Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan jiwa merupakan kondisi dimana terjadi penurunan fungsi kerja
otak yang mempengaruhi kondisi fisiologik dan mental. Gangguan jiwa dapat
disebabkan oleh kekacauan pikiran, presepsi dan tingkah laku dimana
individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang
lain,lingkungan dan masyarakat. Gangguan jiwa memiliki beberapa gejala
yang tampak maupun yang hanya terdapat dalam pikiran penderita. Mulai
dari menarik diri dari lingkungan, tingkat emosional yang tidak stabil,
berbicara sendiri maupun sering melamun hingga mengamuk tanpa alasan
yang jelas, serta dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan gangguan
fungsi dan peran sosial.(Lestari, P 2014. )
Penderita gangguan jiwa sering mendapat stigma dan diskriminasi dari
keluarga maupun masyarakat dibandingkan individu yang mengalami
masalah medis lainnya. Penderita gangguan jiwa biasanya mendapat
penolakan dan disisihkan dari lingkungan masyarakat, dan biasanya
disebabkan karena pasien sering mengamuk atau melukai diri sendiri.
Perlakukan seperti ini disebabkan karena ketidaktahuan atau salah presepsi
dari keluarga dan lingkungan masyarakat mengenai gangguan jiwa. ( Yosep
2010).
Menurut Drew dan Funk (2011). Diseluruh dunia orang dengan gangguan
mental mendapat pelayanan yang berkualitas rendah, dan stigma yang terjadi
dalam masyarakat bawa orang dengan gangguan jiwa berbahaya, sehingga
menimbulkan banyak deskriminasi, pengucilan, penolakan serta marginalisasi
dalam masyarakat, selain itu masalah ekonomi dan pendidikan juga
mepengaruhi perawatan pada orang dengan gangguan jiwa, ironisnya
kurangnya pengetahuan serta minimnya pengobatan pasien gangguan jiwa
mengakibatkan beberapa pelangaran hak asasi sebagai contohnya pasung.

1
Pemasungan terhadap gangguan jiwa masih banyak terjadi, dimana sekitar
20.000 hingga 30.000 penderita gangguan jiwa di seluruh indonesia mendapat
perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung. Data riskesdas 2013
menunjukan angota rumah tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat yang
pernah dipasung di indonesia sebesar 14,3 persen. Terdapat 1.655 rumah
tangga (RT) yang memiliki keluarga yang menderita gangguan jiwa berat.
(Kementrian Kesehatan RI, 2013).

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami trend dan issue
komunikasi dalam keperawatan tentang dinamika kelompok.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami trend dan issue
komunikasi dalam keperawatan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep
dinamika kelompok menurut para ahli.
3. Mahasiswa mampu mengetahui trend dan issue Fenomena
Pasung Dan Dukungan Keluarga Terhadap Pasien Gangguan
Jiwa Pasca Pasung

1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan referensi dan bahan pustaka bagi
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban mengenai
trend dan issue komunikasi dalam keperawatan.
1.3.2. Bagi Mahasiswa
Untuk menambah wawasan dan memberikan informasi
kepada mahasiswa lain dan kepada masyarakat tentang trend dan
issue komunikasi dalam keperawatan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Teori Komunikasi dalam Keperawatan menurut para Ahli


Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan
atau informasi dari seseorang ke orang lain. Perpindahan pengertian tersebut
melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan,
tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus tidak hanya memerlukan
transmisi data, tetapi bahwa tergantung pada ketrampilan-ketrampilan tertentu
untuk membuat sukses pertukaran informasi (Handoko Hani, 1986:272).
Ada beberapa definisi komunikasi, menurut buku Komunikasi
Keperawatan karangan Mundakir, antara lain sebagai berikut (Mundakir,
2006:3):
1. Menurut Edward Depari Komunikasi adalah proses penyampaian
gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikanmelalui lambang
tertentu, mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan
ditujukan kepada penerima pesan.
2. Menurut James A.F. Stoner komunikasi adalah suatu rangkaian
peristiwa yang terkait dalam penyampaian pesan dari pengirim ke
penerima. Komunikasi adalah proses dimana seseorang berusaha
memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan.
3. Menurut J Seiller (1988) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah
proses yang mana simbol verbal dan non verbal dikirimkan,
diterima dan diberi arti.
4. Hovlan, Janis, dan Kelley adalah ahli sosiologi Amerika
mengatakan bahwa „‟ Communication is the process by which an
individual transmits stimuly (usually verbal) to modify the
behavior of other individuals‟‟ dengan kata lain, komunikasi
adalah proses individu dalam mengirim stimulus (umumnya dalam
bentuk verbal) untuk mengubah tingkah laku orang lain.

