Anda di halaman 1dari 10

IMPLEMENTASI HUKUM OMNIBUS LAW TERKAIT

PERTAHANAN KEAMANAN MARITIM INDONESIA

Abraham Ethan Martupa Sahat Marune


Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
Email: index.abraham@gmail.com

Abstrak
Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan visinya untuk
mengubah Indonesia menjadi kekuatan maritim global. Yang mendasari visi ini
adalah realisasi baru dari kepentingan geostrategis Indonesia dan lingkungan
strategis yang berubah. Sementara ancaman keamanan maritim non-tradisional,
trans-nasional seperti pembajakan, perampokan bersenjata dan penyelundupan
dan perdagangan manusia terus mengancam ketertiban di yurisdiksi maritim
Indonesia, ancaman militer konvensional yang lebih tradisional muncul kembali
sebagai kekuatan besar seperti Cina, Amerika Serikat, Australia, dan India terus
memperluas bidang minat strategis mereka. Jenis penelitian hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Metode
pendekatan yang digunakan berdasarkan penelitian hukum normatif adalah
metode pendekatan perundang-undangan dengan mempelajari semua peraturan
terkait penghindaran pajak di Indonesia. Saat ini, berbagai undang-undang
mengatur berbagai lembaga penegakan hukum di laut. Setiap lembaga memiliki
mandat yang berbeda di zona maritim tertentu. Misalnya, Angkatan Laut
Indonesia dan BAKAMLA serta Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki
wewenang untuk melakukan penegakan hukum hingga Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE). Polisi air hanya memiliki wewenang di perairan kepulauan Indonesia, air
internal, dan laut teritorial. Dalam praktiknya, tidak ada model ideal tunggal untuk
penegakan hukum di laut. Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan
Keamanan sedang membahas RUU yang diusulkan untuk keamanan maritim.
Namun, penting untuk memastikan bahwa undang-undang baru tentang keamanan
maritim menegaskan kembali institusi mana yang akan memimpin inisiatif ini.
Lembaga-lembaga terkemuka diperlukan karena beberapa alasan.
Kata Kunci: Maritim; Omnibus Law;Pertahanan Indonesia
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis
pantai ± 81.000 km, dan 17.499 pulau yang terdiri dari 5.698 pulau bernama dan
11.801 pulau tanpa nama (Lestari, 2015). Konsep negara kepulauan yang diatur
dalam Konvensi PBB tentang Hukum Maritim Internasional (Konvensi PBB
tentang Laut / UNCLOS) pada tahun 1982 diratifikasi oleh Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 (Undang-Undang RI, 1985). Secara wilayah, Indonesia
memiliki wilayah hukum nasional ± 7,8 juta km². ± 5,9 juta km² atau dua pertiga
dari yurisdiksi nasional Indonesia adalah lautan, 2,7 juta km2 di antaranya adalah
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sedangkan sisanya (± 3,2 juta km²)
adalah laut teritorial, perairan pulau, dan perairan pedalaman.
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa penegakan kedaulatan maritim
adalah salah satu program utama untuk mewujudkan Indonesia sebagai tumpuan
maritim global (Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia, 2015). Konsep Global
Maritime Fulcrum telah dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai tumpuan maritim global, Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo, menyatakan lima pilar utama kebijakan
fulcrum maritim global, di mana pilar kelima dinyatakan bahwa pemerintah akan
membangun kekuatan pertahanan maritim (Indonesia Sebagai Poros Maritim
Dunia, 2015). Selain itu, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor
2017 (RI, 2017) tentang Kebijakan Maritim Indonesia. Dalam salah satu dari 7
pilar tersebut ditentukan bahwa kebijakan maritim Indonesia akan memiliki pilar
yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. Dengan kebijakan pemerintah
ini, kata maritim dan pertahanan laut, yang dulunya hanya menjadi bagian dari
Angkatan Laut Indonesia, menjadi kata kunci di antara lembaga-lembaga
pemerintah di Indonesia serta organisasi non-pemerintah..
Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan visinya untuk
mengubah Indonesia menjadi kekuatan maritim global. Yang mendasari visi ini
adalah realisasi baru dari kepentingan geostrategis Indonesia dan lingkungan
strategis yang berubah. Sementara ancaman keamanan maritim non-tradisional,
trans-nasional seperti pembajakan, perampokan bersenjata dan penyelundupan
dan perdagangan manusia terus mengancam ketertiban di yurisdiksi maritim
Indonesia, ancaman militer konvensional yang lebih tradisional muncul kembali
sebagai kekuatan besar seperti Cina, Amerika Serikat, Australia, dan India terus
memperluas bidang minat strategis mereka.
Karena bertentangan dengan doktrin kebijakan luar negeri yang terlalu
optimis sebelumnya, banyak yang berhati-hati tentang Global Maritime Fulcrum
(GMF) ketika pertama kali diluncurkan. Itu dianggap sebagai tanda Indonesia
mulai meninggalkan kebijakan luar negeri dan keamanannya yang sederhana;
Indonesia dianggap lebih berwawasan ke luar dan bahkan tegas dalam mengejar
kepentingan strategisnya. Memang, doktrin kebijakan luar negeri GMF, antara
lain, berupaya membangun kemampuan pertahanan maritim negara untuk
memungkinkannya memainkan peran aktif di Samudra Hindia dan Pasifik, dua
lautan yang menekan Indonesia. Visi puluhan tahun tentang memiliki angkatan
laut air hijau tampaknya akhirnya terlihat.

