Anda di halaman 1dari 16

METABOLISME

LAPORAN PEMICU 1 BLOK 7

“BADANKU KOK GINI YA….”

DISUSUN OLEH:

GISSELLA LAMTIO KARANIA TOBING


190600135

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pola makan dan gaya hidup masyarakat Indonesia sering berubah dengan globalisasi. Salah satu
perubahan tersebut adalah perubahan dari pola konsumsi makanan tradisional ke pola makanan
instant (fast food dan junk food). Pola makan kebarat-baratan yang tinggi kalori, lemak dan
kolesterol dibarengi dengan gaya hidup yang kurang gerak mengakibatkan peningkatan
munculnya berbagai penyakit, seperti penyakit jantung coroner, dibetes, hipertensi, maupun
obesitas yang beresiko terhadap kejadian sindrom metabolic.

Sindrom metabolik didiagnosa berdasarkan NCEP-ATP III (National Cholesterol Education


Program-Adult Treatment Panel III) yaitu apabila memiliki ≥ 3 komponen sindrom metabolic,
antara lain lingkar perut > 90 cm pada pria dan > 80 cm pada wanita, HDL < 40 mg/dl pada pria
dan < 50 mg/dl pada wanita, Trigliserida ≥150 mg/dl, gula darah puasa ≥ 110 mg/dl dan tekanan
darah ≥ 130 mg/85 mmHg.

Prevalensi sindrom metabolic pada decade terakhir semakin meningkat. Hal ini sering diduga
terjadi seiring dengan meningkatnya populasi obesitas di berbagai negara. Berdasarkan data
Riskesdas tahun 2010 prevalensi berat badan berlebih dan obesitas pada orang dewasa di
Indonesia mencapai 21,7%. Angka kelebihan berat badan pada perempuan cenderung lebih tinggi
dibanding laki-laki.

Hubungan antara kelebihan berat badan dengan penyakit periodontal dapat disebabkan karena
diet makanan yang tidak benar, oral hygiene yang buruk, perubahan pada host immunity, stress
psikososial. Penyakit periodontal antara lain adalah gingivitis dan periodontitis. Periodontitis
dapat diperburuk oleh kondisi tertentu yang berkaitan dengan obesitas, misalnya sindrom
metabolik, pengelompokan dyslipidemia, dan resistensi insulin.

Selain hal tersebut di atas kurangnya aktivitas fisik dan latihan, seperti bekerja dalam posisi
duduk sepanjang hari depan computer dan meningkatnya konsumsi makanan saji, seperti dalam
pemicu ini, dapat meningkatkan resiko sindrom metabolik, diserta pengendalian plak yang
kurang baik pada gigi dapat meningkatkan resiko terjadinya periodontal terutama gingivitis.

Dalam pemicu ini yang akan dibahas adalah kelelahan, obesitas, sindrom metabolic, resistensi
insulin.
1.2 Deskripsi Topik

Skenario

Seorang laki-laki berumur 50 tahun, satang ke dokter gigi dengan keluhan depan bawahnya
goyang. Pada pemeriksaan inta oral terdapat gigi 42, 41, 31 dan 32 goyang. Dari anamnesis
diketahui pasien tidak pernah mengalami trauma pada giginya dan akhir – akhir ini pasien sering
sakit kepala. Tuan M. juga mengaku bahwa dia setiap harinya makan siangnya berupa makanan
siap saji dan pekerjaan sehari - hari sering duduk di depan computer, mengingat pekerjaannya
sebagai pegawai bank dan jarang berolah raga. Dari hasil pemeriksaan Tn. M. ditemukan BB =
90 kg dan TB = 165 cm.

Pemeriksaan fisik diagnostic:

TD = 130/80 mmHg, frekwensi nadi 80x/menit, frekwensi nafas 16x/menit


Hasil pemeriksaan Lab:
Darah rutin : 14,5 gr/dl, Leukosit: 7,500/mm3, LED: 10 mm/jam, Trombosit: 165,000/mm3.
Hitung jenis : 1/0/6/53/35/3
KGD: 110 mg/dl, KGD 2 jam pp: 160 mg/dl (normal: 70 – 100 mg/dl, post prandial: 135 – 140
mg/dl)
Kolesterol total: 270 mg/dl, Trigliserida: 203 mg/dl, LDL kolesterol: 194 mg/dl, HDL: 35 mg/dl.