3
5. Louis Forsdale (1981), seorang ahli komunikasi dan pendidikan
mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses memberikan
signal menurut aturan 14 tertentu, sehingga dengan cara ini suatu
sistem dapat didirikan, dipelihara, dan diubah.

2.2. Konsep Teori Dinamika Kelompok menurut para Ahli


Dinamika kelompok  merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua atau
lebih individu yang memiliki hubungan psikologi secara jelas antara anggota
satu dengan yang lain yang dapat berlangsung dalam situasi yang dialami
secara bersama.  Dinamika kelompok juga dapat didefinisikan sebagai konsep
yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang
dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah.
Dinamika kelompok mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
1. Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap
anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling
menghargai
2. Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling
menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain
3. Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota
kelompok
4. Menimbulkan adanya i’tikad yang baik diantara sesama anggota
kelompok.

Proses dinamika kelompok mulai dari individu sebagai pribadi yang


masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, belum
mengenal antar individu yang ada dalam kelompok. Mereka membeku seperti
es. Individu yang bersangkutan akan berusaha untuk mengenal individu yang
lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair, proses ini disebut
sebagai “ice breaking”. Setelah saling mengenal, dimulailah berbagai diskusi
kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini disebut
”storming”. Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku
individu, pada proses ini individu mengalami ”forming”. Setiap kelompok

4
harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota
kelompok dan pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut
”norming”. Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan
berbagai kegiatan, proses ini disebut ”performing”.
Dinamika kelompok dalam keperawtan merupakan kebutuhan bagi setiap
individu perawat yang hidup dalam satu kelompok pelayanan
kesehatan/keperawatan dan saling berinteraksi untuk membutuhkan
kerjasama satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka
diperlukan dinamika kelompok dapat berfungsi sebagai berikut:
1. Antara perawat satu dengan yang lain akan terjadi kerja sama
saling membutuhkan, mengingat setiap perawat tidak mungkin
dapat bekerja secara sendiri di dalam pelayanan kesehatan /
keperawatan.
2. Dinamika kelompok perawat akan lebih memudahkan segala
pekerjaan pelayanan kesehatan / keperawtan karena pekerjaan yang
dilakukannya tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan seseorang,
sehingga dengan berdinamika kelompok perawat akan mengetahui
kelemahan dan keunggulan dalam bekerja.
3. Dinamika kelompok dalam keperawatan segala pekerjaan
pelayanan kesehatan / keperawatan yang membutuhkan pemecahan
masalah dapat teratasi, dan mengurangi beban pekerjaan besar
sehingga waktu untuk menyelesaikan pekerjaan dapat diatur secara
tepat, efektif dan efisien, karena melalui dinamika kelompok
pekerjaan besar akan dibagi-bagi sesuai dengan bagian
kelompoknya masing-masing.
4. Lebih meningkatkan kelompok pelayanan keperawatan yang
denokratis karena perawat satu dengan yang lain dapat
memberikan masukan atau berinteraksi dengan lainnya dan
memiliki peran yang sama dalam pelayanan kepada klien.

2.3. Konsep Teori Keperawatan Jiwa

5
Menurut American Nursing Assosiation (ANA) keperawatan jiwa adalah
area khusus dalam praktek keperawatan yang menerapkan teori perilaku
manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik untuk
meningkatkan, mempertahankan dan memulihkan kesehatan jiwa pada fungsi
yang terintegrasi dalam kondisi sehat dan sakit. Keadaan sehat atau sakit bisa
dilihat dari prestasi kerja, hubungan interpersonal, penggunaan waktu
senggang dan keharmonisan fungsi jiwa.
Pasung merupakan tindakan pengekangan, pembatasan aktivitas secara
fisik, menggunakan berbagai jenis alat seperti rantai, belenggu, tali, balok
kayu, kurungan, diasingkan, atau dirantai pada ruangan terasing. Tindakan
pasung dilakukan oleh 14,3 % Keluarga di Indonesia yang salah satu anggota
keluarga mengalami gangguan jiwa berat (Kemenkes, 2013). Tindakan
pasung dilakukan pada pasien gangguan jiwa kronik, disertai perilaku agresif,
kekerasan, amuk, halusinasi yang berisiko menciderai diri sendiri, orang lain
atau lingkungan (Daulima, 2014; Wahyuningsih, 2014).
Keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan
dianggap paling banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak
memberi pengaruh pada pasien. Sehingga keluarga sangat penting artinya
dalam perawatan dan penyembuhan pasien. Alasan utama pentingnya
keluarga dalam perawatan jiwa adalah :
1. Keluarga merupakan lingkup yang paling banyak berhubungan
dengan Kecenderungan Atau Sikap Keluarga Penderita Gangguan
Jiwa Terhadap Tindakan Pasung (Studi Kasus di RSJ Amino
Gondho Hutomo Semarang) Puji Lestari, Zumrotul Choiriyyah,
Mathafi 17 pasien,
2. Keluarga (dianggap) paling mengetahui kondisi pasien,
3. Gangguan jiwa yang timbul pada pasien mungkin disebabkan
adanya cara asuh yang kurang sesuai bagi pasien,
4. Pasien yang mengalami gangguan jiwa nantinya akan kembali
kedalam masyarakat; khususnya dalam lingkungan keluarga,

