Luar Negeri
Oleh :
Abstrak
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin
ii
Makasssar.
sebab kesepakatan bias saja kehilangan kekuatan mengikat bila terdapat kondisi
yang sangat penting di suatu Negara yang mengubah dasar materil kesepakatan
tersebut (rebus sic stantibus).
Kata Kunci : Hak Politik, Narapidana, Calon Legislatif
A. Pendahuluan
Hak merupakan hal paling esensial atau mendasar dalam pengaturan dari
pada hukum khususnya paham negara hukum iii, sehingga pengaturannya tertuang
langsung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia. Indonesia
pada dasarnya telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM (Universal
Declaration of human rights) tahun 1948 dan membuat regulasi atau peraturan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jika kita menelaah substansi dari
HAM dalam konstitusi kita, maka ada dua garis besar HAM, yakni darogable
rights (Hak yang dapat diganggu gugat) dan non-darogable rights (hak yang tidak
dapat diganggu gugat). Dari kedua hak tersebut memiliki implikasi berbeda
terhadap pengaturannya dalam peraturan perudang-undangan.
Hal ini bisa dilihat dari salah satu kasus dimana pembatasan hak politik
Mantan Terpidana Korupsi, Bandar Narkoba Dan Pelaku Kejahatan Terhadap
Anak yang dibatasi haknya untuk maju menjadi calon legislatif pada pemilu 2019.
Pembatasan tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.iv Pro kontra terhadap pengaturan dan
pembatasan hak untuk menjadi calon legislatif bagi mantan terpidana akhirnya
iii
UUD 1945 BAB I tentang bentuk kedaulatan tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
iv
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.
menemui titik temu ketika Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang
membatalkan Peraturan KPU terkait pembatasan tersebut.
Masalah ini pertama kali muncuk ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU)
mengeluarkan PKPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019 yang dalam
Pasal 7 ayat 1 butir g dan h dijelaskan didalamnya bahwa bagi calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indoensia
dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana berdasrkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang
diancam dengan penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap; dan selanjutnya diejlaskan bahwa bukan mantan
terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.v
Setelah peraturan ini mulai diberlakukan, muncul berbagai protes
khusunya bagi terpidana yang merasa haknya dibatasi dalam ikut membangun dan
mengembangkan bangsa. Dari berbagai penolakan tersebut, sehingga akhirnya di
lakukanlah pengujian terhadap Peraturan KPU tersebut di Mahkamah Agung.
Pada kewenagannya MA berwenang untuk menguji peraturan perudnag-undagan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang.vi.
Dari aspek yurudis, hal ini menjadi bahan kajian terkait bagaimana
seharusnya pengaturan tentang pembatasan hak sesorang bisa diatur di peraturan
perundang-undangan. Pada aspek pembatasan hak, pengaturannya tidak bisa serta
merta diatur oleh semua tingkatan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut
sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indoensia Tahun 1945, dimana pembatasan hak seseorang harus diatur tersendiri
v
Pasal 7 ayat 1 butir g dan h Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu
2019, Berita Negara Republik Indoensia Tahun 2018 Nomor 834
vi
Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
“Mahkamah Agung berwenang mengadili dan menguji pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang”. Kewenangan yang sama kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 ayat (2) huruf (b) yang juga
menyatakan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”;
oleh peraturan perundang-undangan tertentu. Untuk itulah diperlukan pemahaman
yang mendalam mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga
pengaturan dan muatan normanya tidak salah alamat. Dari sini pengaturan
terhadap hak seseorang bukan lagi menjadi hal yang remeh karna akan
berimplikasi langsung terhadap terhadap terbatasinya hak warga negara.
Dari kasus yang dijelaskan sebelumnya bahwa ada hak yang telanggar
dalam mengikuti kontekstasi pemilihan calon legislatif, dimana setiap orang
memiliki hak dalam pemilihan umum. Hak pemilihan terbagi atas dua yakni hak
pemilihan aktif (memilih) dan hak pemilihan pasif (dipilih). Setiap warga negara
memiliki hak konstitusional untuk memilih ataupun dipilih. Jikapun dalam hukum
dikehendaki pencabutan hak politik, namun semuanya perlu melalui proses
vii
Sudargo Gautama berpendapat bahwa setidaknya ada 3 ciri atau unsur-unsur dari negara hukum,
yakni: pertama, terdapat pembatasan kekuatan negara terhadap perorangan, kedua,
memberlakukan asas legalitas, dan ketiga, adanya pemisahan kekuasaan dan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
viii
Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015
peradilan yang fair dan tidak sewenang-wenang serta pengaturan diregulasi yang
benar.