Metode
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Menurut Fajar et. al (2014:34), penelitian hukum
normatif adalah penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai sistem
norma. Sistem norma yang dimaksud adalah tentang prinsip, norma, aturan
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian dan doktrin.
Metode pendekatan yang digunakan berdasarkan penelitian hukum normatif
adalah metode pendekatan perundang-undangan dengan mempelajari semua
peraturan terkait keamanan maritim di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan


1. Kondisi Keamanan Maritim di Indonesia
Angkatan Laut Indonesia (TNI-AL), meskipun reformasi kelembagaan dan
pengenalan teknologi baru, sejauh ini gagal memfokuskan diri pada peran
pertahanan tradisional angkatan laut. Sebaliknya, Angkatan Laut Indonesia
tampaknya enggan menyerahkan peran penegakan hukum maritim dan keamanan
internal maritim yang telah lama ada ke otoritas sipil maritim. Hasilnya adalah
peran dan tanggung jawab yang tumpang tindih dan, karenanya, ketidakefisienan
dan ketidakefektifan keamanan maritim Indonesia.
Dilihat dari situ, ini tidak lebih dari sekadar masalah pengaturan
,kelembagaan atau perubahan regulasi; pemeriksaan yang lebih dekat terhadap
kasus tersebut akan mengungkapkan bahwa masalahnya jauh melampaui itu.
Keengganan TNI ‑ AL untuk melepaskan penegakan hukum dan keamanan
maritimnya di perairan internal dan kepulauan, kami berpendapat, hanya dapat
dipahami jika kita melihat lebih dekat pada bagaimana peran dan tanggung jawab
yang dirasakan saat ini dari TNI, khususnya TNI ‐ AL, dibentuk oleh interpretasi
sifat geografis negara serta pengalaman sejarah. Artikel ini berupaya menjelaskan
fenomena ini dengan melihat bagaimana budaya strategis maritim Indonesia telah
mencegah TNI-AL untuk semata-mata fokus pada peran pertahanan angkatan laut
dan melepaskan penegakan hukum dan keamanan maritim di perairan internal
dan kepulauan.
2. Kondisi Perbatasan Laut Indonesia yang Rentan
Melindungi kedaulatan wilayah adalah prioritas utama kebijakan luar negeri
Indonesia. Untuk tujuan itu, pemerintahan Jokowi tampaknya bertekad untuk
menegakkan kedaulatan teritorial terhadap segala intrusi dan mengintensifkan
diplomasi untuk menyelesaikan perbatasan dengan negara-negara tetangga.6
Meskipun lingkungan yang relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir, laporan
ini mengidentifikasi setidaknya tiga masalah dengan dampak signifikan terhadap
keamanan dan stabilitas domain maritim Indonesia. Garis perbatasan yang belum
terselesaikan telah menjadi perhatian utama bagi para pembuat kebijakan luar
negeri dan pertahanan Indonesia. Berdasarkan jajak pendapat baru-baru ini, 25
persen responden Indonesia percaya bahwa serangan perbatasan dan agresi
militer asing adalah salah satu ancaman utama terhadap kedaulatan nasional.
Mengacu pada dokumen resmi yang menguraikan manajemen perbatasannya,
negara tersebut terlibat dalam sengketa teritorial atas tiga perbatasan darat dan
tujuh wilayah maritim.
Masalah besar lainnya adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan
tidak diatur. Stok ikan yang menipis di Asia Tenggara telah menyebabkan
armada perikanan asing menjelajah ke wilayah negara lain, menciptakan
ketegangan antara Indonesia dan negara-negara tetangganya. Pada tahun 2014,
misalnya, otoritas penegak hukum kelautan telah menyita lebih dari seratus kapal
asing untuk perburuan ikan di laut Indonesia. Mengacu pada perkiraan resmi,
Indonesia setiap tahunnya menghadapi kerugian sedikitnya US $ 24 miliar karena
maraknya penangkapan ikan ilegal oleh Cina, Malaysia, Filipina, Thailand, dan
Vietnam.
Menanggapi masalah ini, Presiden Widodo telah memerintahkan tindakan
garis keras untuk menenggelamkan kapal nelayan asing yang memasuki perairan
Indonesia secara tidak sah. Dalam upaya untuk mengecilkan masalah regional,
pemerintahannya telah berulang kali menekankan bahwa arahan presiden sesuai
dengan hukum nasional yang ada. Risiko menargetkan perahu nelayan Thailand
dan Vietnam tidak akan signifikan karena pemerintah masing-masing tampaknya
ragu untuk mengganggu undang-undang negara yang berdaulat. Sejumlah kapal
Tiongkok juga telah disita tetapi tidak dihancurkan, menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia menyadari implikasinya yang serius. Sebaliknya, ia
mengambil langkah-langkah yang lebih lunak dengan membatalkan hak istimewa
baru-baru ini dari perusahaan perikanan China untuk beroperasi di laut Indonesia.
