Anda di halaman 1dari 17

Disharmonisasi Regulasi Dalam Penanganan Perkara TPPU Hasil Korupsi di

Luar Negeri

Oleh :

Tri Suhendra Arbanii, Ahmad maulidaii

Abstrak

Permasalahan dan penyelesaian tentang Tindak Pidana korupsi seakan-


akan tak ada habisnya. Pada dasarnya bentuk keseriusan Indonesia dalam
menangani perkara korupsi dan membangun optimisme masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi sudah diwujudkan melalui pembentukan
Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga
tersebut secara tidak langsung adalah bentuk penjewantahan pemerintah terhadap
instansi atau aparat penegak hukum yang sebelumnya tidak becus dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi. Namun polemic pemberantasan korupsi
masih saja terus ada seakan tak akan pernah berakhir, terlepas dari upaya
pelemahan lembaga anti rasuah tersebut melalui penyeleksian capim yang
dianggap kurang becus, penambahan prosedur penyadapan yang dianggap mesti
atas persetujuan pengadilan, penarikan penyidik KPK, dan upaya pelemahan lain
baik internal maupun eksternal, kini upaya pemberantasan korupsi terhambat pada
disharmonisasi peraturan ketika terjadi tindak pidana pencucian uang hasil dari
korupsi di luar negeri. Disharmonisasi ini dikhawatirkan akan memberikan
dampak signifikan terhadap upaya penanganan korupsi, karena modus pelaku
semakin beragam dan kompleks sementara reglulasi sudah kewalahan dalam
menangani modus canggih tersebut, utamanya dalam pengembalian aset hasil
korupsi di luar negeri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelittian ini
adalah yuridis normatif. Metode penelitian ini menganalisis hukum baik yang
tertulis di buku (law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan
oleh hakim melalui proses pengadilan. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach).
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
Penghapusan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Undang-Undang 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Persoalan
disharmonisasi regulasi ini sejatinya dapat diselesaikan melalui konvensi
internasional ataupun penyelesaian melalui jalur diplomasi. Sebenarnya sudah ada
konvensi internasional yang dibuat oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada
tahun 2003, yakni konvensi United Nation Convention Againts Corruption
(UNCAC). Namun bukan berarti konvensi serta merta membuat regulasi seragam,
Dosen Ilmu Hukum (HTN), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makasssar.
i

Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin
ii

Makasssar.
sebab kesepakatan bias saja kehilangan kekuatan mengikat bila terdapat kondisi
yang sangat penting di suatu Negara yang mengubah dasar materil kesepakatan
tersebut (rebus sic stantibus).
Kata Kunci : Hak Politik, Narapidana, Calon Legislatif

A. Pendahuluan

Hak merupakan hal paling esensial atau mendasar dalam pengaturan dari
pada hukum khususnya paham negara hukum iii, sehingga pengaturannya tertuang
langsung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia. Indonesia
pada dasarnya telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM (Universal
Declaration of human rights) tahun 1948 dan membuat regulasi atau peraturan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jika kita menelaah substansi dari
HAM dalam konstitusi kita, maka ada dua garis besar HAM, yakni darogable
rights (Hak yang dapat diganggu gugat) dan non-darogable rights (hak yang tidak
dapat diganggu gugat). Dari kedua hak tersebut memiliki implikasi berbeda
terhadap pengaturannya dalam peraturan perudang-undangan.

Hal ini bisa dilihat dari salah satu kasus dimana pembatasan hak politik
Mantan Terpidana Korupsi, Bandar Narkoba Dan Pelaku Kejahatan Terhadap
Anak yang dibatasi haknya untuk maju menjadi calon legislatif pada pemilu 2019.
Pembatasan tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.iv Pro kontra terhadap pengaturan dan
pembatasan hak untuk menjadi calon legislatif bagi mantan terpidana akhirnya

iii
UUD 1945 BAB I tentang bentuk kedaulatan tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
iv
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.
menemui titik temu ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang
membatalkan Peraturan KPU terkait pembatasan tersebut.

Masalah ini pertama kali muncuk ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengeluarkan PKPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019 yang dalam
Pasal 7 ayat 1 butir g dan h dijelaskan didalamnya bahwa bagi calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indoensia
dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasrkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang
diancam dengan penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap; dan selanjutnya diejlaskan bahwa bukan mantan
terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.v
Setelah peraturan ini mulai diberlakukan, muncul berbagai protes
khusunya bagi terpidana yang merasa haknya dibatasi dalam ikut membangun dan
mengembangkan bangsa. Dari berbagai penolakan tersebut, sehingga akhirnya di
lakukanlah pengujian terhadap Peraturan KPU tersebut di Mahkamah Agung.
Pada kewenagannya MA berwenang untuk menguji peraturan perudnag-undagan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang.vi.

