Anda di halaman 1dari 90

Buku Saku

Panduan Mendukung
Korban Kekerasan Seksual

Seruan Perempuan
2021
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

@seruanperempuan
seruanperempuan@gmail.com

Disusun oleh:
Tim Penyusun Seruan Perempuan

Ilustrasi dan Tata Letak:


Ekha Nurul Hudaya

Publikasi ini didukung oleh:


LBH Makassar
Union Aid

Seruan Perempuan 2021


Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Daftar Isi

7 Memahami Akar Kekerasan Seksual


11 Bagaimana Dampak Kekerasan Seksual?
13 Definisi dan Bentuk Kekerasan Seksual

35 Bertindak Suportif bagi Penyintas


Kekerasan Seksual
39 Mengenali Kebutuhan Korban
Kekerasan
47 Mendampingi Korban dalam Proses
Hukum
61 “Posting Tidak, Ya?” Hal-Hal dalam
Berbagi Cerita Penyintas Kekerasan
Seksual di Media
69 Informasi Mengenai Penyedia Layanan

78 Glosarium dan Daftar Singkatan


82 Referensi
Memahami Akar
Kekerasan Seksual

Kondisi ekonomi,
politik, status sosial,
jabatan, pendidikan

Pemahaman
ideologi, tafsir
keagamaan

Relasi kuasa &


Ketimpangan
gender

K
ekerasan seksual adalah salah satu
bagian dari Kekerasan Berbasis Gen-
der (KBG), di mana kekerasan ditu-
jukan berdasarkan jenis kelamin atau gen-
der. Dalam Rekomendasi Umum Komite
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan PBB No. 19 Tahun

7
1992, ini berarti kekerasan diarahkan ke-
pada perempuan karena ia seorang per-
empuan atau yang mempengaruhi perem-
puan secara tidak proporsional. Termasuk
tindakan atau ancaman tindakan, yang
mengakibatkan kerugian atau penderitaan
baik fisik, mental, atau seksual, paksaan
serta perampasan kebebasan lainnya.
Konstruksi gender yang
tumbuh dan berkembang
di masyarakat
memberikan
pembedaan antara
laki-laki dan
perempuan tentang
kualitas, sifat, peran, dan
stereotip atas masing-masing.
Hal ini lah yang mendasari perempuan
ditempatkan sebagai kelompok yang
lebih rendah, terpinggir, memperoleh
peran ganda, rentan atas cap negatif dan
8
kekerasan—termasuk kekerasan seksual.
KBG berdampak pada kurangnya
atau terhapusnya penikmatan atas hak
asasi manusia dan kebebasan pokok oleh
perempuan, yang termasuk: a) Hak untuk
hidup, b) Hak untuk tidak disiksa atau
menerima hukuman yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan, (c) Hak
atas perlindungan yang sama menurut
norma-norma kemanusiaan di saat konflik
bersenjata internasional atau internal,
(d) Hak atas kebebasan dan keamanan
pribadi, (e) Hak atas perlindungan yang
sama di bawah hukum, (f) Hak
atas kesetaraan dalam
keluarga, (g) Hak atas
standar tertinggi yang
dicapai atas kesehatan
fisik dan mental, (h)
Hak atas kondisi kerja
yang adil dan layak.

9
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Bagaimana Dampak
Kekerasan Seksual?

K
orban
menanggung
langsung segala
dampak atas kekerasan seksual
yang terjadi padanya, mulai fisik, seksual,
hingga sosial maupun ekonomi. Dampak
tersebut dapat berupa hal-hal berikut:

Dampak pada Dampak pada


Kesehatan Fisik Kesehatan Psikologis
Luka Fisik Depresi
HIV/AIDS Ketakutan
Infeksi menular Menyalahkan Diri
seksual Sendiri
Kehamilan tidak Kecemasan
direncanakan Mental Illness
Aborsi tidak aman Keinginan atau
Kematian upaya bunuh diri
Self harm Merasa tidak
berdaya

11
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Dampak pada
Sosial & Ekonomi
Victim-blaming
Stigma
Penolakan
Isolasi
Penghasilan
Berkurang
Peningkatan
Angka Kemiskinan
Reviktimasi

Selain dampak pada korban, keluarga


korban juga dirugikan. Dalam kasus-ka-
sus yang pelakunya adalah keluarga maka
akan berdampak pada ketidakpercayaan
dan perpecahan dalam keluarga. Hal
lainnya adalah dalam mendampingi kor-
ban melalui proses hukum dan pemu-
lihan, anggota keluarga berpotensi
memperoleh tekanan secara psikologis,
sosial, hingga kesulitan secara ekonomi.
12
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Definisi dan Bentuk


Kekerasan Seksual
Dalam Rancangan Undang-undang Peng-
hapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS),
Kekerasan seksual didefinisikan sebagai:

Setiap perbuatan merendahkan,


menghina, menyerang, dan/
atau perbuatan lainnya terhadap
tubuh, hasrat seksual seseorang,
dan/atau fungsi reproduksi
secara paksa, bertentangan
dengan kehendak seseorang yang
menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan
dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan relasi kuasa dan/
atau relasi gender, yang berakibat
atau dapat berakibat penderitaan
atau kesengsaraan secara fisik,
psikis, seksual, kerugian secara
ekonomi, sosial, budaya, dan/
atau politik.

13
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Selain secara fisik paksaan dapat berupa


intimidasi secara psikologis, misalnya
ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian
kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan,
atau menggunakan kondisi dimana
seseorang yang tidak dapat memberikan
persetujuan karena faktor umur, kapasitas
mental atau intelektual, dalam pengaruh
alkohol atau obat-obatan, hingga dalam
kondisi tidak sadarkan diri.
14
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan mencatat 15 bentuk


kekerasan seksual, diantaranya berupa per-
buatan berikut tetapi tidak terbatas pada:

1. Perkosaan;
Serangan dalam bentuk pemaksaan
hubungan seksual dengan memakai penis
ke arah vagina, anus atau mulut korban.
Bisa juga menggunakan jari tangan
atau benda-benda lainnya. Serangan
dilakukan dengan kekerasan, ancaman
kekerasan, penahanan, tekanan psikologis,
penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan
mengambil kesempatan dari lingkungan
yang penuh paksaan.
Pencabulan adalah istilah lain dari
perkosaan yang dikenal dalam sistem
hukum Indonesia. Istilah ini digunakan
ketika perkosaan dilakukan di luar
pemaksaan penetrasi penis ke vagina
dan ketika terjadi hubungan seksual pada

15
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

orang yang belum mampu memberikan


persetujuan secara utuh, misalnya terhadap
anak atau seseorang di bawah 18 tahun.

