STUNTING
Oleh:
A. Latar Belakang
Pertumbuhan linear adalah indikator umum yang terbaik bagi
kesejahteraan anak-anak dan dapat memberikan penilaian yang akurat atas
ketimpangan dalam perkembangan manusia. Stunting terkadang tidak diakui
dalam masyarakat, dimana tinggi seseorang atau perawakan tubuh yang berada
di bawah rata-rata itu dianggap normal. Kesulitan dalam mengidentifikasi anak-
anak-anak stunting secara visual dan kurang adanya evaluasi rutin terhadap
pertumbuhan linear dalam pelayanan asuhan kesehatan primer memperjelas
mengapa membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari pentingnya
penyebab yang tersembunyi ini (de Onis, dan F, 2016). Terdapat 45% kematian
anak usia dibawah 5 tahun akibat kekurangan gizi. Stunting atau pengerdilan ini
sebenarnya benar-benar menghambat potensi perkembangan mental dan modal
manusia dari seluruh masyarakat karena dalam hal ini akan ada dampak jangka
panjang pada fungsi kognitifnya dan produktifitas ekonominya di masa dewasa
(Prendergast dan Humphrey, 2014).
Stunting atau tubuh yang pendek pada anak memilki konsekuensi, baik
itu jangka pendek maupun panjang, bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas anak. Selain itu, stunting juga dapat memperburuk perkembangan dan
kapasitas belajar anak. Stunting dikaitkan dengan faktor-faktor penentu seperti
kelahiran premature, panjang lahir bayi pendek, pemeberian ASI yang tidak
eksklusif selama 6 bulan pertama, genetik orang tua yang memang
pendek/rendah, pengetahuan ibu yang rendah, rendahnya status sosial ekonomi
dalam rumah tangga, faktor tempat tinggal yaitu fasilitas jamban yang tidak
memadai dan air minum yang tidak diolah dengan baik, bahkan kesulitan dalam
mengakses pelayanan kesehatan (Beal, et al., 2018).
Selain faktor-faktor diatas, diperkirakan 165 juta anak yang mengalami
terhambatnya pertumbuh oleh karena efek kombinasi gizi buruk, infeksi yang
berulang dan stimulasi fisik yang tidak adekuat (Stewart, et al., 2013). Dengan
banyaknya faktor risiko dan dampak dari stunting ini, maka perlu adanya
pertimbangan konsekuensi dalam pemusnahan atau paling tidak penurunan
angka stunting di masyarakat (Svefors, et al., 2020).
Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI, 2018,
pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Data prevalensi balita
stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia
termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia
Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting
di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. Pencegahan dan pengobatan
stunting harus diprioritaskan ke dalam agenda kesehatan masyarakat global
maupun nasional (Svefors, et al., 2020). Berdasarkan pemaparan diatas
penyusun tertarik untuk mendalami lebih dalam mengenai stunting.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Stunting
Menurut WHO (dalam website), menyatakan bahwa stunting adalah
gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak, oleh
karena gizi buruk, infeksi yang berulang, dan tidak memadainya stimulasi
psikososial. Anak-anak yang didefinisikan sebagai stunting adalah anak-anak
yang jika tingkat tinggi badan yang kurang dibandingkan dengan usia mereka,
lebih dari minus dua deviasi standar di bawah rata-rata Standar Pertumbuhan
Anak WHO. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai
dengan penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari
ketidakseimbangan gizi (Losong dan Adriani, 2017)
Kejadian balita stunting (pendek) menurut Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2018 merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun
terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi
lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek
mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun
2017. Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2010, ibu memegang peranan
penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama dalam hal
asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan,
sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik akan melahirkan anak
yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan
baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi
anak. Keluarga dengan penghasilan relatif tetap, prevalensi berat kurang dan
prevalensi kependekan lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang
berpenghasilan tidak tetap.
Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu
yang kurang gizi dan anemia. Menjadi parah ketika hamil dengan asupan gizi
yang tidak mencukupi kebutuhan, ditambah lagi ketika ibu hidup di lingkungan
dengan sanitasi kurang memadai. Setelah bayi lahir dengan kondisi kurang
seperti BBLR, dilanjutkan dengan kondisi rendahnya Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
yang memicu rendahnya menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan tidak
memadainya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI). Dengan begitu
banyaknya proses yang terjadi, hal tesebut dapat menyebabkan anak mengalami
stunting (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018).
C. Diagnosis
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan
cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energy (Siagan, 2010). Menurut
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (2011), beberapa
indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Stunting atau pengerdilan merupakan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi pada anak-anak. Stunting sudah menjadi
permasalahan yang global dan bukan hanya menjadi masalah bagi negara
Indonesia tapi di beberapa belahan negara lainnya juga. Stunting dapat
terjadi karena ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seperi BBLR,
rendahnya pendidikan ibu, rendahnya pendapatan rumah tangga, bahkan
keadaan lingkungan yang kurang sehat yang dapat memicu anak terinfeksi
dapat memperburuk status gizi anak. Banyak sekali dampak yang
ditimbulkan dari stunting seperti berdampak bagi negara maupun pada anak
itu sendiri. Upaya-upaya pencegahan terus dikembangkan, seperti kegiatan
penyuluhan stunting sejak 1000 HPK, kegiatan pemeriksaan status gizi balita,
B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2011. Standar
Antroppometri Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes RI. Jakarta
Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI. 2018. Situasi Balita
Pendek (Stunting) di Indonesia. BPPSDMK. Jakarta
_______. 2014. WHA Global Nutrion Targets 2025: Stunting Policy Brief.
https://www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief.pdf. 15
Mei 2020 (20:09)
Yadika, A. D. N., K.N. Berawi, S.H. Nasution. 2019. Pengaruh Stunting terhadap
Perkembangan Kognitif dan Prestasi Belajar. Majority. :273-282