Masalah ketiga adalah pembajakan laut atau perampokan. Hingga saat ini,
serangan terhadap kapal komersial masih sering terjadi di perairan Indonesia dan
wilayah perbatasan laut, terutama Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Bagi
Indonesia, pembajakan adalah masalah dalam negeri yang dapat diatasi dengan
langkah-langkah internal tanpa campur tangan asing. Terlepas dari patroli laut
yang terkoordinasi di antara negara-negara pesisir, masih ragu untuk mengambil
bagian dalam upaya multilateral non-ASEAN untuk memerangi pembajakan,
seperti Perjanjian Kerjasama Regional yang disponsori Jepang tentang
Memerangi Pembajakan dan Perampokan Bersenjata melawan Kapal (ReCAAP)
di Asia. Namun, dengan tujuan untuk melindungi wilayah maritim negara itu,
pemerintah Indonesia baru-baru ini membentuk Badan Keamanan Maritim untuk
mengoordinasikan patroli laut bersama yang melibatkan dua belas lembaga
penegak hukum kelautan secara lebih baik.
3. Doktrin Maritim Indonesia
Di bawah kepemimpinan Presiden Widodo, pemerintahan baru di Jakarta
tampaknya bertekad untuk menjunjung tinggi apa yang disebut "Tiga Prinsip"
(Trisakti), pedoman normatif yang membayangkan Indonesia menjadi kekuatan
berdaulat dengan ekonomi yang tangguh dan masyarakat multi-budaya. Sejalan
dengan itu, Presiden baru berupaya mengubah postur diplomatik negara itu dan
meningkatkan ekonominya sehingga menjadi kekuatan maritim yang terhormat.
Karenanya, pada KTT Asia Timur ke-9 pada November 2014, Presiden Widodo
menguraikan konsepnya tentang Indonesia sebagai Global Maritime Fulcrum
(GMF) yang berfokus pada lima bidang utama, budaya maritim, sumber daya
laut, konektivitas kepulauan, diplomasi maritim, dan pengembangan angkatan
laut.
Gagasan utama GMF adalah untuk membina identitas maritim negara
tersebut. Menegaskan kembali pandangan kepulauan yang telah lama ada,
Presiden Widodo menghargai perairan di sekitar kepulauan Indonesia karena
potensi ekonomi dan kekuatan nasionalnya, daripada menganggapnya sebagai
kerugian alami. Dengan tujuan untuk memperluas ekonomi Indonesia, konsep
GMF akan meningkatkan konektivitas dan infrastruktur laut, seperti membangun
jalan raya laut, membangun pelabuhan laut dalam dan jaringan logistik, serta
mengembangkan pariwisata maritim asli, industri perikanan dan perkapalan. Ia
juga berupaya memelihara dan mengelola sumber daya laut untuk memastikan
kedaulatan pangan negara.
Doktrin maritim yang baru menyoroti rekonseptualisasi kepentingan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang secara geografis
terletak di persimpangan berbagai kepentingan utama. Dalam dokumen yang
menguraikan agenda kebijakan lima tahunnya, Presiden Widodo berupaya untuk
memfokuskan kembali kebijakan luar negeri Indonesia dan memposisikan negara
dalam urusan internasional. Secara khusus, ia akan mengejar kebijakan luar
negeri kepulauan yang berorientasi pada lima bidang utama: (i) diplomasi
maritim untuk mempromosikan penyelesaian sengketa perbatasan negara, (ii)
menjaga integritas teritorial negara, kedaulatan maritim, keselamatan dan
kesejahteraan sosial di kepulauan luarnya (iii) menjaga sumber daya nasional dan
zona ekonomi eksklusif (ZEE), (iv) mengintensifkan diplomasi pertahanan; dan
(v) berkurangnya persaingan maritim di antara kekuatan-kekuatan utama dan
mempromosikan penyelesaian sengketa wilayah secara damai di wilayah
tersebut.
Mempromosikan konsep GMF, pemerintahan Widodo sengaja bertujuan
memproyeksikan Indonesia sebagai kekuatan Indo-Pasifik. Ia melihat semakin
terhubungnya Samudra Pasifik dan India (PACINDO) sebagai teater utama dari
keterlibatan kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam upaya untuk meningkatkan
kehadiran diplomatiknya di kawasan ini, pemerintah Indonesia akan melakukan
langkah-langkah kebijakan berikut, (i) mengkonsolidasikan kepemimpinan
Indonesia dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), (ii)
memperkuat sentralitas dan kerja sama di dalam kawasan pengelompokan, (iii)
membangun arsitektur keamanan regional yang kohesif untuk menghindari
bangkitnya kekuatan yang lebih besar, (iv) memperdalam dan mengembangkan
kemitraan strategis bilateral, (v) mengelola dampak integrasi ekonomi regional
dan perdagangan bebas pada kepentingan ekonomi nasional, dan ( vi)
mempromosikan kerja sama maritim yang komprehensif, khususnya di bawah
kerangka Asosiasi Lingkar Samudera Hindia (IORA).
Dalam urusan pertahanan dan militer, doktrin maritim baru membayangkan