II. PEMBAHASAN

1. Bagaimana patofisologi timbulnya rasa lelah ?

Kelelahan umumnya didefinisikan sebagai berkurangnya kinerja otot dibarengi sensasi rasa lelah
atau ketidakmampuan untuk mempertahankan power output otot. Penyebabnya dapat dikeranakan
oleh :
a. Adanya masalah dengan penyediaan energi, ATP + PC, glikolisa anaerobic.
b. Akumulasi hasil produk seperti H+, asam laktat.
c. Kegagalan mekanik otot untuk melakukan konsentrasi.
d. Perubahan sistem saraf (Kusnanik, dkk., 2011)1.
Peningkatan jumlah asam laktat menyebabkan menurunnya pH dari sel , penurunan pH
menyebabkan penurunan kecepatan reaksi dan menyebabkan penurunan kemampuan
metabolisme dan produksi ATP¹.
Kelelahan otot membatasi kinerja otot. Kelelahan otot dapat bersifat lokal maupun menyeluruh.
Dapat menyertai olahraga enduran maupun olahraga yang berintensitas tinggi yang berlangsung
singkat (Sarifin, 2010). Otot yang lelah adalah otot tidak bisa berkontraksi (Saryono, 2011)1.

Ketidakmampuan otot untuk berkontraksi disebabkan oleh ganguan :

1. Sistem saraf, yaitu saraf tidak dapat mengirimkan impuls ke otot-otot yang bersangkutan.
2. Tempat bertemu saraf dan otot (neuromuscular junction ).

Makanan yang mengandung glikogen mengalir dalam tubuh melalui peredaran darah. Setiap
kontraksi dari otot selalu diikuti reaksi kimia (oksidasi glukosa) yang merubah glikogen tersebut
menjadi tenaga, panas dan asam laktat (produk sisa).

Dalam tubuh dikenal fase pemulihan yaitu suatu proses untuk merubah asam laktat menjadi
glikogen kembali dengan adanya oksigen dari pernafasan sehingga memungkinkan otot-otot bisa
bergerak secara kontinyu, ini berarti keseimbangan kerja bisa dicapai dengan baik apabila kerja
fisiknya tidak terlalu berat¹.

Terdapat tiga hal yang menimbulkan kelelahan fisik yaitu¹ :

1. Oksidasi glukose dalam otot menimbulkan karbon dioksida (CO2), saerolactic, phosphati, dan
sebagainya, dimana zat-zat tersebut terikat dalam darah yang kemudian dikeluarkan waktu
bernafas. Kelelahan terjadi apabila pembentukan zat-zat tersebut tidak seimbang dengan
proses pengeluarannya sehingga timbul penimbunan dalam jaringan otot yang mengganggu
kegiatan otot selanjutnya.
2. Karbohidrat yang didapat dari makanan diubah menjadi glukosa dan disimpan di hati dalam
bentuk glukogin. Setiap 1 cm3 darah normal akan membawa 1 mm glukosa berarti setiap
sirkulasi darah hanya membawa 0,1 % dari sejumlah glikogen dalam hati akan menipis dan
kelelahan akan timbul apabila konsentarsi glikogen dalam hati tinggal 0,7 %.
3. Dalam keadaan normal jumlah udara yang masuk melalui pernafasan kira-kira 4 lt/ menit,
sedangkan dalam keadaan kerja keras dibutuhkan udara kira-kira 15 lt/menit. Ini berarti pada
suatu tingkat kerja tertentu akan dijumpai suatu keadaan dimana jumlah oksigen yang masuk
melalui pernafasan lebih kecil dari tingkat kebutuhan.
Jika hal ini terjadi maka kelelahan akan timbul karena reaksi oksidasi dalam tubuh yaitu untuk
mengurangi asam laktat menjadi H2O dan CO2 agar dikeluarkan dari tubuh menjadi tidak
seimbang dengan pembentukan asam laktat itu sendiri (asam laktat terakumulasi dalam otot atau
dalam peredaran darah)¹.
Suatu konsep menyatakan bahwa keadaan dan perasaan kelelahan timbul karena adanya reaksi
fungsionil dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri, yang bekerja atas pengaruh 2 sistem
antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem
penghambat ini terdapat dalam thalamus dan bersifat menurunkan kemampuan manusia untuk
bereaksi. Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat maka keadaan orang
tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya apabila sistem penghambat lebih
kuat dari sistem penggerak maka orang tersebut akan mengalami kelelahan.

Kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun mungkin beban kerjanya tidak
seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat dibandingkan sistem
penggerak (Sutaklaksana, 1979)1.

