Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

“ KETIMPANGAN EKONOMI DAN KEMISKINAN”

Dosen pengampu : Putri Kemala Dewi Lubis, S.E., M.Si., Ak.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 7

1. Nurbariya Pane (7192441004)


2. Sri Devi Br. Sembiring (7192441005)
3. Ikhwani Unsa (7192141002)

FAKULTAS EKONOMI PRODI PENDIDIKAN EKONOMI


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
APRIL 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya sehingga kami masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas
makalah mengenai “Ketimpangan Ekonomi dan Kemiskinan”.
Makalah ini kami buat guna untuk memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah
Perekonomian Indonesia. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan kami sebagai
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun, guna
menambah wawasan serta meningkatkan cara penulisan.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan kami berharap semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat serta menambah wawasan bagi para pembaca.

Medan, 12 Mei 2020

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Teoritis Kemiskinan ............................................................................................ 2
2.2 Data Ketimpangan dan Kemiskinan di Indonesia ........................................................... 8
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 25
3.2 Saran ............................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya
alamnya.Namun, hal tersebut tidaklah berpengaruh terhadap kemiskinan dan
kesenjangnyang terjadi di Indonesia. Kemiskinan di Indonesia sudah sangat meraja lela,
danpemerintah sedang berupaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan
yangterjadi. Dalam hal ini penyusun mencoba untuk memaparkan kemiskinan
dankesenjangan yang ada di negara Indonesa ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep teoritis kemiskinan?
2. Bagaimana data ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami konsep teoritis pertanian
2. Mengetahui data ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Teoritis Kemiskinan


1. Defenisi Kemiskinan
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu
mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang doanggap sebagai kebutuhan minimal dari
standar hidup tertentu. Dalam arti sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan
uang dan barang ubtuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam
Chriswardani Suryawati, 2005), mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu konsep terpadu
(intergrated concept)yang memiliki lima dimensi yaitu:
a. Kemiskinan (proper)
b. Ketidakberdayaan (powerless)
c. Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency)
d. Ketergantungan (dependence)
e. Keterasingan (isolation)
Menurut Mudrajat Kuncoro (2003:123), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak
mampuan untuk memenuhi standar hidup minimum, dimana pengukuran kemiskinan
didasarkan pada konsumsi. Berdasarkan konsumsi ini, garis kemiskinan terdiri dari dua unsur
yaitu (1) pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan
mendasar lainnya, dan (2) jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi, yang mencerminkan
biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Ewnowski menggunakan indikator-indikator sosila untuk mengukur tingkat indeks
kehidupan (the level of living index). Menurutnya terdapat tiga tingkatan kebutuhan untuk
menentukan tingkat kehidupan seseorang:
a) Kehidupan fisik dasar (basic fisical needs), yang meliputi gizi/nutrisi,
perlindungan/perumahan (shelter/housing) dan kesehatan.
b) Kebutuhan budaya dasar (basic cultural needs), yang meliputi pendidikan, penggunaan
waktu luang dan rekreasi serta jaminan sosial (social security).
c) High income, yang meliputi surplus pendapatan atau melebihi takarannya. Menurut
Amartya Sen (Bloom dan canning:2001), seseorang dapat dikatakan miskin bila
mengalami “capability deprivation” sehingga mengalami kekurangan kebebasan yang

