Anda di halaman 1dari 11

TEORI HUMANISTIK

Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Kepribadian Semester V Tahun Akademik 2014/2015
(Dosen: Teti Ratnawulan, Dra., M.Pd.)

oleh :
Agis Tresna Dwiningrum (NIM: 41032102121163)
Anisa Sa’diyah (NIM: 41032102121201)
Burhanudin Robani (NIM: 41032102121166)
Fenni Cipta Adianti (NIM: 41032102121199)
Irman Surahman (NIM: 41032102121194)
Muhammad Arlene Ruliana (NIM: 41032102121217)
Novia Alfiatul Fiqri (NIM: 41032102121202)
Rossy Asniar (NIM: 41032102121182)
Siti Aisyah (NIM: 41032102121210)
Yuni Fitri Sujudi (NIM: 41032102121205)

PROGRAM STUDI : PLB (KELAS-C)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
Jl. Soekarno Hatta 530 Tlp. (022) 7509708 Bandung 4028

TEORI HUMANISTIK
A. Sejarah Tokoh Teori Humanistik/ Client Centered Carl Ransom Rogers

Carl Ransom Rogers lahir di Oak Park, Illinois, pada 8 Januari 1902. Pada umur 12
tahun keluarganya mengusahakan pertanian dan Rogers menjadi tertarik kepada pertanian
secara ilmiah. Pertanian ini membawanya ke perguruan tinggi, dan pada tahun-tahun pertama
Rogers sangat gemar akan ilmu alam dan ilmu hayat. Setelah menyelesaikan pelajaran di
University of Wisconsin pada 1924 Rogers masuk Union Theological College of Columbia,
disana Rogers mendapat pandangan yang liberal dan filsafat mengenai agama. Kemudian
pindah ke Teachers College of Columbia, disana Rogers terpengaruh oleh filsafat John
Dewey serta mengenal psikologi klinis dengan bimbingan L. Hollingworth. Rogers mendapat
gelar M.A. pada 1928 dan doctor pada 1931 di Columbia. Pengalaman praktisnya yang
pertama-tama diperolehnya di Institute for Child Guidance. Lembaga tersebut orientasinya
Freudian. Rogers menemukan bahwa pemikiran Freudian yang spekulatif itu tidak cocok
dengan pendidikan yang diterimanya yang mementingkan statistik dan pemikiran menurut
aliranThorndike.
Setelah mendapat gelar doktor dalam psikologi Rogers menjadi staf pada Rochester Guidance
Center dan kemudian menjadi pemimpinnya. Selama masa ini Rogers dipengaruhi oleh Otto
Rank, seorang psychoanalyst yang memisahkan diri dari Freudian yang ortodok.
Pada tahun 1940 Rogers menerima tawaran untuk menjadi guru besar psikologi di Ohio State
University. Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini dirasa oleh Rogers
sendiri sangat tajam. Karena rangsangannya Rogers merasa terpaksa harus membuat
pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan ini dikerjakannya pada 1942 dalam
buku Counseling and Psychotheraphy. Pada tahun 1945 Rogers menjadi mahaguru psikologi
di Universitas of Chicago, yang dijabatnya hingga kini. Tahun 1946-1957 menjadi presiden
the American Psychological Association. Dan meninggal dunia tanggal 4 Februari 1987
karena serangan jantung.
B. Konsep Dasar Teori Client Centered

a. Pandangan Menurut Rogers

Client Centered (Konseling Berpusat Klien) – Model konseling berpusat pribadi


dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Sebagai hampiran keilmuan merupakan cabang dari
psikologi humanistik yang menekankan model fenomenologis. Konseling person-centered
mula-mula dikembangkan pada 1940 an sebagai reaksi terhadap konseling psychoanalytic.
Semula dikenal sebagai model nondirektif, kemudian diubah menjadi client-centered.

Carl R. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa


yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Terapis berfugsi
terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya
dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah.
Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang
untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.

b. Ciri-Ciri Pendekatan Client Centered

Berikut ini uraian ciri-ciri pendektan Client Centered dari Rogers :

1.      Client dapat bertanggung jawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah
dan memilih perliku yang dianggap pantas bagi dirinya.

2.      Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman  terhadap client,
terapis memfokuskan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia.

3.      Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikologis manusia


itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak
psikoteraputik terjadi karena hubungan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat
dilakukan sendirian (client).

4.      Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan


nonposesif dan empati yang akurat.