pengembangan kekuatan angkatan laut regional yang tangguh. Untuk tujuan itu,
pemerintahan Widodo telah mengindikasikan kebutuhan untuk memodifikasi
perencanaan pertahanan yang ada dari strategi kekuatan esensial minimum
minimum (MEF) ke arah postur pertahanan yang lebih ambisius. Modernisasi
pertahanan tidak hanya penting untuk memastikan kedaulatan wilayah Indonesia
dan melindungi sumber daya kelautannya, tetapi juga untuk mempertahankan
navigasi yang bebas dan aman melalui jalur perdagangan laut negara ini. Selain
itu, untuk meningkatkan otonomi Indonesia pada materi pertahanan, Presiden
Widodo telah menjelaskan bahwa ia akan mempertahankan komitmen
pendahulunya untuk membangun kembali industri strategis asli dan memperluas
kerja sama industri pertahanan dengan mitra potensial.
Secara keseluruhan, GMF adalah konsep menyeluruh untuk pengembangan
politik dan ekonomi di Indonesia. Di tengah tantangan nasional dan regional,
membangun kembali budaya kepulauan Indonesia dan mewujudkan ambisi
kekuatan maritimnya adalah investasi jangka panjang. Mengembangkan
kemampuan untuk kesadaran domain maritim yang komprehensif tentu
membutuhkan komitmen politik yang kuat yang melampaui jangka waktu lima
tahun. Pengeluaran pertahanan yang lebih tinggi juga merupakan subjek
pandangan ekonomi positif dan bidang-bidang prioritas pengeluaran yang
bersaing, seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan infrastruktur. Sementara
mengatasi kendala budaya untuk reformasi pembentukan keamanan nasional,
Indonesia semakin menghadapi berbagai tantangan strategis dan masalah
keamanan transnasional.
4. Omnibus law Terkait Keamanan Maritim Indonesia
Selama beberapa bulan terakhir, hukum omnibus telah menjadi mantra
populer di seluruh Indonesia. Presiden Indonesia, pemerintahan Joko Widodo
saat ini sedang mencoba untuk melakukan lompatan besar dalam menciptakan
lapangan kerja dengan mengusulkan undang-undang omnibus tentang pekerjaan
dan perpajakan. Undang-undang omnibus menggabungkan beberapa undang-
undang menjadi satu. Undang-undang omnibus adalah undang-undang yang
dibuat untuk masalah tertentu yang mungkin memengaruhi dengan mengubah
atau membatalkan undang-undang tertentu untuk membuatnya lebih
disederhanakan. Memang, telah diketahui secara luas bahwa Indonesia memiliki
banyak undang-undang yang rumit dan terkadang saling bertentangan. Kadang-
kadang juga menyebabkan efek yang tumpang tindih antara otoritas dari berbagai
daerah.
Salah satu bidang, yang rumit dan membutuhkan perhatian serius dari
pemerintah, adalah sektor keamanan maritim. Saat ini, Indonesia memiliki
setidaknya 17 undang-undang yang mengatur penegakan hukum di laut dengan
sembilan lembaga penegak hukum yang beroperasi. Beberapa di antaranya adalah
Angkatan Laut Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polisi Air,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi, Bea Cukai, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Energi, dan Imigrasi. Memang, sebagai negara
kepulauan yang luas sekitar 3,25 juta kilometer persegi, keamanan maritim
sangat penting bagi Indonesia, tidak hanya untuk melindungi kedaulatan
Indonesia di laut tetapi juga untuk melindungi hak kedaulatan sumber daya di
laut.
Selama masa jabatan pertama Jokowi, ia menangani masalah ini dengan
membentuk Badan Keamanan Laut Indonesia (BAKAMLA), yang diberi mandat
untuk mengoordinasikan lembaga-lembaga untuk semua lembaga penegak
hukum di laut. Namun, sejak didirikan pada tahun 2014, BAKAMLA memiliki
sumber daya penegakan hukum yang terbatas termasuk kapal patroli.
Saat ini, berbagai undang-undang mengatur berbagai lembaga penegakan
hukum di laut. Setiap lembaga memiliki mandat yang berbeda di zona maritim
tertentu. Misalnya, Angkatan Laut Indonesia dan BAKAMLA serta Kementerian
Kelautan dan Perikanan memiliki wewenang untuk melakukan penegakan hukum
hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Polisi air hanya memiliki wewenang di
perairan kepulauan Indonesia, air internal, dan laut teritorial. Dalam praktiknya,
tidak ada model ideal tunggal untuk penegakan hukum di laut. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan Kelautan Berkelanjutan pada
tahun 2016 yang membandingkan berbagai mekanisme penegakan hukum di laut
dari negara-negara seperti Amerika Serikat), Australia, Malaysia dan India,
masing-masing negara memiliki model sendiri, disesuaikan dengan kondisi
geografis dan tantangan yang mereka hadapi.
Gambar 1: Penegakan Hukum Maritim Indonesia