2
substantif. Menurut Amartya Sen, kebebasan substantif memiliki dua sisi: kesmpatan
dan rasa aman/keamanan. Kesempatan membutuhkan pendidikan dan rasa aman atau
keamanan membutuhkan kesehatan.
Menurut Bachtiar Chamsyah (2006:45), kemiskinan merupakan keadaan ketertutupan,
yaitu tertutup dari segala bentuk pemenuhan kebutuhan diri yang bersifat fisik atau non fisik.
Menurut Suparlan, kemiskinan adalah keadaan serba kekurangan harta benda dan benda
berharga yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan
serba miskin atau serba kekurangan modal, uang, pengetahuan, kekuatan sosial, fisik, hukum,
maupun akses ke fasilitas pelayan umum, kesempatan kerja dan berusaha (Suparlan, 2000).
Menurut Frietman kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan
kekuasaan sosial berupa aset, sumber keuangan, organisasi sosial politik, jaringan sosial,
barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan, serta informasi.
Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan dengan menetapkan beberapa kriteria
kemiskinan yang mengacu pda besarnya pengeluaran tiap orang per harinya. Kriteria statistik
dari BPS adalah sebagai berikut:
a) Tidak miskin, yaitu mereka yang berpengeluaran perbulannya lebih dari Rp 350.610
b) Hampir tidak miskin, yaitu orang dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp
280.488 s/d Rp 350.610, atau sekitar antara Rp 9.350 s/d Rp 11.687 per orang dalam
satu hari
c) Hampir miskin, yaitu orang dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp 233.740
s/d Rp 280.488 atau sekitar antara Rp 7.780 s/d Rp 9.350 per orang dalam satu hari
d) Miskin, dengan pengeluaran per orang per bulan per kepala Rp 233.740 ke bawah atau
sekitar Rp 7.780 ke bawah per orang dalam 1 hari
e) Sangat miskin (kronis), tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang dalam satu hari.
Tidak diketahui berapa jumlah pastinya.
Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat dismpulkan bahwa kemiskinan merupakan
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,
pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan kemampuan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses ke pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan merupakan masalah global, dimana sebagian orang memahami ini secara subjektif
dan komperatif, sementara yang lain melihatnya dari segi moral dan evaluatif, serta sebagian
lainnya memhaminya dari sudut pandang ilmiah yang telah mapan.
2. Faktor-Faktor Penentu Ketimpangan dan Kemiskinan di Indonesia

3
Disparatif atau lebih dikenal dengan kesenjangan, khususnya kesenjangan ekonomi
merupakan penomena yang terjadi dalam perekonomian nasional dimana terdapat perbedaan
atau jurang pemisah diantara setiap anggota masyarakat dalam kegiatan ekonomi, termasuk
perbedaan antara kegiatan ekonomi di suatu daerah dan daerah lainnya.
Penomena disparatif ini merupakan penomena dunia, karena terjadi pada semua negara
baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Jadi, sudah wajar apabila pada
suatu negara terdapat beberapa wilayah terbelakang dibangingkan dengan wilayah lainnya, dan
hal ini juga berlaku bagi Indonesia. Walaupun penomena disparatif terjadi di seluruh dunia,
umumnya kesenjangan antar kelompok masyarakat, ataupun daerah, lebih tajam terjadi di
negara-negara sedang berkembang karena kekakuan sosila ekonomi dan immobility factor.
Studi tentang disparatif antar daerah diantara negara berkembang pada beberapa tahun
terakhir sudanh banyak di lakukan baik melalui pendekatan pertumbuhan seimbang maupun
pertumbuhan tidak seimbang.
Berikut adalah faktor-faktor ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia:
a. Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Penduduk (EDU)
Hasil penelitian Cameron (2000:175-176) tentang kemiskinan di Jawa menyimpulkan
bahwa pengurangan kemiskinan diasosiasikan dengan meningkatnya pencapaian pendidikan
dan peningkatan pendapatan dari tenaga kerja terdidik. Hasil penelitian Sukherman (2001:47-
64) juga menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh besarnya persentase angka
melek huruf.
b. Pendapatan Per Kapita Penduduk (PC)
Hasil penelitian Iradian (2005:1-39) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun1965-
2003 menunjukkan bahwa tingginya ertumbuhan pendpatan per kapita tidak akan terlalu
berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan. Perubahan pendapat
per kapita mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan. Hasil penelitian ini
mengisyaratkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang
telah dicapai Indonesia hanya di nikmati oleh sebagian kecil penduduk. Sementara itu, sebagian
besar penduduk yang saat ini hidup dalam kemiskinan tidak menikmati pencapai tersebut.
Dengan kata lain, meskipun ekonomi tumbuh dengan baik, tetapi mereka tetap berada dalam
kemiskinan. Peningkatan kontra prestasi (gaji, honor, upah, dan bentuk lain) yang selama ini
terjadi di Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian orang. Peningkatan kontra prestasi tersebut
tidak sampai menyentuh kelompok yang berada pada garis kemiskinan.
c. Rasio Ketergantungan Penduduk

