Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS YURIDIS KASUS PEMBOBOLAN KARTU KREDIT,

YANG BERKEDOK SEBAGAI BISNIS TRAVEL

Abraham Ethan M.S.M


Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan
Email: index.abraham@gmail.com
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemanfaatan teknologi informasi di era global saat ini digunakan oleh
hampir semua kalangan, mulai dari pemerintah hingga institusi swasta.1
Internet adalah ruang informasi dan komunikasi yang menembus batas-batas
yurisdiksi antar negara. Media yang menawarkan berbagai kemudahan
transaksional tanpa bertemu para pihak secara fisik atau material. Internet
telah membawa kita ke dunia baru yang disebut dunia maya, yang dalam
perkembangannya tidak hanya membawa efek positif tetapi juga penuh
dengan dampak negatif.
Dunia maya menampilkan kenyataan, meskipun bukan yang nyata. Ini
adalah dunia virtual, realitas maya, dunia tanpa batas. Inilah yang dimaksud
orang dengan dunia tanpa batas, cara yang tidak dimiliki dunia maya
mengenali perbatasan negara, dan menghilangkan dimensi ruang, waktu dan
tempat. Hal ini memungkinkan warganya untuk terhubung dengan siapa saja
di mana saja Bruce Sterling berpendapat:
“Meskipun tidak sepenuhnya "nyata," "dunia maya" adalah tempat yang asli.
Sesuatu terjadi di sana yang sudah sangat asli konsekuensi. "Tempat" ini
bukan "nyata," tapi ini serius, sungguh-sungguh. Puluhan ribu orang telah
mendedikasikan hidup mereka untuk itu, untuk komunikas pelayanan publiki
melalui kawat dan elektronik.”2
Interaksi antara pengguna dunia maya telah terseret ke arah
penyimpangan hubungan sosial dalam bentuk kejahatan khas yang memiliki
karakteristik berbeda dari kejahatan konvensional yang telah dikenal. Namun
ada juga pandangan bahwa kejahatan melalui internet (cybercrime) memiliki
kesamaan dengan bentuk kejahatan di dunia nyata. Sahetapy menjelaskan

1
Sutarman. (2007). Cybercrime Modus operandi dan penanggulangannya. Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo.
2
Sterling, B. (1992). The Hacker Crackdown: Law and Disorder on the Electronic Frontier. New York:
Bantam Books.
bahwa kejahatan terkait erat dengan kemajuan teknologi informasi dan tingkat
modernisasi suatu negara. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat
pemanfaatan teknologi informasi dan semakin modern suatu negara, semakin
modern tingkat kejahatan yang muncul, baik tentang sifat, bentuk, jenis, dan
bagaimana implementasinya.3
Menurut Rizky Karo-Karo, kejahatan dunia maya adalah tindakan
perbuatan melawan hukum dan tanpa hak yang dilakukan oleh seseorang
ataupun badan hukum dengan memanfaatkan instrumen teknologi, komputer,
internet untuk menguntungkan diri sendiri baik perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang ataupun perbuatan yang dianggap tercela di masyarakat.4

Cybercrime adalah sisi gelap dari kemajuan teknologi informasi dan


komunikasi yang membawa implikasi luas di semua bidang kehidupan
terutama terkait erat dengan kejahatan ekonomi.5 Kejahatan di bidang
teknologi informasi secara umum dapat dikategorikan menjadi dua kelompok.
Pertama, kejahatan biasa yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat
untuk membantu. Dalam kejahatan ini ada peningkatan modus operandie dari
aslinya menggunakan peralatan biasa, sekarang telah memanfaatkan
teknologi informasi.
Dampak kejahatan biasa yang telah menggunakan teknologi informasi
telah berdampak serius, terutama jika dilihat dari jangkauan dan nilai kerugian
yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut. Pencurian uang oleh pencurian bank
atau pembelian barang menggunakan kartu kredit curian melalui media
internet dapat mengklaim korban di wilayah hukum negara lain, jarang dalam
kejahatan konvensional. Kedua, kejahatan yang datang setelah Internet, di

