Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH MATA KULIAH ILMU KESEHATAN ANAK

STUNTING

Oleh:

NI KADEK MITA WIDIARI (P07124218004)

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEBIDANAN PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
2020
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Pertumbuhan linear adalah indikator umum yang terbaik bagi
kesejahteraan anak-anak dan dapat memberikan penilaian yang akurat atas
ketimpangan dalam perkembangan manusia. Stunting terkadang tidak diakui
dalam masyarakat, dimana tinggi seseorang atau perawakan tubuh yang berada
di bawah rata-rata itu dianggap normal. Kesulitan dalam mengidentifikasi anak-
anak-anak stunting secara visual dan kurang adanya evaluasi rutin terhadap
pertumbuhan linear dalam pelayanan asuhan kesehatan primer memperjelas
mengapa membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari pentingnya
penyebab yang tersembunyi ini (de Onis, dan F, 2016). Terdapat 45% kematian
anak usia dibawah 5 tahun akibat kekurangan gizi. Stunting atau pengerdilan ini
sebenarnya benar-benar menghambat potensi perkembangan mental dan modal
manusia dari seluruh masyarakat karena dalam hal ini akan ada dampak jangka
panjang pada fungsi kognitifnya dan produktifitas ekonominya di masa dewasa
(Prendergast dan Humphrey, 2014).
Stunting atau tubuh yang pendek pada anak memilki konsekuensi, baik
itu jangka pendek maupun panjang, bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas anak. Selain itu, stunting juga dapat memperburuk perkembangan dan
kapasitas belajar anak. Stunting dikaitkan dengan faktor-faktor penentu seperti
kelahiran premature, panjang lahir bayi pendek, pemeberian ASI yang tidak
eksklusif selama 6 bulan pertama, genetik orang tua yang memang
pendek/rendah, pengetahuan ibu yang rendah, rendahnya status sosial ekonomi
dalam rumah tangga, faktor tempat tinggal yaitu fasilitas jamban yang tidak
memadai dan air minum yang tidak diolah dengan baik, bahkan kesulitan dalam
mengakses pelayanan kesehatan (Beal, et al., 2018).
Selain faktor-faktor diatas, diperkirakan 165 juta anak yang mengalami
terhambatnya pertumbuh oleh karena efek kombinasi gizi buruk, infeksi yang
berulang dan stimulasi fisik yang tidak adekuat (Stewart, et al., 2013). Dengan
banyaknya faktor risiko dan dampak dari stunting ini, maka perlu adanya
pertimbangan konsekuensi dalam pemusnahan atau paling tidak penurunan
angka stunting di masyarakat (Svefors, et al., 2020).
Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI, 2018,
pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Data prevalensi balita
stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia
termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia
Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting
di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. Pencegahan dan pengobatan
stunting harus diprioritaskan ke dalam agenda kesehatan masyarakat global
maupun nasional (Svefors, et al., 2020). Berdasarkan pemaparan diatas
penyusun tertarik untuk mendalami lebih dalam mengenai stunting.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Stunting
Menurut WHO (dalam website), menyatakan bahwa stunting adalah
gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak, oleh
karena gizi buruk, infeksi yang berulang, dan tidak memadainya stimulasi
psikososial. Anak-anak yang didefinisikan sebagai stunting adalah anak-anak
yang jika tingkat tinggi badan yang kurang dibandingkan dengan usia mereka,
lebih dari minus dua deviasi standar di bawah rata-rata Standar Pertumbuhan
Anak WHO. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai
dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari
ketidakseimbangan gizi (Losong dan Adriani, 2017)
Kejadian balita stunting (pendek) menurut Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2018 merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun
terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi
lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek
mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
2017. Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2010, ibu memegang peranan
penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama dalam hal
asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan,
sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik akan melahirkan anak
yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan
baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi
anak. Keluarga dengan penghasilan relatif tetap, prevalensi berat kurang dan
prevalensi kependekan lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang
berpenghasilan tidak tetap.
Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu
yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika hamil dengan asupan gizi
yang tidak mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika ibu hidup di lingkungan
dengan sanitasi kurang memadai. Setelah bayi lahir dengan kondisi kurang
seperti BBLR, dilanjutkan dengan kondisi rendahnya Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
yang memicu rendahnya menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan tidak
memadainya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI). Dengan begitu
banyaknya proses yang terjadi, hal tesebut dapat menyebabkan anak mengalami
stunting (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018).