5.      Pendekatan ini bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi berakar pada
sekumpulan sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client
memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbunhan.

c.  Tujuan Pendekatan Psikoterapi

Menurut Rogers (1961), pertanyan “Siapa Saya?” mengantarkan kebanyakan


orang kepada psikoterapi. Mereka tampaknya bertanya: Bagaimana saya bisa menemukan
diri nyata saya? Bagaimana saya bisa menjadi apa yang sangat saya inginkan? Bagaimana
saya bisa memahami apa yang ada dibalik dinding saya dan menjadi diri sendiri?.

Tujuan dasar terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif


bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai
terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada
dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng
sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh klien menghambatnya
untuk tampil utuh dihadapan orang lain dan, dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadi
asing terhadap dirinya sendiri.

Apabila dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang
muncul dari balik kepura-puraan itu? Rogers menguraikan ciri-ciri orang yang bergerak
kearah menjadi bertambah teraktualkan: keterbukaan kepada pengalaman, kepercayaan
terhadap organismenya sendiri, tempat evaluasi internal, dan kesediaan untuk menjadi suatu
proses. Terdapat beberapa tujuan pendekatan terapi Client Centered yaitu sebagai berikut :

a. Keterbukaan pada Pengalaman

Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalamam menyiratkan


menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.

b. Kepercayaan pada Organisme Sendiri

Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya
terhadap diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap pengalaman-
pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun muali timbul.

c. Tempat Evaluasi Internal

Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih
banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya.
Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi
kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan
persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke
dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.

d. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.

Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri
sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula
guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa
peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada
dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka
diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

e. Tujuan Konseling

Tujuan Konseling dengan pendekatan Client Centered adalah sebagai berikut :

 Menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga
dapat mengenal hambatan pertumbuhannya .
 Membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaanyang lebih
besar kepada dirinya,keinginan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan
meningkatkan spontanitas hidupnya.
 menyediakan iklim yang aman dan percaya dalam pengaturan konseling sedemikian
sehingga konseli, dengan menggunakan hubungan konseling untuk self-exploration,
menjadi sadar akan blok/hambatan ke pertumbuhan.
 Konseling cenderung untuk bergerak ke arah lebih terbuka, kepercayaan diri lebih
besar, lebih sedia untuk meningkatkan diri sebagai lawan menjadi mandeg, dan lebih
hidup dari standard internal sebagai lawan mengambil ukuran eksternal untuk apa ia
perlu menjadi.

d.     Hubungan Terapis Dengan Klien

Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh
pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain
akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk
pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan pribadi pun akan terjadi. Ada enam
kondisi yang diperlukan dan memadahi bagi perubahan kepribadian :

1. Dua orang berada dalam hubungan psikologis.


2. Orang pertama disebut client, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas.
3. Orang kedua disebut terapis, ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam
berhubungan.
4. Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap client.
5. terapis merasakan pengertian yang empatik terhadap kerangka acuan internal client
dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepada terapis.
6. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis
kepada client setidak-tidaknya dapat dicapai.

Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian tengan hubungan teraputik :

Pertama, Keselarasana/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah


bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama
pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang
ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Terapis tidak diperkenankan terlibat
secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsive terhadap  client. Hal ini
dapat menghambat proses terapi. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa
jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses
teraputic bisa berlangsung.

Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh
evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal
yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bkan sikap “Saya mau menerima
asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti
continuum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap
client, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada client.

Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Pada bagian ini merupakan hal yang sangat krusial,
dimana terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam
berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini
menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya
sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan
memberikan makna yang makin jelas. Tugas terapis adalah membantu kesadaran client
terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu
menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh
client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang
konstruktif akan terjadi.

e.   Proses Konseling

Proses-proses yang terjadi dalam konseling dengan menggunakan pendekatan Client


Centered adalah sebagai berikut :

1. Konseling memusatkan pada pengalaman individual.


2. Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam, dan memaksimalkan dan serta
menopang eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi
individu untuk menilai pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan
mendapat tilikan pearasaan yang mengarah pada pertumbuhan.
3. Melalui penerimaan terhadap klien, konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji
dan memadukan pengalaman-pengalaman sebelunya ke dalam konsep diri.
4. Dengan redefinisi, pengalaman, individu mencapai penerimaan diri dan menerima
orang lain dan menjadi orang yang berkembang penuh.

Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal
balik

f.   Kasus yang Sesuai dengan Client-Centered

Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara unsur-unsur dalam gambaran


terhadap diri sendiri timbul konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini
sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self).
Berbagai pengalaman hidup menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu,
kalau keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak di sangkal.
Berikut ini ada contoh kasus yang biasa ditangani oleh pendekatan Client-centered.
Misalnya, seorang mahasiswi mengira bahwa dia sangat sayang pada adiknya yang
perempuan, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang bertentangan
dengan fikiran itu, karena ternyata dia berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sengit penuh
rasa iri kepada adiknya yang sudah mempunyai pacar. Padahal, terhadap adik sendiri seorang
kakak tidak boleh bertindak begitu. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu
pertentangan antara siapa saya ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang
bagaimana. Bilamana mahasiswi mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan
itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran yang masih samar-
samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam
evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap untuk menerima
layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup jurang pemisah antara dua
kutub di dalam dirinya sendiri, serta akhirnya menemukan dirinya kembali sebagai orang
yang pantas (person of worth).
g. Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client-Centered
Rumusan-rumusan yang lebih dini dari pandangan Rogers tentang psikoterapi
memberi penekanan yang lebih besar pada tekhnik-tekhnik. Perkembangan
pendekatan Client-Centered disetai oleh peralihan dari penekanan pada teknik-teknik
terapeutik kepada penekanan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap
terapis, serta pada hubungan terapeutik. Hubungan terapeutik, yang selanjutnya menjadi
variabel yang sangat penting, tidak identik dengan apa yang dikatakan atau yang dilakukan
oleh terapis. Dalam kerangka Client-Centered, tekhnik-tekniknya adalah pengungkapan dan
pengomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbagai upaya dengan klien
dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan
mengeksplorasi. Menurut pandangan pendekatan Client-Centered, penggunaan teknik-teknik
sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasikan hubungan terapis klien.
Teknik-teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari terapis, dan tidak
bisa digunakan secara sadar diri, sebab dengan demikian terapis tidak akan menjadi sejati.
Konkritnya, menurut Corey wawancara merupakan tekhnik utama dalam konseling. Bahkan
penyembuhan diri konseling sendiri dilakukan melalui akibat tidak langsung dari proses
diskusi antara konselor dan konseling.
h. Kelebihan dan Keterbatasan Pendekatan Client-Centered

Pendekatan Client-Centered merupakan corak yang dominan yang digunakan


dalam pendidikan konselor, beberapa alasannya adalah:
1.      Terapi Client-Centered memiliki sifat keamanan.
2.      Terapi Client-Centered menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada
klien, memperhitungkan kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan
klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran.
3.      Para terapis Client-Centered secara khas mereflesikan isi dan perasaan-perasaan,
menjelaskan pesan-pesan, membantu para klient untuk memeriksa sumber-sumbernya
sendiri, dan mendorong klien untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri.
Jadi, terapi Client-Centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi
lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-penafsiran,
membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis mimpi-mimpi, dan bekerja ke
arah pengubahan kepribadian secara radikal.
Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-
sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata
lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1.      Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif
klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan
mendengar.
2.      Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di
evaluasi dan dihakimi.
3.      Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
4.      Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan
merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
5.      Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di
atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
6.      Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas
dari apa yang baru dikomunikasikannya.
7.      Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih
dalam.
Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus
yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang
sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal
yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri
keseluruhan tindakan mengalaminya.
Adapun kelemahan pendekatan Client-Centered terletak pada beberapa hal berikut
ini:
1.      Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral
dari posisi Client-Centered.
2.      Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak
konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
3.      Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi
dan mendengar secara empatik.
4.      Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada
klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan Client-Centered di atas perlu adanya
rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas
tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena
itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-
kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa
kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi Client-Centered tidak lebih dari pada
tekhnik mendengar dan merefleksikan. Tetapi Client-Centered berlandaskan sekumpulan
sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas
lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila
terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan
nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-
sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan
keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka Client-
Centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan
reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah:
terapi Client-Centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman,
tetapi tidak membuahkan hasil.

C. IMPLEMENTASI PADA ABK

Implementasi Teori Client Centered pada Anak Berkebutuhan Khusus dapat di terapkan
pada anak Tuna Laras dan Tunagrahita . Dengan menerapkan Pendekatan Konseling dalam
hal ini merupakan bagian dari Teori Client Centered.

Anda mungkin juga menyukai