2. Intimidasi Seksual termasuk


Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
Tindakan yang menyerang seksualitas
untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada korban. Intimidasi
seksual bisa disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung melalui surat,
sms, email, dan lain-lain. Ancaman atau
percobaan perkosaan juga bagian dari
intimidasi seksual.

16
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

3. Pelecehan Seksual;
Tindakan seksual lewat sentuhan
fisik maupun non-fisik dengan sasaran
organ seksual atau seksualitas korban.
Ia termasuk menggunakan siulan,
main mata, ucapan bernuansa seksual,
mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan
di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang
bersifat seksual sehingga mengakibatkan
rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa
direndahkan martabatnya, dan mungkin
sampai menyebabkan masalah kesehatan
dan keselamatan.

17
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

4. Eksploitasi Seksual;
Tindakan penyalahgunaan kekuasan
yang timpang, atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan
seksual, maupun untuk memperoleh
keuntungan dalam bentuk uang, sosial,
politik dan lainnya. Praktik eksploitasi seksual
yang kerap ditemui adalah menggunakan
kemiskinan perempuan sehingga ia masuk
dalam prostitusi atau pornografi.
Praktik lainnya adalah tindakan
mengiming-imingi perkawinan untuk
memperoleh layanan seksual dari
perempuan, lalu ditelantarkan. Situasi ini
kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar
janji”. Iming-iming ini menggunakan cara pikir
dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi
perempuan dengan status perkawinannya.
Perempuan menjadi merasa tak memiliki
daya tawar, kecuali dengan mengikuti
kehendak pelaku, agar ia dinikahi.

18
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

5. Perdagangan Perempuan untuk


Tujuan Seksual;
Tindakan merekrut, mengangkut,
menampung, mengirim, memindahkan,
atau menerima seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atas posisi rentan, penjeratan utang atau
pemberian bayaran atau manfaat terhadap
korban secara langsung maupun orang lain
yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi
ataupun eksploitasi seksual
lainnya.
Perdagangan
perempuan
dapat terjadi di
dalam negara
maupun antar
negara.

19
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

6. Prostitusi Paksa;
Situasi di mana perempuan mengalami
tipu daya, ancaman maupun kekerasan
untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini
dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun
untuk membuat perempuan tersebut tidak
berdaya untuk melepaskan dirinya dari
prostitusi, misalnya dengan penyekapan,
penjeratan utang, atau ancaman kekerasan.
Prostitusi paksa
memiliki beberapa
kemiripan,
namun tidak
selalu sama
dengan perbudakan
seksual atau dengan
perdagangan
orang untuk tujuan
seksual.

20
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

7. Perbudakan Seksual;
Situasi di mana pelaku merasa menjadi
“pemilik” atas tubuh korban sehingga
berhak untuk melakukan apapun termasuk
memperoleh kepuasan seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan
seksual. Perbudakan ini mencakup situasi di
mana perempuan dewasa atau anak-anak
dipaksa menikah, melayani rumah tangga
atau bentuk kerja paksa lainnya,
serta berhubungan seksual
dengan penyekapnya.

8. Pemaksaan Perkawinan, Termasuk


Cerai Gantung;
Pemaksaan perkawinan dimasukkan
sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi
bagian tidak terpisahkan dari perkawinan
yang tidak diinginkan oleh perempuan
tersebut.
21
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Ada beberapa praktik di mana


perempuan terikat perkawinan di luar
kehendaknya sendiri. Pertama, ketika
perempuan merasa tidak memiliki pilihan
lain kecuali mengikuti kehendak orang
tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan
dengan orang yang dia inginkan atau
bahkan dengan
orang yang tidak dia
kenali. Situasi ini
kerap disebut
kawin paksa.
Kedua, praktik
memaksa korban perkosaan menikahi
pelaku. Pernikahan itu dianggap mengu-
rangi aib akibat perkosaan yang terjadi.
Ketiga, praktik cerai gantung yaitu
ketika perempuan dipaksa untuk terus
berada dalam ikatan perkawinan padahal
ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya
ditolak atau tidak diproses dengan berbagai

22
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

alasan baik dari pihak suami maupun


otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin
Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan
untuk menikah dengan orang lain untuk
satu malam dengan tujuan rujuk dengan
mantan suaminya setelah talak tiga (cerai
untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam).
Praktik ini dilarang oleh ajaran agama,
namun masih ditemukan di berbagai
daerah.

9. Pemaksaan Kehamilan;
Situasi ketika perempuan dipaksa,
dengan kekerasan maupun ancaman
kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan
yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini
misalnya dialami oleh perempuan korban
perkosaan yang tidak diberikan pilihan
lain kecuali melanjutkan kehamilannya.
Juga, ketika suami menghalangi istrinya
untuk menggunakan kontrasepsi sehingga

23
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

perempuan itu tidak dapat mengatur


jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan
ini berbeda dimensi dengan kehamilan
paksa dalam konteks kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu
situasi pembatasan secara melawan hukum
terhadap seorang perempuan untuk hamil
secara paksa, dengan maksud untuk
membuat komposisi
etnis dari suatu
populasi atau
untuk melakukan
pelanggaran
hukum
internasional
lainnya.

24
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

10. Pemaksaan Aborsi;


Pengguguran kandungan yang
dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.