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Menurut Apriluana dan Fikawati, 2018 dalam penelitiannya menjelaskan
ada beberapa faktor risiko terhadap kejadian stunting pada balita, yaitu:
1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan lahir rendah dapat memengaruhi terjadinya stunting pada
balita. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari 10% dari berat badan
lahir normal memilki risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami stunting dan 1,45
kali risiko wasting dibandingkan dengan bayi baru lahir lainnya. Anak dengan
BBLR akan memilki ukuran antropometri yang kurang pada perkembangannya,
apalagi diiringi dengan konsumsi makanan yang tidak adekuat atau tidak
memadai, pelayanan kesehatan yang tidak layak, dan sering terjadi infeksi pada
masa pertumbuhannya akan terus mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
anak dan mengakibatkan anak stunting.
2. Pendidikan Ibu Rendah
Prevalensi stunting lebih tinggi pada anak yang ibunya belum
menyelesaikan pendidikan dasar daripada anak dari ibu yang sudah
menyelesaikan pendidikan dasar. Seperti banyak negara berkembang lainnya,
pendidikan merupakan masalah penting. Pengasuhan kesehatan dan makanan
pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak.
Pola asuh setiap anak berbeda pada setiap keluarga. Pola asuhann yang
diberikan kepada anak tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu seperti
latar belakang pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status gizi ibu (terutama saat ia
mengandung), jumlah anak dalam keluarga. Perbedaan karakteristik ibu dapat
membedakan pola pengasuhan yang akan berpengaruh pada status gizi anak.
3. Pengaruh Pendapatan Rumah Tangga
Stunting menunjukkan hubungan ketergantungan usia diantara anak-anak
terutama usia antara 1-6 tahun, dengan makan yang tidak adekuat atau adanya
penyakit berulang atau kronis. Faktor sosial ekonomi seperti pendapatan rumah
tangga yang rendah secara signifikan terkait dengan stunting dan berat badan
kurang. Stunting umumnya berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi secara
keseluruhan dan tingkat sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari penghasilan
dalam satu keluarga. Hal ini merupakan modal dasar untuk menuju keluarga
sejahtera, sehingga semua keluarga mengharapkan mendapatkan penghasilan
yang maksimal untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Tingkat sosial ekonomi
keluarga berkaitan dengan seberapa mampu ia membeli sesuatu, termasuk
bahan makanan. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makan tergantung
dari besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta
tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dalam tubuh anak.
4. Pengaruh Sanitasi Lingkungan
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau
keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan
lingkungan tersebut antara lain seperti perumahan, pembuangan kotoran
manusia/tinja, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air
kotor/limbah, rumah hewan ternak/kandang, dan lain sebagainya. Keadaan
lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit/infeksi.
Kurangnya akses ke fasilitas sanitasi (toilet dan/jamban) dapat mengarah ke
berbagai tantangan kesehatan (seperti terkena cacing parasit). Anak-anak yang
tinggal di rumah tangga yang minum air tanpa diolah memilki risiko tiga kali lebih
besar (berdasarkan odds ratio) untuk stunting dibandingkan dengan anak-anak
yang tinggal jika rumah tangga menggunakan jamban. Balita dari rumah tangga
yang tidak memilki fasilitas air di rumah kemungkinan 5 kali lebih berat badannya
kurang dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan
fasilitas air yang tersedia.

C. Diagnosis
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan
cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energy (Siagan, 2010). Menurut
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (2011), beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).

