Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
 Nama : Tn. R
 Usia : 60 tahun
 Tanggal lahir : 28 November 1959
 Alamat : Palanro utara,Barru
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Nomor rekam medik : 155021
 Tanggal masuk RS : 30 Oktober 2019

B. ANAMNESIS
Keluhan utama: Kaku pada leher
Anamnesis terpimpin:
Pasien datang ke UGD RSUD Andi Makkasau Pare-pare dengan keluhan kaku pada leher
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai dengan sulit membuka mulut. Awalnya kaku hanya
dirasakan pada mulut disertai dengan sulit menelan sejak 3 hari yang lalu. Rasa kaku makin
lama makin memberat dan menjalar ke leher, punggung dan perut sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat berobat di pengobatan alternatif sekitar 1 bulan yang lalu dengan menggunakan
terapi listrik namun membuat kedua telapak kaki menjadi melepuh dan pasien mengaku
sering menusuk-nusuknya dengan menggunakan jarum sehingga luka tersebut menjadi
cukup dalam. Pasien mengaku tidak pernah berobat ke puskesmas untuk merawat luka
tersebut.
Riwayat kejang tanpa dirangsang saat tiba di UGD
Riwayat demam tidak ada.
Riwayat imunisasi tetanus saat kecil disangkal
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada
Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada
Riwayat alergi obat tidak ada

1
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik Umum
 Tanda vital :
- Tekanan darah : 130/100 mmHg
- Nadi : 88×/menit, reguler, kuat angkat
- Respirasi : 20x/menit
- Suhu : 36,9 ºC
- Nyeri :NPRS 4

 Kepala : Normosefali, penonjolan pembuluh darah tidak ada


 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-).
 Mulut : Trismus (+) 2 cm
 Leher : Kuduk kaku (+), pembesaran KGB (-),peningkatan JVP(-)
 Thorax : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-).
Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen : Defans muscular (+)

D. Pemeriksaan Neurologi
 GCS : E4M6V5
 Fungsi Kortikal luhur : Dalam batas normal
 Rangsang meningeal : Kaku kuduk negatif,kernig dan lasegue sulit dinilai
 Nervus Kranial : Pupil bundar isokor diameter 2,5 mm/2,5 mm, refleks
cahaya langsung positif/positif, refleks cahaya tidak langsung positif/positif.
 Nervus kranial lain : Normal
 Motorik :
Pergerakan Kekuatan Tonus Reflex Fisiologis Refleks Patologis

↑ ↑ ↑ ↑ - -
N N 5 5
↑ ↑ ↑ ↑ - -
0 0
 Sensorik
 Otonom : BAK baik, BAB belum sejak 4 hari yang lalu

E. DIAGNOSIS KERJA

2
 Diagnosis klinis : Trismus + disfagia + rhisus sardonicus + defans muscular +
kuduk kaku
 Diagnosis topis : Neuromuscular junction
 Diagnosis etiologi: Tetanus

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
DARAH LENGKAP HASIL NILAI RUJUKAN
WBC 16,6 [10^9/uL] 4,00 – 10,0
RBC 4,29 [12^/uL] 4,50 – 6,50
HGB 13,2 [g/dL] 13,0 – 17,0
HCT 38,3 [%] 40,0 – 54,0
MCV 89 [fL] 80,0 – 100,0
MCH 30,7 [pg] 27,0 – 32,0
MCHC 34,3 [g/dL] 32,0 – 36,0
PLT 350 [10^9/uL] 150 – 500
RDW-SD 38 [fL] 39,0 – 52,0
RDW-CV 12,0 [%] 11,0 – 16,0
PDW 11,3 [fL] 11,0 – 18,0
MPV 7,3 [fL] 6,0 – 11,0
PCT 0,256 [%] 0,150– 0,500

G. PENATALAKSANAAN
1. IVFD Ringer Laktat : Dextrose 5% 2:1 28 tetes/ menit
2. Diazepam 7 ampul/drips dalam Dextrose 5% kocok tiap 15 menit
3. Metronidazole 500mg/8jam/iv
4. Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv ( skin test terlebih dahulu)
5. Suntik Tetagam 250 iu ( 10 ampul)
6. Omeprazole 40mg/24jam/iv