11. Pemaksaan Kontrasepsi dan


Sterilisasi;
Disebut pemaksaan ketika pe-
masangan alat kontrasepsi dan/atau
pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan
utuh dari perempuan karena ia tidak
mendapat informasi yang lengkap ataupun
dianggap tidak cakap hukum untuk dapat
memberikan persetujuan. Pada masa
Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk,
sebagai salah satu indikator keberhasilan
pembangunan. Sekarang, kasus pemaksaan
pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa
terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS
dengan alasan mencegah kelahiran anak

25
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

dengan HIV/AIDS.
Pemaksaan ini juga dialami perempuan
penyandang disabilitas, utamanya tuna
grahita, yang dianggap tidak mampu
membuat keputusan
bagi dirinya sendiri,
rentan perkosaan, dan
karenanya mengurangi
beban keluarga untuk
mengurus kehamilannya.

12. Penyiksaan Seksual;


Tindakan khusus menyerang organ
dan seksualitas perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa
sakit atau penderitaan hebat, baik jasmani,
rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan
darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk
menghukumnya atas suatu perbuatan yang
telah atau diduga telah dilakukan olehnya

26
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan


seksual juga bisa dilakukan untuk
mengancam atau memaksanya, atau orang
ketiga, berdasarkan pada diskriminasi
atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini
apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut
ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan,
atau sepengetahuan pejabat publik atau
aparat penegak hukum.

13. Penghukuman Tidak Manusiawi


dan Bernuansa Seksual;
Cara menghukum yang menyebabkan
penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau
rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa
tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia
termasuk hukuman cambuk dan hukuman-
hukuman yang mempermalukan atau
untuk merendahkan martabat manusia
karena dituduh melanggar norma-norma
kesusilaan.

27
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

14. Praktik Tradisi Bernuansa


Seksual yang Membahayakan atau
Mendiskriminasi Perempuan;
Kebiasaan masyarakat kadang
ditopang dengan alasan agama dan/
atau budaya, yang bernuansa seksual
dan dapat menimbulkan cidera secara
fisik, psikologis maupun seksual pada
perempuan.
Kebiasaan
ini dapat pula
dilakukan untuk
mengontrol
seksualitas
perempuan dalam
perspektif yang
merendahkan
perempuan.
Sunat perempuan
adalah salah satu
contohnya.

28
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

15. Kontrol Seksual, Termasuk Lewat


Aturan Diskriminatif Beralasan
Moralitas dan Agama.
Cara pikir di dalam masyarakat yang
menempatkan perempuan sebagai simbol
moralitas komunitas, membedakan antara
“perempuan baik-baik” dan perempuan
“nakal”, dan menghakimi perempuan
sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi
landasan upaya mengontrol seksual (dan
seksualitas) perempuan. Kontrol seksual
mencakup berbagai tindak kekerasan
maupun ancaman kekerasan secara
langsung maupun tidak langsung, untuk
mengancam atau memaksakan perempuan
untuk menginternalisasi simbol-simbol
tertentu yang dianggap pantas bagi
“perempuan baik-baik’. Pemaksaan
busana menjadi salah satu bentuk kontrol
seksual yang paling sering ditemui. Kontrol
seksual juga dilakukan lewat aturan yang

29
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

memuat kewajiban busana, jam malam,


larangan berada di tempat tertentu pada
jam tertentu, larangan berada di satu
tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan
kerabat atau perkawinan, serta aturan
tentang pornografi yang melandaskan diri
lebih pada persoalan moralitas daripada
kekerasan seksual.

Aturan yang diskriminatif ini ada


di tingkat nasional maupun daerah dan
dikokohkan dengan alasan moralitas
dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai
hukuman dalam bentuk peringatan, denda,
penjara maupun hukuman badan lainnya.

30
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan Berbasis Gender


Online (KBGO)
Sebagaimana ranah luring, jaminan hak
asasi manusia berlaku secara sama pada
ranah daring. Penegasan ini muncul pada
sidang umum Dewan HAM PBB pada 29
Juni 2012 untuk mendorong pemajuan
dan perlindungan HAM di internet. Ke-
kerasan Berbasis Gender Online (KBGO)
diartikan sebagai beragam tindakan dan
praktek yang terjadi secara online atau
melalui penggunaan teknologi informasi

31
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

dan komunikasi. Kekerasan seksual yang


menggunakan modus KBGO, di antaranya
dapat berupa;
a. Non-consensual dissemination
of intimate image atau malicious
distribution, adalah penggunaan
teknologi untuk menyebarkan konten-
konten yang merusak reputasi korban
atau pendamping terlepas dari
kebenarannya.
b. Sexting, yaitu pengiriman gambar
atau video pornografi kepada orang lain
tanpa persetujuan.
c. Cyber grooming, atau penggunaan
teknologi untuk mencari dan
memperdaya korban yang lebih rentan,
baik secara pendidikan, usia, kondisi fisik
dan mental, maupun sosial ekonomi,
untuk dilecehkan ataupun ditipu,
misalnya melalui sosial media seperti
facebook, atau platform kencan online.

32
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

d. Doxing, atau menggali dan


menyebarkan informasi pribadi
seseorang, tindakan ini dapat bertujuan
untuk memberi akses dilakukannya
pelecehan atau intimidasi di dunia nyata.
e. Impersonasi, atau menggunakan
teknologi untuk mencuri identitas orang
lain dengan tujuan merusak reputasi
atau mengakses informasi pribadi.

33
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Bertindak Suportif
bagi Penyintas
Kekerasan Seksual

1. Percaya sepenuhnya. Jelaskan kalau


kamu yakin kejadian tersebut memang ter-
jadi dan bukan karena kesalahan korban.
Kalimat yang dapat menguatkan perasaan
penyintas; “Kita menyesalkan hal ini ter-
jadi” “Ini terjadi bukan karena salahmu”
“Kamu tidak sendiri” “Saya percaya kamu”
atau “Saya tahu ini tidak mudah diungkap-
kan,terima kasih sudah bercerita”.

