Anda di halaman 1dari 22

i

TUGAS SISTEM PERTANIAN TERPADU


”PENERAPAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE
AGRICULTURE SYSTEM) UNTUK MENDUKUNG TERCAPAINYA KETAHANAN
PANGAN DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH :

YAYAN ALFIANSYAH
B1D017323
6C2

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penyusunan karya tulis ilmiah berjudul ” Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan
(Sustainable Agriculture System) untuk Mendukung Tercapainya Ketahanan Pangan di
Indonesia” dapat selesai tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu
bentuk kepedulian dan cara pandang penulis terhadap permasalahan pertanian mengenai
degradasi sumberdaya alam dan permasalahan nasional saat ini yaitu ketahanan pangan.
Penulis berharap melalui penulisan karya ilmiah ini dapat menjadi referensi bagi pembaca
sehingga memiliki wawasan dalam menjaga sumber daya alam, terlebihnya lagi dapat
dipraktekkan untuk menjaga keberlangsungan alam dan mencapai ketahanan pangan. Penulis
menyadari dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini masih belum sempurna, maka saran dan
kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat. 
iii

DAFTAR ISI
COVER......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................................1
A.Latar belakang.....................................................................................................................1
B. Perumusan masalah............................................................................................................2
C. Tujuan................................................................................................................................3
D. Manfaat penulisan..............................................................................................................3
BAB II. TINJAUN PUSTAKA ...............................................................................................4
A. Konsep ketahanan pangan.................................................................................................4
B. Konsep system pertanian berkelanjutan.............................................................................5
BAB III. METODE PENELIRIAN .......................................................................................7
A.Metode pengumpulan data dan informasi...........................................................................7
B. Metode pengolahan data....................................................................................................7
C. Metode analisi data............................................................................................................7
D. Penulisan kesimpulan........................................................................................................7
E. Perumusan saran.................................................................................................................8
BAB IV. PEMBAHASAN .......................................................................................................9
A.Kondisi ketahan pangan nasional.......................................................................................9
B. Pengembangan system pertanian berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan
nasional.................................................................................................................................11
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................................16
A.SimpulanA.Kondisi ketahan pangan nasional..................................................................16
B. Saran.................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................17
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dengan luas lahan pertanian mencapai


39,475,694.00 hektar (Pusdatin Kementan, 2014), hal tersebut menyatakan bahwa
pertanian merupakan salah satu sektor primer pendukung pembangunan nasional. Sistem
pertanian di Indonesia telah mengalami evolusi sepanjang abad sebagai dampak kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Perubahan-perubahan di sektor pertanian
diharapkan mampu meningkatkan produktivitas di sektor pertanian.

Pendekatan dan praktek pertanian konvensional yang dilaksanakan di sebagian besar


negara maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia merupakan praktek
pertanian yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanian
konvensional dilandasi oleh pendekatan industrial dengan orientasi pertanian agribisnis
skala besar, padat modal, padat inovasi teknologi, penanaman benih/varietas tanaman
unggul secara seragam spasial dan temporal, serta ketergantungan pada masukan produksi
dari luar yang boros energi tak terbarukan, termasuk penggunaan berbagai jenis agrokimia
(pupuk dan pestisida), dan alat mesin pertanian. Secara teoritis dan perhitungan ekonomi
penerapan pertanian konvensional dianggap sebagai alternatif teknologi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah kekurangan pangan dan gizi serta ketahanan pangan yang
dihadapi penduduk dunia. 

Setelah sekitar setengah abad menerapkan dan mengembangkan pertanian


konvensional, berbagai dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan
masyarakat semakin meragukan masyarakat dunia akan keberlanjutan ekosistem pertanian
dalam menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pendekatan pragmatis
peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung mendorong dan meningkatkan
praktek pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan terus
menerus sehingga mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung lingkungan
pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian. 

Semangat untuk menjaga pertanian dalam koridor keberlanjutan semakin masif ketika
terjadi degradasi tanah khususnya lahan pertanian dan air baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Hal ini menurut Gliessman (2007), terjadi karena selama ini pertanian
konvensional hanya ditempatkan dalam konteks peningkatan produksi tanpa
memperhatikan aspek lingkungan. Fokus keberhasilan pertanian hanya menggunakan
indikator produktivitas untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo yang
cepat, seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida, sistem irigasi dan mesin-mesin
2

pertanian modern. Walaupun potensi sumberdaya alam Indonesia sangat besar, apabila
pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat maka ekosistem tersebut
mudah terdegradasi. 

