh petugas relawan lain.

Namun banyak juga yang mengucapkan terima kasih ke Dokter Salma.

“Dokter, terima kasih, demam anak saya sudah turun.”

“Kaki saya juga sudah bisa digerakkan, Dok,” tukas yang lain.

“Terima kasih Dokter.”

Salma tersenyum lemah.

Dan seorang relawan menggendong jenazah seorang bayi.

“Astaga!” pekik Dokter Salma saat melihat kondisi jenazah bayi yang meneydihkan.
Kaki dan tangannya terpisah. Meski sedih luar biasa, Dokter Salma menahan air
matanya. “Pak, sebelum di bawa kekeluarganya, boleh saya menyambung kaki dan
tangan bayi ini?”

“Tapi bayinya sudah meninggal, Dok.”

“Iya. Tapi jika dibawa dengan kondisi seperti ini, bagaimana nanti perasaan
orangtuanya.”

Akhirnya Dokter Salma diperkenankan untuk menyambung tangan dan kaki jenazah
bayi itu. Selama ia menyambungnya, air mata Salma sempat menetes. Dan ia
mengangkat dagunya, menatap ke langit-langit tenda untuk menahan air matanya.
PALSU| 50

Seusai mengurus jenazah bayi itu, Dokter Salma mengantar kepergian bayi malang
itu hingga ke ujung pintu posko. Ia menghela napas panjang. Dan ketika hendak
berbalik pulang, terdengar seseorang memanggilnya.

“Salma…”

Salma menghentikan langkah, ia hafal pemilik suara itu dan segera menoleh.

“Nenek…”

Dengan linangan air mata, Nenek Mina memeluknya. “Kamu dari mana saja, Nak.
Nenek mencarimu.”

Air mata Salma ikut mengalir dan ia melihat Darma juga berada di situ sedang
tersenyum menyaksikan pertemuan haru itu.

“Tapi, aku bukan Salma cucu nenek.”

Nenek Mina terus memeluk Salma, “Bagi Nenek, kamulah cucu Nenek.”

Nenek Mina melepaskan pelukannnya, ia memandangi Salma, menatap lekat wajah


seseorang yang telah dibesarkannya.

“Nenek tidak marah padaku?”

Nenek Mina menggeleng, “Tidak, Nak. Nenek sangat bangga padamu,” ujar Nenek
Mina. Bayangan akan Salma yang sedari tadi bak pahlawan, yang dengan tulus
merawat dan menolong para korban dan pasien, membuat Nenek Mina sangat
bangga.

“Sebenarnya sudah lama Nenek tahu, kamu bukanlah Salma. Nenek diam-diam
mencari Salma yang ternyata bernama Aina, dan ia sedang sakit parah kala itu. Nenek
tak ingin membuatnya semakin terjebak dalam masalah dan akan semakin
memperburuk keadaan. Lagipula, melihat kedua orangtua angkatnya yang sangat
menyayanginya, Nenek bersyukur ia hidup dalam kasih sayang.”

Dokter Salma terkejut mengetahui Nenek Mina mengetahui sosok asli Salma sebagai
Aina.

“Nenek tahu ia sudah tiada, Nek?”


PALSU| 51

Nenek Mina mengangguk. “Itu sudah kehendakNya, Nak. Kita manusia biasa hanya
bisa pasrah.”

Dokter Salma menangis dan mendekap Nenek Mina. “Maafkan aku, Nek. Aku bahagia
melihat Nenek selamat.”

***

14.

Beberapa hari kemudian.

“Apa keputusanmu, Dok?”

Dokter Salma tersenyum. “Aku akan tetap hidup sebagai Salma. Aku akan terus
berbuat banyak menolong sesama dengan memakai nama Salma, Dokter Salma. Aku
yakin dia akan bahagia diatas sana.”

Dokter Salma dan Darma kembali melangkah, khusus siang itu Salma ingin
mengantar Darma kembali ke pesawatnya karena masa tugasnya telah selesai di
Palu.

“Let. Hati-hati diperjalanan.”