Saat ini, ada dua lembaga yang ditugaskan sebagai penjaga pantai
Indonesia, yaitu BAKAMLA dan Penjaga Pantai dan Laut Indonesia di bawah
Kementerian Perhubungan. Klaim institusional dari dua penjaga pantai adalah
akibat langsung dari hukum Indonesia yang tidak terkoordinasi. Kebutuhan
hukum omnibus untuk keamanan maritim di Indonesia semakin meningkat.
Selama beberapa tahun terakhir Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan,
mulai dari keamanan perbatasan laut di Laut Natuna Utara, perompakan dan
perampokan bersenjata laut, dan masalah lingkungan laut.
Saat ini, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan
sedang membahas RUU yang diusulkan untuk keamanan maritim. Namun,
penting untuk memastikan bahwa undang-undang baru tentang keamanan
maritim menegaskan kembali institusi mana yang akan memimpin inisiatif ini.
Lembaga-lembaga terkemuka diperlukan karena beberapa alasan. Pertama,
Indonesia saat ini memiliki banyak institusi yang memiliki otoritas penegakan
hukum di laut. Karena itu, Indonesia harus mengulangi Tugas Tunggal Multi-
Lembaga untuk memastikan semua lembaga memiliki otoritas penegakan hukum
di laut di bawah satu sistem koordinasi. Dengan demikian, setiap kali ada
kebutuhan untuk respon yang cepat, lembaga koordinasi dapat memerintahkan
setiap lembaga untuk melakukan respon yang tepat. tingkat penangkapan ikan
ilegal di perairan Indonesia. Pusat untuk platform informasi maritim yang
terpusat adalah penting agar berbagai lembaga memiliki akses ke informasi yang
relevan setiap saat.
Lembaga saat ini yang memiliki infrastruktur paling kuat untuk penegakan
hukum di laut adalah Angkatan Laut Indonesia, dan memperkuat peran
BAKAMLA sebagai koordinator utama penegakan hukum di laut tidak akan
mengurangi peran mereka, sebaliknya memperkuat kerja sama. Angkatan Laut
masih merupakan elemen penting dari penegakan hukum di laut di bawah
koordinasi BAKAMLA, memainkan peran sentral dalam pertahanan di laut.
Karena itu, Indonesia saat ini membutuhkan undang-undang omnibus tentang
keamanan maritim untuk mengoordinasikan dan memperkuat sistem penegakan
hukum di laut.
Simpulan dan Saran
Saat ini, berbagai undang-undang mengatur berbagai lembaga penegakan
hukum di laut. Setiap lembaga memiliki mandat yang berbeda di zona maritim
tertentu. Misalnya, Angkatan Laut Indonesia dan BAKAMLA serta Kementerian
Kelautan dan Perikanan memiliki wewenang untuk melakukan penegakan hukum
hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Polisi air hanya memiliki wewenang di
perairan kepulauan Indonesia, air internal, dan laut teritorial. Dalam praktiknya,
tidak ada model ideal tunggal untuk penegakan hukum di laut. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan Kelautan Berkelanjutan pada
tahun 2016 yang membandingkan berbagai mekanisme penegakan hukum di laut
dari negara-negara seperti Amerika Serikat), Australia, Malaysia dan India,
masing-masing negara memiliki model sendiri, disesuaikan dengan kondisi
geografis dan tantangan yang mereka hadapi.
Disarankan untuk penelitian ini selanjutnya membahas mengenai detil yang
lebih banyak terkait omnibus law, terutama terkait dengan bidang maritim
Indonesia.