3
7. Sohobion 1 ampul/24jam/drips
8. Rawat Luka

H. FOLLOW UP
Hari 1
Subyektif - Kaku pada leher, punggung dan perut (+), sulit membuka
mulut (+). Sulit menelan (+).Nyeri badan (+), demam (-),
mual muntah (-), BAK on kateter, BAB belum sejak 4
hari yang lalu
Objektif Trismus 2 cm (+)
Rhisus sardonicus (+)
Defans muscular (+)
Opistotonus (-)
Kuduk kaku(+)
Tekanan darah 130/100 mmHg

Nadi 88×/menit, reguler, kuat angkat


Pernapasan 20×/menit
Suhu 36,9 oC
NPRS 4
GCS E4M6V5
FKL Normal
Rangsang Meningeal Kaku kuduk(-),kernig(-),laseque(-)
Nervus Kranialis Pupil bundar isokor  2,5mm/2,5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nervus Kranialis lain Dalam batas normal
Tonus ↑ ↑

↑ ↑

Assessment Tetanus
Planning 1. IVFD Ringer Laktat : Dextrose 5% 2:1 28 tetes/ menit
2. Diazepam 7 ampul/drips dalam Dextrose 5% kocok
tiap 15 menit
3. Metronidazole 500mg/8jam/iv
4. Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv

4
5. Suntik Tetagam 250 iu ( 10 ampul)
6. Omeprazole 40mg/24jam/iv
7. Sohobion 1 ampul/24jam/drips
8. Rawat Luka

Hari 3
Subyektif - Kaku pada leher berkurang,kaku pada perut (+), sulit
membuka mulut (+). Sulit menelan berkurang, nyeri
badan (+), demam (-), mual muntah (-), BAK on kateter,
BAB belum sejak 6 hari yang lalu
Objektif Trismus ± 3 cm (+)
Rhisus sardonicus (+)
Defans muscular (+)
Opistotonus (-)
Kuduk kaku(berkurang)
Tekanan darah 150/80 mmHg

Nadi 82×/menit, reguler, kuat angkat


Pernapasan 20×/menit
Suhu 36,8 oC
NPRS 4
GCS E4M6V5
FKL Normal
Rangsang Meningeal Kaku kuduk (-),kernig(-),laseque(-)
Nervus Kranialis Pupil bundar isokor  2,5mm/2,5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nervus Kranialis lain Dalam batas normal
Tonus ↑ ↑

↑ ↑

Assessment Tetanus
Planning 1. IVFD Ringer Laktat : Dextrose 5% 2:1 28 tetes/ menit
2. Diazepam 7 ampul/drips dalam Dextrose 5% kocok
tiap 15 menit
3. Metronidazole 500mg/8jam/iv

5
4. Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv
5. Omeprazole 40mg/24jam/iv
6. Sohobion 1 ampul/24jam/drips
7. Rawat Luka
Hari 7
Subyektif - Kaku pada leher berkurang, kaku pada perut (+), sulit
membuka mulut (-). Sulit menelan berkurang, nyeri badan
berkurang, demam (-), mual muntah (-), BAK lancar,
BAB biasa
Objektif Trismus (-)
Rhisus sardonicus (-)
Defans muscular (+)
Opistotonus (-)
Kuduk kaku(-)
Tekanan darah 140/80 mmHg

Nadi 82×/menit, reguler, kuat angkat


Pernapasan 20×/menit
Suhu 36,5 oC
NPRS 4
GCS E4M6V5
FKL Normal
Rangsang Meningeal Kaku kuduk (-),kernig(-),laseque(-)
Nervus Kranialis Pupil bundar isokor  2,5mm/2,5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nervus Kranialis lain Dalam batas normal
Tonus ↑ ↑

↑ ↑

Assessment Tetanus
Planning Aff infus
1. Diazepam 1 mg/6jam/oral
2. Levofloxacin 500mg/24jam/oral
3. B6,B12/12jam/oral
Boleh pulang