B. Metode Penelitian
C. Pembahasan
xii
darogable rights adalah hak-hak yang diberikan oleh negara kepada warga negara yang dapat
diganggu gugat atau dibatasi oleh negara. Misal hak untuk berpendapat, memperoleh informasi,
dll. Negara memang memiliki kehendak untuk mencamur tangani atau membatasi beberapa hak-
hak warga negara, namun harus memiliki sebab dan akibat yang pasti, sehingga tidak berkesan
diskriminatif
xiii
Non darogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak dapat diganggu gugat
oleh negara, meskipun negara sedang berada dalam keadaan genting. Salah satu contoh jenis non-
darogable rights ini adalah hak untuk hidup
bahwa pencabutan hak politik adalah pelanggaran HAM yang sudah diatur secara
konstitusional. Dikatakan konstitusional sebab diatur dalam undang-undang.
Layaknya sanksi pidana seperti penjara, penahanan pada dasarnya adalah
pelanggaran terhadap hak kebebasan seseorang namun dikehendaki oleh Undang-
undang dan Negara. Hal yang kemudian akan menjadi keliru adalah ketika negara
membatasi hak politik seseorang tanpa melalui proses peradilan yang fair, artinya
untuk memberikan atau menjatuhkan sanksi pidana kepada seseorang, maka
seseorang tersebut wajib mengikuti prosedur pemidanaan sebagaimana diatur
dalam KUHAP atau hukum formil Undang-Undang khusus (Korupsi) karena
sanksi pidana pokok dan tambahan jelas diatur dalam Pasal 10 KUHP, kemudian
pencabutan hak politik dapat digolongkan sebagai sanksi pidana tambahan.
Selain aspek pidana, hal lain yang menarik dibahas dalam perspektif
yuridisnya adalah bahwa undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menghendaki bahwa hak-hak yang secara prima facie merupakan
darogable rights dapat dibatasi oleh undang-Undang.xiv Kemudian pemilihan
umum diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang
pemilihan umum, meski tidak secara gamblang, namun Undang-Undang pemilu
ini telah mengatur hak politik seseorang agar dapat maju mencalonkan sebagai
calon anggota legislatif.
Jika menelaah lagi apa yang ada pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembatasan terhadap Hak-Hak yang
diatur dalam Undang-Undang tersebut hanya dapat diatur menurut Undang-
Undang. Menurut Undang-Undang berarti bukan aturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang. Pada Undang-Undang Pemilu telah diatur syarat
pencalonan untuk dapat maju mencalonkan sebagai calon anggota legislatif,
tepatnya pada pasal 249 (3) dan pasal 257 (3). Penjelasan mengenai Pasal tersebut
kemudian dimuat dalam PKPU (Peraturaan Komisi Pemilihan Umum) No. 20
Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten, pada Pasal 4 ayat (3) Pasal 11 ayat (1) huruf d mengatur tentang
pembatasan Hak yakni hak untuk dipilih. Bahwa seseorang yang merupakan
mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kejahatan terhadap anak
tidak dapat mencalonkan sebagai calon anggota legislatif. Hal demikian sudah
jelas melanggar norma hukum yang termaktub dalam Pasal 73 UU 39/1999
tentang HAM.
Jika kita merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka keseluruhan
peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang sistematis dan disusun
secara hierarkis. Secara hierarkis Undang-Undang berada pada tingkatan ketiga,
berada dibawah UUD 1945 dan TAP MPR. Norma hukum dalam pasal 73 telah
menjelaskan bahwa pembatasan terhadap HAK yang diatur dalam Undang-
xiv
Pasal 73 Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang HAM berbunyi “Hak dan kebebasan yang
diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Undang tersebut hanya dapat dibatasi melalui Undang-Undang. PKPU merupakan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Maka secara formil
pembatasan hak pada PKPU No. 20 tahun 2018 telah batal demi hukum. Andil
asas preferensi hukum digunakan dalam hal ini, yakni asas lex superiori darogat
legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menggugurkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah).