D. Dampak yang Dapat Ditimbulkan


Stunting dapat menyebabkan perkembangan kognitif atau kecerdasan,
motorik, dan verbal berkembang secara tidak optimal, peningkatan risiko
obesitas dan penyakit degeneratif lainnya, peningkatan biaya kesehatan, serta
peningkatan kejadian kesakitan dan kematian. Anak yang memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak maksimal akibat stunting pada akhirnya dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan
memperlebar ketimpangan di suatu negara (Yadika, et al., 2019).
Selain dampak diatas, tidak jauh berbeda menurut Dasman, 2019
menyatakan ada beberapa dampak yang dapat terjadi pada anak yang
mengalami stunting, yaitu :
1. Kognitif Lemah dan Psikomotorik Terhambat
Jika proporsi anak yang mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan stunting
besar dalam suatu negara, maka akan berdampak pula pada proporsi kualitas
sumber daya manusia yang akan dihasilkan. Artinya, besarnya masalah stunting
pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas bangsa masa depan.
2. Kesulitan Menguasai Sains dan Berprestasi dalam Olahraga
Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak proporsional hari ini, pada
umumnya akan mempunyai kemampuan secara intelektual di bawah rata-rata
dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi yang tumbuh dengan
kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang lebihlemah.
Pada saat yang sama, generasi yang tumbuh dengan kondisi kurang gizi dan
mengalami stunting, tidak dapat diharapkan untuk berprestasi dalam bidang olah
raga dan kemampuan fisik. Dengan demikian, proporsi kurang gizi dan stunting
pada anak adalah ancaman bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan
dari segala sisi.
3. Lebih Mudah Terkena Penyakit Degeneratif
Kondisi stunting dapat menjadi faktor tidak langsung terhadap penyakit
degeneratif (penyakit yang muncul seiring bertambahnya usia). Berbagai studi
membuktikan bahwa anak-anak yang kurang gizi pada waktu balita, kemudian
mengalami stunting, maka pada usia dewasa akan lebih mudah mengalami
obesitas dan terserang diabetes melitus. Seseorang yang dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kekurangan gizi dapat
mengalami masalah pada perkembangan sistem hormonal insulin dan glukagon
pada pankreas yang mengatur keseimbangan dan metabolisme glukosa.
Sehingga, pada saat usia dewasa jika terjadi kelebihan intake kalori,
keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu, dan pembentukan jaringan
lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah. Dengan demikian, kondisi stunting
juga berperan dalam meningkatkan beban gizi ganda terhadap peningkatan
penyakit kronis di masa depan.
4. Sumber daya manusia berkualitas rendah
Kurang gizi dan stunting saat ini, menyebabkan rendahnya kualitas
sumber daya manusia usia produktif. Masalah ini selanjutnya juga berperan
dalam meningkatkan penyakit kronis degenerative saat dewasa. Karena itu,
Januari merupakan momen yang tepat bagi semua pihak (para orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan parlemen) untuk ikut berperan dalam
menyelesaikan permasalahan gizi anak dan stunting tersebut.

E. Upaya Pencegahan Stunting


Menurut WHO (dalam website), 2014 rekomendasi yang berbasis
penelitian harus diimplementasikan untuk mencapai kemajuan dalam
pengurangan stunting sesuai dengan target Majelis Kesehatan Dunia.
1. Meningkatkan pengidentifikasian, pengukuran dan pemahaman tentang
stunting dan meningkatan cakupan kegiatan pencegahan stunting.
2. Menerapkan kebijakan dan/ memperkuat intervensi untuk meningkatkan gizi
dan kesehatan ibu hamil, dimulai dari masa remaja seperti melaksanakan
program yang memberikan suplemen zat besi dan asam folat setiap minggu,
serta nutrisi selama kehamilan. Selain itu setelah, pemberian ASI eksklusif
dan lanjutannya serta MPASI/makanan tambahan juga perlu dukungan baik
dari tenaga kesehatan maupun pemerintah agar terlaksana dengan baik.
3. Memperkuat pencegahan dengan langsung melihat keadaan
masyarakat/lingkungannya, seperti penggunaan air bersih untuk minum,
sanitasi, dan kebersihannya. Hal ini bertujuan untuk melindungi anak-anak
dari penyakit-penyakit infeksi.
Menurut hasil penelitian Hidayah dan Marwan, 2020, beberapa upaya
untuk menanggulangi stunting ialah dengan upaya pemerdayaan masyarakat
yang sadar gizi. Adapaun komponen di dalamnya yaitu:
1. Kegiatan pemeriksaan status gizi balita, kegiatan ini meliputi pemeriksaan
BB/U dan TB/U.
2. Kegiatan penyuluhan tentang cegah stunting sejak 1000 hari pertama
kehidupan dan dilanjutkan dengan gizi seimbang diusia balita. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.
3. Pentingnya pemeriksaan saat kehamilan, hal ini bisa dilakukan dengan
memberi motivasi kepada ibu hamil untuk rutin melakukan pemeriksaan
kehamilan minimal 4x selama hamil. Selain itu juga perlu adanya pemberian
makanan tambahan kepada ibu hamil yang berupa suplemen dan vitamin.
4. Pemberian contoh menu seimbang dan PMT (Pemberian Makanan
Tambahan) pada balita. Tambahan makanan ini bertujuan untuk memenuhi
kecukupan kebutuhan gizi agar mencapai status gizi yang baik.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Stunting atau pengerdilan merupakan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi pada anak-anak. Stunting sudah menjadi
permasalahan yang global dan bukan hanya menjadi masalah bagi negara
Indonesia tapi di beberapa belahan negara lainnya juga. Stunting dapat
terjadi karena ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seperi BBLR,
rendahnya pendidikan ibu, rendahnya pendapatan rumah tangga, bahkan
keadaan lingkungan yang kurang sehat yang dapat memicu anak terinfeksi
dapat memperburuk status gizi anak. Banyak sekali dampak yang
ditimbulkan dari stunting seperti berdampak bagi negara maupun pada anak
itu sendiri. Upaya-upaya pencegahan terus dikembangkan, seperti kegiatan
penyuluhan stunting sejak 1000 HPK, kegiatan pemeriksaan status gizi balita,