35
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

2. Tetap tenang. Pastikan kamu dalam


kondisi mental yang stabil. Respon marah
atau terkejut yang berlebihan dapat mem-
perburuk keadaan penyintas.
3. Beri ruang berekspresi. Penyintas
bisa saja menunjukkan berbagai ekspresi;
menangis, berteriak, tiba-tiba diam. Biar-
kan mereka meluapkan emosinya sampai
benar-benar tenang.
4. Tanya keinginan penyintas. Berdayakan
korban kembali dengan mengembalikan
kontrol atas dirinya. Biarkan mereka
memutuskan langkah selanjutnya tanpa kamu
mendikte apalagi memaksakan kehendak.
Berikan peluang secara bebas
kepada penyintas untuk
mengidentifikasi dan
menilai pilihan yang
ada serta dampak yang
dapat muncul dalam
menghadapi masalahnya.

36
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

5. Tawarkan bantuan. Berikan alternatif


penanganan yang benar-benar penyintas
butuhkan, seperti akses terhadap layanan
konseling, bantuan hukum, maupun
konsultasi atau pemeriksaan kesehatan.
Ingat bahwa setiap penyintas memiliki latar
belakang berbeda seperti umur, kondisi
fisik dan mental, kondisi sosial ekonomi,
sehingga kebutuhan penyintas dapat saja
berbeda.
6. Menjaga rahasia. Penyintas punya
hak untuk menceritakan atau
merahasiakan kejadian
yang dia alami. Kamu
tidak boleh menyebar-
luaskan ceritanya tanpa
persetujuan dari peny-
intas.
7. Selalu mendukung. Penerimaan
dan dukungan positif dari lingkaran
terdekat akan sangat membantu penyintas

37
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

menempuh proses pemulihan. Kamu dapat


memberikan dukungan emosional secara
pribadi ataupun kolektif (support group)
pada penyintas.
8. Kenali batasanmu.
Sebaiknya tidak
memberikan saran atau
solusi untuk hal-hal
yang membutuhkan
keahlian khusus di
luar kapasitasmu.
Jangan menjanjikan
hasil atau memberi iming-iming tertentu
pada penyintas.
9. Pastikan kamu juga mendapatkan
dukungan. Mendengar pengalaman
penyintas atau mendampinginya melalui
proses pemulihan dan/atau proses hukum
dapat melelahkan bagi pendamping.
Carilah dukungan orang terdekat atau
layanan psikolog jika merasa perlu.

38
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Mengenali Kebutuhan
Korban Kekerasan

Peristiwa kekerasan seksual


adalah sebuah situasi yang rumit dan
membutuhkan peranan banyak pihak.
Upaya untuk menjalani dan mengatasi hal
tersebut membutuhkan kehadiran dan
kontribusi dari berbagai pihak, di antaranya
adalah keterlibatan keluarga, kelompok
pendamping, dan komunitas teman sebaya.

39
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Kehadiran mereka bisa menjadi sumber


kekuatan bagi korban sekaligus sebagai
tanda bahwa upaya mengatasi situasi dan
dampak dari kekerasan seksual ini dilakukan
secara bersama-sama. Idealnya, kita tidak
merasa sendiri dalam mengatasinya.
Kemampuan korban dan pilihan sikap
yang diambilnya sangat ditentukan oleh situ-
asi yang dihadapi oleh korban. Tidak ada
rumus baku bagi korban dan pendamping
yang bisa menjadi pegangan. Setiap situasi
kekerasan memiliki konteks dan dampak
yang berbeda-beda pada korban. Pendamp-
ing dan keluarga perlu mengenali situasi
tersebut dan mengidentifikasi bantuan yang
dapat diberikan kepada korban. Pada titik
ini, dibutuhkan berbagai informasi ben-
tuk layanan yang dapat diakses secara
bersama guna memastikan upaya
menyeluruh yang dilakukan dapat
berjalan efektif dan tepat sasaran.

40
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Kemampuan korban dan pilihan sikap


yang diambilnya sangat ditentukan oleh
situasi yang dihadapi oleh korban. Tidak ada
rumus baku bagi korban dan pendamping
yang bisa menjadi pegangan. Setiap
situasi kekerasan memiliki konteks dan
dampak yang berbeda-beda pada korban.
Pendamping dan keluarga perlu mengenali
situasi tersebut dan mengidentifikasi
bantuan yang dapat diberikan kepada
korban. Pada titik ini, dibutuhkan berbagai
informasi bentuk layanan yang dapat diakses
secara bersama guna memastikan upaya
menyeluruh yang dilakukan dapat berjalan
efektif dan tepat sasaran.
Layanan pemulihan bagi
korban yang dapat diakses
idealnya bersifat menyeluruh baik
berupa layanan medis, psikologis,
dan sosial, serta jaminan atas proses
hukum yang adil bagi korban.

41
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

1. Layanan Psikologis
Layanan psikologis terhadap korban
penting untuk memulihkan kondisi mental
pasca kekerasan yang dialami. Laporan
psikolog juga dapat menjadi alat bukti jika
korban memilih untuk menempuh proses
hukum. Korban dapat melakukan konseling
bersamaan dengan
berjalannya proses
hukum mulai dari
tahap penyelidikan
di kepolisian
hingga sidang di
pengadilan.

2. Layanan Medis
Layanan medis dibutuhkan ketika
korban mengalami luka fisik akibat
kekerasan yang dialami, misalnya luka
pada bagian organ seksual dan reproduksi.
Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD)

42
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

juga membutuhkan layanan medis untuk


pemeriksaan kehamilan hingga penanganan
pasca persalinan. Dampak fisik lainnya bagi
korban seperti infeksi menular seksual
yang membutuhkan pengobatan dan
perawatan.

3. Layanan Konsultasi Kesehatan


Reproduksi dan KTD
Konsultasi kesehatan reproduksi dapat
memberikan informasi tentang kesehatan
seksual dan reproduksi, khususnya tentang
risiko Infeksi Menular Seksual (IMS), dan
HIV/AIDS, infeksi saluran reproduksi,
serta kehamilan tidak direncanakan

43
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

sebagai dampak dari kekerasan seksual.


Baik korban memilih untuk melanjutkan
atau menghentikan kehamilan, keputusan
tersebut memiliki konsekuensi masing-
masing. Lewat konsultasi KTD, korban
dapat memperoleh informasi yang
komprehensif tentang KTD serta pilihan
yang dapat diambil untuk membuat
keputusan terbaik.