Salah satu hak politik yang dijamin dalam konvenan internasional tersebut
adalah hak setiap warga negara untuk turut serta dalam penyelenggaraan urusan
publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan
persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya. Undang-Undang
Dasar 1945 telah memberikan jaminan sebagaimana tercantum pada pasal 28C.
Namun, mengenai hak memilih dan dipilih diatur lebih spesifik dalam Pasal 23
ayat (1) dan 43 ayat (1)xvi UU No. 39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia.
xv
Adnan Butyung Nasution dan A. Patra M. Zen, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 34
xvi
Bunyi Pasal 43 ayat (1) “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh
rakyat, yaitu melalui pemilihan umum.xvii
Opsi terbaik ketika KPU tetap ingin membatasi hak politik dari mantan
terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,. Maka,
jalan tengahnya adalah mengajukan usulan perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang didalamnya harus memuat
pembatasan hak bagi narapidana. Cara seperti itulah merupakan cara legal
sehingga tidak ada lagi pertentangan norma atau kesalahan dalam pembentukan
normanya.Banyaknya kekurangan dan evaluasi bagi pemilihan umum tahun 2019
bisa menjadi jalan masuk untuk melakukan perubahan Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Kedua opsi diatas bisa dipakai, jika kedepannya dianggap penting untuk
membatasi hak politik bagi dari mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan
seksual terhadap anak, atau korupsi. Setelah diatur kedalam undang-undang, maka
selanjutnya sudah boleh diatur dalam peraturan-peraturan teknis seperti peraturan
komisi pemilihan umum. Menurut peneliti sendiri memang sudah seharusnya hak
politik bagi mantan terpidana korupsi dan lainnya tidak diberikan lagi ruang untuk
menduduki jabatan politk atau wakil rakyat. Ini dilandasi bahwa ada asas
kemanfaatan yang perlu dikedepankan dimana jauh lebih bermanfaat
mencalonkan orang yang bebas dari perkara pidana khususnya korupsi dari pada
mantan terpidana yang pernah menghianati amanah rakyat.
Penutup
HAM (Hak Asasi Manusia) telah diatur dalam konstitusi Indonesia yakni
dalam UUD 1945, bab XA dalam UUD 1945 menjelaskan tentang HAM.
Indonesia juga meratifikasi DUHAM atau Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia tahun 1948. Di Indonesia secara garis besar HAM dibagi menjadi dua,
yakni; darogable rights dan non-darogable rigths. Mahkamah agung dalam
putusannya no. 46 P/HUM/2018 telah mengugurkan norma yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan lampiran model B3 PKPU No. 20
tahun 2018 karena dianggap bertentangan dengan norma yang diatur dalam
Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan Undang-undang nomor
12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan. Pasal 28 j Ayat (2)
Undnag-Undnag Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 bahwa khusus
menganai pembatasan hak seseoarang atau hak asasi manusia makan
pengaturannya haruslah dituangkan pada tingkatan Undang-Undang bukan pada
tingkatan peraturan perundang-undangan lainnya seperti PKPU.
Untuk membatasi hak politik bagi dari mantan terpidana Bandar narkoba,
kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. Opsi nya ada dua yakni diatur
langsung dengan Undang-Undang melalui perubahan undang-undang Pemilu dan
yang kedua adalah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang. Setelah diatur kedalam undang-undang, maka selanjutnya sudah
boleh diatur dalam peraturan-peraturan teknis seperti peraturan komisi pemilihan
umum. Pada dasarnya PKPU termasuk kedalam peraturan perundang-undangan
yang temasuk kedalam kelompok peraturan teknis. Sebagai peraturan teknis maka
suda seharusnya PKPU hanya boleh memuat suatu norma jika itu diperintahkan
oleh suatu Undnag-Undang atau aturan yang berada diatasnya.
Daftar Pustaka