4
Faktor penyebab munculnya rasio ketergantungan adalah adanya tingkat kelahiran
(fertilitas) yang tinggi. Word Bank (1978) menyatakan bahwa peyebab kemiskinan adalah
adanya ledakan penduduk (population growth) yang tidak terkendali karena hal itu akan
menyebabkan rasio ketergantungan yang tinggi. Sementara itu, Malthus (1798) dalam Todaro
(2000:268) menyatakan bahwa ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba
pas-pasan (subsisten). Sedangkan pemikiran noe-Malthus menyatakan bahwa bangsa-bangsa
yang miskin tidak akan pernah berhasil taraf hidup yang lebih tinggi dari tingkat subsisten,
kecuali bangsa itu mengadakan pemeriksaan preventif terhadap pertumbuhan populasinya, tau
dengan menerapkan pengendalian kelahiran. Nila rata-rata Total Vertility Rate (TVR) pada
tahun 2010 adalah 2,5 artinya, setiap keluarga memiliki tiga orang anak sehingga dalam satu
keluarga akan terdiri dari lima jiwa. Semakin besar jumlah anak semakin besar jumlah
tanggungan yang harus ditanggung oleh kepala keluarga. Selanjutnya, semakin besar jumlah
penduduk yang berusia tidak produktif semakin besar tanggungan yang harus ditanggung oleh
penduduk usi produktif.
d. Pertumbuhan Ekonomi (GRW)
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang selama ini dicapai oleh Indonesia ternyata
tidak mampu menguarangi fakto penyebab kemiskinan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi
tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang Indonesia. Hal itu akan menimbulkan
kemiskinan struktural dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa dinikmati oleh
sebagian kecil orang kaya, sementara sebagian besar masyarakat tetap miskin. Kedaan ini
sesuai dengan toeri “trade of between growth and equity” yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan ketimpangan yang semakin besar dlaam
pembagian pendapatan, atau semakin tidak merata dan sebaliknya upaya pemerataan dapat
terwujud dalam pertumbuhan ekonomi yang rendah (Todaro, 2000:206).
e. Persentase Tenaga Kerja di Sektor Pertanian (TKP)
Penelitian Ritonga (2006)juga menyatakan bahwa penduduk miskin di Indonesia umumnya
bekerja di sektor pertanian dan mempunyai tingkat pendidikan SD ke bawah. Karena itu,
program pengentasan kemiskinan di sektor pertanian perlu di prioritaskan. Pembangunan
sektor pertanian melalui revitaliasasi pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta pembangun
masyarakat pedesaan perlu menjadi pijakan demi membawa asyarakat Indonesia keluar dari
permasalahan kemiskinan.
f. Persentase Teanga Kerja di Sektor Industri (TKI)

5
Peran penting sektor industri dalam mengurangi faktor peyebab kemiskinan salah
satunya ditunjukkan oleh hasil penelitian Skoufias (2000), yang menyatakan bahwa konsumsi
tenaga kerja di sektor industri lebih besar dari konsumsi tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini
mengindikasikan bahwa pendapatan pekerja usaha kecil yang bekerja di sektor industri non-
pertanian lebih besar daripadapenghasilan tenaga kerja usaha kecil yang bekerja di sektor
industri yang bergerak di sektor pertanian.
3. Indikator dan Ukuran Ketimpangan serta Kemiskinan
Terdapat beberapa indikator dan ukuran untuk melihat potret perekonomian Indonesia
yang ditinjau berdasarkan tingkat ketimpangan dan kemiskinan yang ada di Indonesia.
a) Indikator dan Ukuran Absolut
Bank dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di
bawah US$ 1/hari dan kemiskinan menengah dengan pendapatan di bawah US$ 2/hari.
Indikator kemiskinan yang lain dikemukakan oleh Bappenas (2004) dalam Sahdan
(2005) berupa:
1. Kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak
2. Terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif
3. Kurangnya kemampuan membaca dan menulis
4. Kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup
5. Kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi
6. Ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah
7. Akses ke ilmu pengetahuan yang terbatas
b) Indikator dan Ukuran Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena kebjakan pembangunan yang
belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebuthan pokok minimum. Kemiskinan stuktural dan kultural merupak kemiskinan
yang disebabkan oleh kondisi dan faktor-faktor adat budaya daerah tertentu yang membelenggu
seseorang (Sudantoko, 2009:43-46).
Konsep Koefisien Gini
Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan distribusi. Ukuran ini pertama kali
dikembangkan oleh ahli statistik dan ahli sosiologi Italia bernama Corrado Gini dan
dipublikasikan pada tahun 1912 dalam makalahnya yang berjudul “Variability and Mutability”.