6
I. ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan kaku pada leher disertai sulit membuka mulut dan
sulit menelan sejak 3 hari yang lalu. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa
penyakit infeksi lokal pada mulut,tetanus dan lain sebagainya. Tetanus dapat dijadikan
sebagai diagnosis kerja terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan lanjutan dan
pemeriksaan laboratorium,mengingat berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan
sebelumnya pasien mengaku sempat menusuk-nusuk luka pada kedua telapak kakinya
dengan menggunakan jarum yang mungkin merupakan fokus infeksi bagi Clostridium
tetani.
Clostridium tetani merupakan bakteri yang bersifat anaerob dimana bakteri ini
merupakan gram positif yang dapat mengeluarkan neurotoksik sehingga dapat
menimbulkan gejala berupa spasme pada otot leher dan rahang yang menyebabkan
penutupan rahang (trismus atau sulit untuk membuka mulut) seperti yang terjadi pada
pasien akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri ini berupa tetanospasmin dan
tetanolisin. Bakteri ini dapat masuk ke tubuh manusia melalui luka,seperti luka robek,luka
bakar bahkan dapat melalui gigi yang berlubang ataupun OMSK. Pada saat masuk ke
dalam tubuh dan dalam keadaan anaerob maka bentuk spora akan bermigrasi menjadi
bentuk vegetative yang mensekresi toksin. Terdapat dua toksin yang disekresikan yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin tidak berakibat langsung terjadinya trismus
melainkan menimbulkan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dari Clostridium tetani.
Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk melewati ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior medulla
spinalis. Cara kerja dari toksin tetanus ini sendiri adalah dengan cara menghambat
neurotransmitter inhibitor (GABA dan Glisin) sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan
spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus),
dan dapat juga mengakibatkan kekakuan pada perut sehingga dapat ditemukan defans
muscular pada pemeriksaan fisik. Keluhan ini muncul saat toksin telah berada di kornu
anterior medulla spinalis dan dapat pula menimbulkan kejang. Apabila toksin mencapai
korteks serebri,maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.

7
Diagnosis didasarkan atas anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pada saat dilakukan anamnesis telah didapatkan adanya trismus,disfagia dan
spasme otot yang merupakan gejala dari tetanus meskipun masih mungkin diakibatkan
oleh penyakit lain. Setelah dilakukan anamnesis pasien mengaku sempat menusuk-nusuk
luka pada kedua telapak kakinya dengan menggunakan jarum dan selain itu pasien sempat
mengalami kejang yang bersifat tonik. Pada saat kejang pasien tidak mengalami
penurunan kesadaran. Riwayat kejang demam pada saat anak-anak ataupun epilepsi tidak
ada. Selain itu pasien juga mengeluh kaku pada perut dan otot wajah sehingga pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan defans muscular dan risus sardonicus serta kuduk kaku
positif. Pemeriksaan laboratorium telah dilakukan dan menunjukkan peningkatan leukosit.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi,dimana adanya kelainan
cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat,kadar protein meningkat dan glukosa
menurun. Pada penyakit poliomyelitis didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak
dijumpai adanya trismus,pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan lekositosis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengaan mengisolasi virus dari tinja dan pemeriksaan
serologis,titer antibodi meningkat. Pada penyakit rabies biasanya didahului adanya gigitan
binatang seperti anjing atau hewan lain,trismus jarang ditemukan,kejang bersifat klonik.
Penatalaksanaan pada kasus ini diberikan metronidazole karena lebih efektif
menurunkan morbiditas dan mortalitas daripada penisilin,sementara itu untuk mengatasi
toksin yang beredar dapat dinetralkan dengan pemberian serum antitetanus atau Human
immunoglobulin. ATS dapat diberikan dengan dosis 20.000 IU/hari/i.m selama 3-5 hari
berturut-turut,didahului dengan melakukan skin test untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya reaksi alergi. Sedangkan pemberian Human tetanus immunoglobulin cukup
dengan dosis tunggal 500-3000 IU/i.m dan untuk mengontrol rigiditas dan spasme yang
terjadi pada pasien diberikan golongan benzodiazepine yang merupakan GABA
agonis,cara kerja obat ini dengan menghambat inhibitor endogen pada GABA
reseptor,derivate benzodiazepine yang dianjurkan dan digunakan pula pada kasus ini
adalah diazepam.