Tantangan yang dihadapi sektor pertanian adalah pertambahan penduduk. Dengan laju
pertambahan penduduk, menyebabkan produksi harus dipacu lebih cepat. Berdasarkan
hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat 237,6 juta jiwa.
Jumlah ini bertambah sekitar 32,5 juta jiwa dari jumlah penduduk sebelumnya yang
tercatat di tahun 2000. Akibat tingkat pertumbuhan penduduk yang besar, diprediksi pada
tahun 2030 usia produktif akan lebih dari 60% sehingga mengkhawatirkan terjadinya
ledakan penduduk dimasa yang akan datang. Hal ini akan berakibat pada tingginya
kebutuhan akan sandang, papan dan pangan, terutama dalam pangan Indonesia saat ini
konsumsi beras per kapita oleh masyarakat Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita
per tahun dan terus meningkat setiap tahunnya (PAN AP Rice Sheets). Jika tidak ditangani
secara bijaksana akan menimbulkan masalah ketahanan pangan, apalagi jika ketahanan
pangan dikaitkan dengan peningkatan kualitasnya.
Oleh karena itu, tantangan pertanian saat ini dan masa depan adalah bagaimana pertanian
dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara secara berlanjut, yaitu terutama pangan,
tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam. Dalam rangka menjaga
ketersediaan pangan (hasil pertanian) dalam jangka panjang, dibutuhkan produksi
pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Pembangunan berkelanjutan mulai
dikenal sejak tahun 1987, kemudian mengalami perbaikan komitmen global dengan
konsep Rio+10 di Johannesburg pada tahun 2002 yang memiliki tiga dimensi yaitu
keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people),
dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Konsep tersebut kemudian mengalami perluasan
komitmen global menjadi Rio+20 pada tahun 2012 yang menitikberatkan pada empat
dimensi yaitu ekonomi, sosial, lingkungan hidup, dan governansi. Konsep tersebut dikenal
dengan nama ekonomi hijau (green economy). Sistem pertanian berkelanjutan merupakan
salah satu penerapan green economy di bidang pertanian di Indonesia. Sistem pertanian
berkelanjutan adalah solusi tepat, yang merupakan pengelolaan sumber daya untuk usaha
pertanian guna membantu kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam (Reijntjes, 2002)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah sistem pertanian yang diterapkan hingga saat ini sudah mampu menjamin
ketahanan pangan nasional?
2. Apakah sistem pertanian berkelanjutan dapat mendukung ketahanan pangan nasional?
3. Bagaimana sistem pertanian berkelanjutan dapat mendukung ketahanan pangan
nasional?
3

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini yaitu:

1. Mengetahui kemampuan penerapan sistem pertanian saat ini dalam menjamin


ketahanan pangan nasional.
2. Mencermati bahwa sistem pertanian berkelanjutan yang berbasis agribisnis dapat
mendukung ketahanan pangan nasional.
3. Memahami konsep untuk mendukung ketahanan pangan nasional melalui sistem
pertanian berkelanjutan berbasis agribisnis.

C. Manfaat

Dengan ditulisnya karya ilmiah ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Pemerintah sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan


yang berhubungan dengan penanggulangan masalah ketahanan pangan dan degradasi
sumber daya alam pertanian.
2. Masyarakat umum sebagai bahan informasi dan pengetahuan untuk turut serta dalam
mencapai ketahanan pangan dan menjaga keberlangsungan sumber daya alam pertania
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Ketahanan Pangan

Ketahanan Pangan menurut Undang-Undang nomor : 18 tahun 2012 adalah kondisi


terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya
masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Food and
Agriculture Organization (FAO) (1997), mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu
kondisi dimana semua rumah tangga mempunyai akses, baik fisik maupun ekonomi, untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya. Ada 3 komponen yang harus
dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan rumah tangga yaitu :
(1) Kecukupan; yang artinya bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman;
(2) Distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga
harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; dan
(3) Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan
mampu mengelola konsumsi kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya.

Upaya pemantapan ketahanan pangan, sesuai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun


1996 tentang Pangan, bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh
rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi,
merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana, 2003). Konsep ketahanan pangan
(food security) mulai berkembang pada tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis
pangan dan kelaparan dunia terutama pada kawasan Asia dan Afrika. Awalnya ketahanan
pangan hanya terfokus pada penyediaan pangan pada tingkat nasional maupun
internasional terutama padi-padian. Sehingga pada awal masa orde baru kebijakan
ketahanan Indonesia didasarkan pada penyediaan pangan yang lebih dikenal dengan istilah
Food Availability Approach (FAA) (Rindayati, 2009).

Ketahanan Pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 adalah kondisi


terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Berdasarkan pada konsep dasar ketahanan pangan di atas, aspek strategis dalam ketahanan
pangan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu ketersediaan, stabilitas, akses dan
penggunaan pangan. Ketersediaan pangan dan stabilitas merupakan aspek ketahanan
pangan di tingkat makro sedangkan akses pangan dan penggunaan pangan adalah aspek
5

ketahanan pangan di tingkat mikro. Terpenuhinya kondisi masing-masing aspek ini secara
simultan adalah syarat mutlak untuk terwujudnya ketahanan pangan yang mantap.

B. Konsep Sistem Pertanian Berkelanjutan

Sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture system) adalah pengelolaan


sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia
sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumber daya alam. Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan konservasi sumber
daya alam dan berorientasi pada perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan
sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara
berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (Reijntjes dkk, 1999).