3
Wahid, Abdul. (2002). Kriminologi dan kejahatan Kontemporer. Malang: Lembaga Penerbitan Fak
Hukum Unisma.
4
Karo-Karo, Rizky. (2019). Penegakan Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) Melalui Hukum Pidana.
Tangerang: Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
5
Souka, Mark. (1999). Ruang yang Hilang Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang
Merisaukan. Bandung: Mizan.
mana sistem komputer sebagai korban. Kejahatan yang menggunakan aplikasi
internet adalah salah satu perkembangan kejahatan teknologi informasi. Jenis-
jenis kejahatan dalam kelompok ini meningkat seiring kemajuan teknologi
informasi. Contoh kejahatan kelompok ini adalah penghancuran situs Internet,
transmisi virus atau program komputer yang bertujuan merusak sistem kerja
komputer.
Jenis kegiatan kejahatan terkait komputer sangat beragam, sehingga
banyak istilah baru yang muncul meliputi: peretasan, cracking, virus, booting,
trojan horse, spamming, dan sebagainya. Namun, untuk mempersempit ruang
lingkup diskusi, penulis hanya membatasi dan mengangkat masalah hukum
seputar penegakan hukum peretasan kejahatan dalam hal kebijakan peradilan
pidana di Indonesia. Peretasan juga dikenal sebagai pelanggaran komputer,
yang merupakan tindakan melawan hukum segala bentuk alasan dan motivasi.
Tidak jarang tindakan ini disertai dengan penipuan, pencurian, penggelapan
atau perusakan.
Dunia sudah lama prihatin dengan kejahatan dunia maya. Bahkan,
salah satunya topik yang dibahas pada Kongres Bangsa - Bangsa tentang
Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar di Indonesia
Wina, Austria, 2000 terkait Kejahatan ke Jaringan Komputer. Namun tidak
setiap negara memiliki hukum kejahatan dunia maya, dan tidak semuanya
sangat prihatin tentang masalah ini (hanya negara maju dan beberapa negara
berkembang adalah). Hal ini tergantung pada seberapa baik hukum yang
berlaku suatu negara berkembang dan seberapa besar perhatiannya
kemajuan teknologi. Akhirnya terungkap di Kongres PBB di Wina:
“Alasan kurangnya perhatian kejahatan siber mungkin termasuk relatif
rendahnya tingkat partisipasi dalam komunikasi elektronik internasional,
tingkat pengalaman penegakan hukum yang rendah dan estimasi kerusakan
pada masyarakat yang rendah diharapkan terjadi dari kejahatan elektronik.” 6
Kejahatan peretasan telah memiliki sejarah perjalanan yang panjang,
mulai dari akhir Perang Dunia II hingga komputer tahun 60an masih
merupakan barang langka, hanya beberapa departemen dan organisasi besar
yang memiliki komputer. Dengan diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memberikan payung
hukum untuk kegiatan yang terkait dengan media elektronik dan dunia maya.
UU ITE adalah dasar hukum penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik
sebagai bukti yang sah dalam transaksi elektronik.7
Polda Jatim mengungkap kasus carding atau pembobolan kartu kredit,
yang berkedok sebagai usaha travel. Polisi meringkus tiga orang sebagai
tersangka, masing-masing berinisial SG, FD dan MR. Kombes Pol Trunoyudo
Wisnu Andiko Kabidhumas Polda Jatim mengatakan, ketiga pelaku ini
menjalankan bisnis travel dengan mengelola akun bernama @tiketkekinian di
Instragram. Mereka menawarkan tiket perjalanan murah baik domestik
maupun luar negeri. Tapi, lanjut dia, tiket tersebut mereka dapatkan dari hasil
tindak kejahatan. Mereka membobol kartu kredit milik warga negara Jepang.
Mereka punya peran masing-masing. SG dan FD, mereka menawarkan
promo dalam hal perjalanan wisata dan menawarkan program diskon murah.
Mulai dari 10-20 persen. Sedangkan untuk tersangka MR berperan sebagai
eksekutor. Dialah yang mendapatkan data-data kartu kredit milik orang lain
secara illegal, dengan cara membelinya dari pelaku spammer (pencuri data