8
9
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh
eksotoksin spesifk dari kuman anaerob Clostridium tetani. Hippocrates sudah
menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun 1882, Nicolaier dan
Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian tahun
1889 oleh Kitasato dan Nicoaier, kuman Clostridium tetani dan toksinnya dapat diisolasi.
Selanjutnya, tahun 1890 Von Behring dan Kitasato melaporkan keberhasilan imunisasi
dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang merupakan dasar metode imunologi
sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925, Ramon
memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif.(1)

I.II Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian
gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulang. Walaupun
tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang
membebani di seluruh dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang
berkembang, sering terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di
benua Asia. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, pedesaan, daerah dengan
iklim hangat, selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada negara-negara tanpa
program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonatus dan anak-
anak.(3)
Di Amerika Serikata sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut,
seperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah
atau selama bertani, berkebun dan aktivias luar ruangan yang lain. Trauma yang
menyebabkan tetanus bisa berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan
medis, bahkan pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus

10
dapat merupakan komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangren. Tetanus
dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan
persalinan. Pada beberapa pasien tidak dapat diidentifikasi adanya port d’entree.(3)
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada usia tua. Survey serologis skala luas
terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994
menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diatas
6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak usia 6-11 tahun sebesar 91%
presentase ini menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30% invidu berusia di atas 70
tahun (pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi adekuat.(3)

11
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai
dengan spasme tonik persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras. Spasme
hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang menyebabkan penutupan rahang
(trismus, lockjaw), serta melibatkan tidak hanya otot ekstremitas, tetapi juga otot-otot
batang tubuh.(2)

2.2 ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua
bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram
positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan
terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik.
Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus .(4)
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah
satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani
relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap
paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi.
Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua
spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20
menit pada suhu 121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi
menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu
160°C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat
membunuh spora.(4)
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah
yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora
dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia

12
dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit
dan heroin yang terkontaminasi.(4)

Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi


sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif.
Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan
mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif .(4)

Gambar 1. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil. Endospora
dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang khas yaitu
menyerupai stik drum.

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi
perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam
patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten
yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin
merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum
untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat badan.(4)
2.3 PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora kuman
tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam
lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat

13
membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah
tetanospasmin. Toksin tetanus merupakan metalloproteinase tergantung seng yang
menarget protein (sinaptobrevin/ vesicle- ssociated membrane protein – VAMP) untuk
melepaskan neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaps dengan
membran plasma saraf. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf otonom. Toksin yang dihasilkan
dapat menyebar melalui pembuluh darah dan saluran limfatik. Selain itu, toksin dapat
diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke
susunan saraf pusat (SSP). Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan
setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior medulla spinalis, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi
klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan
pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan
mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga
berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika,
hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular.5,6
Mekanisme kerja toksin tetanus:6

1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan
neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui
pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis
penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

14
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, maupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2
bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas,
dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma
Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah
pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau
penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan
kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi
sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi berkisar antara 3 hari sampai 4 minggu, kadang lebih lama
rata-rata 8 hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi, makin
pendek masa inkubasi prognosis penyakit makin buruk. Umumnya, pada pasien
dengan masa inkubasi kurang dari 1 minggu, angka kematiannya tinggi. Masa
inkubasi rata-rata pada pasien yang akhirnya meninggal adalah sekitar 7 hari,
sedangkan pada pasien yang sembuh sekitar 11 hari.(3)

Tetanus dapat timbul sebagai tetanus lokal, terutama pada orang yang telah
mendapat imunisasi. Gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot di dekat
luka yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul
tetanus lokal tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motoric sesuai dengan
serabut saraf kepala yang terkena (N.III, N.IV, N.V, N.VI, N.VII, N.IX, N.X, dan
N.XII).(3)