6
5. Keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai
pemenuhan kebutuhan dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa
bagi pasien,
6. Gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama,
sehingga pengertian dan kerjasama keluarga sangat penting artinya
dalam pengobatan
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap penderita yang sakit,anggota keluarga memandang bahwa orang
yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan
jika diperlukan (Kristiyaningsih, 2011), dengan demikian tindakan
pemasungan merupakan kegagalan keluarga dalam memberikan dukungan
keluarga untuk membawa pasien ke tempat pelayanan kesehatan, tindakan
pemasungan hanya memperparah kondisi penderita gangguan jiwa tersebut.

7
BAB III

TREND DAN ISSUE KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN


TENTANG DINAMIKA KELOMPOK

3.1. Fenomena Pasung dan Dukungan Keluarga Terhadap Pasien Gangguan


Jiwa Pasca Pasung
Pemasungan menyebabkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan dasar hidup
yang layak, termasuk kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan ODGJ yang
dipasung (Halida, Dewi, & Rasni, 2016). Pasien yang dipasung dalam waktu
lama akan mengalami atropi otot, tidak bisa lagi berjalan, mengalami cedera
hingga pasien harus di terapi jika pasien tersebut dilepaskan dari pasung
(Puteh, 2011; Malfasari, Keliat, & Helena (2016). Dampak lain pemasungan
yaitu penderita mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa
dibuang, rendahdiri, dan putus asa, muncul depresi dan gejala niat bunuh
diri (Lestari, Choiriyyah, & Mathafi, 2014).
Tindakan pemasungan diakibatkan oleh berbagai alasan yang
dikemukakan oleh keluarga. Keluarga menjelaskan bahwa alasan anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah melakukan perilaku
kekerasan, membantu kesembuhan, keluyuran dan tidak mampu merawat.
Beban keluarga dapat diartikan sebagai stres atau efek dari adanya pasien
gangguan jiwa dalam keluarga (Mohr, 2006 dalam Daulima, 2014). Beban
keluarga merupakan tingkat pengalaman distress keluarga sebagai efek dari
pasien gangguan jiwa terhadap keluarganya. Kondisi ini dapat memicu
meningkatnya stres dalam keluarga. Penyimpangan perilaku yang terjadi pada
pasien menyebabkan keluarga menanggung beban yang lebih berat

8
dibandingkan pada saat pasien belum terjatuh ke dalam kondisi gangguan
jiwa.
Pasien yang BAB dan BAK sembarangan, menyebabkan keluarga harus
mengeluarkan tenaga, pikiran, dan waktu yang ekstra untuk membersihkan
lingkungan rumah. Penelitian ini menemukan bahwa kondisi keluarga
partisipan tingkat pendidikannya yang rendah yaitu lulusan SD dengan
kondisi ekonomi yang terbatas dan jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan
jiwa. Keterbatasan-keterbatasan sumber pengetahuan dan faktor ekonomi
untuk merawat pasien dan lingkungan rumah menyebabkan keluarga tidak
punya pilihan hingga memilih untuk memasung pasien.
Pasca pasung adalah ODGJ yang sudah terbebas dari pemasungan.
Meskipun ODGJ telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, namun beban
keluarga masih belum berakhir. Biaya yang harus ditanggung pasien selain
harga obat dan jasa konsultasi (apabila tidak ditanggung asuransi seperti
BPJS Kesehatan), adalah biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya
akomodasi lainnya (Daulima, 2014).
Setelah dibebaskan dari pasung, dirawat di rumah sakit dan kembali ke
rumah, menurut Lestari & Wardhani (2014) ODGJ tidak mendapatkan
penanganan khusus yang berkelanjutan.