Menurut Kerangka Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (pada Gambar 1),


suatu kegiatan pembangunan (termasuk pertanian dan agribisnis) dinyatakan
berkelanjutan, jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis dan sosial bersifat
berkelanjutan (Srageldin, 1996 dalam Dahuri, 1998). Berkelanjutan secara ekonomis
berarti suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,
pemeliharaan capital (capital maintenance) dan penggunaan sumber daya serta investasi
secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti bahwa kegiatan tersebut
harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan
dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity).
Sementara itu berkelanjutan secara sosial, mensyaratkan bahwa suatu kegiatan
pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan,
mobilitas sosial, kohesi sosial dan pengembangan kelembagaan.

Gambar 1. Konsep pembangunan berkelanjutan (Dahari, 1998).


6

Seiring perkembangan zaman, pada tahun 2012 dilakukan perluasan komitmen global
terhadap pembangunan berkelanjutan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 yang
telah menghasilkan dokumen berjudul "The Future We Want”. Ekonomi hijau (green
economy) dan kelembagaan pembangunan berkelanjutan menjadi dua agenda pembahasan
Konferensi Tingkat Tinggi Berkelanjutan atau "Rio+20" yang diadakan di Rio de Janeiro,
Brazil, tanggal 20--22 Juni 2012. Green economy menurut UNEP ialah aktifitas ekonomi
yang meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan manusia, sekaligus secara signifikan
mengurangi kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumberdaya alam. Model green
economy dibangun dengan visi “modernisasi ekologi” dimana pertumbuhan ekonomi dan
konservasi lingkungan bekerja beriringan. Di Indonesia, penerapan green economy pada
lingkup pertanian selaras dengan sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture
system). Berikut ini merupakan model green economy:
Pertumbuhan Kelembagaan,
ekonomi, Ekonomi Governansi Keterbukaan,
Stabilitas Akuntabilitas

Sosial Lingkungan
Hidup
Pemerataan, Lingkungan hidup,
Mobilisasi, Keanekaragaman
Pemberdayaan Hayati
Gambar 2. Konsep Green Economy (Lisbet, 2012).
7

BAB III
METODE PENULISAN

A. Metode Pengumpulan Data dan Informasi


Data dan informasi yang digunakan adalah hasil kajian pustaka. Kajian
tersebut dapat merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi
terkait, seperti Badan Pusat Statistik. Untuk menambah data dan informasi yang
diperlukan, digunakan pula data yang berasal dari buku, jurnal, artikel ilmiah, dan
referensi internet.

B. Metode Pengolahan Data


Dalam mengolah data dan informasi yang telah didapatkan, dilakukan hal hal sebagai
berikut:
1. Pencatatan, yaitu proses pemindahan data yang telah didapat ke dalam suatu
dokumen dasar yang telah disiapkan sebagai suatu daftar data.
2. Klasifikasi, masing-masing data yang didapatkan dapat mendukung teori yang
berbeda, walaupun masih merujuk pada masalah yang sama. Untuk memudahkan
proses analisis dan sintesis data, maka data diklasifikasikan terlebih dahulu sesuai
pokok permasalahan yang terkandung di dalamnya.
3. Penyusunan data, yaitu pengaturan data sedemikian rupa agar data-data tersebut
dapat memberikan informasi secara runtut, saling mendukung, dan menjadi suatu
informasi yang dapat menjawab pertanyaan penelitian.
4. Penulisan laporan, memungkinkan penulis menuangkan hasil analisis dan sintesis
data. Penulisan laporan memerlukan penyimpulan atau pembuatan rekapitulasi
laporan sesuai dengan keinginan pemakai informasi

C. Metode Analisis-Sintesis Data


Metode yang dipakai adalah metode deskriptif-analisis, sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi permasalahn berdasarkan data dan fakta yang ada.
2. Membandingkan dengan teori dan pustaka yang mendukung.
3. Menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya.
4. Mencari pemecahan masalah dari perumusan masalah yang telah ditetapkan.

D. Penulisan Simpulan
Data hasil kajian pustaka yang telah diperoleh akan dianalisis dan disintesiskan dengan
rumusan masalah yang telah ditentukan. Kemudian akan diperoleh suatu pemecahan
masalah. Pemecahan masalah tersebut akan dicoba dirangkum dalam suatu simpulan
yang dapat berisi gambaran umum dari permasalahan yang ada, teori dan data yang
berkaitan, serta solusi pemecahan masalah tersebut.
8

E. Perumusan Saran
Simpulan yang diperoleh berdasarkan analisis dan sintesis yang telah dilakukan dapat
berisi solusi atas permasalahan yang telah dirumuskan. Saran ditulis berdasarkan solusi
yang telah ditemukan yang merupakan alternatif pemikiran, prediksi transfer gagasan,
dan konsep yang dapat dikembangkan. Penulisan saran ditujukan bagi pihak-pihak
terkait maupun pembaca agar pemecahan masalah tersebut tidak hanya terdapat di atas
kertas, tetapi dapat diaplikasikan lebih lanjut pada keadaan sebenarnya.
9