6
United Nations Office on Drugs and Crime. (2000, April 10). Crimes Related to Computer Networks -
Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Retrieved from United Nations Office on Drugs and Crime: https://www.unodc.org/document
s/congress//Previous_Congresses/1 0th_Congress_2000/017_ACONF.1
87.10_Crimes_Related_to_Comput er_Networks.pdf
7
Santosa, Agus. (2008). “Perjalanan Panjang Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektonik”. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. 6,(1).
kartu kredit). Pembelian dilakukan dengan harga per 1 data kartu kredit Rp
150.000-200.000. Kartu kredit yang dibobol itu untuk membeli tiket, yang
nantinya dijual lagi. Kartu kredit yang dibobol itu milik orang Jepang.
Kepada polisi, para pelaku carding berkedok bisnis travel ini mengaku
sudah melakukan aksinya sejak 2019 lalu. Setiap bulan, mereka bisa
mendapatkan keuntungan sampai puluhan juta rupiah. Sehingga, total
keuntungan yang diperoleh sampai tahun ini ditaksir mencapai Rp240 juta
lebih.8
Dari pengungkapan ini, polisi mengamankan sejumlah barang bukti. Di
antaranya 1 unit device merk iPhone, 3 laptop, 3 buku tabungan BCA, 4 kartu
ATM BCA, 1 akun instagram @tiketkekinian, dua unit laptop, ATM platinum,
buku rekening BCA, 1 telfon, dan 1 akun facebook. Mereka dijerat Pasal 32
ayat (1) jo Pasal 48 ayat (1) UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan
atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik Jo
Pasal 55 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP. Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik untuk membahas tentang Analisis Yuridis Kasus Pembobolan
Kartu Kredit, yang Berkedok sebagai Bisnis Travel.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan hukum dalam pelanggaran UU ITE di
Indonesia?
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap kasus pembobolan kartu kredit
yang berkedok bisnis travel?

8
Anggi Widya Permani. (2020). Pelaku Carding Beli Data Kartu Kredit Lalu Dibobol. Dari website:
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2020/pelaku-carding-beli-data-kartu-kredit-lalu-dibobol/
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penegakan hukum dalam pelanggaran UU ITE di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui analisis yuridis kasus pembobolan kartu kredit yang
berkedok bisnis travel.

D. ASAS-ASAS
Penentuan hukum yang berlaku, dikenal adanya beberapa asas yang dapat
digunakan, yaitu : 9
a. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum
pidana ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan
penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
b. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
akibat utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
d. Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan
kewarganegaraan dari korban kejahatan.
e. Protective principle, yang menyatakan bahwa berlakunya hukum didasarkan
atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan
yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan
apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.