“Ya, hmm, aku harap kita bertemu lagi setelah ini.”

Dokter Salma tersenyum. “Aku menyimpan nomer Anda.”

Dan sebelum Darma masuk kedalam pesawat militer milik TNI AU itu, Dokter Salma
memanggilnya.

“Letnan Darma. Aku boleh menanyakan sesuatu?”

“Ya, tentu saja.”

Diam saat.

Meski ragu-ragu, Dokter Salma akhirnya menanyakannya, “Let. Apakah Anda


mencintai Salma? Maksudku Aina?”

Darma menatap mata Dokter Salma. “Ya, aku akhirnya menyadari kalau aku
mencintai Aina.”
PALSU| 52

Dokter Salma tersenyum lega. “Aku bahagia mendengarnya. Selama ini aku selalu
kahawatir dia menderita, dan aku bahagia mendengar sesorang mencintainya dengan
tulus.”

Darma tersenyum. “Mungkin ini terburu-buru, tapi sekarang, hmm, aku ingin jujur. Kini,
aku mulai mencintai Aina… yang asli.”

Dokter Salma tersentak, wajahnya bersemu merah.

“Dok. Anda mempunyai pasien baru, dengan penyakit langka.”

“Penyakit apa?”

“Penyakit… jatuh cinta. Harus segera disembuhkan.”

Dokter Salma tertawa kecil.

***

10 hari berlalu.

Di pusara Aina, yang sesungguhnya terbaring Salma. Seorang wanita muda yang
dikenal sebagai Dokter Salma duduk sambil meletakkan rangkaian berbagai bunga
yang indah. Titik air mata berjatuhan di pipinya yang halus.

‘Salma… kamu seperti malaikat… keberadaanmu hanya sesaat di dunia ini namun
kamu memberikan kesempatan pada orang-orang disekitarmu untuk bahagia dan
menemukan jati diri yang sebenarnya,’ gumam dokter muda berlesung pipi itu. Dokter
Salma lalu menatap Fitri sahabat Aina selama ini, Dokter Salma tersenyum, ia bahagia
mendengar cerita bagaimana Fitri akhirnya menemukan jodohnya yang ternyata
teman dari Darma, yaitu Aldo, secara tak langsung hal itu terjadi karena mereka
semua terhubung dengan kejadian ini, termasuk kini Darma yang akhirnya yang
benar-benar menjadi seorang tentara, bukan lagi tentara gadungan, tapi tentara baik
yang bermartabat. ‘Dan Salma, kamu juga mengubah hidupku yang awalnya tak
bermakna, kini aku bahagia dikenal sebagai Dokter Salma, aku bahagia
keberadaanku bermanfaat bagi banyak orang, kamu memberiku kesempatan menjadi
orang yang lebih baik. Terima kasih.’
PALSU| 53

Dokter Salma mengahpus air matanya, dengan senyuman yang lembut, ia kembali
menaburkan bunga-bunga diatas pusara itu. ‘Dan satu lagi…. Terima kasih, karena
kamu sudah mempertemukanku dengan pria yang baik… Mas Darma.’ Dokter Salma
merasa seolah mendiang Aina menitipkan Darma padanya. Mereka semua secara tak
langsung terhubung akan Aina, dan kebahagiaan yang Aina tinggalkan sangat
membuat mereka terharu. ‘Dia, yang terbaring di sini, kini telah bertemu orangtua
kandungnya di surga. Pergi dalam damai.’

***SELESAI***

PENULIS : BUNGA ROSANIA INDAH

“MENGENANG PERISTIWA GEMPA DAN TSUNAMI DI PALU”

Facebook : Buku Bunga Btp

Fanspage Facebook : Buku Tentara Polisi

Instagam @noveltentarapolisi

Instagram @bungabtp

Whatsapp 081327499949

DILARANG MENYEBARLUASKAN E-BOOK INI TANPA IZIN, HAK CIPTA BUKU


BTP OFFICIAL JAKARTA.

15 OKTOBER 2018

Anda mungkin juga menyukai