Ucapan Terima Kasih


Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kehendak dan
anugerahNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan manuskrip
ini. Penulis sadari penelitian dan penulisan manuskrip ini tidak akan selesai tanpa
doa, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak.
Daftar Pustaka
ND, Fajar dkk. (2014). Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joko Widodo and Jusuf Kalla, “Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang
Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian: Visi, Misi, dan Program Aksi,”
(May 2014), p. 12. Accessible at kpu.go.id.
Kelton, M., & David W. (2019). A US-Australia-Indonesia Trilateral Security?
Conditions for Cooperation. Australian Journal of International Affairs,
(1-23),
Hidayat, S., & Arlan S. (2018). Indonesia Maritime Defence Paradigm. Jurnal
Pertahanan, 4(3), 136-144.
Dewanti Lestari. (2015). Garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia.
diakses dari https://www.antaranews.com/berita/487732/garis-pantai-
indonesiaterpanjang-kedua-di-dunia diakses pada 21 Maret 2020.
Kartini, I. (2016). Kebijakan Jalur Sutra Baru Cina dan Implikasinya Bagi
Amerika Serikat. Jurnal Kajian Wilayah.
https://doi.org/10.14203/JKW.V6I2.334.
Kemhan RI. (2015). Buku Putih Pertahanan Indonesia tahun 2015. Jakarta:
Kemhan RI.
Murniningtyas, E. (2016). Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Kelautan Menuju
Terwujudnya Indonesia Sebagai Poros Maritim. Jakarta: Bappenas.

Anda mungkin juga menyukai