6
Koefisien gini adalah perbandingan luas daerah antara kurva Lorenz dan garis lurus 45derjat
terhadap luas daerah di bawah garis lurus 45 derajat tersebut.
Koefisien Gini dinyatakan dalam bentuk rasio yang nilainya antara 0 dan 1. Nilai 0
menunjukkan pemerataan yang sempurna di mana semua nilai adalah sama, sedangkan nilai 1
menunjukkan ketimpangan yang paling tinggi yaitu satu orang menguasai semuanya dan yang
lainnya nihil.
𝑛
G = 1 -∑1 (Xi + 1 − Xi) ( 𝑌𝑖 + 𝑌𝑖 + 1)
0<G<1
𝑛
G G = 1 -∑1 𝑓𝑖( 𝑌𝑖 + 𝑌𝑖 + 1)
G = Rasio Gini
Fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i
Xi + 1 = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i
Yi + 1 = Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas i
Tingkat pemertaan pendapatan akan terjadi jika semua orang mendapatkan distribusi
pendapatan yang sama rata atau, dengan kata lain, rsaio Gini-nya adalah = 0 ( Gini Ratio = 0).
Jadi, Rasio Gini adalah rasio tentang distribusi pendapatan dengan angka kisaran 0 sampai
dengan 1. Jika G mendekati 0, berarti distribusi pendapatan yang diterima hampir sama dengan
banyaknya penduduk. Berikut adalah arti nilai dari besaran rasio Gini:
G < 0,3 artinya ketimpangan rendah
0,3 ≤ G ≤ 0,5 artinya ketimpangan sedang
G > 0,5 artinya ketimpangan tinggi

GK (Garis Kemiskinan)
Garis Kemiskinan (GK) adalah persentase penduduk miskin yang berada dibawah garis
kemiskinan, yang secara sederhana mengukur proporsi penduduk yang dikategorikan miskin.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs approach). Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh
negara-negara lain sepertia Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone,
dan Gambia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran yang di konseptualisasikan dengan Garis Kemiskinan (GK). GK meruapakan
representase dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok
minimum makanan yang setara dengan 2100 kilo kalori pert kapita per hari, dan kebutuhan
7
pokok non-makanan. GK yang digunakan oleh BPS terdiri dari dua komponen, yaitu Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-makanan (GKMN), sehingga GK
merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM.

Dristibusi Pendapatan
Disparitas (ketimpangan), distribusi pendapatan atau kesenjangan, dan tingkat
kemiskinan merupakan masalah besar yang dihadapi negara berkembang termasuk Indonesia.
Distribusi pendapatan mencerminkan merata atau timpanganya pembagian hasil pembangunan
suatu negara di kalangan penduduknya. Tidak meratanya distribusi pendapatan akan memicu
ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Masalah
kesenjangan tidak hanya dialami oleh negara berkembang, tetapi juga oleh negara maju.
Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka
kemiskinan yang terjadi, serta kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan
jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan, semakin tinggi tingkat
kesulitan mengatasinya. Negara maju mengalami tingkat kesenjangan pendapatan yang relatif
lebih kecil dibandingkan negara sedang berkembang dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit
karena GNP dan GDP negara maju relatif tinggi.
Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan kepemilikan sumber daya dan
faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Kelompok masyarakat
yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak juga akan memperoleh pendapatan yang
lebih banyak. Menurut pandangan Neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui
proses penyesuaian otomatis, yaitu `penetapan’ hasil pembangunan kebawah dan kemudian
menyebarnya sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Apabila proses terotomatisasi
tersebut belum mampu menurunkan tingkat perbedaan pendapatan yang timpang, maka dapat
dilakukan melalui sistem perpajakan dan subsidi. Penetapan pajak pendapatan/penghasilan
akan mengurangi pendapatan penduduk berpenghasilan tinggi, begitu juga sebaliknya subsidi
akan membantu penduduk yang berpenghasilan rendah asalkan tidak salah sasaran dalam
pengalokasiannya. Pajak yang telah di pungut dengan menggunakan sistem tarif progresif
(semakin tinggi pendapatan semakin besar presentase tarifnya) oleh pemerintah akan
digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi, dan proyek pembangunan. Dari
sisnilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan mengurangi ketimpangan.