Dari aspek yurudis, hal ini menjadi bahan kajian terkait bagaimana
seharusnya pengaturan tentang pembatasan hak sesorang bisa diatur di peraturan
perundang-undangan. Pada aspek pembatasan hak, pengaturannya tidak bisa serta
merta diatur oleh semua tingkatan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut
sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indoensia Tahun 1945, dimana pembatasan hak seseorang harus diatur tersendiri
v
Pasal 7 ayat 1 butir g dan h Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu
2019, Berita Negara Republik Indoensia Tahun 2018 Nomor 834
vi
Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
“Mahkamah Agung berwenang mengadili dan menguji pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang”. Kewenangan yang sama kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 ayat (2) huruf (b) yang juga
menyatakan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”;
oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Untuk itulah diperlukan pemahaman
yang mendalam mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga
pengaturan dan muatan normanya tidak salah alamat. Dari sini pengaturan
terhadap hak seseorang bukan lagi menjadi hal yang remeh karna akan
berimplikasi langsung terhadap terhadap terbatasinya hak warga negara.

Penegakan dan perlindungan hak warga negara adalah tanggung jawab


pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 A-J, kemudian
diatur lebih lanjut dalam Pasal 71-71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai negara hukumvii yang menjunjung tinggi
HAM dan Hak warga negara, tentunya Indonesia menjamin asas equality before
the law (persamaan hak di hadapan hukum), Indonesia harus melindungi
rakyatnya dari tindak diskriminatif baik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
hingga dalam peraturan perundang-undangan.

Aspek hukum lain, Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 pada 9 Juli


2015 membolehkan ekskoruptor menjadi calon anggota legislatif. Dalam putusan
itu disebutkan "Seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara
atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali
perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi
perbuatannya.viii

Dari kasus yang dijelaskan sebelumnya bahwa ada hak yang telanggar
dalam mengikuti kontekstasi pemilihan calon legislatif, dimana setiap orang
memiliki hak dalam pemilihan umum. Hak pemilihan terbagi atas dua yakni hak
pemilihan aktif (memilih) dan hak pemilihan pasif (dipilih). Setiap warga negara
memiliki hak konstitusional untuk memilih ataupun dipilih. Jikapun dalam hukum
dikehendaki pencabutan hak politik, namun semuanya perlu melalui proses

vii
Sudargo Gautama berpendapat bahwa setidaknya ada 3 ciri atau unsur-unsur dari negara hukum,
yakni: pertama, terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, kedua,
memberlakukan asas legalitas, dan ketiga, adanya pemisahan kekuasaan dan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
viii
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015
peradilan yang fair dan tidak sewenang-wenang serta pengaturan diregulasi yang
benar.

Peraturan Komisi pemilihan Umum (Peraturan Perundang-undangan di


bawah Undang-Undang) dan MA No. 46 P/HUM/2018 yang menjadi polemik,
karena membahas tentang pencabutan hak politik terhadap mantan napi korupsi,
kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkotika dalam kontertasi pemilihan
calon anggota legislatif. Sehingga dalam tulisan ini akan mencoba mengkaji
kembali mengenai, bagaimana seharusnya pengaturan hak politik terhadap mantan
napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkotika ketika ingin
dibatasi kembali. Pengaturan pembatasan hak politik ini menurut sebagian orang
menjadi penting bila dilihat dari aspek kemanfaatan, dimana sudah seharusnya
bagi mantan terpidana korupsi dan lainnya tidak diberikan lagi ruang dalam
menduduki jabatan publik. Pengaturan hal tersebut tentunya harus dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan yang tepa baik dari segi materi dan
bentuknya.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelittian ini adalah yuridis


normatif, atau metode penelitian doktrinal. Metode penelitian ini menganalisis
hukum baik yang tertulis di buku (law as it is written in the books), maupun
hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan undang-
undang (statute approach). Dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkutan terhadap isu hukum yang dibahas pada makalah ini yakni
deregulasi hak politik terhadap mantan terpidana korupsi, bandar narkoba dan
pelaku kejahatan terhadap anak setelah putusan MA No. 46 P/HUM/2018.
Undang-undang dimaksud yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undnag-Undang 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum, PKPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan
anggota DPR,DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis Preskripitif. Analisis
tersebut menggunakan analasis tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya
dituangkan dalam suatu norma atau aturan kedepannya.