9
Ahmad Ramli.(2004) Prinsip-prinsip Cyber Law Dan Kendala Hukum Positif Dalam Menanggulangi
Cyber Crime, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.
f. Universality, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan
menghukum pelaku kejahatan.
E. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu
penelitian terhadap asas-asas hukum, aturan-aturan hukum yang ada untuk
mendapatkan informasi tentang penegakan hukum kasus cybercrime yang
terjadi di Indonesia.
F. PEMBAHASAN
Penegakan Hukum Cybercrime di Indonesia
Artikel UU ITE
Ada beberapa artikel yang mungkin telah memperhatikan bahwa kita
mencari dan menghindari jerat UU ITE. Ada sekitar 11 pasal yang mengatur
tindakan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perilaku
yang dilarang. Dari 11 bab, ada tiga artikel yang dicurigai akan membahayakan
blogger atau peselancar Internet tanpa disadari. Pasal 27 ayat (1): "Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak untuk mendistribusikan dan atau
mentransmisikan dan / atau membuat tidak dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang memiliki tuduhan pelanggaran
kesusilaan." Pasal 27, Ayat (3): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
untuk mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan / atau membuat tidak
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang
memiliki tuduhan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik."
Pasal 28 , Ayat (2): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak untuk
menyebarkan informasi yang dimaksudkan untuk menyebabkan kebencian
atau permusuhan individu dan / atau kelompok orang tertentu berdasarkan
etnis, agama, ras dan antarkelompok (SARA)." Untuk pelanggaran terhadap
pasal-pasal ini, UU ITE memberikan sanksi yang cukup berat, sebagaimana
diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2). Pasal 45 ayat (1): "Setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), atau ayat (4) dihukum dengan hukuman penjara 6 (enam) tahun dan
/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45,
Ayat (2): "Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) akan dihukum penjara. 6 (enam) tahun
dan / atau denda 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). "
Setelah diundangkannya UU-ITE, maka berlaku lex specialis
dimana peraturanhukum yang dipakai jika terjadi tindak pidana dalam bidang
transaksi elektronik ialahUU-ITE, dan bukan menggunakan KUHP.
Pembuatan UU-ITE adalah sebagaiinstrumen hukum dan pembarahuan
hukum pidana nasional.10
Artikel KUHP
Artikel-artikel di bawah ini dimaksudkan untuk melindungi hukum siber.
Ada beberapa ketentuan yang berlaku untuk menjaga keamanan di dunia
maya. Pasal 362 KUHP: Dikenakan kasus carding di mana pelaku mencuri
nomor kartu kredit milik orang lain, meskipun tidak secara fisik karena hanya
nomor kartu yang menggunakan perangkat lunak pembuat kartu di Internet
untuk melakukan transaksi dalam e-commerce. Setelah transaksi dan barang
dikirimkan, maka penjual yang ingin menarik uangnya di kartu bank ditolak
karena pemiliknya bukan orang yang melakukan transaksi. Penjara Pidana
maksimal 5 tahun.
Artikel 406 KUHP: Dapat dikenakan dalam kasus defokasi atau
peretasan yang membuat sistem orang lain, seperti situs web atau program
menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Artikel 282 dan 311 KUHP: Dapat berlaku untuk kasus penyebaran foto
pribadi atau film di Internet.
Artikel 378 KUHP: Dapat dikenakan penipuan tampaknya menawarkan
dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di satu situs
web sehingga orang ingin membeli dan kemudian mengirim uang kepada
pengiklan. Tetapi, pada kenyataannya, item no. Diketahui setelah uang dikirim
dan sudah diperintahkan barang tidak datang sehingga pembeli tertipu.
Pasal 335 KUHP: Dapat dikenai ancaman

10
Karo-Karo, Rizky. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terkait Penipuan Jual Beli Online
Shopping Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Oral Presentation Economic Development, Human Rights and Well-being, Multiculturalism dan
Technology KMK Pascasarjana UGM.
dan kasus-kasus pemerasan yang dilakukan melalui email yang dikirim oleh
pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pelaku dan jika diimplementasikan akan membawa efek
berbahaya. Ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui
rahasia korban.
Artikel 303 KUHP: Dapat dikenakan perjudian menjebak game yang dibuat
online di Internet dengan penyelenggara Indonesia.
Hukum Pidana dalam perkembangannya ternyata semakin banyak
digunakan dan diandalkan dalam rangka mengatur dan menertibkan
masyarakat melalui peraturan perundang-undangan. Dinamika hukum dapat
terlihat dari adanya kebijakan penggunaan sanksi pidana melalui
pencantuman bab tentang “ketentuan sanksi pidana” pada bagian akhir
sebagian besar produk peraturan perundang-undangan di Indonesia.11
Indonesia belum memiliki Undang-Undang khusus/cyber law yang
mengatur mengenai cybercrime Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain
yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime
terutama untuk kasuskasus yang menggunakan komputer sebagai sarana,
diantaranya:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal-pasal didalam KUHP biasanya
digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan
sekaligus pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime
yaitu:
1. Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku
mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena
hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card
generator di Internet untuk melakukan transaksi di ecommerce. Setelah