1.2 Data Ketimpangan dan Kemiskinan di Indonesia

8
Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia September 2019

1. Perkembangan Gini Ratio September 2012–September 2019


Secara nasional, nilai Gini Ratio Indonesia selama periode 2012–September
2014 mengalami fluktuasi namun mulai Maret 2015 hingga September 2019 nilainya terus
menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama periode Maret 2015–September 2019 terjadi
perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia. (Lihat Gambar 1).Berdasarkan daerah tempat
tinggal, Gini Ratio di daerah perkotaan pada September 2019 adalah sebesar 0,391. Hal ini
menunjukkan terjadi penurunan sebesar 0,001 poin dibanding Maret 2019 yang sebesar 0,392.
Sementara jika dibanding September 2018 memiliki nilai poin yang sama yaitu 0,391. Untuk
daerah perdesaan, Gini Ratio pada September 2019 tercatat sebesar 0,315, turun sebesar 0,002

9
poin dibandingkan dengan kondisi Maret 2019 dan turun sebesar 0,004 poin dibandingkan
dengan kondisi September 2018. Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2019 dan
September 2018 masing-masing tercatat sebesar 0,317 dan 0,319.

2. Perkembangan Distribusi Pengeluaran September 2018–September 2019


Selain Gini Ratio ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah
persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal
dengan ukuran Bank Dunia. Berdasarkan ukuran ini tingkat ketimpangan dibagi menjadi 3
kategori, yaitu tingkat ketimpangan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40
persen terbawah angkanya dibawah 12 persen, ketimpangan sedang jika angkanya berkisar
antara 12–17 persen, serta ketimpangan rendah jika angkanya berada diatas 17 persen.
Pada September 2019, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen
terbawah adalah sebesar 17,71 persen yang berarti ada pada kategori ketimpangan rendah.
Kondisi ini sama jika dibandingkan dengan Maret 2019 yang sebesar 17,71 persen dan naik
jika dibandingkan dengan September 2018 yang sebesar 17,47 persen. Hal ini memberikan arti
bahwa secara nasional telah terjadi perbaikan tingkat ketimpangan selama periode September
2018–September 2019.
Jika dibedakan menurut daerah, pada September 2019 persentase pengeluaran
pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan adalah sebesar 16,90 persen.
10
Sementara persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah
perdesaan tercatat sebesar 20,66 persen. Dengan demikian, menurut kriteria Bank Dunia daerah
perkotaan termasuk ketimpangan sedang sementara daerah perdesaan termasuk ketimpangan
rendah.

3. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketimpangan


Perubahan tingkat ketimpangan penduduk sangat dipengaruhi oleh besarnya
variasi perubahan pengeluaran antarkelompok penduduk. Apabila perubahan pengeluaran
penduduk kelompok bawah lebih cepat dibandingkan dengan penduduk kelompok atas maka
ketimpangan pengeluaran akan membaik.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), tercatat bahwa
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada periode Maret 2019–September 2019 untuk
11
penduduk kelompok 40 persen terbawah dan menengah meningkat sedikit lebih cepat
dibanding penduduk kelompok 20 persen teratas. Tercatat kenaikan rata-rata pengeluaran per
kapita Maret 2019–September 2019 untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen
menengah, dan 20 persen teratas berturut-turut adalah sebesar 3,53 persen; 3,82 persen; dan
3,19 persen.