4. Layanan Rumah Aman


Layanan rumah
aman diberikan ketika
korban dalam situasi
terancam atau tidak
aman, akibat ancaman
dari pelaku atau pihak
ketiga. Lokasi rumah aman
bersifat rahasia dan
diakses secara terbatas.

44
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

5. Layanan Bantuan Hukum


Layanan bantuan hukum dapat
dilakukan oleh advokat atau paralegal.
Bantuan hukum bagi korban kekerasan
seksual dapat meliputi;
a. Pendampingan dalam proses hukum mulai
dari pemeriksaan pada tahap penyelidikan di
kepolisian hingga sidang di pengadilan.
b. Membantu korban dalam pengajuan
restitusi.
c. Pendampingan dalam melakukan upaya
hukum atau aduan lainnya.
d. Memberi layanan rujukan ke lembaga
layanan terkait untuk proses pemulihan
korban.
e. Memberi informasi mengenai hak-hak
korban dan tahapan proses hukum lewat
konsultasi dan pemberdayaan hukum.
f. Melakukan koordinasi pada pihak-pihak
terkait kaitannya dengan penanganan kasus
korban.

45
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

6. Layanan untuk Penyintas Disabilitas


Jika penyintas adalah seorang
disabilitas maka pelibatan organisasi
disabilitas penting untuk memberikan
perspektif dalam proses pendampingan.

Ada ragam disabilitas yang masing-


masing membutuhkan pendekatan yang
berbeda, sehingga tiap proses yang
dilalui idealnya mampu mengakomodir
kebutuhan penyintas.

46
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Mendampingi Korban
dalam Proses Hukum

Keputusan
menempuh
proses hu-
kum dapat
menjadi
keputusan yang
sulit bagi korban.
Beberapa alasan
di antaranya
yaitu keraguan atas
sistem peradilan,
proses hukum yang
tidak ramah pada korban,
hingga risiko reviktimisasi.

47
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Sehingga korban bisa saja tidak


langsung memasukkan laporan polisi
segera setelah peristiwa kekerasan
seksual terjadi. Bagaimanapun juga, proses
hukum merupakan hal yang penting
untuk ditempuh sebagai pemenuhan hak
atas keadilan korban. Sebaiknya dalam
proses ini ada pendampingan hukum
dari organisasi bantuan hukum ataupun
advokat.

48
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

I. Apa Saja Peraturan Perundang-


undangan Terkait Kekerasan Seksual
dan Perempuan Berhadapan dengan
Hukum?

a. Peraturan Pidana Kekerasan Seksual


• Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
Di antaranya; Tindak Pidana Perkosaan
(Pasal 285), Perkosaan dalam
keadaan tidak berdaya atau pingsan
(Pasal 286), memaksa/mengancam/
membiarkan Perbuatan Cabul (Pasal
289), pencabulan terhadap orang yang
pingsan atau tidak berdaya (Pasal 290),
dan Perbuatan Cabul di Lingkungan
Kerja (Pasal 294 ayat 2).
• Undang-Undang No. 19 tahun
2016 tentang Perubahan Undang-
Undang No. 11 tahun 2018 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
49
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Melarang perbuatan mendistribusikan


dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elek-
tronik yang memiliki muatan yang me-
langgar kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)).
• Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Dalam penjelasan Pasal 8 Kekerasan
seksual adalah setiap perbuatan yang
berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan
cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk bertujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Perbuatan
ini jika dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga
maka dapat dipidana berdasarkan
(Pasal 46). Jika dilakukan terhadap

50
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

orang yang menetap dalam rumah


tangganya untuk tujuan komersial dan/
atau tujuan tertentu (Pasal 47).
• Undang-Undang Perlindungan
Anak
Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo. UU No. 35
tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo. UU No. 17
Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak
Menjadi Undang-Undang. Undang-
undang ini melarang persetubuhan
terhadap anak (Pasal 76D) dan
perbuatan cabul terhadap anak (Pasal
76E).

51
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

• Undang-Undang No. 21 tahun


2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Pada Pasal 12 secara khusus
melarang setiap orang menggunakan
atau memanfaatkan korban tindak
pidana perdagangan orang dengan
cara melakukan persetubuhan atau
perbuatan cabul lainnya dengan
korban tindak pidana perdagangan
orang, mempekerjakan korban tindak
pidana perdagangan orang untuk
meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari hasil
tindak pidana perdagangan orang.

b. Apa saja peraturan perundang-


undangan dan kebijakan lainnya
terkait Perempuan Berhadapan
dengan Hukum?

52
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita.
• Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
• Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan
Standar Hak Asasi Manusia Dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
• Pedoman Jaksa Agung No. 1 Tahun
2021 tentang Akses Keadilan
Bagi Perempuan dan Anak dalam
Penanganan Perkara Pidana.
• Peraturan Mahkamah Agung No. 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan dengan Hukum.

53
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

II. Mengenal Alat Bukti


Dalam membuat laporan polisi perlu
dipersiapkan alat bukti yang akan diajukan,
untuk itu perlu mengenal alat bukti dan
cara mendapatkannya.

a. Apa saja yang


dapat menjadi
alat bukti dalam
proses hukum?
Dalam Kitab
Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
(KUHP) Pasal 184 ayat (1) disebutkan
bahwa alat bukti yang sah adalah:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Selain
itu, Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik mengatur alat bukti lain yang
dapat digunakan dalam peradilan pidana,

54
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

yaitu alat bukti elektronik di antaranya


dokumen elektronik seperti email & chat,
rekaman suara, rekaman CCTV, tangkapan
layar chat, dan sebagainya.
Meskipun demikian, tidak semua
alat bukti elektronik dapat digunakan
dalam pembuktian di persidangan, alat
bukti elektronik yang dapat digunakan
di persidangan hanya alat bukti yang
diperoleh berdasarkan permintaan Aparat
Penegak Hukum (APH).

b. Apa saja alat bukti visum dan


bagaimana cara mendapatkannya?
Visum adalah laporan tertulis untuk
kepentingan peradilan atas permintaan
yang berwenang, yang dibuat atas sumpah
jabatan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan terhadap segala
sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan. Sehingga dapat disimpulkan

55
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

visum masuk dalam kategori alat bukti


surat. Dengan demikian visum memiliki
nilai pembuktian di persidangan.

