Anda di halaman 1dari 4

“Bakar” Duit Untuk Promosi, Lalu Kapan Balik Modalnya?

Menjadi founder sebuah startup memang dibutuhkan skill dan kemampuan melihat pasar
yang ada. Mengetahui apa keinginan sekaligus menganalisa pasar menjadi sebuah
keharusan bagi seorang fonder atau CEO sebuah startup.

Masih belum banyak orang yang tahu kenapa startup yang berani bakar-bakar uang untuk
promosi. Apalagi mereka melakukan promosi bukan hanya melalui kanal digital saja (digital
marketing) tapi juga melalui iklan TV.

Seorang founder startup digital harus biasa membuat laporan untuk para investor, Apalagi
jika mendekati akhir tahun. Jika tidak membuat laporan, Kemungkinan bisnis tidak akan
berkembang lebih cepat. Membuat laporan artinya harus memperhatikan angka setiap hari
dan mengikuti perkembangan setiap saat. Data sekecil apapun bisa dilihat. Itulah bisnis
digital.

Kadang terlalu banyak informasi juga membuat bingung. Pekerjaan rumah standar pelaku
bisnis digital sekarang sepertinya bukan lagi cari informasi tentang perilaku pelanggan. Tapi
juga bagaimana memilih informasi yang berguna, kemudian menentukan prioritas mana
yang harus dilakukan, dan mana yang tidak perlu.

Kenapa masalahnya? Kenapa mereka mau saja jual rugi per jam yang terjual ? Akhirnya jebol
juga..

1. Customer Acquisition Cost (CAC)

Kenapa tidak hanya melalui kanal digital?

Karena tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pelanggan baru yang sama sekali
belum pernah dengar tentang Bukalapak. Iklan lewat Facebook atau Google harus tetap
berjalan. Tapi rata-rata orang yang akses internet di Indonesia sudah kenal Bukalapak. Jadi,
memang kanal promosi yang baru tetap selalu dibutuhkan.

“Total belanja iklan TV Indonesia oleh bisnis digital sudah mencapai lebih dari Rp2,5 triliun
tahun ini. Gila benar ya kalian jor-joran promosi. Kapan balik modalnya itu?”

Kalau ‘bakar’ duit untuk promosi, kapan balik modalnya?

Analogi :

“Warung jualan gorengan: Jualannya tahu isi, tempe goreng, dan bakwan. Harga produknya
sama semua, Rp1.000 per buah,”

Semua bisnis sama, digital atau konvensional hanya medianya saja. Semuanya tetap harus
balik modal.
Harga gorengan Rp1.000 per buah, Yang dilakukan penjual gorengan saat pertama kali buka
bisnis gorengan adalah buka rolling door warungnya, lalu menyalakan kompor.

Yang mereka lakukan adalah bagi-bagi gorengan gratis ke kantor-kantor di sekitar area
warungnya. Sebelum kang maman (penjual gorenngan) memberikan grais gorengannya
adalah bertanya dulu ke kesatpam. Berapa jumlah karyawan di kantor itu, dan ternyata ada
50 orang. Lalu kang maman bagi-bagi seratus buah gorengan gratis, tiap orang mendapat 2
buah gorengan.

Memang tidak semua orang makan atau menyukai gorengan, Namun dalam pemasaran ada
istilah: Separuh biaya promosi hanya membuang-buang uang? Masalahnya, kita tidak tahu
separuh yang mana yang dimaksud. Ini berlaku juga dalam kasus gorengan. Tidak sampai
separuh karyawan kantor yang makan. Tapi seratus buah gorengan ternyata habis juga.

“Ternyata, dari lima puluh anak karyawan, ada sepuluh orang yang langsung menjadi
pelanggan warung gorengan itu. Sorenya mereka membeli gorengan lagi, paling tidak lima
buah gorengan per orang.”

Jadi si warung gorengan keluar biaya pemasaran sebesar Rp1.000 x 100 buah = Rp100.000,
yang menghasilkan sepuluh pelanggan. Jadi, Customer Acquisition Cost adalah Rp10.000 per
pelanggan. Kapan balik modalnya?

2. Retention dan Churn Rate

Setiap pelanggan lalu beli lima buah gorengan.

Misalnya, marginnya Rp500 per gorengan atau 50% (lima puluh persen) dari harga
gorengan. Jadi setiap kali membeli gorengan, pelanggan membayar Rp1.000 x 5 buah =
Rp5.000. Margin 50%, jadi Rp2.500 sekali membeli.”

Jika CAC Rp10.000, berarti untung Rp2.500, 4x membeli sudah balik modal. 4 hari sudah
balik modal. Cerdas teknik pemasaran warung gorengan itu. Hitungan sederhana.

Masalahnya, lagi-lagi tidak segampang itu. Dari sepuluh orang yang menjadi pelanggan
warung gorengan sehari setelah dapat gratisan promo, Apakah mungkin semuanya akan
balik lagi esok harinya? Harus dihitung lagi.

Mungkin saja dari sepuluh pelanggan awal itu, hanya enam yang jadi pelanggan tetap. Itu
saja tidak mungkin mereka tiap hari membeli gorengan. Lalu bagaimana menghitungnya?

Berapa orang pelanggan yang masih tetap beli, dibagi dengan total pelanggan awal. Ini
disebut dengan retention rate. Misalnya, Jika ada enam orang yang menjadi pelanggan
tetap, berarti retention rate= 6/10 atau 60% (enam puluh persen).
“Jika yang tidak balik lagi sering disebut dengan istilah churn rate. Kebalikan dari retention
rate, mengitungnya dengan cara membagi churning user atau pelanggan yang tidak balik
lagi dengan total pelanggan awal. Di sini akan mendapatkan angka 40% (empat puluh
persen).