2. Jelaskan fungsi dan mekanisme regulasi hormon Insulin dan glucagon!

Fungsi Insulin

a. Mentranslokasi dari GLUT-4 transporter ke membran plasma dan mengalirkan atau


memasukkan glukosa, sintese glikogen, glikolisis dan sintesis asam lemak.
b. Mengontrol substrat masukan selular, secara jelas mencolok adalah glukosa di otot dan
jaringan adipose.
c. Memodifikasi aktivitas dari banyak enzim ( pengaruh allosterik ).
d. Meningkatkan sintesis glikogen – hormon insulin memfasilitasi masuknya glukosa ke sel hati
dan sel otot; kadar hormon insulin yang lebih rendah menyebabkan sel hati mengkonversi
glikogen menjadi glukosa dan mengeluarkannya ke dalam darah.
e. Meningkatkan sintesis asam lemak – hormon insulin memfasilitasi masuknya lemak dalam
darah ke jaringan adipose yang kemudian dapat dikonversi menjadi triglycerida; akan terjadi
sebaliknya jika kekurangan dari hormon insulin.
f. Menurunkan proteinolisis – mengurangi kekuatan dari pemecahan protein; kekurangan dari
hormon insulin menyebabkan pemecahan protein.
g. Menurunkan lipolisis – mengurangi kekuatan dari konversi dari simpanan sel lemaklipid ke
dalam asam lemak plasma; kekurangan dari hormon insulin menyebabkan sebaliknya.
h. Menurunkan gluconeogenesis – menurunkan produksi glukosa dari berbagai substrat di hati;
kekurangan insulin menyebabkan produksi glukosa dari variasi substrat pada hati dan di
tempat lain.
i. Meningkatkan ambilan/serapan amino asam – memfasilitasi penyerapan dari sirkulasi asam
amino; kekurangan insulin akan menghambat penyerapan.
Sintesis insulin dimulai dengan translasi RNA insulin dalam ribosom, menempel pada reticulum
endoplasma sel β dalam bentuk preprohormone insulin. Dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin. Kemudian dihimpun dalam
gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan
enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya
sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Sekresi insulin dapat dipengaruhi oleh perubahan pada
transkripsi gen, translasi, modifikasi post-translasi di badan
Golgi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pelepasan
insulin oleh granula sekretorik. Modifikasi jangka panjang
dapat terjadi melalui perubahan pada jumlah sel β dan
differensiasinya.
Glukosa mempengaruhi biosintesis dan sekresi insulin
dengan beberapa cara. Asam amino, asam lemak,
asetilkolin, pituitary adenylate cyclase-activating
polypeptide (PACAP), glucose-dependent insulinotropic
Proses ekspresi gen insulin dengan membentuk
proinsulin dan kemudian mengalami modifikasi polypeptide (GIP), glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan
postranslasi membentuk peptida C dan insulin yang
agonis yang lain juga berpengaruh pada proses biosintesis
matur.
dan pelepasan insulin (Wilcox, 2005)9.

Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian
disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Secara fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon
yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas8.

Fungsi Glukagon

Glukagon bekerja terutama di hati, tempat hormon ini menimbulkan berbagai efek pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yaitu:
a. Efek pada karbohidrat, mengakibatkan peningkatan pembentukan dan pengeluaran glukosa
oleh hati sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Glukagon menimbulkan efek
hiperglikemik dengan menurunkan sintesis glikogen, meningkatkan glikogenolisis, dan
merangsang glukoneogenesis.
b. Efek pada lemak, mendorong penguraian lemak dan menghambat sintesa trigliserida.
Glukagon meningkatkan pembentukan keton (ketogenesis) di hati dengan mendorong
perubahan asam lemak menjadi badan keton.
c. Efek pada protein, glukagon menghambat sintesa protein dan meningkatkan penguraian
protein di hati. Stimulasi glukoneogenesis juga memperkuat efek katabolik glucagon pada
metabolisme protein di hati. Walaupun meningkatkan katabolisme protein di hati, glukagon
tidak memiliki efek bermakna pada kadar asam amino darah karena hormon ini tidak
mempengaruhi protein otot, simpanan protein yang utama di tubuh.

Seperti sekresi insulin, faktor utama yang mengatur sekresi glukagon adalah efek langsung
konsentrasi glukosa darah pada pankreas endokrin. Ketika glukosa darah mengalami
penurunan maka sel α pankreas meningkatkan sekresi glukagon. Efek hiperglikemik hormon
ini cenderung memulihkan konsentrasi glukosa darah ke tingkat normal. Sebaliknya
peningkatan glukosa darah seperti yang terjadi setelah makan akan menghambat sekresi
glukagon yang juga cenderung memulihkan kadar glukosa ke kadar normal8.

3. Bagaimana mekanisme Terjadinya obesitas?

Obesitas merupakan suatu peningkatan massa jaringan lemak tubuh yang terjadi akibat
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi2.Mekanisme terjadinya obesitas
pada dasarnya merupakan akibat faktor genetik atau lingkungan dalam hal :

a. Pengendalian Asupan Makanan, Pengendalian asupan makanan melibatkan proses biokimiawi


yang menentukan rasa lapar dan kenyang termasuk penentuan selera jenis makanan, nafsu
makan dan frekuensi makannya. Besar dan aktifitas penyimpanan energi, terutama di jaringan
lemak dikomunikasikan ke sistem saraf pusat melalui mediator leptin dan sinyal transduksi lain.