Ada dua jenis visum yakni visum


et repertum untuk fisik dan visum et
psychiatricum untuk kondisi psikologis.
Untuk memperoleh visum, korban dan/
atau pendamping terlebih dahulu meminta
Surat Permintaan Visum (SPV) yang
dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik
pembantu.
• Visum et repertum adalah surat
keterangan yang dibuat berdasarkan

56
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

rekam medis dengan adanya SPV,


rekam medis dengan sendirinya telah
menjadi alat bukti
• Untuk kondisi kejiwaan,
perempuan berhadapan dengan
hukum dapat menggunakan Visum et
Psychiatricum yang dikeluarkan oleh
rumah sakit melalui dokter spesialis
psikiatri
• Sedangkan untuk kondisi psikologis
dapat melakukan proses pemeriksaan
psikologis baik berdasarkan rujukan
maupun atas keinginan sendiri. Hasil
pemeriksaan nantinya dituliskan dalam
bentuk Surat Keterangan Ahli (SKA)
psikologis.

57
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

III. Bagaimana Alur Proses Perkara


Pidana?

III. Bagaimana Alur Proses Perka-


ra Pidana?

1. Mengajukan Laporan di SPKT;


2. Dilimpahkan ke Unit PPA untuk
pengambilan keterangan
3. SPKT membuat berkas laporan
(Laporan Polisi)
4. Perkara diperiksa oleh Penyidik
UPPA dengan memeriksa; Korban/Pelapor,
Pemeriksaan Saksi, Pemeriksaan Ahli, Pe-
meriksaan Terlapor/tersangka;
5. Berkas dilimpahkan ke Kejaksaan
untuk menilai kelengkapan berkas (dikem-
balikan jika berkas belum lengkap untuk
dilengkapi)
6. Jaksa menyusun dakwaan setelah
berkas dinyatakan lengkap;

58
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

7. Berkas perkara, surat dakwaan ,


tersangka, dan barang bukti dilimpahkan ke
Pengadilan untuk disidangkan
8. Pemeriksaan Sidang Pengadilan
9. Pembacaan Dakwaan, Eksepsi ter-
dakwa/penasehat hukum, Putusan Sela
10. Pembuktian
- Keterangan Saksi
- Keterangan Ahli
- Bukti Surat
- Keterangan Terdakwa
11. Tuntutan Jaksa
12. Pembelaan/Pledoi terdakwa
13. Replik dan Duplik
14. Putusan Pengadilan
15. Upaya Hukum
- Banding Pengadilan Tinggi

59
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

IV. Apa Saja yang Menjadi Hak-hak


Korban?
Hak atas bantuan hukum
Memberikan keterangan secara bebas
tanpa tekanan dari siapapun atau dalam
bentuk apapun
Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
Mendapatkan seorang penerjemah jika
korban bisu dan/atau tuli, tidak dapat
berbahasa Indonesia, serta tidak dapat
menulis;
Memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya berkaitan dengan
kesaksiannya;
Memperoleh informasi mengenai hak-
hak korban dan tahapan proses hukum;
Rehabilitasi medis, psikologis, sosial;
Ganti kerugian atau restitusi.

60
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

“Posting Tidak, Ya?”


Hal-hal dalam
Berbagi Cerita
Penyintas Kekerasan
Seksual di Media

1. Persetujuan
Ingat, kebutuhan dan keinginan
penyintas selalu jadi prioritas utama dalam
mendampingi penyintas kekerasan seksual,
termasuk dalam publikasi di media. Jadi,
harus ada persetujuan penuh dari penyintas
untuk menceritakan kasus yang telah
dialami. Detil kronologi kasus berasal dari
keterangan penyintas sendiri, bukan dari

61
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

pihak lain yang cenderung menimbulkan


bias informasi. Dengan kata lain, isi
tulisan berperspektif korban. Sebelum
menyebarkannya, pastikan penyintas
menyetujui seluruh isi tulisan.

2. Tujuan
Sebelum benar-benar menyebarluaskan
cerita penyintas kekerasan seksual, baik
di media sosial ataupun media massa,
diskusikan terlebih dahulu dengan
penyintas apa tujuan mempublikasikan
kasus tersebut, misalnya:
Penyintas sulit mencari bantuan yang ia
butuhkan
Penyintas sudah lapor polisi, tapi pihak
kepolisian kurang tanggap, prosesnya
tidak ramah penyintas dan berbelit-belit
ataupun mandek, sehingga dibutuhkan
dukungan publik
Agar penyintas lain yang membaca

62
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

cerita tersebut tahu bahwa mereka


tidak sendiri dan dapat saling berbagi
kekuatan dengan speak up tentang
pengalaman mereka
Agar orang-orang sadar terhadap
potensi kekerasan seksual di sekitarnya
Agar teman-teman dan lingkaran sosial
pelaku kekerasan seksual mengetahui
kasus ini sehingga mereka waspada

3. Kerahasiaan
Penyintas memiliki hak atas
perlindungan informasi pribadi. Jangan
pernah membocorkan identitas penyintas,
kecuali atas permintaannya sendiri.
Kerahasiaan ini sangat penting untuk
menjaga keselamatan diri penyintas dan
menghindarkan dari risiko ancaman,
intimidasi, bahkan persekusi di dunia
nyata. Sebaiknya hindari mengungkapkan
identitas pelaku tanpa pertimbangan

63
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

yang matang. Soalnya, bisa saja pelaku


melakukan kriminalisasi lewat UU ITE
dengan pasal pencemaran nama baik.