11
Prasetyo, Teguh. (2009). Kebijakan Kriminalisasi Dalam Peraturan Daerah Dan Sinkronisasi Dengan
Hukum Pidana Kodifikasi. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 16(1), 18-33.
dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin
mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah
orang yang melakukan transaksi.
2. Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah
menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang
iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu
mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya,
barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan
dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut
menjadi tertipu.
3. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan
pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk
memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang
membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku mengetahui
rahasia korban.
4. Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik
dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah pelaku
menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang
tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak
orang mengetahui cerita tersebut.
5. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang
dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
6. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun
website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di Internet.
Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak
pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut di luar
negeri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan
merupakan hal yang terlarang atau illegal.
7. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto
atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus-kasus
video porno para mahasiswa, pekerja atau pejabat publik.
8. Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena
pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan
membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan
curian.
9. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang
membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak
berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
b. Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Menurut Pasal 1
angka (8) Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program
komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk
bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan
dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat
komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang
intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama
50 tahun (Pasal 30).
Analisis Yuridis Terhadap Kasus Pembobolan Kartu Kredit yang
Berkedok Bisnis Travel
Transaksi elektronik tanpa kertas, karena diproses melalui cara
elektronik. Bukti untuk membuktikan adanya transaksi elektronik tersebut
sebagai konsekuensi juga akan menjadi elektronik. Namun demikian, KUHP
tidak mengakui bukti elektronik sebagai dapat diterima, karena hanya
menyatakan bahwa bukti yang dapat diterima dalam pasal 184 ayat 1 sebagai:
“alat bukti yang sah adalah:
a. kesaksian seorang saksi;
b. kesaksian seorang ahli;
c. sebuah dokumen;
d. sebuah indikasi;
e. kesaksian terdakwa. "
Namun, karena kebutuhan yang mendesak untuk mengakui bukti
elektronik semacam itu di pengadilan sebagaimana diperlukan oleh globalisasi
dan modernisasi, UU ITE memberikan dasar untuk menerima bukti elektronik.
Khususnya, berdasarkan pasal 5 ayat 1 UU ITE, informasi elektronik dan / atau
dokumen elektronik dan / atau hasil cetaknya merupakan bukti yang dapat
diterima. Ketentuan umum pasal 1 ayat 1 dan pasal 1 ayat 4 UU ITE
menyatakan bahwa:
“Informasi elektronik berarti satu kelompok atau kelompok data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
draft, foto, pertukaran data elektronik (EDI), surat elektronik, telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, surat, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang telah diproses untuk makna atau dapat dimengerti oleh orang
yang memenuhi syarat untuk memahaminya. ”
“Dokumen elektronik adalah segala informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, bentuk optik, atau sejenisnya, terlihat, dapat ditampilkan dan
/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas untuk tulisan, suara, gambar, peta, draft, foto atau sejenisnya, surat,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau
definisi tertentu atau dapat dimengerti oleh orang yang memenuhi syarat untuk
memahaminya. "
Karena penyerang dunia maya menyusup ke ruang orang lain dan
mencoba dan memecahkan logika halaman, pelanggan akhir yang
mengunjungi halaman yang bersangkutan akan frustrasi dan berkecil hati
untuk menggunakan situs tersebut untuk jangka panjang. Persepsi bahwa
internet penuh dengan penipuan kartu kredit dan bahaya keamanan tumbuh.
Ini telah menjadi masalah serius bagi ecommerce.12 Keberadaan UU ITE
menjabarkan dasar untuk transaksi elektronik, serta teknologi informasi dan
komunikasi. Dimana sebelum berlakunya ini, tidak ada undang-undang khusus
yang mengatur transaksi elektronik, teknologi informasi dan komunikasi.
Bukti elektronik tidak dianggap dapat diterima, sehingga sulit untuk
membuktikan dan menuntut kejahatan dunia maya. Upaya pemerintah untuk
memberikan kepastian hukum demi keadilan memiliki dampak besar pada
pengembangan penegakan hukum cybercrime, karena bukti elektronik
menjadi dapat diterima di pengadilan. Oleh karena itu, ada perlindungan
hukum yang jelas untuk korban kejahatan dunia maya dan efek yang mengikat
secara hukum terhadap pelaku kejahatan dunia maya. Informasi dan dokumen
elektronik harus memenuhi persyaratan formal dan material agar dapat
dianggap sebagai bukti yang dapat diterima.
Persyaratan formal adalah bahwa informasi dan dokumen elektronik
tidak diharuskan oleh hukum untuk dibuat secara tertulis atau dalam akta
notaris sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 4; sedangkan persyaratan
materi, pada intinya, mengharuskan informasi dan dokumen elektronik dapat
diakses, andal, otentik, aman, dan dapat diverifikasi sebagaimana diatur dalam
pasal 6, pasal 15 dan pasal 16 UU ITE. Untuk menentukan apakah informasi
elektronik atau dokumen dapat diterima sebagai bukti digital, harus melalui
proses forensik digital.13 Konsep kejahatan dunia maya tidak jauh berbeda
dengan kejahatan konvensional, karena keduanya mencakup perilaku, apakah
tindakan atau kelalaian, yang menyebabkan pelanggaran aturan hukum dan
diimbangi dengan sanksi negara.