C. Pembahasan

1. Pembatasan dan Pencabutan Hak Politik

Hak Asasi Manusia (HAM)/Human Rights merupakan hak manusia yang


melekat pada diri manusia, dimana manusia juga dikaruniai akan pikiran dan hati
nurani.ix Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batas-batas
negeri, kebangsaan dan ditujukan pada setiap orang baik kaya ataupun miskin,
hitam ataupun putih, tinggi ataupun pendek. Dikatakan universal karena hak ini
merupakan bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia.x Sebagai norma yang
ditujukan bagi setiap orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun
berkelompok wajib mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya
menuntut peningkatan pelaksanannya.

Konsep atau rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia dijelaskan


pada pasal 1 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of human rights)
tahun 1948.xi Lahirnya deklarasi tersebut memberikan dampak pada negara-negara
PBB bahwa mereka harus mengakui hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap
orang dengan cara menghormati (to respect), melindungi (to Protect), dan
memenuhi (to fulfil). Upaya supremasi hukum pada negara hukum (rechtstaat)
harus selaras dengan upaya dalam penegakan, perlindungan dan peningkatan Hak
Asasi Manusia.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, setelah Indonesia meratifikasi


deklarasi HAM maka Indonesia harus membuat regulasi atau peraturan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan amanat Pancasila dan
ix
Suryadi Radjab, 2002, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, hlm. 7
x
Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Hak asasi manusia konsep dasar dan perkembangan
pengertiannya dari masa ke masa, ELSAM, Jakarta, hlm. 1,
xi
Pasal 1 Deklarasi HAM berbunyi “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat
dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama
lain dalam persaudaraan.”
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Jika kita menelaah substansi dari
HAM dalam konstitusi kita, maka ada dua garis besar HAM, yakni darogable
rights (Hak yang dapat diganggu gugat)xii dan non-darogable rights (hak yang
tidak dapat diganggu gugat)xiii. Tercantumnya perlindungan Hak asasi manusia
dalam konstitusi semakin memberikan ruang bagi warga negara maupun negara
untuk meningkatkan kelayakan dan kepatutan HAM, khususnya dalam membuat
regulasi atau peraturan perundang-undangan. Sejauh ini Indonesia sudah membuat
peraturan khusus yang menjelaskan tentang Hak Asasi Manusia, yakni Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM.

Pencabutan Hak politik adalah bentuk dari hukuman karena yang


bersangkutan tidak amanah dalam memegang jabatan publik dan agar yang
bersangkutan tidak bisa lagi menyalahgunakan wewenang atas jabatan yang
diemban. Dalam Pasal 73 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan bahwa hak-hak asasi manusia dalam UU tersebut hanya dapat
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang
lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Hak Politik termasuk
dalam hak yang diatur lebih lanjut dalam UU HAM, dan pembatasan Hak tersebut
secara konstitusional dapat dilakukan, karena dikehendaki oleh Undang-undang.

Melihat rumusan HAM dalam konstitusi, Pasal 28 J ayat (1) secara


Expressive Verbis menyebutkan beberapa macam Hak yang tidak dapat diganggu
gugat, hal ini berarti secara prima facie, berbagai ketentuan Hak asasi manusia di
luar ketentuan tersebut dapat dikatakan sebagai hak hak yang dapat dibatasi oleh
negara atau diganggu gugat (darogable rights). Beberapa kalangan berasumsi