Leptin disekresi adiposit ke sirkulasi dan ditranspor ke sistem saraf pusat untuk berikatan
dengan reseptor leptin di nukleus arkuatus hipotalamus. Ikatan ini merangsang sintesis pro-
opiomelanokortin (POMC). Dua zat yang dihasilkan dari POMC adalah alpha-melanocyte
stimulating hormone (α-MSH) dan adrenocorticotrophine (ACTH). Alpha-MSH selanjutnya
berikatan dengan reseptor melanokortin-4 (MC4-R) di nukleus paraventrikular hipotalamus
yang akan menyebabkan penurunan asupan makanan.

Secara genetik, kadar leptin individu kurus akan meningkat dan cukup untuk menghentikan
pertambahan badan setelah ada kenaikan berat badan 7 sampai 8 kg. Individu yang kenaikan
berat badannya melebih batas tersebut berarti tidak merespons leptin karena hormon tersebut
tidak mampu masuk ke darah otak atau terjadi mutasi pada satu atau beberapa tahapan kerja
leptin2. Mutasi gen. Gen penyandi leptin dan sinyal transduksi tersebut akan mempengaruhi
pengendali asupan makanan dan menjurus ke timbulnya obesitas.
b. Pengendalian Efisiensi Energi, Pengendalian efisiensi energi merupakan proses biokimiawi
yang mengendalikan tingkat besarnya energi yang digunakan dari makanan. Tinggi rendahnya
efisiensi metabolik berbeda antar individu dan komponen pengendalinya. Sifat ini secara
genetik diwariskan.
c. Pengendalian Adipogenesis, Pengendalian adipogenesis menghasilkan variasi karakteristik
jaringan lemak antar individu. Variasi tersebut berupa hipertrofi yang pada umumnya
didapatkan pada obesitas ringan, hiperplasi pada obesitas berat dan campuran keduanya pada
obesitas sedang.

Kajian tentang pengendalian adipogenesis ini berkaitan dengan konsep dasar diferensiasi dan
ekspresi gen adiposit. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi faktor transkripsi pendukung
adipogenesis, antara lain PPARγ dan C/EBP2.

4. Jelaskan patogenesis resistensi Insulin dan hubungannya dengan sindrom metabolik!

Resistensi insulin didefinisikan sebagai munculnya respons biologis / gejala klinis akibat
meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan dengan terganggunya
sensitivitas jaringan terhadap insulin yang diperantarai glukosa. Pada resistensi insulin terjadi
kerusakan pensinyalan pada Insulin reseptor substrate (IRS) maupun Phosphatidylinositol 3-
kinase (PI3K) yang menyebabkan gagalnya translokasi suatu molekul transmembran GLUT-4 ke
membran sel sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan digunakan oleh sel tersebut
sebagai sumber energi5.
Glukosa yang tidak terpakai ini akan menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang secara
klinis akan memberikan gambaran hiperglikemia (Immanuel, 2013). Resistensi insulin banyak
dipercayai sebagai denominator utama terjadinya sindroma metabolik, tiap penderita beresiko
berkembang penyakit kardiovaskuler dan komponen sindroma metabolik lainnya (seperti
hiperlipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia).

Penyebab utama terjadinya resistensi insulin adalah obesitas, terutama lemak visceral. Obesitas
disebabkan karena intake kalori yang berlebihan dan aktivitas inadequate dibandingkan
penggunaannya (Gerich , 2007). Penelitian di Italia pada obesitas ditemukan peningkatan asam
lemak bebas di dalam plasma akan menganggu sinyal kaskade insulin melalui peningkatan
fosforilasi serin/treonin (IRS) 1 dan 2.
Apabila terjadi peningkatan fosforilasi serin/treonin pada reseptor maka terjadi penurunan
fosforilasi tirosin. Penurunan fosforilasi tirosin akan menganggu kerja IRS 1 dan 2. Penurunan
fosforilasi tirosin akan menganggu kerja IRS 1 dan 2 untuk berikatan dengan PI3K, sehingga
terjadi hambatan pengambilan glukosa ke dalam sel oleh GLUT-4. Mekanisme terjadinya
resistensi insulin dapat diterangkan oleh beberapa jalur5:
✓ Induksi resistensi insulin karena faktor inflamasi. Hubungan antara inflamasi dan resistensi
insulin dimana sitokin proinflamatori TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dapat menginduksi
resistensi insulin. Akumulasi jaringan lemak pada obesitas akan meningkatan produksi berbagai
macam sitokin seperti TNF-α, IL-6 (Interleukin-6), resistin, leptin, adiponectin, MCP-1
(Monocyte Chemoattractant Protein-1) PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1), dan
angiotensinogen yang bertanggungjawab pada kondisi inflamatorik subakut pada obesitas
(Sulistyoningrum, 2010).
✓ Ketika intake kalori berlebihan dibandingkan pengeluaran energi, hal ini dapat menginduksi
meningkatnya mitokondria NADH (mNADH) dan reactive oxygen species (ROS) pada siklus
asam sitrat (Cerelio, 2005).
Jika ROS diproduksi terlalu berlebihan akan menurunkan aktivitas sel β pankreas, dan sel yang
lainnya, pada saat yang bersamaan hiperglikemia akan menginduksi signal ROS yang akan
menstimulasi sekresi insulin atau glucosa induced insulin secretion (GIIS) (Pitocco, 2013) 5.