12
Hemraj Saini, etc, (2012) “Cybercrimes and their Impacts: A review”, International Journal of
Engineering Research and Applications (IJERA), 2, (2) ,Mar-Apr 2012, P.206.
13
Josua Sitompul. (2012). Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana,
(Jakarta: Tatanusa)
Traktat Cybercrime Dewan Eropa menggunakan istilah “Cybercrime”
untuk merujuk pada pelanggaran mulai dari kegiatan kriminal terhadap data
hingga pelanggaran konten dan hak cipta.14 Perkembangan teknologi
mendorong manusia untuk mengikuti tren internet dan teknologi modern saat
ini. Penyalahgunaan teknologi dan internet menyebabkan kejahatan dunia
maya. Sebelum diberlakukannya UU ITE, kejahatan di dalam dunia maya
dituntut berdasarkan KUHP Indonesia karena memberikan lingkup kejahatan
yang lebih mendasar dan lebih luas.
Dengan demikian, merujuk pada cara tradisional penipuan, kejahatan
semacam itu dapat dihukum berdasarkan pasal 378 KUHP Indonesia yang
menetapkan bahwa:
“siapa pun yang secara sengaja dan melawan hukum menguntungkan
dirinya sendiri atau orang lain, baik dengan mengambil nama palsu atau
kapasitas palsu, atau dengan artifices licik, atau oleh jaringan fiksi, mendorong
seseorang untuk memberikan properti apa pun atau untuk menegosiasikan
pinjaman atau untuk membatalkan hutang, harus, bersalah atas penipuan,
dihukum dengan hukuman penjara maksimum empat tahun. "
UU ITE tidak secara spesifik mengatur penipuan, namun, berdasarkan
pasal 28 ayat 1, undang-undang mengatur tentang kejahatan yang terkait
dengan transaksi elektronik, yang menyebabkan kerugian bagi konsumen.
Pasal 28 ayat 1 UU ITE menetapkan bahwa:
"siapa pun yang secara sadar dan tanpa otoritas menyebarkan
informasi yang salah dan menyesatkan yang mengakibatkan hilangnya
konsumen dalam transaksi elektronik."
Sementara itu, transaksi elektronik didefinisikan dalam pasal 2 ayat 1
UU ITE sebagai: "tindakan hukum yang dilakukan dengan menggunakan