4. Risiko
Penting menjelaskan potensi risiko
publikasi untuk mengantisipasi dan
meminimalisir dampaknya terhadap
penyintas. Penyintas perlu diberitahu
bahwa publikasi kasus kekerasan seksual
di media dapat memicu respons beragam
yang merugikan, seperti;
1. Bantahan dari pelaku yang menyudutkan
korban
2. Kriminalisasi penyintas dengan pasal karet
3. Jika pada akhirnya lingkungan penyintas
tahu, respon yang dari lingkungan penyintas
bisa saja merugikan penyintas. Seperti
pemecatan dari tempat kerja, dikeluarkan
dari sekolah, atau dikucilkan dari keluarga
karena dianggap mencemarkan nama baik

64
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

lingkungannya.
4. Komentar negatif yang berpotensi
menyakiti penyintas, misalnya
Stigma, “dia sudah tidak perawan lagi”
Victim Blaming, “dia yang salah sih,
ngapain keluar malam-malam sendirian”
Rape Culture, “pasti sama-sama enak,
kan?”
Membela Pelaku, “wah, nggak mungkin
dia jadi pelaku, dia kan orang baik-baik,”

5. Beri Waktu dan Jika Perlu Minta


Saran Ahli
Sebelum memutuskan publikasi,
berikan waktu pada penyintas untuk
mempertimbangkan tujuan
dan risiko yang mungkin
muncul. Jika perlu minta
saran dari beberapa pihak
seperti pendamping
hukum dan psikolog.

65
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

6. Pemilihan Diksi
Perhatikan pemilihan kata yang tepat
dalam menulis cerita penyintas kekerasan
seksual.

Sebutkan jenis kekerasan seksual yang


dilakukan secara spesifik, misal pe-
merkosaan, pelecehan, eksploitasi seksual,
dan sebagainya.

Kata sifat semacam ini tidak relevan dican-


tumkan.

66
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Tidak perlu menyebutkan orientasi seksual.

Keterangan semacam ini tidak relevan di-


cantumkan.

7. Cantumkan Keterangan Trigger


Warning/Content Warning (TW/CW) di
Awal Tulisan
Sebagai peringatan bahwa
teks, grafis, atau audio
mengandung cerita
korban kekerasan
seksual yang bisa saja
memicu trauma
bagi pembacanya.

67
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Informasi Mengenai
Penyedia Layanan

P2TP2A
Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A), umumnya memberikan layanan
pendampingan, konseling psikologis, medis,
rehabilitasi psiko-sosial, serta rumah aman.
P2TP2A Provinsi Sul-Sel
Alamat: Jl. Hertasning VI, Tidung, Kec.
Rappocini, Kota Makassar,
Telepon: 082189059050
P2TP2A Kota Makassar
Alamat: Jl. Anggrek Raya No. 11 Kota
Makassar
Telepon: 082345630035

69
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Lembaga Perlindungan Saksi dan


Korban (LPSK) RI
Bagi korban tindak pidana, LPSK
memberikan layanan sebagaimana
kewenangannya dalam undang-undang.
Diantaranya pemenuhan hak prosedural
saksi dan pendampingan dalam proses
hukum, dukungan rehabilitasi medis dan
psiko-sosial, mengajukan restitusi atau ganti
kerugian untuk korban, hingga merelokasi
korban ke tempat yang lebih aman.
Alamat: Jl. Raya Bogor KM. 24 No. 47-49,
RT.6 / RW.1, Susukan, Kec. Ciracas, Jakarta
Timur.
Kontak: 021-29681560
WA: +62 857-7001-0048
lpsk_ri@lpsk.go.id

70
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Konsultasi Kesehatan Seksual dan


Reproduksi – Konseling KTD
Perkumpulan SAMSARA
Alamat: https://linktr.ee/
perkumpulansamsara
Kontak: 082123458300
082123458400
082123458500
082123458600
082123458700
08561234530
(melalui telepon atau aplikasi Signal)

Organisasi Bantuan Hukum


LBH APIK Sul-Sel
Alamat: Perumahan Bukit Khatulistiwa
Blok M No. 18, Kelurahan Berua,
Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.
Telepon: 0411-8993033

71
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

YLBHI-LBH Makassar
Alamat: Blok A 22, Jl. Nikel I No.18, Balla
Parang, Kec. Rappocini, Kota Makassar
Telepon: 0411-4677699
lbhmks.ylbhi@gmail.com
web: lbhmakassar.org

Organisasi Disabilitas
Pergerakan Difabel Indonesia untuk
Kesetaraan (PerDIK)
Alamat: Perumahan Graha Aliyah,
Jl. Syech Yusuf Blok B2, Katangka, Kec.
Somba Opu, Kab. Gowa
Telepon: 085256233366
Himpunan Wanita Disabilitas
Indonesia (HWDI) Sulsel
Alamat: Jl. Melati 1, Paropo, Kec.
Panakkukang, Kota Makassar
Telepon: 0853-4188-3630

72
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Shelter Warga Kota Makassar


Shelter warga binaan P2TP2A Kota
Makassar adalah layanan pendampingan
perempuan dan anak berbasis warga
ada pada tingkat kelurahan. Di dalamnya
bekerja paralegal dan konselor warga
yang bekerja dalam pencegahan dan
penanganan kasus kekerasan untuk
mendorong pemenuhan hak perempuan
dan anak.

Lembaga Penerima Aduan/Komplain


Ombudsman RI
Ombudsman berfungsi mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara
negara dan pemerintah baik pusat maupun
derah termasuk yang diselenggarakan
oleh badan usaha milik negara serta
badan swasta atau perseorangan yang
diberi tugas menyelenggarakan pelayanan

73
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

publik tertentu. Lembaga ini memiliki


kantor perwakilan di tingkat provinsi
dan menerima laporan masyarakat
atas dugaan maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Alamat Kantor Pusat: Jl. HR. Rasuna
Said Kav. C-19 Kuningan, Jakarta Selatan
12920
Kontak: (021) 2251 3737
6282137373737
email: pengaduan@ombudsman.go.id
Alamat Kantor Sulawesi Selatan: Jl. Sultan
Alauddin, Alauddin Plaza Blok BB No. 17
Makassar.
Kontak: 08112363737
sulsel@ombudsman.go.id