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kondisi Ketahanan Pangan dan Pertanian di Indonesia

Aspek strategis dalam ketahanan pangan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu
ketersediaan, stabilitas, akses dan penggunaan pangan. Terpenuhinya kondisi masing-
masing aspek ini secara simultan adalah syarat mutlak untuk terwujudnya ketahanan
pangan yang mantap. Peningkatan ketersediaan pangan diarahkan pada peningkatan
produksi dalam negeri pada komoditas padi, jagung, kedelai, daging dan gula. Peningkatan
produksi padi, jagung dan kedelai dilakukan melalui upaya khusus produksi padi, jagung
dan kedelai dalam rangka mencapai swasembada pangan. Kegiatan utama yang dilakukan
dalam upaya khusus peningkatan produksi tersebut adalah pengembangan/Rehabilitasi
Jaringan Irigasi Tersier (RJIT), optimasi lahan (opla), Gerakan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (GP-PTT) - padi, jagung, kedelai, Perluasan Areal Tanam (PAT)
jagung dan kedelai, penyediaan bantuan benih, penyediaan bantuan pupuk, serta
pengawalan/pendampingan. Perkembangan produksi komoditas pangan penting selama
tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010-2014

Sumber: Kementrian Pertanian (2014)

Berdasarkan data pola konsumsi menunjukkan bahwa beras atau nasi masih
mendominasi porsi menu konsumsi masyarakat hingga 60%, idealnya maksimal 50% agar
masyarakat dapat hidup lebih sehat, aktif, dan produktif. Konsumsi kalori dan protein
penduduk Indonesia berdasarkan data SUSENAS (2016) menunjukkan kenaikan pada
periode 3 (tiga) tahun terakhir. Rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia padatahun
2016 sebesar 1.992,69 kkal atau naik sebesar 149,94 kkal dibandingkan tahun 2014.
Sementara konsumsi protein meningkat 2,03 gram. Kenaikan konsumsi kalori terjadi pada
hampir semua kelompok barang, dimana tertinggi terjadi pada kelompok makanan dan
minuman jadi sebesar 107,13 kkal serta minyak dan lemak sebesar 32,69 kkal. Sumber
utama konsumsi kalori penduduk Indonesia adalah dari kelompok padi-padian yang
mencapai 44,00% pada tahun 2016, diikuti oleh kelompok makanan dan minuman lain
sebesar 19,59%.

Tabel 2. Perkembangan konsumsi beras dalam rumah tangga Indonesia (2010-2016) serta
proyeksi (2017-2019)
10

Konsumsi Pertumbuhan
Tahun
(kg/kapita/minggu) (kg/kapita/thn) (%)
11

2010 1.9321 100.7453 -1.44


2011 1.9728 102.8662 2.11
2012 1.8728 97.6455 -5.08
2013 1.868 97.4045 -0.25
2014 1.8642 97.2043 -0.21
2015 1.8804 98.0502 0.87
2016 1.9133 99.7643 1.75
Rata-rata 1.9005 99.0972 -0.3214
2017* 1.8754 97.7887 -0.27
2018* 1.8732 97.674 -0.12
2019* 1.8724 97.6323 -0.04
Sumber: SUSENAS BPS (2016).
Keterangan: * hasil proyeksi pusdatin

Total konsumsi beras selama periode tahun 2010-2016 cenderung mengalami


peningkatan. Penggunaan beras yang terbesar adalah untuk konsumsi penduduk. Datayang
dirilis Bappenas untuk konsumsi rumah tangga maupun di luar rumah tangga sebesar
124,89 kg/kapita/tahun (tahun 2012 – 2016) dan tahun 2017 semester I sebesar 114,6
(Kemenko Perekonomian, 2017).

Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu
permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi
syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya
stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang kurang terjangkau, masih
ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi
pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang
diterima petani, masih ketergantungan terhadap impor pangan. Diperkuat penilaian dari
Para Pakar Ekonomi yang tergabung dalam Forum Economis Intelligence Unit (EUI)
tahun 2014, bahwa perkembangan indeks ketahanan pangan (IKP) global Indonesia
menempati posisi pada urutan 64, angka tersebut jauh di bawah Malaysia (33), China (38),
Thailand (45), Vietnam (55) dan Philipina (63).

Dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, justru yang terjadi dalam 20 tahun
terakhir banyak lahan produktif yang hilang. Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk
kegiatan nonpertanian, yang menyebabkan semakin sempitnya basis produksi pertanian.
Dalam kaitan ini, sektor pertanian menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi
dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari. Di sisi lain, BPS
tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,641,326
jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan
ketersediaan pangan yang cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas
pangan nasional. Selain masalah besarnya populasi dan semakin sempitnya lahan
pertanian, setidaknya ada beberapa masalah ketahanan pangan yang dihadapi oleh
12

Indonesia, antara lain: masalah sistem yang belum terintegrasi dengan baik, kesulitan
untuk meningkatkan sejumlah komoditi unggulan pertanian, sistem cadangan dan
distribusi serta rantai pasokan dan logistik nasional yang belum efisien, mahalnya ongkos
transportasi, sering ditemuinya kasus kekurangan produksi di sejumlah daerah, dan
masalah stabilitas harga. Pada dasarnya masalah ketahanan pangan ini  merupakan
masalah nasional yang perlu diperhatikan secara menyeluruh.