14
Peterson Obara Magutu, etc, Effects of Cybercrime on State Security: Types, Impact and
Mitigations With the Fiber Optice Deployment in Kenya, Journal of Information Assurance &
Cybersecurity, Vol. 2011 (2011). DOI: 10.5171/2011.618585, p.3-4
Komputer, jaringan komputer, dan / atau media elektronik lainnya." Sanksi
untuk kejahatan semacam itu adalah penjara selama maksimal 6 tahun dan /
atau denda dalam jumlah maksimum Rp. 1.000.000.000.
Penipuan yang dilakukan dalam transaksi elektronik pada dasarnya
memberikan informasi yang salah dan menyesatkan dalam transaksi tersebut
yang, jika tidak, tidak akan terjadi. Penipuan dimotivasi oleh tujuan seseorang
untuk memberi manfaat bagi dirinya sendiri dan / atau untuk menyebabkan
kerugian bagi orang lain. Sehubungan dengan motif penipuan, penyebaran
informasi yang salah dan menyesatkan dapat disamakan dengan penipuan.
Berbeda dengan pasal 378 KUHP tentang Penipuan, kriteria apa yang
disebut sebagai penipuan konvensional agak umum dan luas karena
melibatkan unsur-unsur berikut:
1. Unsur subyektif yang terdiri dari niat, itikad buruk, menguntungkan dirinya
sendiri atau orang lain, dan melanggar hukum; dan
2. Unsur objektif yang terdiri dari seseorang, mendorong orang lain
(menyerahkan properti, menegosiasikan pinjaman, membatalkan hutang),
dan dengan cara (nama palsu, kapasitas palsu, kerajinan licik, jaring fiksi).
Oleh karena itu, secara sederhana, penipuan:
1. Menginduksi orang lain untuk memberikan properti, menegosiasikan
pinjaman atau membatalkan hutang
2. Tujuannya adalah untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain
3. Bujukan dilakukan dengan menggunakan nama palsu, salah kapasitas,
artifices licik atau jaringan kebohongan.
Berbeda dengan pasal 378 KUHP Indonesia, UU ITE mengatur
pemahaman yang membatasi dan ruang lingkup aplikasi untuk penipuan.
Penipuan secara implisit diatur di bawah informasi yang salah dan
menyesatkan, yang didistribusikan melalui internet. Batasan pasal 28 ayat 1
UU ITE diterapkan karena ruang lingkup penerapan pasal IT ITE tersebut
hanya mencakup transaksi elektronik. Penipuan dalam UU ITE terbatas pada
tindakan hukum yang dilakukan melalui transaksi elektronik antara produsen
dan konsumen, di mana elemen informasi yang salah dan menyesatkan
disebarluaskan di internet.
Penyedia internet memiliki kewajiban untuk menyediakan akses internet
baik kepada penjual maupun pembeli. Agar penjual dan pembeli dapat
melakukan transaksi online, mereka harus mendapatkan akses ke internet.
Namun, perjanjian untuk menyediakan internet terpisah dan tidak relevan
dengan kasus ini, karena penyedia internet bertindak sebagai penjual yang
menawarkan produknya, yaitu internet kepada pihak-pihak yang ingin memiliki
akses ke internet.
Perbedaan antara transaksi online dan konvensional adalah tempat
transaksi. Penipuan online dan penipuan konvensional juga serupa, walaupun
berbeda dalam hal cara tindakan tersebut. Kedua perbedaan terletak pada
keterlibatan sistem elektronik yaitu komputer, internet, perangkat komunikasi
dalam transaksi online dan penipuan online. Oleh karena itu, penipuan online
dapat dituntut berdasarkan pasal 378 KUHP14, serta pasal 28 ayat 1 UU ITE.
Dan jika setiap orang terbukti menentang, menurut pasal 45A ayat 1 UU ITE15,
mereka akan diancam dengan hukuman penjara dan / atau kehilangan 1 miliar
Rupiah.
G. KESIMPULAN & SARAN
Pada dasarnya, penipuan online setara dengan cara penipuan
konvensional. Perbedaannya terletak pada cara pelaksanaan penipuan.
Dimana penipuan online melibatkan perangkat atau sistem elektronik, seperti
komputer, ponsel pintar, internet, media sosial, dll. Peraturan tentang penipuan
online dapat ditemukan dalam pasal 378 KUHP tentang penipuan dan / atau
pasal 28 ayat 1 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang penyebaran
informasi yang salah dan menyesatkan, yang mengakibatkan hilangnya
konsumen dalam transaksi elektronik.
Kejahatan di dunia cyber yang tidak lagi tahu batas dan menimbulkan
masalah baru. Dampaknya sudah dirasakan oleh komunitas pengguna
komputer dan jaringan. Penanggulangan yang dimaksud mulai dari upaya
pencegahan kejahatan dunia maya adalah pendekatan teknologi dengan
perangkat lunak keamanan, perangkat keras, dan kemudian melakukan upaya
sosialisasi komputer dan internet di tengah-tengah masyarakat, pendekatan
budaya juga bisa dilakukan dengan menerapkan etika.
Untuk mewujudkan penegakan hukum kejahatan dunia maya terhadap
kejahatan harus didukung oleh tiga aspek yang terkait dengan penegakan
hukum, seperti instrumen hukum, petugas penegak hukum dan penerapannya
di lapangan. Instrumen aspek adalah adanya berbagai undang-undang
termasuk UU ITE untuk meminimalkan dan dapat digunakan sebagai
perlindungan hukum terhadap penuntutan kejahatan dunia maya. Kehadiran
UU ITE akan memberikan manfaat untuk memastikan kepastian hukum bagi
orang yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan
ekonomi, mencegah teknologi informasi berbasis kejahatan dan melindungi
pengguna layanan publik dengan memanfaatkan teknologi informasi.
H. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ramli.(2004) Prinsip-prinsip Cyber Law Dan Kendala Hukum Positif
Dalam Menanggulangi Cyber Crime, Bandung, Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran.