3. Cohort

Misalnya sepuluh orang pertama tadi membeli di hari Senin, dan hari Selasa hanya enam
orang yang kembali membeli, bisa saja empat orang sisanya membeli gorengan lagi minggu
depan? Bagaimana menghitungnya? tidak bisa menyebut enam orang ini sebagai churning
user?

Itu masalahnya, Memang akan berubah-ubah. Jadi, kita harus menentukan dulu timeframe
menghitung retention ini. Misalnya, kita punya asumsi jika pelanggan akan paling sering
membeli gorengan seminggu sekali. Jadi kita membuat timeframe dalam mingguan.

Tiap minggu retention rate akan berubah-ubah. Oleh karena itu kita perlu menghitung di
setiap minggunya, berapa konsumen yang membeli gorengan lagi. Sepuluh pelanggan awal
itu dihitung minggu nol, Di minggu berikutnya, enam dari sepuluh pelanggan itu balik lagi.
Minggu setelahnya enam orang, lalu lima orang, tiga orang, dan yang terakhir di minggu
kelima hanya sisa dua orang yang balik lagi. Jadi, tiap minggunya kang maman gorengan
harus menghitung berapa anak kantor yang membeli. Dari situ nantinya dapat data berapa
lama balik modal promosi gratisan seratus gorengan itu tadi,

Jadi, syarat mutlaknya adalah menghitung. Kita harus tahu dengan pasti kapan seorang
pelanggan itu pertama kali membeli produk kita. Dan setelah itu harus tahu juga, kapan saja
tiap-tiap pelanggan itu beli.

“Anggap saja itu kang maman gorengan memorinya super kuat, jadi tidak akan lupa siapa
yang datang dan kapan. Atau dia punya teknologi camera tracking dan face recognition di
warung gorengannya.”

Mungkin saja tiap minggu kang maman gorengan memberikan promo gratisan itu ke kantor-
kantor lain juga.

Misalnya tiap minggu kang maman gorengan bagi-bagi gorengan gratis untuk dapat
pelanggan baru. Minggu pertama sepuluh orang dari kantor A, minggu kedua dua puluh
orang dari kantorn B, lalu minggu berikutnya dia promo ke kantor C dan mendapat dua
belas orang. Begitu seterusnya, setiap minggu dia dapat pelanggan baru.

Kita bisa lihat kolom di bawah minggu nol, angka pelanggan baru yang didapat. Ke kanan
bisa terlihat retention. Dan minggu berikutnya terlihat berapa banyak pelanggan yang
bertahan.
Tabel ini biasa disebut dengan Cohort. Dia menunjukkan seberapa bagus sebuah
perusahaan. Idealnya, kolom nomor dua (minggu ke-0) yang isinya pelanggan baru itu
angkanya naik terus, dan semakin ke kanan, angkanya tidak turun terlalu banyak dan pada
akhirnya stabil di angka tertentu.

Garis ke kanan horisontal ini menunjukkan retention rate, ke bawah vertikal menunjukkan
jumlah akuisisi pelanggan baru. Sementara, garis diagonal ditarik dari kiri bawah ke kanan
atas menunjukkan jumlah pelanggan yang aktif tiap bulannya.”

4. CAC Recovery

Asumsi di atas adalah jika pelanggan membeli gorengan siklusnya seminggu sekali, setiap
membeli sekitar lima gorengan. Artinya warung mendapat untung Rp2.500. Untuk dapat
satu pelanggan baru, warung gorengan mengeluarkan Rp10.000. Kita lihat di baris paling
atas. Total CAC untuk minggu pertama berarti Rp10.000 x 10 = Rp100.000. Artinya, untuk
balik modal, berarti dibutuhkan pembelian sebanyak 40x. Ini dihitung dari
Rp100.000:margin per pembelian, yaitu Rp2.500.

Berarti tinggal ditambahkan semua ke kanan, total 10+6+6+5+3+2 = 32. berarti belum balik
modal setelah 5 minggu.

Dari sini kita mengetahui, Jika uang yang dibakar-bakar untuk promosi itu akan semakin
cepat baliknya, jika pelanggan setia semakin banyak. Semakin bagus produk dan servis yang
diberikan, semakin cepat balik modalnya. Misalnya semua anak kantor menjadi pelanggan
baru kang maman gorengan balik lagi. Angkanya menjadi 10–10–10–10–10. Dijumlah total
lima puluh. Di minggu keempat sudah balik modal.

Angka-angka itu yang menjadi barometer untuk menentukan kapan dan seberapa jauh bisa
bakar uang. Salah satunya. Dari sini kita tahu bahwa Customer Lifetime Value (CLV), berapa
margin yang akan dihasilkan setiap pelanggan untuk perusahaan. Dari sini terlihat sebagus
apa produk bisa diterima oleh konsumen.

Menghitungnya bagaimana ? Misalnya jika orang yang membeli gorengan itu bagi-bagi ke
teman-temannya, lalu mereka menjadi pelanggan warung gorengan. Bahkan tidak perlu
repot promo bagi-bagi gorengan sudah laris. itu namanya virality.

5. Epilog

Pertumbuhan bisnis, baik konvensional maupun digital, mempunyai fondasi yang sama:
mendapatkan pelanggan baru, dan mempertahankan pelanggan lama.

Bedanya, basis bisnis digital secara natural adalah data driven, sehingga segala keputusan
yang diambil tidak hanya dari intuisi dan perkiraan, tapi dari fakta dan data yang ada.

Anda mungkin juga menyukai