B. Pengembangan Sistem Pertanian Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan


Pangan Nasional

Permasalahan pertanian Indonesia sangatlah kompleks untuk dapat diurai. Sejak


pemerintahan orde baru menerapkan Revolusi Hijau, dunia disilaukan oleh peningkatan
drastis produksi pangan yang hanya berlangsung sesaat. Revolusi Hijau mendasarkan diri
pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia
secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme
pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui
Revolusi Hijau, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan tercapainya
swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara,
termasuk Indonesia. Kebijakan pertanian pada masa orde baru, yang dikenal Revolusi
Hijau, bersifat memusat dan cenderung represif terhadap berbagai kreatifitas usaha tani,
pada kenyataannya melahirkan sebuah pola agribisnis yang berbiaya tinggi dan kurang
berwawasan lingkungan (Daniel dan Gudon 1998).

Akibat revolusi itu, sisi negatif mulai muncul. Produksi padi terus menurun. Salah
satu kambing hitam dari turunnya produksi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat
penggunaan pupuk kimia yang terlalu intensif. Penggunaan bibit baru justru melahirkan
hama baru bagi padi. Hama baru tersebut harus diberantas dengan pestisida baru yang
dijual perusahaan obat-obat pertanian. Semakin parah, hama wereng yang diberantas jadi
kebal terhadap pestisida yang dipakai oleh petani. Akibatnya, biaya produksi pangan naik.
Petani harus membeli bahan bakar untuk traktornya, pupuk kimia dan benih hibrida yang
belum pernah teruji daya adaptasinya. Mekanisasi pertanian menyingkirkan peran hewan
ternak pembajak sawah yang jelas lebih hemat biaya operasional, ramah lingkungan dan
dapat dijadikan aset tabungan. Penggunaan bahan kimiawi membunuh biota tanah,
mengkritiskan tanah, meracuni lingkungan, manusia dan binatang.

Untuk mengatasi dan mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh teknologi
Revolusi Hijau, perlu dilakukan koreksi dan penyempurnaan sistem tersebut. Beberapa
konsep teknologi yang dapat mendukung keberlanjutan sistem produksi dan kelestarian
lingkungan sebelumnya telah dikemukakan, di antaranya adalah agroekoteknologi
(Sumarno, 1998); usahatani ramah lingkungan; pengelolaan sumber daya dan tanaman
terpadu (Makarim dan Las, 2005); dan yang lebih menekankan kepada aspek kelestarian
lingkungan adalah konsep pertanian organik (Uphoff dan Gani, 2005). Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 2 menjelaskan bahwa
13

sistem budidaya tanaman sebagai bagian pertanian dilakukan dengan asas manfaat, lestari,
dan berkelanjutan. Selain itu, dalam Bab V (Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Budidaya
Tanaman) Pasal 44 ayat (2) menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan pertanian dilakukan
dengan memperhatikan kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan
hidup khususnya konservasi tanah.

Agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014-2019 yang
dituangkan dalam Nawa Cita mengarahkan pembangunan pertanian ke depan untuk
mewujudkan kedaulatan pangan yang diterjemahkan sebagai kemampuan bangsa untuk
mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, mengatur kebijakan pangan
secara mandiri, serta melindungi dan menyejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha
pertanian pangan. Arah kebijakan umum kedaulatan pangan dalam RPJMN 2015-2019
adalah pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan
produksi pangan pokok, stabilisasi harga pangan, terjaminnya harga pangan yang aman
dan berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat, serta meningkatnya kesejahteraan
pelaku usaha pangan.

Adanya dinamika tersebut mendorong munculnya gagasan untuk mengembangkan


suatu sistem pertanian yang tidak merusak alam. Dalam dua dekade terakhir telah
berkembang konsep pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang merupakan
implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 telah menghasilkan dokumen berjudul "The
Future We Want," yang berisi visi bersama para kepala negara maupun pemerintahan
untuk memperbaharui komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development), perekenomian, sosial dan lingkungan hidup. Hal tersebut dituangkan dalam
perekonomian hijau (green economy) yang merupakan perluasan komitmen global dengan
memperluas dimensi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Demi
mengaplikasikan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan dukungan dari seluruh
pihak agar tercipta pembangunan berkelanjutan di segala aspek. Sebagai langkah lanjut,
Indonesia menghimbau segera diwujudkannya green economy (Lisbet, 2012).