15
Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum. Gejala pertama yang dilihat
dan terasa oleh pasien adalah kaku otot maseter yang mengakibatkan gangguan
membuka mulut (trismus). Selanjutnya, timbul opitotonus yang disebabkan oleh kaku
kuduk, kaku leher dan kaku punggung. Selain dinding perut menjadi keras seperti
papan tampak rhesus sardonikus karena kaku otot wajah dan keadaan kekakuan
ekstremitas. Penderita sangat terganggu oleh gangguan menelan. Keluhan konstipasi,
nyeri kepala, berdebar dan berkeringat sering dijumpai. Pada umunya ditemukan
demam dan bertambahnya frekuensi nafas. Kejang otot yang merupakan kekakuan
karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul hanya karena rangsangan
yang lemah seperti bunyi-bunyian dan cahaya. Selama sakit sensorium tidak
terganggu sehingga hal ini menimbulkan penderitaan bagi pasien karena ia merasakan
nyeri akibat kaku otot. Selanjutnya dapat timbul gangguan pernafasan yang
mengakibatkan anoksia dan kematian. (3)

Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana
pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah
luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi
intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa
trauma minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya
tempat masuk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cidera
jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik telinga,
dan bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis
seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi
empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya (7).
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:(6)
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,
mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa
inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.
Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa
trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan
spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75%

16
kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran
klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan
hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson
pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa
menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna
memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

(a) (b)

(c)
Gambar 2. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang menangis akibat kontraksi
otot yang nyeri.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)


Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta
memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum
dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu
sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului
tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus
yang menyebabkan kematian.

17
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi
telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali
pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum.
Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.

Gambar 3. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik.

4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara
yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.
Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk
memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.Masa inkubasi sekitar 3-10
hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan
spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

Gambar 4. Tetanus neonatorum

2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah

18
pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-
negara berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan
fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris
yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.
Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (7, 8).
Pada tetanus otot-otot paravertebral juga menjadi kaku sehingga penderita
jalan seperti “gaya robot berjalan”. Disini sering terjadi tetanus lokal di kaki oleh
karena masih banyak orang tidak bersepatu. Tempat yang yang terkena Clostridium
Tetani biasanya tidak teringat lagi. Pertama karena lukanya mungkin kecil dan
kedua masa inkubasinya yang lama. Jika masa inkubasinya lama dan yang terkena
infeksi adalah kaki, maka gangguan yang pertama terasa ialah kekakuan dan
ketegangan otot-otot kaki dan tungkai bawah. Disamping itu terasa mialgia yang
memuncak pada saat timbulnya krampi muskulorom. Tanpa diobati tetanus lokal
dapat hilang sendiri, akan tetapi bisa juga berkembang secara berangsur-angsur
menjadi tetanus umum. Tetapi bilamana tetanus lokal cepat menjadi umum maka
otot-otot wajah dan bulborlah yang paling cepat menjadi kejang dan kaku. Oleh
karena itu risus sardonikus dan gangguan menelan akan lebih menonjol.(13)
Pada pemeriksaan tidak dijumpai defisit sensorik. Tonus otot meningkat.
Refleks fisiologis meningkat karena setiap ketukan pada tendon sudah
menimbulkan kejang.(13)
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat
bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis
dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C selama
15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak
berspora sebelum media kultur diinokulasi (7).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan
cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.

19
Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak
membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung
elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga
sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang
memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi.
Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin
0,01 IU/mL dianggap protektif (7, 9).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak
sebagai penentu prognosis (1).
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10


Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Faktor pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan
pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor
pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai
berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18

20
tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
berat) melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia
bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya
dapat menjadi persisten.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
(9)
beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan . Udwadia
(1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor
Udwadia (10).
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang
dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,
apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit, keringat
berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100
mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau
hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,


Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga
hari setelah muncul gejala klinis pertama (9).