74
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan
Komnas Perempuan memiliki mandat
untuk mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi penghapusan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan
dan penegakan HAM, khususnya hak
asasi perempuan di Indonesia, serta
meningkatkan upaya pencegahan
dan penanggulangan kekerasan dan
perlindungan Hak Asasi Perempuan.
Dalam upaya penanggulangan kekerasan
terhadap perempuan, Komnas
Perempuan melakukan pemantauan
kasus serta menyediakan masukan dan
rekomendasi termasuk kepada aparat
penegak hukum.
Alamat: JL Latuharhary 4B. Jakarta,
10310.
Telepon: +62-21-3903963
email: pengaduan@komnasperempuan.
go.id

75
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Komisi Pengawas dan Pengawas


Internal Lembaga Penegak Hukum
a. Terhadap kinerja Kepolisian aduan
dapat melalui pengawasan fungsional
yang dilakukan Kompolnas. Pelaksanaan
pengawasan tersebut dilakukan melalui
kegiatan pemantauan dan penilaian
terhadap kinerja dan integritas anggota
dan pejabat Polri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pengaduan masyarakat bisa
dikirimkan melalui email: pengaduan@
kompolnas.go.id atau laman website
https://pengaduan.kompolnas.go.id.
b. Terkait kinerja, sikap, dan perilaku
Jaksa dan pegawai Kejaksaan, aduan
dapat melalui Komisi Kejaksaan pada
laman https://komisi-kejaksaan.go.id/
pengaduan-online/ atau salah satu pilihan
pada laman berikut https://komisi-
kejaksaan.go.id/tata-cara-pengaduan/

76
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

c. Berkaitan dengan pelanggaran


Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
masyarakat dapat mengadukan ke Komisi
Yudisial melalui laman,
https://pelaporan.komisiyudisial.go.id/
Di samping komisi pengawas di atas
masing-masing institusi Polri, Kejaksaan,
dan Mahkamah Agung juga memiliki
pengawas internal yang juga bertugas
menerima aduan dari masyarakat.

77
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Glosarium

Consent; persetujuan seseorang untuk


memutuskan pilihan tertentu bagi dirinya
sendiri dengan mengetahui tujuan dan
risiko dari keputusan tersebut. Consent
ditunjukkan dengan jelas, dalam kondisi
yang sadar, bebas, dan tanpa paksaan.
Consent tidak dapat diberikan oleh anak
atau seorang berusia di bawah 18 tahun.
Gender; konstruksi sosial yang
membedakan ciri, sifat, dan peran antara
laki-laki dan perempuan. Setiap individu
memiliki ciri, sifat, dan peran yang tidak
biner.
Impunitas; Kebebasan dari
pertanggungjawaban hukum terhadap
pelaku pelanggaran hak asasi manusia,
termasuk di dalamnya pelaku kekerasan
seksual. Hal ini biasanya terjadi akibat

78
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

kegagalan sistem hukum dalam menindak


pelaku.
Orientasi Seksual; ketertarikan manusia
terhadap manusia lain yang melibatkan
emosi, romantis dan/atau seksual.
Penyintas; berasal dari kata sintas yang
berarti terus bertahan atau mampu
mempertahankan keberadaannya. Dalam
publikasi ini digunakan istilah korban dan
penyintas. Penyintas diartikan sebagai
korban yang mencari bantuan.
Rape Culture (Budaya Pemerkosaan);
lingkungan yang menormalisasi kekerasan
seksual secara sistemik dan kultural sebagai
perilaku yang wajar dan mudah dimaafkan.
Relasi Kuasa; relasi berbasis gender,
ras, kelas sosial, agama, jabatan formal,
atau status tertentu yang tidak seimbang
sehingga menimbulkan kekuasaan pada
salah satu pihak.

79
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Restitusi; ganti kerugian yang menjadi


tanggung jawab pelaku tindak pidana
Reviktimisasi; proses ketika seorang
korban kekerasan berulang kali menjadi
korban kembali. Viktimisasi terjadi
akibat langgengnya stigma yang melekat,
diskriminasi berbasis gender, dan lemahnya
perlindungan hukum bagi korban.
Sexual Consent; persetujuan secara sadar
dari kedua belah pihak untuk melakukan
aktivitas seksual. Consent berlaku bukan
sebatas dalam hubungan seksual, tapi segala
aktivitas yang melibatkan keintiman fisik.
Victim Blaming; keadaan ketika korban
justru disalahkan dan dianggap bertanggung
jawab atas kekerasan yang dia alami.

80
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Daftar Singkatan
APH; Aparat Penegak Hukum
IMS; Infeksi Menular Seksual
KBG; Kekerasan Berbasis Gender
KBGO; Kekerasan Berbasis Gender Online
KTD; Kehamilan Tidak Direncanakan
KUHP; Kitab Undang-undang Hukum
Pidana
KUHAP; Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana
LBH; Lembaga Bantuan Hukum
PBH; Perempuan Berhadapan dengan
Hukum
SPV; Surat Permintaan Visum
SKA; Surat Keterangan Ahli
SPKT; Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu
UPPA; Unit Perlindungan Perempuan dan
Anak

81
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Referensi

• Handbook for the Protection of Inter-


nally Displaced Persons - UNHCR.
• https://batukarinfo.com/referensi/pan-
duan-jurnalis-berperspektif-perem-
puan-dan-anak.
• https://www.remotivi.or.id/am-
atan/495/seberapa-rinci-wartawan-bi-
sa-menulis-berita-pemerkosaan.
• Internet Governance Forum (IGF)
(2015): Best Practice Forum (BPF) on
Online Abuse and Gender-Based Vio-
lence Against Women.
• Komite Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Re-
komendasi Umum No. 19: Kekerasan
terhadap Perempuan, 1992.
• Komnas Perempuan. 15 Bentuk Ke-
kerasan Seksual Komnas Perempuan.

82
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Referensi

• Pennsylvania Coalition against Rape


(2013). A Guide for Friends and Family
of Sexual Violence Survivors.
• Rancangan Undang-undang Pengha-
pusan Kekerasan Seksual Draft tahun
2017 .
• SAFEnet (2019), Panduan Memaha-
mi dan Menyikapi Kekerasan Berbasis
Gender Online.

83
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Catatan

84
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Catatan

85
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Catatan

86
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Catatan

87
Panduan Mendukung Korban Kekerasan Seksual

Catatan

88

Anda mungkin juga menyukai