5. Jelaskan Sindrom Metabolik sebagai komplikasi obesitas! (definisi, tanda-tanda dan gejala)

Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor resiko metabolik yang berkaitan langsung
terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik. Faktor resiko tersebut antara lain
terdiri dari dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa
plasma, keadaan prototrombik, dan proinflamasi. Sindroma metabolik muncul sebagai akibat dari
interaksi antara kerentanan genetik dan pola hidup (pola makan, merokok, aktivitas fisik), sosial
ekonomi. Komponen utama Sindrom Metabolik adalah obesitas9.

Tanda dan gejala sindrom metabolik umumnya samar. Umumnya sindrom metabolik adalah
sekumpulan kondisi yang terjadi secara bersamaan seperti peningkatan tekanan darah, kadar gula
darah yang tinggi, kelebihan lemak disekitar pinggang, serta kelainan kadar kolesterol yang tidak
biasa 5. Fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas central menjadi indikator utama terjadinya SM
sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005.
Seseorang dikatakan menderita SM bila ada: Obesitas sentral (lingkar perut >90 cm untuk pria
Asia dan lingkar perut >80 cm untuk wanita Asia) ditambah terdapat 2 dari 4 faktor berikut : (1)
Trigliserida >150 mg/dL (1,7 mmol/L), (2) HDL–C: <40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <50
mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita, (3) Tekanan darah: sistolik >130 mmHg atau diastolik >85
mmHg, (4) Gula darah puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2 5.

6. Bagaimana proses metabolisme lipoprotein normal

Metabolisme lipoprotein dibagi atas tiga jalur yaitu jalur metabolisme eksogen, endogen, dan jalur
reverse cholesterol transport. Kedua jalur pertama berhubungan dengan metabolisme kolesterol-
LDL dan trigliserida, sedangkan jalur reverse cholesterol transport dikhususkan ke metabolisme
kolesterol-HDL3.

Jalur eksogen

Makanan berlemak yang kita makan terdiri dari trigliserida dan kolesterol. Trigliserida diserap di
enterosit usus halus dalam bentuk asam lemak bebas, sedangkan kolesterol diserap dalam bentuk
kolesterol ester. Keduanya kemudian diubah kembali ke bentuk semula di dalam usus halus, lalu
bersama dengan fosfolipid dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan
kilomikron. Kilomikron masuk ke saluran limfe dan melalui duktus torasikus akan masuk ke aliran
darah.

Trigliserida dalam kilomikron akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang
berasal dari sel endotel menjadi asam lemak bebas (free fatty acid (FFA). Kemudian FFA dapat
disimpan kembali sebagai trigliserida dalam jaringan adiposa.
Kilomikron kemudian berubah menjadi kilomikron remnant setelah kehilangan trigliserida dengan
sisa kolesterol ester lalu dibawa ke hati3.

Jalur endogen

Lipoprotein VLDL di sirkulasi terbentuk dari hasil sintesis trigliserida dan kolesterol di hati.
Trigliserida di VLDL dalam sirkulasi akan mengalami hidrolisis oleh LPL dan VLDL berubah
menjadi IDL yang kemudian akan terhidrolisis menjadi molekul yang lebih kecil yaitu LDL.
VLDL, IDL, dan, LDL sebagian akan kembali ke hati dan mengembalikan kolesterol ester.
Kolesterol di LDL sebagian akan diangkut kembali ke hati dan juga ke jaringan steroidgenik
seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang memiliki reseptor untuk kolesterol LDL. LDL di
sirkulasi mudah teroksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag endotel
pembuluh darah dan akan menjadi sel busa (foam cell) 3.
Jalur Reverse Cholesterol Transport

HDL bermula sebagai HDL nascent yang memiliki kadar kolesterol yang rendah. HDL nascent
berasal dari usus halus dan hati. HDL nascent mendekati makrofag dan mengambil kolesterol yang
tersimpan di makrofag. Kolesterol di endotel dibawa ke permukaan oleh triphosphate-binding
cassete transporter-1 (ABC-1). Kolesterol bebas dari makrofag kemudian diesterifikasi menjadi
kolesterol ester oleh enzim lechitin cholesterol acyltransferase (LCAT) 3.