xii
darogable rights adalah hak-hak yang diberikan oleh negara kepada warga negara yang dapat
diganggu gugat atau dibatasi oleh negara. Misal hak untuk berpendapat, memperoleh informasi,
dll. Negara memang memiliki kehendak untuk mencamur tangani atau membatasi beberapa hak-
hak warga negara, namun harus memiliki sebab dan akibat yang pasti, sehingga tidak berkesan
diskriminatif
xiii
Non darogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak dapat diganggu gugat
oleh negara, meskipun negara sedang berada dalam keadaan genting. Salah satu contoh jenis non-
darogable rights ini adalah hak untuk hidup
bahwa pencabutan hak politik adalah pelanggaran HAM yang sudah diatur secara
konstitusional. Dikatakan konstitusional sebab diatur dalam undang-undang.
Layaknya sanksi pidana seperti penjara, penahanan pada dasarnya adalah
pelanggaran terhadap hak kebebasan seseorang namun dikehendaki oleh Undang-
undang dan Negara. Hal yang kemudian akan menjadi keliru adalah ketika negara
membatasi hak politik seseorang tanpa melalui proses peradilan yang fair, artinya
untuk memberikan atau menjatuhkan sanksi pidana kepada seseorang, maka
seseorang tersebut wajib mengikuti prosedur pemidanaan sebagaimana diatur
dalam KUHAP atau hukum formil Undang-Undang khusus (Korupsi) karena
sanksi pidana pokok dan tambahan jelas diatur dalam Pasal 10 KUHP, kemudian
pencabutan hak politik dapat digolongkan sebagai sanksi pidana tambahan.

Baik hukum pidana objektif dan subjektif keduanya saling berkaitan.


Keterkaitannya memberikan manfaat bahwa peraturan-peraturan yang ada sebagai
hukum pidana dalam arti objektif telah membatasi negara agar tidak serta merta
menghukum warga negaranya sesuai ketentuan hukum pidana subjektif, pun
sebaliknya, warga negara tidak boleh berbuat semena-mena terhadap orang lain
karena negara sudah membatasi hak-haknya melalui peraturan-peraturan dalam
hukum pidana objektif.

Pencabutan hak politik merupakan sanksi pidana. Dikatakan sanksi pidana


karena merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh negara untuk menghukum
seseorang yang sudah melakukan pelanggaran hukum terhadap hukum yang ada
sebagai akibat hukum. Sanksi pidana merupakan gambaran jelas dari hukum
pidana yang dijuluki sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir yang
digunakan untuk memperbaiki kelakuan manusia. Oleh karenanya menurut
penulis pencabutan hak politik menurut perspektif pidana adalah hal yang sah-sah
saja selama disertai alasan akan adanaya akibat hukum yang berat atau dampak
hukum yang berbahaya.

Selain aspek pidana, hal lain yang menarik dibahas dalam perspektif
yuridisnya adalah bahwa undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menghendaki bahwa hak-hak yang secara prima facie merupakan
darogable rights dapat dibatasi oleh undang-Undang.xiv Kemudian pemilihan
umum diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum, meski tidak secara gamblang, namun Undang-Undang pemilu
ini telah mengatur hak politik seseorang agar dapat maju mencalonkan sebagai
calon anggota legislatif.

Jika menelaah lagi apa yang ada pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembatasan terhadap Hak-Hak yang
diatur dalam Undang-Undang tersebut hanya dapat diatur menurut Undang-
Undang. Menurut Undang-Undang berarti bukan aturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang. Pada Undang-Undang Pemilu telah diatur syarat
pencalonan untuk dapat maju mencalonkan sebagai calon anggota legislatif,
tepatnya pada pasal 249 (3) dan pasal 257 (3). Penjelasan mengenai Pasal tersebut
kemudian dimuat dalam PKPU (Peraturaan Komisi Pemilihan Umum) No. 20
Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten, pada Pasal 4 ayat (3) Pasal 11 ayat (1) huruf d mengatur tentang
pembatasan Hak yakni hak untuk dipilih. Bahwa seseorang yang merupakan
mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan terhadap anak
tidak dapat mencalonkan sebagai calon anggota legislatif. Hal demikian sudah
jelas melanggar norma hukum yang termaktub dalam Pasal 73 UU 39/1999
tentang HAM.

Jika kita merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka keseluruhan
peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang sistematis dan disusun
secara hierarkis. Secara hierarkis Undang-Undang berada pada tingkatan ketiga,
berada dibawah UUD 1945 dan TAP MPR. Norma hukum dalam pasal 73 telah
menjelaskan bahwa pembatasan terhadap HAK yang diatur dalam Undang-

xiv
Pasal 73 Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang HAM berbunyi “Hak dan kebebasan yang
diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Undang tersebut hanya dapat dibatasi melalui Undang-Undang. PKPU merupakan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Maka secara formil
pembatasan hak pada PKPU No. 20 tahun 2018 telah batal demi hukum. Andil
asas preferensi hukum digunakan dalam hal ini, yakni asas lex superiori darogat
legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menggugurkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah).

Cilulut est lex (nama Undang-Undang menggambarkan spesifikasinya).