Pembangunan pertanian berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan


kesejahteraan masyarakat tani secara luas melalui peningkatan produksi pertanian yang
dilakukan secara seimbang dengan memperhatikan daya dukung ekosistem sehingga
keberlanjutan produksi dapat terus dipertahankan dengan meminimalkan terjadinya
kerusakan lingkungan. Pertanian berkelanjutan juga banyak diidentikan dengan istilah
LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Susteainable
Agriculture). Secara umum, pertanian berkelanjutan bertujuan meningkatkan kualitas
kehidupan (quality of life). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan paling tidak tujuh
macam kegiatan, yaitu: meningkatkan pembangunan ekonomi, memprioritaskan
kecukupan pangan, meningkatkan pengembangan sumberdaya manusia, meningkatkan
harga diri, memberdayakan dan memerdekakan petani, menjaga stabilitas lingkungan, dan
memfokuskan tujuan produktivitas untuk jangka panjang (Manguiat 1995 dalam Salikin
2007).
14

Berbagai penelitian mengenai pertanian berkelanjutan menunjukkan bukti bahwa


pertanian berkelanjutan mampu meningkatkan produktivitas lebih tinggi daripada
pertanian konvensional. Studi terhadap 286 proyek pertanian berkelanjutan di 57 negara
berkembang di Afrika, Asia dan Amerika antara tahun 1999 dan 2000 menunjukkan
terjadinya kenaikan hasil rata-rata hingga 79%. Proyek-proyek tersebut menerapkan teknik
penggunaan air yang lebih efisien, peningkatan jumlah bahan organik dalam tanah serta
pemerangkapan karbon, dan pengendalian hama, gulma dan penyakit tanaman dengan
teknik pengelolaan hama terpadu. Pada tahun tersebut, tercatat 12,6 juta petani telah
mengadopsi praktek pertanian berkelanjutan dengan luas areal pertanian berkisar 37 juta
hektar atau setara dengan 3% dari luas lahan yang dapat ditanami di Afrika, Asia dan
Amerika Latin (Rukmana, 2012).

Hasil studi Rodale Institute (2011) menunjukkan keunggulan pertanian organik, yang
merupakan contoh dari pertanian berkelanjutan, dibandingkan dengan pertanian
konvensional. Keunggulan tersebut yakni performa yang lebih baik pada musim kemarau
dan menghemat 45% penggunaan energi dibandingkan pertanian konvensional. Pertanian
konvensional menghasilkan 40% lebih banyak emisi gas rumah kaca yang dapat
memperparah pemanasan global. Rodale Institute lebih lanjut lagi menemukan fakta
bahwa pertanian organik tiga kali lebih menguntungkan dibandingkan dengan pertanian
konvensional. Data selama periode 2008-2010 menunjukkan keuntungan yang diperoleh
pertanian organik mencapai $ 1.395/hektar setiap tahunnya, sementara pertanian
konvensional hanya memperoleh $ 475/hektar/tahun. Hal ini disebabkan biaya produksi
pertanian organik tidak memerlukan biaya untuk pembelian pestisida dan pupuk kimia
dengan harga yang mahal, serta harga tanaman organik yang relatif lebih tinggi di pasaran
(Maquito, 2012).

Salah satu contoh penerapan pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik.
Teknik-teknik yang digunakan dalam pertanian organik merupakan pendekatan dari sistem
pertanian berkelanjutan yang menekankan pada pelestarian dan konservasi sumber daya
alam. Kegiatan-kegiatan yang menunjang pertanian berkelanjutan menurut Suryana (2008)
diantaranya:
1. Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian hama tanaman dapat dilakukan dengan cara yang lebih bijak dan ramah
lingkungan dengan mengesampingkan penggunaan pestisida kimiawi melalui metode
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT merupakan pengendalian hama yang
dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur alami yang mampu mengendalikan
hama agar tetap berada pada jumlah di bawah ambang batas yang merugikan dengan
cara-cara yang aman bagi lingkungan dan makhluk hidup. Beberapa cara
pengendalian hama terpadu yakni:
 Menggunakan serangga atau binatang musuh alami hama seperti Tricogamma sp.
 Menggunakan tanaman penangkap hama untuk menjauhkan hama dari tanaman
utama,
15