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Apriluana, G. dan S. Fikawati. 2018. Analysis of Risk Factor of Stunting Among


Children 0-59 Month in Developing Countries and Southeast Asia. Media
Litbangkes 28(4): 247-256

Beal, T., A. Tumilowics, A. Sutrisna, D. Izwardy, L. M. Neufeld, 2018. A review of


child stunting determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition. 14(4):
1-10

Dasman, H. 2019. Empat Dampak Stunitng bagi anak negara Indonesia.


http://repo.unand.ac.id/21312/1/Empat%20dampak%20stunting%20bagi
%20anak%20dan%20negara%20Indonesia.pdf. 15 Mei 2020 (19:13

De Onis, M dan Branca F, 2016. Childhood stunting: A global perspective.


Maternal and Child Nutrition. 12(1): 12-26

Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2011. Standar
Antroppometri Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes RI. Jakarta

Hidayah, M. dan Marwan. 2020. Upaya Pemerdayaan Masyarakat dalam


Menciptakan Generasi Milenial Sadar Gizi yang Bebas Stunting Melalui
Kegiatan 1000 HPK. Journal of Community Engagement in Health. 3(1): 86-
93

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).


Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Losong N.H.F., M. Adriani, 2017. Perbedaan kadar hemoglobin , asupan zat


besi , dan zinc pada balita stunting dan non stunting. Amerta Nutr. 1(2):117–
223.

Prendergast, A. J. dan J. H. Humphrey. 2014. The stuting syndrome in


developing countries. Paediatrics and International Child Health.34(4): 250-
265

Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI. 2018. Situasi Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia. BPPSDMK. Jakarta

Siagan, A. 2010. Epidemiologi Gizi. Erlangga. Jakarta

Stewart, C. P., L. Ianotti, K. G. Dewey, K. F. Michaelsen, A. W. Onyango. 2013.


Contextualising complementary feeding in a broader framework for stunting
prevention. Maternal and Child Nutrition, 9(2): 27-45
Svefors, P., J. Pervin, A. I. Khan, A. Rahman, E. C. Ekström, s. e. Arifeen, K. E.
Selling, L.A. Persson, 2020. Stunting, recovery from stunting and puberty
development in the MINImat cohort, Bangladesh. 109: 122-133

World Health Organization. Stunting in a nutshell.


https://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/. 10 Mei
2020 (11:33)

_______. 2014. WHA Global Nutrion Targets 2025: Stunting Policy Brief.
https://www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief.pdf. 15
Mei 2020 (20:09)

Yadika, A. D. N., K.N. Berawi, S.H. Nasution. 2019. Pengaruh Stunting terhadap
Perkembangan Kognitif dan Prestasi Belajar. Majority. :273-282

Anda mungkin juga menyukai