Anggi Widya Permani. (2020). Pelaku Carding Beli Data Kartu Kredit Lalu
Dibobol. Dari website:
https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2020/pelaku-carding-beli-
data-kartu-kredit-lalu-dibobol/

Josua Sitompul. (2012). Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek


Hukum Pidana, Jakarta, Tatanusa.

Karo-Karo, Rizky. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terkait


Penipuan Jual Beli Online Shopping Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Oral
Presentation Economic Development, Human Rights and Well-being,
Multiculturalism dan Technology KMK Pascasarjana UGM.

Karo-Karo, Rizky. (2019). Penegakan Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime)


Melalui Hukum Pidana. Tangerang: Fakultas Hukum Universitas Pelita
Harapan.

Peterson Obara Magutu, etc. (2011). Effects of Cybercrime on State Security:


Types, Impact and Mitigations With the Fiber Optice Deployment in
Kenya, Journal of Information Assurance & Cybersecurity,

Prasetyo, Teguh. (2009). Kebijakan Kriminalisasi Dalam Peraturan Daerah


Dan Sinkronisasi Dengan Hukum Pidana Kodifikasi. Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, 16(1)

Santosa, Agus. (2008). “Perjalanan Panjang Undang Undang Nomor 11 Tahun


2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik”. Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan. 6,(1).

Souka, Mark. (1999). Ruang yang Hilang Pandangan Humanis tentang Budaya
Cyberspace yang Merisaukan. Bandung, Mizan.

Sterling, B. (1992). The Hacker Crackdown: Law and Disorder on the Electronic
Frontier. New York, Bantam Books.
Sutarman. (2007). Cybercrime Modus operandi dan penanggulangannya.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Wahid, Abdul. (2002). Kriminologi dan kejahatan Kontemporer. Malang:


Lembaga Penerbitan Fak Hukum Unisma.

Anda mungkin juga menyukai