Barangkali postulat tersebut cocok untuk menggambarkan situasi Indonesia saat
ini yang dalam peraturan perundang-undangannya terkadang terjadi pertentangan
norma. Sejatinya dalam muatan peraturan perundang-undangan harus memuat
materi tentang penegakan dan peningkatan HAM. Kemudian landasan yuridis
terkait hak politik memilih dan dipilih sudah jelas diatur dalam UU N0. 39 tahun
1999, namun Komisi Pemilihan Umum membuat Peraturan Komisi Pemilihan
Umum atau PKPU (merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang) yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang diatur pada Pasal 249
ayat (3) dan Pasal 257 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan Umum
(PEMILU). Sehingga pengaturan terkait pembatasan hak politik terpidana kurang
pas jika diatur dalam peraturan komisi pemilihan umum.

2. Pengaturan Kembali Pembatasan Hak Terpidana Untuk Menjadi Caleg

Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional dan telah


meratifikasi Deklarasi Universal HAM, karenanya Indonesia harus menghormati,
menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) serta deklarasi Universal hak Asasi Manusia (DUHAM).
DUHAM berisikan pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang
dijadikan acuan dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia.

Sebagai upaya untuk mewujudkan penegakan dan peningkatan HAM,


Indonesia telah meratifikasi konvenan tentang hak-hak sipil dan politik melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International
Convenant On Civil And Political Rights (Konvenan international tentang hak-hak
sipil dan politik). Dengan meratifikasi, maka Indonesia wajib bertanggung jawab
dalam pemenuhan pelaksanaan hak sipil dan politik warga negara. Berikut Hak-
hak politik diatur dalam Pasal 21 DUHAM diantaranya:xv

a. Berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya secara langsung


atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b. Berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan
pemerintahan negaranya;
c. Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintahan,
dimana kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang
dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih bersifat
umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun
dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Salah satu hak politik yang dijamin dalam konvenan internasional tersebut
adalah hak setiap warga negara untuk turut serta dalam penyelenggaraan urusan
publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan
persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya. Undang-Undang
Dasar 1945 telah memberikan jaminan sebagaimana tercantum pada pasal 28C.
Namun, mengenai hak memilih dan dipilih diatur lebih spesifik dalam Pasal 23
ayat (1) dan 43 ayat (1)xvi UU No. 39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, rakyat dianggap


sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara (dalam adagium sering didengar
salus populi suprema lex). Dahulu, dalam negara polis, keterwakilan rakyat dapat
terjadi secara langsung dan dalam satu tempat. Namun seiring berjalannya waktu,
kompleksitas di masyarakat semakin meningkat, akibatnya kedaulatan rakyat
tidak dapat dilaksanakan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki
bahwa kedaulatan rakyat dapat dilaksanakan dengan sistem perwakilan atau biasa
disebut dengan sistem demokrasi perwakilan. Agar wakil-wakil rakyat benar-

xv
Adnan Butyung Nasution dan A. Patra M. Zen, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 34
xvi
Bunyi Pasal 43 ayat (1) “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh
rakyat, yaitu melalui pemilihan umum.xvii

Pemilu diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan


Umum, pengertian tentang pemilu dijelaskan pada Pasal 1 ayat (1) xviii. Indonesia
menyelenggarakan pemilu secara berkala (tiap 5 tahun). Hal ini juga merupakan
perwujudan pemenuhan hak untuk memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud
dalam DUHAM. Dengan adanya pemilu, hak asasi rakyat yang berkaitan dengan
bidang politik dapat disalurkan, hak untuk sama di hadapan hukum dan
pemerintahan juga mendapat saluran, dan dengan adanya pemilu yang bebas maka
maksud pemilu sebagai sarana penyaluran hak demokratis atau hak politik rakyat,
dapat mencapai tujuannya.