4. Gini Ratio Menurut Provinsi pada September 2019


Pada September 2019, provinsi yang mempunyai nilai Gini Ratio tertinggi
tercatat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar 0,428. Sementara Gini Ratio
terendah tercatat di Provinsi Bangka Belitung dengan Gini Ratio sebesar 0,262 (Tabel 2).
Dibanding dengan Gini Ratio nasional yang sebesar 0,380, terdapat delapan
provinsi dengan angka Gini Ratio lebih tinggi, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(0,428), Gorontalo (0,410), Jawa Barat (0,398), Sulawesi Tenggara (0,393), DKI Jakarta
(0,391), Papua (0,391), Sulawesi Selatan (0,391), dan Papua Barat (0,381).

12
Profil Kemiskinan di Indonesia September 2019

13
1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2006–September 2019
Secara umum, pada periode 2006–September 2019, tingkat kemiskinan di Indonesia
mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase, perkecualian pada September
2013 dan Maret 2015. Kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tersebut
dipicu oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat dari kenaikan harga bahan
bakar minyak. Perkembangan tingkat kemiskinan tahun 2006 sampai dengan September 2019
disajikan pada Gambar 1.

14
2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan September 2018–September 2019
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2019 mencapai 24,79 juta orang.
Dibandingkan Maret 2019, jumlah penduduk miskin menurun 358,9 ribu orang. Sementara jika
dibandingkan dengan September 2018, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 888,7 ribu
orang. Persentase penduduk miskin pada September 2019 tercatat sebesar 9,22 persen,
menurun 0,19 persen poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44 persen poin terhadap
September 2018. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2019–September
2019, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebesar 137 ribu orang, sedangkan
di daerah perdesaan turun sebesar 221,8 ribu orang. Persentase kemiskinan di perkotaan turun
dari 6,69 persen menjadi 6,56 persen. Sementara itu, di perdesaan turun dari 12,85 persen
menjadi 12,60 persen.

15
3. Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau Pada September 2019
Tabel 2 menunjukkan persentase dan jumlah penduduk miskin menurut pulau pada
September 2019. Terlihat bahwa persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau
Maluku dan Papua, yaitu sebesar 20,39 persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin
terendah berada di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 5,81 persen. Dari sisi jumlah, sebagian
besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (12,56 juta orang), sedangkan jumlah
penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,96 juta orang).

16
4. Garis Kemiskinan pada September 2019
Garis Kemiskinan merupakan suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan
makanan dan non makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin. Dengan kata
lain, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per
bulan di bawah Garis Kemiskinan. Tabel 3 menyajikan perkembangan garis kemiskinan pada
September 2018 sampai dengan September 2019.

Garis Kemiskinan pada September 2019 adalah sebesar Rp440.538,- per kapita
per bulan. Dibandingkan Maret 2019, Garis Kemiskinan naik sebesar 3,60 persen. Sementara
jika dibandingkan September 2018, terjadi kenaikan sebesar 7,27 persen.
Dengan memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat
17
pada Tabel 4 bahwa peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan
komoditi bukan makanan. Besarnya sumbangan GKM terhadap GK pada September 2019
sebesar 73,75 persen.

Pada September 2019, komoditi makanan yang memberikan sumbangan


terbesar pada GK, baik di perkotaan maupun di perdesaan, pada umumnya hampir sama. Beras
masih memberi sumbangan sebesar 20,35 persen di perkotaan dan 25,82 persen di perdesaan.
Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar ke dua terhadap GK (11,17 persen di
perkotaan dan 10,37 persen di perdesaan). Komoditi lainnya adalah telur ayam ras (4,44 persen
di perkotaan dan 3,47 persen di perdesaan), daging ayam ras (4,07 persen di perkotaan dan 2,48
persen di perdesaan), mie instan (2,32 persen di perkotaan dan 2,16 di perdesaan), gula pasir
(1,99 persen di perkotaan dan 2,78 di perdesaan), kopi bubuk & kopi instan (sachet) (1,87
persen di perkotaan dan 1,88 persen di perdesaan), dan seterusnya. Komoditi bukan makanan
18
yang memberikan sumbangan terbesar baik pada GK perkotaan dan perdesaan adalah
perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi. Untuk lebih lengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 4.