3.2. Identifikasi Masalah


3.2.1. Critical Problem
Dari hasil berbagai penelitian didapatkan pengobatan penderita
gangguan jiwa merupakan sebuah perjalanan yang penuh tantangan
yang harus berkelanjutan, yaitu penderita gangguan jiwa sulit
untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun
membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan.
Perilaku pasung terhadap pasien gangguan jiwa dalam tindakan
kekerasan terhadap orang adalah tindakan agresif yang ditujukan
untuk melukai atau membunuh orang lain (Yusuf, 2015). Perilaku
kekerasan terhadap orang adalah tindakan agresif yang ditujukan
untuk melukai atau membunuh orang lain. Penelitian ini

9
menemukan bahwa perilaku kekerasan terhadap orang lain yang
dilakukan oleh pasien gangguan jiwa adalah mengancam dan
memukuli orang lain. Hasil penelitian Wahyuningsih (2014)
menemukan bahwa alasan pemasungan adalah merusak
lingkungan, melukai orang lain dan risiko membunuh.

3.2.2. Justification Problem


Berbagai penelitian mengemukakan menyatakan bahwa terapi
medikasi teratur pada pasien gangguan jiwa kronis dapat
menurunkan angka relaps 30-40%. Relaps terjadi satu tahun
pertama sekitar 60%70% dan dengan kombinasi antipsikotik dan
dukungan kelompok edukasi dapat menurunkan relaps sampai
15,7% (Wahyuningsih, 2014). Hal ini didukung dengan penelitian
Saputra (2012) bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga
dengan kepatuhan mengkonsumsi obat antipsikotik pada pasien
yang mengalami gangguan jiwa. Dukungan keluarga dibutuhkan
agar pasien dapat mengakses pelayanan kesehatan untuk
mendapatkan medikasi dengan teratur dan memastikan pasien
meminum obat yang sudah didapatkan sesuai dengan ketentuan.
Selain medikasi, Ambari (2010) menjelaskan bahwa semakin
tinggi dukungan keluarga, maka semakin tinggi pula keberfungsian
sosial pasien pasca perawatan di rumah sakit, demikian pula
sebaliknya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang fenomena pasung yang terjadi di Indonesia dan bagimana
dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa setelah
mendapatkan pasung.

Kebijakan pemerintah untuk melarang pasung sebenarnya sudah


ada sejak tahun 1966 melalui UU No. 23 Tahun 1966 tentang
Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa
yang terlantar harus mendapatkan perawatan dan pengobatan pada
suatu tempat perawatan. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor
PEM.29/6/15, tertanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan

10
kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia
meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan
terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran
masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah
Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat
dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan
langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerah
mereka.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari fenomena yang terjadi dapat disimpulkan bahwa perilaku pasung
yang dilakukan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa merupakan cara
penanganan yang tidak tepat terhadap pasien gangguan jiwa. Perilaku pasung
yang ditemukan dengan alasan pasien melakukan perilaku kekerasan,
membantu kesembuhan pasien, pasien keluyuran dan keluarga tidak mampu
merawat pasien. Keputusan pemasungan yang ditemukan dilakukan oleh
masyarakat dan keluarga.
Akibat pemasungan yang ditemukan adalah kecacatan fisik apabila metode
pemasungan dengan cara dikurung dalam tempat yang terbatas dan sempit.
Meskipun demikian, keluarga masih tetap memberikan dukungan kepada
pasien, walaupun kurang memadai.

4.2 Saran
Sedikit masukan, jika ada pasien ODGJ sebaiknya dibawa ke di rumah
sakit jiwa untuk dirawat dan di tindaklanjuti lebih lanjut oleh paramedis yang
ada di rumah sakit jiwa. Selain itu, dari pihak keluarga juga harus memberi
dukungan untuk membantu penyembuhan pasien.

11
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, A., & Tristiana, D. T. (2018). Fenomena pasung dan dukungan keluarga
terhadap pasien gangguan jiwa pasca pasung. Jurnal Keperawatan
Padjadjaran, 5(3).

Yunani, Z. DINAMIKA KELOMPOK TUJUAN PEMBELAJARAN: Mahasiswa


dapat.

Azizah, L. M. R., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik.

Sumitro, I. P. M. (2017). Dukungan Keluarga Terhadap Klien Gangguan Jiwa


Pasca Pasung (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Abdul, N dkk. 2011. Dasar-dasar keperawatan jiwa pengantar dan teori.


Jakarta:Salemba Medika

Departemen Kesehatan RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013).


Jakarta: Depkes RI.

Lestari, P., Ch, Z., & Mathafi, M. (2015). Kecenderungan atau Sikap Keluarga
Penderita Gangguan Jiwa Terhadap Tindakan Pasung (Studi Kasus Di Rsj Amino
Gondho Hutomo Semarang). Jurnal Keperawatan Jiwa, 3(1), 13-21.

12

Anda mungkin juga menyukai