 Melakukan rotasi tanaman untuk mencegah terakumulasinya patogen dan hama


yang sering menyerang satu spesies (Endah dan Abidin, 2002).
2. Konservasi Tanah
Konservasi tanah merupakan penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan dan dapat berfungsi secara
berkelanjutan. Kegiatan konservasi tanah diantaranya dengan membuat sengkedan
atau terasering pada lahan miring untuk mencegah terjadinya erosi, melakukan
reboisasi atau penanaman kembali lahan kritis, melakukan pergiliran tanaman
atau crop rotation dan menanam tanaman penutup tanah (cover crop).
3. Menjaga Kualitas Air
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas air antara lain: mengurangi
penggunaan senyawa kimia sintetis ke dalam tanah yang dapat mencemari air tanah,
menggunakan irigasi tetes yang menghemat penggunaan air dan pupuk, melakukan
penanaman, pemeliharaan dan kegiatan konservasi tanah pada kawasan lahan kritis
terutama di hulu daerah aliran sungai.
4. Diversifikasi Tanaman
Diversifikasi tanaman merupakan teknik menanam lebih dari satu jenis tanaman
dalam satu areal lahan pertanian. Cara ini adalah salah satu alternatif untuk
mengurangi resiko kegagalan usaha pertanian akibat kondisi cuaca ekstrim, serangan
hama pengganggu tanaman, dan fluktuasi harga pasar. Dari segi ekonomi,
diversifikasi tanaman dapat meningkatkan pendapatan petani sepanjang tahun dan
meminimalkan kerugian akibat kemungkinan kegagalan dari menanam satu jenis
tanaman saja.
5. Agroforestri (wanatani)
Agroforestri merupakan sistem tata guna lahan (usahatani) yang mengkombinasikan
tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk meningkatkan keuntungan, baik
secara ekonomis maupun lingkungan. Sistem ini membantu terciptanya
keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan untuk mengurangi resiko
kegagalan dan melindungi tanah dari erosi serta meminimalisir kebutuhan pupuk dari
luar lahan karena adanya daur-ulang sisa tanaman.

Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan ke depan adalah bagaimana
mengembangkan pola kerja sama (kemitraan) antara pemerintah, akademisi, pebisnis, dan
lembaga masyarakat yang akan memperkuat integrasi pencapaian ketahanan pangan
nasional, sehingga bisa berjalan lebih efisien dan efektif disertai adanya jaminan atas
ketersediaan pasokan komoditas pangan di pasar, dengan harganya yang  terjangkau serta
mempunyai kualitas gizi yang baik untuk di konsumsi oleh masyarakat. Strategi
pembangunan yang dapat diterapkan adalah Pembangunan Agribisnis (agribusiness led
development) yaitu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan
pertanian berkelanjutan (perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) dengan
pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta sektor-sektor jasa yang terkait di
dalamnya (Saragih, 1998). Untuk mendayagunakan keunggulan Indonesia sebagai negara
agraris dan maritim dalam menghadapi tantangan liberalisasi Perdagangan, perubahan
16

pasar internasional, pemerintah harus mengembangkan sistem dan usaha agribisnis


berdaya saing (competitiveness), berkerakyatan (people-driven) dan berkelanjutan
(sustainable). Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan
sistem agribisnis akan memberikan beberapa manfaat yaitu;
1. Mengoptimalkan alokasi sumber daya pada satu titik waktu dan lintas generasi,
2. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk-produk pertanian karena adanya
keterpaduan produk berdasarkan tarikan permintaan (demand driven),
3. Meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem agribisnis dengan keterkaitan
antar subsistem
4. Terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan
menguntungkan, dan
5. Adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan kontinuitas pendapatan
seluruh pelaku agribisnis (Saragih, 1998).

Sistem dan usaha agribisnis yang dikembangkan pemerintah, harus berkerakyatan,


berlandaskan sumber daya yang dimiliki rakyat baik sumberdaya alam, teknologi
(indigenous technologies), kearifan lokal (local widom), dan mengikutsertakan pelaku
agribisnis. Disamping itu pengembangan sistem dan usaha agribisnis juga harus
berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, teknologi maupun dari segi ekologis. Dari sisi
ekonomi, pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus berakar pada sumberdaya
ekonomi lokal, inovasi teknologi ramah lingkungan, dan kreativitas (skill) pelaku
agribisnis. Maka dari itu, perlu suatu kebijakan yang komprehensif guna meningkatkan
kesejahteraan petani Indonesia, seperti perbaikan infrastruktur terkait, land reform policy
agar petani tidak lagi sekedar menjadi buruh tani, perbaikan mekanisme subsidi pupuk,
serta perluasan lahan pertanian, dengan harapan hasil produksi meningkat sehingga
terwujud ketahanan pangan nasional dan petani sejahtera.

Pemerintah harus mengembangkan secara sinergis pembangunan sistem agribisnis yang


mencakup;
1) Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni industri-industri yang
menghasilkan barang-barang modal pertanian, seperti industri perbenihan/
pembibitan, tanaman, ternak, ikan, dll;
2) Subsistem pertanian primer (on-farm agribusiness), yaitu kegiatan budidaya yang
menghasilkan komoditi pertanian primer (usahatani),
3) Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yaitu industri-industri yang
mengolah komoditi pertanian primer menjadi olahan seperti industry makanan/
minuman, pakan, dll, dan
4) Subsistem penyedia jasa agribisnis (services for agribusiness) seperti perkreditan,
transportasi dan pergudangan, Litbang, Pendidikan SDM, dan kebijakan ekonomi
(Davis and Golberg, 1957; Downey and Steven, 1987)
17

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Adapun simpulan yang dapat diambil dari penulisan karya ilmiah ini yaitu:

1. Praktek pertanian konvensional yang boros energi tak terbarukan di samping


membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga belum mencapai sasaran
ketahanan pangan secara mantap dan berlanjut.
2. Sistem pertanian berkelanjutan secara jangka panjang dapat menunjang kelangsungan
hidup sistem pertanian melalui praktek-praktek pertanian yang ramah lingkungan
serta mampu meningkatkan produktivitas dengan memperhatikan aspek ekonomi,
sosial, dan ekologi, sehingga dapat menunjang ketahanan pangan nasional.
3. Pertanian berkelanjutan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani
secara luas melalui peningkatan produksi pertanian yang dilakukan secara seimbang
dengan memperhatikan daya dukung ekosistem sehingga keberlanjutan produksi
dapat terus dipertahankan dengan meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Sistem pertanian berkelanjutan mampu meningkatkan produktivitas pertanian 79%
lebih tinggi dibandingkan pertanian konvensional. Dalam pengembangannya tidak
lupa harus mengikutsertakan pembangunan dari sektor hulu hingga hilir agar tercapai
sistem yang kuat untuk mencapai ketahanan pangan.

B. Saran

Beberapa saran dari penulisan karya tulis ilmiah ini antara lain sebagai berikut :
1. Pemerintah perlu melakukan pembangunan di sektor pertanian secara menyeluruh
dan intensif sehingga dapat mendukung terciptanya proses produksi berkelanjutan
yang memenuhi kebutuhan pangan.
2. Pemerintah perlu melakukan perencanaan yang disusun secara lebih cermat,
holistik, terarah, dan saling berkomitmet untuk membangun sistem pertanian
berkelanjutan yang tidak hanya berlanjut dari segi produksi dan ekonomi tetapi
juga memperhitungkan keseimbangan ekosistem sumberdaya alam.
3. Perlu peningkatan peran penyuluhan pertanian untuk menyadarkan petani akan
praktik-praktik pertanian konvensional yang merusak sumber daya alam dan mulai
beralih ke pertanian berkelanjutan.
18

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2000. Hasil Sensus Penduduk, Penyerapan Tenaga Kerja.
Jakarta: BPS.

Dahuri, R., Rais,J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Davis, H. J. and R.A. Golberg. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard Graduate School of
Business Administration. Boston, Massachusets.

Food and Agriculture Organization (FAO). 1997. The Right to Food: In Theory and Practice.
FAO. Rome.

Gliessman SR. 2007. Agroecology: The Ecology of Sustainable Food System Ed ke-2. CRC
Press. Boca Raton.

Lisbet. 2012. Green Economy dan Konferensi Tingkat Tinggi Rio+20. Jurnal INFO Singkat
Hubungan Internasional Vol. IV, No. 12/II/P3DI/Juni/2012.

Makarim, A.K. dan E. Suhartatik. 2005.Strategi dan Teknologi Pengelolaanlahan, Air,


Tanaman Dan Organisme(LATO) pada Pertanaman Padi Varietaselit. Lokakarya
Pemuliaan Partisipatifdan Lokakarya Diseminasi Hasil Pe-nelitian Padi Tipe Baru,
Balai PenelitianTanaman Padi, Sukamandi, 24-26Februari 2005. 15 hlm

Maquito, Max (2012) ‘Sustainable Agriculture as an E3 Approach to Reducing Rural/Urban


Poverty’, 14 th SGRA Shared Growth Seminar “The Urban-Rural Gap and Sustainable
Shared Growth” April 26, 2012 at the School of Labor and Industrial Relations,
University of the Philippines

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian . 2014. Statistik Lahan Pertanian 2009-2013.
Sekretaris Jenderal Kementrian Pertanian. Jakarta.

Reijntjes, Coen, dkk. 1999. Pertanian Masa Depan. Kanisius. Yogyakarta.

Rindayati, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan dan Ketahanan


Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Salikin KA. 2007. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.


19

Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis, Paradigma Baru Pembanguan Ekonomi. Berbasis


Pertanian. Yayasan Mulia Persada. Jakarta.

Sumarno. 1998. Penyediaan Benih Berdasarkan Adaptasi Varietas Kedelai pada Agroklimat
Spesifik. Prosiding Lokakarya Sistem Produksi dan Peningkatan Mutu Benih Kedelai di
Jawa Timur. JICA-BPTP Karangploso-Diperta Jawa Timur. p. 1-12.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).  2016 . Konsumsi Kalori dan Protein
Penduduk Indonesia dan Proyeksi. https://microdata.bps.go.id diakses pada 11 Maret
2018.

Suryana, A. 2008. “Ketahanan Pangan dan Keamanan Energi Untuk Kebangkitan


Indonesia”. Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. Jakarta.

Suryana, A. 2003. Kapita Selekta, Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE-


Yogyakarta. Yogyakarta

Uphoff. N. 2006. Higher Yields With Fewer External Inputs? The System of
Riceintensification and Potential Contributions to Agricultural Sustainability.
International Journal of Agricultural Sustainability, 1(1): 38–50

Anda mungkin juga menyukai