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus


Faktor prognostik Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus,
Penyebab lain dan penyebab yang
Tempat masuk fraktur terbuka, luka operasi,
tidak diketahui
injeksi intramuskular
Spasme Ada Tidak ada

21
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Takikardia Dewasa  > 120 kali/menit Dewasa  < 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


 Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana umum
dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut:(11)
1. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
2. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
3. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama.
4. Mencari port d’entree.
Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian ATS atau Human tetanus
Imunoglobulin (HTIG) dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG adalah untuk
menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga diberikan sebagai
profilaksis.
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi
pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara
IV dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C.
tetani bentuk vegetatif .(6)

Untuk penanganan tetanus menurut WHO 2010 yaitu dengan Isolasi pasien
dan debridement luka. Pemberian Imunoterapi : Human TIG 500 iu IM, vaksin TT 0,5 cc IM..
Antibiotik : Metronidazol 500mg/6jam, Penisilin G 100.000-200.000 iu/kg/hari iv 2-4
dosis. Kontrol muscle spasme :diazepam IV dengan dosis 10-12 mg/kgBb/hari , lorazepam 2 mg,
MgSO4 5 g IV loading dose, 2-3 g. (12)
22
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan pemberian
ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan proteksi
pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit
dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan: (6)
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan yang
sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali diproduksi pada
tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer selama perang dunia II.
Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan
fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan
toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselerikan
segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat
yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis
ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan
berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat
diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau
diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS
akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah
memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada
saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan
dilahirkan.

2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang.
Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran
persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.
Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan adalah jangan membungkus punting tali
pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat, mengoleskan

23
alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena
menyebabkan tali pusat lembab.

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis


Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan
harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG
juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun: 4 IU/kg IM
dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak = 7 tahun: 250 IU IM dosis tunggal.

2.7 KOMPLIKASI

 Asfiksia akibat depresi pernapasan, spasme jalan napas


 Pneumonia aspirasi
 Kardiomiopati
 Fraktur kompresi

BAB III

PENUTUP

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus


otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini mempunyai 2 bentuk vegetatif dan
spora. Bentuk vegetatif adalah basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat

24
obligat anaerob. Sporanya tahan terhadap desinfektan dan suhu panas, banyak ditemukan
di tanah dan kotoran hewan. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Karena bersifat obligat anaerob, maka dari itu port d’entry C. tetani yaitu
melalui luka terbuka. Kuman ini masuk melalui luka melepaskan eksotoksi pada saraf
perifer menuju presinaptik dan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi pada
interneuron mengakibatkan aktivitas motorik tidak terkontrol atau spasme.

Gejala awal yang muncul adalah trismus kemudian diikuti kejang atau opistotonus
disertai nyeri. Risus sardonicus juga muncul akibat spasme otot wajah. Namun
kesadarannya tidak terganggu. Bisa terjadi retensi urin, asfiksia, bahkan fraktur tulang
belakang akibat spasme otot yang sangat kuat. Gejala yang muncul mudah diprovokasi
oleh bunyi maupun cahaya. Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan
berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C.tetani pada luka,
hanya merupakan penunjang diagnosis. Setelah diagnosis ditegakkan harus ditentukan
derajat keparahan berdasarkan skor Ablett.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2004; p. 21 – 24.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis Neurologi.
Jakarta: PERDOSSI.2016
3. Sudoyo, A; et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta : Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2006 .
4. Ang J. 2003. Tetanus. (Online). www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf,
diakses 5 Februari 2019
5. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Game JW, Behrman RE. 2011. Nelson textbook
of Pediatrics 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. pp. 991-4
6. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS,
Bandung, 2005 ; 209-213.
7. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2003;13(3):139-54.
8. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
9. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;69:292–
301.
10. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic
Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine,
New Series. 1992;83(302):449-60.
11. World Health Organization. Vaccine-preventable diseases: monitoring system. 2001
Geneva: WHO. hlm. 18-9.
12. World Health Organization. Current recommendations for treatment of tetanus during
humanitarian emergencies. 2010 Geneva: WHO. hlm. 5-6.
13. Sidarta, P. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : Dian Rakyat. 2004;
p.346-347.

26

Anda mungkin juga menyukai