Negara Indonesia menjamin hak konstitusional warga negara, dan


memberikan ruang bagi warga negara yang merasa terlanggar hak
konstitusionalnya untuk mengadu, baik pada Mahkamah konstitusi, maupun
Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah konstitusi dan Mahkamah Agung
berbeda, hal ini pun dijelaskan dalam UUD 1945 dan dijelaskan lebih lanjut
dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa pada Pasal
20 ayat (2) disebutkan kewenangan Mahkamah Agung yang salah satunya
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undnag. Sedangkan kewenangan Mahkamah konstitusi diatur pada pasal
29 ayat (1), yang salah satu kewenangannya yakni menguji Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Polemik terkait pencabutan hak politik atau larangan mantan narapidana


korupsi, bandar narkoba, pelaku kajahatan terhadap anak mencalonkan sebagai
calon anggota legislatif dalam PKPU No. 20 Tahun 2018 telah di Judisial
xvii
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara, Sekretariat jendral dan
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 12.
xviii
Pasal 1 ayat (1) berbunyi “pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana
kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan
daerah, presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih dewan perwakilan rakyat daerah, yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, berdasarkan pancasila dan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.”
reviewkan. Pemohonnya adalah Jumanto, seorang warga negara yang merasa
dilanggar hak konstitusionalnya dalam pencalonannya sebagai anggota legislatif
di kontestasi pemilu 2019. Yang menjadi batu ujinya adalah Undang-Undang No.
17 tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-undang no. 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Putusan MA (Mahkamah Agung No. 46 P/HUM2018 telah membuat


norma baru. MA menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d
sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan Undang-Undang
No. 7 tahun 2017 tentang pemilu dan Undang-Undang no. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Konflik norma tersebut dapat
terselesaikan secara sederhana dengan menggunakan asas lex superiori darogat
legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah). Namun sayangnya dalam
putusan tersebut hanya memuat kalimat sepanjang frasa “mantan terpidana
korupsi”, padahal secara kualitatif ada 3 yang dilarang, yakni: pertama, mantan
terpidana korupsi; kedua, mantan bandar narkoba, dan ketiga adalah mantan
pelaku kejahatan terhadap anak. Keseluruhan dari 3 jenis yang dilarang adalah
sama-sama manusia, sama-sama warga negara.

Gustav Radbruch memiliki pandangan keadilan tersendiri yaitu keadilan


terarah. Keadilan terarah pada rechtsidee. Keadilan sebagai suatu cita seperti yang
ditujukan oleh Aristoteles adalah, tidak dapat mengatakan lain kecuali “yang sama
diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama.” Untuk
mengisi cita keadilan itu dengan konkrit, kita harus menengok dari segi
finalitasnya. Jadi bagi Radbruch hukum memiliki tiga aspek yakni, keadilan,
finalitas dan kepastian. Aspek keadilan merujuk pada kesamaan hak di hadapan
hukum. Aspek finalitas merujuk pada tujuan keadilan, yakni memajukan hidup
manusia. Sedangkan aspek kepastian merujuk pada peraturan bahwa hukum yang
berisi keadilan dan kemajuan hidup manusia dapat terlaksana atau benar-benar
berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. xix
Bernard L. Tanya, dkk., 2010, Teori Hukum (strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi),
xix

Genta Publishing, yogyakarta, hlm, 129.


Terhadap konsep keadilan tersebut, maka sejatinya tidak ada satupun
warga negara yang dicabut hak politiknya tanpa melalui proses peradilan yang
adil (fair) terlebih dahulu. Sebab hak politik adalah hak fundamental yang dimiliki
oleh setiap warga negara yang jika dicabut secara serta merta tanpa melalui proses
peradilan maka akan menimbulkan gangguan dalam diri warga negara untuk
bereksistensi di lingkungannya. Pun jika tujuan hukum pidana modern ini adalah
untuk memasyarakatkan masyarakat maka seharusnya, orang yang sudah
dipidana, bisa kembli ke tengah masyarakat sebagai masyarakat biasa lagi, ia bisa
mencalonkan asal memberitahukan bahwa dirinya adalah mantan terpidana
korupsi, bandar narkoba ataupun pelaku kejahatan terhadap anak.

Sesuai amanat Pasal 28 j Ayat (2) Undnag-Undnag Dasar Negara Republik


Indoensia Tahun 1945 bahwa khusus menganai pembatasan hak seseoarang atau
hak asasi manusia makan pengaturannya haruslah dituangkan pada tingkatan
Undang-Undang bukan pada tingkatan peraturan perundang-undangan lainnya
seperti PKPU. Pada dasarnya PKPU termasuk kedalam peraturan perundang-
undangan yang temasuk kedalam kelompok peraturan teknis. Sebagai peraturan
teknis maka suda seharusnya PKPU hanya boleh memuat suatu norma jika itu
diperintahkan oleh suatu Undnag-Undang atau aturan yang berada diatasnya.