Terjadi dua jalur pengiriman kolesterol ester. Jalur pertama adalah ke hati dan ditangkap oleh
scavenger receptor class B type 1 (SR-B1). Jalur berikutnya adalah kolesterol ester dalam HDL
ditukar dengan trigliserida dari VLDL dan LDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein3.

7. Bagaimana perbandingan kadar lipid profile terhadap risiko terjadinya penyakit kardiovaskular?

Kadar HDL rendah dan tingginya kadar LDL memegang peranan penting terhadap
perkembangnya penyakit coronary artery disease (CAD) dan dikenal sebagai terminologi
dislipidemia yang menggambarkan gambaran yang abnormal termasuk kadar lipoprotein yang
tinggi ataupun rendah.

Rekomendasi profil lipid yang diperiksa secara rutin adalah kolesterol total, kolesterol LDL,
kolesterol HDL, dan TG. Pemeriksaan parameter lain seperti apoB, apoA1, Lp(a), dan small
dense LDL tidak dianjurkan diperiksa secara rutin (PERKI, 2013)4.

Menurut Framingham Study menyatakan pria pada usia pertengahan dengan nilai cakupan kadar
total kolesterol 227 mg/dl , HDL 43 mg/dl, LDL 151 mg/dl rasio total kolesterol dan HDL sebesar
5.6 dapat terjadi Cardiovaskular Hearth Disease (CHD).

Pada wanita resiko terjadinya CHD makin bertambah dengan bertambahnya usia (Dupont, 2006).
terdapat hubungan antara kadar LDL >130 mg/dL dan kejadian CHD pada subyek penelitian
yang diteliti. Bila kadar LDL tinggi, maka kolesterol yang diangkut oleh LDL dapat mengendap
pada lapisan subendotelial, oleh sebab itu LDL bersifat aterogenik, yaitu bahan yang dapat
menyebabkan terjadinya aterosklerosis4.

8. Jelaskan Kriteria diagnostik Sindrom Metabolik secara klinis dan laboratorium!

Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah di ajukan, yaitu definisi World Health Organization
(WHO), NCEP ATP–III dan International Diabetes Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut
memiliki komponen utama yang sama dengan penentuan kriteria yang berbeda7.
Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan definisi SM dengan
komponen – komponennya antara lain : (1) gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2)
resistensi insulin (3) hipertensi (4) dislipidemia dengan trigliserida plasma >150 mg/dL dan/atau
kolesterol high density lipoprotein (HDL–C) <35 mg/dL untuk pria; <39 mg/dL untukwanita; (5)
obesitas sentral (laki–laki: waistto–hip ratio >0,90; wanita: waist–to–hip ratio >0,85) dan/atau
indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2; dan (6) mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate
>20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin >30 mg/g). Sindrom metabolik dapat terjadi apabila
salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu
tersebut7.

penerapan kriteria diagnosis NCEP–ATP III adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar
pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO mengusulkan
lingkar pinggang untuk orang Asia ≥90 cm pada pria dan wanita ≥ 80 cm sebagai batasan obesitas
central. Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP–ATP III, yaitu
apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati.

Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas central menjadi indikator utama
terjadinya SM sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun
2005. Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut >90 cm untuk
pria Asia dan lingkar perut >80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1)
Trigliserida >150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk
hipertrigliseridemia; (2) HDL–C: <40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <50 mg/dL (1,29
mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL–C; (3)
Tekanan darah: sistolik >130 mmHg atau diastolik >85 mmHg atau sedang dalam pengobatan
hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2 7.

9. Jelaskan patogenesis sindrom metabolik!


Mekanisme yang dipercaya menyebabkan terjadinya sindroma metabolik hingga saat ini
bersumber pada resistensi insulin dan obesitas sentral (viseral). Lemak viseral secara metabolik
lebih aktif daripada lemak perifer. Penumpukan sel lemak akan meningkatkan asam lemak
bebas/NEFA dari hasil lipolisis, yang akan menurunkan sensitifitas terhadap insulin. Peningkatan
NEFA di liver akan meningkatkan gluconeogenesis, meningkatkan produksi glukose dan
menurunkan ekstraksi insulin, sehingga terjadi hiperinsulinemia. Diotot akan menurunkan
pemakaian glukose dan di sel α pankreas akan menurunkan sekresi insulin 6.
Sel lemak juga mengeluarkan sitokin (adipositokin) seperti angiotensin, TNF α, resistin dan
leptin yang berhubungan dengan penurunan resistensi terhadap insulin. TNF α menyebabkan
resistensi dengan cara menghambat aktifitas tirosin kinase pada reseptor insulin dan menurunkan
ekspresi glucose transport er-4 (GLUT-4) di sel lemak dan otot. Sementara adiponectin yang
dapat menurunkan resistensi terhadap insulin, kadarnya menurun pada sindroma metabolik.
Resistensi insulin dan hiperinsulinema ini pada gilirannya akan menyebabkan perubahan
metabolik, sehingga timbul hipertensi, dislipidemia, peningkatan respon inflamasi dan koagulasi,
melalui mekanisme yang komplek; diantaranya mekanisme disfungsi endotel dan oksidatif stres.
Resistensi insulin semakin lama semakin berat dan sekresi insulin akhirnya menurun, sehingga
terjadi hiperglikemia dan manifestasi DM type 2 5.

Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme Lemak akan menyebabkan produksi
ROS meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adipose
dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim
antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif.
Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal
patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis 6.

10. Jelaskan Komplikasi sindrom metabolik!


Beberapa komplikasi sindroma metabolik meliputi penyakit jantung koroner, gagal jantung,
stroke, dan komplikasi lain meliputi peningkatan terjadinya risiko fibrilasi atrium,
tromboembolisme vena, dan kematian mendadak serta penurunan fungsi kognitif5.

Sindroma metabolik berkontribusi terhadap respon inflamasi baik dengan mekanisme


aterosklerosis atau inflamasi atau keduanya di mana keduanya berkontribusi terhadap penurunan
fungsi kognitif5.

Diduga hipertensi pada sindroma metabolik terjadi akibat peningkatan reabsorsi sodium dan air,
sehingga terjadi ekspansi volume intra-vaskular yang berhubungan dengan hiperinsulin. Pada
pasien sindroma metabolik kerusakan organ target yang sering ditemui di jantung adalah
hipertrofi ventrikel kiri, atrium kiri yang lebih besar, fractional shortening yang lebih rendah dan
deceleration time yang lebih panjang, ini semua menggambarkan fungsi jantung yang lebih
buruk5.

Pada pembuluh darah, kelainannya berupa aterosklerosis arteri carotis, carotid stiffness dan aortic
stiffness. Sedangkan di ginjal lebih sering ditemukan mikroalbuminuria. Semua kelainan diatas
merupakan prediktor independen dari morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular.
Retinopati juga lebih sering dijumpai pada pasien sindroma metabolik yang disertai tekanan
darah tinggi5.

Pasien sindroma metabolik sangat mudah menderita gagal jantung, disamping masing-masing
faktor seperti DM tipe2/resistensi insulin maupun hipertensi sendiri juga dapat menyebabkan
gagal jantung. Kejadian penyakit jantung koroner yang menyebabkan disfungsi miokard juga
memperbanyak prevalensi gagal jantung pada populasi sindroma metabolik. Dengan adanya
proses inflamasi dan HDL yang rendah pada pasien sindroma metabolik, proses remodeling
jaringan jantung sangat mudah terjadi, terutama setelah oklusi arteri koroner. Keberadaan faktor
tersebut bersama sama memperberat dan mempercepat timbulnya gagal jantung pada sindroma
metabolik5.

11. Sebutkan Penatalaksanaan non-farmakologi pada obesitas dan sindrom metabolik!

Intervensi terhadap penurunan sensitifitas insulin atau diabetes melitus merupakan faktor kunci
keberhasilan pengobatan sindroma metabolik, yaitu dengan cara mengubah gaya hidup agar berat
badan turun hingga mencapai tingkat ideal6.

Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah; pengaturan diet dan peningkatan aktifitas fisik
(latihan yang berkesinambungan, dengan interval dan berirama, bertahap sesuai kemampuan
fisik) sehingga kemampuan kardiorespirasi meningkat. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa, latihan fisik dan penurunan berat badan terbukti mampu meningkatkan sensitivitas
terhadap insulin. Latihan fisik juga dapat meningkatkan aktivitas ensim lipolisis dan
meningkatkan kadar HDL serta menurunkan kadar trigliserida6.

Makanan cepat saji yang tinggi lemak dan glukosa, akan merangsang inflamasi sehingga
menimbulkan resistensi insulin dan seharusnya dihindari. Asupan makanan tidak hanya
diperhitungkan total kalori saja, namun perlu diperhatikan komponennya. Dietary Approaches to
Stop Hypertension (DASH) merupakan salah satu contoh diet rendah garam dan kaya sayur/buah
berserat. DASH mengandung lemak jenuh yang kecil dan rendah kolesterol. Kandungan
potasium dan calsiumnya lebih tinggi, dengan kadar total sodium 2.4 gram perhari merupakan
salah satu alternatif. Dengan diet ini terbukti menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 11.5
mmHg dan tekanan darah diastolik 6.5 mmHg, serta menaikkan HDL sebesar 8.5 mg/dL,
menurunkan TG sebesar 16 mg/dL, menurunkan berat badan 15 kg selama 6 bulan.