5. Garis Kemiskinan per Rumah Tangga September 2019


Garis kemiskinan per rumah tangga adalah gambaran besarnya nilai rata-rata rupiah
minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak
dikategorikan miskin. Secara rata-rata, garis kemiskinan per rumah tangga pada September
2019 adalah sebesar Rp2.017.664,-/bulan naik sebesar 1,38 persen dibanding kondisi Maret
2019 yang sebesar Rp1.990.170,-/bulan.

6. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan September 2018–


September 2019
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase
penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan
keparahan dari kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan
kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk
miskin.
Pada periode Maret 2019–September 2019, Indeks Kedalaman Kemiskinan
(P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan. Indeks Kedalaman
Kemiskinan pada September 2019 sebesar 1,50, turun dibandingkan Maret 2019 yang sebesar
1,55. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan, pada periode yang sama
mengalami penurunan dari 0,37 menjadi 0,36 (lihat Tabel 6).

19
Apabila dibandingkan berdasarkan daerah, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan
(P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di
daerah perkotaan. Pada September 2019, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk
daerah perkotaan sebesar 1,02, sedangkan di daerah perdesaan jauh lebih tinggi, yaitu mencapai
2,11.

7. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kemiskinan


Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan selama periode Maret
2019–September 2019 antara lain adalah:
1) Rata-rata upah nominal buruh tani per hari pada September 2019 naik sebesar 1,02 persen
dibanding Maret 2019 (dari Rp53.873,- menjadi Rp54.424,-). Di samping itu, rata-rata
upah nominal buruh bangunan per hari pada September 2019 naik sebesar 0,49 persen
dibanding Maret 2019, yaitu (dari Rp88.637,- menjadi Rp89.072,-).
2) Selama periode Maret 2019–September 2019, tingkat inflasi umum cukup rendah, yaitu
sebesar 1,84 persen.
3) Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Juli 2019, Agustus 2019, dan September 2019 selalu
berada diatas 100, dengan nilai berturut-turut sebesar 102,63; 103,22; dan 103,88.
4) Pada periode Maret 2019–September 2019, secara nasional harga eceran beberapa
komoditas pokok antara lain beras, daging ayam ras, minyak goreng, telur ayam ras, dan
ikan kembung mengalami penurunan dengan besaran sebagai berikut: beras turun 1,75

20
persen, daging ayam ras turun 2,07 persen, minyak goreng turun 1,59 persen, telur ayam
ras turun 0,12 persen, dan ikan kembung turun 0,03 persen.
5) Menurut desil pengeluaran per kapita per bulan (dari susenas), rata-rata pengeluaran per
kapita pada kelompok penduduk 10 persen terbawah (Desil 1) periode Maret 2019–
September 2019 mengalami peningkatan sebesar 4,01 persen, lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan GK pada periode tersebut yang sebesar 3,60 persen.
6) Terjadi peningkatan cakupan penerima Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Jumlah kabupaten/kota penerima Program BPNT yang terealisasi pada Triwulan III 2019
mencapai 509 kabupaten/kota. Jumlah ini meningkat 289 kabupaten/kota dibandingkan
Triwulan I 2019.

21
22
23
24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu sasarn pembangunan nasional
adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan adalah salah satu penyakit dalam
ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan
memang sangat kompleks dan bersifat multidimensional. Karena itu, upaya pengentasan
kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, yang mencakup berbagai aspek kehidupan
masyarakat dan dilaksanakan secara terpadu (M. Nasir, dkk 2008).

3.2 Saran
Semoga makalah yang telah kami susun ini dapat bermanfaat yang kemudian dapat
diamalkan dalam kehidupan. Kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih jauh dengan kesempurnaan dan begitu banyak kekurangan, untuk itu besar harapan kami
jika ada kritikan dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah kami ini.

25
DAFTAR PUSTAKA

Machmud, Amir. 2016. Perekonomian Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Penerbit Erlangga

26

Anda mungkin juga menyukai