Opsi terbaik ketika KPU tetap ingin membatasi hak politik dari mantan
terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,. Maka,
jalan tengahnya adalah mengajukan usulan perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang didalamnya harus memuat
pembatasan hak bagi narapidana. Cara seperti itulah merupakan cara legal
sehingga tidak ada lagi pertentangan norma atau kesalahan dalam pembentukan
normanya.Banyaknya kekurangan dan evaluasi bagi pemilihan umum tahun 2019
bisa menjadi jalan masuk untuk melakukan perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Opsi kedua pengaturan terhadap pembatasan hak politik bagi mantan


terpidana yakni mendorong pihak pemerintah dalam hal ini presiden
mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU), jika
merasa hal ini penting atau genting. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (atau disingkat Perpu atau Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Artinya terbitnya suatu Perppu maka harus ada alasan kegentingan yang
memaksa, meskipun penafsirannya kembali pada presiden. Materi muatan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama
dengan materi muatan Undang-Undang. Perpu ditandatangani oleh Presiden.
Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang
berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi Undang-
Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang
dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR
hanya dapat menerima atau menolak Perpu. Opsi ini merupakan cara tercepat jika
ingin melakukan perubahan terhadap suatu regulasi.

Kedua opsi diatas bisa dipakai, jika kedepannya dianggap penting untuk
membatasi hak politik bagi dari mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan
seksual terhadap anak, atau korupsi. Setelah diatur kedalam undang-undang, maka
selanjutnya sudah boleh diatur dalam peraturan-peraturan teknis seperti peraturan
komisi pemilihan umum. Menurut peneliti sendiri memang sudah seharusnya hak
politik bagi mantan terpidana korupsi dan lainnya tidak diberikan lagi ruang untuk
menduduki jabatan politk atau wakil rakyat. Ini dilandasi bahwa ada asas
kemanfaatan yang perlu dikedepankan dimana jauh lebih bermanfaat
mencalonkan orang yang bebas dari perkara pidana khususnya korupsi dari pada
mantan terpidana yang pernah menghianati amanah rakyat.

Penutup

HAM (Hak Asasi Manusia) telah diatur dalam konstitusi Indonesia yakni
dalam UUD 1945, bab XA dalam UUD 1945 menjelaskan tentang HAM.
Indonesia juga meratifikasi DUHAM atau Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia tahun 1948. Di Indonesia secara garis besar HAM dibagi menjadi dua,
yakni; darogable rights dan non-darogable rigths. Mahkamah agung dalam
putusannya no. 46 P/HUM/2018 telah mengugurkan norma yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan lampiran model B3 PKPU No. 20
tahun 2018 karena dianggap bertentangan dengan norma yang diatur dalam
Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan Undang-undang nomor
12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan. Pasal 28 j Ayat (2)
Undnag-Undnag Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 bahwa khusus
menganai pembatasan hak seseoarang atau hak asasi manusia makan
pengaturannya haruslah dituangkan pada tingkatan Undang-Undang bukan pada
tingkatan peraturan perundang-undangan lainnya seperti PKPU.

Untuk membatasi hak politik bagi dari mantan terpidana Bandar narkoba,
kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. Opsi nya ada dua yakni diatur
langsung dengan Undang-Undang melalui perubahan undang-undang Pemilu dan
yang kedua adalah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang. Setelah diatur kedalam undang-undang, maka selanjutnya sudah
boleh diatur dalam peraturan-peraturan teknis seperti peraturan komisi pemilihan
umum. Pada dasarnya PKPU termasuk kedalam peraturan perundang-undangan
yang temasuk kedalam kelompok peraturan teknis. Sebagai peraturan teknis maka
suda seharusnya PKPU hanya boleh memuat suatu norma jika itu diperintahkan
oleh suatu Undnag-Undang atau aturan yang berada diatasnya.

Daftar Pustaka

- Radjab, Suryadi, 2002, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta.


- Wignjosoebroto, Soetandyo, 2007, Hak asasi manusia konsep dasar dan
perkembangan pengertiannya dari masa ke masa, ELSAM, Jakarta.
- Butyung Nasution, Adnan dan A. Patra M. Zen, 2006, Instrumen
Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
- Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara, Sekretariat
jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
- L. Tanya, Bernard, dkk., 2010, Teori Hukum (strategi tertib manusia
lintas ruang dan generasi), Genta Publishing, yogyakarta.
- Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019, Berita Negara Republik Indoensia
Tahun 2018 Nomor 834
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
- Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165
- Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015

Anda mungkin juga menyukai