Pengurangan sebesar 20-30% dari total kebutuhan kalori perhari dapat diterapkan pada pasien
dengan berat badan lebih atau obesitas.
Diet dengan susunan: 30% kalori dari lemak, 25% dari protein dan 55% dari karbohidrat dapat
dipakai untuk menurunkan kadar trigliserida dan dapat menurunkan berat badan. Apabila belum
tercapai target penurunan berat badan, porsi karbohidrat dapat dikurangi dan diganti dengan
lemak monounsaturated.

Menurut Konsesus Ikatan Dokter Anak Indonesia 2014, komponen sindrom metabolik dapat
mengalami perbaikan dengan tata laksana yang memprioritaskan program tata laksana berat
badan yang intensif, disamping modifikasi gaya hidup dan tata laksana faktor risiko klinis lain
terkait dengan penyakit kardiovaskular6. Kemudian melakukan pemantauan seperti :

• Penerapan healthy lifestyle.


• Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap umur dan lingkar pinggang dievaluasi setiap sebulan
sekali.
• Pemantauan dislipidemia dilakukan setiap bulan sampai nilai normal.

III. KESIMPULAN

Dalam topik ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pola konsumsi makanan instant (fast food
dan junk food), yang tinggi kalori, lemak dan kolesterol dibarengi dengan gaya hidup yang kurang
gerak mengakibatkan peningkatan munculnya berbagai penyakit, seperti penyakit jantung coroner,
dibetes, hipertensi, maupun obesitas yang beresiko terhadap kejadian sindrom metabolik.

Mekanisme yang dipercaya menyebabkan terjadinya sindroma metabolik hingga saat ini bersumber
pada resistensi insulin dan obesitas sentral (visceral).

Resistensi insulin banyak dipercayai sebagai denominator utama terjadinya sindroma metabolik, tiap
penderita beresiko berkembang penyakit kardiovaskuler dan komponen sindroma metabolik lainnya
(seperti hiperlipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia).

Penyebab utama terjadinya resistensi insulin adalah obesitas, terutama lemak visceral. Obesitas
disebabkan karena intake kalori yang berlebihan dan aktivitas inadequate dibandingkan
penggunaannya (Gerich , 2007).

Komponen sindrom metabolik dapat mengalami perbaikan dengan tata laksana yang
memprioritaskan program tata laksana berat badan yang intensif, disamping modifikasi gaya hidup
dan tata laksana faktor risiko klinis lain terkait dengan penyakit kardiovaskular.
Perubahan pola hidup dengan pengaturan diet dan peningkatan aktifitas fisik (latihan yang
berkesinambungan, dengan interval dan berirama, bertahap sesuai kemampuan fisik) sehingga
kemampuan kardiorespirasi meningkat. Latihan fisik dan penurunan berat badan terbukti mampu
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin. Latihan fisik juga dapat meningkatkan aktivitas ensim
lipolisis dan meningkatkan kadar HDL serta menurunkan kadar trigliserida.

Makanan cepat saji yang tinggi lemak dan glukosa, akan merangsang inflamasi sehingga
menimbulkan resistensi insulin dan seharusnya dihindari.

Daftar pustaka

1. Perwata IMT. Kelelahan dan recorvery dalam olahraga. Jurnal pendidikan kesehatan rekreasi.
2015 juni;1:2-13.
2. Indra MR. Dasar genetik obesitas viseral. Jurnal Kedokteran brawijaya. 2006 April;22(1):10-19.
3. Jim El. Metabolisme lipoprotein. JBM. 2013 November;5(3):149-156
4. R ma'ruti, L Rosita. Hubungan dislipidemia dan kejadian jantung koroner. JKKI.2014 jan-
april;6(1): 47-53.
5. Rini S. Sindrom metabolik. J Majority. 2015 februari;4(4):88-93.
6. Rohman MS. Patogenesis dan Terapi Sindroma Metabolik. J Kardiol Ind. 2007 maret ;28(2):160-
168.
7. Pulungan AB, Marzuki ANS, Madarina J, Rosalina I, Damayanti W, Yanuarso PB,dkk.
Diagnosis Tata laksana sindrom metabolik pada anak dan remaja. 1st ed. Melita, editor.
Jakarta:ikatan dokter anak Indonesia,2014. 13p.
8. Hafiz Sowoto, Hormon-Hormon yang Berperan pada Proses Metabolisme, Dep. Bikimia dan
Biologi Molekuler FKUI, 2009
9. Risma, Mekanisme Selular dan Molekular Resistensi Insulin, Program Pasca Sarjana Ilmu
Biomedik, Program Double Degree Neurologi, Fak. Kedokteran Universitas Brawijaya Malang,
2012

Anda mungkin juga menyukai